Anda di halaman 1dari 48

WRAP UP SKENARIO 3

TIDAK BISA BUANG AIR KECIL

Kelompok B-12

Ketua : 1102017246 Yuniar Audina

Sekretaris: 1102016219 Vania Rahmalia

Anggota : 1102016167 Priesyandi Asysy Adiwinata

1102017151 Muhammad Iqbal Thamrin

1102017162 Nabila Larasati Balqis

1102017131 Lulu Nuraviah Ahmad

1102017195 Rifqi Hafidh

1102014287 Yongki Cappala Bakurru

1102014293 Zenna Al-Kautsar

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI
Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510

Telp.62.21.4244574 Fax. 62.21. 424457

2018-2019
SKENARIO

TIDAK BISA BUANG AIR KECIL

Laki-laki, 56 tahun datang berobat ke Poliklinik Bedah dengan keluhan tidak bisa
buang air kecil sejak 1 hari yang lalu, meskipun rasa ingn kencing ada.
Sebelumnya riwayat LUTS ( Lower Urinary Tract Syndrome) seperti hesistensi,
nokturia, urgensi, frekuensi, terminal dribbling sering dirasakan sebelumnya. IPSS
( International Prostate Symptom Score) : 30 dan Skor kualitas hidup (QoL): 5.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan regio supra pubik bulging dan pada
pemeriksaan colok dubur setelah pemasangan kateter urin, didapatkan prostat
membesar. Oleh dokter yang memeriksanya dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi ginjal, buli-buli dan prostat. Pasien bertanya kepada
dokter, bagaimana hukum sholat pada saat pemasangan kateter.

1
KATA SULIT

1. Hesistensi: Awal keluarnya urin lebih lama dan pasien mengejan untuk
memulai miksi.

2. Nokturia: Bangun kencing malam hari.

3. Regio supra pubik bulging: Bengkak yang terasa pada bagian supra pubik
pada saat palpasi

4. Urgensi: Dorongan mendesak dan mendadak untuk berkemih.

5. Terminal dribbling: Setelah miksi terasa, ada sisa urin di dalam VU dengan
masih keluarnya tetesan urin.

6. IPSS: Sistem skoring yang berhubungan dengan kelainan miksi, terdiri dari 7
pertanyaan dan 1 pertanyaan kualitas hidup.

7. LUTS: Kumpulan gejala penyakit pada saluran kemih bawah.

2
BRAIN STORMING

1. Mengapa pasien sulit berkemih walaupun merasa ingin berkemih?

2. Mengapa regio supra pubik bulging?

3. Apa hubungan prostat membesar dengan tidak bisa buang air kecil?

4. Apakah ada hubungan LUTS dengan prostat?

5. Apa yang menyebabkan pembesaran pada prostat?

6. Apa diagnosis pada pasien ini?

3
7. Mengapa pasien mengalami hesistensi, nokturia, urgensi dan frekuensi?

8. Mengapa dibutuhkan skor kualitas hidup dan berapa nilai normalnya?

9. Apa pemeriksaan penunjang untuk pasien ini?

10. Bagaimana tatalaksana yang diberikan kepada pasien?

11. Apa yang didapat dari hasil pemeriksaan colok dubur pada pasien ini?

12. Mengapa bisa terjadi terminal dribbling?

13. Apakah maksud dari IPSS 30 dan berapa nilai normalnya?

14. Bagaimana pandangan islam tentang melihat aurat pasien dalam pemeriksaan?

15. Mengapa dokter mengajukan pemeriksaan USG ginjal, buli-buli dan prostat?

16. Bagaimana hukum sholat saat terpasang kateter?

4
JAWABAN

1. Karena uretra menyempit sehingga urim tidak bisa keluar walaupun vesica
urinaria sudah penuh.

2. Karena terjadi penumpukan urine pada VU.

3. Terjadi pembesaran pada prostat sehingga menjepit uretra pars prostatica.

4. Ada, karena prostat merupakan kelenjar pada saluran kemih bawah, jika ada
pembesaran pada prostat akan menimbulkan LUTS.

5. Ketidak seimbangan hormone, kelainan genetik dan faktor usia.

6. Pembesaran prostat.

7. - Hesistensi: Uretra pars prostatica tertutup menyebabkan butuhnya usaha


untuk mengeluarkan urin.
- Nokturia: Bisa karena minum air sebelum tidur, dan suhu yang lebih dingin.
- Urgensi: VU telah penuh sehingga mendesak untuk berkemih.
- Frekuensi: Urin yang dapat keluar hanya sedikit-sedikit, sehingga frekuensi
untuk berkemih menjadi meningkat.

8. Untuk mengetahui seberapa mengganggunya penyakit ini pada kualitas hidup


pasien. Nilai normalnya: 0.

9. Radiologi: USG, MRI, CT Scan, BNO.


Patologi klinik: Urin 3 gelas.

10. Medikamentosa ( 5 α reduktase dan α blocker), prostatomi (jika sudah berat),


kateterisasi.

11. Dapat mengecek ada atau tidaknya pembesaran prostat.

12. Karena uretra menyempit, sehingga ada sisa urin di dalam VU.

5
13. IPSS 30: Gejala pada pasien sudah berat. Normalnya: 0

14. Jika darurat boleh, tetapi ditemani oleh mahromnya atau kerabat dan dengan
persetujuan pasien.

15. Untuk melihat adanya kelainan anatomi pada ginjal, buli-buli dan prostat.

16. Boleh, karena salasit ba’ul.

HIPOTESIS

Pembesaran prostat terjadi karena ketidak seimbangan hormon, kelainan genetik


dan faktor usia. Sehingga menyebabkan penyempitan pada uretra pars prostatica
membuat urin sulit keluar dan menumpuk di vesica urinaria. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan yaitu colok dubur,USG dan CT scan. Tatalaksana dapat diberikan
medikamentosa dan jika sudah berat dilakukan prostatomi.

6
SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan Mempelajari Anatomi Prostat


1.1. Makroskopik
1.2. Mikroskopik

2. Memahami dan Mempelajari Fisiologi Prostat

3. Memahami dan Mempelajari Benign Prostat Hyperplasia


3.1. Definisi

7
3.2. Klaifikasi
3.3. Etiologi
3.4. Epidemiologi
3.5. Patofisiologi
3.6. Manifestasi Klinis
3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
3.8. Tatalaksana
3.9. Komplikasi
3.10. Pencegahan
3.11. Prognosis

4. Memahami dan Mempelajari Pandangan Islam


4.1. Melihat Aurat Untuk Pemeriksaan
4.2. Pemakaian Kateter

8
1. Mempelajari dan Memahami Anatomi Prostat
1.1. Makroskopis

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler, yang terletak di sebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi
bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior
rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa
kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang
paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :

1. lobus medius

2. lobus lateralis (2 lobus)

3. lobus anterior

4. lobus posterior

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan


menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius
kadang-kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen
berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut
kelenjar prostat.

Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah:
zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona
periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang

9
letaknya proksimal dari sfincter eksternus di kedua sisi dari verumontanum dan di
zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume
prostat. Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.

Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari


verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah depan
didapatkan ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah ligamentum triangulare
inferior dan di sebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.

Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan
prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar
dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia
endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat
yang berisi pleksus prostatovesikal.

Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :


1. Kapsul anatomis
Sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang membungkus kelenjar
prostat.
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
1. Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat
sebenarnya yang menghasilkan bahan baku sekret.

10
2. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga
sebagai adenomatous zone
3. Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang
merupakan bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau mengalami
hipertrofi pada usia lanjut.
Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :
1. kapsul anatomis
2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang
sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner
zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian
posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering
terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior
kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.

Hubungan :
 Ke superior : basis prostatae berhubungan dengan collum vesicae. Otot polos
prostata terus melanjut tanpa terputus dengan otot polos collum vesicae. Urethra
masuk pada bagian tengah basis prostatae
 Ke inferior : apex prostatae terletak pada facies superior diaphragma
urogenitale. Urethra meninggalkan prostate tepat diatas apex pada facies anterior.

11
 Ke antrior : facies anterior prostatae berbatasan dengan symphysis pubica,
dipisahkan oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat di dalam spatium
retropubicum (cavum Retzius). Selubung fibrosa prostata dihubungkan dengan
aspek postrior os pubis oleh ligamenta puboprostatica. Ligamenta ini terletak di
samping kanan dan kiri linea mediana dan merupakan penebalan fascia pelvis.
 Ke posterior : facies posterior prostatae berhubingan erat dengan facies
antrerior ampulla recti dan dipisahkan dari rectum oleh septum rectovesicae (fascia
Denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah
excavatio retrovesicalis peritonealis, yang semula meluas ke bawah sampai ke
corpus peritoneal.
 Ke lateral : facies lateralis prostatae difiksasi oleh serabut anterior musculus
levator ani pada saat serabut ini berjalan ke posterior dari pubis.
Struktur :
 Kelenjar prostata yang jumlahnya banyak tertanam di dalam campuran otot
polos dan jaringan ikat, dan ductusnya bermuara ke urethrapars prostatica.
 Dibagi 5 lobus :
 Anterior : di depan urethra dan tidak punya jaringan kelenjar.
 Medius/Medianus : berbentuk baji, terletak diantara urethra dan ductus
ejaculatorius. Permukaan atasnya berhubungan dengan trigonum vesicae. Banyak
kelenjar.
 Posterior : di belakang urethra dan dibawah ductus ejaculatorius. Mengandung
banyak kelenjar.
 Lobi prostatae dexter dan sinister : di samping urethra dan dipisahkan satu
sama lain oleh jalur vertical dangkal yang terdapat pada facies posterior prostatae.
Lobi laterales mengandung banyak kelenjar.
(Sloane, )

Secara histologis, prostat terdiri atas kelenjar-kelenjar yang dilapisi epitel thoraks
selapis dan di bagian basal terdapat juga sel-sel kuboid, sehingga keseluruhan
epitel tampak menyerupai epitel berlapis.

Vaskularisasi

Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis inferior


(cabang dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium

12
inferior), dan a. pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang
dari arteri tersebut masuk lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction.
Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi menjadi 2 kelompok , yaitu:

1. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico


prostatic junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok
kelenjar periurethral.

2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa


cabang yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar
paraurethral).

Aliran Limfe

Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian
bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar
limfe iliaca interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral.

Persarafan

Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari
Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.

1.2. Mikroskopik

13
Prostat melingkari pangkal uretra yang keluar dari kandung kemih. Kelenjar
tersebut merupakan kumpulan dari 30-50 kelenjar tubuloalveolar kompleks yang
kecil-kecil, bermuara ke dalam uretra pars prostatika, melalui 15-30 saluran keluar
kecil. Unsur-unsur kelenjar tersebar pada tiga daerah yang berlainan yang tersusun
kurang lebih konsentris mengelilingi uretra. Kelenjar-kelenjar kecil terletak di
mukosa dan dikelilingi oleh kelenjar-kelenjar submukosa. Kelenjar utama terletak
di bagian tepi dan merupakan bagian terbesar dari kelenjar. Keseluruhan kelenjar
dibungkus oleh simpai fibroelasuk yang mengandung banyak serat otot polos di
sebelah dalam dan kaya akan pleksus vena. Bagian-bagian kelenjar terbenam di
dalam stroma padat yang di bagian tepi berlanjut pada simpai. Stromanya juga
fibroelastik dan mengandung sejumlah berkas serat otot. Alveoli dan tubuli
kelenjar sangat tidak teratur dan sangat beragam bentuk dan ukurannya. Alveoli
dan tubuli bercabang berkali-kali, keduanya memiliki lumen yang lebar. Lamina
basal kurang jelas dan epitel sangat berlipat-lipat. Jenis epitelnya selapis atau
bertingkat dan ber-variasi dari silindris sampai kubis rendah, tergantung pada
status endokrin dan kegiatan kelenjar. Sitoplasma banyak mengandung butir sekret
dan butir lipid. Saluran keluar mempunyai lumen yang tidak teratur dan mirip
tubuli sekretoris yang kecil.

Sekret prostat merupakan cairan seperti susu, bersifat agak alkali, kaya dengan
enzim proteolitik, terutama fibrinolisin yang membantu pencairan semen.

Sekret juga mengandung sejumlah besar fosfatase asam. Pada sajian, sekret terlihat
sebagai massa granular yang asidofilik. Seringkali mengandung badan-badan bulat
atau bulat telur disebut konkremen prostat (korpora amilasea) yang merupakan
kondensasi sekret yang mungkin mengalami perkapuran.

2. Mempelajari dan Memahami Fisiologi Prostat

Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama sekret dari
vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi
sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan
enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim
lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot
polos. kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan

14
perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80% pada
waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodies dan dapat
dihentikan dengan pemberian Stilbestrol.

Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang mengandung ion
sitrat, kalsium, dan ion fosfat, enzim pembeku, dan profibrinolisis. Selama
pengisian, sampai kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas
deferens sehingga cairan encer seperti susu yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat
menambah lebih banyak lagi jumlah semen. Sifat yang sedikit basa dari cairan
prostat mungkin penting untuk suatu keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan
vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme
sperma, dan sebagai akibatnya, akan menghambar fertilisasi sperma. Sekret vagina
juga bersifat asam (ph 3.5 – 4). Sperma tidak dapat bergerak optumal sampai pH
sekitarnya meningkat kira – kira 6 – 6.5. sehingga merupakan suatu kemungkinan
bahwa cairan prostat menetralkan sifat asam dari cairan lainnya setelah ejakulasi
dan juga meningkatkan moyilitas dan fertilisasi sperma.
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang masa kanak – kanak dan mulai
tumbuh pada masa pubertas di bawah rangsangan testosteron. Kelenjar ini
mencapai ukuran hampir tetap pada usia 20 tahun dan tetap dalam ukuran itu
sampai pada usia kira – kira 50 tahun. Pada waktu tersebut, beberaoa orua
kelenjarnya mulai berinvolusi, bersamaan dengan oenurunan pembentukan
testosteron oleh testis. Sekali kelenjar prostat terjadi, sel – sel karsinogen biasanya
dirangsang untuk tumbuh lebih cepat oleh testosteron, dan diambat dengan
pengangkatan testis, sehingga testosteron tidak dapat dibentuk lagi.

