Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kelenjar prostat adalah satu organ genetalia pria yang terletak disebelah inferior buli
buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada
orang dewasa kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2011). Bila mengalami pembesaran atau
hiperplasy organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya
aliran urine keluar dari buli-buli atau lebih dikenal Benigna Prostat Hiperplasy (BPH).
Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan
oleh karena hiperplasi beberapa atau semua bagian prostat meliputi jaringan kelenjar/ jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pers prostatika (Soetomo, 1994).
Pasien yang telah dilakukan tindakan pembedahan bukan berarti tidak timbul masalah
lain, masalah yang dapat terjadi setelah tindakan trans vesica prostatectomy (TVP) seperti
pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak, retensi urine, inkontinensia urine,
impotensi dan terjadi infeksi (Purnomo, 2011). Dari 168 pasien yang menjalani trans vesica
prostatectomy (TVP), 15 % diperlukan tranfusi darah pasca operasi. Komplikasi lain yang
biasa terjadi adalah perforasi usus, infeksi luka bedah, disfungsi ereksi, diamati pada 164
pasien (98%), perubahan berkemih pada 32 pasien (19%) dan perubahan usus (11%). Diantara
perubahan perubahan eliminasi urin ditemukan, yang paling sering (64%) adalah
inkontinensia urin (Escudero, 2006).
BPH merupakan penyakit yang biasa terjadi pada laki-laki usia lanjut, ditandai dengan
pertumbuhan yang sangat cepat pada epitel prostat dan daerah transisi jaringan fibromuscular
pada daerah periurethral yang bisa menghalangi dan mengakibatkan pengeluaran urin yang
tertahan. Data prevalensi tentang BPH secara mikroskopi dan anatomi sebesar 40% dan 90 %
terjadi pada rentang usia 50-60 tahun dan 80-90 tahun. Hasil penelitian menunjukkan faktor
risiko yang berpengaruh terhadap BPH adalah umur 50 tahun (OR = 6,27 ; 95% CI : 1,71-
22,99 ; p = 0,006), riwayat keluarga (OR = 5,28 ; 95% CI : 1,78-15,69 ; p = 0,003), kurangnya
makan-makanan berserat (OR = 5,35 ; 95% CI : 1,91-14,99 ; p = 0,001) dan kebiasaan
merokok (OR = 3,95 ; 95% CI : 1,35-11,56 ; p = 0,012). Sedangkan faktor-faktor risiko yang
tidak berpengaruh terhadap BPH adalah riwayat obesitas (OR = 1,784 ; 95% CI : 0,799-3,987 ;
p = 0,156), kebiasaan berolahraga (OR = 3,039 ; 95% CI : 1,363-6,775 ; p = 0,006), Riwayat
penyakit Diabetes Mellitus (OR = 5,829 ; 95% CI : 1,803-18,838 ; p = 0,001), Kebiasaan

1
minum-minuman beralkohol (OR = 1,973 ; 95% CI : 0,821-4,744 ; p = 0,126). Probabilitas
untuk individu untuk terkena BPH dengan semua faktor risiko diatas adalah sebesar 93,27 %.
Faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak adalah umur, riwayat keluarga, kurangnya
makan-makanan berserat dan kebiasaan merokok (Amalia, 2010).

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn
N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
2. Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan gangguan rasa nyaman
pada Tn N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
b. Mahasiswa mampu membuat pathways keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn
N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
c. Mahasiswa mampu membuat diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N
dengan Benigna Prostat Hiperplasia
d. Mahasiswa mampu membuat intervensi keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn
N dengan Benigna Prostat Hiperplasia

C. Metode Penulisan
1. Metode Diskriptif yang menggunakan pendekatan studi kasus melalui pendekatan
proses keperawatan dengan langkah pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2. Sumber data :
Studi kepustakaan dengan mempelajari buku sumber yang berhubungan dengan
masalah Benigna Prostat Hiperplasia.

2
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR BPH


1. Anatomi dan Fisiologi Prostat
a. Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah
kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya
berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini
menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul.

