Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
.
Hemoroid berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata yaitu
haima yang memiliki arti darah, dan rheo yang berarti mengalir, diartikan sebagai
darah yang mengalir atau mengucur dari pembuluh darah vena di anus yang
berasal dari pleksus hemoroidalis. Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi
pembuluh darah vena pada pleksus hemoroidalis yang ada di daerah anus.1
Berdasarkan lokasinya yang bergantung pada linea dentata, hemoroid dapat
dibedakan menjadi dua yaitu hemoroid interna dan eksterna.3
Angka kejadian hemoroid yang simptomatik diperkirakan mencapai 4,4%
pada populasi general di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, sepertiga dari 10 juta
orang dengan hemoroid mencari terapi medis.6 Data menunjukkan bahwa 10 juta
orang di Indonesia dilaporkan menderita hemoroid. Pada data kasus hemoroid di
Unit Rawat Jalan (URJ) bedah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soegiri
Lamongan tahun 2009 tercatat jumlah pasien hemoroid sebanyak 335 pasien, dan
sebanyak 333 pasien pada tahun 2010. Data pada bulan Januari hingga September
2011 menunjukkan jumlah kunjungan pasien hemoroid sebanyak 304 pasien. 7
Angka kejadian hemoroid meningkat seiring bertambahnya usia, dengan angka
kejadian tertinggi pada kelompok usia 45 – 65 tahun. 6 Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap meningkatnya insiden hemoroid yang simptomatik meliputi
kondisi-kondisi yang meningkatkan tekanan intra abdomen seperti kehamilan,
proses mengedan saat defekasi, atau pada mereka yang memiliki jaringan
penyokong yang lemah.3
Angka kejadian dan morbiditas hemoroid dapat dikatakan rendah, namun
penyakit ini memiliki dampak yang besar pada kualitas hidup pasien. Penanganan
yang tidak tepat dapat menyebabkan bertambah beratnya gejala dan menurunnya
kualitas hidup pasien. Penting bagi klinisi untuk mengetahui pilihan terapi yang
ada dan mampu menentukan terapi yang sesuai dengan kondisi pasien. Terkait
anatomi, gejala klinis, diagnosis, dan tata laksana hemoroid akan dibahas lebih
lanjut dalam makalah ini.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hemoroid berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata yaitu
haima yang memiliki arti darah, dan rheo yang berarti mengalir, diartikan sebagai
darah yang mengalir atau mengucur dari pembuluh darah vena di anus yang
berasal dari pleksus hemoroidalis. Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi
pembuluh darah vena pada pleksus hemoroidalis yang ada di daerah anus.1
Hemoroid merupakan kumpulan jaringan vaskuler, otot polos, dan jaringan
ikat yang terdapat di kanalis analis bagian lateral sinistra, anterior dextra, dan
posterior dextra.2 Hemoroid secara fisiologis terdapat pada individu yang sehat
sebagai bantalan yang mengelilingi anastomosis antara arteri rektal superior dan
vena rektal superior, media, dan inferior. Namun istilah ‘hemoroid’ lebih umum
digunakan untuk mendeskripsikan suatu proses patologis dari hemoroid yang
simptomatik dibandingkan struktur anatomi yang normal.3 Hemoroid bukan
merupakan suatu keadaan yang patologis, namun apabila menimbulkan keluhan
harus segera dilakukan tindakan untuk mengatasinya.1

2.1.1 Anatomi
Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi
ektoderm, sedangkan rektum berasal dari endoderm. Perbedaan asal jaringan anus
dan rektum ini menyebabkan vaskularisasi, inervasi, penjalaran limfe, dan epitel
yang menutupinya juga berbeda.4
Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus, sedangkan kanalis analis
dilapisi oleh anoderm yang merupakan lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar.
Tidak ada yang disebut mukosa anus. Daerah batas rektum dan kanalis analis
ditandai dengan perubahan jenis epitel. Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya
kaya akan persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsang nyeri,
sedangkan muksoa rektum memiliki persarafan autonom dan tidak peka terhadap
nyeri. Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta,
sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem cava melalui cabang vena

2
iliaka (v. iliaka). Distribusi ini menjadi penting dalam upaya memahami cara
penyebaran keganasan dan infeksi serta terbentuknya hemoroid.4
Kanalis analis memiliki panjang ± 3 cm. Sumbunya mengarah ke
ventrokranial yaitu arah umbilikus dan membentuk sudut yang nyata ke dorsal
dengan rektum dalam keadaan istirahat. Pada saat defekasi, sudut ini menjadi
lebih besar. Batas antara kanalis anus disebut garis anorektum, garis mukokutan,
linea pektinata, atau linea dentata. Arteri hemoroidalis superior adalah
percabangan langsung arteri mesentarika (a. mesentarika) inferior. Arteri
hemoroidalis medialis merupakan percabangan anterior a. illiaka interna,
sedangkan a. hemoroidalis inferior adalah cabang a. pudenda interna. Vena
hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan berlanjut ke
arah kranial ke dalam v. mesentarika inferior dan seterusnya melalui v. lienalis ke
vena porta. Vena ini tidak memiliki katup sehingga tekanan rongga perut
menentukan tekanan di dalamnya. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah
ke dalam v. pudenda interna dan v. hemoroidalis yang dapat menimbulkan
keluhan hemoroid.4

