PENDAHULUAN
Cairan intravena
Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh
dapat berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang berasal dari
masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein dan pada satu pihak
lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan saluran cerna. Keseimbangan air
ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan pengeluaran.
Air tubuh terdapat didalam sel (intrasel) dan diluar sel (ekstrasel).Cairan
extraselular meliputi cairan interstisial dan plasma yang mempunyai komposisi yang
sama. Natrium merupakan kation terpenting sedangkan anion terpenting adalah klorida
dan bikarbonant. Kation terpenting pada intrasel adalah kalium dan magnesium
sedangkan anion terpenting adalah fosfat organik, protein dan sulfat. Biasanya perubahan
komposisi plasma darah mencerminkan perubahan yang terjadi dalam semua cairan
tubuh.
Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat dibagi
menjadi tiga kategori yaitu kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta kehilangan
cairan melalui tinja. Selain itu dapat terjadi kehilangan cairan abnormal yang disebabkan
oleh berbagai penyakit yang berupa pengurangan masukkan cairan atau peningkatan
pengeluaran cairan. Pemenuhan cairan berdasarkan kehilangan cairan akibat penyakit dan
kehilangan yang tetap berlangsung secara normal.
Cara pemberian cairan akibat kehilangan oleh karena penyakit bisa diberikan
secara oral ataupun parenteral. Perlu diperhatikan bahwa sebaiknya pemberian cairan
diusahakan secara oral tapi pada keadaan yang tidak memungkinkan, dapat pula
diberikan secara intravena.D alam pelaksanaannya pemberian cairan secara intravena
pada bayi dan anak yang sakit perlu diperhatikan hal-hal seperti pemilihan jenis cairan,
jumlah dan lama pemberian yang disesuaikan dengan keadaan penyakit dan gejala klinik
lainnya karena terdapat perbedaan komposisi, metabolisme dan derajat kematangan
sistem pengaturan air dan elektrolit.
Syok Hipovolemik
SYOK
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang
menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat
gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland
tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya
pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan
terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi
intensif.
1. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial rata-
rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih.
2. Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.
3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian
kapiler yang jelek.
Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, dan syok anafilaksis.
Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh
hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada:
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar
tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah
yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500–1000 ml perdarahan atau
fraktur femur menampung 1000–1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein
plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran
darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam
jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan
metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah
dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991).
Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok
hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta
perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis
merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliuan menejemen dapat berakibat fatal.
Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk
mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan
bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan
menurunkan angka mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyababkan gangguan pada fungsi
kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan akibat lanjutan dari gangguan
fungsi kardiovaskuler. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan
mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma,
atau darah. Untuk memperbaiki sirkulasi langkah utamanya adalah mengupayakan aliran
vena yang memadai.
II. 2 Patofisiologi
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut
dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui
pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan
tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan.
Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan
penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam
untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis
sebelumnya. Referensi untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada bibliografi.
Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi
perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah
dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya
akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.
II. 3 Gejala dan Tanda Klinis
II. 4 Diagnosis
2. Funduskopi
Pada pemeriksaan funduskopi dengan oftalmoskop direk atau indirek akan terlihat di
daerah makula berupa drusen, kelainan epitel pigmen retina seperti hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi yang berhubungan dengan drusen pada kedua mata, neovaskularisasi
koroid, perdarahan subretina, dan lepasnya epitel pigmen retina dapat menolong sebagai
konfirmasi diagnosis, tetapi penemuan tersebut bisa muncul tanpa kehilangan
penglihatan.