Anatomi Kelenjar Prostat (Sumber: Kumar dkk, 2010)

Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat
dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus oleh
capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal. Diantara
fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi anyaman vena yang
3
disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari fascia pelvic yang
melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic urogenital, dan melekat pada os
pubis dengan diperkuat oleh ligamentum puboprostaticum. Bagian posterior fascia
prostatica membentuk lapisan lebar dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers.
Fascia ini sudah dilepas dari fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi
tindakan operasi prostat ( Purnomo, 2011).
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30- 50 kelenjar
yang terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus
medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan dibawah duktus
ejakulatorius, lobus lateral yang terletak dikanan uretra, lobus anterior atau isthmus
yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus sinistra,
bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos, selanjutnya lobus
medial yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius, banyak mengandung
kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang
menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya
dapat terjadi bendungan aliran urin pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana,
2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah
kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya
kurang lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri
dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma (penyangga) dan
kapsul/muskuler.
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus
prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari
korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik
meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik
menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior, seperti pada saat
ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula
prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic.
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia
lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi
jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya
obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).

4
b. Fisiologi Prostat
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang
tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini
masih belum pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah,
sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua
bagian tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang
sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk
enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5. Kelenjar prostat
mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat alkalis. Cairan ini
mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulase serta fibrinolisis.
Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi
bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar bercampur dengan
semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume cairan ejakulat dan
berfungsi memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar spermatozon tidak
cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat asam (pH: 3,5-4).
Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra posterior untuk
kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume
cairan prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat. Dengan demikian
sperma dapat hidup lebih lama dan dapat melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina
dan melakukan pembuahan, sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan
sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan prostat
menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut setelah ejakulasi dan sangat
meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma ( Wibowo dan Paryana, 2009 ).

2. Definisi BPH
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut
beberapa ahli adalah :
 Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat,
memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).

5
 BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam
prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat
tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan
obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran
kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
 BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau
lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat
mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar
ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh
proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang
mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan
kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.

3. Etiologi BPH
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor
lain yang erat kaitannya dengan terjadinya BPH adalah proses penuaan Ada beberapa
factor kemungkinan penyebab antara lain :
a. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
c. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunantransforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan
epitel.
d. Berkurangnya sel yang mati

6
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.

e. Teori sel stem


Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjprostat menjadi
berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).atau Sel stem yang meningkat
mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ).

4. Patofisiologi BPH
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan
otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara
perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-
lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-
buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase
kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika
urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan
menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk
2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan
aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing
terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami
kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi
urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan
didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong
setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek
(nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan

7
ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo,
2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter,
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan
menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

PATHWAY

8
9
5. Manifestasi Klinis BPH
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan di luar saluran kemih.
1) Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms
(LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif meliputi:
a. (frekuensi) yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
b. (nokturia), terbangun untuk miksi pada malam hari
c. (urgensi) perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan
d. (disuria).nyeri pada saat miksi
Gejala obstruktif meliputi:
a. rasa tidak lampias sehabis miksi.
b. (hesitancy), yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna
mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
c. (straining) harus mengejan
d. (intermittency) yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi dan waktu miksi yang memanjang
yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah,
beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.

2) Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian
atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang
(yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi
gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis,
foetoruremik dan neuropati perifer.

10
3) Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis
dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat
miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo,
2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).

4) Warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai
tanda dan gejala:
1. Hemorogi
a. Hematuri
b. Peningkatan nadi
c. Tekanan darah menurun
d. Gelisah
e. Kulit lembab
f. Temperatur dingin
2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a. bingung
b. agitasi
c. kulit lembab
d. anoreksia
e. mual
f. muntah

6. Penatalaksanaan BPH
1) Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan
untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak
terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik),
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak
terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang

11
yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering
mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk
menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara
periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan
laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah
urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2) Terapi medikamentosa Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-
obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/
dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo
(2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa
reduktase, fitofarmaka.
1. Penghambat adrenergenik alfa Obat-obat yang sering dipakai adalah
prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a
(Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah
0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara
selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak
kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak
ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul
prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini
dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan

12
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran
air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan
berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat.
Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan
lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka
perlu dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer,
dekongestan, obat- obat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan
sfingter uretra.
2. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase Obat yang dipakai adalah finasteride
(proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun
obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya
hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan
karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan
pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini
dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari
obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3. Fitofarmaka/fitoterapi Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara
lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto,
serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-
2 bulan dapat memperkecil volum prostat.
3) Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin
berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan
perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi
tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare
(2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka
dan pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang
biasa digunakan adalah :
a) Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung

13
kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat
digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang
mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak
dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah
insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah
abdomen mayor.
b) Prostatektomi perineal Adalah suatu tindakan dengan mengangkat
kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis
dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi
luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan
rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah
inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
c) Prostatektomi retropubik Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan,
dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu
antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam
pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan
letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi
diruang retropubik.

b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat


dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
a) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi
kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan
(pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi
TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang
dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi
dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP
yang memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus
menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah. Manfaat
pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan
serta waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih

14
singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada kandung kemih,
spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi,
fertilitas (Baradero dkk, 2007).
b) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini
dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic.
Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan
volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang
dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu
atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi
uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi
retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
c) Terapi invasive minimal
Menurut Purnomo (2011) terapi invasive minimal dilakukan pada
pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi
invasive minimal diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy
(TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle
Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra
atau prostatcatt.
1. Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan
ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan
dengan cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro
yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang
diletakkan di uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat
menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat.
2. Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan
dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan
menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini
efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3.
Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun
efek ini hanya sementar, sehingga cara ini sekarang jarang
digunakan

15
3. Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai
energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100
derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat.
Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria,
dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011). d)
Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra
prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat,
selain itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin
leluasa melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini
ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena
resiko pembedahan yang cukup tinggi.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
1. LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan
biakan urin
2. RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning,
cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila
fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau
trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui
pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli,
mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu
(Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
3. Prostatektomi Retro PubisPembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung
kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat
melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
4. Prostatektomi ParinealYaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui
perineum.

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah
a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis,
gagal ginjal.

16
b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi
c. Hernia / hemoroid
d. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu
e. Hematuriaf. Sistitis dan Pielonefritis

B. KONSEP DASAR GANGGUAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN PADA


PENYAKIT BPH
1. Pengkajian Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
Pengkajian nyeri akut penting untuk upaya penatalaksanaan nyeri yang afektif.
Karena nyeri merupakan pengalaman yang subjektif dan dirasakan secara berbeda pada
masing-masing individu, maka perawat perlu mengkaji semua factor yang mempengaruhi
nyeri, seperti factor fisiologis, psikologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural.
Pengkajian nyeri terdiri atas dua komponen utama, yakni (a) riwayat nyeri untuk
mendapatkan data dari klien dan (b) observasi langsung pada respon perilaku dan
fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan pemahaman objektif
terhadap pengalaman subjek. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara PQRST :
P (pemicu) yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri.
Q (quality) dari nyeri, apakah rasa tajam, tumpul atau tersayat.
R (region) yaitu daerah perjalanan nyeri.
S (severty) adalah keparahan atau intensits nyeri.
T (time) adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.
a. Riwayat Nyeri
Saat mengkaji riwayat nyeri, perawat sebaiknya memberikan klien kesempatan
untuk mengungkapkan cara pandang mereka terhadap nyeri dan situasi tersebut dengan
kata-kata mereka sendiri. Langkah ini akan membantu perawt memahami makna nyeri
bagi klien dan bagaimana ia berkoping terhadap aspek, antara lain :
1). Lokasi
Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien menunjukkan area nyerinya.
Pengkajian ini biasanya dilakukan dengan bantuan gambar tubuh. Klien biasanya
menandai bagian tubuhnya yang mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama untuk
klien yang memiliki lebih dari satu sumber nyeri.
2). Intensitas Nyeri

17
Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya untuk
menentukan intensitas nyeri pasien. Skala nyeri yang paling sering digunakan adalah
rentang 0-5 atau 0-10. Angka “0” menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka
tertinggi menandakan nyeri “terhebat” yang dirasakan klien. Intensitas nyeri dapat
diketahui dengan bertanya kepada pasien melalui skala nyeri wajah, yaitu Wong-Baker
FACES Rating Scale yang ditujukan untuk klien yang tidak mampu menyatakan
intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak yang tidak mampu
berkomunikasi secara verbal dan lan sia yang mengalami gangguan komunikasi.
Keterangan
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskribsikan nyeri, dapat mengikuti
perintah dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikan nyeri, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, napas panjang dan
distraksi.
10 : Nyeri sangat berat (klien sudah tidak bisa berkomunikasi).