2.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan lokasinya yang bergantung pada linea dentata, hemoroid
dapat dibedakan menjadi dua yaitu hemoroid interna dan eksterna.3,5
 Hemoroid Interna
Hemoroid interna merupakan pelebaran vena submucosa di atas linea dentata.
Terdapat pembengkakan vena pada pleksus hemoroidalis superior, di atas
linea dentata dan tertutup mukosa. Hemoroid interna berasal dari endoderm,
dilapisi epitel kolumnar, diinervasi oleh serat-serat saraf visceral dan tidak
peka terhadap rangsang nyeri. Vaskularisasi meliputi meliputi v. rectal
superior dan media yang mengalir ke v. illiaka interna.3
 Hemoroid Eksterna
Hemoroid eksterna merupakan pelebaran vena subkutan di bawah atau di luar
linea dentata. Hemoroid eksterna berasal dari ektoderm (embrionik), dilapisi
anoderm yang terdiri dari epitel gepeng, dan diinervasi oleh saraf somatis
yang mensarafi kulit perianal dan peka terhadap rangsang nyeri. Vaskularisasi

3
hemoroid eksterna meliputi v. rectal inferior menuju pembuluh darah
pudendal dan v. illiaka interna.3
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian hemoroid yang simptomatik diperkirakan mencapai 4,4%
pada populasi general di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, sepertiga dari 10 juta
orang dengan hemoroid mencari terapi medis.6 Data menunjukkan bahwa 10 juta
orang di Indonesia dilaporkan menderita hemoroid. Pada data kasus hemoroid di
Unit Rawat Jalan (URJ) bedah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soegiri
Lamongan tahun 2009 tercatat jumlah pasien hemoroid sebanyak 335 pasien, dan
sebanyak 333 pasien pada tahun 2010. Data pada bulan Januari hingga September
2011 menunjukkan jumlah kunjungan pasien hemoroid sebanyak 304 pasien.7
Pasien dengan hemoroid cenderung berasal dari status sosioekonomi yang
tinggi dan dari daerah pedesaan. Tidak terdapat predileksi jenis kelamin, namun
laki-laki dikatakan lebih cenderung mencari terapi medis. Angka kejadian
hemoroid meningkat seiring bertambahnya usia, dengan angka kejadian tertinggi
pada kelompok usia 45 – 65 tahun. Hemoroid eksterna lebih umum terjadi pada
orang dewasa muda dan paruh baya dibandingkan usia yang lebih tua.6

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Sebagian besar klinikus meyakini bahwa hemoroid disebabkan oleh
konstipasi kronis, posisi duduk berkepanjangan, dan proses mengedan yang
terlalu kuat walau masih sedikit bukti yang mendukung hal tersebut secara ilmiah.
Adapun beberapa penyebab potensial dari hemoroid adalah sebagai berikut:3,6
 Penurunan Aliran Balik Vena
Beberapa peneliti meyakini bahwa diet serat rendah menyebabkan tinja
menjadi keras dan sulit untuk dikeluarkan sehingga terjadi proses mengedan
selama defekasi. Peningkatan tekanan menyebabkan pembengkakan
hemoroid, yang berkaitan dengan aliran darah balik vena. Tekanan tinggi
pada otot sfingter interna dapat menyebabkan gangguan hemoroid. Posisi
duduk yang berkepanjangan diperkirakan menyebabkan gangguan aliran balik
vena pada daerah perianal yang berujung pada pembengkakan hemoroid.
Penuaan menyebabkan melemahnya struktur-struktur penyokong yang dapat
menyebabkan prolaps.6

4
 Konstipasi dan Proses Mengedan
Konstipasi menyebabkan tinja menjadi keras dan sulit untuk dikeluarkan
sehingga terjadi proses mengedan selama defekasi. Proses mengedan
menyebabkan tekanan intra-abdomen meningkat yang berdampak tekanan
pada vena hemoroidalis juga sehingga terjadi pembengkakan.3, 6
 Kehamilan
Hubungan antara kehamilan dan hemoroid diperkirakan berkaitan dengan
perubahan hormonal atau peningkatan tekanan secara langsung.6
 Hipertensi Portal dan Varises Anorektal
Hipertensi portal sering dikaitkan dengan hemoroid. Namun, gejala hemoroid
tidak lebih sering terjadi pada pasien dengan hipertensi portal dibandingkan
mereka yang tidak memiliki hipertensi portal. Varises anorektal umum
ditemukan pada pasien dengan hipertensi portal. Varises terjadi pada
midrektum, sambungan antara sistem porta dan vena rektal inferior dan
media. Varises didapatkan lebih sering terjadi pada pasien yang non
alkoholik.6
.3.1 Faktor Risiko4
a) Anatomik
Vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus hemoroidalis
kurang mendapat sokongan dari otot dan fascia sekitarnya.
b) Usia
Pada usia tua terjadi degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, juga otot
sfingter menjadi tipis dan atonis.
c) Keturunan
Dinding pembuluh darah lemah dan tipis.
d) Pekerjaan
Pekerjaan dengan aktivitas yang mengharuskan posisi berdiri, duduk, atau
harus mengangkat barang berat dalam waktu yang lama mempunyai
predisposisi untuk hemoroid.
e) Mekanis

