Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN KEJADIAN DERMATOFITOSIS SUPERFISIALIS DENGAN

PERSONAL HYGIENE PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN


KHAZANAH KEBAJIKAN PALEMBANG

Irvan Wahyu Putra1, Thia Prameswarie2, Rury Tiara Oktariza3


1
Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
2, 3
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang

Korespondesi: ivanwp21@gmail.com

ABSTRAK
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada
epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi
seluruh lapisan stratum korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun penjamu. Predisposisi
infeksi dermatofita dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor pejamu. Lingkungan yang lembab dan kotor,
tingkat kebersihan dan sanitasi yang tidak memadai merupakan faktor lingkungan yang mempermudah infeksi
dermatofitosis. Faktor pejamu yang dapat menyebabkan dermatofitosis antara lain sosioekonomi yang rendah,
dan personal hygiene. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kejadian dermatofitosis
dengan personal hygiene. Jenis penelitian ini adalah penelitian dekriptif analitik dengan desain cross-sectional.
Sampel penelitian ini adalah 114 Santri di Pondok Pesantren Khazanah Kebajikan Palembang. Data penelitian
dermatofitosis superfisialis didapatkan melalui kerokan kulit dan personal hygiene didapatkan melalui
kuisioner. Hasil penelitian menunjukkan 41 (36%) Santri memiliki personal hygiene yang tidak baik, sebanyak
15 (36,6%) Santri dengan personal hygiene yang tidak baik mengalami dermatofitosis superfisialis. Hanya 3
(4,1%) Santri dengan personal hygiene baik mengalami dermatofitosis superfisialis. Angka Kejadian
Dermatofitosis Superfisialis di Pondok Pesantren Khazanah Kebajikan Sebesar 13,6%. Hasil uji statistik
hubungan dermatofitosis superfisialis dengan personal hygiene menggunakan Chi-square didapatkan nilai
p<0,001 dengan Risk Ratio sebesar 8,902. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara kejadian dermatofitosis superfisialis dengan personal hygiene pada Santri di Pondok
Pesantren Khazanah Kebajikan Palembang.

Kata kunci: Dermatofitosis Superfisialis, Tinea, Personal Hygiene,

ABSTRACT
Dermatophytosis is a disease of the skin tissue that contains horny substances, such as the stratum corneum
in the epidermis, hair, and nails caused by dermatophyte fungi. This fungus can invade the entire stratum
corneum layer and produce symptoms through activation of the host immune response. Predisposing
dermatophyte infection is influenced by environmental and host factors. Humid and dirty environments,
inadequate levels of hygiene and sanitation are environmental factors that facilitate dermatophytosis
infections. Host factors that can cause dermatophytosis include low socioeconomic, and personal hygiene. The
purpose of this study was to determine the relationship between the incidence of dermatophytosis and personal
hygiene. This type of research is analytic descriptive research with cross-sectional design. The sample of this
study was 114 Santri at the Khazanah Kebajikan Islamic Boarding School in Palembang. Superficial
dermatophytosis research data obtained through skin scrapings and personal hygiene obtained through
questionnaires. The results showed 41 (36%) students had poor personal hygiene, as many as 15 (36.6%)
students with poor personal hygiene experienced superficial dermatophytosis. Only 3 (4.1%) Santri with good
personal hygiene experienced superficial dermatophytosis. The incidence rate of superficial dermatophytosis
in the Khazanah Kebajikan Islamic Boarding School is 13.6%. Statistical test results of the relationship
between superficial dermatophytosis and personal hygiene using Chi-square obtained p value <0.001 with a
Risk Ratio of 8.902. So it can be concluded, that there is a significant relationship between the incidence of
superficial dermatophytosis with personal hygiene in Santri in Pondok Pesantren Khazanah Kebajikan
Palembang.

