( KEPERAWATAN HIV/AIDZ)
KELOMPOK 1
R.2C KEPERAWATAN
2021
DAFTAR ISI
COVER .............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................
C. Tujuan penulisan....................................................................
BAB II ISI
A. Konsep Psikoneurimunologi
1.
B. Respon spesifik pada pasien HIV/AIDZdan penyalahgunaan NAPZA
1) Respon biologis........................................................
2) Respon adaptif psiko-spiritual.................................
C. Stigma pada ODHA.............................................................
D. Konsep perilaku beresiko
a) sex bebas .................................................................
b) penyalahgunaan napza............................................
BAB III PENELITIAN
A. Kesimpulan..........................................................................
B. Saran....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, sebuah virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.AIDS singkatan dari Acquired
Immune Deficiency Syndrome.AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang
sistem kekebalan tubuh.Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan satu atau lebih
penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa
penyakit bisa menjadi lebih berat daripada biasanya (Spiritia, 2015).Penyakit AIDS
telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat terjadi
peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Dikatakan pula
bahwa epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakit (AIDS ), virus (HIV)
tetapi juga reaksi/dampak negatif berbagai bidang seperti kesehatan, sosial,
ekonomi, politik, kebudayaan dan demografi. Hal ini merupakan tantangan yang
harus dihadapi baik oleh negara maju maupun negara berkembang (Siregar,
2004).Orang yang terkena HIV/AIDS sangat mudah tertular oleh berbagai macam
penyakit karena sistem kekebalan tubuh penderita yang menurun.HIV/AIDS bisa
menular ke orang lain melalui hubungan seks (anal, oral, vaginal) yang tidak
terlindungi (tanpa alat pengaman kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV,
jarum suntik, tindik, tato yang tidak steril yang dipakai bergantian, mendapat
tranfusi darah dari orang yang darahnya mengandung virus HIV positif dan ibu
yang positif HIV kepada bayinya ketika dalam kandungan, saat melahirkan atau
melalui ASI (Parikesit, 2008). Sumber penularan yang utama HIV/AIDS pada ibu
rumah tangga adalah dari pasangannya sendiri atau suami.Berdasarkan data
disebutkan bahwa heteroseksual merupakan penyebab utama HIV/AIDS.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep dari psikoneuroimunologi ?
2. bagaimanakah asuhan keperawatan dari HIV/AIDZ dan Penyalahgunaan
NAPZA ?
3. Bagaimanakah respon spesifik pada pasien HIV/AIDZ dan penyalah gunaan
NAPZA ?
4. Bagaimanakah stigma pada ODHA?
5. Bagaimanakah konsep perilaku beresiko meliputi seks bebas dan
penyalahgunaan NAPZA?
C. Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas matakuliah keperawatan HIV /AIDZ sekaligus
mampu memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai HIV/AIDZ dan
penyalahgunaan NAPZA.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Psikoneuroimunologi
Konsep Psikoneuroimunologi Martin (1938) mengemukakan ide dasar
konsep psikoneuroimunologi yaitu: status emosi menentukan fungsi sistem
kekebalan, dan stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi
dan karsinoma. Dikatakan lebih lanjut bahwa karakter, perilaku, pola coping
dan status emosi berperan pada modulasi sistem imun.
Pada awal tahun 1950-an para ahli perilaku mempelajari hubungan
perilaku dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu
isu menarik adalah hubungan antara stres dengan sistem kekebalan tubuh.
Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antara perilaku, kerja
saraf, fungsi endokrin dan imunitas. Hasil penelitian inilah yang selanjutnya
mendukung konsep psikoneuroimunologi.
Sedangkan Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan istilah
psikoneuroimunologi yaitu kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan,
neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak
digunakan pada penelitian dan banyak temuan memperkuat keterkaitan stres
terhadap berbagai patogenesis penyakit termasuk infeksi dan neoplasma.