3). Kualitas Nyeri


Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul” atau “ditusuk-tusuk”. Perawat
perlu mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya sebab
informasi yang akurat dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta
pilihan tindakan yang diambil.
4). Pola
Pola nyeri meliputi: waktu awitan, durasi/lamanya nyeri dan kekambuhan atau
interval nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama
nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang dan kapan nyeri terakhir kali muncul.
5). Faktor Presipitasi
Terkadang aktivitas tertentu dapat memicumunculnya nyeri. Sebagai contoh:
aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor lingkungan

18
(lingkungan yang sangat dingin atau sangat panas), stresor fisik dan emosional juga dapat
memicu munculnya nyeri.
6). Gejala yang menyertai
Gejala ini meliputi: mual, muntah, pusing dan diare. Gejala tersebut bisa
disebabkan oleh awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.

7). Pengaruh aktifitas sehari-hari


Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian klien akan
akan membantu perawat memahami persepsi klien tentang nyeri. Beberapa aspek
kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi,
pekerjaan, hubungan interpesonal, hubungan pernikahan, aktivitas di rumah, aktivitas
waktu seggang serta status emosional.
8). Sumber koping
Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi nyeri.
Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh oleh pengalaman nyeri sebelumnya atau
pengaruh agama/budaya.
9). Respon afektif
Respon afektif klien terhadap nyeri bervariasi, tergantung pada situasi, derajat
dandurasi nyeri, interpretasi tentang nyeri dan banyak faktor lainnya. Perawat perlu
mengkaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah, depresi atau perasaan gagal pada diri
klien.
b. Observasi respons perilaku dan fisiologis
Banyak respons nonverbal/perilaku yang bisa dijadikan indikator nyeri diantaranya :
1). Ekspresi wajah:
a) Menutup mata rapat-rapat
b) Membuka mata lebar-lebar
c) Menggigit bibir bawah
2). Vokalisasi:
a) Menangis
b) Berteriak
3). Imobilisasi (bagian tubuh yang mengalami nyeri akan digerakan tubuh tanpa
tujuan yang jelas):
a) Menendang-nendang

19
b) Membolak-balikkan tubuh diatas kasur
Sedangkan respons fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada sumber dan
durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respons fisiologis:
a. Peningkatan tekanan darah
b. Nadi dan pernapasan
c. Diaforesis
d. Dilatasi pupil akibat terstimulasinya sistem saraf simpatis.

2.Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
b) Nyeri kronis berhubungan dengan kerusakan jaringan.

3.Intervensi Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu
mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria hasil:
a. Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang
b. Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
c. Intervensi:
d. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta
penghilang nyeri.
e. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan
tekanan darah dan denyut nadi)
f. Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah
g. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen
tegang)
h. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif. Lakukan
perawatan aseptik terapeutikg. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat
2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder.
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 5-7 hari pasien tidak mengalami retensi
urin
Kriteria : Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.

20
Intervensi :
a. Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril
b. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup
c. Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab,
takikardi, dispnea)
d. Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah
menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau
jaringan
e. Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari
kedua post operasi)
f. Ukur intake output cairang. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000
ml/hari, jika tidak ada kontra indikasih. Berikan latihan perineal (kegel training)
15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk
melakukannya.
3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi,
hilangnya fungsi tubuh
Tujuan :Setelah dilakukan perawatn selama 1-3 hari pasien mampu mempertahankan
fungsi seksualnya
Kriteria hasil :Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual
dan aktivitas secara optimal.
Intervensi :
a. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan
perubahannya
b. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat
c. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek
prostatektomi dalam fungsi seksual
d. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual
e. Beri penjelasan penting tentang:
f. Impoten terjadi pada prosedur radikal
g. Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal
h. Adanya kemunduran ejakulasif. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan
seksual selama 1 bulan (3-4 minggu) setelah operasi.

21
4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée ikroorganisme melalui
kateterisasi
Tujuan :Setelah dilakukan perawatan selama 1-3 hari pasien terbebas dari infeksi
Kriteria hasil:
a. Tanda-tanda vital dalam batas normal
b. Tidak ada bengkak, aritema, nyeri
c. Luka insisi semakin sembuh dengan baik
d. Intervensi:
e. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.
f. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan,
kebocoran)
g. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan
drainage
h. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin
dressing
i. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin)
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit,
perawatannya
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 1-2 hari
Kriteria : Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan
mendemonstrasikan perawatan
Intervensi :
a. Motivasi pasien/ keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang
penyakit, perawat
b. Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
o Perawatan luka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter
o Perawatan di rumahc. Adanya tanda-tanda hemoragi