Keywords: Superficial Dermatophytosis, Tinea, Personal Hygiene,


Pendahuluan
Dermatofitosis (Tinea atau Ringworm) adalah penyakit pada jaringan yang mengandung keratin
(zat tanduk), seperti stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh
golongan jamur dermatofita yang mempunyai sifat dapat mencerna keratin. Dermatofita termasuk
kelas Fungi Imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Selain sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, yaitu
sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab
penyakit1. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum korneum dan menghasilkan gejala
melalui aktivasi respons imun penjamu2.
Dermatofitosis atau tineasis terjadi diseluruh dunia dengan prevalensi yang berbeda beda pada
tiap negara. Hal ini disebabkan karena perbedaan lokasi geografis. Data WHO menyebutkan bahwa
20% populasi dunia mengalami dermatofitosis dengan tipe terbanyak adalah tinea korporis diikuti
dengan tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis3.
Pada tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat 127.076 pasien baru yang mengalami penyakit
kulit dan jaringan subkutan. Penyakit kulit dan jaringan subkutan menjadi peringkat ketiga dari 10
penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit se-Indonesia berdasarkan jumlah
kunjungan yaitu sebesar 192.414 yang 122.076 kunjungan diantaranya merupakan kasus baru. Hal
ini menunjukkan bahwa penyakit kulit masih dominan terjadi di Indonesia4.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan menggunakan data rekam medik pasien dermatofitosis
dan non dermatofitosis di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, di dapatkan bahwa prevalensi
dermatofitosis dan non-dermatofitosis dermatologi dan venereologi di Poliklinik Dermatologi dan
Venereologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2016 adalah 7.1% dari seluruh total
kunjungan dengan 6,6 % nya merupakan prevalensi dermatofitosis5.
Predisposisi dermatofitosis dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor pejamu. Lingkungan
yang lembab dan kotor, tingkat kebersihan dan sanitasi yang tidak memadai merupakan faktor
lingkungan yang mempermudah infeksi dermatofita6.
Distribusi, spesies penyebab, dan bentuk infeksi yang terjadi bervariasi pada daerah geografis,
lingkungan dan budaya yang berbeda. Dermatofita berkembang baik pada suhu 25-28°C, dari
timbulnya infeksi pada kulit manusia didukung oleh kondisi yang panas dan lembab. Karena alasan
ini, infeksi jamur superfisial relatif sering pada negara tropis, pada populasi dengan status
sosioekonomi rendah yang tinggal di lingkungan yang sesak dan personal hygiene yang rendah7.
Personal hygiene adalah suatu bentuk tindakan dalam upaya pemeliharaan kebersihan dan
kesehatan individu untuk kesejahteraan dirinya mencakup kesehatan fisik maupun psikisnya. Salah
satu bentuk pemeliharaan kesehatan diri adalah perawatan rambut, kulit, kaki, tangan dan kuku. Oleh
karena itu personal hygiene termasuk kedalam tindakan pencegahan primer yang spesifik. Personal
hygiene menjadi bagian yang penting menjaga kesehatan individu karena personal hygiene yang baik
akan meminimalkan patogen dan pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit baik penyakit
kulit, penyakit infeksi, penyakit mulut, dan penyakit saluran cerna atau bahkan dapat menghilangkan
fungsi bagian tubuh tertentu8.
Menurut penelitian yang dilakukan di Pesantren Rhoudatul Quran Kauman Semarang diketahui
santri yang mengalami dermatofitosis memiliki personal hygiene yang buruk dan lebih banyak santri
laki-laki (82,4%) memiliki personal hygiene yang buruk dibandingkan santri perempuan9. Pada
penelitian yang dilakukan pada santri di Pondok Pesantren Nurul Yaqin Kota Padang, didapatkan
subjek penelitian dengan personal hygiene yang baik sejumlah 37 orang (45,1%) dan subjek
penelitian dengan personal hygiene yang buruk sejumlah 45 orang (54,9%) dengan kejadian
dermatofitosis sebanyak 46 orang (56.1%)10. Berdasarkan uraian diatas, peneliti melakukan
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan kejadian dermatofitosis superfisialis dengan
personal hygiene pada santri di pondok pesantren Khazanah Kebajikan di Palembang.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan Cross-sectional.
Pengambilan data dilakukan di Pondok Pesantren Khazanah Kebajikan pada bulan Juni 2019 hingga
Januari 2020. Subjek penelitian adalah 114 santri (59 santriwan dan 55 santriwati). Data
dermatofitosis didapatkan melalui kerokan kulit yang kemudian di periksa di bawah mikroskop dan
personal hygiene didapatkan melalui kuisioner. Uji statistic chi-square digunakan untuk menganalisis
hubungan antara kejadian dermatofitosis superfisialis dengan personal hygiene.