Psikoneuroimunologi adalah suatu ilmu yang dapat menjelaskan modulasi
sistem imun yang mengalami stres sebagai respons terhadap adanya
perubahan perilaku (Ader, 2007). Konsep ini merupakan gabungan antara
psiko-neuro dan imunologi, sehingga terdapat interaksi antara susunan saraf
pusat dan sistem imun yang diperantarai oleh aksis HPA (Hipotalamus-
pituitary-adrenal) (Black PH, 1995). Ader juga menyatakan bahwa
psikoneuroimunologi merupakan ilmu yang mempelajari interaksi antara
perilaku (behavior), fungsi neuroendokrin dan proses sistem imun (Putra,
2005).
Komunikasi dua arah antara sistem saraf dan immune networks dapat
menjelaskan bahwa perilaku dan stres dapat berpengaruh pada imunitas,
demikian pula sebaliknya, proses imun dapat mempengaruhi perilaku. Jadi,
aktivitas fisik dan psikologis dapat menimbulkan aktivitas biologis tubuh,
termasuk respons ketahanan tubuh (Setyawan, 1995; Siswantoyo, 2005).
Dalam hal ini, istilah stres seringkali digunakan untuk menggambarkan
kondisi psikologis (emosional) dan respon biologis (Black PH, 1994). Istilah
stres disiapkan untuk fenomena psikologis dan fisiologik yang kompleks dan
belum diketahui secara jelas (Putra, 1993; Siswantoyo, 2005). Bartrop (1977)
melaporkan adanya hubungan antara kondisi kejiwaan dengan perubahan
imunologi. Demikian pula dengan Breier dkk (1987) melakukan penelitian
tentang depresi yang ditimbulkan oleh stres akibat suara (100 dB). Hasilnya
menyatakan bahwa pada keadaan stres akan terjadi peningkatan kadar
adrenocorticotropin hormone (ACTH) yang akan memicu timbulkan respons
tubuh terhadap stres (Siswantoyo, 2005).
Pada penelitian yang berdasar pada konsep psikoneuroimunologi ini,
istilah stres digunakan untuk menggambarkan kondisi psikologik yang
tercermin dalam perubahan biologik, seperti biokimia, seluler dan jaringan,
yang berkaitan dengan rangsangan emosional dari korteks adrenal melalui
pelepasan hormone ACTH (Putra, 1993). Konsep psikoneuroimunologi bukan
merupakan penyatuan atas tiga hal (psiko, neuro dan imun), tetapi merupakan
komplementasi ketiga disiplin ilmu yang menetapkan sistem saraf sebagai
pusat titik tangkap. Atas dasar itu, maka setiap rangsangan digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 102 terhadap sistem saraf pusat yang
menyebabkan respons sekresi neurohormon akan memberikan perubahan
aktivitas pada sel tubuh. Beberapa neurohormonal yang diketahui adalah
ACTH, kortisol, katekolamin, endorphin, enkepalin dan somatostatin.
Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat
emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke
organ tubuh melalui saraf otonom. Jalur yang di lalui stres antara lain kelenjar
hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya
akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa
peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter
neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary
Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO
(Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme
yang paling banyak diteliti .
Rangsangan terhadap sistem saraf pusat akan menimbulkan sekresi
beberapa neurotransmitter, neuropeptide dan hormon untuk langkah
operasionalisasi reaksi adaptasi pada sel atau subselluler. Adanya kesamaan
titik tangkap pada tingkat sistem saraf pusat antara aspek fisik dan psikologik,
maka setiap stresor yang mengenai tubuh akan memberikan respons biologik
pada sistem saraf. Jadi kedua aspek fisik dan psikologik tersebut dapat
menimbulkan aktivitas biologik tubuh, termasuk respons ketahanan tubuh.
Stres dan sistem imun menerima berbagai input, termasuk stresor yang
akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular nucleus
paraventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan mensintesis
corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP), yang
akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisis anterior. Reseptor CRH
dan AVP akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensintesis
adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC
(propiomelanocortin) serta mengsekresikannya. Selanjutnya ACTH
mengaktifkan proses biosintesis dan melepaskan glukokortikoid dari korteks
adrenal, berupa kortisol. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang
diperantarai reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi
tubuh secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang
diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stresor.