Fungsi kelenjar prostat ialah :

1. Mengeluarkan cairan basa yang menetralkan seksresi vagina yang asam,


suatu fungsi penting karena sperma dapat hidup dilingkungan yang sedikit basa.
2. Menghasilkan enzim pembekuan. Enzim pembekuan prostat bekerja
pada fibrinogen dari vesikula seminalis yang menghasilkan fibrin yang
“membekukan" semen sehingga sperma yang di ejakulasikan tetap berada
disaluran reproduksi wanita ini ketika penis dikeluarkan. Segera sesudahnya,

15
bekuan ini diuraikan oleh PSA, suatu enzim pengurai fibrin dari prostat sehingga
sperma dapat bergerak bebas didalam saluran reproduksi wanita.
3. Melepaskan PSA (prostat spesifik antigen).

3. Memahami dan Mempelajari Benign Prostat Hyperplasia

3.1. Definisi BPH

Benigna Prostat Hiperplasi adalah perbesaran prostat, kelenjar prostat membesar,


memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine,
dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter (Brunner & Suddarth, 2000).

3.2. Klasifikasi BPH


Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya adalah :
1. Rektal grading
Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :
 derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum
 derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
 derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
 derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum
2. Berdasarkan jumlah residual urine
 derajat 1 : <>
 derajat 2 : 50-100 ml
 derajat 3 : >100 ml
 derajat 4 : retensi urin total
3. Intra vesikal grading
 derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
 derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter
 derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
 derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter
4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis terlihat pada
uretroskopi :
 derajat 1 : kissing 1 cm

16
 derajat 2 : kissing 2 cm
 derajat 3 : kissing 3 cm
 derajat 4 : kissing >3 cm

3.3. Etiologi

Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu adanya hiperplasia


sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat.234 Banyak faktor yang diduga berperan
dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Pada dasarnya BPH tumbuh
pada pria yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih menghasilkan
testosteron. Di samping itu, pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), pola diet,
mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan aktivitas fisik diduga berhubungan dengan
proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak langsung.379 Faktor-faktor tersebut
mampu memengaruhí sel prostat untuk menyintesis growth factor, yang
selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar prostat.
Sementara itu, istilah benign prostatic eniargement (8PE) merupakan istilah klinis
yang menggambarkan bertambahnya volume prostat akibat adanya perubahan
histopatologis yang jinak pada prostat ( BPH ) .iui Diperkirakan hanya sekitar 50
% dari kasus BPH yang berkembang menjadi BPE1 Pada kondisi yang lebih
lanjut, BPE dapat menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut dengan
istilah benign prostatic obstruction (BPO). BPO sendiri merupakan bagian dari
suatu entitas penyakit yang mengakibatkan obstruksi pada leher kandung kemih
dan uretra, dinamakan bladder outlet obstruction (800). Adanya obstruksi pada
BPO ataupun BOO harus dipastikan menggunakan pemeriksaan urodinamik.

3.4. Epidemiologi
BPH terjadi pada sekitar 70 % pria di atas usia 60 tahun . Angka ini akan
meningkat hingga 90 % pada pria berusia di atas 80 tahun . * Angka kejadian BPH
di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital
prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013
ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61 tahun.

Faktor Risiko
Faktor risiko yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya testis

17
yang fungsional sejak pubertas (faktor hormonal). Dari berbägai studi terakhir
ditemukan hubungan positif antara BPH dengan riwayat BPH dalam keluarga,
kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat, konsumsi vitamin E, konsumsi daging
merah, obesitas, sindrom metabolik, inflamasi kronik pada prostat, dan penyakit
jantung.

Perjalanan Penyakit
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari obstruksi pada leher
kandung kemih dan uretra oleh BPH.SM0 Selanjutnya obstruksi ini dapat
menimbulkan perubahan struktur kandung kemih maupun ginjal sehingga
menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang
disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa lower urinary tract symptoms
(LUTS), yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms), gejala iritasi
(storage symptoms), dan gejala pasca berkemih. Gejala obstruksi meliputi
pancaran kemih lemah dan terputus (intermitensi), merasa tidak puas sehabis
berkemih. Gejala iritasi meliputi frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia.
Gejala pasca berkemih berupa urine menetes (dribbling); hingga gejala yang paling
berat adalah retensi urine.13 Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat
kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan berkemih atau
sebaliknya. Sebagai contoh, penggunaan obat harian, seperti antidepresan,
antihistamin, atau bronkodilator terbukti dapat menyebabkan peningkatan 2 3 skor
International Prostote Symptom Score (IPSS).

3.5. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan uretra prostatika dan akan
menghambat aliran urine. Keadaan ini akan menyebakan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan tersebut. Kontraksi yang terus-menerus ini akan
menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur buli-buli dirasakn oleh pasien sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract simptom (LUTS) yang dahulu
dikenal dengan gejala-gejala prostatimus.

18
Tekanan intravesikal yang tinggi akan diteruskan keseluruh bagian buli-buli, tak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis bahkan akhirnya dapat jatuh kedalam gagal ginjal.

Patofisiologi benign prostate hyperplasia

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan


akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor
ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke
seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada
kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter
atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal.

Hiperplasi prostat

Penyempitan lumen uretra posterior

Tekanan intravesikal ↑

Buli-buli Ginjal dan Ureter

19

 Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter
 Trabekulasi - Hidroureter
 Selula - Hidronefrosis
 Divertikel buli-buli - Pionefrosis Pilonefritis

... Gagal ginjal

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan
dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars
prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal)
sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya,
yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik
reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus.
Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga
tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.

20
3.6. Manifestasi Klinis

Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas
gejala obstruktif dan gejala iritatif.
Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika
karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk
berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus.
Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih


tergantung tiga faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga
meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika,
otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi
dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum
dirasakan.

Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara


mengukur :
a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa
urin ini dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan
kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan
ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post
voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong,
sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika.

21
Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk
melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi.

b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk
dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin
minimal di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata
(average flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow
antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang.
Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor
dengan obstruksi infravesikal.

Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu


faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan
untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan
kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur.