22
Pasien bernama Tn. S, umur klien adalah 65 tahun. Klien beragama islam dan berkerja
sebagai petani. Klien datan ke RSI Siti Khadijah Palembang dengan keluhan perut bagian kiri
sakit dan dada sakit. Klien merasa sakit sejak 2 hari yang lalu secara bertahap. Klien juga
mengatakan sulit BAK setelah operasi. TTV : TD 110/70 mmHg, N : 78X/menit, S : 35,6 ;
RR 20X/menit ; Terpasang DC, Drain, dan Infus RL 20 tpm

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN Tn.S DENGAN BPH POST
PROSTATEKTOMY RSI Siti Khadijah Palembang

I. PENGKAJIAN
A. BIODATA
1. Identitas pasien
Nama : Tn. S
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah 1 kali
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tani
Alamat : Jl. Tanjung Perak RT/RW : 032/07Kalidoni Palembang
Tanggal Masuk : 22 Juni 2017
No. Register : 198785
Diagnosa medis : BPH
2. Penanggung jawab
Nama : Ny. N
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : MTs
23
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hub. dengan pasien : Istri

B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Keluhan Utama
Perut bagian kiri sakit, dada sakit
2. Riwayat penyakit sekarang
a. Alasan dirawat dirumah sakit / perjalanan penyakit BAK sulit
b. Faktor pencetus Umur sudah tua
c. Lamanya keluhan 2 hari
d. Timbulnya keluhan (bertahap/mendadak) bertahap
e. Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya Jika sakit dipijitkan
3. Riwayat perawatan dan kesehatan dahulu
Pernah dirawat di Puskesmas selama 1 minggu karena typoid
4. Riwayat kesehatan keluarga
Paman pernah menderita tumor

C. POLA KESEHATAN FUNGSIONAL( DATA FOKUS)


1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
a. Persepsi pasien tentang kesehatan diri
Sebelum sakit : kesehatan adalah nikmat dari Allah
Setelah dirawat : kesehatan adalah nikmat dari Allah
b. Pengetahuan dan persepsi pasien tentang penyakitnya
Sebelum sakit : perut kiri ada benjolan
Setelah dirawat : BAK sulit karena penyakit prostat
c. Upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan
Sebelum sakit : pasien jarang bberobat
Setelah dirawat : pasien berobat langsunng ke Puskesmas
d. Kemampuan pasien untuk mengontrol kesehatan (apa yang dilakukan pasien
bila sakit, kemana pasien biasa berobat bila sakit)
Sebelum sakit : pasien biasa kerokan kalau sakit
Setelah dirawat : pasien periksa di Puskesmas dan Rumah Sakit
e. Kebiasaan hidup

24
Sebelum sakit : pasien dahulu konsumsi kopi dan rokok
Setelah dirawat : pasien tidak merokok dan minum kopi
f. Faktor sosioekonomi yang berhubungan dengan kesehatan
Sebelum sakit : pasien terdaftar di Jamkesmas
Setelah dirawat : pasien terdaftar di Jamkesmas
2. Pola nutrisi dan metabolik
a. Pola makan
Sebelum sakit : pasien biasa makan 3 kali sehari
Setelah dirawat : pasien makan tidak seperti biasanya
b. Apakah keadaan sakit saat ini mempengaruhi pola makan/minum
Sebelum sakit : pasien biasa habis 1 porsi setiap makan
Setelah dirawat : pasien tidak habis 1 porsi setiap makan
c. Makanan yang disukai pasien, adakah makanan pantangan / makanan tertentu
yang menyebabkan alergi, adakah makanan yang dibatasi
Sebelum sakit :pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan
Setelah dirawat :pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan
d. Adakah keyakinan atau kebudayaan yang dianut yang mempengaruhi diit
Sebelum sakit : kebudayaan pasien tidak mempengaruhi diit
Setelah dirawat : kebudayaan pasien tidak mempengaruhi diit
e. Kebiasaan mengkonsumsi vitamin/obat penambah nafsu makan (jumlah yang
dikonsumsi setiap hari, sudah berapa lama)
Sebelum sakit : pasien tidak biasa mengkonsumsi vitamin penambah nafsu
makan
Setelah dirawat : pasien tidak biasa mengkonsumsi vitamin penambah nafsu
makan
f. Keluhan dalam makan
Sebelum sakit : pasien tidak memiliki keluhan dalam makan
Setelah dirawat : pasien mual setelah operasi
g. Pola minum
Sebelum sakit : pasien biasa minum air putih kurang lebih 8 gelas sehari
Setelah dirawat : pasien biasa minum 3 gelas sehari
h. Bila pasien terpasang infuse berapa cairan yang masuk sehari