Dengan demikian, pada kondisi stres, aksis HPA meningkat dan
glukokortikoid disekresikan walaupun kemudian kadarnya kembali normal
melalui mekanisme umpan balik negatif. Peningkatan glukokortikoid
umumnya disertai penurunan kadar androgen dan estrogen, karena
glukokortikoid dan steroid gonadal melawan efek fungsi imun. Stres pertama
akan menyebabkan baik imunodepresi (melalui peningkatan kadar
glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steroid
gonadal). Oleh karena rasio estrogen- androgen berubah maka stres
menyebabkan efek yang berbeda pada wanita dibanding pria. Pada penelitian
binatang percobaan, stres menstimulasi respons imun pada betina tetapi justru
menghambat respons tersebut pada jantan. Suatu penelitian menggunakan 63
tikus menunjukkan kadar testosteron serum meningkat bermakna dan birahi
betina terhadap pejantan menurun.
Wheaton (1983) membedakan stres akut dan kronik sedangkan Holmes
dan Rahe (1967) menekankan pembagian pada jumlah stres (total amount of
change) yang dialami individu yang sangat berpengaruh terhadap efek
psikologiknya. Ross dan Viowsky (1979) dalam penelitiannya berpendapat,
bahwa bukan jumlah stres maupun beratnya stres yang mempunyai efek
psikologik menonjol akan tetapi apakah stres tersebut diinginkan atau tidak
diinginkan (undesirable) yang mempunyai potensi digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 103 besar dalam menimbulkan efek
psikologik stres baik ringan, sedang maupun berat dapat menimbulkan
perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku. Besarnya respons
stres (McEwen, 1994) bukan hanya bergantung pada stresor dan individunya,
respons stres juga bergantung pada strategi yang diadopsi individu untuk
mengatasi stres (Pinel, 2009).
Salah satu faktor yang tampaknya penting adalah kemampuan individu
untuk dapat mengendalikan stres. Persepsi pengendalian memperantarai
pengaruh stres pada sistem imun manusia. Dalam satu penelitian terhadap
wanita dengan kanker payudara menemukan bahwa pasien yang pesimistik
memiliki kemungkinan lebih besar mengalami tumor baru dalam periode lima
tahun, bahkan setelah keparahan fisik penyakit mereka diperhitungkan.
B. Respon Spesifik HIV/AIDZ dan penyalah-gunaanNAPZA Respon biologis
Respon adaptif psiko spiritual
Penyalahgunaan Napza Di dalam masyarakat NAPZA /NARKOBA yang
sering disalah gunakan adalah :
1. Opioda, terdapat 3 golonagan besar :
a. Opioda alamiah (Opiat) : Morfin, Opium, Codein.
b. Opioda semisintetik : Heroin /putaw, Hidromorfin.
c. Opioda sintetik : Metadon. Nama jalanan dari Putauw : ptw, black
heroin, brown sugar. Heroin yang murni berbentuk bubuk putih,
sedangkan yang tidak murni berwarna putih keabuan. Dihasilkan dari
getah Opium poppy diolah menjadi morfin dengan proses tertentu
dihasilkan putauw yang kekuatannya 10 kali melebihi morfin.
Sedangkan opioda sintetik mempunyai kekuatan 400 kali lebih kuat
dari morfin. Morfin, Codein, Methadon adalah zat yang digunakan
oleh dokter sebagai penghilang sakit yang sangat kuat, misalnya pada
opreasi, penderita cancer.
Reaksi dari pemakaian ini sangat cepat yang kemudian
menimbulkan perasaan ingin menyendiri untuk menikmati efek
rasanya dan pada taraf kecanduan pemakai akan kehilangan percaya
diri hingga tak mempunyai keinginan untuk bersosialisasi. Pemakai
akan membentuk dunianya sendiri, mereka merasa bahwa
lingkungannya menjadi musuh.
2. Kokain Kokain berupa kristal putih, rasanya sedikit pahit dan lebih mudah
larut
a. Nama jalanan, koka, coke, happy dust, srepet, snow
b. Cara pemakainnya, membagi setumpuk kokain menjadi beberapa
bagian berbaris lurus diatas permukaan kaca atau alas yang
permukaannya datar kemudian dihirup dengan menggunakan
penyedot seperti sedotan atau dengan cara dibakar bersama dengan
tembakau. Penggunaan dengan cara dihirup akan beresiko kering dan
luka pada sekitar lubang hidung bagian dalam.
c. Efek pemakain kokain, pemakai akan merasa segar, kehilangan nafsu
makan, menambah percaya diri, dan dapat menghilangkan rasa sakit
dan lelah.