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot
detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica,
sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejalanya ialah :

 Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)


 Nokturia
 Miksi sulit ditahan (Urgency)
 Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis


derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml

22
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas +
sisa urin > 150 ml

3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


1. Anamnesis

 Riwayat Penyakit
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya. Anamnesis itu meliputi:

 Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah mengganggu
 Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah (hematuria), kencing batu, atau
pembedahan pada saluran kemih)
 Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
 Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan berkemih

 Skor Keluhan
Pemandu untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat
pembesaran prostat adalah sistem penskoran keluhan. Salah satu sistem penskoran
yang digunakan secara luas adalah International Prostate Symptom Score (IPSS)
yang telah dikembangkan American Urological Association (AUA) dan
distandarisasi oleh WHO. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan
pasien BPH. IPSS terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0
hingga 5 dengan total maksimum 35. Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan
diharapkan pasien mengisi sendiri setiap pertanyaan. Berat-ringannya keluhan
pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu: skor 0-7
ringan, skor 8-19 sedang, skor 20-35 berat.

Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu


pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup yang juga terdiri atas 7 kemungkinan
jawaban.

 Catatan Harian Berkemih (Voiding Diaries)

23
Pencatatan harian berkemih sangat berguna pada pasien yang mengeluh nokturia
sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah
asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang
dikemihkan, dapat diketahui seorang pasien penderita nokturia idiopatik,
instabilitas detrusor akibat obstruksi infravesika, atau karena poliuria akibat asupan
air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan 3 hari berturut-turut untuk
mendapatkan hasil yang baik

2. Pemeriksaan Fisik

 Status Urologis
 Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya obstruksi
atau tanda infeksi
 Kandung Kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi untuk menilai
isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi

 Colok Dubur
Colok dubur merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Dari
pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,
konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan colok dubur cenderung lebih
keecil daripada ukuran yang sebenarnya

Pada pemeriksaan colok dubur juga perlu menilai tonus sfingter ani dan refleks
bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada lengkung refleks
di daerah sakit.

3. Pemeriksaan Penunjang

 Darah :
 Ureum dan Kreatinin normal  fungsi ginjal dan VU normal  tidak ada
urolithiasis, Ca atau hiperplasia prostat berat
 Elektrolit

24
 Blood urea nitrogen
 Gula darah

 Urin :
 Kultur urin + sensitifitas test
 Sedimen
 Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu
buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya:
karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis
menunjukkan adanya kelainan. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran
kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat 3 kecurigaan
adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada
pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter,
pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada
leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter

 PSA (Prostate Spesific Antigen)


Prostate Specific Antigen (PSA) merupakan suatu glikoprotein protease yang
diproduksi dan disekresi oleh sel epitel prostat, yang merupakan tanda paling
efektif untuk mengetahui adanya kanker prostat dan keadaanya meningkat pada
BPH. Peningkatan PSA juga sebagai dari akibat colok dubur (DRE = Digital
Rectal Examination), pemasangan kateter, sistoskopi, biospsi jarum, ultrasonografi
trasnrectal Transrectal Ultrasound), reseksi prostat transuretra (TURP,
Transurethral Resection of the Prostate), bertambahnya umur dan retensi urin serta
besarnya volume

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan
cancer specific. Jika kadar PSA tinggi berarti:
 pertumbuhan volume prostat lebih cepat
 keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek dan lebih mudah
terjadinya retensi urine akut.

25
 pemasangan kateter, sistoskopi, biopsi jarum, ultrasonografi (Transrectal
Ultrasound), reseksi prostat transuretra (TURP, Transurethral Resection of the
Prostate)

Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.


Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat
laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun
pada kadar PSA 0,2- 1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar
PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3
mL/tahun19. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada
keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada
retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Sesuai
yang dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003) bahwa serum PSA meningkat pada
saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahanlahan menurun terutama
setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. Rentang kadar PSA yang dianggap normal
berdasarkan usia adalah:
 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml

Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi


kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan
PSA bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok
dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia
ini pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan
adanya karsinoma prostat. Sebagian besar petunjuk yang disusun di berbagai
negara merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal
pada BPH, meskipun dengan sarat yang berhubungan dengan usia pasien atau usia
harapan hidup pasien.

Tes PSA ini sebaiknya dilakukan setiap tahun sejak berumur 50 tahun, namun
untuk pria yang memiliki riwayat penyakit kanker prostat atau orang keturunan
Afrika-Amerika, tes PSA sebaiknya dimulai sejak umur 40 tahun.

26
 Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius
bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi
sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko
terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa
disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Pasien
LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8%
jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan
kadar kreatinin serum10. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna
sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran
kemih bagian atas.

 Pemeriksaan Pencitraan
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit lain misalnya batu saluran
kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui
adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.

b. Pielografi Intravena (IVP)

 pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling
defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter
membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).
 Untuk mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa
hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu
adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli.
 foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
IVP memerlukan persiapan yaitu :

 Malam sebeleum pemeriksaan diberi pencahar untuk membersihakan kolon


dari feses yang menutupi daerah ginjal
 Pasien tidak diberi cairan mulai dari jam 10 sebelum pemeriksaan  untuk
mendapatkan kondisi dehidrasi
 Keesokan hari pasien diminta untuk berpuasa

27
 Sebelum pasien disuntukian urografin 60 mg%, terlebih dahulu dilakukan
penngujian subkutan atau intravena kontras (conray/ meglumineiothalamat 60%)
jika pasien alergi terhadap kontras, maka IVP dibatalkan

Yang dapat mempengaruhi pemeriksaan IVP

 Pasien yang tidak bisa diam


 Masih terdapat fese, gas dalam kolon
 Pasien belum lama melakukan tes enema barium tes untuk pemeriksaan kolon

1. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram
retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

2. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)


 deteksi pembesaran prostat
 mengukur volume residu urin

3. MRI atau CT jarang dilakukan


Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam
potongan

4. Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan buli-
buli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu
buli-buli, trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat
sebelum dilakukan sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi.
Sayangnya pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan
komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak
dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH.
Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk
menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka.

28
Disamping itu pada kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya
karsinoma buli-buli sistoskopi sangat membantu dalam mencari lesi pada buli-buli.

4.Pemeriksaan Lain

a. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh:

 daya kontraksi otot detrusor


 tekanan intravesica
 resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju
pancaranmendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah
menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat
derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.

b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) / urodinamika


Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak
dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot
detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths
Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju
pancaran urin dapat diukur

c. Pemeriksaan Volume Residu Urin

29
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang
tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang
normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan
persen pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria
normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL.

Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan


melakukan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah
pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui
USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat
dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi
bakteriemia.

Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai variasi


individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya
pada waktu yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang berbeda,
menunjukkan perbedaan volume residual urine yang cukup bermakna.

Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine yang
cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu
banyak (<120 ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama. Dahulu
para ahli urologi beranggapan bahwa volume residual urine yang meningkat
menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu dilakukan pembedahan; namun
ternyata peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan beratnya
gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine tidak
dapat menerangkan adanya obstruksi saluran kemih.

