Bismillahirrahmanirrahiim
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul
“ASUHAN KEPERAWATAN Tn. S DENGAN GANGGUAN RASA NYAMAN POST
TVP PENYAKIT BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA”
Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA
atau yang lebih khususnya membahas tentang etiologi ,Patofisiologi serta Asuhan
keperawatan BPH. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN PENULISAN
C. METODE PEENULISAN
D. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB II KONSEP DASAR
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Anatomi dan Fisiologi
2. Pengertian
3. Etiologi
4. Patofisiologi
5. Manifestasi Klinis
6. Penatalaksanaan
B. KONSEP KEBUTUHAN DASAR GANGGUAN RASA NYAMAN
1. Pengkajian Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
2. Diagnosa Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
3. Fokus Intervensi Dan Rasionalnya Gangguan Kebutuhan Rasa
Nyaman.
BAB III RESUME ASKEP
A. Pengkajian Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien
B. Pathways Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien
C. Diagnosa Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien,
Dan Fokus Intervensi Dan Rasionalnya Gangguan Kebutuhan Rasa
Nyaman Pada Pasien.
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
Simpulan Dan Saran.
BAB I
PENDAHULUAN
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan gangguan rasa nyaman
pada Tn N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
2. Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan gangguan rasa
nyaman pada Tn N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
b. Mahasiswa mampu membuat pathways keperawatan gangguan rasa
nyamanpada Tn N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
c. Mahasiswa mampu membuat diagnosa keperawatan gangguan rasa
nyamanpada Tn N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
d. Mahasiswa mampu membuat intervensi keperawatan gangguan rasa
nyamanpada Tn N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
C. METODE PENULISAN
1. Metode Diskriptif yang menggunakan pendekatan studi kasus melalui
pendekatan proses keperawatan dengan langkah pengkajian, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi.
2. Sumber data :
Studi kepustakaan dengan mempelajari buku sumber yang berhubungan dengan
masalah Benigna Prostat Hiperplasia.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan seminar/presentasi keperawatan penulis membagi 5 BAB :
1. BAB I : PENDAHULUAN yang berisi latar belakang, tujuan penulisan, metode
peenulisan dan sistematika penulisan.
2. BAB II : KONSEP DASAR yang berisi konsep dasar BPH yang meliputi
pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis dan penatalaksanaan. Konsep
kebutuhan dasar gangguan rasa nyaman meliputi pengkajian fokus gangguan
kebutuhan rasa nyaman, pathways keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman,
diagnosa keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman, dan fokus intervensi dan
rasionalnya gangguan kebutuhan rasa nyaman.
3. BAB III : RESUME ASKEP BPH berisi Pengkajian fokus gangguan kebutuhan
rasa nyaman pada pasien, pathways keperawatan gangguan kebutuhan rasa
nyaman pada pasien, diagnosa keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman
pada pasien, dan fokus intervensi dan rasionalnya gangguan kebutuhan rasa
nyaman pada pasien.
4. BAB IV : PEMBAHASAN berisi kesenjangan antara teori dan kasus, disertai
justifikasi yang jelas.
5. BAB V : PENUTUP berisi simpulan dan saran.
BAB II
KONSEP DASAR
4. Patofisiologi BPH
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi
secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad,
resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan
destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin.
Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan
aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes,
kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien
mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga
menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang
tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya
tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap
berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi
pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat
berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan
sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk
akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
4) warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih
tua.
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai
tanda dan gejala:
1. Hemorogi
a. Hematuri
b. Peningkatan nadi
c. Tekanan darah menurun
d. Gelisah
e. Kulit lembab
f. Temperatur dingin
2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a. bingung
b. agitasi
c. kulit lembab
d. anoreksia
e. mual
f. muntah
6. Penatalaksanaan BPH
1) Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan
agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum
alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari
mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien
agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu
lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung
kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan,
pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur
(Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat
diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau
ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran
urin.
2) Terapi medikamentosa Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat
yang diberikan pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi
untuk mengurangi tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan
alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut
Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat
enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
1) Penghambat adrenergenik alfa Obat-obat yang sering dipakai adalah
prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau yang lebih selektif alfa
1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin
adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik
karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa
merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-
reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher
vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah
prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan
laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars
prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala
berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan
dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang
mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada
obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu
dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer,
dekongestan, obat- obat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih
dan sfingter uretra.
2) Pengahambat enzim 5 alfa reduktase Obat yang dipakai adalah
finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini
dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang
membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari
golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang
besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru
menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12
bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat
memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari
obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3) Fitofarmaka/fitoterapi Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia
antara lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw
palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah
pemberian selama 1- 2 bulan dapat memperkecil volum prostat.
3) Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin
berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan
perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien
bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer
dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan
terbuka dan pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang
biasa digunakan adalah :
a) Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih,
dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan
untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin
terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding
dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi
abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen
mayor.
b) Prostatektomi perineal Adalah suatu tindakan dengan mengangkat
kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis
dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi
luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan
rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah
inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
c) Prostatektomi retropubik Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan,
dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu
antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam
pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan
letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi
diruang retropubik.
