Anda di halaman 1dari 39

A.

ANATOMI FISIOLOGI KELENJAR PROSTAT Prostat adalah suatu organ kelenjar yang fibromuskular, yang terletak persis dibawah kandung kemih. Berat prostat pada orang dewasa normal kira-kira 20 gram, didalamnya terdapat uretra posterior dengan panjangannya 2,5-3 cm. Pada bagian anterior disokong oleh ligamentum pubo-prostatika yang melekatkan prostat pada symphisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat vesikula seminalis, vas deferens, fascia denonvilliers dan rectum. Fascia denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fascia ini cukup keras dan biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara pada voramentanum didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal sfingter eksterna. Pada permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan sfingter interna sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragma urogenitalis yang dibentuk oleh lapisan kuat fascia pelvis dan perineal membungkus otot levator ani yang tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena ototnya lebih sedikit dan fascia lebih sedikit30.

Anatomi Reproduksi Pria

Menurut klasifikasi Lowsley, prostat terdiri dari lima lobus yakni Lobus anterior terletak di depan uretra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius adalah kelenjar berbentuk baji yang terletak diantara uretra dan ductus ejakulatorius, bagian atas lobus medius berhubungan dengan trigonum vesica dan mengandung banyak kelenjar. Lobus posterior terletak dibelakang uretra dan di bawah ductus ejakulatorius, juga mengandung banyak kelenjar. Lobus dextra dan lobus sinistra terletak disamping uretra dan dipisahkan oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada facies posterior prostat juga mengandung banyak kelenjar. Sedangkan menurut McNeal, prostat dibagi atas

Zona perifer yakni merupakan 70% dari volume prostat dan mengelilingi distal uretra, 70-80% kanker prostat berasal dari zona ini Zona central merupakan 25% dari volume prostat dan mengelilingi ductus ejakulatorius Zona transisi merupakan 5% dari volume prostat dan mengelilingi proximal uretra, kelenjar pada zona ini tumbuh seumur hidup dan benign prostate hyperplasia terjadi pada zona ini

Zona anterior fibromuskular terdiri dari otot dan jaringan fibrosa (Snell, 2006).

Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selapis epitel toraks dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid28. Fungsi kelenjar prostat yaitu mengeluarkan cairan alkalis yang menetralkan sekresi vagina yang asam, karena sperma lebih dapat bertahan dalam suasana yang sedikit basa. Selain itu prostat juga menghasilkan enzim-enzim pembekuan dan fibrinolisis. Enzim-enzim pembekuan prostat bekerja untuk membekukan semen sehingga sperma yang diejakulasi tetap bertahan di saluran reproduksi wanita, segera setelah itu bekuan seminal diuraikan oleh fibrinolisis sehingga sperma dapat bergerak bebas di dalam saluran reproduksi wanita28. Saat otot polos pada capsula dan stroma berkontraksi maka sekret yang berasal dari banyak kelenjar masuk ke uretra pars prostatica. Jika terjadi pembesaran pada prostat maka akan menyumbat uretra sehingga terjadi obstruksi pada saluran kemih28. Dihidrotestosteron (DHT) yang dibentuk dari testosteron di sel sertoli dan di beberapa organ memiliki peranan dalam pertumbuhan prostat dan merangsang aktivitas sekretorik prostat. Prostat juga dipengaruhi oleh hormon androgen, bagian yang sensitif terhadap androgen adalah bagian perifer, sedangkan yang

sensitif terhadap estrogen adalah bagian sentral. Karena itu pada orang tua bagian sentral-lah yang mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang berkurang sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut28.

