PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Setelah membuat makalah ini kita dapat mengtahui Penyakit asma bronkial
bagi kehidupan
2. Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan definisi Penyakit asma bronkial
b. Menyebutkan Patifisiologi Penyakit asma bronkial
c. Menjelaskan Gejala Klinis Penyakit asma bronchial
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas
saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah
aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit. T pada mukosa dan lumen
saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau
tidak bergejala (PP IDAI, 2004).
Banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi riwayat atopi melalui mekanisme IgE-
dependent. Pada populasi diperkirakan faktor riwayat atopi memberikan
kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa (PPIDAI, 2004).
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma.
Ig E melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada
rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat
( immediate asthma reaction) (Warner, 2001).
Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-mediator : histamin,
leukotrien C4(LTC4), prostaglandin D2(PGD2), tromboksan A2, tryptase.
Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi
kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi
sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut.
Keadaan ini akan segera pulih kembali (serangan asma hilang) dengan
pengobatan (Warner, 2001).
Setelah 6-8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma
lambat (late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF
yang diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan
mengaktifkan sel-sel radang seperti eosinofil, basofil, monosit dan limfosit.
Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th), limfosit subtipe CD4 + telah dikenal
profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi
IL–3 dan granulocyte–macrophage colony – stimulating factor (GM–CSF), Th-
l terutama memproduksi IL– 2, IF gamma dan TNF beta sedangkan Th-2
terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL–4, IL–5, IL–9,
IL–13, dan IL–16 (Warner, 2001).
4
Sitokin yang dihasilkan oleh Th-2 bertanggungjawab terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Masing-masing sel radang berkemampuan
mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4, Eosinophil
Peroxidase (EPX), Eosinophil Cathion Protein (ECP) dan Major Basic Protein
(MBP). Mediator-mediator tersebut merupakan mediator inflamasi yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2.
Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme (Warner, 2001).
Sel makrofag mensekresi IL-8, platelet activating factor (PAF),
regulated upon activation novel T cell expression and presumably secreted
(RANTES). Semua mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses peradangan mempertahankan proses inflamasi (Warner,
2001).
Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan,
sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana
basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik
maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menetap, penderita akan lebih
peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila
paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat (PPIDAI, 2004).
5
Inflamasi dan Remodeling Saluran Napas
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, kerusakan epitel bronkus
merangsang proses perbaikan saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan
struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang
dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Kerusakan epitel bronkus
disebabkan dilepaskannya sitokin dari sel inflamasi seperti eosinofil. Kini
dibuktikan bahwa otot polos saluran napas juga memproduksi sitokin dan
kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-5, juga faktor
pertumbuhan dan mediator lipid, sehingga mengakibatkan penumpukan
kolagen di lamina propia (Warner, 2001).
Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta
dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast
berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah.
Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan
membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar,
edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan
semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan
penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis
asma kronis (Warner, 2001).
Gambar 2. Proses Inflamasi & Remodelling pd Asma (Dikutip dari GINA, 2002)
6
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan
epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga
apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis,
maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi
irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat (Warner, 2001).
Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum
bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan
lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling telah
terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini
diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah
terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling (Warner, 2001).
7
dengan gejala khas pada asma yaitu batuk, sesak dan wheezing dan disertai
hipereaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk
sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran
respiratorik oleh mediator inflamasi dan terutama pada anak, batuk berulang
bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan. (Sundaru,
2006).
8
2.5 Etiologi Asma
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom,
imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam tingkat pada berbagai
individu. Aktivitas bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik
sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan nafas, disebut
reseptor batuk atau iritan, tergantung pada lokasinya, mencetuskan refleks arkus
cabang aferen, yang pada ujung cabang eferen merangsang kontraksi otot polos
bronkus (Sundaru, 2006).
Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot
polos bronkus. Neurotramnisi peptida vasoaktif merupakan suatu neuropeptida
dominan yang dilibatkan pada terbukanya jalan nafas (Sundaru, 2006).
Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah
pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan
ketombe. Seringkali, kadar IgE total maupun spesifik penderita seperti ini
meningkat terhadap antigen yang terlibat. Pada penderita lainnya dengan asma
yang serupa secara klinik tidak ada bukti keterlibatan IgE dimana uji kulit
negatif dan kadar IgE rendah. Bentuk asma inilah yang paling sering
ditemukan pada usia 2 tahun pertama juga orang dewasa (asma yang timbul
lambat), disebut dengan asma intrinsik (Sundaru, 2006).
