Anda di halaman 1dari 39

RONDE KEPERAWATAN

BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)


DI RUANG KEPODANG DASAR

DISUSUN OLEH:
ANDINA SUKMA PUTRI
18952264

RSUP DR. KARIADI SEMARANG


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2019

1
RONDE KEPERAWATAN

A. Pengertian
Ronde keperawatan merupakan suatu metode untuk menggali dan
membahas secara mendalam tentang masalah keperawatan yang terjadi pada
klien dan kebutuhan klien akan perawatan yang dilakukan oleh perawat primer
dan atau konselor, kepala ruangan, perawat associate, supervisor dan seluruh
tim keperawatan dengan melibatkan klien secara langsung sebagai focus
kegiatan (Nursalam, 2002).
Kegiatan ini mempunyai karakteristik sebagai berikut; klien dilibatkan
langsung, klien merupakan focus kegiatan, perawat primer, perawat associate
dan konselor melakukan diskusi. Konselor memfasilitasi kreatifitas dan
membantu mengembangkan kemampuan perawat primer dan perawat
associate dalam meningkatkan kemampuan mengatasi masalah keperawatan.
Adapun kriteria pasien yang dilakukan ronde adalah sebagai berikut;
klien dengan penyakit kronis, penyakit langka atau baru, klien dengan
penyakit komplikasi, klien dengan penyakit akut dan klien dengan
permasalahan keperawatan yang belum terselesaikan.
B. Tujuan
1. Menumbuhkan cara berfikir kritis dan sistematis dalam pemecahan
masalah keperawatan klien.
2. Memberikan tindakan yang berorientasi pada masalah keperawatan klien.
3. Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosa keperawatan.
4. Melaksanakan asuhan keperawatan secara menyeluruh.
C. Peran perawat primer dan perawat associate
Dalam menjalankan pekerjaan perlu adanya sebuah peranan yang bisa
untuk memaksimalkan keberhasilan yang biasa disebutkan antara lain:
1. Menjelaskan keadaan dan data demografi klien.
2. Menjelaskan masalah utama keperawatan.
3. Menjelaskan intervensi yang belum dan yang akan dilakukan.
4. Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang diambil.

2
D. Manfaat
1. Masalah pasien dapat teratasi.
2. Kebutuhan pasien dapat terpenuhi.
3. Terciptanya komunitas keperawat yang professional.
4. Terjalinnya kerjasama antar tim.
5. Perawat dapat melaksanakan model asuhan keperawatan dengan tepat dan
benar.

3
RONDE KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)

Topik : BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)


Waktu : 30 menit
Hari/ Tanggal : Kamis, 29 Agustus 2019

1. Tujuan
a. Tujuan umum: Peserta mampu memahami tentang kondisi klien dengan
BPH.
b. Tujuan khusus:
 Pesetra mengetahui definisi BPH
 Peserta mengetahui etiologi BPH
 Peserta mengetahui patofisiologi BPH
 Peserta mengetahui faktor pencetus terjadinya BPH
 Peserta mengetahui manifestasi klinik BPH
 Peserta mengetahui asuhan keperawatan pada BPH
2. Sasaran.
Klien Tn. M (68 tahun) diagnosa BPH dirawat di Ruang Kepodang Dasar,
Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang
3. Materi.
a. Teori tentang BPH
b. Teori tentang etiologi, patofisiologi, faktor pencetus, manifestasi klinik BPH
c. Teori tentang tatalaksana pada klien dengan BPH.

4
4. Metode
Presentasi dan diskusi:
No. Kegiatan Pengkaji Kegiatan Audiens Waktu
1. Pembukaan
- Memberi salam. Menjawab salam. 5 menit.
- Menjelaskan tujuan, kontrak Mendengarkan.
2. waktu.
Pelaksanaan. Memperhatikan. 20 menit.
- Menggali pengetahuan
audiens tentang BPH. Mengemukakan
- Menggali pengetahuan pendapat.
audiens tentang kondisi klien
yang mengalami BPH.
- Menggali kondisi audiens
tentang tatalaksana klien
3. dengan BPH.
Penutup Ikut menyimpulkan. 5 menit.
- Menyimpulkan bersama
audiens tentang BPH dan
tatalaksana klien dengan BPH.

5
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. M DENGAN
BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)
DI RUANG KEPODANG DASAR