5
Semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan intra abdomen,
misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi menahun dan sering
mengejan pada waktu defekasi.
f) Endokrin
Pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas dan anus oleh karena ada
sekresi hormone relaksin.
g) Fisiologi
Bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada penderita sirosis
hepatis.

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi hemoroid yang simptomatik belum diketahui dengan pasti.
Teori-teori sebelumnya yang menyatakan hemoroid merupakan varises anorektal
sudah ditinggalkan. Saat ini, teori pergeseran batas kanalis analis yang
menyatakan bahwa hemoroid terjadi akibat menurunnya fungsi jaringan
penyokong bantalan anus lebih diterima. Faktor usia dan aktivitas seperti
mengangkat berat, proses mengedan saat defekasi, dan posisi duduk
berkepanjangan dianggap berpengaruh terhadap proses ini. Hemoroid kemudian
digunakan sebagai istilah patologis untuk mendeskripsikan keadaan abnormal dari
bantalan anal yang mengarah ke bawah mengakibatkan dilatasi vena.8
Pada pemeriksaan histopatologi, perubahan pada bantalan anal meliputi
dilatasi vena yang abnormal, thrombosis vaskuler, proses degeneratif serat-serat
kolagen dan jaringan fibroelastis, dan ruptur dari otor supepitel anus. Pada kasus
yang lebih berat, dapat terjadi reaksi inflamasi hebat pada dinding vaskuler dan
jaringan ikat sekitarnya yang sering dikaitkan dengan ulkus mukosa, iskemik, dan
thrombosis.9

2.5 Manifestasi Klinis


Dalam praktiknya, sebagian besar pasien dengan hemoroid adalah
asimptomatik. Pasien dengan hemoroid yang simptomatik memiliki keluhan yang
bervariasi. Perdarahan umumnya merupakan tanda utama pada penderita
hemoroid interna akibat trauma feses yang keras. Perdarahan biasanya terjadi saat
defekasi dan hampir selalu tidak disertai nyeri. Darah yang keluar berwarna merah

6
segar dan dapat menyelimuti feses di akhir defekasi. Darah dapat hanya berupa
garis pada feses atau kertas pembersih, hingga perdarahan yang terlihat menetes
pada kloset.3
Gejala lainnya yang sering timbul adalah prolaps. Hemoroid yang
membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar menyebabkan
prolaps. Pada tahap awal, penonjolan ini hanya terjadi saat defekasi dan diikuti
reduksi spontan setelah defekasi. Pada stadium yang lebih lanjut, hemoroid
interna ini perlu didorong kembali setelah defekasi agar masuk kembali ke dalam
anus. Pada ahkirnya, hemoroid dapat berlanjut menajdi bentuk yang mengalami
prolaps menetap dan tidak bisa didorong masuk lagi. 1 Prolaps hemoroid interna
dapat diikuti dengan adanya inkontinesia fekal ringan, keluarnya mukus, sensasi
rasa penuh pada perianal, dan iritasi pada kulit perianal. Rasa nyeri jarang
ditemukan pada hemoroid interna, namun dapat terjadi pada hemoroid interna
yang prolaps dan hemoroid interna yang terstrangulasi yang dapat berkembang
menjadi gangren akibat iskemi.3
Berdasarkan berat ringannya gejala dan prolaps yang terjadi, hemoroid
interna dapat dibedakan menjadi empat, yaitu : 3
a. Derajat I
Perdarahan pasca defekasi, tidak ada prolaps, pada anoskopi terlihat
permukaan dari benjolan hemoroid.
b. Derajat II
Perdarahan atau tanpa perdarahan pasca defekasi, terjadi prolaps hemoroid
saat mengedan selama defekasi tetapi dapat kembali secara spontan.
c. Derajat III
Perdarahn atau tanpa perdarahan pasca defekasi, dengan prolaps hemoroid
yang tidak dapat masuk sendiri, memerlukan reduksi manual.
d. Derajat IV
Prolaps hemoroid tidak dapat direduksi walau dengan manipulasi. Benjolan
dapat terjepit di luar, dapat mengalami iritasi, inflamasi, edema, dan ulserasi.
Pada hemoroid eksterna, nyeri lebih sering terjadi akibat aktifnya inervasi
perianal yang berkaitan dengan thrombosis. Pasien umumnya mengeluhkan massa
perianal yang lunak dengan nyeri hebat. Massa ini dapat berkembang seiring

