Anda di halaman 1dari 24

PORTOFOLIO DOKTER INTERNSIP

KASUS BEDAH

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

OLEH:
dr. MARISKA SAYYIDA UMMAH

PEMBIMBING:
dr. ENDAH WORO UTAMI, MMRS

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD NGUDI WALUYO WLINGI
2018

1
BAB I
DASAR TEORI

1. 1. KELENJAR PROSTAT

1. 1. 1. Anatomi dan Histologi Kelenjar Prostat(1)

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus (kerucut) terbalik yang dilapisi oleh
kapsul fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian
proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram,
dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5
cm.

Pada bagian anterior digantung oleh ligamentum pubo-prostatika yang melekatkan


prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat vesikula seminalis, vas
deferen, fasia denonvilliers dan rectum. Fasia denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua
lapisan peritoneum, fasia ini cukup keras dan biasanya dapat menahan invasi karsinoma
prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki
oleh ductus ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum
didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada permukaan
superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna sedangkan dibagian
inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan
perineal membungkus otot levator ani yang tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih
lemah oleh karena ototnya lebih sedikit dan fasia lebih tipis.

Gambar 1. kelenjar prostat dan uretra

2
Menurut klasifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior, posterior, medial, lateral
kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal, prostat dibagi atas 4 bagian utama:

1. Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular. Ini


merupakan sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang glandular
dapat dibagi menjadi 3 zona (bagian 2,3 dan 4).
2. Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang glandular,
membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara
skematik zona ini dapat digambarkan seperti suatu corong yang bagian
distalnya terdiri dari apex prostat dan bagian atasnya terbuka untuk
menerima bagian distal zona sentral yang berbentuk baji. Saluran-saluran
dari zona perifer ini bermuara pada uretra pars prostatika bagian distal.
3. Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang glandular,
dikenal sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus
ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum dan basisnya pada leher
buli-buli. Saluran-salurannya juga bermuara pada uretra prostatika bagian
distal. Zona central dan perifer ini membentuk suatu corong yang berisikan
segmen uretra proximal dan bagianventralnya tidak lengkap tertutup
melainkan dihubungkan oieh stroma fibromuskular.
4. Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang terkecil (5
%), terletak tepat pada batas distal sfinkter preprostatik yang berbentuk
silinder dan dibentuk oleh bagian proximal uretra. Zona transisional dan
kelenjar periuretral bersama-sama kadang-kadang disebut sebagai kelenjar
preprostatik.

Prostat diperdarahi oleh arteri vesika inferior, arteri pudendalis interna arteri
hemoroidalis medialis. Arteri utama memasuki prostat pada bagian infero-lateral persis
dibawah bladder neck, ini harus diligasi atau didiatermi pada waktu operasi prostatektomi.
Darah vena prostat dialirkan kedalam fleksus vena periprostatika yang berhubungan dengan
vena dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka interna yang juga berhubungan
dengan pleksus vena presakral. Oleh karena struktur inilah sering dijumpai metastase
karsinoma prostat secara hematogen ke tulang pelvis dan vertebra lumbalis.

Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan kandung kemih bagian inferior
yaitu fleksus saraf simpatis dan parasimpatis. Aliran lymph dari prostat dialirkan kedalam
lymph node iliaka interna (hipogastrika), sacral, vesikal dan iliaka aksterna

3
1. 1. 2. Fisiologi Kelenjar Prostat(1,2)

Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama ejakulasi,
mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi pasti cairan ini belum
diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa sperma.

Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin, dapat dianggap
imbangannya (counterpart) dengan payudara pada wanita. Pengetahuan mengenai sifat
endokrin ini masih belum pasti, tetapi pada pengebirian kelenjar prostat jelas akan mengecil.
Jadi prostat dipengaruhi oleh hormon androgen, ternyata bagian yang sensitive terhadap
androgen adalah bagian perifer, sedangkan yang sensitive terhadap estrogen adalah bagian
tengah. Karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasia, oleh
karena sekresi androgen yang berkurang sedangkan estrogen bertambah secara relatif
ataupun absolut.

1.2. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

1.2. 1. Definisi(2)

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah
pertumbuhan berlebihan dari sel-sel (hiperplasia) kelanjar periuretral prostat yang tidak
ganas yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah1.