Hasil Penelitian
Pada penelitian ini, didapatkan 15,8% kasus Dermatofitosis dan paling banyak ditemukan pada
santriwati (18,2%) daripada santriwan (13,6%). Angka kejadian Dermatofitosis di Pondok Pesantren
Khazanah Kebajikan adalah 13,6%.. Data distribusi karakteristik kejadian dermatofitosis dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi karakteristik subjek penelitian berdasarkan kejadian dermatofitosis

Variabel Laki-Laki Perempuan Total

Frekuens Persentase Frekuens Persentase Frekuensi Persentase


i (N) (%) i(N) (%) (N) (%)

Dermatofitosis

- Positif 8 13,6% 10 18,2% 18 15,8%

- Negatif 51 86,4% 45 81,8% 96 84,2%

Total 59 100% 55 100% 114 100%

Sebanyak 36% subjek penelitian memiliki personal hygiene yang tidak baik dan lebih banyak
ditemukan pada santriwan (45,8%) daripada santriwati (25,5%). Data distribusi karakteristik personal
hygiene dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi karakteristik subjek penelitian berdasarkan personal hygiene.
Variabel Laki-Laki Perempuan Total

Frekuen Persentase Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase


si (N) (%) (N) (%) (N) (%)

Personal Hygiene

- Baik 32 54,2% 41 74,5% 73 64%


- Tidak
Baik 27 45,8% 14 25,5% 41 36%

Total 59 100% 55 100% 114 100%

Dari hasil analisis uji chi-square didapatkan bahwa kejadian Dermatofitosis Superfisialis
memiliki hubungan bermakna dengan personal hygiene (p <0,001). Individu dengan personal hygiene
tidak baik 8,902 kali berisiko menderita Dermatofitosis Superfisialis daripada individu dengan
personal hygiene yang baik. Hubungan kejadian Dermatofitosis Superfisialis dengan personal
hygiene. Hubungan kejadian dermatofitosis dengan personal hygiene dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hubungan Kejadian Dermatofitosis Superfisialis dengan Personal Hygiene
Personal Dermatofitosis Superfisialis P-Value Relative Risk
Hygiene
Positif Negatif

Frekuen Persenta Frekuen Persenta


si (N) se (%) si (N) se (%)