Gambar Kelenjar Prostat dan Uretra

Arteri prostat berasal dari arteri vesica inferior, arteri pudendalis interna, arteri hemoroidalis medialis. Arteri utama memasuki prostat pada bagian infero-lateral persis dibawah bladder neck, ini harus diligasi atau didiatermi pada waktu operasi prostatektomi. Darah vena prostat dialirkan kedalam pleksus vena periprostatika yang berhubungan dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena illiaca interna yang juga berhubungan dengan pleksus vena presacral. Oleh karena struktur inilah sering dijumpai metastasis karsinoma prostat secara hematogen ke tulang pelvis dan vertebra lumbalis9. Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan vesica urinaria bagian inferior yaitu pleksus saraf simpatis dan parasimpatis. Aliran lymph dari prostat dialirkan kedalam lymph nodus illiaca interna (hypogastrica), sacral, vesical, dan illiaca eksterna9. Innervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostaticus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S 2-4 dan simpatik dari nervus hipogastricus (T10-L2). Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior, seperti saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan innervasi pada otot polos prostat, kapsula

prostat dan leher kandung kemih. Di tempat itu banyak reseptor adrenergik-a. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut. Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasia jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih28.

B. DEFINISI Benign Prostate Hyperplasia atau BPH adalah pembesaran prostat jinak yang menghambat aliran urin dari kandung kemih. Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hiperplasia stroma dan sel epitelial mulai dari zona periuretra7. Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat yang biasanya timbul di periuretra dan zona transisi dari kelenjar yang kemudian menekan kelenjar normal yang tersisa11. BPH merupakan tumor jinak yang kadang tidak menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini terus berkembang pada akhirnya akan mendesak urethra yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada penderita23.

C. ETIOLOGI Saat ini penyebab BPH masih belum dapat diketahui secara pasti, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai pernyebab timbulnya hiperplasia prostat yakni: 1. Teori Dihidrotestosteron (DHT) Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron. Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif DHT dengan bantuan enzim 5-reduktase. DHT inilah yang secara langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat20. Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal20.

Gambar Teori Dihidrotestosterone dalam BPH

2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron Pada usia yang makin tua, kadar testosteron makin menurun sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen-testosteron relatif meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Akibatnya dengan testosteron yang menurun merangsang terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah ada merangsang terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar20. 3. Interaksi stroma-epitel Diferensiasi dan pertumbuhan sel-sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor). Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel stroma itu sendiri yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel epitel maupun stroma20. 4. Berkurangnya kematian sel prostat Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostasis kelenjar prostat. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat20. 5. Teori stem cell

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada hormon androgen, dimana jika kadarnya menurun akan menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH diduga sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel20.

D. FAKTOR RISIKO Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah : 1. Kadar Hormon Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih poten yaitu Dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5-reductase, yang memegang peran penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat10. 2. Usia Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada kandung kemih (otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua menurunkan kemampuan kandung kemih dalam mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala4. Testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara keseluruhan dinamakan androgen. dan Hormon tersebut mencakup testosteron, besar

dihidrotestosteron

androstenesdion.

Testosteron

sebagian

dikonversikan oleh enzim 5-reductase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi4. Tugas lain testosteron adalah pemacu libido, pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium di tulang. Sesuai dengan pertambahan usia kadar testosteron

mulai menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas4. 3. Ras Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk terjadi BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi BPH paling rendah23. 4. Riwayat keluarga Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH. Bila satu anggota keluarga mengidap penyakit ini, maka risiko meningkat 2 kali bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-5 kali23. 5. Obesitas Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan seksual, tipe bentuk tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe bentuk tubuh yang membesar di bagian pinggang dengan perut buncit, seperti buah apel. Beban di perut inilah yang menekan otot organ seksual, sehingga lama-lama organ seksual kehilangan kelenturannya, selain itu deposit lemak berlebihan juga akan mengganggu kinerja testis2. Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada laki-laki biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen. Salah satu cara pengukuran untuk memperkirakan lemak tubuh adalah teknik indirekm diantaranya yang banyak dipakai adalah Body Mass Index (BMI) dan Waist to hip ratio (WHR)2. 6. Pola Diet

Kekuarangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium berpengaruh pada fungsi reproduksi pria. Yang paling penting adalah seng, karena defisiensi seng berat dapat menyebabkan pengecilan testis yang selanjutnya berakibat penurunan kadar testosteron. Selain itu makanan tinggi lemak dan rendah serat juga membuat penurunan kadar testosteron. Walaupun kolesterol merupakan bahan dasar untuk sintesis zat pregnolone yang merupakan bahan baku DHEA (dehidroepian-androsteron) yang dapat memproduksi

testosteron, tetapi bila berlebihan tentunya akan terjadi penumpukan lemak pada perut yang akan menekan otot-otot seksual dan mengganggu testis, sehingga kelebihan lemak tersebut justru dapat menurunkan kemampuan seksual. Akibat lebih lanjut adalah penurunan produksi testosteron yang nantinya mengganggu prostat2. 7. Aktivitas Seksual Kelenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk pembentukan hormon laki-laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan seks berlebihan dan alasan kebersihan. Saat kegiatan seksual, kelenjar prostat mengalami peningkatan tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Jika suplai darah ke prostat selalu tinggi, akan terjadi hambatan prostat yang mengakibatkan kelenjar tersebut bengkak permanen. Seks yang tidak bersih akan mengakibatkan infeksi prostat yang mengakibatkan BPH. Aktivitas seksual yang tinggi juga berhubungan dengan meningkatnya kadar hormon testosteron2. 8. Kebiasaan Merokok Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan aktivitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar testosteron2. 9. Kebiasaan minum-minuman alkohol Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin b6 yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk kelenjar prostat.
10

Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan dengan organ yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan prolaktin di dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran hormon testosteron kepada DHT2. 10. Olahraga Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih sedikit mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Dengan aktif olahraga, kadar dihidrotestosteron dapat diturunkan sehingga dapat memperkecil risiko gangguan prostat. Selain itu, olahraga akan mengontrol berat badan agar otot lunak yang melingkari prostat tetap stabil. Olahraga yang dianjurkan adalah jenis yang berdampak ringan dan dapat memperkuat otot sekitar pinggul dan organ seksual2. 11. Penyakit Diabetes Mellitus Laki-laki yang mempunyai kadar glukosa dalam darah > 110 mg/dl mempunyai risiko tiga kali terjadinya BPH, sedangkan untuk laki-laki dengan penyakit Diabetes Mellitus mempunyai risiko dua kali terjadinya BPH dibandingkan dengan laki-laki dengan kondisi normal2.

E. PATOFISIOLOGI Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen uretra pars prostatika dan menghambat aliran urin, sehingga menyebabkan tingginya tekanan intravesica. Untuk dapat mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan, menyebabkan terjadinya perubahan anatomik kandung kemih yakni hipertrofi otot detrussor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel kandung kemih. Perubahan struktur pada kandung kemih tersebut dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Tekanan intravesica yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian kandung kemih tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini menimbulkan aliran balik dari kandung

11

kemih ke ureter atau terjadinya refluks vesico-ureter. Jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidrunefrosis bahkan jatuh ke dalam gagal ginjal20. Apabila kandung kemih menjadi dekompensasi akibat kelelahan dari otot detrussor yang tidak mampu berkontraksi akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi jika keadaan ini berlanjur, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat kandung kemih tidak mampu lgi menampung urin sehingga tekanan intravesica terus meningkat. Apabila tekanan kandung kemih menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi akan terjadi inkontentinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesicoureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita seringkali mengedan sehingga lama-kelamaan bisa menyebabkan hernia atau hemoroid20. Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi saluran kemih adalah penderita harus menunggu keluarnya kemih pertama, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala irirtasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor yaitu bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat merangsang kandung kemih sehingga sering berkontraksi meskipun belum penuh. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis20. Gejala dan tanda ini dievaluasi menggunakan International Prostate Symptom Score (IPSS) untuk menentukan beratnya keluhan klinis. Analisis gejala ini
12

terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 yang memiliki nilai maksimum 35. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh sebagai berikut :
Dalam 1 bulan terakhir