DISUSUN OLEH:
ANDINA SUKMA PUTRI
18952264

RSUP DR. KARIADI SEMARANG


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2019

6
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses penuaan mempengaruhi berbagai sistem tubuh pada lansia.
Seiring masa penuaan, berbagai fungsi sistem tubuh mengalami degenerasi,
baik dari struktur anatomis, maupun fungsi fisiologis. Salah satu sistem tubuh
yang terganggu akibat proses penuaan adalah sistem genitourinari. Pada
sistem genitourinari lansia pria, masalah yang sering terjadi akibat penuaan,
yakni pembesaran kelenjar prostat Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH)(DeLaune & Ladner, 2002).
Pembesaran kelenjar prostat, atau disebut dengan BPH (Benign
ProstateHyperplasia) merupakan salah satu masalah genitouriari yang
prevalensi dan insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Parsons (2010) menjelaskan bahwa BPH terjadi pada 70 persen pria berusia
60-69 tahun di Amerika Serikat, dan 80 persen pada pria berusia 70 tahun ke
atas. Diperkirakan, pada tahun 2030 insiden BPH akan meningkat mencapai
20 persen pada pria berusia 65 tahun ke atas, atau mencapai 20 juta pria
(Parsons, 2010).
Di Indonesia sendiri, dataBadan POM (2011) menyebutkan bahwa
BPH merupakan penyakit kelenjar prostat tersering kedua, di klinik urologi di
Indonesia.
Insiden dan prevalensi BPH cukup tinggi, namun hal ini tidak diiringi
dengan kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan maupun
penanganan dini sebelum terjadi gangguan eliminasi urin. Nies dan McEwen
(2007) menjelaskan bahwa pandangan stereotip yang mengatakan pria itu
kuat, akan mengarahkan pria untuk cenderung lebih mengabaikan gejala yang
timbul di awal penyakit. Pria akan menguatkan diri dan menghindari
penyebutan “sakit” bagi diri pria itu sendiri. Sementara, ketika wanita sakit,
wanita akan cenderung membatasi kegiatan dan berusaha mencari perawatan
kesehatan. Oleh karena itu, kasus BPH yang terjadi lebih banyak kasus yang

7
sudah mengalami gangguan eliminasi urin, dan hanya bisa ditangani dengan
prosedur pembedahan.
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) merupakan salah satu
prosedur pembedahan untuk mengatasi masalah BPH yang paling sering
dilakukan. Rassweiler (2005) menjelaskan bahwa TURP merupakan
representasi gold standard manajemen operatif pada BPH. TURP memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan prosedur bedah untuk BPH lainnya.
Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak dibutuhkan insisi dan
dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih aman bagi
pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer & Bare, 2010).
Oleh karena itulah, prosedur TURP lebih umum digunakan mengatasi masalah
pembesaran kelenjar prostat.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi BPH?
2. Apakah etiologi BPH?
3. Bagaimana patofisiologi BPH?
4. Apakah faktor pencetus terjadinya BPH?
5. Bagaimana manifestasi klinik BPH?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada BPH?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi BPH
2. Mengetahui etiologi BPH
3. Mengetahui patofisiologi BPH
4. Mengetahui faktor pencetus terjadinya BPH
5. Mengetahui manifestasi klinik BPH
6. Mengetahui asuhan keperawatan pada BPH

8
BAB II
KONSEP PENYAKIT

A. Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak
adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas.
Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi
kondisi normal, biasanya dialami laki-laki berusia di atas 50 tahun.
Hiperplasia prostat atau BPH adalah pembesaran progresif dari
kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau
semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars
prostatika (Muttaqin : 2012).
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran jinak
kelenjar prostate yang disebabkan karena hyperplasia beberapa atau semua
komponen prostate (Taufan Nugroho, 2011).
Sementara itu (M. Clevo Rendi & Margareth, 2012) mengatakan
bahwa Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah suatu pembesaran progresif
dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obtruksi dan ristriksi pada jalan
urine (uretra).
Benign prostatic hiperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering
terjadi sebagai hasil dari pertumbuhuan dan pengendalian hormon prostat
(Yuliana elin, 2011).
B. Etiologi
Benign Prostate Hyperplansia (BPH) mulai di temukan pada umur
kira-kira 45 tahun dan frekuensi makin bertambahnya umur, sehingga diatas
umur 80 tahun kira-kira 80% menderita kelainan ini. Sebagai etiologi
sekarang dianggap ketidakseimbangan endokrin. Testrogen (dibuat oleh
kelenjar adrenal) mempengaruhi bagian tengah prostat (M.Clevo Rendi,
Margareth, 2012).
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan
testoteron estrpgen karena produksi testeteron menurun dan terjadi konversi

9
kosteteron menjadi esterogen pada jaringan adiposa diperifer, karena proses
pembesara prostat terjadi secara perlahan-lahan, efek perubahan juga terjadi
perlahan-lahan.
C. Patofisiologi
Benign Prostate Hyperplansia (BPH) terjadi pada umur yang semakin
tua (>45tahun) dimana fungsi testis menurun. Akibat penurunan fungsi testis
ini menyebabkann ketidakseimbangan hormon testosteron dan
dehidrotesteoteron sehingga memacu pertumbuhan atau pembesaran prostat.
Makrokospik dapat mencapai 60-100 gram dan kadang-kadang lebih besar
lagi hingga 200 gram atau lebih. Tonjolan biasanya terdapat pada lobus
laterial dan lobus medius tatapi tidak mengenai bagian posterior dari pada
lobus medialis yaitu bagian yang di kenal sebagai lobus posterior, yang sering
merupakan tempat berkembangnya karsinoma (moore) tonjolan ini dapat
menekan urethra dari lateral sehingga lumen urethra menyerupai celah, atau
menekan dari bagian tengah. Kadang-kadang penonjolan itu merupakan suatu
polip yang sewaktu-waktu dapat menutup lumen urethra.
Pada penampang tonjolan itu jelas dapat dibedakan dengan jaringan
prostat yang masih baik. Warnanya bermacam-macam tergantung kepada
unsur yang bertambah. Apabila yang bertambah terutama unsur kelenjar,
maka warnanya kuning kemerahan, berkonsistensi lunak dan terbatas tegas
dengan jaringan prostat yang terdesak, yang bewarna putih keabu.abuan dan
padat. Apabila tonjolan itu di tekan maka akan keluar cairan seperti susu.
Apabila unsur fibromuskuler yang bertambah, maka tonjolan bewarna abu-abu
padat dan tidak mengeluarkan cairan seperti halnya jaringan prostat yang
terdesak sehingga batasnya tidak jelas.
Gambaran miskroskopik juga bermacam-macam tergantung pada
unsur yang berploliferasi. Biasanya yang lebih banyak berploliferasi adalah
unsur kelenjar sehingga terjadi penambahan kelenjar dan terbentuk kista-kista
yang dilapisi oleh epitel torak atau kaboid selapis yang pada beberapa tempat
membentuk papil-papil ke dalam lumen. Membran basalis masih utuh.
Kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar yang kecil-kecil sehingga

