Anda di halaman 1dari 24

1

PAPER

PENATALAKSANA PADA
SERANGAN ASMA

Paper ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam


menjalani kepaniteraan klinik senior di SMF Ilmu
Penyakit Paru RSU Dr. Pirngadi Medan.

DI SUSUN OLEH :

M. Nandang Septiandi 71190891012


Robby Syahputra HRP 71190891004
M. Alfi Syahrian Ridho 71190891018
Mhd.Soewandi Gunawan 71190891006
Teuku M. Fadel Azwar 71200891027
Amin Ridho Pasaribu 71200891017
Muhammad Syauqi 71200891026

PEMBIMBING :
dr. Nuryunita, Sp.P

SMF ILMU Paru - Paru


RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF Ilmu Penyakit
Paru Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan dengan judul “Penatalaksanaan
Pada Serangan Asma ”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada dr. Nuryunita, Sp,P, khususnya sebagai pembimbing penulis, dan semua
staff pengajar di SMF Ilmu Penyakit Paru Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan,
serta teman-teman di Kepaniteraan Klinik Senior.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini memiliki banyak
kekurangan baik dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan menambah
pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu
kedokteran dalam praktek di masyarakat.

Medan, Agustus 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...2
DAFTAR ISI .........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................4
1.1Latar Belakang .............................................................................................. 4
BAB II Tinjauan Pustaka...................................................................................7
2.1 Definisi .................................................................................................. 7
2.2 Patofisiologi .......................................................................................... 7
2.3 Faktor resiko........................................................................................... 10
2.4 Diagnosis ............................................................................................... 10
2.5 Klasifikasi ............................................................................................. 13
2.6 Tatalaksana ............................................................................................ 14
2.7 Evaluasi Pengobatan .............................................................................. 15
2.8 Tatalaksana Serangan di IGD ................................................................. 16
BAB III Kesimpulan............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..24

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak
maupun dewasa di negara berkembang maupun negara maju. Sejak dua
dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma bronkial meningkat
pada anak maupun dewasa. Prevalensi total asma bronkial di dunia
diperkirakan7,2 % (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi
tersebut sangat bervariasi pada tiap negara dan bahkan perbedaan juga
didapat antar daerah di dalam suatu negara. Prevalensi asma bronkial di
berbagai negara sulit dibandingkan, tidak jelas apakah perbedaan angka
tersebut timbul karena adanya perbedaan kritertia diagnosis atau karena
benar-benar terdapat perbedaan. Asma merupakan masalah kesehatan dunia
yang tidak hanya terjangkit di negara maju tetapi juga di negara
berkembang. Menurut data laporan dari Global Initiatif for Asthma (GINA)
pada tahun 2012 dinyatakan bahwa perkiraan jumlah penderita asma seluruh
dunia adalah tiga ratus juta orang, dengan jumlah kematian yang terus
meningkat hingga seratus delapan puluh ribu orang per tahun. (GINA 2016)
Data World Health Organization (WHO) juga menunjukkan data
yang serupa bahwa prevalensi asma terus meningkat dalam 30 tahun
terakhir terutama di negara maju. Hampir separuh dari seluruh pasien asma
pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat
darurat setiap tahunnya. Pengelolaan penyakit asma meliputi terapi
nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi nonfarmakologis dengan
menghindari faktor pencetus, menjaga kebersihan lingkungan dan rutin
kontrol ke dokter. Sedangkan terapi farmakologis dengan obat pelega
maupun pengontrol saluran nafas ada yang disemprot dan diminum.
Dijelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa terapi
nonfarmakologis lebih penting dan bermakna daripada terapi farmakologis.
Pasien diberitahu masih perlu memperbaiki pola hidupnya dan sering
kontrol asma ke Puskesmas sebulan sekali serta meminum obat dan kurangi