A. BIODATA
1. Identitas pasien
Nama : Tn. Sugiyan
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah 1 kali
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tani
Alamat : Pucang Gading RT/RW : 07/11 ,Mranggen,Demak
Tanggal Masuk : 22 Juni 2015
No. Register : 198785
Diagnosa medis : BPH
2. Penanggung jawab
Nama : Ny. Neli Darwati
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : MTs
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hub. dengan pasien : Istri
B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Keluhan Utama
Perut bagian kiri sakit, dada sakit
2. Riwayat penyakit sekarang
a. Alasan dirawat dirumah sakit / perjalanan penyakit
BAK sulit
b. Faktor pencetus
Umur sudah tua
c. Lamanya keluhan
2 hari
d. Timbulnya keluhan (bertahap/mendadak)
bertahap
e. Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Jika sakit dipijitkan
3. Riwayat perawatan dan kesehatan dahulu
Pernah dirawat di Puskesmas selama 1 minggu karena typoid
4. Riwayat kesehatan keluarga
Paman pernah menderita tumor
D. PENGKAJIAN FISIK
1. Keadaan umum : Baik
2. Tingkat kesadaran : Composmentis
3. Tanda-tanda vital
a. Suhu tubuh : C
b. Tekanan darah : 150/82 mmHg
c. Respirasi : 28x/menit, cepat, teratur
d. Nadi : 82 x/menit, kuat, teratur
e. Pengkajian nyeri : Nyeri dada kanan, skala 2
4. Pengukuran antropometri : LiLA= 29 cm
5. Kepala : Mesocephal
a. Rambut
warna hitam, lebat, nampak bersih
b. Mata
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
c. Hidung
hidung nampak bersih
d. Telinga
pendengaran baik, telinga nampak bersih
e. Mulut
bibir tidak kering, tidak ada ginggivitis
1. Leher dan tenggorok : tonsil tidak membesar
2. Dada dan thorak
Bentuk dada simetris
3. Paru-paru : tidak ada ronchi dan wheezing
4. Jantung : Ictus cordis tidak tampak
5. Abdomen : luka operasi post prostatektomi
6. Genital : nampak bersih, terpasang kateter
7. Ekstremitas
a. Inspeksi kuku, kulit
Tidak sianosis, turgor baik, tidak ada edema
b. Capillary refill
< 2 detik
c. Kemampuan berfungsi
Tonus otot baik
d. Bila terpasang infus
tidak ada nyeri tekan pada daerah tusukan infus
8. Kulit
Kulit nampak bersih, warna sawo matang, turgor baik, tidak ada edema
E. DATA PENUNJANG
1) Hasil pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Hematologi
Hb : 10,0 g/dL
Hematokrit : 32,9 %
Leukosit : 10.000 sel/mm3
Trombosit : 206.000 sel/mm3
Eritrosit : 3,5 juta/mm3
Urinalisa
Bau : Khas
Warna : Kuning
Kekeruhan : Keruh
Ph : 7,0
Protein :+
Reduksi :-
Keton :-
Bilirubin :-
Urobilin :-
Nitrit :-
BJ urin : 1,010
Sedimen
Eritrosit : 6-8
Lekosit : 25-30 (ada yang bergelombang)
Bakteri : positif
Benang mucus : +
Kristal : AMORS/+
b. Pemeriksaan Radiologi
X Foto BNO - IVP :
UTI dikedua ginjal
Cystitis
Pembesaran kelenjar prostat
c. Pemeriksaan UGS
Kesan :
Cystitis
Pembesaran kelenjr prostat (vol = 37 cm3)
Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya secara sonografi
PENGELOMPOKAN DATA
NO TGL DATA (DS DAN DO) TTD & NAMA
1. Selasa, 30 DS :
juni 2015 Pasien mengatakan perut sebelah kiri sakit, dada sakit.
DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N : 78X/menit, S : 35,6 ; RR
20X/menit ; Terpasang DC, Drain, dan Infus RL 20
tpm
2. Rabu,1 DS :
juni 2015 Pasien mengatakan masih nyeri di perut bagian luka
post operasi, pasien mengatakan tidak nafsu makan,
ingin cepat pulang ke rumah.
DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka post operasi
3. Jum’at, 3 DS :
juni 2015 Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang (< 3)
DO :
Pasien tampak lemas, tidak banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain
ANALISA DATA
DATA (DS dan DO) MASALAH (P) ETIOLOGI (E)
DS : Nyeri akut Agen cidera fisik :post operasi
Pasien mengatakan perut TVP
sebelah kiri sakit, dada sakit.
DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N :
78X/menit, S : 35,6 ; RR
20X/menit ; Terpasang DC,
Drain, dan Infus RL 20 tpm
DS : Resiko infeksi Prosedur invasif :luka post
Pasien mengatakan masih operasi TVP
nyeri di perut bagian luka post
operasi, pasien mengatakan
tidak nafsu makan.
DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang
terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka
post operasi
Pasien mengatakan nyeri Hambatan mobilitas Ketidaknyamanan :pemasangan
sudah berkurang (< 3), lemas. fisik kateter, luka post operasi.
DO :
Pasien tampak lemas, tidak
banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain
DIAGNOSA KEPERAWATAN
4. Bantuan
perawatan diri
TINDAKAN KEPERAWATAN
NO DX TGL/JAM TINDAKAN RESPON PS TTD &
NAMA
30 juni Manajemen nyeri : Nyeri sedikit berkurang
1. 2015 Teknik relaksasi napas dalam Lebih nyaman
CATATAN PERKEMBANGAN
NO DX WAKTU EVALUASI TTD &
(TGL/JAM) NAMA
Selasa, S : pasien mengatakan nyeri di luka post operasi
1. 30 juni 2015 O : KU baik, pasien tampak menahan nyeri, terpasang
infus di tangan kanan, terpasang drain, dan terpasang
kateter
A : masalah teratasi sebagian, nyeri berkurang
P : manajemen relaksasi napas dalam
Rabu,1 juni S : pasien mengatakan nyeri pada luka post operasi
2. 2015 O : TD 110/60 mmHg, S 36 º c, N 80x/menit, RR
20x/menit, terpasang infus di tangan kanan, terpasang
drain, dan terpasang kateter
A : nyeri berhubungan dengan insisi luka
P : perawatan luka, perawatan kateter, mengganti
botol drain.
Jum’at, 3 juni S : pasien mngetakan lemas, takut untuk bergerak,
3. 2015 duduk dan berdiri.
O : pasien sering tidur, tampak lemah
A : hambatan mobilitas fisik
P : mobilisasi dini
PATHWAYS
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic
Hypertrophy (BPH) adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi dari
elemen seluler prostat. Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar timbul dari
proliferasi epitel dan stroma, gangguan diprogram kematian sel (apoptosis), atau
keduanya. (Detters, 2011).
BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di zona
periuretra dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan pembesaran
prostat yang dapat menyumbat aliran urin dari kandung kemih. BPH dianggap
sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria yang tergantung pada
hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT). Diperkirakan 50% pria
menunjukkan histopatologis BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini meningkat
menjadi 90% pada usia 85 tahun. (Detters, 2011).
Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat dan
Bladder Outlet Obstruction (BOO) disebut Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS). Ini juga sering disebut sebagai prostatism, meskipun istilah ini jarang
digunakan. Pernyataan ini tumpang tindih, tidak semua laki-laki dengan BPH
memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT mengalami BPH. Sekitar
setengah dari pria yang didiagnosis dengan BPH histopatologi menunjukkan LUT
berat. (Detters, 2011).
Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang air
kecil yang tidak dapat ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk buang air
kecil), atau polakisuria (sensasi buang air kecil yang tidak puas). Komplikasi
terjadi kurang umum tetapi mungkin dapat terjadi acute urine retention (AUR),
pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan untuk operasi korektif, gagal
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung kemih, atau gross
hematuria. (Detters, 2011).
Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan
BPH. Selain itu gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada pria dengan
BPH yang tidak diobati dan risiko AUR sehingga kebutuhan untuk operasi
korektif meningkat. (Detters, 2011).
Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami
kewaspadaan pada komplikasi BPH. Pasien dengan LUT ringan dapat diobati
dengan terapi medis pada awalnya. Transurethral resection of the prostate
(TURP) dianggap standar kriteria untuk menghilangkan BOO yang disebabkan
BPH. Namun, ada minat yang cukup besar dalam pengembangan terapi minimal
invasif untuk mencapai tujuan TURP sambil menghindari efek samping. (Detters,
2011)
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia di Ruang Bedah Campuran RSUP Fatmawati.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. M dengan
Benigna Prostat Hiperplasia.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. M dengan
Benigna Prostat Hiperplasia.
c. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada Tn. M dengan
Benigna Prostat Hiperplasia.
d. Mampu melakukan pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. M
dengan Benigna Prostat Hiperplasia.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Laporan Kasus Lengkap ini adalah :
1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa mengenai penanganan
keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia.
2. Memberikan motivasi bagi semua perawat untuk melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia.
D. Metode Penulisan
Dalam penulisan laporan ini ditempuh dengan metode-metode tertentu
untuk mengumpulkan data dan mengolah data tersebut. Untuk pengumpulan
data dilakukan dengan metode dokumentasi yaitu mengumpulkan berbagai
sumber yang memuat materi yang terkait dengan Benigna Prostat Hiperplasia.
Sumber tersebut diperoleh melalui beberapa buku keperawatan, internet, pasien
serta keluarga pasien. Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan
metode kualitatif dengan jalan menyusun data-data atau fakta yang ada dan
telah diperoleh secara sistematis serta menuangkannya dalam suatu Laporan
Kasus Lengkap.
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum
pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi prostat.
Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih
dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan
hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes,
Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra
Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli
(Poernomo, 2000, hal 74).
2. Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa
pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari
androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron
dengan bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama
pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk
dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan
bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor
membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan
mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi
protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan
keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur
diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian
estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam
(bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme,
bagian inilah yang mengalami hiperplasia. (Hardjowidjoto,2000).
Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnyahiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada
usia lanjut.
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
3. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan
berat normal pada orang dewasa ± 20gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan
bukunya Basuki (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Basuki,
2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi
konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron,
yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi dehidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang
secaralangsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnyadisebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatankontraksi detrusor. Secara garis besar,
detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat
oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadiresistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor
akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi
akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat
menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin. Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksiwalaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi
sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan
terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinariamenjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluksmenyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
a. Normal : Tidak ada sisa
b. Grade I : sisa 0-50 cc
c. Grade II : sisa 50-150 cc
d. Grade III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan
pada pasien dengan BPH adalah :a. Laboratorium
1. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b. Pencitraan1).
Foto polos abdomenMencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau
kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi
urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
3. IVP ( Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
4. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal )
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
5. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika
dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan
pada pasien dengan BPH adalah :
1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa
prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi
urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit
pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau
mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel,
tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
6. Penatalaksanaan Medis
1. Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS
yang diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan
(IPSS ≤ 7 atau Madsen Iversen ≤ 9), dilakukan watchful waiting atau
observasi yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan
pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang
tidak terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat
memulai terapi dengan malakukan watchful waiting. Saran yang diberikan
antara lain :
a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).
b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).
c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi
frekuensi miksi).
d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.
2. Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan
adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :
a. Sisa kencing yang banyak
b. Infeksi saluran kemih berulang
c. Batu vesika
d. Hematuria makroskopil
e. Retensi urin berulang
f. Penurunan fungsi ginjal
Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral
Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai
berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi
toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain perdarahan,
infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang
TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila
volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik.
Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu
besar.
Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi
terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan
mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan
apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor /
divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari
100cc.(Sjamsuhidajat, 2004)
A. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan
klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ).
a. Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
a. Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai,
pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien
adalah laki – laki berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak
dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ).
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah
nyeri yang berhubungan dengan spasme buli – buli. Pada saat
mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat
atau meringankan nyeri ( provokative / paliative ), rasa nyeri yang
dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu
serangan, lama, kekerapan (time).
c. Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower
Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin
lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai
miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang
dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala
untuk pertama kali atau berulang.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan
keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus,
Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan
gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit
pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya
riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti
: Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
f. Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta
hubungan interaksi pasca tindakan TURP.
g. Pola – pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring
selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme
buli – buli memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi
dokter. (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum
sebelum flatus .
3) Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi
urin dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter.
Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas
(Sunaryo, H, 1999: 35)
4) Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan
terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang
dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih
diperlukan.
5) Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
6) Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan
Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang
perawatan dan komplikasi pasca TURP.
8) Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat
mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga
tempat kerja dan masyarakat.
9) Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi
retrograd ( Sunaryo, H, 1999: 36 j ).
10) Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang
perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada
klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam
menjalankan ibadahnya .
h. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :
1) Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik,
kecuali bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal
( 6 jam ) pasca operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila
keadaan tetap stabil interval monitoring dapat diperpanjang
misalnya 3 jam sekali (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997
: 20 ).
2) Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami
kelumpuhan pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi
mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
3) Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP.
Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan
observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan
dan haluaran.
4) Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot)
dan mati rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).
5) Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah
(Oswari, 1989 : 40) . Kaji bising usus dan adanya massa pada
abdomen .
6) Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri .
Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika
terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol,
terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing
(Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan
cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 – 24 jam (Doddy,
2001 : 6).
7) Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang
direkatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
(Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).
i. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya
dan perlu diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di
periksa ulang bila terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan
nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu diulang secara berkala
terlebih lagi bila sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat.
Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindroma
TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur urin
dan kultur darah ( Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21
).
a) Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan
setelah kateter dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr.
Soetomo, 1994 : 114).
b) Analisa dan sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa
kemudian data tersebut dirumuskan ke dalam masalah
keperawatan . Adapun masalah yang mungkin terjadi pada klien
BPH pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi
infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi
ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan,
kurang pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi
seksual .
B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli : reflek spasme otot
sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.
2. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan .
3. Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi
(TURP).
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli.
5. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan anastesi .(
Marilynn, E.D, 2000 : 683 )
C. Rencana Keperawatan
1. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan anastesi.
a. Tujuan
Pola napas tetap efektif
b. Kriteria hasil
Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas dalam batas
normal, melakukan batuk dan napas dalam tanpa kesulitan.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Bantu klien dengan spirometer insentif jika dianjurkan.
Rasional: memaksimalkan ekspansi paru.
2) Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam tiap 2 jam.
Rasional: merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret.
3) Kaji bunyi napas tiap 4 jam.
Rasional: Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas pada tim
medis.
4) Kaji kulit terhadap tanda sianosis dan diaforesis.