9
Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya dengan
kehamilan dan menstruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma
membaik pada beberapa anak saat pubertas, hal ini dikaitkan dengan hormonal.
Selain itu faktor psikologis emosi dapat memicu gejala-gejala asma pada
beberapa anak dan dewasa yang menderita penyakit asma, tetapi emosional atau
sifat dan perilaku dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak
dengan penyakit kronis lainnya dikaitkan dengan psikologis yang labil pada anak
(Sundaru, 2006).
10
A. Asap Rokok
Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu sendiri
maupun orang-orang yang terkena asap rokok. Suatu penelitian di Finlandia
menunjukkan bahwa orang dewasa yang terkena asap rokok berpeluang
menderita asma dua kali lipat dibandingkan orang yang tidak terkena asap rokok
(Jaakkola et al, 2001). Studi lain menunjukkan bahwa seseorang penderita asma
yang terkena asap rokok selama satu jam, maka akan mengalami sekitar 20%
kerusakan fungsi paru. (Dahms et al, 1998).
Pada anak-anak, asap rokok akan memberikan efek lebih parah
dibandingkan orang dewasa, ini disebabkan lebar saluran pernafasan anak lebih
sempit, sehingga jumlah nafas anak akan lebih cepat dari orang dewasa.
Akibatnya, jumlah asap rokok yang masuk ke dalam saluran pernapasan
menjadi lebih banyak dibanding berat badannya. Selain itu, karena sistem
pertahanan tubuh yang belum berkembang, munculnya gejala asma pada
anak-anak jauh lebih cepat dibanding orang dewasa (Ramaiah, 2006).
Hasil analisis 4.000 orang anak berumur 0-5 tahun menunjukkan
bahwa anak-anak yang orang tuanya merokok 10 batang perhari,
menyebabkan peningkatan jumlah kasus asma serta mempercepat munculnya
gejala asma pada anak-anaknya. Begitu juga anak yang kembali dari rumah
sakit setelah perawatan asma akut, penyembuhan akan terganggu karena orang tua
yang merokok (Abulhosn et al, 1997).
Efek asap rokok ini tidak hanya memberikan efek negatif pada anak-
anak yang telah lahir, tapi juga pada janin yang masih ada di dalam rahim.
Karena itu, di negara maju seperti Jepang, diseluruh rumah sakit bersalin
tidak tersedia tempat yang bisa merokok. Ini karena mereka benar-benar
mengerti akan bahaya rokok tersebut. Bayi yang akan dilahirkan dari seorang
ibu yang merokok selama dalam masa kehamilan akan lebih sering mengalami
penyakit saluran pernafasan termasuk asma bronkial pada masa anak-anak
(Ramaiah, 2006).
11
Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang
menghasilkan campuran gas yang komplek dan partikel-partikel berbahaya.
Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam tembakau,
diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida, nitrit
oksida, nikotin, dan akrolein (GINA,2006).
12
asap tembakau pasif berakibat lebih berbahaya gejala penyakit saluran nafas
bawah (batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan serangan asma
(Danusaputro, 2000).
C. Jenis Kelamin
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan
dengan anak perempuan (Sundaru, 2006). Perbedaan jenis kelamin pada
insidensi penyakit asma bervariasi, tergantung usia dan perbedaan karakter
biologi. Insidensi penyakit asma pada anak laki-laki usia 2-5 tahun ternyata 2
kali lebih sering dibandingkan anak perempuan sedangkan pada usia 14 tahun
risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering. Kunjungan ke rumah sakit 3
kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia
20 tahun kekerapan asma pada laki-laki merupakan kebalikan dari insiden ini
(Yunus, 2006).
13
Peningkatan resiko pada anak laki-laki disebabkan semakin sempitnya
saluran pernapasan, perubahan pada pita suara, dan mungkin terjadi
peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respon bernapas
(Sundaru, 2006)
Didukung lagi oleh adanya hipotesis dari observasi yang menunjukkan
tidak ada perbedaan ratio diameter saluran pernafasam laki-laki dan perempuan
setelah berumur 10 tahun, kemungkinan disebabkan perubahan ukuran rongga
dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan.
Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki
mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada anak yang semula
laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan mengalami perubahan dimana
nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki (GINA, 2006).
D. Binatang Peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung
dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen
protein yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen
tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang
di udara sehingga menyebabkan serangan asma, terutama dari burung dan hewan
menyusui karena bulu akan rontok dan terbang mengikuti udara (Sundaru, 2006).
E. Jenis Makanan
Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu
pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai
pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5% anak dengan asma (Ramaiah,
2006).