4
aktivitas fisik serta selalu sedia obat semprot pelega dirumah. (Usmani,
2015).
Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan
bakat/kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan
dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif
(hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena
kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari
dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara
objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari
kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Mutasi pada kluster-kluster
gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan sebagai predisposisi
terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q berperan dalam
progresiviti inflamasi baik pada asma maupun atopi, Interleukin-4 sangat
penting dalam respons imun atopi, baik dalam menimbulkan diferensiasi
sel Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh sel B. Gen IL-4 dan gen-
gen lain yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang
berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi. Interaksi faktor genetik dengan
lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan bahwa baik faktor lingkungan
maupun faktor genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma
bronkial, dan pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma bronkial
pada individu dengan genetik asma bronkial. Faktor-faktor yang
mempengaruhi asma bronkial akan berbeda pada tiap individu.(Chestnut,
2014)
Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu
antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol
penyakit serta mencegah serangan dikenal dengan pengontrol, serta
bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi
eksaserbasi/ serangan dekenal dengan pelega. Contoh antiinflamasi yaitu
golongan steroid inhalasi seperti flutikason propionat dan budesonid,
golongan antileukotrin seperti metilprednisolon, kortikosteroid sistemik
seperti prednison, agonis beta-2 kerja lama seperti formeterol, prokaterol.
Obat pelega ada dari golongan agonis beta-2 kerja singkat seperti

5
salbutamol, terbutalin, fenoterol, golongan antikolinergik seperti
ipratoprium bromide,golongan metilsantin seperti teofilin, aminofilin dan
lain-lain. Tujuan dari penatalaksanaan pasien yang mengalami asma adalah
menghilangkan gejala asma dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
(Rajaram 2015)
Penatalaksanaan Asma Bertujuan untuk menghilangkan dan
mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat, mencegah
eksaserbasi akut, meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal
mungkin, mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan
aktivitas lainnya, Menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya
keterbatasan aliran udara Ireversibel, meminimalkan kunjngan ke gawat
darurat Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan pasien adalah
hal yang penting sebagai dasar penatalaksanaan. Risiko berkembangnya
asma bronkial merupakan interaksi antara faktor pejamu (host faktor) dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma bronkial, yaitu genetik, alergik
(atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi asma
bronkial untuk berkembang menjadi asma bronkial, menyebabkan
terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma bronkial
menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet,
status sosio-ekonomi dan besarnya keluarga. (GINA 2020)

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma
2.1.1 Definisi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus akibat dari berbagai rangsangan, yang
menunjukan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, nafas pendek
dan batuk yang berubah-ubah setiap waktu dalam kejadian, frekuensi dan
intensitas. Pada umumnya muncul dan sering lebih berat pada malam hari atau
menjelang pagi hari. (GINA 2016)
Gejala ini dihubungkan dengan aliran udara ekspirasi yang berubah,
misal kesulitan bernafas karena bronkokonstriksi atau penyempitan saluran nafas,
penebalan dinding saluran nafas serta peningkatan produksi mukus. Perubahan ini
dapat pula terjadi pada orang tanpa asma, namun gejala tetap lebih besar pada
orang dengan asma. (GINA 2016)

2.1.2 Patofisiologi
Proses inflamasi saluran nafas pasien asma tidak saja ditemukan pada
pasien asma berat, tetapi juga pasien asma ringan, dan reaksi inflamasi ini dapat
terjadi lewat jalur imunologi maupun nonimunologi. Dalam hal ini banyak sel
yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, limfosit T, netrofil dan sel epitel.
Gambaran khas inflamasi ini adalah peningkatan sejumlah eosinofil teraktifasi, sel
mast, makrofag dan limfosit T. Sel limfosit berperan penting dalam respon
inflamasi melalui pelepasan sitokin-sitokin multifungsional. Limfosit T subset
T helper-2 (Th-2) yang berperan dalam patgenesis asma akan mensekresi sitokin
IL-3,IL-4,IL-5,IL-9,IL-13,IL-16 dan Granulocyte Monocyte Colony Stimulating
Factor (GMCSF). (Chesnut 2014)
Respon inflamasi tipe cepat dan lambat berperan terhadap
munculnya manifestasi klinis asma. Pada fase cepat, sel-sel mast mengeluarkan
mediator- mediator, seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dan tromboksan
yang menimbulkan bronkokonstriksi. Pada fase lambat, sitokin-sitokin
dikeluarkan sehingga memperlama inflamasi dan mengaktivasi eosinofil, basofil,
limfosit dan sel-sel mast. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling

7
berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks yang akan merusak
epitel saluran nafas. Hiperplasia otot polos dan hiperresponsif bronkial akibat
proses inflamasi kronis menyebabkan menyempitnya saluran udara, hal ini
menimbulkan gejala-gejala mengi, batuk, sesak dada dan nafas pendek.
Serangan asma berkaitan dengan obstruksi jalan nafas secara luas yang
merupakan kombinasi spasme otot polos bronkus, edem mukosa, sumbatan
mukus, dan inflamasi saluran nafas. Sumbatan jalan nafas menyebabkan
peningkatan tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang
berlebih (hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh
jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dan perfusi.
Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi
peningkatan kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan
untuk ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, dapat semakin sempit atau
menyebabkan penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya pnemotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal dapat mempengaruhi
arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus
paradoksus. (Chestnut 2014)
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar,
dan peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan gas dalam darah. Pada
awal serangan untuk mengompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar
PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik.
Pada obstruksi jalan nafas yang berat akan terjadi kelelahan otot
pernafasan dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadi hiperkapnia dan
asidosis respiratorik. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat
hipoksia jaringan, produksi laktat oleh otot nafas, dan masukan kalori yang
berkurang. Hipoksia dan anoksia dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal.
Hipoksia dan vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi
surfaktan berkurang dan meningkatkan risiko terjadinya atelektasis.
Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi
dan bersifat irreversibel disebut remodelling. Remodelling saluran nafas
merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan
penyambung dan mengubah struktur saluran nafas melalui proses diferensiasi,

8
migrasi, dan maturasi struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan
epitel yang berlanjut, produksi berlebihan faktor pertumbuhan
profibotik/transforming growth factor (TGF-β) dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodelling. Miofibroblast yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi
sel-sel otot polos saluran nafas dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular,
menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Peningkatan
deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada dinding saluran
nafas dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal ini
secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit. (Lugogo 2010)

Gambar 1. Gambaran saluran pernafasan pada pasien asma.


Hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran nafas, sel goblet kelenjar
submukosa pada bronkus terjadi pada pasien asma terutama yang kronik dan
berat. Secara keseluruhan, saluran nafas pada pasien asma memperlihatkan
perubahan struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran nafas. Selama ini asma diyakini merupakan obstruksi saluran nafas yang
bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien reversibilitas yang menyeluruh
dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan
kortikosteroid inhalasi. Beberapa penderita asma mengalami obstruksi saluran
nafas residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, hal
ini mencerminkan adanya remodelling saluran.(Barner 2012)

9
2.1.3 Faktor risiko serangan
Berdasarkan kesepakatan para ahli maka diketahui bahwa serangan
asma, kejadian asma, keparahan asma dan kematian karena asma dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor- faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
1) Faktor pejamu
Faktor dari pasien meliputi jenis kelamin, ras, hiperresponsif saluran
nafas, dan status gizi.
2) Faktor lingkungan
Faktor dari luar diri pasien yang meliputi:
Alergen dalam rumah : tungau debu rumah, alergen hewan
piaraan, alergen kecoa, jamur.

Alergen luar : serbuk sari, jamur.


Pajanan pekerjaan : pekerja pabrik.
Asap rokok : perokok pasif, perokok aktif.
Polusi udara : polutan luar rumah dan dalam rumah, ventilasi udara.
Infeksi saluran nafas : infeksi virus,bakteri, dan parasit
Status sosial ekonomi rendah
Obat-obatan (Paxord 2012)

2.1.4 Diagnosis
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis
medis yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis memegang peranan sangat penting mengingat diagnosis asma pada
anak sebagian besar ditegakkan secara klinis. (Gina 2020)

10
Gambar 2. Flow-chart Diagnosa Asma
2.1.4.1 Anamnesis
Keluhan wheezing dan batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang
diterima secara luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma
berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan produksi
sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi
petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan Karakteristik
yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. (Gina 2016)

11
Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:
a) Gejala timbul secara episodik atau berulang
b) Timbul bila faktor pencetus.
Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,
udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet
makanan.
Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
Infeksi respiratorik akut karena virus, selesma, common cold,
rinofaringitis.
Aktivitas fisik: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
c) Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu,
bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari
(nokturnal).
d) Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan
pemberian obat pereda asma.