10
menyerupai adenokarsinoma. Dalam kelenjar sering terdapat sekret granuler,
epitel yang terlepas dan corpora anylacea. Apabila unsur fibromuskuler yang
bertambah, maka terjadi gambaran yang terjadi atas jaringan ikat atau jaringan
otot dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya saling berjauhan. Gambaran ini
juga dinamai hiperplasi fibrimatosa atau hiperplasi leiomymatosa. Pada
jaringan ikat atau jaringan otot biasanya terdapat serbukan limfosit (M.Clevo
Rendi, Margareth TH, Mei 2012).
D. Pathways
Hormone estrogen Factor usia Sel prostat umur Prolikesabnormal
& testosterone panjang seltrem
tidak seimbang
Sel stroma
pertumbuhan berpacu Sel yang mati Produksi stoma dan
kurang epitel berlebihan

Prostat membesar

Penyempitan lumen Resiko Perdarahan TURP


ureter prostatika

Obstruksi
Iritasi mukosa Pemasangan Kurangnya
kandung kencing DC informasi terhadap
terputusnya jaringan pembedahan
Retensi urin Nyeri Akut

Ansietas
Hidro ureter
Rangsangan syaraf Luka
diameter kecil
Hidronefritis

Tempat masuknya
Gate kontrol
Resiko Gangguan mikro organisme
terbuka
Ketidakefektifan Eliminasi
Perfusi Ginjal Urin
Resiko Infeksi

11
E. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu
(Sjamsuhidayat & De Jong, 2005) :
1. Derajat 1
Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal
examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa
urine kurang dari 50 ml.
2. Derajat 2
Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol,
batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari
100 ml.
3. Derajat 3
Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml.
4. Derajat 4
Apabila sudah terjadi retensi urine total.
F. Manifestasi Klinik
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup peningkatan
frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan,
abdomen tegang, volume urine menurun, dan harus mengejan saat berkemih,
aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan dimana urine terus menetes setelah
berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi urine
akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung kemih setelah
berkemih), dan kekambuhan infeksi saluran kemih. Pada akhirnya, dapat
terjadi azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan
retensi urine kronis dan volume residu yang besar. Gejala generalisata juga
mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik (Smeltzer, 2001).
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal
berikut dalam derajat yang berbeda-beda yaitu sering berkemih, nokturia,
urgensi (kebelet), urgensi dengan inkontinensia, tersendat-sendat,

12
mengeluarkan tenaga untuk mengalirkan kemih, rasa tidak puas saat
berkemih, inkontinensia overflow, dan kemih yang menetes setelah berkemih.
Kandung kemih yang teregang dapat teraba pada pemeriksaan abdomen, dan
tekanan suprapubik pada kandung kemih yang penuh akan menimbulkan rasa
ingin berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan rectal untuk menilai
besarnya kelenjar (Price and Wilson, 2005).
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Uji laboratorium yang dilakukan mencakup pemeriksaan:
- Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (SC) untuk
menyingkirkan gagal ginjal
- Urinalisis dan biakan urine untuk menyingkirkan infeksi saluran
kemih
2. Pielografi intravena (IVP) atau US biasanya tidak dilakukan pada pria
dengan hasil normal pada pemeriksaan laboratorium sederhana.
Pemeriksaan ini dicadangkan untuk pasien dengan hematuria atau
dicurigai mengidap hidronefrosis.
3. Urodinamik dengan uroflowmetry dan sistometri dapat menilai makna
BPH. Pada pemeriksaan ini, pasien berkemih dan berbagai pengukuran
dilakukan. Pada uroflowmetry, pasien berkemih minimal 150 mL,
kemudian laju maksimal aliran urin dicatat.
4. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume
dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra
pubik.
5. Sistouretroskopi biasanya dicadangkan untuk pasien yang mengalami
hematuria dengan sebab yang belum diketahui setelah dilakukan IVP atau
US atau praoperasi telah dilakuan untuk pasien yang memerlukan TURP.
6. Skor gejala, perkiraan volume prostat, dan pengukuran antigen spesifik-
prostat dalam serum dapat membantu memperkirakan perkembangan
BPH.
(McPhee &Ganong, 2010