Meskipun hubungan antara sensitivitas terhadap makanan tertentu dan
perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi bayi dan anak-anak yang sensitif
terhadap makanan tertentu atau menderita enteropathy atau colitis karena alergi
makanan tertentu akan cenderung menderita asma. (GINA, 2006).
14
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan
laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian
berperan menjadi pencetus seranga asma (Handayani, 2004).
Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misal: tartazine),
pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodium glutamat-MSG) juga bisa
memicu serangan asma. Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi
yang fatal adalah kacang, ikan laut dan telor (Handayani, 2004).
Penelitian di Arab Saudi membandingkan makanan pengidap asma dengan
tidak asma. Anak Arab Saudi yang tinggal di daerah perkotaan banyak
menunjukkan gejala nafas berbunyi atau mengi. Anak-anak ini sering
bersantap di gerai-gerai makanan cepat saji dan secara signifikan kurang
mendapatkan asupan makanan tradisional, termasuk sayuran, susu, makanan yang
kaya serat, vitamin dan mineral (Sundaru, 2006).
15
G. Perubahan Cuaca
Kondisi cuaca seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat
menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma
menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan meningkatnya
konsentrasi partikel alergenik (Ramaiah, 2006).
Dimana partikel tersebut dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air
dan udara. Perubahan tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak
nafas dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika
kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering dan
dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan (Ramaiah, 2006).
Menurut Linacre (1999) asma berhubungan dengan iklim, Kota besar
seperti Auckland, Brisbane, Hongkong dan New Orleans yang mempunyai
suhu panas >24 o C dan rata rata curah hujan tahunan >100cm, mempunyai
prevalensi asma yang tinggi.
RS Cipto menunjukkan penderita dengan perubahan udara
kemungkinan akan mengalami asma 31.83 x lebih besar dari penderita tanpa
perubahan cuaca. Hal ini diperkuat dengan penelitian di Amerika seikat
yang membuktikan bahwa ada hubungan antara kunjungan asma dengan
cuaca dingin dan kering pada musim semi (Kalsteinet et al, 1995).
16
` Resiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah
tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan
salah satu riwayat atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit
asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko
menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang
tua asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot, tingkat
stabilitas bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik, tetapi tidak
pada kembar dizigot (Sundaru, 2006) Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali
menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi
bila anak alergi terhadap tungau debu rumah (Ramaiah, 2006).
17
Yang membedakan asma dengan penyakit paru lainnya yaitu pada serangan
asma dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati
ada yang hilang dengan sendirinya.
18
E. Bronkhitis
F. Fraktur iga
19
pada interval gejala. Gejala timbul lebih dari 3x/minggu. Terapi profilaksis sangat
dibutuhkan.
20
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma
berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:
1. Asma Intermiten (asma jarang)
• Gejala kurang dari seminggu
• Serangan singkat
• Gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
• FEV 1 atau PEV > 80%
• PEF atau FEV 1 variabilitas 20% – 30%
2. Asma mild persistent (asma persisten ringan)
• Gejala lebih dari sekali seminggu
• Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
• Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
• FEV 1 atau PEV > 80%
• PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% – 30%
3. Asma moderate persistent (asma persisten sedang)
• Gejala setiap hari
• Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
• Gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu
• FEV 1 tau PEV 60% – 80%
• PEF atau FEV 1 variabilitas > 30%
4. Asma severe persistent (asma persisten berat)
• Gejala setiap hari
• Serangan terus menerus
• Gejala pada malam hari setiap hari
• Terjadi pembatasan aktivitas fisik
• FEV 1 atau PEF = 60%
• PEF atau FEV variabilitas > 30%
21
2.10 Penatalaksanaan Asma
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Kelompok pertama adalah obat pereda
atau pelega atau obat serangan. Obat pelega (reliever) asma ini digunakan
untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan
sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak digunakan lagi.
Kelompok kedua adalah obat pengendali, sering disebut sebagai obat
pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma yaitu inflamasi respitorik kronik (Taufik, 2009).
Obat asma dapat diberikan lewat beberapa cara seperti oral, inhalasi
atau injeksi. Keuntungan utama obat inhalasi adalah menghasilkan efek langsung
ke saluran nafas, yang menghasilkan konsentrasi lokal tinggi dengan resiko
sistemik yang kurang (Taufik, 2009).
22
Tujuan dari pengobatan adalah asma yang terkontrol, ditandai :
• Gejala kronik minimal, idealnya tidak ada sama sekali termasuk gejala
asma malam.
• Minimal (jarang) mengalami serangan.