Namun, bagaimanapun adanya residu uirne menunjukkan telah terjadi gangguan


miksi. Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang
cukup banyak, demikian pula pada volume residual urine lebih 350 ml seringkali
telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi medikamentosa biasanya
tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa negara terutama di

30
Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai bagian dari pemeriksaan awal
pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena variasi
intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali
dan sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG transabdominal.

Diagnosis Banding

A. Kelemahan Detrusor Kandung Kemih

 Kelainan medula spinalis


 Neuropatia diabetes mellitus
 Pasca bedah radikal di pelvis
 Farmakologik

B. Kandung Kemih Neuropati, disebabkan oleh:


 Kelainan neurologik
 Neuropati perifer
 Diabetes mellitus
 Alkoholisme
 Farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

C. Obstruksi Fungsional
 Dissinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi
detrusordengan relaksasi sfingter
 Ketidakstabilan detrusor
 Adenocarcinoma prostat

D. Kekakuan Leher Kandung Kemih


 Fibrosis

E. Resistensi Urethra yang Meningkat, disebabkan oleh :


 Hiperplasia prostat jinak atau ganas
 Kelainan yang menyumbatkan uretra
 Uretralitiasis

31
 Uretritis akut atau kronik
 Striktur uretra
 Prostatitis akut atau kronis

3.8. Tatalaksana
Terapi Farmakologis
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-
kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa
mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja.
Namun, di antara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa
atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah. Tujuan terapi
pada pasien hiperplasia prostat adalah:
a. memperbaiki keluhan miksi,
b. meningkatkan kualitas hidup,
c. mengurangi obstruksi infravesica,
d. mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal,
e. mengurangi volume residu urine setelah miksi, dan
f. mencegah progresifitas penyakit.
Hal ini dapat dicapai dengan medikamentosa, pembedahan, atau tindakan
endourologi yang kurang invasif.

Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk:
a. mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik
penyebab obstruksi infravesica dengan obat-obatan penghambat α-adrenergik (α-
adrenergik blocker), dan
b. mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara
menurunkan kadar hormon testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui
penghambat 5α-reduktase.
Selain kedua cara di atas, sekarang banyak dipakai terapi menggunakan
fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.

Penghambat reseptor α-adrenergik

32
Caine adalah yang pertama kali melaporkan penggunaan obat penghambat α-
adrenergik sebagai salah satu terapi BPH. Pada saat itu dipakai fenoksibenzamin,
yaitu α-blocker yang tidak selektif dan ternyata mampu memperbaiki laju pancaran
miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun, obat ini tidak disenangi oleh pasien
karena dapat menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di
antaranya adalah hipotensi postural dan kelainan kardiovaskuler lainnya.
Pada penggunaan terapi untuk BPH, pemberian α1-bloker menyebabkan relaksasi
otot-otot trigon dan sfingter di leher kandung kemih serta otot polos kelenjar
prostat yang membesar, sehingga memperbaiki aliran urine serta gejala-gejala lain
yang menyertai obstruksi prostat tersebut.
Dalam golongan ini termasuk derivat kuinazolin dan beberapa obat lain, misalnya
indoramin dan urapidil.
Dalam kelompok ini (α1-blocker selektif) termasuk prazosin sebagai prototipe,
terazosin, doksazosin, alfulozin, dan tamsulozin. Semuanya merupakan
antagonis kompetitif pada reseptor α1 yang sangat selektif dan sangat poten.
Prazosin, terazosin, doksazosin, dan alfulozin mempunyai potensi yang sama pada
reseptor α1A, α1B, dan α1D. Tamsulozin lebih selektif untuk reseptor α1A (dan α1D)
dibanding terhadap α1B, sehingga lebih kuat memblok reseptor α1A di prostat.
Karena itu tamsulozin efektif untuk pengobatan BPH dengan hanya sedikit efek
terhadap darah.
a. Farmakodinamik. Efeknya yang utama adalah hasil hambatan reseptor α1
pada otot polos arteriol dan vena, yang minmbulkan vasodilatasi dan venodilatasi
sehingga menurunkan resistensi perifer dan aliran baik vena. Penurunan resistensi
perifer menyebabkan penurunan tekanan darah, tetapi biasanya tidak menimbulkan
refleks takikardi. Hal ini disebabkan:
- α1-bloker tidak memblok α2 prasinaps sehingga tidak meningkatkan
pelepasan NE dari ujung saraf (yang akan merangsang jantung melalui reseptor β 1
yang tidak diblok),
- penurunan aliran balik vena menyebabkan berkurangnya peningkatan
curah jantung dan denyut jantung (berbeda dengan vasodilator murni, misalnya
hidralazin, yang tidak menyebabkan venodilatasi),
- bekerja sentral untuk mengurangi pelepasan NE dari ujung saraf di
perifer, dan
- menekan fungsi baroreseptor pada pasien hipertensi.

33
Karena efek vasodilatasinya, maka aliran darah di organ-organ vital (otak, jantung,
ginjal) dapat dipertahankan, demikian juga dengan aliran darah perifer di
ekstremitas.
Kelompok obat ini cenderung mempunyai efek yang baik terhadap lipid serum
pada manusia, menurunkan kolesterol LDL dan trigliserid serta meningkatkan
kadar kolesterol HDL.
b. Farmakokinetik. Semua derivat kuinazolin diabsorpsi dengan baik pada
pemberian oral, terikat kuat pada protein plasma (terutama α1-glikoprotein),
mengalami metabolisme yang ekstensif di hati, dan hanya sedikit yang diekskresi
utuh melalui ginjal.Perbedaan utama terletak pada waktu paruh eliminasinya.
Prazosin mempunyai waktu paruh 2-3 jam sehingga harus diberikan 2-3 kali
sehari. Terazosin mempunyai waktu paruh 12 jam, sehingga harus diberikan 1-2
kali sehari. Sedangkan dosazosin dengan waktu paruh 20-22 jam dapat diberikan
sekali sehari. Tamsulozin mempunyai waktu paruh 5-10 jam, alfulozin 3-5 jam.
c. Efek samping. Efek samping utama yang potensial dapat terjadi pada
pemberian α1-bloker adalah fenomen dosis pertama, yakni hipotensi postural
yang hebat dan sinkop yang terjadi 30-90 menit setelah pemberian dosis pertama.
Hal ini disebabkan oleh penurunan tekanan darah yang cepat pada posisi berdiri
akibat mula kerja yang cepat tanpa disertai refleks takikardia sebagai kompensasi,
bahkan diperkuat dengan oleh kerja sentral mengurangi aktivitas simpatis; di
samping dosis awal yang terlalu besar. Fenomen ini juga terjadi pada peningkatan
dosis yang terlalu cepat atau pada penambahan antihipertensi kedua pada pasien
yang telah mendapat α1-bloker dosis besar. Toleransi terhadap fenomen ini terjadi
dengan cepat, mekanismenya tidak diketahui. Risiko terjadinya fenomen ini dapat
dikurangi dengan memberikan dosis awal yang rendah (1 mg prazosin) sebelum
tidur, meningkatkan dosis dengan perlahan, dan menambahkan antihipertensi
kedua dengan hati-hati. Pada pemberian α1-bloker, tekanan darah harus diukur
pada waktu berdiri maupun berbaring untuk melihat adanya efek postural ini.
Fenomen dosis pertama ini kecil kemungkinan terjadinya pada pemberian
doksazosin, karena selain dilakukan titrasi dosis yang hati-hati, obat ini
mempunyai mula kerja yang lambat (yang menyertai masa kerjanya yang panjang)
sehingga penurunan tekanan darah terjadi secara perlahan (gradual).
Efek samping yang paling sering berupa pusing (hipotensi postural), sakit kepala,
ngantuk, palpitasi, edema perifer, dan mual.