13
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan BPH secara umum menurut Grace and Borley (2007)
adalah:
1. Medikamentosa, seperti mengubah asupan cairan oral; kurangi konsumsi
kafein; menggunakan Bloker α- adrenergic (misalnya fenoksibenzamin,
prazosin); antiandrogen yang bekerja selektif pada tingkat seluler prostat
(misalnya finasteride); kateterisasi intermiten jika terdapat kegagalan otot
detrusor; dan dilatasi balon dan stenting pada prostat (pada pasien yang
tidak siap operasi).
2. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin
akut.
b. Klien dengan residual urin  100 ml.
c. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
d. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
e. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat )
f. Retropubic atau Extravesical Prostatectomy
g. Perianal Prostatectomy
h. Suprapubic atau Tranvesical Prostatectomy
Menurut Sjamsuhidjat (2005), dalam penatalaksanaan pasien dengan
BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu:
a. Stadium I, biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa
seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi
prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan
untuk pemakaian lama.
b. Stadium II, merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)

14
c. Stadium III, reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.
d. Stadium IV, yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan
memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif
adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
I. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan
iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi
refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.

15
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
a. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan rektum dengan jari tangan dapat mengungkapkan
pembesaran fokal atau difus prostat
2) Pemeriksaan abdomen bawah (simpisis pubis) dapat memperlihatkan
pembesaran kandung kemih
(McPhee & Ganong, 2010)
3) Abdomen: Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan
renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
4) Kandung kemih
o Inspeksi : penonjolan pada daerah supra pubik menunjukan adanya
retensi urine
o Palpasi : akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan
pasien ingin buang air kecil yang menunjukan adanya retensi urine
o Perkusi : suara redup menunjukan adanya residual urine.
5) Pemeriksaan penis: uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya
stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
6) Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) dilakukan dengan posisi
knee chest dengan syarat vesika urinaria kosong/dikosongkan.
Tujuannya adalah untuk menentukan konsistensi prostat dan besar
prostat.
b. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
1. Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan
pasien biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering
mengatakan bahwa sakit yang diderita nya pengaruh umur yang sudah
tua. Perawat perlu mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa
yang dideritanya? Dan apa penyebab sakitnya saat ini?

16
2. Pola nutrisi dan metabolic
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari
anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia,
mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji
adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun
nutrisinya.
3. Pola Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami
oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam
memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung
kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria.
Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif
serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase
kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi
warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan
bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan
viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi
gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi.
Pada post operasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
4. Pola latihan- aktivitas
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan
terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan
perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan,
klien juga merasa nyeri pada prostat dan pinggang. Klien dengan BPH
aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga.
5. Pola istirahat dan tidur
Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu,
disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus
dimana hal ini dapat mengganngu kenyamanan klien. Jadi perawat

17
perlu mengkaji berapa lama klien tidur dalam sehari, apakah ada
perubahan lama tidur sebelum dan selama sakit/ selama dirawat?
6. Pola konsep diri dan persepsi diri
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas
egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan
yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental,
perubahan perilaku.
7. Pola kognitif- perceptual
Klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya
terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien
mengalami hal itu, jadi perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra
klien, bagaimana status neurologis klien, apakah ada gangguan?
8. Pola peran dan hubungan
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang
diderita nya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi
klien dengan lingkungan sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana
hubungan klien dengan keluarga dan masyarakat sekitar? apakah ada
perubahan peran selama klien sakit?
9. Pola reproduksi- seksual
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau
nyeri tekan pada prostat.
10. Pola koping dan toleransi stres
Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena memikirkan
pengobatan dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak
bisa melakukan aktivitas seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari
perubahan tingkah laku dan kegelisahan klien. Perawat perlu
mengkaji bagaimana klien menghadapi masalah yang dialami?
Apakah klien menggunakan obat-obatan untuk mengurangi stresnya?

18
11. Pola keyakinan dan nilai
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti
gangguan dalam beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya,
karena BAK yang sering keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu
mengkaji apakah ada pantangan dalam agama klien untuk proses
pengobatan?
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eleminasi urin berhubungan dengan obstruks anatomik (BPH)
ditandai dengan BAK frekuensi sering namun sedikit-sedikit, nokturia,
dysuria, retensi urine, urgensy (dorongan berkemih), anyang-anyangan,
dan dribling.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury ditandai dengan melaporkan
nyeri secara verbal, peningkatan denyut nadi, peningkatan frekuensi
pernapasan, peningkatan tekanan darah, meringis, melokalisasi nyeri.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (pemasangan kateter).
4. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit.