25
Pasien terpasang infus pada ektremitas atas sebelah kanan dan dalam satu hari
cairan yang masuk 1-3 plabot perhari
i. Keluhan demam
Post operasi hari ke 1-3 pasien merasa demam
3. Pola eliminasi
a. Eliminasi feses
Sebelum sakit : pasien biasa BAB 1 kali sehari
Setelah dirawat : pasien belum pernah BAB setelah dioperasi
b. Eliminasi urin
Sebelum sakit : pasien BAK seperti biasanya, warna urin jernih
Setelah dirawat : pasien BAK melalui kateter, warna urin pasien keruh

4. Pola aktifitas dan latihan


a. Kegiatan dalam pekerjaan
Sebelum sakit : pasien biasa bekerja dan beraktivitas
Setelah dirawat : pasien tidak bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasanya
b. Keluhan dalam aktivitas
Sebelum sakit : pasien biasa melakukan aktivitas tanpa bantuan
Setelah dirawat : semua aktivitas pasien dibantu oleh keluarga
5. Pola istirahat dan tidur
1. Kebiasaan tidur
Sebelum sakit : pasien biasa tidur setelah tengah malam
Setelah dirawat : pasien biasa tidur setelah tengah malam
2. Kesulitan tidur
Sebelum sakit : pasien biasa tidur pulas
Setelah dirawat : pasien mudah terbangun
6. Pola persepsi sensori dan kognitif
a. Keluhan yang berkenaan dengan kemampuan sensasi
Sebelum sakit : pasien tidak memiliki keluhan dalam kemampuan sensasi
sensori
Setelah dirawat : pasien tidak memiliki keluhan dalam kemampuan sensasi
sensori
b. Kemampuan kognitif

26
Sebelum sakit : pasien tidak mengalami gangguan kognitif
Setelah dirawat : pasien tidak mengalami gangguan kognitif
c. Persepsi terhadap nyeri dengan menggunakan pendekatan P,Q,R,S,T
P = nyeri bertambah saat beraktivitas
Q = nyeri seperti dicengkeram
R = nyeri ulu hati
S = Skala 3
T = 2 hari
7. Pola hubungan dengan orang lain
Sebelum sakit : pasien biasa bersosialisasi dengan orang lain
Setelah dirawat : pasien biasa bersosialisasi dengan orang lain
8. Pola reproduksi dan seksual
Sebelum sakit : pasien biasa berhubungan seksual dengan istrinya
Setelah dirawat : pasien tidak bisa berhubungan seksual dengan istrinya
9. Persepsi diri dan konsep diri
Sebelum sakit :Pasien biasa menjalankan tugasnya sebagai kepala rumah
tangga
Setelah dirawat :pasien tidak bisa bekerja
10. Pola Mekanisme koping
Sebelum sakit : pasien biasa menyelesaikan masalah dengan istri dan
keluarganya
Setelah dirawat : pasien biasa menyelesaikan masalah dengan istri dan
keluarganya
11. Pola nilai kepercayaan / keyakinan
Sebelum sakit : pasien biasa menjalankan sholat 5 waktu
Setelah sakit : pasien biasa menjalankan sholat 5 waktu

D. PENGKAJIAN FISIK
1. Keadaan umum : Baik
2. Tingkat kesadaran : Composmentis
3. Tanda-tanda vital
a. Suhu tubuh : 37,6 C
b. Tekanan darah : 150/82 mmHg

27
c. Respirasi : 28x/menit, cepat, teratur
d. Nadi : 82 x/menit, kuat, teratur
e. Pengkajian nyeri : Nyeri dada kanan, skala 2
4. Pengukuran antropometri : LiLA= 29 cm
5. Kepala : Mesocephal
a. Rambut
Warna hitam, lebat, nampak bersih
b. Mata
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
c. Hidung
hidung nampak bersih
d. Telinga
pendengaran baik, telinga nampak bersih
e. Mulut
bibir tidak kering, tidak ada ginggivitis
1. Leher dan tenggorok : tonsil tidak membesar
2. Dada dan thorak
Bentuk dada simetris
3. Paru-paru : tidak ada ronchi dan wheezing
4. Jantung : Ictus cordis tidak tampak
5. Abdomen : luka operasi post prostatektomi
6. Genital : nampak bersih, terpasang kateter
7. Ekstremitas
a. Inspeksi kuku, kulit
Tidak sianosis, turgor baik, tidak ada edema
b. Capillary refill
< 2 detik
c. Kemampuan berfungsi
Tonus otot baik
d. Bila terpasang infus
tidak ada nyeri tekan pada daerah tusukan infus
8. Kulit
Kulit nampak bersih, warna sawo matang, turgor baik, tidak ada edema