5) Pantau dan laporkan gejala gangguan pertukaran gas kacau.
Rasional : (c, d, e, f): deteksi dini ketidakefektifan pola napas.
6) Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk mengurangi
nyeri.
Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu klien melakukan
latihan batuk dan napas dalam secara efektif.
2. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah
berlebihan.
a. Tujuan
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
b. Kriteria hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil,
nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan
keluaran urin tepat.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.
Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan atau
pembentukan bekuan darah dan pembenaman kateter pada distensi buli-buli.
2) Pantau masukan dan haluaran cairan.
Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3) Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau berlanjut.
Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi perlu
pendekatan perineal. Perdarahan kontinu / berat atau berulangnya
perdarahan aktif memerlukan intervensi / evaluasi medik.
4) Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh : Merah terang dengan bekuan
darah.
Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
5) Peningkatan veskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap.
Rasional : menunjukkan perdarahan vena, biasanya berkurang sendiri.
6) Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan,
penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat, pelambatan pengisian kapiler
dan membran mukosa kering.
7) Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku.
Rasional : dapat menunjukkan penurunan perfusi serebral.
8) Dorong pemasukan cairan 3000 ml/harikecuali kontraindikasi.
Rasional : membilas gonjal / buli-buli dari bakteri dan debris. Awasi dengan
ketat karena dapat mengakibatkan intoksikasi cairan.
9) Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang rektal / enema.
Rasional : dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dasar prostat
dan peningkatan kapsul prostat dengan resiko perdarahan.
10) Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi,
contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah.
Rasional : berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.
Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosit.
3. Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan
irigasi (TURP).
a. Tujuan
Keseimbangan cairan tetap terpelihara.
b. Kriteria hasil
Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar secara total, sadar penuh,
berorientasi, dan menunjukkan tak ada abnormalitas fungsi motorik.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Pantau dan laporkan tanda dan gejala difusi hiponatremia.
Rasional : Hiponatremi adalah tanda kelebihan cairan.
2) Pantau masukan dan haluaran tiap 4 – 8 jam.
Rasional : indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3) Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan laporkan tim
medis.
Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan.
4) Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah jika
diinstruksikan.
Rasional: mencegah terjadinya retensi
D. Evaluasi
Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan
keperawatan melalui proses keperawtan pada klien dengan Benigna Prostatic
Hypertrophy berdasarkan tujuan pemulangan adalah :
1. Nyeri/ ketidaknyamanan hilang.
2. Cairan terpenuhi secara adekuat
3. Cairan tubuh tidak berlebihan
4. Tidak terjadi retensi urine
5. Risiko infeksi dihindari.
BAB III
Tinjauan Kasus
A. Tinjauan Kasus
Tanggal Pengkajian : 12 September 2013 Pukul : 07.00 WIB
Nama Mahasiswa : Brilian Samuel Dehes
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Klien b. Penanggung Jawab
Inisial Klien : Tn. M Nama : Nurmi
Umur : 68 Tahun Umur : 58
Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : IRT
Suku/Bangsa : Sumatera/Indonesia Pendidikan : SD
Agama : Islam Alamat :
Jl. CccccKP.Duku/Keb.Lama
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SD Hubungan
Alamat : Jl. KP. Duku/Keb. Lama keluarga : Istri
2. Riwayat Perawatan
a. Keluhan Utama : Tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum masuk
Rumah Sakit.
b. Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sebelumnya ( upaya yang dilakukan dan terapi )
Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi
sejak 6 tahun yang lalu. Pasien pernah berobat ke Puskesmas
Kebayoran Lama dan diberikan kaptopril.
Lemah Dud
uk
RR : 22 x/menit HR : 90 x/menit
Normal Teratur
Cyanosis Tidak Teratur
Cheynestoke
Kusmaul
Lainnya, sebutkan :
c. Body Systems
1) Pernapasan
a) Hidung
Polip Benda
Asing Deviasi
Sekret Patent
Lain – lain : Tidak ditemukan masalah pada hidung
pasien.
b) Trakhea
Mukus Benda
Asing Peradangan
Lain – lain : Tidak ditemukan masalah pada trakhea
pasien.
e) Bunyi Napas
Vesikuler Ronchi Cr
ecels
Wheezing Rales
Lokasi :
Keluhan Lain :
Batuk, sejak : 1 hari yang lalu.
Berdarah, sejak :
Sputum, sejak :
2) Pengindraan
a) Mata
Penglihatan :
Berkurang Kabur Ganda Buta
Gerakan bola mata : Mata kanan dan kiri mampu bergerak
normal.
Visus : VOD
VOS
Sklera
: Normal Ikterus Merah/hifema
Konjungtiva : Merah
muda Pucat/anemis
Kornea : Bening Keruh
Alat bantu :
Nyeri :
Keluhan lain :
b) Telinga
Pendengaran : Normal Berkurang
Tinitus, sejak/saat :
Otalgia, sejak/saat :
Otorhae, sejak/saat :
Keseimbangan : Normal Terganggu, sejak : 5
tahun yang lalu.