19
C. Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 Gangguan eleminasi urin Setelah diberikan asuhan NIC Label: Urinary Elimination
berhubungan dengan keperawatan selama…. x 24 jam, Management
obstruks anatomik (BPH) diharapkan pasien dapat berkemih 1. Monitor eleminasi urin termasuk
ditandai dengan BAK dengan kriteria hasil: frequensi, konsistensi, bau, volume, dan
frekuensi sering namun NOC Label : Urinary warna jika diperlukan
sedikit-sedikit, nokturia, Elimination 2. Monitor tanda dan gejala dari retensi
dysuria, retensi urine, a. Pola eleminasi klien teratur urinary
urgensy (dorongan b. Jumlah urin dalam rentang 3. Identifikasi factor kontribusi yang
berkemih), anyang- normal (0.5 – 1 cc/kgBB/jam) menyebabkan gangguaneliminasi urine
anyangan, dan dribling c. Tidak nyeri saat berkemih 4. Instruksikan klien dan keluarga
d. Tidak mengalami nokturia mencatat urinary output jika diperlukan
e. Tidak mengalami retensi urine 5. Catat waktu berkemih
f. Warna urine jernih Urinary Retention Care
kekuningan 1. Rangsang refleks kandung kemih dengan
g. Pengosongan kandung kemih mengaplikasikan kompres dingin di
yang sempurna perut, mengelus paha bagian dalam atau

20
h. Tidak ada darah ketika dengan air mengalir
berkemih 2. Minta klien dan keluarga memperhatikan
i. Pasien tidak merasa panas input dan output cairan klien
ketika berkemih 3. Memonitor input dan output cairan klien
Urinary Catheterization
1. Jelaskan prosedur pemasangan kateter
2. Gunakan teknik sterile ketika melakukan
pemasangan kateter
3. Gunakan selang kateter dengan ukuran
yg paling kecil, tidak memaksakan
ukuran yang besar
4. Tunjukkan dan ajarkan pasien untuk
melakukan perawatan kateter atau
pengosongan urin bag.
Medication Management
1. Berikan obat apa yang dibutujkan dan
diadministrasikan menurut resep dan
prosedur
2. Monitor efek therapeutik dari obat

21
3. Monitor tanda dan gejala adanya efek
toksik
4. Monitor efek samping dari obat
5. Pantau ketaatan pasien terhadap
regiment medication
6. Kaji pengetahuan klien tentang obat
7. Ajarkan klien dan keluarga prosedur
terapi obat
8. Ajarkan klien tanda dan gelaja dari efek
terapi, efek samping dan efek toksik dari
regimen terapi
Bladder Irrigation
1. Pastikan apakah irigasi akan terus
berkelanjutan atau intermiten (sesuai
kebutuhan)
2. Lakukan irigasi dengan teknik steril
3. Bersihkan tempat untuk memasukan dan
cairan mengeluarkan cairan dengan
alkohol

22
4. Monitor dan pertahankan kecepatan
aliran yang sesuai
5. Catat cairan yang digunakan,
karakteristik output dan jumlahnya.
2 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan asuhan NIC Label : Pain Management
dengan agen cedera keperawatan selama ...x 24 jam
1 Kaji nyeri secara koprehensif (lokasi,
biologis (BPH) ditandai diharapkan nyeri klien dapat
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dengan melaporkan nyeri teratasi dengan kriteria hasil
dan factor presipitasi)
secara verbal,
NOC Label : Pain Level 2 Eliminasi factor yang memicu terjadinya
peningkatan denyut nadi,
nyeri
peningkatan frekuensi 1. Pasien melaporkan skala nyeri
3 Kalaborasi pemberian terapi analgetik
pernapasan, peningkatan berkurang
secara tepat
tekanan darah, meringis, 2. Pasien tidak tampak
4 Anjurkan teknik nonfarmakologi seperti
melokalisasi nyeri melokalisasi nyeri dan tidak
relaksasi, distraksi, napas dalam sebelum
tampak meringis
nyeri terjadi atau meningkat
3. Respiration rate pasien normal
5 Gunakan strategi komunikasi terapeutik
(16-20x /menit)
untuk memberikan terapi
4. Tekanan darah normal (120/80
Nonfarmakologi
mmHg)

23
5. Nadi normal (60-100x/menit) NIC Label : Vital Sign

1. Pantau tanda-tanda vital pasien (tekanan


NOC Label : Pain contol
darah, nadi, suhu dan respirasi)
1 Menggunakan analgetik
seperti yang tidak
direkomendasikan
2 Pasien dapat melaporkan
ketika tidak dapat mengontrol
nyeri
3 Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan NIC Label : Infection Control
berhubungan dengan keperawatan selama .....x24 jam 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai
prosedur invasive status kekebalan pasien pasien lain
(pemasangan kateter) meningkat dengan kriteria hasil: 2. Batasi pengunjung bila perlu
NOC Label: 3. Instruksikan pengunjung untuk mencuci
Risk Control : Infectious Process tangan saat berkunjung dan setelah
a. Dapat mengidentifikasi factor berkunjung
risiko infeksi 4. Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci
b. Mampu melaksanakan tangan