7
waktu. Perdarahan juga dapat terjadi apabila ulkus berkembang dari nekrosis
thrombosis hemoroid. Darah yang keluar cenderung lebih gelap dan
menggumpal.3

2.6 Diagnosis
Diagnosis hemoroid ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Keluhan nyeri dan perdarahan rektal tidak semata-
mata menunjukkan pasien mengalami hemoroid. Anamnesis dilakukan dengan
detail dengan memfokuskan gejala hemoroid seperti perdarahan rektal, prolaps,
rasa tidak nyaman pada anus, dan pengeluaran lender (mukus). Dalam
penegakkan diagnosis, beberapa kondisi anorektal dapat menyebabkan gejala
mirip dengan hemoroid. Faktor-faktor yang dapat menunjukkan kondisi yang
lebih serius seperti kanker, radang usus harus dilakukan kolonoskopi. Hal-hal lain
lain yang harus diperhatikan dan ditanyakan lebih detail dalam anamnesis
meliputi perubahan kebiasaan buang air besar, nyeri perut, penurunan berat badan,
perdarahan rektum dengan darah dalam tinja, dan riwayat kanker usus besar
dalam keluarga.1
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik secara
keseluruhan dan mengkhusus sesuai daerah yang dikeluhkan meliputi
pemeriksaan anorektal dan anoskopi. Pemeriksaan anorektal yang mendetail
penting dalam menegakkan diagnosis. Pasien dapat diperiksa dalam posisi Kraske
(jackknife) atau menyamping ke kiri. Inspeksi eksterna dapat menunjukkan
hemoroid eksterna yang sering tampak dalam bentuk nodul keunguan keras yang
lunak apabila dipalpasi. Hemoroid dengan thrombosis dapat disertai ulkus.
Adanya benjolan seperti kutil (skin tag) tidak semata-mata menunjukkan
hemoroid dan menyingkirkan kecurigaan adanya fisura. Pemeriksaan colok dubur
dapat mengeksklusi kondisi patologis lain seperti adanya massa rektal distal,
abses, dan fistula anorektal. Evaluasi sfingter pada pemeriksaan colok dubur
penting untuk memastikan fungsi dasarnya, penting bagi pasien dengan keluhan
inkontinensia sebagai pertimbangan dalam melakukan intervensi bedah
kedepannya bila diperlukan.3 Pada pemeriksaan colok dubur, hemoroid interna
stadium awal tidak dapat diraba sebab tekanan vena di dalamnya tidak terlalu

8
tinggi dan biasanya tidak nyeri. Hemoroid dapat diraba apabila sangat besar.
Apabila hemoroid sering prolaps, selaput lendir akan menebal. Trombosis dan
fibrosis pada perabaan terasa padat dengan dasar yang lebar. 4 Anoskopi dan
proktosigmoidoskopi dapat dilakukan rutin untuk mengenali hemoroid interna
atau fisura, dan mengeksklusi massa rektal distal.3
Bila masih terdapat keraguan dalam menegakkan diagnosis, kolonoskopi
dapat dilakukan untuk menyingkirkan sumber perdarahan proksimal. Pasien usia
di atas 50 tahun tanpa riwayat pemeriksaan kolonoskopi sebelumnya disarankan
untuk melakukan pemeriksaan ini.3 Beberapa ahli merekomendasikan kolonoskopi
untuk semua pasien yang berusia lebih dari 40 tahun yang memiliki gejala
hemoroid dan perdarahan.1

2.7 Tata Laksana


Sebagian besar kasus hemoroid akan membaik dengan sendirinya.
Hemoroid yang simptomatik, seperti kasus-kasus yang sering ditemukan di klinik
dan instalasi gawat darurat (IGD) dapat diberikan pilihan terapi yang bervariasi.
Pilihan terapi yang dapat diberikan meliputi intervensi medis non operatif dan
prosedur berbasis fungsi (office-based procedure) hingga tindakan pembedahan.
Prinsip umum dalam tata laksana hemoroid adalah selalu diawali
(dipertimbangkan) dilakukan tindakan dari yang paling tidak invasif, kecuali pada
kasus thrombosis akut. Pilihan terapi tertentu dapat diberikan bergantung pada
usia pasien, berat ringannya gejala, dan penyakit penyerta.3

2.7.1 Konservatif
Penanganan konservatif meliputi modifikasi gaya hidup, perbaikan pola
makan dan minum, serta perbaikan cara defekasi. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan berolahraga teratur, meningkatkan konsumsi cairan oral (30-40
ml/kgBB/hari), mengurangi konsumsi lemak, dan hindari mengedan terlalu keras
serta buang air besar disarankan dalam posisi jongkok. Diet yang disarankan
adalah makanan yang tinggi serat (20-30 g/hari) seperti sayur, buah-buahan,
sereal, dan suplementasi serat.1,3 Pada studi meta analisis terhadap 7 sampel acak
yang membandingkan kelompok kontrol pemberian serat tinggi dengan yang
tidak, didapatkan pemberian suplementasi serat (7-20 g/hari) dapat menurunkan