2.1.4.2 Pemeriksaan Fisik


Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisik pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak,
dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau
terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien
seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi
seperti allergic shiners atau geographic tongue. (Gina 2016)

2.1.4.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan ini menunjukan variabilitas gangguan aliran nafas akibat
obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi
pada pasien.

12
a) Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan
dengan peak flow meter.
b) Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE
spesifik.
c) Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide),
eosinofil sputum.
d) Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik.

Tabel 2. Kriteria diagnosis asma

Gejala Karakteritik
Biasanya > 1 gejala respiratori
Gejala berfluktuasi intensitasnya seiring
waktu
Wheezing, batuk, sesak nafas, Gejala memberat pada malam hari atau
dada tertekan, produksi sputum
Konfirmasi adanya limitasi
dinialiran
hari udara ekspirasi
Gambaran obstruksi saluran nafas FEV1 rendah
Gejala (<80%
timbul bilanilai prediksi)
ada pencetus
FEV1/ FVC ≤ 90%
Ujireversibilitas(paska Peningkatan FEV1 > 12%
bronkodilator)
Variabilitas Perbedaan PEFR harian > 13%
Uji provokasi Penurunan FEV1 > 20% atau PEFR > 15%

2.1.5 Klasifikasi asma


Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala klasifikasi derajat penyakit
asma menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2015, asma dibagi
menjadi 4 golongan, yaitu asma intermitten, persisten ringan, persisten sedang
dan persisten berat. Sedangkan derajat serangan dibagi menjadi 3 yaitu
serangan ringan-sedang, asma serangan serangan berat dan serangan asma
dengan ancaman henti nafas. (Gina 2020)

13
Tabel 3. Asma berdasarkan kekerapan timbulnya gejala
Derajat asma Uraian kekerapan gejala asma

Intermitten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar gejala ≥6


minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu

Persisten sedang Epidose gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari

Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir setiap hari

2.1.6 Tatalaksana.
Pelega (Reliever): Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega
adalah: Agonis beta2 kerja singkat, Antikolinergik , Aminofillin, dan Adrenalin.
(Gina 2020)
Pengontrol (Controllers): Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang
untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah,
yang termasuk obat pengontrol :
• Kortikosteroid inhalasi
• Kortikosteroid sistemik
• Sodium kromoglikat
• Nedokromil sodium
• Metilsantin
• Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
• Agonis beta-2 kerja lama, oral
• Leukotrien modifiers

14
• Antihistamin generasi ke dua

Gambar 3. Tatalaksana asma serangan akut.

2.1.7 Evaluasi Pengobatan


Selama pengobatan pasien harus dimonitor secara ketat dan terapi dititrasi
sesuai dengan responsnya. Pasien dengan gejala dan tanda eksaserbasi yang berat
atau yang mengancam nyawa dan tidak membaik dengan terapi yang diberikan dan
bahkan terus mengalami perburukan, harus dirujuk segera ke unit emergensi rumah
sakit yang lebih lengkap. Pasien yang menunjukkan perbaikan yang minimal atau
lambat dengan terapi 2-agonis kerja singkat, harus dimonitor secara ketat. Pada

15
sebagian besar pasien, monitoring fungsi paru dapat dilakukan setelah terapi 2-
agonis kerja singkat mulai diberikan. Terapi tambahan lainnya harus dilanjutkan
sampai nilai PEF atau FEV1 mencapai plateau atau idealnya sampai kembali ke
nilai terbaik pasien sebelumnya. Selanjutnya dibuat keputusan untuk menentukan
apakah pasien dapat dipulangkan atau harus dirujuk. (Gina 2016)