Pemeriksaan FFA merupakan gold standard bila dicurigai CNV. Gambaran FFA dapat me-
nentukan tipe lesi, ukuran dan lokasi CNV, sehingga dapat direncanakan tindakan
selanjutnya. FFA juga digunakan sebagai penuntun pada tindakan laser dan sebagai
pemantauan dalam menentukan adanya CNV yang mene- tap atau berulang setelah tindakan
laser. Dari gambaran FFA, dapat ditentukan beberapa tipe lesi, yaitu
(a) CNV Klasik: gambaran hiperfl oresin berbatas tegas pada fase peng- isian awal arteri,
dan pada fase lambat tampak kebocoran fl uoresin sehingga batasnya menjadi kabur
(b) CNV Tersamar (Occult): pada fase lambat terlihat gambaran hiperfl o- resin granular
dengan batas tidak tegas
(c) Predominan klasik: lesi klasik lebih dari 50% dibandingkan dengan tipe tersamar, dan
(d) Minimal klasik: lesi klasik kurang dari 50% dibandingkan dengan tipe tersamar
Lesi juga dibagi menjadi ekstrafoveal, juxtafoveal atau subfoveal jenis tergantung pada
lokasi mereka. Lokasi lesi mempengaruhi pilihan pengobatan.
Lesi ekstrafoveal: 200 –2500 mm dari fovea
Gambar 2.5 Berdasarkan gambaran FFA, lesi CNV dapat dibedakan menjadi: classic dan
occult CNV.
Gambar 2.7 Gambarat Dry AMD Pada OCT Panah putih: drusen sebagai elevasi
dari RPE
Gambar 2.8 Gambaran Dry AMD pada OCT
Panah kuning: Penebalan Retina, Panah Biru: Cyst, Panah Putih: Cairan intraretinal
ICGA sangat lambat mengisi kapiler koroid sehingga struktur koroid dapat terlihat lebih
detail. Hal ini memberi gambaran yang baik pada kelainan koroid dan menghilangkan
blokade yang terjadi pada FFA, sehingga sering digunakan dalam diagnosa CNV tersamar.
Sistem Respirasi
Pernapasan cepat dan dangkal.
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan
menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya turgor jaringan; (2)
Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta (3) Bola
mata cekung.
Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan
oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan
celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan
dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia,
ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan pada dehidrasi
berat.
Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di ginjal. Pada
insufisiensi hepar, glukoneogenesis hepatik terhambat dan hepar gagal melakukan
metabolisme laktat. Pemberian HCO3 (bikarbonat) pada asidosis ditangguhkan sebelum
pH darah turun menjadi 7,2. Apabila pH 7,0–7,15 dapat digunakan 50 ml NaHCO3 8,4%
selama satu jam. Sementara, untuk pH < 7,0 digunakan rumus 2/2 x berat badan x
kelebihan basa.
II. 4 Pemeriksaan Laboratorium dan Hematologi
Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan
nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal.
Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi
buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation)
pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan
syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu
pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat
vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer.
Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat,
yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis harus dicari
dan ditanggulangi.
Posisi Tubuh
1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi
penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-
organ vital.
2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan digerakkan
sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari terjadinya luka yang
lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama seperti pertolongan untuk
membebaskan jalan napas.
3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita tidak
sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk
memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan
nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah meyakinkan
bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya asfiksia.
4. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala agak
ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh lainnya.
5. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan
dengan posisi telentang datar.
6. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengan
kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan
darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau
penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.
Pertahankan Respirasi
1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
2. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).
3. Berikan oksigen 6 liter/menit
4. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup
(Ambu bag) atau ETT.
Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan
darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain.
Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang
hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan
kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa
liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi
kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat
ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard
sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh
terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila
volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan
perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain
seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem
renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial
akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular,
dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi
interstitial.
Penanggulangan
Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus dengan cepat larutan
kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (v. jugularis) yang
kolaps terisi. Sementara, bila diduga syok karena perdarahan, ambil contoh darah dan
mintakan darah. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus
dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama pasien tua. Perhatian
harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.
Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus:
Nadi: nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.
Tekanan darah: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan
darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfusi
cairan.
Produksi urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin.
Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan
adanya hipovolemia. Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila
volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa
diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 2--5
µg/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8--12
cmH2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak,
pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.
BAB III
RESUSITASI CAIRAN
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik.
Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan
tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera
mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari
hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka
bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akut.
III. 2 Macam- Macam Jenis Cairan
Umumnya terapi cairan yang dapat diberikan berupa cairan kristaloid dan koloid
atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan yang mengandung air, elektrolit
dan atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa isotonik, hipotonik, dan
hipertonik terhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu cairan yang BM nya
tinggi 7,8.