3. Kanabis
a. Nama jalanan, cimeng, ganja, gelek, hasish, marijuana, grass, Berasal
dari tanaman kanabis sativa atau kanabis indica.
b. Cara penggunaan, dihisap dengan cara dipadatkan menyerupai rokok
atau dengan menggunakan pipa rokok.
c. Efek rasa dari kanabi, tergolong cepat, pemakai cenderung merasa
lebih santai, rasa gembira berlebihan (euphoria), sering berfantasi /
menghayal, aktif berkomunikasi, selera makan tinggi, sensitive,
kering pada mulut dan tenggorokan.
Sri Lilestina Nasution1, Herien Puspitawati2*), Risda Rizkillah2, Mardiana Dwi Puspitasari1
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan KB dan KS, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Jl. Permata 1
No.1 Jl. Halim Perdanakusuma, RT.4/RW.5, Kb. Pala, Makasar, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
13650, Indonesia Indonesia
2
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor
16680, Indonesia
*)
E-mail: herien_puspitawati@email.com
Abstrak
Perkembangan arus globalisasi yang begitu cepat menyebabkan remaja mengalami berbagai tantangan kehidupan.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh dari karakteristik remaja dan keluarga, pengetahuan remaja tentang NAPZA
(narkotika, psikotropika, dan zat adiktif), pengetahuan remaja tentang HIV, dan pengetahuan orang tua tentang
pembangunan keluarga terhadap Perilaku NAPZA. Metode penelitian ini menggunakan data sekunder Survei Indikator
Kinerja Program KKBPK RPJMN 2017 yang dirancang untuk menghasilkan estimasi parameter pada level provinsi dan
nasional. Unit analisis adalah remaja usia 15-24 tahun yang belum menikah di seluruh Indonesia. Analisis dalam studi ini
dilakukan secara deskriptif dan inferensial menggunakan regresi logistik. Secara garis besar ditemukan bahwa remaja yang
rentan terhadap perilaku NAPZA adalah remaja yang tinggal di perkotaan, berusia 20-24 tahun, jenis kelamin laki-laki,
berpendidikan dasar, indeks pengetahuan NAPZA menengah, dan indeks pengetahuan HIV menengah. Lebih lanjut, remaja
yang rentan terhadap perilaku NAPZA adalah remaja yang berasal dari keluarga dengan umur kepala keluarga kurang dari
40 tahun, tipe keluarga tidak utuh/tunggal, jenis kelamin kepala keluarga perempuan, tingkat pendidikan kepala keluarga
menengah-tinggi, keluarga dengan kuintil kekayaan terbawah, dan indeks pengetahuan orang tua pada program
pembangunan keluarga yang tinggi.
The Influence of Adolescent’s Knowledge of Drug and HIV and Parent’s Knowledge of Family
Development Program on Adolescent’s Drug Using Behavior
Abstract
The rapid increasing flow of globalization causes young people (including adolescent) experience various challenges in life.
The present research proposes the role of demographic factors of young people and their family, young people’s knowledge
on drug abuse and HIV, and family’s knowledge about family development program in drug using among young people. This
study used secondary analysis of the 2017 Survey of Population, Family Planning and Family Development Program
Performance, National Medium Term Development Plan Year 2017 (KKBPK RPJMN 2017) which was designed to produce
parameter in Provincial and National levels.The unit of analysis was young people aged 15-24 years who have never been
married in Indonesia. Logistic regression was applied to analyze the inferential statistics. Results indicate that the risk
factors of young people which make them more likely to use drug are living in urban area, between the ages of 20-24 years,
male, having low education level, having moderate drug abuse and HIV knowledge indexes. The family contexts examining
Jur. Ilm. Kel. & Kons., Mei 2019, p : 100 - 113 Vol. 12, No.2
the risk factors are family whose head was under 40 years of age, single-parent family, family whose head was female,
family with moderate to high educational level, low level of family’s wealth, and high family development program index.