2.1.8 Tatalaksana Serangan Asma Akut Di Unit Emergensi


Tatalaksana asma eksaserbasi akut berat yang mengancam nyawa harus
dilakukan di unit emergensi. Seperti juga pada pelayanan primer, maka tatalaksana
di unit emergensi juga mencakup beberapa hal penting yaitu melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisis, melakukan penilaian obyektif yang lebih lengkap meliputi
pemeriksaan fungsi paru dan pengukuran saturasi oksigen, terapi medika mentosa
serta bila diperlukan dilakukan juga pemeriksaan analisis gas darah dan foto toraks.
(Gina 2020)
1. Melakukan penilaian obyektif
Penilaian yang bersifat obyektif perlu juga dilakukan mengingat
dengan pemeriksaan fisis saja mungkin belum dapat memberikan petunjuk
yang akurat mengenai beratnya eksaserbasi asma. Namun demikian yang
menjadi perhatian utama dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut tersebut
adalah kondisi pasien itu sendiri dan bukan nilai-nilai yang didapat dari
laboratorium.
a. Pengukuran fungsi paru : Pemeriksaan fungsi paru sangat
dianjurkan pada asma eksaserbasi akut yang berat. Bila memungkinkan,
tanpa terlalu menunda pengobatan, dilakukan pencatatan nilai PEF dan
FEV1 sebelum pengobatan diberikan. Fungsi paru harus dievaluasi pada
jam pertama dan kemudian secara serial sampai didapatkan respons yang
jelas terhadap pengobatan yang diberikan atau sampai mencapai plateau.
b. Saturasi oksigen : Saturasi oksigen harus dimonitor secara ketat
dengan menggunakan pulse oximetry. Saturasi oksigen < 90% memberi

16
petunjuk perlunya diberikan terapi yang agresif. Saturasi oksigen harus
dinilai sebelum diberikan oksigen atau 5 menit setelah oksigen dilepas atau
jika saturasi telah stabil.
c. Analisis gas darah : Pemeriksan analisis gas darah tidak perlu
dilakukan secara rutin pada asma eksaserbasi akut. Pemeriksaan ini perlu
dipertimbangkan pada pasien eksaserbasi akut dengan nilai PEF atau
FEV1< 50% predicted, atau pada pasien yang tidak menunjukkan respons
dengan terapi awal yang diberikan dan bahkan mengalami perburukan.
Suplementasi oksigen secara terkontrol perlu dilanjutkan, sementara
diperoleh hasil analisis gas darah. Tekanan parsial oksigen (PaO2) < 60
mmHg dengan PCO2 yang normal atau tinggi (>45 mmHg) menunjukkan
adanya gagal napas. Kelelahan atau penurunan kesadaran hingga somnolen
menunjukkan adanya peningkatan PCO2 dan merupakan indikasi perlunya
dilakukan intervensi saluran napas.

d. Foto toraks : Pemeriksaan foto toraks tidak disarankan untuk


dilakukan secara rutin. Pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan bila diduga
adanya kemungkinan penyebab sesak yang lain khususnya pada orang
tua, misalnya adanya gagal jantung. Foto toraks perlu juga dilakukan bila
pasien tidak menunjukkan respons dengan terapi yang diberikan, sementara
kemungkinan adanya pneumotoraks sulit untuk didiagnosis secara klinis.

2. Terapi Asma Eksaserbasi akut di Unit Emergensi


Terapi yang perlu diberikan secara bersamaan untuk mendapatkan perbaikan
secara cepat yaitu :
a. Oksigen : Oksigen harus diberikan baik dengan kanul binasal atau
dengan simple mask untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%. Pada
eksaserbasi akut yang berat controlled low flow oxygen therapy yang
diberikan dengan panduan pulse oximetry (untuk mencapai saturasi oksigen
93-95%) akan memberikan dampak fisiologis yang lebih baik

17
dibandingkan dengan high flow 100% oxygen therapy. Pemberian terapi
oksigen tidak boleh ditunda bila tidak ada pulse oximetry. Bila pasien sudah
stabil, pertimbangkan untuk menyapih oksigen dengan panduan oximetry.