Cairan Kristaloid
1. Cairan Hipotonik
2. Cairan Isotonik
Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat dan
plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi intravaskuler yang
adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari kehilangannya. Cairan
ini cukup efektif sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukanpun relatif lebih
pendek dibanding dengan cairan koloid.
3. Cairan Hipertonik
Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama. Oleh
karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan intraseluler ke dalam
ekstra seluler. Peristiwa ini dikenal dengan infus internal. Disamping itu cairan
natrium hipertonik mempunyai efek inotropik positif antara lain mevasodilatasi
pembuluh darah paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar karena
dapat mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan mengurangi jumlah
cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%
b. Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4
mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi
keadaan asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir
di dalam otot, sedangkan laktat di dalam hati. Laju metabolisme asetat 250 – 400
mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam. Asetat akan dimetabolisme menjadi
bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-enzim A untuk membentuk asetil
ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A sintetase dan mengkonsumsi ion hidrogen
dalam prosesnya. Cairan ini bisa mengganti pemakaian Ringer Laktat.
c. Glukosa 5%, 10% dan 20%
Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9 Glukosa
5% digunakan pada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan 20%
digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal
ginjal akut dengan oliguria .
d. NaCl 0,9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L Klorida,
yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal untuk
penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia, hipokloremia atau
alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan pada demam berdarah dengue dan renjatan
kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium seperti
asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal dan luka bakar. Pada anak dan bayi
sakit penggunaan NaCl biasanya dikombinasikan dengan cairan lain, seperti NaCl
0,9% dengan Glukosa 5 %.
Cairan Koloid
a. Albumin
1. Albumin endogen.
Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam fisiologis.
Albumin 25% bila diberikan intravaskuler akan meningkatkan isi intravaskuler
mendekati 5x jumlah yang diberikan.Hal ini disebabkan karena peningkatan
tekanan onkotik plasma. Peningkatan ini menyebabkan translokasi cairan
intersisial ke intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial mencukupi.
Komplikasi albumin adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi fungsi
miokardium, reaksi alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi protein yang
dimurnikan. Hal ini karena faktor aktivator prekalkrein yang cukup tinggi dan
disamping itu harganya pun lebih mahal dibanding dengan kristaloid.8 Larutan ini
digunakan pada sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom
4. Dextran
Campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam ukuran dan berat
molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes yang dikembang
biakkan di media sucrose. BM bervariasi dari beberapa ribu sampai jutaan Dalton.
Ada 2 jenis dextran yaitu dextran 40 dan 70. dextran 70 mempunyai BM 70.000
(25.000-125.000). sediaannya terdapat dalam konsentrasi 6% dalam
garam fisiologis. Dextran ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan dextran 40.
Oleh karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander dan merupakan
pilihan terbaik dibadingkan dengan dextran 40.
Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada orang
dewasa dan pada bencana alam. Terdapat 2 bentuk sediaan yaitu:
1.Modified Fluid Gelatin (MFG)
Kedua cairan ini punya BM 35.000. Kedua jenis gelatin ini punya efek volume
expander yang baik pada kegawatan. Komplikasi yang sering terjadi adalah reaksi
anafilaksis.
Cairan Kombinasi
1. KaEn 1 B (GZ 3 : 1)
2. Cairan 2a
Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan NaCl 0,9 % dengan perbandingan 1 :
1 yang terdiri dari dextrosa monohidrat 55gr/L, dextrosa anhidrat 50 gr/L, Natrium
150 mmol/L dan klorida 150 mmol/L. Cairan ini digunakan pada diare dengan
komplikasi dan bronkopneumoni dengan komplikasi. Sedangkan campuran glukosa
10% dan NaCl 0,9 % dengan perbandingan 1:1 digunakan pada bronkopneumoni
dengan dehidrasi oleh karena intake kurang.
3. Cairan G:B 4:1
Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan Natrium Bikarbonat 1,5 % yang
merupakan campuran dari 500 cc Glukosa 5% dan 25 cc Natriun Bikarbonat 8,4%.