34
Terapi farmakologi BPH dapat dikategorikan menjadi 3 tipe, yaitu agen yang
bekerja merelaksasi otot polos prostate (menurunkan faktor dinamik), agen yang
mengganggu efek stimulasi testosterone pada kelenjar prostate yang membesar
(menurunkan faktor static), dan kombinasi terapi dari keduanya.
A. α-blockers,
Semua α-blocker memiliki kemanjuran klinik yang mirip. Terapi dengan α-blocker
brdasarkan hipotesis bahwa LUTS sebagian disebabkan oleh kontraksi otot polos
prostate dan leher kandung kencing yang dimediasi oleh α1-adrenergik yang
menghasilkan tersumbatnya saluran kemih. Agen ini merelaksasi sfingter intrinsik
uretral dan otot polos prostate namun tidak mengecilkan ukuran prostate.
Tiga generasi α-blockers telah digunakan dalam terapi BPH, namun efek antagonis
pada reseptor α2-adrenergik presinaptik yang menyebabkan takikardi dan aritmia
membuat generasi pertama agen ini digantikan dengan generasi kedua antagonis
α1-adrenergik postsinaptik dan generasi ketiga α1-adrenergik uroselektif.
Yang termasuk kedalam generasi kedua adalah prazosin, terazosin, doxazosin dan
alfuzosin. Terapi dengan obat – obat tersebut harus diawali dengan dosis rendah,
untuk meningkatkan toleransi terhadap kemungkinan terjadinya efek samping
seperti hipotensi ortostatik dan pening.
Tamsulosin adalah satu – satunya α-blocker generasi ketiga yang tersedia di
Amerika. obat ini bekerja secara selektif pada reseptor α1-adrenergik prostate yang
menyusun kurang lebih 70% dari reseptor adrenergic dari kelenjar prostate.
Blockade pada reseptor tersebut menghasilkan relaksasi otot polos dari prostate
dan kandung kemih tanpa menyebabkan relaksasi otot polos vaskuler perifer.
Obat T ½ Dosis lazim per hari Waktu mencapai
(jam efek puncak
) pada gejala BPH
Prazosin 2 – 2-10 mg dalam 2 atau 3 2 – 6 minggu
3 dosis terbagi
Terazosin 11 – 1-10 mg dosis tunggal, 2 – 6 minggu
14 maksimum 20 mg
Doxazosin 15 – 1 – 4 mg dosis tunggal, 2 – 6 minggu
19 maksimum 8 mg

35
Doxazosin 15 – 4 atau 8 mg dosis tunggal, Beberapa hari
GTS 19 maksimum 8 mg
Alfuzosin 10 mg dosis tunggal Beberapa hari
Tamsulosi 14 – 0,4 atau 0,8 mg dosis Beberapa hari
n 15 tunggal
a. Phenoxybenzamine
o Efek samping : Orthostatic hypotensi, Tachycardia, pusing, lemas, malaise,
sedasi, mulut kering, mual, muntah, inhibisi ejakulasi, miosis, nasal kongesti,
perasaan mengantuk
o Kontraindikasi : hipersensitifitas terhadap phenoxybenzamine, segala kondisi
dengan tekanan darah lemah, Orthostatic hypotensi
o Farmakokinetik : T1/2=24jam, onset=beberapa jam, durasi=beberapa hari,
bioavaibilitas=20-30%, metabolism=di hati, metabolit= N-phenoxyisopropyl-
benzylamine, eksresi=melalui urin dan feses
o Farmakodinamik : alfa bloker, nonkompetitif terhadap blockade alfa-
adrenergik sinapsis post ganglioner pada otot polos, kelenjar eksokrin
b. Prazosin
o Efek samping : pusing (10%), perasaan mengantuk (8%), sakit kepala (8%),
lemah (7%), asthenia (6,5%), mual (5%), palpitasi (5%), edema, Orthostatic
hypotensi, syncope, demam, ruam, sakit pada abdominal, diare, muntah, tes fungsi
hepar abnormal, impotensi, pancreatitis, inkontinensia urin
o Kontraindikasi : hipersensitifitas
o Farmakokinetik :
- Absorpsi : Bioavailability: 43-82%, Onset: sekitar 2 jam, Durasi: 10-24 jam,
Peak effect: 2-4 jam, Peak plasma time: 2-3 jam
- Distribusi : ikatan protein (97%)
- Metabolism : di hepar
- Eliminasi : T1/2 (2-3jam) dan eksresi di urin (6-10%), feses (melalui empedu)
o Farmakodinamik : Alpha-1 blocker menghambat postsinapsis reseptor alfa-
adrenergik, menyebabkan dilatasi arteri dan vena dan penurunan tekanan darah
c. Terazosin
o Efek samping : pusing, somnolens, palpitasi, sakit kepala ringan, hipotensi
o Kontraindikasi : hipersensitifitas terhadap terazosin atau golongan quinazoline

36
o Farmakokinetik :
- Absopsi : Bioavailabilitas: 90%, Onset (benign prostate hyperplasia): 2
minggu, Durasi: 24 jam, Peak response (benign prostate hyperplasia): 4-6 minggu,
Peak plasma time: 1 jam
- Distribusi : ikatan protein (90-94%)
- Metabolism : dimetabolisme melalui hidrolisis, O-demethylasi dan N-
dealkilasi di hati. Hasil metabolit = 6- dan 7-O-demethyl terazosin, piperazine
derivative, diamine metabolite
- Eliminasi : T1/2=9-12jam, renal clearance=9-12,5mL/menit,
ekskresi=feses(55-60%) dan urin (40%)
o Farmakodinamik : memblok reseptor alfa 1 post-sinapsis, pemblokan alfa ini
menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Agen yang selektif menyebabkan takikardi
yang lebih ringan daripada agen nonselektif
d. Doxazosin
o Efek samping : pusing, sakit kepala, lemah
o Kontraindikasi : hipersensitifitas terhadap doxazosin
o Farmakokinetik :
- Absorpsi : Bioavailability: Immediate release, 65%; extended release, 54-59%
Onset (BPH response): Initial, 2 minggu; peak, 4-6 minggu
Durasi: 24 jam
Peak plasma time: 2-3 jam
- Distribusi : ikatan protein (99%)
- Metabolisme : di hepar, metabolit= Metabolites: 6- dan 7-O-demethyl
metabolites, 6'- dan 7'-hydroxy metabolites, metabolit kecil lainnya
- Eliminasi : T1/2=22jam(cepat) dan 15-19jam(jangka panjang),
ekskresi=feses(65%), urin (0,6-9%)
o Farmakodinamik : memblok reseptor alfa 1 pada stroma prostat dan jaringan
vesica urinaria, mengurangi simpatetik urethral yang menyebabkan gejala BPH

e. Tamsulosin
o Efek samping : sakit kepala, hipotensi orthostatic, rhinitis, ejakulasi abnormal,
pusing, athralgia, infeksi
o Kontraindikasi : hipersensitifitas terhadap Tamsulosin