1. 2. 2. Epidemiologi(2)

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum
usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari
lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai
usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan
hyperplasia. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80%
pria yang berusia 80 tahun3.

1. 2. 3. Etiologi(2)

Belum diketahui secara pasti, saat ini terdapat beberapa hipotesis yang diduga
sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat antara lain :

1. Teori DHT (dihidrotestosteron). Testosteron dengan bantuan enzim 5-a reduktase


dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang
pertumbuhan epitel.

4
3. Teori stem cell hypotesis. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Sel
aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada
androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan
menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
4. Teori growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah
pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF)
dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi
transforming growth factor-b (TGF-b), akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.
5. Teori Hormonal. Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi
maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain
androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan
bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara
hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer
dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang
terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang
berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan
konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan
potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran
prostat. 
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan,
bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan
produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat.
Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler
(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi
androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang
produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat
terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen
dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.

1. 2. 4. Patologi(2)

Perubahan paling awal pada BPH adalah di kelenjar periuretra sekitar


verumontanum. Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler, nodul
asinar atau nodul campuran fibroadenomatosa. Hiperplasia glandular terjadi berupa nodul
asinar atau campuran dengan hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar biasanya besar dan

5
terdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak menunjukkan proses keganasan.

Proses patologis lainnya adalah penimbunan jaringan kolagen dan elastin di antara otot
polos yang berakibat melemahnya kontraksi otot. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hipersensitivitas pasca fungsional, ketidakseimbangan neurotransmiter, dan penurunan
input sensorik, sehingga otot detrusor tidak stabil.

1. 2. 5. Patofisiologi(2,5)

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan
adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika
sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen
dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik
reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos
prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf
simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.

Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi uretra.


Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk mengatasi resistensi
uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi untuk mengeluarkan urine.
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase
penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi

Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala-gejala prostatismus1. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot
detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan
pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

1. 2. 6. Manifestasi klinis(2,3)

Gejala hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas gejala obstruktif
dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena penyempitan uretra pars prostatika
karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi

6
cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala-gejalanya antara
lain1:

1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)

2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)

3. Miksi terputus (Intermittency)

4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)

5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga
factor, yaitu:

a. Volume kelenjar periuretral

b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

c. Kekuatan kontraksi otot detrusor

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna
pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah1 :

1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)

2. Nokturia

3. Miksi sulit ditahan (Urgency)

4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis


derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :

Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing <>

Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml

Grade III: Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin >
150 ml.8

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, WHO

7
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor
Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem
skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS)
dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan
yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan
keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.

Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:

- Ringan : skor 0-7

- Sedang : skor 8-19

- Berat : skor 20-35

Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk
mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan
(fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut.

International Prostatic Symptom Score

Pertanyaan Jawaban dan skor

Tidak Hampir
Keluhan pada bulan terakhir <20% <50% 50% >50%
sekali selalu

a. Adakah anda merasa buli-


buli tidak kosong setelah 0 1 2 3 4 5
berkemih

b. Berapa kali anda berkemih


0 1 2 3 4 5
lagi dalam waktu 2 menit

c. Berapa kali terjadi arus urin


0 1 2 3 4 5
berhenti sewaktu berkemih

d. Berapa kali anda tidak


dapat menahan untuk 0 1 2 3 4 5
berkemih

8
e. Beraapa kali terjadi arus
lemah sewaktu memulai 0 1 2 3 4 5
kencing

f. Berapa keli terjadi bangun


tidur anda kesulitan memulai 0 1 2 3 4 5
untuk berkemih

g. Berapa kali anda bangun


0 1 2 3 4 5
untuk berkemih di malam hari

Jumlah nilai :

0 = baik sekali 3 = kurang

1 = baik 4 = buruk

2 = kurang baik 5 = buruk sekali

1. 2. 7. Pemeriksaan fisik(3)

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani,
reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di
dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan1:

a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)

b. Simetris/ asimetris

c. Adakah nodul pada prostate

d. Apakah batas atas dapat diraba

e. Sulcus medianus prostate

f. Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti
meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan
pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus
prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.