Skor 0-7 : bergejala ringan Skor 8-19 : bergejala sedang Skor 20-35 : bergejala berat
Tidak pernah Kurang dari sekali dalam lima kali 1 Kurang dari setengah 2 Kadangkadang (sekitar 50%) 3 Lebih dari setengah Hampir selalu Skor

1.Seberapa sering anda merasa masih ada sisa selesai kencing? 2.Seberapa sering Anda harus kembali kencing dalam waktu kurang dari 2 jam setelah selesai kencing? 3.Seberapa sering Anda mendapatkan bahwa Anda kencing terputus-putus? 4.Seberapa sering pancaran kencing Anda lemah? 5.Seberapa sering pancaran kencing Anda lemah? 6. Seberapa sering Anda harus mengejan untuk mulai kencing? 7.Seberapa sering Anda harus bangun untuk kencing, sejak mulai tidur pada malam hari hingga bangun di pagi hari?

Skor IPSS total (pertanyaan 1 sampai 7)= Selain 7 pertanyaan diatas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (Quality og Life atau QoL) yang juga terdiri dari 7 kemungkinan jawaban.
Senang sekali Seandainya Anda harus menghabiskan sisa hidup dengan Senang Pada umumnya puas Campuran antara puas dan tidak Pada umumnya tidak puas Tidak bahagia Buruk sekali

13

fungsi kencing seperti saat bagaimana Anda?

ini,

perasaan

F. GAMBARAN KLINIS Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimptomattik baru terjadi kalau neoplasma telah menekan lumen uretra prostatika, uretra menjadi panjang, sedangkan kelenjar prostat makin bertambah besar. Ukuran pembesaran noduler ini tidaklah berhubungan dengan derajat obstruksi yang hebat, sedangkan yang lain dengan kelenjar prostat yang lebih besar obstruksi yang terjadi hanya sedikit, karena dapat ditoleransi dengan baik9. Derajat penderita BPH dibagi berdasar gambaran klinis yakni : Derajat I ; Colok dubur, penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa volume urin <50 ml Derajat II ; Colok dubur, penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai, sisa volume urin 50-100 ml Derajat III ; Colok dubur, batas atas prostat tidak dapat diraba, sisa volume urin > 100 ml Derajat IV ; Terjadi retensi urin total27.

Pada penderita BPH dengan retensi urin, pemasangan kateter merupakan suatu pertolongan awal, selain menghilangkan rasa nyeri juga mencegah akibatakibat yang dapat ditimbulkan karena adanya bendungan air kemih26. 1. Gejala umum BPH adalah Sering kencing Sulit kencing Nyeri saat berkemih Urine berdarah Nyeri saat ejakulasi Cairan ejakulasi berdarah
14

Gangguan ereksi Nyeri pinggul atau punggung

Gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif 20. Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran kencing lemah (loss of force), pancaran kencing terputus-putus (intermitency), tidak puas saat selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin kencing lagi sesudah kencing (double voiding) dan keluarnya sisa kencing pada akhir berkemih (terminal dribbling). Gejala iritatif meliputi frekuensi kencing yang tidak normal (polakisuria), terbangun di tengah malam karena sering kencing (nocturia), sulit menahan kencing (urgency), dan rasa sakit waktu kencing (disuria), kadang juga terjadi kencing berdarah (hematuria). 2. Tanda Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran konsistensi kenyal pada pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination (DRE). Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 223.

G. DIAGNOSIS Diagnosis BPH ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu. Pada 5th International Consultation on BPH (IC-BPH)3 membagi kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi pemeriksaan awal (recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional), sedangkan

15

guidelines yang disusun oleh EAU12 membagi pemeriksaan itu dalam: mandatory. Recommended, optional, dan not recommended. 1. Anamnesis Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis itu meliputi: Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami cedera, infeksi atau pembedahan) Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom score yang telah distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35. Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut: Skor 0-7 bergejala ringan Skor 8-19 bergejala sedang Skor 20-35 bergejala berat15.