37
o Farmakokinetik :
- Absorbsi : Bioavailability: Fasting 30%, Onset: 4-8 jam, Peak plasma time:
dengan makanan, 6-7 jam; puasa, 4-5 jam
- Distribusi : ikatan protein (90%)
- Metabolisme : di liver, metabolit=glukoronid dan konjugasi sulfat (inaktif)
- Eliminasi : T1/2=14-15jam, ekskresi=urin(76%), feses(21%)
o Farmakodinamik : memblok reseptor alfa-1a adrenergic pada otot polos
prostat, menurunkan resistensi collum vesica urinaria dan uretra

B. 5α-reductase-inhibitors (finasteride atau dutasteride),


Merupakan obat pilihan untuk pasien dengan LUTS sedang/berat dan prostate
membesar (>40 g). kedua obat tersebut menurunkan volume prostate hingga 20-
30% dan memiliki kemanjuran klinik yang mirip. 5α-reductase-inhibitors dapat
mencegah perkembangan BPH, meningkatkan skor gejala hingga 15% dan juga
dapat menyebabkan peningkatan yang lumayan pada aliran berkemih yaitu 1,3 –
1,6 mL/s (Rosette, et al., 2004).
1a. Finasteride
Finasteride lebih efektif diberikan kepada pasien dengan prostat lebih besar dari
pada 40 mL. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa finasteride secara
signifikan dapat mengurangi retensi urin akut dan pembedahan pada penderita
BPH. Finasteride juga mampu menurunkan tingkat PSA dalam serum (Rosette, et
al., 2004).
Finasteride memiliki efek samping yang berkaitan dengan fungsi seksual. Pada
sebuah penelitian, dilaporkan terjadinya efek samping penurunan libido (6,4%),
impoten (8,1%), penurunan ejakulat (3,7%) dan kurang dari 1% pasien mengalami
keluhan lain seperti kemerahan, pembesaran dan pelembekan payudara (Rosette,
et al., 2004).
1b. Dutasteride
Dutasteride merupakan 5α-reductase-inhibitors nonselektif yang menekan isoenzin
tipe 1 dan 2, dan sebagai konsekuensinya lebih cepat dan lebih efektif dalam
menurunkan produksi DHT intraprostat dan tingkat DHT serum hingga 90%.

3. Kombinasi terapi α1-adrenergic antagonist dengan 5α-reductase-inhibitors

38
Idealnya diberikan kepada pasien dengan gejala berat, yang juga mengalami
pembesaran prostat lebih dari 40 g dan tingkat PSA sedikitnya 1,4 ng/mL.
kekurangan dari terapo kombinasi ini adalah meningkatnya biaya pengobatan, dan
peningkatan kejadian munculnya efek yang tidak diharapkan.

Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki
gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologis tentang kandungan
zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai anti-estrogen,
anti-androgen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin(SHBG),
inhibisi basic fibroblast growth factor(bFGF) dan epidermal growth factor
(EGF), mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek antiinflamasi,
menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat.
Di antara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah Pygeum africanum, Serenoa
repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica, dan masih banyak lainnya.

Terapi Non - Farmakologis


Watchfull waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS <7, yaitu
keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak
mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai hal-hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
a. jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam,
b. kurangi konsumsi makanan atau minuman yang dapat mengiritasi vesica
urinaria (kopi atau cokelat),
c. batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
d. kurangi makanan pedas dan asin, dan
e. jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya apakah
keluhannya menjadi lebih baik (sebaiknya menggunakan skor yang baku), di
samping itu, dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urine, atau uroflometri.

39
Jika keluhan miksi bertambah buruk daripada sebelumnya, mungkin perlu
dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.
Pembedahan terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari Millin,
yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubic
infravesica, Freyer melalui pendekatan suprapubic transvesica, atau transperineal.
Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih banyak
dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH.
Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubic transvesical
(Feyer) atau retropubic infravesical (Millin). Prostatektomi terbuka dianjurkan
untuk prostat yang sangat besar (>100 gram).
Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka ialah inkontinesia urine
(3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrogad (60-80%), dan kontraktur leher
vesica urinaria (3-5%). Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100%, dan angka
mortalitas sebanyak 2%.

TURP (Reseksi prostat transurethra)


Reseksi kelenjar prostat dilakukan transurethra dengan mempergunakan cairan
irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup
oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionic, yang
dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang
sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik, sehingga cairan
ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka
pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia
relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma
ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah
meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan
mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka
mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP, operator harus membatasi
diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu, beberapa
operator memasang sistostomi suprapubic terlebih dahulu sebelum reseksi yang
diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik. Penggunaan

40
cairan non ionik lain selain H2O yaitu glisin, yang dapat mengurangi risiko
hiponatremia pada TURP, tetapi karena harganya cukup mahal, beberapa klinik
urologi di Indonesia memilih pemakaian aquades sebagai cairan irigasi.

Kontrol berkala
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu
dikontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal
kontrol tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalaninya.
Pasien yang hanya mendapatkan pengawan (watchfull waiting) dianjurkan kontrol
setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan
klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor IPSS, uroflometri, dan residu
urine pasca miksi.
Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5α-reduktase harus dikontrol pada
minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai respon terhadap terapi. Kemudian
setiap tahun untuk menilai perubahan gejala miksi. Pasien yang menjalani
pengobatan penghambat α-adrenergik harus dinilai respons terhadap pengobatan
setelah 6 minggu dengan melakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, dan residu
urine pasca miksi. Kalau terjadi perbaikan gejala tanpa menunjukkan penyulit
yang berarti, pengobatan dapat diteruskan. Selanjutnya kontrol dilakukan setelah 6
bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien setelah menerima pengobatan secara
medikamentosa dan tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan, perlu dipikirkan
tindakan pembedahan atau terapi intervensi yang lain.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambatt 6 minggu
pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol
selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.
Pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal harus menjalani kontrool secara
teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan
setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal, selain
dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan juga pemeriksaan kultur urine.