9
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas
kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah
terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya
hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab
yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau
uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus

1. 2. 8. Pemeriksaan Penunjang(1)

Pemeriksaan Laboratorium

· Darah

Ureum, kreatinin, elektrolit, Blood urea nitrogen, Prostate Specific Antigen


(PSA), Gula darah

· Urine

Kultur urin dan test sensitifitas, urinalisis dan pemeriksaan mikroskopis,


sedimen

Laboratory Findings
Urinalisa dapat memberikan bukti adanya infeksi. Residual urin


biasanya meningkat (> 50 cc), dan waktu laju aliran urin akan menurun ( 10 ng/mL, kanker
harus dicurigai (normal < 4 ng/mL). Serum alkaline phosphatase biasanya meningkat jika
tumor telah menyebar ke tulang.
Prostatitis akut dapat menyebabkan gejal-gejala obstruksi,
tetapi pasien biasanya mengalami infeksi saluran kemih (ISK) atau bisa dalam sepsis.
Prostat terasa nyeri terutama dengan penekanan meskipun secara halus.
Striktur uretra
mengurangi kaliber pancaran urin. Biasanya terdapat riwayat gonorrhea atau trauma lokal.
Retrograde urethrogram akan menunjukkan area stenosis. Striktur juga dapat menghambat
pasase kateter.

Pemeriksaan pencitraan(1)

a. Foto polos abdomen (BNO)

Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu
saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk
menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat

10
b. Pielografi Intravena (IVP)

Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada


dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti
mata kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui adanya kelainan pada ginjal
maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit
(trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli). Foto setelah miksi dapat dilihat
adanya residu urin.

c. Sistogram retrograde

Memberikan gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter karena
retensi urin.

d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)

Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur residu urin

e. MRI atau CT scan

Jarang dilakukan. Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan


bermacam – macam potongan

Pemeriksaan lain(1)

 Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran ditentukan oleh daya
kontraksi otot detrusor, tekanan intravesika, resistensi uretra. Angka normal laju
pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik
dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik.

 Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)


Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak
dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi
otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths
Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju
pancaran urin dapat diukur.

 Pemeriksaan Volume Residu Urin


Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat

11
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin
yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang
akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.

1. 2. 9. Diagnosis Banding(1)

Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya3:

1. Struktur uretra

2. Kontraktur leher vesika

3. Batu buli-buli kecil

4. Kanker prostat

5. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan


obat-obat parasimpatolitik.

Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :

1. Instabilitas detrusor

2. Karsinoma in situ vesika

3. Infeksi saluran kemih

4. Prostatitis

5. Batu ureter distal

6. Batu vesika kecil.

1. 2. 10. Komplikasi(3)

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan
komplikasi sebagai berikut1

a. Inkontinensia Paradoks

b. Batu Kandung Kemih

c. Hematuria

d. Sistitis

12
e. Pielonefritis

f. Retensi Urin Akut Atau Kronik

g. Refluks Vesiko-Ureter

h. Hidroureter

i. Hidronefrosis

j. Gagal Ginjal

1. 2. 11. Penatalaksanaan(3)

Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan teknologi
yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi bedah minimal invasif
yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang tinggi. Berikut ini akan
dibahas penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah
konvensional, dan terapi minimal invasif3.

Watchful Waiting

Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS 3)

1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar
mengurangi nokturia.

2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).

3. Mengurangi kopi.

4. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil.
Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring,
uroflowmetri, dan TRUS.

5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.

Terapi Medikamentosa

Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa). Terdapat


tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu dengan
penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi3.

13
 Penghambat adrenergik a-1
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan pada otot
polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan demikian, akan terjadi
relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars prostatika menurun dan
mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif
cepat.

Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat menimbulkan
keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah (fatique). Pengobatan
dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa pertanyaan, seperti berapa
lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap baik mengingat sumbatan oleh
prostat makin lama akan makin berat dengan tumbuhnya volume prostat. Contoh obat:
prazosin, terazosin dosis 1 mg/hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/hari. Tamsulosin
dengan dosis 0.2-0.4 mg/hari2.