2. Pemeriksaan Fisik

16

Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi kandung kemih. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat3. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung under estimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar24. Pembesaran prostat teraba simetris dengan konsistensi kenyal, sulkus medialis yang pada keadaan normal teraba di garis tengah, mengalami obliterasi karena pembesaran kelenjar. Oleh karena pembesaran kelenjar secara longitudinal, dasar kandung kemih (kutub/pole atas prostat) terangkat ke atas sehingga tidak dapat diraba oleh jari sewaktu colok dubur. Jika pada colok dubur teraba kelenjar prostat dengan konsistensi keras, harus dicurigai suatu karsinoma5. Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%24.

Pemeriksaan Colok Dubur/ Rectal Toucher

17

Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi neuromuskuler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral3. 3. Pemeriksaan Penunjang a. Urinalisis Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu kandung kemih atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya: karsinoma kandung kemih in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma kandung kemih perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter. b. Pemeriksaan Fungsi Ginjal Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitasmenjadi enam kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvicalis 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin serum. Oleh karena itu, pemeriksaan faal ginjal ini berguna

18

sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas. c. Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen) PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ spesifik tetapi bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH, dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2- 1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah: 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml 50-59 tahun :0-3,5 ng/ml 60-69 tahun :0-4,5 ng/ml 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml

Nilai PSA 4-10 ng/ml dianggap sebagai daerah kelabu (gray area), perlu dilakukan penghitungan PSA Density (PSAD), yaitu serum PSA dibagi dengan volume prostat. Apabila nilai PSAD > 0,15 perlu dilakukan biopsi prostat. Bila nilai PSAD < 0,15 tidak perlu dilakukan biopsi prostat.

19

Nilai PSA > 10 ng/ml dianjurkan untuk dilakukan biopsi prostat. Di Indonesia, di mana rata-rata nilai PSA pada penderita BPH 12,9-24,6 ng/ml, nilai normal PSA 8 ng/ml, sedangkan nilai daerah kelabu 8-30 ng/ml. Untuk nilai PSAD > 0.20 baru perlu dilakukan biopsi prostat. Di Taiwan diperoleh angka nilai daerah kelabu 4,1-20,0 ng/ml dengan nilai 25 PSAD > 0,20 baru dilakukan biopsi. Tingginya angka PSA di Indonesia berhubungan erat dengan kateterisasi dan volume prostat, mengingat sebagian besar pasien datang dalam keadaan retensi dan dalam volume prostat yang besar2. d. Catatan Harian Miksi (Voiding Diaries) Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat berguna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi intravesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik. e. Uroflometri Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi.
20

Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot detrusor. Demikian pula Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO. Namun demikian sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat korelasi antara nilai Qmax dengan derajat BOO sebagai berikut: Qmax < 10 ml/detik 90% BOO Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO Qmax >15 ml/detik 30% BOO

Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua yang mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan disebabkan karena BPH dan keluhan tersebut tidak berubah setelah pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10 mL/detik biasanya disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik setelah. f. Pemeriksaan Residual Urine Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL. Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melakukan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak

21

mengenakkan

bagi

pasien,

dapat

menimbulkan

cedera

uretra,

menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia. Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan volume residual urine yang cukup bermakna. Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine yang cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120 ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama. g. Pencitraan Traktus Urinarius Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap traktus urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya: (a) kelainan pada saluran kemih bagian atas, (b) divertikel atau selule pada kandung kemih, (c) batu pada kandung kemih, (d) perkiraan volume residual urine, dan (e) perkiraan besarnya prostat. Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas. Sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal diketemukan adanya: (a) hematuria, (b) infeksi saluran kemih, (c) insufisiensi renal (pemeriksaan USG), (d) riwayat urolitiasis,
22