24
peningkatan waktu istirahat 5. Cuci tangan sebelum dan sesudah
c. Mampu mempertahankan tindakan keperawatan
kebersihan lingkungan 6. Gunakan universal precaution dan
d. Mengetahui risiko infeksi gunakan sarung tangan selama kontak
personal dengan kulit yang tidak utuh
e. Mengetahui kebiasaan yang 7. Tingkatkan intake nutrisi dan cairan
berhubungan dengan risiko 8. Berikan terapi antibiotik bila perlu
infeksi 9. Observasi dan laporkan tanda dan gejal
infeksi seperti kemerahan, panas, nyeri,
tumor
10. Kaji temperatur tiap 4 jam
11. Catat dan laporkan hasil laboratorium,
WBC
12. Istirahat yang adekuat
13. Kaji warna kulit, turgor dan tekstur, cuci
kulit dengan hati-hati
14. Ajarkan klien dan anggota keluarga
bagaimana mencegah infeksi
4 Ansietas berhubungan 1. Anxiety control 1. Anxiety reduction (penurunan

25
dengan kurang 2. Coping kecemasan)
pengetahuan tentang Kriteria Hasil : - Gunakan pendekatan yang
penyaki ditandai dengan: 1. Klien mampu menenangkan
1. Gelisah mengidentifikasi dan R/ meningkatkan bhsp
2. Insomnia mengungkapkan gejala cemas - Jelaskan semua prosedur dan apa
3. Resah 2. Mengidentifikasi, yang dirasakan selama prosedur
4. Ketakutan mengugkapkan dan R/ agar pasien mengetahui tujuan
menunjukkan tehnik untuk dan prosedur tindakan
mengontrol cemas - Temani pasien untuk memberikan
3. Vital sign dalam batas normal keamanan dan mengurangi takut
4. Postur tubuh, ekspresi wajah, R/ mengurangi kecemasan pasien
bahasa tubuh dan tingkat - Berikan informasi faktual mengenai
aktivitas menunjukkan diagnosis, tindakan prognosis
berkurangnya kecemasan R/ membantu mengungangi tingkat
kecemasan
- Identifikasi tingkat kecemasan
R/ mengetahui tingkat kecemasan
pasien
- Bantu pasien mengenal situasi yang

26
menimbulkan kecemasan
R/membantu pasien agar lebih
tenang
- Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan, ketakutan,
persepsi
R/ membantu pasien tenang dan
nyaman
- Instruksikan pasien menggunakan
teknik relaksasi
R/ cemas berkurang, pasien merasa
tenang
- Berikan obat
R/untuk mengurangi kecemasan

27
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 68 tahun
Suku : Indonesia
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pensiunan
Status Pernikahan : Menikah
Alamat : Dusun Dampit Pegundan Pemalang
MRS : 16/08/19

Adik Pasien
Nama : Tn. K
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku : Indonesia
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pasien mengatakan ada benjolan pada prostat dan akan dilakukan tindakan
operasi.
2. Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien ± 1,5 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien BAK merah. Pasien
periksa ke RS terdekat dan dilakukan pemeriksaan USG, oleh dokter
dirujuk ke RSDK untuk dilakukan penangan lebih lanjut.

28
3. Riwayat Ginekologi
Tidak dikaji
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan pernah menderita pernyakit yang sama dan menjalani
operasi prostat pada tahun 2017 di RSUD.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan dalam keluarganya tidak ada riwayat penyakit darah
tinggi, kencing manis, penyakit jantung, asma dan penyakit yang sama
seperti pasien.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : baik, tampak cemas
Kesadaran : composmentis
Tinggi Badan : 159 cm
Berat Badan : 52 kg
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36 celcius
b. Mata
Conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
periorbital (-/-)
c. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
d. THT
Mukosa bibir kering (-), mukosa bibir sianosis (-), pembesaran tonsil
(-), faring hiperemis (-)
e. Thorax :
Simetris, retraksi dinding dada (-)

29
 Cor :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicula
Perkusi : batas jantung jelas
Auskultasi : bunyi jantung I/II (+) normal, regular, murmur (-),
gallop (-)
 Pulmo
Inspeksi : simetris, barrel chest (-)
Palpasi : stem fremitus simetris
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : vesicular (+/+), wheezing (-), ronchi (-)
f. Abdomen
Inspeksi : cembung, perut tampak membesar
Perkusi : nyeri ketuk (-), shufting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada luka
7. Ekstremitas : akral hangat (+), oedema (-)
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Rutin
1. Hb : 16.2 gr/dl
2. Leukosit : 7.8/ul
3. Trombosit : 365.000 /ul
4. Eritrosit : 5.25 juta/ul
5. Hematokrit : 49.2 %
6. MCV : 93.7
7. MCH : 30.9
8. MCHC : 32.9
9. MPV : 10.1
10. GDS : 86 mg/dl
11. SGOT : 22 U/L
12. SGPT : 14 U/L