9
risiko perdarahan sebesar 50%.10 Perbaikan defekasi disebut Bowel Management
Program (BMP) yang terdiri atas diet, cairan, serat tambahan, pelicin feses, dan
perubahan perilaku defekasi (defekasi dalam posisi jongkok/squatting). Selain itu,
lakukan tindakan kebersihan lokal dengan cara merendam anus dalam air selama
10-15 menit, 2-4 kali sehari. Dengan perendaman ini, eksudat/sisa tinja yang
lengket dapat dibersihkan. Eksudat sisa tinja yang lengket dapat menimbulkan
iritasi dan rasa gatal bila dibiarkan.4
Regimen topikal yang mengandung anestesi local, kortikosteroid, atau anti
inflamasi dapat diberikan. Obat tertentu seperti trinitrat glyseryl, telah diteliti
dapat meringankan gejala pada hemoroid derajat I dan II namun 43% pasien
mengeluhkan nyeri kepala. Krim dan salep kortikosteroid sering diberikan walau
efikasinya belum terbukti.11 Terapi topikal dengan nifedipine dan krim lidokain
lebih efektif untuk menghilangkan rasa sakit dibandingkan lidokain saja
(xylokain). Analgesik dan pelembut feses juga dapat diberikan.12
Selain pada kasus hemoroid dengan thrombosis, baik hemoroid interna
maupun eksterna memberikan respon yang baik terhadap terapi konservatif.
Respon yang didapatkan juga bervariasi bergantung dari berat ringannya gejala
hemoroid.3 Apabila terapi konservatif gagal, dapat dilakukan penatalaksanaan
invasif.
2.7.2 Tindakan Berbasis Fungsi Non Bedah
Pada hemoroid interna, rubber band ligation, skleroterapi, dan koagulasi
infrared merupakan prosedur yang paling sering dilakukan. Secara umum, tujuan
dari tiap prosedur adalah untuk menurunkan vaskularisasi, mengurangi jaringan
yang berlebihan, dan meningkatkan fiksasi dinding rektal untuk meminimalisasi
prolaps.3
a. Rubber Band Ligation
Rubber band ligation merupakan tindakan yang paling sering dilakukan dan
diindikasikan untuk hemoroid interna derajat II dan III. Kontraindikasi pada
pasien dengan koagulopati atau pasien dengan pemakaian antikoagulan
berkepanjangan. Tindakan ini tidak memerlukan anestesi lokal. Pasien dalam
posisi Kraske atau menyamping ke kiri, dan dipasang anoskop. Tindakan ini
dilakukan dengan menempatkan karet pengikat di sekitar jaringan hemoroid

10
interna sehingga mengurangi aliran darah ke jaringan tersebut menyebabkan
hemoroid nekrosis, degenerasi, dan ablasi. Seiring jaringan mengalami
iskemi, nekrosis akan terjadi pada 3 – 5 hari berikutnya. Penyembuhan
sepenuhnya akan terjadi beberapa minggu kemudian. Komplikasi dari
tindakan ini jarang terjadi, namun pasien dapat mengalami nyeri, retensi urin,
perdarahan yang tertunda, dan sepsis perineal (walau sangat jarang). Tingkat
keberhasilan penanganan dengan prosedur ini mencapai 80% dan secara
umum rubber band ligation merupakan prosedur yang aman, cepat, dan
efektif untuk hemoroid interna.3
b. Skleroterapi
Skeloterapi diindikasikan untuk hemoroid interna derajat I dan II dan
merupakan salah satu pilihan terapi pada pasien dengan penggunaan
antikoagulan berkepanjangan. Seperti halnya dengan rubber band ligation,
skleroterapi tidak memerlukan anestesi lokal. Tindakan ini dilakukan
menggunakan anoskop, dimana lokasi hemoroid interna ditentukan terlebih
dahulu yang kemudian diinjeksi dengan agen sklerosan pada submukosa.
Agen sklerosan menyebabkan fibrosis, fiksasi pada kanalis analis, dan
hilangnya jaringan hemoroid. Komplikasi skleroterapi meliputi rasa tidak
nyaman atau perdarahan. Walau sangat jarang, fistula rektal dan perforasi
dapat terjadi akibat lokasi injeksi yang tidak tepat.12
c. Koagulasi Infrared
Koagulasi infrared (laser atau koagulasi bipolar) menggunakan laser atau
sinar inframerah untuk menghancurkan hemoroid interna, diindikasikan untuk
hemoroid interna derajat I dan II. Untuk melakukan tindakan ini, ujung
aplikator koagulasi infrared biasanya diaplikasikan pada dasar hemoroid
interna selama 2 detik, dengan 3 – 5 terapi per hemoroid. Dengan mengubah
sinar infrared menjadi panas, aplikator akan menyebabkan nekrosis pada
hemoroid yang perlahan akan terjadi retraksi mukosa hemoroid yang prolaps.
Prosedur ini dikatakan aman, dengan hanya sedikit pasien yang mengeluhkan
nyeri dan perdarahan setelahnya.3
Sebagai perbandingan terhadap tindakan-tindakan yang termasuk dalam
prosedur berbasis fungsi (office-based procedure), MacRae dan McLeod