(e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia. Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna

memperkirakan besarnya prostat atau mencari kelainan pada kandung kemih saat ini tidak direkomendasikan. Namun pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya striktura uretra. Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin, kecuali hendak menjalani terapi: (a) inhibitor 5- reduktase, (b) termoterapi, (c) pemasangan stent, (d) TUIP (e) prostatektomi terbuka. Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan transabdominal (TAUS) ataupun transrektal (TRUS). Jika terdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaan USG melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan adanya karsinoma prostat. h. Uretrosistoskopi Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan kandung kemih. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher kandung kemih, batu kandung kemih, trabekulasi kandung kemih, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH. Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk
23

menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma kandung kemih sistoskopi sangat membantu dalam mencari lesi pada kandung kemih. i. Pemeriksaan Urodinamika Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan urodinamika (pressure flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi leher kandung kemih dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani pembedahan Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat. Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPH bergejala. Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi prostat, dan mampu meramalkan keberhasilan suatu tindakan pembedahan. Menurut Javle (1998), pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan uro-dinamika pada BPH adalah: berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual urine >300 mL, Qmax >10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan terapi invasif, atau kecurigaan adanya kandung kemih neurogenik11.

24

H. PENATALAKSANAAN Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai terapi (watchful waiting), medikamentosa dan terapi intervensi. Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the prostate (TURP) masih merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH11. 1. Watchful waiting Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-19)24. Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7), pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting12. Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya: (1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada kandung kemih (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung

fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, (5) jangan menahan kencing terlalu lama11.
25

Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual urine11. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin erlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.

2. Medikamentosa Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila mencapai tahap tertentu. Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu, apalagi membahayakan kesehatannya, direkomendasikan pemberian

medikamentosa. Dalam menentukan pengobatan perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu dasar pertimbangan terapi medikamentosa, jenis obat yang digunakan, pemilihan obat dan evaluasi selama pemberian obat11. Perlu dijelaskan pada pasien bahwa harga obat-obatan yang akan dikonsumsi tidak murah dan akan dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang pasien memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain. Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk (1) mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang digunakan adalah: A) Antagonis adrenergik reseptor yang dapat berupa: a. preparat non selektiif : fenoksibenzamin b. preparat selektif masa kerja pendek : prazosin, afluosin dan indoramin c. preparat selektif dengan masa kerja lama : doksaosin, terazosin dan tamsulosin B) Inhibitor 5 reductase, yaitu finasteride dan dutasteride C) Fitofarmaka
26

Antagons reseptor adrenergik- Pengobatan dengan antagonis adrenergik bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik- non selektif yang pertama kali diketahui mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Nammun obat ini tidak disenangi oleh pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, diantaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan penyulit lain pada sistem kardiovaskuler11. Diketemukannya obat antagonis adrenergik -1 dapat mengurangi penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada -2 dari fenoksibenamin. Beberapa golongan obat antagonis adrenergik 1 yan g selektif mampu mempunyai durasi obat yang pendek (short acting) di antaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long acting yaitu teraosin, doksaosin dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari11. Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik- terbukti dapat memperbaiki gejala BPH menurunkan keluhan BPH yang

mengganggu, meningkatkan kualitas hidup, dan meningkatkan pancaran urin. Rata-rata obat golongan ini mampu memperbaiki skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor IPSS dan Qmax hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum terapi. Perbaikan gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudan dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan obat ini dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti

27

terjadinya intoleransi dan takhipilaksis sampai pemberian 6-12 bulan11. Dibandingkan dengan inhibitor 5 reductase, golongan antagonis adrenergik- lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine. Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik- dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian antagonis adrenergik- saja. Sebelum pemberian antgonis adrenergik- tidak perlu memperhatikan ukuran prostat serta memperhatikan kadar PSA, lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5- reductase. Berbagai jenis antagonis adrenergik menunjukkan efek yang hampir sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai efektifitas yang hampir sama, namun masing-masing mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda. Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi postural, dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Doksazosin dan terazosin yang pada mulanya adalah suatu obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20% pasien mengeluh dizziness setelah pemberian dosazosin maupun terazosin, < 5% setelah pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian plasebo. Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah pemberian doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian tamsulosin dan plasebo. Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap sistem kardiovasuler tidak tampak nyata pada tamsulosin karena obat ini merupakan antagonis adrenergik yang superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor adrenergik-1A. Penyulit lain yang dapat timbul adalah ejakulasi
28

retrograd yang dilaporkan banyak terjadi setelah pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 0-1%11. Inhibitor 5 -reductase Finasteride adalah obat inhibitor 5- reduktase pertama yang dipakai untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 -redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu

menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan pancaan urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan11. Pada penelitian yang dilakukan oleh McConnell et al (1998) tentang efek finasteride terhadap pasien BPH bergejala, didapatkan bahwa pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata mampu menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urine,

menurunkan kejadian retensi urine akut, dan menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat11. Fitofarmaka Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung

29

mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen, antiandrogen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme

prostaglandin, efek anti-inflam-masi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Di antara fito-terapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya11.

3. Terapi Intervensi Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat atau pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif atau invasif minimal. Termasuk ablasi jaringan prostat adalah: pembedahan terbuka, TURP, TUIP, laser prostatektomi. Sedangkan teknik instrumentasi alternatif adalah interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretra. A) PEMBEDAHAN Saat ini solusi terbaik pada BPH yang telah mengganggu adalah pembedahan, yakni mengangkat bagian kelenjar prostat yang

menyebabkan obstruksi. Cara ini memberikan perbaikan skor IPSS dan secara obyektif meningkatkan laju pancaran urine. Hanya saja pembedahan ini dapat menimbulkan berbagai macam penyulit pada saat operasi maupun pasca bedah11. Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya adalah: retensi urine karena BPO (derajat obstruksi prostat) infeksi saluran kemih berulang karena BPO

30

hematuria makroskopik karena BPE batu kandung kemih karena BPO gagal ginjal yang disebabkan oleh BPO divertikulum kandung kemih yang cukup besar karena BPO

Guidelines di beberapa negara juga menyebutkan bahwa terapi pembedahan diindikasikan pada BPH yang telah menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa. Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai negara, yaitu prostatektomi terbuka, insisi prostat trans uretra (TUIP), dan reseksi prostat trans uretra (TURP)11. a) Prostatektomi terbuka : merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan gejala BPH 98%. Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan transvesikal yang mula-mula

diperkenalkan oleh Hryntschack dan pendekatan retropubik yang dipopulerkan oleh Millin. Pendekatan transvesika hingga saat ini sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai dengan batu kandung kemih multipel, divertikula yang besar, dan hernia inguinalis (IAUI, 2000). Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm3. Dilaporkan bahwa prostatektomi terbuka menimbulkan komplikasi striktura uretra dan inkontinensia urine yang lebih sering dibandingkan dengan TURP ataupun TUIP11.

31

32

33

Gambar Prostatektomi Terbuka

b) TURP (Trans Uretra Resection Prostat) : merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada pasien BPH. Pada pasien dengan keluhan derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%11.