3.9. Komplikasi

41
1. Lokal

Hiperplasi prostat dapat menyebabkan penyempitan lumen ureta posteio yang


menghambat aliran urin dan meningkatkan tekanan intravesikal. Buli – buli
kontaksi lebih kuat untuk melawan tahanan tersebut maka timbul peubahan
anatomis yang dinamakan fase kompensata akan terjadi hipetrofi otot detusor,
trabekulasi, sakulasi, diverkulasi.

Apabila Buli – buli menjadi dekompensasi, akan tejadi retensi urin. Karena
produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli – buli tidak mampu lagi
menampung urin sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul
hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal.Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
terbentuk batu endapan pada buli – buli.Batu ini dapat menambah keluhan iritasi
dan menimbulkan hematuria.Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan
bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.Ini dinamakan komplikasi lokal dari
BPH.

2. General

- Peritonitis,bila vesica urinaria pecah dan meyebar ke rongga peritonium

- Anemia , sindroma uremia , asidosis metabolik , bila terjadi gagal ginjal.

3.10. Pencegahan
Untuk menghindari gangguan prostat, pria yang berusia 40 tahun ke atas perlu
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Menjalankan pola hidup yang sehat. Cara yang paling sederhana adalah
mengkonsumsi buah-buahan yang mengandung antioksidan yang penting bagi
prostat, seperti tomat, alpukat, dan kacang-kacangan.
b. Cukupi kebutuhan lemak essensial. Asam lemak omega-3 dan mineral seng
(Zn) dapat mengurangi gejala gangguan prostat. Makanan yang kaya akan katekin,
terutama epigalokatekin galat (epigallocatechinsgallate), selenium, sulforafan, dan
vitamin C mendorong kemampuan sistem kekebalan tubuh dan menghilangkan
racun pencetus kanker (karsinogenik). Tidak hanya itu, zat-zat tersebut juga

42
meningkatkan pembentukan enzim penumpas sel tumor dan kanker, termasuk
kanker prostat.
c. Sering mengkonsumsi kubis-kubisan. Beberapa hasil penelitian
menyebutkan pria yang sering mengkonsumsi kubis-kubisan kurang berisiko
mendapatkan gangguan prostat.
d. Periksalah kesehatan prostat secara rutin ke dokter. Ini untuk
mengantisipasi munculnya gangguan pada prostat. Jika ditemukan adanya
masalah, maka masalah tersebut dapat ditangani dan diterapi dengan cepat.
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS <7, yaitu
keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak
mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai hal-hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
 jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam,
 kurangi konsumsi makanan atau minuman yang dapat mengiritasi vesica
urinaria (kopi atau cokelat),
 batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
 kurangi makanan pedas dan asin, dan
 jangan menahan kencing terlalu lama

3.11. Prognosis
Lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan sebagian atau perbaikan dari gejala
yang dialami. Sekitar 10-20% akan mengalami kekambuhan penyumbatan dalam
lima tahun. Apabila tidak segera ditindak, BPH memiliki prognosis buruk karena
dapat berkembang menjadi kanker prostat.

4. Memahami dan Mempelajari Pandangan Islam Terhadap Melihat Aurat


untuk Pemeriksaan.
Berikut beberapa aturan dalam melihat aurat lawan jenis saat berobat:

43
 Pertama: Tetap didahulukan yang melakukan pengobatan pada pria adalah dari
kalangan pria, begitu pula wanita dengan sesama wanita. Ketika aurat wanita
dibuka, maka yang pertama didahulukan adalah dokter wanita muslimah, lalu
dokter wanita kafir, lalu dokter pria muslim, kemudian dokter pria kafir. Jika
cukup yang memeriksa adalah dokter wanita umum, maka jangalah membuka
aurat pada dokter pria spesialis.Jika dibutuhkan dokter spesialis wanita lalu tidak
didapati, maka boleh membuka aurat pada dokter spesialis pria.
 Kedua: Tidak boleh melebihi dari bagian aurat yang ingin diperiksa. Jadi
cukup memeriksa pada aurat yang ingin diperiksa, tidak lebih dari itu. Si dokter
juga berusaha menundukkan pandangannya semampu dia. Jika sampai ia
melampaui batas dari yang dibolehkan ketika memeriksa, hendaklah ia perbanyak
istighfar pada Allah Ta’ala.
 Ketiga: Jika dapat mendeteksi penyakit tanpa membuka aurat, maka itu sudah
mencukupi. Namun jika ingin mendeteksi lebih detail, kalau cukup dengan
melihat, maka jangan dilakukan dengan menyentuh.Jika harus menyentuh dan bisa
dengan pembatas (penghalang seperti kain), maka jangan menyentuh
langsung.Demikian seterusnya.
 Keempat: Disyaratkan ketika seorang dokter pria mengobati pasien wanita
janganlah sampai terjadi kholwat (bersendirian antara pria dan wanita). Hendaklah
wanita tadi bersama suami, mahram atau wanita lain yang terpercaya.
 Kelima: Dokter pria yang memeriksa benar-benar amanah, bukan yang
berakhlak dan beragama yang jelek. Dan itu dihukumi secara lahiriyah.
 Keenam: Jika auratnya adalah aurat mughollazoh (yang lebih berat dalam
perintah ditutupi), maka semakin dipersulit dalam melihatnya. Hukum asal melihat
wanita adalah pada wajah dan kedua tangan.Melihat aurat lainnya semakin
diperketat sesuai kebutuhan.Sedangkan melihat kemaluan dan dubur lebih
diperketat lagi.Oleh karena itu, melihat aurat wanita saat melahirkan dan saat
khitan lebih diperketat.
 Ketujuh: Hajat (kebutuhan) akan berobat memang benar-benar terbukti, bukan
hanya dugaan atau sangkaan saja.
 Kedelapan: Bentuk melihat aurat saat berobat di sini dibolehkan selama aman
dari godaan (fitnah).

44
[Diringkas dari penjelasan Syaikh Sholih Al Munajjid dalam Fatawa Al Islam
Sual wal ]

Daftar Pustaka

FKUI, Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi dan Terapi,


5TH Ed. Jakarta: EGC

FKUI. Buku Ajar Uroginekologi. Jakarta: FKUI

45
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 2NDVol,
6THEd. Jakarta: EGC

Putz, Reinhard & Reinhard Pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta, 2ND Vol,
22ND Ed. Jakarta: EGC

Ramsey EW, Elhilali M, Goldenberg SL, Nickel CJ, Norman R, Perreault JP


etal.Practice patterns of Canadian urologist in BPH and prostate cancer. J
Urol163:499-502, 2000

Robbins, Stanley L. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, 2ND Vol, 7TH Ed. Jakarta: EGC

Tausikal, M. A. 2012. Aturan Melihat Aurat Lawan Jenis Saat Berobat. ---
http://rumaysho.com/muslimah/aturan-melihat-aurat-lawan-jenis-saat-berobat-
2763 10 April 2016 11:49

Sherwood Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. EGC :
JAKARTA
Siti setiati, Idrus Alwi, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi kelima.
Jakarta Pusat

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, Edisi 6.


Jakarta: EGC

46

Anda mungkin juga menyukai