b. Inhalasi beta2-agonis kerja singkat : Terapi inhalasi dengan


beta2- agonis kerja singkat harus sering diberikan pada pasien dengan
asma eksaserbasi akut. Cara pemberian inhalasi yang paling efisien dan
efektif adalah dengan menggunakan pMDI yang dilengkapi dengan spacer
yang ukurannya sesuai. Pada asma yang berat dan near-fatal asthma,
bukti mengenai efektifitas pemberian terapi inhalasi kuranglah kuat.
Systimatic review yang membandingkan antara terapi inhalasi intermiten
dengan kontinyu memberikan hasil yang bervariasi. Walaupun ada satu
penelitian yang menunjukkan tidak adanya perbedaan pada perbaikan fungsi
paru dan angka perawatan di rumah sakit, namun studi-studi lebih lanjut
menunjukkan adanya perbaikan fungsi yang lebih besar dan angka
perawatan di rumah sakit yang lebih rendah pada pemberian inhalasi secara
kontinyu dibandingkan dengan intermiten, khususnya pada pasien-pasien
dengan fungsi paru yang buruk. Studi awal pada pasien yang dirawat
menunjukkan bahwa pemberian inhalasi intermiten secara on-demand
menunjukkan lama perawatan yang lebih singkat, pemberian inhalasi yang
lebih sedikit dan efek samping palpitasi yang lebih rendah dibandingkan
dengan terapi inhalasi yang diberikan secara rutin setiap 4 jam.
Berdasarkan data tersebut maka pemberian terapi inhalasi dengan Beta 2-
agonis yang rasional pada asma eksaserbasi akut adalah dengan pemberian
secara kontinyu pada awalnya, dilanjutkan dengan intermiten secara on-
demand pada pasien yang dirawat. Pemberian rutin Beta 2-agonis secara
intravena pada asma eksaserbasi akut tidak disarankan

c. Epinefrin (Adrenalin)
Pemberian epinefrin (adrenalin) diindikasikan sebagai terapi

18
tambahan pada terapi standar asma dan angioedema yang terjadi akibat
reaksi anafilaksis. Pemberian epinefrin tidak disarankan untuk diberikan
secara rutin pada eksaserbasi asma yang lain.

d. Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik harus diberikan ada asma eksaserbasi akut
yang berat karena akan mempercepat penyembuhan dan mencegah relaps.
Bila memungkinkan kostikosteroid sistemik diberikan dalam 1 jam pertama
sejak timbulnya keluhan eksaserbasi. Pemberian kortikosteroid sistemik
adalah penting terutama pada keadaan berikut yaitu bila pemberian 2-
agonis awal tidak menunjukkan perbaikan, eksaserbasi akut terjadi
sementara pasien menggunakan kortikosteroid oral, pasien dengan riwayat
eksaserbasi akut yang memerlukan kortikosteroid oral. Pemberian
kortikosteroid oral menunjukkan efektifitas yang sama seperti pada
pemberian intravena. Pemberian oral lebih disukai karena lebih cepat, lebih
tidak invasif dan lebih murah. Dengan pemberian secara oral diperlukan
waktu minimal 4 jam sebelum didapatkan adanya perbaikan gejala.
Kortikosteroid intravena diberikan pada keadaan berikut yaitu pasien dengan
sesak yang berat sehingga sulit untuk menelan, pasien yang mengalami
muntah-muntah, pasien yang memerlukan ventilasi non-invasif dan pasien
yang diintubasi. Pemberian kortikosteroid intramuskular perlu
dipertimbangkan pada pasien yang akan dipulangkan dari unit emergensi,
khususnya bila ada kekhawatiran akan ketidakteraturan berobat dengan
pemberian kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid yang diberikan adalah
yang setara dengan 50 mg prednisolon, diberikan dalam dosis tunggal
pagi hari, atau hidrokortison 200 mg dalam dosis terbagi diberikan selama
5-7 hari. Deksametason oral dapat juga diberikan namun disarankan tidak
lebih dari 2 hari mengingat efek samping metabolik yang dapat
ditimbulkannya.

19
e. Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yang diberikan dalam 1 jam
pertama sejak timbulnya gejala akan mengurangi kemungkinan perlunya
perawatan pada pasien yang tidak mendapatkan kortikosteroid sistemik.
Jika diberikan sebagai terapi tambahan dari kostikosteroid sistemik,
manfaatnya masih diperdebatkan. Secara umum pemberian kortikosteroid
inhalasi dapat ditoleransi dengan baik, namun jenis steroid yang diberikan,
dosis dan lamanya pemberian dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit
emergensi masih belum jelas. Setelah pulang dari unit emergensi sebagian
besar pasien tetap memerlukan terapi kortikosteroid inhalasi yang digunakan
secara regular untuk mencegah berulangnya eksaserbasi. Selain itu
pemberian kortikosteroid inhalasi dapat juga menurunkan angka perawatan
dan angka kematian yang berkaitan dengan asma secara signifikan. Untuk
dampak jangka pendek seperti untuk mengurangi perlunya perawatan di
rumah sakit, untuk mengurangi gejala dan untuk meningkatkan kualitas
hidup, kortikosteroid inhalasi dianjurkan untuk diberikan sebagai tambahan
dari terapi kortikosteroid sistemik setelah pasien dipulangkan. Beberapa
penelitian bahkan menunjukkan manfaat kortikosteroid inhalasi yang
sebanding dengan kortikosteroid sistemik pada eksaserbasi asma yang lebih
ringan.