Alat bantu dengar, sejak :
Membran timpani : Terdapat 2 buah lubang kecil.
c) Penghidu
Bentuk : Simetris Asimetris
Lesi, lokasi :
Patensi
Obstruksi, lokasi :
Nyeri tekan sinus
Cavum nasal, warna : Merah muda Integritas :
Lembek
Septum nasal
: Deviasi Perporasi Perdarahan
3) Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
Nyeri dada :
Pusing Palpitasi Clubbing
finger
Kram kaki Ictus
cordis Cafillary Refill Time
Sakit kepala >2 detik
<2 detik
Suara Jantung
Normal
Ada kelainan, sebutkan :
Edema
Palpebra Ekstermitas
atas Ascites
Anasarka Ekstermitas
bawah Tidak ada
4) Persyarafan
a) Tingkat Kesadaran
Compos
mentis Sopor Apatis
b) GCS
E :6
V :5
M :4
Total Nilai : 15
e) Status refleks
Refleks tendon bagian dalam : Respon otot normal.
Refleks patologis : Normal.
5) Perkemihan
a) Produksi urine : 700 CC ( tampungan kateter )
b) Warna : Kuning tua
c) Bau : Amoniak
d) Pembedahan : Post operasi Prostat. Terpasang
kateter.
e) Masalah/keluhan :
6) Pencernaan
a) Mulut dan gigi : Mukosa mulut lembab, bibir kering, gigi
tidak lengkap. Kebersihan kurang.
b) Tenggorokkan : Tidak ada perbesaran kelenjar tiroid dan
paratiroid. Tidak ada penumpukkan sekret.
c) Abdomen : Abdomen simetris, nyeri seperti ditusuk dan
panas saat hendak dan sedang BAK.
d) Rectum anus : Normal.
e) BAB : 1 kali/hari.
Konsistensi : Lunak. Warna kuning.
f) Masalah/keluhan :
Muntah,
sejak Malabsorbsi Konstipasi
Mual,
sejak Diare Obstipasi
Feses berdarah, sejak Tidak
terasa Wasir
Melena Haus L
endir
Sukar menelan Colostomi
Obat pencahar : Tidak ada
Lavement : Tidak ada
e) Integumen
Kulit Rambut Kuku
Integumen
Warna Pucat Putih Kuning muda
Masalah - - -
keluhan
8) Reproduksi
a) Laki – laki
Penis : Terpasang kateter, bersih.
Scrotum : Bersih, tidak ditemukan masalah.
Testes : Tidak ditemukan masalah.
Lainnya,sebutkan : -
b) Perempuan
Vagina :
Urethra :
Payudara :
Axilla :
Siklus haid :
Lainnya, sebutkan :
b. Fungsi Kesehatan
No. Pola Fungsi Kesehatan Sebelum Sakit Ketika Sakit
1. Nutrisi – Metabolisme
a. Frekuensi 3 kali/hari 3 kali/hari
b. Nafsu makan Kuat Kuat
c. Jenis makanan Makanan Diit bubur
d. Jenis minuman berlemak Air putih, teh
e. Jumlah makanan Kopi, air putih 1 porsi/makan
f. Jumlah minuman 1-2 porsi/makan < 1 liter/hari
g. Kebiasaan minum 1,5 Liter/hari -
h. Kebiasaan makan Harus ada kopi -
i. Berat badan Makanan 68 kg
j. Tinggi badan berlemak 168cm
k. Diit khusus 70 kg -
168 cm
-
2. Pola Tidur – Istirahat
a. Malam 8 – 9 jam 8 – 9 jam
b. Siang 3 jam 3 jam
c. Kebiasaan sebelum tidur - -
e. Peran / hubungan
Pasien merupakan seorang ayah dan kepala keluarga. Pasien memiliki
hubungan yang baik terhadap keluarga dan orang sekitarnya.
5. Psikososial – Spiritual
Berkomunikasi
Bahasa sehari-hari : Betawi, bahasa Indonesia
Berbicara
Senang Sedih
Marah
Takut Mudah
tersinggung Gelisah
Menjalankan ibadah
Brilian Samuel
Dehes
NIM. PO. 62. 20. 1. 11.
006
No. Reg : 01175903
Data Fokus Masalah Kemungkinan Penyebab
( Subjektif dan Objektif )
Data Objektif :
- Skala nyeri 4 ( 1 – 10 )
- TD : 160/100 mmHg
N : 88 kali/menit
S ; 36,8 C
RR : 22 kali/menit
- Pasien tampak lemah
- Tampak meringis.
Data Objektif :
- Terpasang selang
kateter.
- Urine tampung 150 CC
- Tampak kemerahan
pada glan penis.
- BB : 65 kg
Inisial
Pasien : Tn. M
No.
Reg : 01175903
1. Gangguan rasa aman dan nyaman : Nyeri akut berhubungan dengan iritasi
mukosa buli-buli, pemasanga selang kateter ditandai dengan nyeri skala 4.
No.