28
E. DATA PENUNJANG
1) Hasil pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Hematologi
Hb : 10,0 g/dL
Hematokrit : 32,9 %
Leukosit : 10.000 sel/mm3
Trombosit : 206.000 sel/mm3
Eritrosit : 3,5 juta/mm3
Urinalisa
Bau : Khas
Warna : Kuning
Kekeruhan : Keruh
Ph : 7,0
Protein :+
Reduksi :-
Keton :-
Bilirubin :-
Urobilin :-
Nitrit :-
BJ urin : 1,010
Sedimen
Eritrosit : 6-8
Lekosit : 25-30 (ada yang bergelombang)
Bakteri : positif
Benang mucus: +
Kristal : AMORS/+
b. Pemeriksaan Radiologi
X Foto BNO - IVP :
UTI dikedua ginjal
Cystitis
Pembesaran kelenjar prostat

29
c. Pemeriksaan UGS
Kesan :
Cystitis
Pembesaran kelenjr prostat (vol = 37 cm3)
Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya secara sonografi
d. Diit yang diperoleh
e. TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
f. Therapy
Infus RL 20 tpm
Inj. Gentamicin 2x80 mg
Inj. Ketorolac 2x30 mg
Inj. Shorax 4x750 m

PENGELOMPOKAN DATA
NO TGL DATA (DS DAN DO) TTD & NAMA
1. DS :
Pasien mengatakan perut sebelah kiri sakit, dada
sakit.

DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N : 78X/menit, S :
35,6 ; RR 20X/menit ; Terpasang DC, Drain, dan
Infus RL 20 tpm

30
2. DS :
Pasien mengatakan masih nyeri di perut bagian
luka post operasi, pasien mengatakan tidak nafsu
makan, ingin cepat pulang ke rumah.

DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka post operasi

3. DS :
Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang (< 3)

DO :
Pasien tampak lemas, tidak banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain

ANALISA DATA
DATA (DS dan DO) MASALAH (P) ETIOLOGI (E)
DS : Nyeri akut Agen cidera fisik :
Pasien mengatakan perut post operasi TVP
sebelah kiri sakit, dada sakit.

DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N :
78X/menit, S : 35,6 ; RR

31
20X/menit ; Terpasang DC,
Drain, dan Infus RL 20 tpm
DS : Resiko infeksi Prosedur invasif :
Pasien mengatakan masih nyeri luka post operasi
di perut bagian luka post TVP
operasi, pasien mengatakan
tidak nafsu makan.
DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang
terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka post
operasi
Pasien mengatakan nyeri sudah Hambatan mobilitas fisik Ketidaknyamanan :
berkurang (< 3), lemas. pemasangan kateter,
luka post operasi.
DO :
Pasien tampak lemas, tidak
banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Nyeri akut b/d Agen cidera fisik, post operasi TVP
2. Resiko infeksi b/d Prosedur invasif, luka post operasi TVP
3. Hambatan mobilitas Fisik b/d Ketidaknyamanan, pemasangan kateter, luka post
operasi.

32
III. INTERVENSI
NO WAKTU TUJUAN & RENCANA RASIONAL
DX (TGL/JAM) KRITERIA (NIC)
(NOC)
1. Setelah dilakukan 1. Manajemen nyeri 1. Meringankan atau
tindakan mengurangi nyeri
keperawatan sampai pada
selama 3X24 jam, tingkat
pasien tidak kenyamanan yang
mengalami nyeri, dapat diterima oleh
dengan kriteria pasien.
hasil : 2. Pemberian 2. Untuk mengurangi
- Mampu analgetik : atau
mengontrol nyeri menggunakan menghilangkan
( tahu penyebab agens-agens nyeri.
nyeri, mampu farmakologi
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi
untuk mengurangi
nyeri, mencari
bantuan),
- melaporkan
bahwa nyeri
berkurang dengan
menggunakan
manajemen nyeri,
- mampu
mengenali
nyeri(skala,
intensitas,
frekuensi dan
tanda nyeri),