Baik 3 4,1% 70 95,9%

Tidak Baik <0,001 8.902


15 36,6% 26 63,4%

Pembahasan
Hasil penelitian di Pondok Pesantren Khazanah Kebajikan memperoleh sebagian kecil santri
mengalami Dermatofitosis Superfisialis. Faktor yang dapat menyebabkan Dermatofitosis adalah
perilaku kesehatan seperti kurangnya personal hygiene pada individu responden dan kurangnya
pengetahuan akan pentingnya personal hygiene. Pertumbuhan jamur sangat mudah sesuai dengan
kecocokan dengan sel inang dan lingkungannya. Pada umumnya jamur tumbuh dan berkembang baik
pada lingkungan dengan suhu 25-28 0C begitu juga dengan dermatofita. Selain faktor lingkungan,
infeksi pada kulit manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; higiene individu yang rendah,
tempat tinggal atau pemukiman yang padat, pakaian yang tidak menyerap keringat, atau bagian tubuh
yang sering tertutup lama oleh pakaian, sepatu, maupun topi. Biasanya infeksi jamur sering terjadi
pada populasi dengan tingkat sosioekonomi yang rendah, hal ini terjadi karena kurangnya
pengetahuan dan sikap individual terhadap resiko timbulnya infeksi dan transmisi dari jamur11.
Pada penelitian ini, santriwati lebih banyak mengalami dermatofitosis daripada santriwan. Hal
ini kemungkinan diakibatkan adanya peran faktor hormonal pada perempuan yaitu ketidakstabilan
hormonal terutama pada fase luteal siklus menstruasi (terjadi penurunan kadar estradiol dan
progesterone dalam sirkulasi darah), dapat menurunkan produksi sebum pada kulit sehingga
meningkatkan risiko pertumbuhan jamur. Selain faktor hormonal, faktor aktivitas juga dapat
mempengaruhi terjadinya dermatofitosis dikarenakan aktivitas yang produktif dalam sehari hari
kecenderungan menghasilkan banyak berkeringat dan lembab, ditambah lagi menggunakan pakaian
yang jarang diganti dalam sehari, serta pakaian yang tidak menyerap keringat menyebabkan
mudahnya pertumbuhan jamur12. Progesterone dan steroid yang terkait dapat mengikat serta
menghalangi pertumbuhan dari dermatofita, apabila terjadi transformasi progesterone menjadi polar
metabolit dapat memungkinkan infeksi dermatofita terjadi. Telah di ketahui bahwa Trychophyton
Mentagophytes mengandung makromolekul sitoplasma yang spesifik mengikat progesterone, dan
menjadi inhibitor efektif pertumbuhan jamur13.
Angka kejadian dermatofitosis yang cukup tinggi terjadi akibat personal hygiene yang tidak baik
dan kurangnya fasilitas serta lingkungan yang tidak mendukung untuk penerapan personal hygiene
yang baik, sehingga dapat memudahkan proses penularan Dermatofitosis secara antropofilik yang
dimana transmisi yang ditularkan dari manusia ke manusia14.
Faktor-faktor yang menyebabkan tidak baiknya personal hygiene di antaranya adalah faktor
praktik sosial yang mempengaruhi kebiasaan santri seperti jarang mandi 2 x sehari, jarang mandi
setelah melakukan kegiatan yang berkeringat seperti olahraga, pemakaian barang secara bersama,
citra tubuh yang dimiliki santri yang kurang memperhatikan dirinya sendiri, status sosial ekonomi
yang kurang pada santri sehingga susah memenuhi kebutuhan individu dikarenakan kebanyakan
santriwan adalah anak yatim piatu, kurangnya penyuluhan tentang pentingnya personal hygiene dan
faktor lingkungan berupa kebersihan asrama yang tergolong lembab dan padat, serta fasilitas kamar
mandi yang tersedia hanya 6 buah kamar mandi untuk 132 santri, dan waktu mandi yang tidak
ditegaskan oleh pondok pesantren. Hal ini sesuai teori, dimana ada 5 faktor yang mempengaruhi
personal hygiene yaitu Body Image dimana perempuan lebih cenderung memperhatikan penampilan
tetapi pada laki-laki cenderung kurang memperhatikan penampilan dan kebersihannya, praktik sosial,
status sosial ekonomi, pengetahuan, kondisi fisik dan kebiasaan seseorang mempengaruhi personal
hygiene15.
Pada individu dengan personal hygiene yang tidak baik, dapat terjadi peningkatan suhu dan
kelembaban kulit yang dapat meningkatkan produksi keringat oleh kelenjar sudorifera. Hal ini dapat
menyebabkan pH acid mantle menjadi alkali karena kandungan sebum tidak seimbang dibandingkan
keringat. Kondisi pH alkali akan mendukung pertumbuhan jamur sehingga memungkinkan terjadi
nya infeksi dari dermatofita yang sering menginfeksi daerah yang sering mengeluarkan keringat dan
maserasi2. Setelah melewati barrier kulit dan mampu mengalahkan flora normal dan sphingosines
yang di produksi keratinosit dan asam lemak yang diproduksi oleh glandula sebasea, arthroconidia
menempel di jaringan keratin, germinasi arthroconidia dan pertumbuhan hifa berjalan secara radikal
di banyak arah, proses penempelan ini dibantu oleh enzim protease yang dapat melisiskan protein.
Protease pada ph alkali mampu dengan mudah melisiskan protein sehingga pathogen dapat menempel
dan melakukan penetrasi pada jaringan host, mengambil nutrisi, melawan sistem imun pejamu dan
terjadi16
Simpulan dan Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapatnya hubungan bermakna antara
kejadian Dermatofitosis superfisialis dengan personal hygiene., Angka kejadian Dermatofitosis
superfisialis pada santri di Pondok Pesantren Khazanah Kebajikan Tahun 2019 adalah 13,6%., dan
gambaran Personal Hygiene pada santri di Pondok Pesantren Khazanah Kebajikan lebih banyak yang
baik daripada yang tidak baik. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukan penelitian
lanjutan dengan mengganti variabel lain seperti ph kulit dan acid mantle.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang yang telah menyetujui jurnal ini dan terima kasih kepada dr. Thia Prameswarie, M.
Biomed, dan dr. Rury Tiara Oktariza, M. Si selaku dosen pembimbing untuk menyusun jurnal ini.