 Penghambat enzim 5a reduktase


Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga testosteron
tidak diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi DHT dalam jaringan
prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan
memberikan perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi. Salah satu efek samping obat ini
adalah menurunnya libido dan kadar serum PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/hari.

 Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase


Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a reduktase
pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat penurunan skor
dan peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan penghambat adrenergik a-1.
Namun, masih terdapat keraguan mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih kecil
dibandingkan kelompok lain. Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.

 Fitoterapi
Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan poluler diberikan di Eropa dan baru-baru ini
di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis
rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula,
Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui
efektivitas dan keamanannya3.

14
Terapi Bedah Konvensional

Penatalaksanaan
Indikasi managemen operasi adalah penurunan fungsi ginjal dan


gejala-gejala lain yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Karena derajat obstruksi
berjalan dengan lambat pada kebanyakan pasien, terapi konservatif dapat juga adekuat.
Obat-obatan yang merelaksasi kapsul prostat dan spinter internal (α-adrenergic blocking
agent) atau yang menurunkan volume prostat (5 α-reductase inhibitor atau antiadrogen)
telah dicoba dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi.

Penatalaksanaan prostatitis kronik adalah untuk mengurangi gejala. Resolusi dari


komplikasi sistitis biasanya akan dapat tercapai. Dalam rangka melindungi tonus vesikal,
pasien sebaiknya diperingatkan agar segera BAK ketika terjadi urgensi. Memaksa cairan
urin keluar dalam waktu yang pendek menyebabkan pengisian VU yang cepat, dan
menurunkan tonus vesikal; ini adalah penyebab umum dari retensi urin akut dan oleh sebab
itu harus dihindari. Pasien-pasien dengan gejala obstruksi urin sebaiknya menghindari
pemakaian obat flu termasuk antihistamin, karena juga dapat menyebabkan retensi urin.
Terapi konservatif ini hanya sementara menolong.
Kateterisasi diharuskan untuk retensi
urin akut. BAK spontan dapat kembali normal, tetapi kateter sebaiknya dibiarkan terpasang
selam 3 hari sementara tonus detrusor kembali normal. Jika ini gagal, terapi konservatif atau
operatif diindikasikan.

Terdapat empat pendekatan klasik yang digunakan dalam prostatectomy:


transurethral, retropubic, suprapubic, dan perineal. Transurethral dipilih pada pasien dengan
berat prostat di bawah 50 g karena morbiditas lebih rendah dan perawatan di RS lebih
singkat. Prostat yang lebih besar memerlukan tindakan bedah terbuka, tergantung dengan
pilihan dan pengalaman dari urologist. Angka kematian rendah dalam masing-masing
prosedur (1–2%). Potensi risiko tertinggi jika pendekatan transperineal digunakan, tetapi
impotensi kadang-kadang terjadi setelah reseksi prostat transuretra.
Pendekatan
alternative dalam penatalaksanaan BPH adalah transurethral incision of the prostate (TUIP).
Prosedur ini terdiri dari insisi prostat pada leher VU ke atas verumontanum, sehingga
memungkinkan ekspansi seluruh uretra prostat. Terutama efektif ketika titik primer obstruksi
disebabkan di "median bar" atau bibir leher VU letak tinggi posterior.
Terapi alternatif
lainnya yang kini sedang berkembang adalah teknik minimally invasive seperti transurethral
vaporization, laser prostatectomy, transurethral microwave thermotherapy, transurethral
needle ablation, dan high intensity focused ultrasound ablation of the
prostate.
Prognosis
kebanyakan pasien dengan gejala yang khas BPH dapat mengalami
perbaikan dan peningkatan fungsi kemih.

15
Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan3:

1. Prostatektomi terbuka :

a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)


b. Prostatektomi retropubik (Terence Millin)
c. Prostatektomi perinealis (Young)

2. Prostatektomi tertutup :

a. Reseksi transuretral.
b. Bedah beku

Open simple prostatectomy

Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu besar, di atas
100 gram, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli. Dapat dilakukan dengan teknik
transvesikal atau retropubik. Operasi terbuka memberikan morbiditas dan mortalitas yang
lebih tinggi daripada TUR-P1-2.