11
melakukan penelitian meta analisis pada 18 percobaan dan menyimpulkan bahwa
rubber band ligation memberikan respon yang lebih baik dibandingkan
skleroterapi pada hemoroid derajat I dan III, tanpa adanya perbedaan dalam
komplikasinya. Pada penelitian tersebut juga menunjukkan pasien yang diterapi
dengan skleroterapi atau koagulasi infrared cenderung memerlukan terapi
tambahan dibandingkan pasien yang dilakukan tindakan rubber band ligation.
Walau nyeri dirasakan lebih berat setelah tindakan rubber band ligation,
kambuhnya gejala jarang terjadi.13

2.7.3 Pembedahan
Hemoroid yang telah diterapi dengan konservatif ataupun tindakan invasif
minimal dan masih menimbulkan gejala memerlukan inetervensi bedah. Tindakan
pembedahan merupakan pilihan awal terapi bagi pasien dengan hemoroid interna
derajat IV yang simptomatik, pasien dengan hemoroid interna yang terstrangulasi,
dan pasien dengan hemoroid thrombosis. Pada pasien yang memerlukan intervensi
bedah, eksisi dari hemoroid thrombosis dapat dilakukan di IGD dan jarang
memerlukan ruang operasi. Hemoroid thrombosis diinjeksi dengan anestesi lokal,
yang kemudian dilakukan insisi elips dan eksisi seluruh jaringan hemoroid
thrombosis. Tata laksana post tindakan adalah pemberian analgesik dan sitz baths.
Studi retrospektif dari 231 pasien menunjukkan rata-rata berkurangnya gejala
hemoroid pada pasien dengan terapi konservatif (24 hari) dengan pasien yang
dilakukan tindakan bedah (3,9 hari).14
a. Hemoroidektokmi
Metode ini adalah yang terbaik untuk menghilangkan hemoroid secara
permanen. Hemoroidektomi adalah terapi untuk hemoroid interna derajat
tingkat III dan IV. Tindakan ini juga dapat dilakukan pada penderita dengan
perdarahan berulang dan anemia yang tidak sembuh dengan terapi lainnya
yang lebih sederhana. Penderita hemoroid interna derajat IV yang mengalmi
trombosis dan kesakitan hebat dapat dilakukan hemoroidektomi. Prinsip yang
harus diperhatikan pada hemoroidektomi adalah eksisi hanya dilakukan pada
jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi sehemat mungkin dilakukan
pada anoderm dan kulit yang normal dengan tidak menggangu sfingter anus.4

12
Terdapat dua jenis hemoroidektomi yaitu Ferguson (hemoroidektomi
tertutup) dan Milligan-Morgan (hemoroidektomi terbuka). Hemoroidektomi
terbuka cenderung lebih dipertimbangkan untuk menangani hemoroid
gangren akut yang berat dimana terdapat edema jaringan dan nekrosis yang
menghalangi menutupnya mukosa. Hemoroidektomi eksisional diawali
dengan injeksi anestesi lokal yang sering mengandung epinephrine untuk
mengatasi perdarahan dan bengkak. Setelah retractor Hill-Ferguson
ditempatkan untuk membuka kanalis analis, batas antara komonen internal
dan eksternal dari hemoroid dijepit dan digunakan sebagai patokan untuk
menarik hemoroid dari otot sfingter. Kemudian dibuat insisi elips dan
jaringan hemoroid perlahan didiseksi secara hati-hati dari otot sfingter interna
dan eksterna ke kanalis analis. Dasar pegangan diligasi dan hemoroid
dieksisi. Komplikasi yang dapat timbul meliputi nyeri post tindakan, infeksi,
retensi urin, dan stenosis anal. Walau memiliki komplikasi yang lebih tinggi
dibandingkan terapi lainnya, hemoroidektomi lebih efektif mencegah
kambuhnya gejala dibandingkan rubber band ligation. Pada suatu penelitian
acak, didapatkan tidak ada perbedaan antara hemoroidektomi terbuka ataupun
tertutup.13 Hemoroidektomi konvensional merupakan tindakan baku emas
(gold standar operation) dengan tetap mempertimbangkan komplikasi post
operatif, meliputi nyeri, perdarahan, dan infeksi.20
b. Hemoroidopeksi dengan Stapler
Alternatif hemoroidektomi adalah hemoroidopeksi stapler, dimana alat stapler
digunakan untuk mereseksi dan memfiksasi jaringan hemoroid interna ke
dinding rektal.3 Karena bantalan hemoroid merupakan jaringan normal yang
berfungsi sebagai katup untuk mencegah inkontinensia flatus dan cairan,
tindakan ini dilakuakn dengan menarik mukosa dan jaringan submukosa
rektum distal ke atas dengan menggunakan sejenis stapler, sehingga hemoroid
akan kembali ke posisi semula yang normal. Operasi hemoroid jenis ini
dinamakan hemoroidopeksi dengan stapler dan nyeri pasca bedah pada
tindakan ini sangat minimal.1, 15
Tindakan ini dilakukan dengan stapler
sirkuler dimasukkan ke dalam anus dan jaringan yang prolaps akan diangkat
oleh stapler. Komponen penting yang harus diperhatikan pada prosedur ini