20
BAB III
KESIMPULAN
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus akibat dari berbagai rangsangan, yang
menunjukan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, nafas pendek
dan batuk yang berubah-ubah setiap waktu dalam kejadian, frekuensi dan
intensitas. Pada umumnya muncul dan sering lebih berat pada malam hari atau
menjelang pagi hari. Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik
diagnosis medis yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis memegang peranan sangat penting mengingat diagnosis
asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara klinis. Keluhan wheezing dan
batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima secara luas sebagai
titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk,
wheezing, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic
recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal
untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan Karakteristik yang khas
diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. pada pemeriksaan fisik pasien
biasanya tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau
sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible
wheeze) atau terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi
lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula
dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographic tongue.
Penatalaksanaan Asma Bertujuan untuk menghilangkan dan
mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat, mencegah eksaserbasi
akut, meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin,
mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya,
Menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara
Ireversibel, meminimalkan kunjngan ke gawat darurat Komunikasi yang baik dan
terbuka antara dokter dan pasien adalah hal yang penting sebagai dasar
penatalaksanaan. Terapi inhalasi kortikosteroid pada saat eksaserbasi juga

21
disarankan sebagai terapi yang ef ektif pada pengobatan asma persisten ringan,
tetapi kurang efektif pada dosis rendah baik pada dewasa dan anak-anak. Pasien
yang tidak dapat dikendalikan oleh inhalasi kortikosteroid dosis rendah dapat
dikatakan asma persisten sedang. Pada pasien dewasa kombinasi ICS dan LAMA
lebih baik daripada ICS rendah untuk mengontrol asma dan mengurangi resiko
eksaserbasi.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Global strategy for asthma management and prevention. Management of


worsening asthma and exacerbations. Global initiative for asthma, 2016; 72-
85.

2. Chestnut MS, Prendergast TJ. Obstructive lung diseases : Asthma and Chronic
Obstructive Pulmonary Diseases (COPD). In : Hammer GD, McPhee SJ,
editors. Pathophysiology of Disease. An Introduction to Clinical Medicine.
Toronto : Mc Graw Hill Education; 2014.p.228-32.

3. Usmani OS, Barnes PJ. Asthma : Clinical Presentation and Management. In:
Elias JK, Fishman JA, Kotloff RM, Pack AL, Senior RM, editors. Fishman s
Pulmonary Diseases and Disorders. Toronto: McGraw Hill Education;
2015.p.712-3.

4. Rajaram SS. Life-threatening Asthma. In: Parillo JE, Dellinger RP, editors.
Critical Care Medicine. Principle of Diagnosis and Management in Adult.
Philadelphia: ELSEVIER saunders; 2015.p.645-54.

5. Pavord I, Green RH, Haldar P. Diagnosis and Management of Asthma in


Adults. In: Spiro SG, Silvestri GA, Agusti A, editors. Clinical Respiratory
Medicine. Philadelphia: ELSEVIER saunders; 2012.p.501-16.

6. Barnes P. Asthma. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hause
SL, Loscalzo J, editors. Harrison s Principles of INTERNAL MEDICINE.
Toronto: McGraw Hill; 2012.p.2113-5.

7. Lugogo N, Que LG, Fertel D, Kraft M. Asthma. In: Mason RJ, Broaddus VC,
Martin TR, King Jr TE, Schraufnagel DE, Murray JF, Nadel JA, editors.
Murray & Nadel s Textbook of Respiratory Medicine. Philadelphia:
23
SAUNDERS ELSEVIERS; 2010.p.883-908.

8. Spina D, Page clive, Matger w j, DRUGS FOR THE TREATMENT OF


RESPIRATORY DISEASES, Cambridge, New York: Cambridge University
Press 2003.

9. GINA. 2020. Global Strategy for Asthma Management and Prevention (2020
update).

24

Anda mungkin juga menyukai