Terapi Invasif Minimal

Transurethral resection of the prostate (TUR-P)

Prinsip TUR-P adalah menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang


menimbulkan obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter. Sampai saat
ini, TUR-P masih merupakan baku emas dalam terapi BPH. Sembilan puluh lima persen
prostatektomi dapat dilakukan dengan endoskopi3. Komplikasi jangka pendek adalah
perdarahan, infeksi, hiponatremia (sindrom TUR), dan retensi karena bekuan darah.
Komplikasi jangka panjang adalah struktur uretra, ejakulasi retrograd (75%), inkontinensia
(<1%),>3.

Transurethral incision of the prostate (TUIP)

Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan
ukuran prostat kecil, yang sering terdapat hiperplasia komisura posterior (leher kandung
kemih yang tinggi)3. Teknik ini meliputi insisi pada arah jam 5 dan 7. Penyulit yang bisa
terjadi adalah ejakulasi retrograd.

16
Terapi laser

Terdapat dua sumber energi yang digunakan, yaitu Nd YAG dan holmium YAG.
Tekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP) yang dilakukan
dengan bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser ablation of the prostate
(VILAP), dan interstitial laser therapy3. Keuntungan terapi laser adalah perdarahan minimal,
jarang terjadinya sindrom TUR, mungkin dilakukan pada pasien yang menjalani terapi
antikoagulan, dan dapat dilakukan tanpa perlu dirawat di rumah sakit3. Kerugiannya di
antaranya tidak didapatkan jaringan untuk pemeriksaan histopatologi, diperlukan waktu
pemasangan kateter yang lebih lama, keluhan iritatif yang lebih banyak, dan harga yang
mahal1,2. Efek samping yang pernah dilaporkan di Indonesia adalah perdarahan (2%), nyeri
pasca operasi (3%), retensi (19%), ejakulasi retrograd (3%), dan disfungsi ereksi (1%).

Microwave hyperthermia

Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau
rektum sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi.

Trans urethral needle ablation (TUNA)

Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat
mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas, sehingga
terjadi koagulasi sepanjang jarum yang menancap di jaringan prostat.

High intensity focused ultrasound (HIFU)

Melalui probe yang ditempatkan di rektum yang memancarkan energi ultrasound


dengan intensitas tinggi dan terfokus.

Intraurethral stent

Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk


mempertahankan lumen uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan harapan hidup
terbatas dan tidak dapat dilakukan anestesi atau pembedahan

Transurethral baloon dilatation

Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan
leher kandung kemih. Prosedur ini hanya efektif bila ukuran prostat kurang dari 40 g,
sifatnya sementara, dan jarang dilakukan lagi.

17
1. 2. 12. Prognosis(3)

Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu
walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian,
kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru5.
BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan
bagi penderita.

18
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Tn.W
Usia : 59 tahun
Alamat : Blitar
Suku : Jawa
Tanggal periksa : 23 Juni 2018
Nomor register : 21xxxx

2.2 Anamnesis
 Keluhan utama: tidak bisa BAK
Pasien datang dengan keluhan tidak bisa BAK 1 hari SMRS. Pasien dipasang
kateter urine di IGD, dan datang untuk kontrol. Pasien mengeluh BAK tidak lancer
sejak kurang lebih 1 tahun SMRS. Bila BAK harus mengejan, BAK menetes,
pancaran urin saat BAK menurun, dan terdapat rasa tidak lampias setelah selesai
BAK. BAK keluar darah (-), BAK keluar pasir (-), nyeri saat BAK (+), nyeri pinggang
(-). Riwayat penyakit dahulu: DM (-), HT (-).

2.3 Pemeriksaan Fisik


Kesan umum : GCS 456
Tekanan darah : 130/80mmHg

Nadi : 72x/ menit

Frenkuensi nafas: 18x/ menit

Kepala/leher : anemis (-), ikterik (-)


Dada : simetris, retraksi (–), deformitas (–)

Cor (jantung) : ictus cordis tidak terlihat, teraba di ICS V midclavicular line sinistra
S1S2 tunggal, murmur (–), gallop (–)
Pulmo : pergerakan dinding dada simetris, retraksi (–)
suara nafas vesicular pada semua lapang paru; ronkhi (–), wheezing (–)
Perut : distended (–), bising usus (+) normal, meteorismus (–)