13
adalah saat menempatkan jahitan melingkar dengan benang tidak terserap,
sejauh mungkin untuk menghindari keterlibatan otot sfingter (biasanya 4 cm
dari linea dentate). Setelah itu, sebelum menarik kembali staplernya,
pemeriksaan pada dinding vagina posterior harus dilakukan dan daerah yang
distapler harus dievaluasi adanya perdarahan yang memerlukan jahitan
tambahan. Komplikasi dari hemoroidopeksi stapler meliputi perdarahan pada
daerah yang distapler, inkontinensia akibat cedera pada otot sfingter, stenosis
akibat menyatunya jaringan rektal yang berlebihan. Pada wanita, dapat terjadi
fistula rekto-vaginal akibat inkorporasi jaringan vagina ke jahitan purse-
string.3
Secara umum hemoroidopeksi stapler dapat dijadikan alternatif
hemoroidektomi dimana ahli bedah harus kompeten dan tindakan dilakukan
dengan hati-hati.3
c. Ligasi Arteri Hemoroid dengan Doppler
Teknik ini pertama kali dikemukakan oleh Morinaga dkk pada tahun 1995,
meliputi penggunaan ultrasonografi Doppler untuk mengeidentifikasi dan
ligase arteri hemoroid.16 Teknik ini juga disebut transanal hemorrhoidal
dearterilization (THD). Prinsipnya adalah menggunakan probe Doppler untuk
mengidentifikasi 6 arteri utama pada kanalis analis, ligase arteri in dengan
jahitan terserap dan anoskop, kemudian melipat mukosa hemoroid yang
berlebihan. Lipatan ini sering dianggap perbaikan rekto-anal, mukopeksi, atau
hemoroidepeksi. Kelebihan dari prosedur ini hampir sama dengan
hemoroidopeksi stapler dengan komplikasi yang lebih ringan.3

2.8 Kondisi Khusus


a. Penyakit Crohn
Hemoroid harus dibedakan dengan kutil (hypertrophic skin tag) yang
berkaitan dengan penyakit Crohn. Kutil pada penyakit Crohn lunak dan sering
diikuti dengan adanya ulkus pada kanalis analis. Pasien dengan penyakit
Crohn dan inflamasi anorektal aktif harus diterapi sekonservatif mungkin,
karena pasien ini akan memiliki gangguan penyembuhan luka apabila
dilakukan tidnakan pembedahan yang akan memperberat gejala.17

14
b. Imunosupresi
Pasien dengan imunitas yang rendah seperti pada Acquired Immunodeficency
Syndrome (AIDS) atau pada pasien dengan terapi imunosupresif
berkepanjangan memiliki risiko tinggi sepsis dan penyembuhan luka yang
buruk. Pilihan utama adalah terapi konservatif.18
c. Sirosis dan Hipertensi Portal
Insiden hemoroid pada pasien dengan hipertensi portal tidak jauh berbeda
dengan populasi umum. Varises rektal sebagai akibat hubungan portosistemik
melalui vena hemoroid, terjadi lebih sering pada pasien dengan hipertensi
portal. Namun, perdarahan dari varises rektal jarang, meliputi < 1% dari
perdararahan massif pada hipertensi portal. Bila terdapat perdarahan, dapat
ditangani dengan dekompresi portal.19

15
BAB III
SIMPULAN

Hemoroid merupakan kumpulan jaringan vaskuler, otot polos, dan


jaringan ikat yang terdapat di kanalis analis bagian lateral sinistra, anterior dextra,
dan posterior dextra. Istilah ‘hemoroid’ lebih umum digunakan untuk
mendeskripsikan suatu proses patologis dari hemoroid yang simptomatik
dibandingkan struktur anatomi yang normal. Berdasarkan lokasinya yang
bergantung pada linea dentata, hemoroid dapat dibedakan menjadi dua yaitu
hemoroid interna dan eksterna. Penyebab dan patofisiologi yang belum diketahu
dengan pasti, diperkirakan berkaitan dengan penurunan aliran balik vena,
konstipasi, proses mengedan, kehamilan, hipertensi portal, dan varises anorektal.
Fakto risiko terjadinya hemoroid meliputi faktor anatomik, usia, keturunan,
pekerjaan, mekanis, endokrin, dan fisiologi. Gejala klinis hemoroid meliputi
perdarahan, prolaps, perasaan tidak nyaman pada anus, pengeluaran lender.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan dan pemeriksaan
penunjang.
Sebagian besar kasus hemoroid akan membaik dengan sendirinya. Pilihan
terapi yang dapat diberikan untuk hemoroid yang simptomatik meliputi intervensi
medis non operatif dan prosedur berbasis fungsi (office-based procedure) meliputi
rubber band ligation, skleroterapi, dan koagulasi infrared hingga tindakan
pembedahan seperti hemoroidektomi, hemoroidopeksi stapler, dan ligasi arteri