Reg : 01175903
RENCANA KEPERAWATAN
No Tanggal Nomor Tujuan/Kriteria Rencana Rasional
Diagnosa Hasil Tindakan
Keperawatan
1. 12-09- Diagnosa I Setelah Mandiri : Mandiri :
2013 dilakukan 1. Hitung 1. Mengkaji
tindakan tanda-tanda keadaan
keperawatan vital. diluar batas
selama 1 x 7 normal.
jam nyeri 2. Pantau 2. Memantau
diharapkan intake dan keseimbanga
berkurang / output. n cairan
hilang dengan tubuh.
kriteria hasil : 3. Latih bladder 3. Melatih
1. Skala nyeri training. kemampuan
0 berkemih
2. Pasien mandiri saat
tenang 4. Berikan pelepasan
posisi selang
semifowler. kateter.
4. Memberikan
rasa aman
Observasi : dan nyaman.
1. Amati
peningkatan Observasi :
skala nyeri. 1. Mengamati
adanya
peningkatan
tekanan pada
Penkes : bladder.
1. Anjurkan
pasien Penkes :
melakukan 1. Memberikan
teknik pengalihan
relaksasi rasa nyeri
dan nafas terhadap hal
dalam. yang
menyenangka
n dan terapi
pernapasan
Kolaborasi : adekuat.
1. Kolaborasi
dalam Kolaborasi :
pemberian 1. Membantu
antipiretik. mengurangi /
2. Kolaborasi menghilangka
dalam n rasa nyeri.
pemberian 2. Membantu
cairan infus pemenuhan
via IV. kebutuhan
cairan
elektrolit
tubuh.
No.
Reg : 01175903
PELAKSANAAN KEPERAWATAN ( IMPLEMENTASI )
N Ta No. Diagnosa Pelaksan Evalua Para
o ng Keperawatan aan/Tind si f/Na
gal akan Tindak ma
/ Keperaw an/Res Pera
Ja atan pon wat,
m Klien mhs
1 12- Diagnosa I 1. Meng 1. Ska
. 09- kaji la
201 skala nye
3 nyeri. ri :
07. 4
00 2. Meng
WI ukur 2. TD :
B tanda 120
- /80
tanda mm
vital. Hg
N:
86
kali
/me
Diagnosa II 3. Meng nit
hitun RR
g : 18
intak kali
e dan /me
outpu nit
t. S:
36,
8C
4. Melati
h 3. Inta
teknik ke :
relak 150
sasi 0
dan cc
nafas Out
dala put
m. :
120
0
1. Mema cc
ntau
keber 4. Pas
sihan ien
katet ma
er. u
me
2. Mema nco
ntau ba
tanda dan
- berl
tanda atih
infeks ma
i. ndir
i.
3. Memb
ersih 1. Kat
kan ete
selan r
g tam
katet pak
er. ber
sih.
2. Tid
ak
dite
mu
kan
tan
da-
tan
da
infe
ksi.
3. Kat
ete
r
tam
pak
bai
k.
2. Tid
ak
dite
mu
kan
tan
da-
tan
da
infe
ksi.
3. Kat
ete
r
tam
pak
bai
k.
Inisial Pasien : Tn. M
No.
Reg : 01175903
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal Nomor Diagnosa Catatan Perkembangan ( Paraf/Nama
Keperawatan S.O.A.P./S.O.A.P.I.E.R ) Perawat,mhs
12 – 09 – Diagnosa I S. Pasien menyatakan nyeri saat
2013 hendak dan sedang BAK.
07.00
WIB O. Pasien tampak tenang
Skala nyeri 4 ( 1 – 10 )
TD : 120/80 mmHg, N : 84
kali/menit, RR : 22 kali/menit
S : 36, 4 C
P. Lanjutkan intervensi.
Q. Lanjutkan intervensi.
13 – 09 – Dianosa II S. Pasien menyatakan nyeri
2013 hanya saat akan BAK.
07.00 Pasien menyatakan nyeri
WIB seperti ditusuk dan terasa
panas.
P. Lanjutkan intervensi.
P. Lanjutkan Intervensi
B. Pembahasan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengobservasi dan mengkaji data-data yang
aktual terhadap pasien. Pengkajian keperawatan pada seluruh tingkat analisis (
individu, keluarga, dan komunitas ), terdiri dari data subjektif dari seseorang atau
kelompok dan data objektif yang diperoleh dari hasil tes diagnostik dan sumber-
sumber lain. Pengkajian individu terdiri dari riwayat kesehatan ( data subjektif )
dan pengkajian fisik ( data objektif ) ( Webber dan Kelly, 2007 ).
Dalam pengkajian pada kasus Tn. M, penulisa melakukan pengkajian
dengan metoda observasi dan wawancara. Penulis menggunakan konsep aktual,
yaitu menggunakan data-data terbaru pasien yang kemudian dikoordinasikan
dengan data-data sebelumnya yang telah ada. Kesulitan yang didapatkan
selama tahap pengkajian ini adalah terbatasnya waktu yang tersedia guna
melakukan pengkajian lebih mendalam lagi. Terlebih juga terbatasnya sumber-
sumber resensi terbaru yang tersedia untuk melengkapi proses pengkajian yang
ada. Kemudahan dalam pengkajian ini adalah kooperatifnya pasien serta
keluarga membuat pengkajian mampu berjalan lancar walaupun data-data yang
didapatkan masih belum maksimal.