19
shifting dullness (–),nyeri tekan (–), nyeri ketok CVA (-/-)
hepar = tidak teraba
lien = tidak teraba
RT = TSA (+), sulcus medianus mendatar, polus superior tidak
teraba, mucosa rectum licin, darah (-), feses (-).
Ekstremitas : hangat, kering, merah, edema (–) CRT <2 detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang


USG Urologi: Hyperplasia Prostate grade III

2.5 Diagnosa Kerja


Diagnosa kerja :
 Retensi urine dt. BPH
2.6 Rencana
- Terapi:

Pasang DC, Pro open prostatectomy

2.7 Komunikasi Informasi Edukasi


- KIE kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit pasien, pemeriksaan
yang dilakukan, tatalaksana, dan prognosis penyakit.
- KIE tentang tindakan terapi yang akan dilakukan kepada pasien, serta menjelaskan
komplikasi yang dapat terjadi bila tidak dilakukan tindakan dan komplikasi saat dan
pasca tindakan.

2.8 Prognosis
Dubia

20
BAB 3
PEMBAHASAN
TEORI KASUS
Anamnesis
1. Harus menunggu pada permulaan • Hesistency (+)
miksi (Hesistency)
• Poor stream (+)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor
stream) • Terminal dribbling (+)
3. Miksi terputus (Intermittency)
• Sensation of incomplete bladder
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal
dribbling) emptying (+)
5. Rasa belum puas sehabis miksi
• Disuria (+)
(Sensation of incomplete bladder
emptying)
6. Bertambahnya frekuensi miksi
(Frequency)
7. Nokturia
8. Miksi sulit ditahan (Urgency)
9. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)

Pemeriksaan fisik
Colok dubur pada hiperplasia RT: TSA (+), postat kenyal, sulcus
prostat menunjukkan konsistensi prostat medianus mendatar, nodul (-), polus
kenyal seperti meraba ujung hidung, superior tidak teraba, mucosa rectum
lobus kanan dan kiri simetris dan tidak licin, darah (-), feses (-).
didapatkan nodul. Sedangkan pada
carcinoma prostat, konsistensi prostat
keras dan atau teraba nodul dan diantara
lobus prostat tidak simetris. Sedangkan
pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan penunjang
- BNO USG Urologi: hyperplasia prostate grade
- Sistogram retrograde III
- USG
- MRI/CT scan

Tatalaksana Pro open prostatectomy


-Watchfull waiting
-Terapi medikamentosa

21
-Terapi Bedah:
-Prostatektomi terbuka
-Prostatektomi tertutup
-TURP
-TUIP

22
BAB 4
KESIMPULAN

Telah dilaporkan suatu kasus seorang laki-laki usia 59 tahun dengan Benign
Prostatic Hyperplasia. Anamnesa didapatkan keluhan tidak bisa BAK 1 hari SMRS. Pasien
dipasang kateter urine di IGD, dan datang untuk kontrol. Pasien mengeluh BAK tidak lancer
sejak kurang lebih 1 tahun SMRS. Bila BAK harus mengejan, BAK menetes, pancaran urin
saat BAK menurun, dan terdapat rasa tidak lampias setelah selesai BAK. BAK keluar darah
(-), BAK keluar pasir (-), nyeri saat BAK (+), nyeri pinggang (-). Riwayat penyakit dahulu:
DM (-), HT (-). Pada hasil pemeriksaan penunjang dengan USG urologi didapatkan
hyperplasia prostat.e grade III Penanganan yang cepat dan akurat dapat meningkatkan
prognosis pasien dan mencegah terjadinya komplikasi yang dapat terjadi. Penanganan
meliputi rencana terapi, pada pasien diberikan edukasi tentang penyakit pasien, pengobatan
yakni berupa tindakan bedah berupa open prostatectomy.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahummad A., 2008., Benigna Prostate Hiperplasia., http://ababar.blogspot


.com/2008/12/benigna-prostate-hyperplasia.html., 3 Maret 2009

2. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi ke – 2.


Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85

3. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign


prostatic hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbell’s
urology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52.

4. Arthur C. Guyton, dkk. 2006. “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”. Edisi 9. Jakarta : EGC

5. Sylvia A. Price, dkk. 2006. “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”.


Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC

24

Anda mungkin juga menyukai