Prosedur TURP

34

c) TUIP (Trans Uretra Insisi Prostat) : atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Teknik ini dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono insisi atau bilateral insisi mempergunakan pisau Colling mulai dari muara ureter, leher buli-buli sampai ke verumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu yang dibutuhkan lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP. Cara elektrovaporisasi prostat hampir mirip dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisisai kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa mondok di rumah sakit lebih singkat11. d) Laser Prostatektomi Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986, yang dari tahun ke tahun mengalami penyempurnaan. Terdapat 4 jenis energi yang dipakai, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right angle fibre, atau intersitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60650C akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C mengalami vaporisasi11. Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi dan penyembuhan lebih cepat, tetapi kemampuan dalam meningkatkan perbaikan gejala miksi maupun Qmax tidak sebaik TURP. Disamping itu terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun.
35

Kekurangannya adalah: tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi, dan peak flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP11. Penggunaan pembedahan dengan energi Laser telah berkembang dengan pesat akhir-akhir ini. Penelitian klinis memakai Nd:YAG menunjukkan hasil yang hampir sama dengan cara desobstruksi TURP, terutama dalam perbaikan skor miksi dan pancaran urine Meskipun demikian efek lebih lanjut dari Laser masih belum banyak diketahui. Teknik ini dianjurkan pada pasien yang memakai terapi antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin dilakukan tindakan TURP karena kesehatannya11.

B) TINDAKAN INVASIF MINIMAL Termoterapi Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan > 45oC sehingga menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan dari berbagai cara, antara lain adalah: (1) TUMT (transurethral microwave thermotherapy), (2) TUNA (transurethral needle ablation), (3) HIFU (high intensity focused ultrasound), dan (4) Laser. Makin tinggi suhu di dalam jaringan prostat makin baik hasil klinik yang didapatkan, tetapi makin banyak menimbulkan efek samping Teknik termoterapi ini seringkali tidak memerlukan mondok di rumah sakit, namun masih harus memakai kateter dalam jangka waktu lama. Sering kali diperlukan waktu 3-6 minggu untuk menilai

36

kepuasan pasien terhadap terapi ini. Pada umumnya terapi ini lebih efektif daripada terapi medikamnetosa tetapi kurang efektif dibandingkan dengan TURP. Tidak banyak menimbulkan perdarahan sehingga cocok diindikasikan pada pasien yang memakai terapi antikoagulansia11. Energi yang dihasilkan oleh TUMT berasal dari gelombang mikro yang disalurkan melalui kateter ke dalam kelenjar prostat sehingga dapat merusak kelenjar prostat yang diinginkan. Jaringan lain dilindungi oleh sistem pendingin guna menghindari dari kerusakan selama proses pemanasan berlangsung. Morbiditasnya rendah dan dapat dikerjakan tanpa pembiusan. TUMT terdiri atas energi rendah dan energi tinggi. TUMT energi rendah diperuntukkan bagi adenoma yang kecil dan obstruksi ringan, sedangkan TUMT energi tinggi untuk prostat yang besar dan obstruksi yang lebih berat. TUMT energi tinggi menghasilkan respon terapi yang lebih baik, tetapi menimbulkan morbiditas yang lebih besar daripada yang energi rendah11. Teknik TUNA memakai energi dari frekuensi radio menimbulkan panas sampai mencapai 100
0

yang

C,

sehingga

menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat

membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. TUNA dapat memperbaiki gejala hingga 50-60% dan meningkatkan Qmax hingga 40-50% Pasien sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadangkadang retensi urine, dan epididimo-orkitis11.

37

Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis prostat pada HIFU berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 5060% dan Qmax rata-rata meningkat 4050%. Efek lebih lanjut dari HIFU belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun11. Stent Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi. Stent yang telah terpasang bisa mengalami enkrustasi, obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan disuria11. Pengawasan Berkala Semua pasien BPH setelah mendapatkan terapi atau petunjuk watchful waiting perlu mendapatkan pengawasan berkala (follow up) untuk mengetahui hasil terapi serta perjalanan penyakitnya sehingga mungkin perlu dilakukan pemilihan terapi lain atau dilakukan terapi ulang jika dijumpai adanya kegagalan dari terapi itu. Secara rutin dilakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, atau pengukuran volume residu urine pasca miksi. Pasien yang

38

menjalani tindakan intervensi perlu dilakukan pemerik-saan kultur urine untuk melihat kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih akibat tindakan itu11.

39

Anda mungkin juga menyukai