2. Diagnosa Keperawatan
Pada respon manusia, ada hal yang sangat bertumpang tindih untuk
mendiagnosis dan banyak faktor penting, mislanya budaya yang dapat
mengubah perspektif tentang diagnosis telah memverifikasi banyak penelitian
bahwa interpretasi terhadap kasus klinis memiliki potensi kurang akurat dari yang
diindikasikan oleh data ( Lunney, 2008 ). Diagnosa keperawatan adalah suatu
proses dimana semua data yang ada mulai dari tahap pengkajian kemudian
dipilah dan dianalisis kedalam prioritas masalah masing-masing. ( NANDA, 2010
).
Pada kasus Tn. M, penulis mengangkat dua buah diagnosa yaitu
Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan rasa nyeri serta Risiko
tinggi infeksi. Kesulitan pada tahap ini adalah minimnya waktu yang ada guna
mengangkat data-data lain dari tahap pengkajian yang seharusnya juga
dimunculkan. Kemudahan dalam tahap ini adalah terbinanya kerjasama yang
baik terhadap pembimbing dari Ruang Bedah Campuran dalam mengangkat
diagnosa.
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang valid dan akurat menentukan sensitivitas
perawat tentang hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan tersebut menjadi
petunjuk dalam menyeleksi intervensi yang mungkin menghasilkan efek
pengobatan yang diharapkan. Intervensi keperawatan merupakan tahap dimana
perawat akan secara kritis menentukan rencana tindakan keperawatan secara
prioritas terhadap pasien, yang kemudian menjadi tolak ukur suatu asuhan
keperawatan. ( Johnson, et al, 2006 ).
Dalam tahap perencanaan pada kasus Benigna Prostat Hiperplasia pada
Tn. M di ruang Bedah Campuran , penulis menggunakan perencanaan yang
bersifat prioritas yang digunakan untuk mengurangi/menghilangkan keluhan
utama pada pasien. Kesulitan pada tahap ini terutama terdapat pada minimnya
waktu yang disediakan serta terbatasnya tindakan yang mampu dimaksimalkan
karenanya. Kemudahan yang didapatkan adalah adanya kolaborasi yang baik
dari teman sejawat serta pasien dan keluarganya dalam memenuhi pemenuhan
keperawatan yang ada.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap akhir dari sebuah asuhan keperawatan yang
diberikan sebelum evaluasi. Pada tahap ini semua rencana yang telah diberikan
baik itu prioritas maupun non prioritas akan diterapkan dan dilaksanakan
terhadap pasien. Sekali lagi dalam tahap ini dituntut sikap kompeten dan
profesional dari tenaga kesehatan guna mendapatkan hasil yang maksimal dan
memuaskan dari tahap pengkajian, perumusan diagnosa, hingga intervensi yang
ada. ( Crosseti and Saurin, 2006 ).
Dalam tahap ini kesulitan yang ditemukan adalah rencana yang belum
mampu terlaksana karena keterbatasan waktu yang ada. Kemudahan yang
didapatkan adalah adanya bantuan dari tenaga seprofesi yang membantu dalam
menjalankan tindakan keperawatan.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dimana tindakan mulai dari pengkajian
hingga pelaksanaan akan dilakukan penilaian pencapaian tingkat
keberhasilannya. Pada tahap ini semua tindakan akan dikembangkan guna
mengetahui letak kekurangan dan kelebihan pada asuhan keperawatan. Tingkat
keberhasilan yang tinggi serta kemajuan dalam pola perubahan kesehatan
merupakan hasil yang paling diharapkan oleh tenaga kesehatan ( Minthorn, 2006
)
Pada tahap ini penulis telah melakukan penilaian atas kinerja yang dicapai
selama proses keperawatan berlangsung. Walaupun masih masuk kedalam
kategori belum memuaskan dikemudian hari akan coba ditingkatkan.
BAB IV
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan penyakit yang terjadi karena
adanya penyumbatan jalan kemih oleh benda asing, sel kanker, kista, yang
menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk berkemih secara normal.
Selain itu BPH juga terjadi akibat pola hidup yang tidak sehat dan bersih.
Hal ini menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar prostat sehingga menutupi
saluran kemih yang menghambat proses pengeluaran urine.
Akan tetapi BPH bisa dihindari dengan menjaga pola hidup serta
kebersihan alat kelamin. Terlebih juga dapat dilakukan pembedahan guna
mengembalikan kegunaan dari alat kelamin.
B. Saran
Sebaiknya, untuk menghindari terjadinya penyakit BPH di usia senja akan
lebih baik jika pola hidup sehat dan bersih ditingkatkan. Kemudian melakukan
aktivitas seperti olahraga terbukti dapat mengurangi persentase mengidap BPH.
Daftar Pustaka
Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam
Terbitan (KTD): Jakarta.
Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press: Surabaya
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.