Daftar Pustaka

1. Jawetz, Melnick, dan Adelberg's. 2016. ”Medical Microbiology". Jakarta: EGC.


2. Sahoo, A. K dan Mahajan, R. 2015. "Management of tinea corporis, tinea cruris, and
tinea pedis: A comprehensive review". 7(2): 77–86. Avalaible From:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4804599/?report=classic [Accessed June 6
2019]
3. Lakshmipathy, D. T. dan Kannabiran, K. 2010. "Review on Dermatomycosis
Pathogenesis and Treatment". Natural Science, 2, 726-731.Avalaible
From:https://www.researchgate.net/publication/251076295_Review_on_dermatmycosis_pat
hogenesis_and_treatment [Accessed 7 Juni 2019]
4. Depkes RI. 2010. Data profil kesehatan indonesia ". Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
5. Firda, N. 2016. " Prevalensi Dan Karakteristik Sosiodemografi Dermatofitosis Dan Non-
Dermatofitosis Di RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang". Palembang: FK Unsri.
6. Metintas, S et al.2004. "Frequency and risk factors of dermatophytosis in students
living in rural areas in Eskişehir, Turkey". Avalaible from:
https://link.springer.com/journal/10.1023/B:MYCO.0000030447.78197.fb. [Accessed
7 Juni 2019]
7. Havlickova, et al. 2008. "Epidemiological trends in skin mycoses worldwide" .
Mycoses. Di Publish 28 agustus 2008 di https://doi.org/10.1111/j.1439-0507.2008.01606.x.
8. Isro’in, L . dan Sulistyo, A. 2012. "Personal Hygiene".Yogyakarta: Graha Ilmu.
9. Putra, D. 2014. “Pengaruh Hygiene Sanitasi dengan Kejadian Tinea Kruris pada Santri Laki-
Laki di Pesantren Rhaudlotul Quran Kauman. Semarang: Universitas Diponegoro
10. Sidaria. 2017. “ Personal Hygiene dan Kejadian Tinea Corporis pada Santri di Pondok
Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan”. Padang : Universitas Eka Sakti.
11. Husni, H et al. 2018. "Identifikasi Dermatofita Pada Sisir Tukang Pangkas Di
Kelurahan Jati Kota Padang" . Padang: FKUNAND
12. Dyatiara, D. R. 2018. "Studi Retrospektif : Karakteristik Dermatofitosis". Surabaya: RSU
Soetomo. Avalaible from :https://e- journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/4573 , [Di akses
pada tanggal 8 Juni 2019]
13. Chadeganipour, M and Mohammadi, R. 2015. “Steroid-binding receptor in fungi: implication
for systemic mycoses. Iran: Isfahan University of Medical Sciences. Avalaible from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5490313/#_ffn_sectitle
14. Kurniati, C. R. 2008. "Ethiopathogenesis dermatofitosis". Surabaya: RSU Soetomo,
Avalaible:http://journal.unair.ac.id/filerPDF/BIKKK_vol%2020%20no%203_des%202008_
Acc_3.pdf [Accessed 8 July 2019]
15. Depkes RI. 2000. " Parameter Standard Umum Ekstrak Tumbuhan Obat". Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
16. Sharma. Y. 2011. “Pathogenesis of Dermatophytoses”. Vol 56. Pp: 259-61. Indian Journal
of Dermatology. Avalaible from:https://www.e-ijd.org/articles.asp?issn=00195154

Anda mungkin juga menyukai