16
hemoroid berbasis Doppler. Hemoroidektomi konvensional merupakan tindakan
baku emas (gold standar operation) dengan tetap mempertimbangkan komplikasi
post operatif, meliputi nyeri, perdarahan, dan infeksi. Adapun prinsip utama
dalam tata laksana hemoroid adalah selalu diawali dari tindakan yang paling tidak
invasif, kecuali pada kasus thrombosis akut. Pilihan terapi tertentu dapat diberikan
bergantung pada usia pasien, berat ringannya gejala, dan penyakit penyerta.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudarsono DF. Diagnosis dan Penanganan Hemoroid. J MAJORITY. 2015


Mar; 4(6): 31-4.
2. Shafik A. Surgical anatomy of hemorrhoids. Surgical Treatment of
Hemorrhoids. London: Springer; 2009: 7-13.
3. Sun Zhifei MD dan Migaly John MD. Review of Hemorrhoid Disease:
Presentation and Management. Clinics in Colon and Rectal Surgery. 2016;
29(1): 22-9.
4. Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-3. Karnadihardja W,
Prasetyo TOH, Rudiman R. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011.
781-4, 8-94.
5. Marcellus SK. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006.
6. Perry KR MD. Article Review: Hemorrhoids. Emedicine. 2019 Sept 24.
[diakses pada tanggal 5 November 2019 di https://emedicine.medscape.com]
7. Nugroho S. Hubungan aktivitas fisik dan konstipasi dengan derajat hemoroid
di URJ bedah RSUD Dr. Soegiri Lamongan. Surya. 2014; 2(18): 41-50.
8. Thomson WH. The nature of haemorrhoids. Br J Surg. 1975; 62(7): 542-552.

17
9. Morgado PJ, Suarez JA, Gomez LG. Morgado Pj Jr. Histoclinical basis for a
new classification of hemorrhoidal disease. Dis Colon Rectum. 1988; 31(6):
474-480.
10. Alonso-Coello P, Mills E, Heels-Ansdell D. Fiber for the treatment if
hemorrhoids complications: a systematic reveiew and meta-analysis. Am J
Gastroenterol 2006;101(1):181-188.
11. Sneider EB, Maykel JA. Diagnosis and management of symptomatic
hemorrhoids. Surg Clin North Am 2010;90(1): 17-32.
12. Barwell aja, Watkins RM, Lyoyd-Davies E, Wilkins DC. Life-threatening
retroperitoneal sepsis after hemorrhoid injection sclerotherapy: report of a
case. Dis Colon Rectum 1999;42(3):421-423.
13. MacRae HM, McLeod RS. Comparison of hemorrhoidal treatment
modalities. A meta-analysis. Dis Colon Rectum1995;38(7): 687-694.
14. Greenspon J, Williams SB, Young HA, Orkin BA. Thrombosed external
hemorrhoids: outcome after conservative or surgical management. Dis Colon
Rectum 2004;47(9):1493-1498.
15. Brunicardi FC. Scwarrt’z Principal of Surgery. Edisi ke-9. USA: The
McGraw Hills Co: 2010.
16. Morinaga K, Hasuda K, Ikeda T. A novel therapy for internal hemorrhoids:
ligation of the hemorrhoidal artery with a newly devised instrument
(Moricorn) in conjuction with a Doppler flowmeter. Am J Gastroenterol
1995;90(4): 610-613.
17. Wolkomir AF, Luchtefeld MA. Surgery for symptomatic hemorrhoids and
anal fissures in Crohn’s disease. Dis Colon Rectum 1993;36(6): 545-547.
18. Morandi E, Merlini D, Salvaggio A, Yoschi D, Trabucchi E. Prospective
study of healing time after hemorrhoidectomy: influence of HIV infection,
acquired immunodeficiency syndrome, and anal wound infection. Dis Colon
Rectum 1999; 42(9): 1140-1144.
19. Johansen K, Bardin J, Orloff MJ. Massive Bleeding from hemorrhoidal
varices in portal hypertension. JAMA 1980; 244(18): 2084-2085.
20. Chugh A, Singh R, Agarwal PN. Management of Hemorrhoids. Indian
Journal of Clinical Practice. 2014;25(8): 577-580

18

Anda mungkin juga menyukai