Cairan ini digunakan pada neonatus yang sakit
4. Cairan DG
Cairan ini terdiri dari Natriun 61 mEq/L, Kalium 18mEq/L serta Laktat 27
mEq/L dan Klorida 52 mEq/L serta Dextrosa 25 g/L.9 Cairan ini digunakan pada
diare dengan komplikasi.
6. Cairan RLD
Cairan yang terdiri dari I bagian Ringer laktat dan 1 bagian Glikosa 5% yang
bisa digunakan pada demam berdarah dengue .
Cairan yang terdiri dari 4 bagian glukosa 5-10% dan 1 bagian NaCL 0,9%
yang bisa digunakan pada dehidrasi berat karena diare murni.
Prinsip Terapi Cairan
Terapi cairan merupakan salah satu aspek terpenting dari perawatan pasien.
Pemilihan cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit
dan kelainan metabolik yang ada. Secara sederhana tujuan terapi cairan dibagi atas
resusitasi atau pengganti yaitu untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan
untuk mengganti kehilangan harian.
Kebutuhan air dan elektrolot sebagai terapi dapat dibagi atas 3 kategori:
Sebagai pengganti cairan yang hilang melalui pernafasan, kulit, urin dan tinja
( Normal Water Losses = NWL). Kehilangan cairan melalui pernafasan dan kulit
disebut Insesible Water Losses (IWL). Kebutuhan cairan pengganti rumatan ini
dihitung berdasarkan kg BB. Kebutuhan cairan untuk terapi rumatan dipengaruhi oleh
suhu lingkungan dan C diatasaktifitas terutama IWL oleh karena itu setiap kenaikan
suhu 1 C kebutuhan cairan ditambah 12%. Sebaliknya IWL akansuhu tubuh 37
menurun pada keadaan menurunnya aktivitas seperti dalam keadaan koma dan
keadaan hipotermi maka kebutuhan cairan rumatan harus dikurangi 12% C dibawah
suhu tubuh normal. Cairanpada setiap penurunan suhu 1 intravena untuk terapi
rumatan ini biasanya campuran Dextrosa 5% atau 10% dengan larutan NaCl 0,9% 4:1 ,
3:1, atau 1:1 yang disesuaikan dengan kebutuhan dengan menambahkan larutan KCl 2
mEq/kgBB.
2. Terapi deficit
Sebagai pengganti air dan elektrolit yang hilang secara abnormal (Previous
Water Losses=PWL) yang menyebabkan dehidrasi. Jumlahnya berkisar antara 5-
15% BB. Biasanya kehilangan cairan yang menyebabkan dehidrasi ini disebabkan
oleh diare, muntah-muntah akibat stenosis pilorus, kesulitan pemasukan oral dan
asidosis karena diabetes. Berdasarkan PWL ini derajat dehidrasi dibagi atas
ringan yaitu kehilangan cairan sekitar 3-5% BB, dehidrasi sedang kehilangan
cairan sekitar 6-9% BB dan dehidrasi berat kehilangan cairan berkisar 10% atau
lebih BB.
Kehilangan cairan ini bisa terjadi melalui muntah dan diare yang masih tetap
berlangsung, pengisapan lendir, parasentesis dan lainnya. Jumlah kehilangan
CWL ini diperkirakan 25 ml/kgBB/24 jam untuk semua umur.
Untuk mengatasi keadaan diatas diperlukan terapi cairan. Bila pemberian cairan
peroral tidak memungkinkan, maka dicoba dengan pemberian cairan personde
atau gastrostomi, tapi bila juga tidak memungkinkan, tidak mencukupi atau
membahayakan keadan penderita, terapi cairan secara intra vena dapat diberikan
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter
larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan
terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan
darah pada pasien kombustio 18–24 jam sesudah cedera luka bakar.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme
laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat
dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat
terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya
laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi
dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti
kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief S.A., 2007. Petunjuk Praktis Anastesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.
3. Sunatrio, S, Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis, Simposium Alternatif Baru Dalam
Terapi Resusitasi Cairan, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM, Jakarta, 14 Agustus 1999.
4. Sudoyo, Aru w. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi IV. FKUI. Jakarta.