30
13. Ureum : 24 mg/dl
14. Kreatinin : 1.2 mg/dl
15. Natrium : 141 mmol/L
16. Kalium : 4.1 mmol/L
17. Chlorida : 101 mmol/ L
18. HBsAg : 0.50 (Negatif)
19. PPT : 9.8 detik
20. PPT Kontrol : 10.4 detik
21. PTTK : 29.4 detik
22. APPT Kontrol : 31.2 detik
9. Diagnosis Kerja
BPH
10. Penatalaksanaan
Tanggal 16/08/2019 jam 23.15 → Pasien MRS
Tanggal 17/08/2019 jam 06.00 → Follow up asisten DPJP tunggu program
TURP dan biopsy
Tanggal 19/08/2019 jam 09.45 → Visit DPJP rencana operasi TURP dan
biopsy Selasa, 20/08/2019
C. ANALISA DATA
No Tanggal Data Fokus Etiologi Masalah
1. 19/08/2019 DS : Pasien bertanya tentang Kurang cemas
operasi yang akan dilakukan pengetahuan
DO : Pasien tampak cemas
TD : 150/90 RR : 20
HR : 84 S : 36
2. 20/08/2019 DS : Pasien mengatakan nyeri Agen Injury Nyeri Akut
P : saat bergerak
Q : cekot cekot
R : di penis
S : 3 dengan analgetik
T : hilang timbul

31
DO : pasien tampak lemah,
menahan sakit
3. 20/08/2019 DS : pasien mengatakan tidak Risiko Prosedur
nyaman karena terpasang infeksi invasive
selang di penis (pemasangan
DO : pasien terpasang selang kateter)
kateter

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre operasi
1. Cemas Berhubungan dengan kurang pengetahuan
Post operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
2. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive (pemasangan
kateter)

E. INTERVENSI
NO
TGL TUJUAN KRITERIA HASIL INTERVENSI TTD
DX
1 19/08/19 Setelah 1. Klien mampu 1. Gunakan pendekatan yang
dilakukan mengidentifikasi dan menenangkan
asuhan mengungkapkan 2. Jelaskan semua prosedur dan
keperawatan gejala cemas apa yang dirasakan selama
selama 2x24 2. Mengidentifikasi, prosedur agar pasien
jam mengugkapkan dan mengetahui tujuan dan
diharapakan menunjukkan tehnik prosedur tindakan
cemas untuk mengontrol 3. Instruksikan pasien
berkurang cemas menggunakan teknik relaksasi.
3. Vital sign dalam 4. Dorong pasien untuk
batas normal mengungkapkan perasaan,
4. Postur tubuh, ketakutan, persepsi.
ekspresi wajah,

32
bahasa tubuh dan
tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan
2 20/08/19 Setelah 1. TTV dalam batas 1. Mengkaji skala nyeri secara
dilakukan normal konprehensif termasuk lokasi,
tindakan 2. Skala nyeri karakteristik, durasi, frekuensi
keperawatan berkurang VAS ≤1 kualitas tiap 8 jam
selama 3 x 24 dengan analgetik 2. Memotivasi relaksasi nafas
jam nyeri 3. Tidak mengalami dalam
berkurang gangguan tidur 3. Monitor keadaan umum dan
skala vas 0 4. Tidak menunjukan TTV
ekspresi muka 4. Kolaborasi dengan dokter
karena nyeri untuk pemberian analgetik
3. 20/08/19 Setelah 1. Dapat 1. Batasi pengunjung bila perlu
dilakukan mengidentifikasi 2. Cuci tangan sebelum dan
tindakan factor risiko infeksi sesudah tindakan keperawatan
keperawatan 2. Mampu 3. Tingkatkan intake nutrisi dan
selama 3 x 24 mempertahankan cairan
jam infeksi kebersihan 4. Kolaborasi terapi antibiotik
tidak terjadi lingkungan bila perlu dengan dokter
3. Mengetahui 5. Observasi dan laporkan tanda
kebiasaan yang dan gejal infeksi seperti
berhubungan dengan kemerahan, panas, nyeri,
risiko infeksi tumor
4. Tidak ada tanda-
tanda infeksi

33
F. IMPLEMENTASI
Tgl/Jam No IMPLEMENTASI TTD
Dx
19/08/19
10.00 1 - Melakukan pendekatan dengan pasien untuk BHSP
Do : Pasien menceretikan perjalanan penyakitnya dan sering
bertanya untuk tindakan operasi yang akan dilakukan
Ds : Pasien kooperatif dan terbuka saat diajak berbicara

- Menjelaskan Prosedur tentang perencanaan operasi


10.10 Ds : mengatakan sedikit lebih paham
Do : pasien kadang kadang masih tampak cemas
TD: 150/90mmHg, Nadi: 84x/menit, RR: 20x/menit,
Suhu: 36 C

11.00 - Menganjurkan pasien untuk relaksasi nafas dalam mengurangi


kecemasan
Ds : Pasien bersedia diajarkan relaksasi nafas dalam
Do : Pasien mengikuti instruksi yang diberikan
20/08/19
13.30 2 - Mengkaji skala nyeri
Ds : pasien mengatakan nyeri
P : saat bergerak
Q : cekot cekot
R : penis
S : skala vas 3 dengan analgetik
T : hilang timbul
Do : pasien tampak lemah dan menahan sakit

13.40 2 - Mengukur TTV dan memonitor keadaan umum


Ds : -
Do : TD: 130/90mmHg, Nadi: 80x/menit, RR: 20x/menit,
Suhu: 36,4 C

- Menganjurkan relaksasi nafas dalam


13.45 1,2
Ds : pasien mengatakan bisa melakukan relaksasi nafas dalam
Do : pasien tampak rileks

- Kolaborasi dengan tim medis memberikan analgetik


13.55 2 Ds : Pasien mengatakan bersedia diberikan anti nyeri
Do : Memberikan fentanly 100mcg dalam RL 500cc jalan 20
tpm.