33
- menyatakan rasa
nyaman setelah
nyeri berkurang
2 Setelah dilakukan 1. Perawatan 1. Meningkatkan
tindakan sirkulaasi: sirkulasi arteri
keperawatan insufisensi arteri
selama 1x24 jam, 2. Perawatan luka 2. Membersihkan,
pasien tidak insisi memantau dan
mengalami infeksi memfasilitasi
dengan kriteria proses
hasil : penyembuhan luka
- Klien bebas dari yang ditutup
tanda dan gejala dengan jahitan.
infeksi
- menunjukkan 3. Perawatan luka 3. Mencegah
kemampuan untuk terjadinya
mencegah komplikasi pada
timbulnya infeksi, luka dan
jumlah leukosit memfasilitasi
dalam batas proses
normal penyembuhan luka.
- menunjukkan
perilaku hidup
sehat.
3 Setelah dilakukan 1. Promosi 1. Memfasilitasi
tindakan mekaanika tubuh penggunaan postur
keperawatan dan pergerakan
selama 3x24 jam, dalam aktivitas
hambatan sehari hari untuk
mobilitas fisik mencegah
teratasi dengan keletihan dan
kriteria hasil : ketegangan atau
- Klien meningkat cedera

34
dalam aktivitas muskuloskeletal
fisik, mengerti 2. Terapi latihan 2. Meningkatkan dan
tujuan dari fisik : ambulasi membantu dalam
peningkatan berjalan untuk
mobilitas, mempertahankan
memverbalisasikan atau
perasaan dalam mengembalikan
meningkatkaan fungsi tubuh
kekuatan dan autonom
kemampuan 3. Terapi latihan 3. Menggunakan
berpindah, fisik : mobilisasi gerakan tubuh aktif
memperagakan sendi dan pasif untuk
penggunaan alat mempertahankan
bantu untuk atau
mobilisasi. mengembaliakn
fleksibilitas sendi
4. Bantuan 4. Membantu individu
perawatan diri untuk mengubah
posisi tubuhnya

IV.IMPLEMENTASI
NO TGL/JAM TINDAKAN RESPON PS TTD &
DX NAMA
Manajemen nyeri : Nyeri sedikit berkurang
1. Teknik relaksasi napas dalam Lebih nyaman

Perawatan luka post operasi di Pasien mengatakan nyaman


2. perut, mengganti botol drain, setelah dibersihkan lukanya
dan perawatan kateter
Mobilisasi dini: Pasien mengatakan tubuhnya
3. Mengubah posisi pasien miring tidak kaku dan lebih nyaman.
kanan dan kiri dan melatih
ROM aktif dan pasif secara

35
perlahan.

V. EVALUASI
NO WAKTU EVALUASI TTD &
DX (TGL/JAM) NAMA
S : pasien mengatakan nyeri di luka post operasi
1. O : KU baik, pasien tampak menahan nyeri, terpasang
infus di tangan kanan, terpasang drain, dan terpasang
kateter
A : masalah teratasi sebagian, nyeri berkurang
P : manajemen relaksasi napas dalam
S : pasien mengatakan nyeri pada luka post operasi
2. O : TD 110/60 mmHg, S 36 º c, N 80x/menit, RR
20x/menit, terpasang infus di tangan kanan, terpasang
drain, dan terpasang kateter
A : nyeri berhubungan dengan insisi luka
P : perawatan luka, perawatan kateter, mengganti botol
drain.
3. S : pasien mngetakan lemas, takut untuk bergerak,
duduk dan berdiri.
O : pasien sering tidur, tampak lemah
A : hambatan mobilitas fisik
P : mobilisasi dini

BAB IV
PENUTUP

A. SIMPULAN
Hiperplasia prostat jinak (benign prostatic hyperplasia) adalah pembesaran kelenjar
periurethral yang mendesak jaringan prostat keperifer dan menjadi simpai bedah
(pseudokapsul). BPH merupakan kelainan kedua tersering yang dijumpai pada lebih dari 50%
pria berusia diatas 60 tahun.

36
Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah
membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami
hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak
menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical.

B. SARAN
Melalui dokumentasi keperawatan akan dapat dilihat sejauh mana peran dan fungsi
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien. Hal ini akan bermanfaat bagi
peningkatan mutu pelayanan dan bahan pertimbangan dalam kenaikan jenjang karir/ kenaikan
pangkat. Selain itu dokumentasi keperawatan juga dapat menggambarkan tentang kinerja
seorang Perawat

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes E. maryline.2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.

Purnomo, B.B. (2011). Dasar-dasar urologi .Jakarta: Penerbit Sagung Seto

Sjamsuhidayat. R dan Wim De Jong2002.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC


37
Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

38

Anda mungkin juga menyukai