• Tidak ada kujungan ke unit gawat darurat.
• Kebutuhan pemakaian agonis β2 minimal.
• Aktivitas normal tidak terganggu.
• Variasi APE harian kecil dari 20 %.
• Nilai APE mendekati normal.
• Efek samping obat minimal atau tidak ada sama sekali.
23
lambat atau agonis β2 aksi lama oral. Reliever : SABA : agonis β2 inhalasi bila
perlu, tidak lebih dari 3 – 4 kali sehari.
Tahap 4 : Persisten Berat :
Controller : Obat harian : Kortikosteroid inhalasi, 800 – 2000 mcg atau lebih dan
LABA : Agonis β2 aksi lama atau teofilin lepas lambat, dan/atau agonis β2 aksi
lama oral dan Kortikosteroid oral jangka lama. Reliever : SABA : agonis β2
inhalasi bila perlu.
Pengobatan Simptomatik
TujuanPengobatan Simpatomimetik adalah :
a. Mengatasi serangan asma dengan segera.
b. Mempertahankan dilatasi bronkus seoptimal mungkin.
c. Mencegah serangan berikutnya.
Obat pilihan untuk pengobatan simpatomimetik di Puskesmas adalah :
a. Bronkodilator golongan simpatomimetik (beta adrenergik / agonis beta)
– Adrenalin (Epinefrin) injeksi. Obat ini tersedia di Puskesmas dalam
kemasan ampul 2 cc. Dosis dewasa : 0,2-0,5 cc dalam larutan 1 : 1.000 injeksi
subcutan. Dosis bayi dan anak : 0,01 cc/kg BB, dosis maksimal 0,25 cc. Bila
belum ada perbaikan, bisa diulangi sampai 3 X tiap15-30 menit.
– Efedrin. Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 25 mg. Aktif dan
efektif diberikan peroral.
– Salbutamol. Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet kemasan 2 mg dan
4 mg. Salbutamol merupakan bronkodilator yang sangat poten bekerja cepat
dengan efek samping minimal. Dosis : 3-4 X 0,05-0,1 mg/kg BB
b. Bronkodilator golongan teofilin
– Teofilin. Obat ini tidak tersedia di Puskesmas. Dosis : 16-20 mg/kg BB/hari
oral atau IV.
– Aminofilin. Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 200 mg dan injeksi
240 mg/ampul. Dosis intravena : 5-6 mg/kg BB diberikan pelan-pelan.
Dapat diulang 6-8 jam kemudian , bila tidak ada perbaikan. Dosis : 3-4 X 3-
5 mg/kg BB
24
c. Kortikosteroid. Obat ini tersedia di Puskesmas tetapi sebaiknya hanya dipakai
Dalam keadaan pengobatan dengan bronkodilator baik pada asma akut
maupun kronis tidak memberikan hasil yang memuaskan dan keadaan asma yang
membahayakan jiwa penderita (contoh : status asmatikus). Dalam pemakaian
jangka pendek (2-5 hari) kortikosteroid dapat diberikan dalam dosis besar baik
oral maupun parenteral, tanpa perlu tapering off. Obat pilihan hidrocortison dan
dexamethason
d. Ekspektoran.
Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam saluran
pernafasan menjadi salah satu pemberat serangan asma, oleh karenanya harus
diencerkan dan dikeluarkan. Sebaiknya jangan memberikan ekspektoran yang
mengandung antihistamin, sedian yang ada di Puskesmas adalah Obat Batuk
Hitam (OBH), Obat Batuk Putih (OBP), Glicseril guaiakolat (GG)
e. Antibiotik
Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh
rangsangan infeksi saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.
Pengobatan Profilaksis
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang paling
rasional, karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada faktor-faktor yang
menyebabkan bronkospasme. Pada umumnya pengobatan profilaksis berlangsung
dalam jangka panjang, dengan cara kerja obat sebagai berikut :
a. Menghambat pelepasan mediator.
b. Menekan hiperaktivitas bronkus.
25
meringankan beratnya serangan.
3. Tatalaksana Kasus:
Dengan segala keterbatasan yang ada dokter Puskesmas harus bisa
memberikan pertolongan kepada penderita serangan asma. Penegakkan diagnosa
yang tepat dengan tindakan yang benar, cepat dan akurat akan sangat menolong
penderita. (Medlinux,2008)
a. Tatalaksana Asma Akut Intermiten
1. Aminofilin : 3 X 3-5 mg/kg BB atau
2. Salbutamol : 3 X 0,05-0,1 mg/kg BB
3. Bila ada batuk berikan ekspectoran
4. Bila ada tanda infeksi (demam) berikan antibiotika
26
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH SAKIT
Serangan asma berat berpotensi untuk mengancam jiwa atau status
asmatikus. Perawatan harus segera dan pengobatan paling aman dilaksanakan
dirumah sakit atau di instalasi gawat darurat rumah sakit (Taufik, 2009).