13.58 3 - Kolaborasi dengan tim medis untuk memberikan antibiotic


Ds : Pasien bersedia dilakukan skin test antibiotic
Do : Pasien dilakukan skin tes antibiotic cefotaxime dan tidak

34
alergi
21/08/19
08.30 2 - Mengkaji skala nyeri
Ds : pasien mengatakan nyeri berkurang
P : saat aktivitas
Q : cekot cekot
R : penis
S : skala vas 2 dengan analgetik
T : hilang timbul
Do : pasien tampak rileks

10.00 1,2, - Mengukur TTV, mengobservasi keadaan umum, memonitor


3 tanda-tanda infeksi dan kecemasan
Ds : pasien mengatakan sudah lega karna sudah di operasi dan
bersedia untuk dilakukan observasi
Do : keadaan umum baik, komposmentis, tidak ada tanda-tanda
infeksi, DC spoeling berwarna merah muda dan pasien
sudah tak tampak cemas.
TD: 130/80mmHg, Nadi: 80x/menit, RR: 20x/menit,
Suhu: 36,3 C
10.15 2
- Menganjurkan relaksasi nafas dalam bila timbul rasa nyeri
Ds : pasien mengatakan bisa melakukan relaksasi nafas dalam
Do : pasien tampak rileks dan kooperatif

13.30 2,3 - Memberikan analgetik dan antibiotik


Ds : Pasien bersedia diberikan terapi
Do : Memberikan ketorolac 30 mg dan cefotaxime 1gr

G. EVALUASI
Tanggal/jam No. Dx Evaluasi
19/08/2019 1 S : Pasien mengatakan sudah mengerti tindakan yang
13.00 akan dilakukan besok dan sudah siap menjalani
operasi.
O : Pasien tampak lebih tenang dan kooperatif
A : Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan
P : Pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan intervensi

20/08/2019 1,2,3 S : Pasien mengatakan nyeri pada penis


14.00 P: Saat bergerak
Q: cekot-cekot

35
R: di penis
S: skala vas 3 dengan analgetik
T: hilang timbul
O : komposmentis, TD 130/90mmHg, nadi: 80x/menit,
RR: 20x/menit, T: 36,4C. Pasien masih menunjukan
ekspresi nyeri, VAS: 2, DC berwarna merah.
A : - Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan
teratasi sebagian
- Nyeri akut berhubungan dengan agen injury belum
teratasi
- Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasive (pemasangan kateter) teratasi sebagian
P : Pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan intervensi
21/08/2019 1,2.3 S : Pasien mengatakan nyeri berkurang
13.30 P : tidak tentu
Q : cekot-cekot
R : di penis
S : skala vas 2 dengan analgetik
T : hilang timbul
O : pasien komposmentis, tampak rileks, TD
130/80mmHg, nadi: 80x/menit, RR: 18x/menit, T:
36,3C, VAS 2. Tak tampak tanda-tanda infeksi, DC
warna merah muda.
A : - Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan
teratasi.
- Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
teratasi sebagian
- Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasive (pemasangan kateter) teratasi sebagian
P : Pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan intervensi
hingga pasien boleh pulang.

36
BAB V
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak
adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas.
Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi
kondisi normal, biasanya dialami laki-laki berusia di atas 50 tahun.
Hiperplasia prostat atau BPH adalah pembesaran progresif dari
kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau
semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars
prostatika.
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal
berikut dalam derajat yang berbeda-beda yaitu sering berkemih, nokturia,
urgensi (kebelet), urgensi dengan inkontinensia, tersendat-sendat,
mengeluarkan tenaga untuk mengalirkan kemih, rasa tidak puas saat
berkemih, inkontinensia overflow, dan kemih yang menetes setelah berkemih.
Kandung kemih yang teregang dapat teraba pada pemeriksaan abdomen, dan
tekanan suprapubik pada kandung kemih yang penuh akan menimbulkan rasa
ingin berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan rectal untuk menilai
besarnya kelenjar
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan medikasi dan tindakan
pembedahan seperti TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ), Retropubic atau
Extravesical Prostatectomy, Perianal Prostatectomy, Suprapubic atau
Tranvesical Prostatectomy.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul meliputi gangguan
eleminasi urin, nyeri akut, risiko infeksi, ansietas.

37
DAFTAR PUSTAKA

Huda Nurarif Amin. (2013). Aplkai Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa


medis dan NANDA. MediAction.

Nugraha Taufan . (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah,


Penyakit dalam . Yogyakarta: Nuha Medika.

Rendi clevo . (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan penyakit dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.

Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.

DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice.


New York: Delmar.

Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2010). Brunner & Suddarth’s textbook of
medicalsurgical nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract
symptoms: Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr
BladderDysfunct Rep, 5:212–218.

38
39

Anda mungkin juga menyukai