Penilaian awal:
Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik sehubungan dengan serangan
asma ini sangat penting sebelum memberikan pengobatan.
Anamnesis ringkas meliputi:
• Beratnya keluhan meliputi keterbatasan aktifitas dan gangguan tidur.
• Semua obat-obat yang dipakai.
• Waktu mulai serangan dan penyebab serangan.
• Perawatan dirumah sakit dan kunjungan ke bagian gawat darurat
karena serangan asma sebelumnya.
Pemeriksaan fisik meliputi:
• Menilai beratnya serangan (lihat pembagian derajat serangan).
• Menentukan adanya komplikasi (pneumonia, atelektase, pneumotorak
atau pneumomediastinum)
Penilaian fungsi paru meliputi:
• APE dan VEP1 sekurang-kuranya setiap jam, dengan pengukuran awal di
lakukan sebelum pengobatan kalau memungkinkan.
• Saturasi O2 dengan “ pulse oxymetry” kalau ada.
Pemeriksaan penunjang lain :
• Rontgen foto toraks jika dicurigai adanya komplikasi kardio-
pulmoner.
• Analisa gas darah pada penderita dengan APE 30-50% perkiraan
atau perburukan setelah pengobatan awal. PaO2 kurang dari 60 mmHg
dan/ atau PaCO2 lebih dari 45 mmHg menunjukan kegagalan nafas
dan merupakan indikasi untuk masuk Ruang Perawatan Intensif (ICU)
27
PENGOBATAN
Pengobatan berikut ini biasanya diberikan bersamaan untuk dapat
secepat mungkin mengatasi serangan asma (Taufik, 2009).
a. Pemberian oksigen: Oksigen diberikan 4-6 L/menit untuk
mendapatkan saturasi O2 90% atau lebih.
b. Agonis β2 : Agonis β2 aksi singkat biasanya diberikan secara
nebulasi setiap 20 menit selama satu jam pertama (salbutamol 5 mg atau
fenoterol 2,5 mg, tarbutalin 10 mg). Pemberian secara parenteral
agonis β2 dapat dilakukan bila pemberian secara nebulasi tidak
memberikan hasil.
c. Adrenalin (epinefrin ) : Obat ini dapat diberikan secara
intramuskuler atau subkutan bila: Agonis β2 tidak tersedia atau tidak
ada respon terhadap agonis β2 inhalasi.
d. Bronkodilator tambahan: Kombinasi agonis β2 dengan
antikolinergik (Ipratropium Bromida) memberikan efek bronkodilator
yang lebih baik dari pada diberikan sendiri - sendiri. Obat ini diberikan
sebelum mempertimbangkan aminofilin. Mengenai aminofilin dalam
mengatasi serangan ini masih ada kontroversi. Walaupun ada
manfaatnya, akan tetapi aminofilin intravena tidak dianjurkan dalam 4 jam
pertama pada penanganan serangan asma. Aminofilin intravena dengan
dosis 6 mg per kgBB diberikan secara pelan (dalam 10 menit) diberikan
pada penderita asma akut berat yang perlu perawatan dirumah sakit, jika
penderita tidak mendapat teofilin dalam 48 jam sebelumnya.
28
• Serangan asma sedang sampai berat.
• Inhalasi agonis β2 tidak memperlihatkan perbaikan atau:
• Serangan timbul walaupun penderita telah mendapat kortikosteroid
oral jangka panjang.
• Serangan sebelumnya juga membutuhkan kortikosteroid oral.
29
Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma.
Sumber: GINA, 2009.
30
Kerangka Teori
Kerangka Konsep
31
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asma bronchial adalah suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif
intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode
bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas. Berdasarkan
penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
Ekstrinsik (alergik), Intrinsik (non alergik) ,Asma gabungan.
Dan ada beberapa hal yang merupakan faktor penyebab timbulnya serangan
asma bronkhial yaitu : faktor predisposisi(genetic), faktor presipitasi(alergen,
perubahan cuaca, stress, lingkungan kerja, olahraga/ aktifitas jasmani yang berat).
3.2 Saran
Kiranya, dengan adanya pengetahuan tentang penyakit asma kita lebih sadar
akan pentingnya menjaga kesehatan dan pola hidup sehat, demi kualitas hidup
yang lebih baik.
32