Keywords: drug abuse, drug abuse knowledge, family development program, HIV knowledge, young people
Tabel 1 Distribusi persentase kepala keluarga menurut kuintil kekayaan, jenis kelamin dan
wilayahtempat tinggal
Jenis kelamin KK Daerah tempat tinggal
Kuintil
Laki-laki Perempuan Perkotaan Perdesaan
kekayaan
n % n % n % n %
Terbawah 3.652 17,2 580 21,6 520 5,2 3.712 26,9
Menengah
3.921 18,5 585 21,8 1.188 11,8 3.318 24,1
bawah
Menengah 4.454 21,0 594 22,1 1.935 19,2 3.112 22,6
Menengah
4.598 21,7 465 17,3 2.603 25,8 2.461 17,8
atas
Teratas 4.571 21,6 459 17,1 3.837 38,1 1.192 8,6
Total 21.195 100,0 2.683 100,0 10.084 100,0 13.794 100,0
104 NASUTION, PUSPITAWATI, RIZKILLAH, & PUSPITASARI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
Tabel 2 Sebaran dan uji beda pengetahuan NAPZA, Pengetahuan HIV, dan Pengetahuan Orang tua
tentang Pembangunan Keluarga
Rendah Sedang Tinggi Rata-
Kategorisasi t p-value
Rata
n % n % n %
Pengetahuan NAPZA
Laki-laki 5.455 41,2 3.733 28,2 4.051 30,6 26,03
-4.977 0,000**
Perempuan 4.117 38,7 2.984 28,0 3.539 33,3 27,17
Kota 3.790 37,6 3.000 29,7 3.294 32,7 27,44
6.807 0,000**
Desa 5.782 41,9 3.717 26,9 4.296 31,1 25,88
Pengetahuan HIV
Laki-laki 5.455 41,2 3.733 28,2 4.051 30,6 73,19
-8.615 0,000**
Perempuan 4.117 38,7 2.984 28,0 3.539 33,3 76,78
Kota 3.790 37,6 3.000 29,7 3.294 32,7 80,83
Desa 5.782 41,9 3.717 26,9 4.296 31,1 70,38 25.185 0,000**
Pengetahuan Orang tua tentang Pembangunan Keluarga
Laki-laki 2.958 22,3 5.781 43,7 4.500 34,0 32,62
-2.983 0,003**
Perempuan 2.174 20,4 4.705 44,2 3.762 35,4 33,64
Kota 1.377 13,7 4774 47,3 3.932 39,0 36,80
Desa 3.755 27,2 5711 41,4 4.329 31,4 30,35 18,825 0,000**
signifikan.
Remaja perempuan memiliki rata-rata indeks
pengetahuan (76,78) lebih tinggi dibandingkan
Pengetahuan Remaja remaja laki-laki (73,19). Berdasarkan hasil uji beda
pengetahuan tentang HIV secara total berdasarkan
tentang NAPZA wilayah, terdapat perbedaan yang sangat signifikan
yang mana remaja di wilayah perkotaaan memiliki
Berdasarkan sebaran pengetahuan remaja pengetahuan (80,83) yang lebih baik dibandingkan
tentang NAPZA (Tabel 2), sepertiga remaja remaja di wilayah desa (70,38). Berdasarkan
perempuan (33,3%) dan hampir sepertiga remaja kategorisasi pengetahuan tentang HIV, baik remaja
laki-laki (30,6%) memiliki pengetahuan tentang yang tinggal di perkotaan maupun diperdesaan lebih
NAPZA pada kategori tinggi. Berdasarkan hasil uji banyak masuk pada kategori rendah, masing-
beda, pengetahuan tentang NAPZA antara remaja masing 37,6 persen dan 41,9 persen.
laki-laki dan perempuan berbeda sangat
signifikan. Remaja perempuan memiliki
pengetahuan lebih tinggi (rata-rata indeks 27,17)
dibandingkan remaja laki-laki (rata-rata indeks Pengetahuan Orang tua
26,03). Sementara itu, hasil uji beda total
pengetahuan tentang NAPZA berdasarkan tentang Program
wilayah tempat tinggal remaja menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan antara
Pembangunan Keluarga
wilayah kota (27,44) dan desa (25,88).
Pengetahuan remaja tentang NAPZA di wilayah Tabel 2 sebaran pengetahuan orang tua tentang
kota lebih tinggi dibandingkan remaja di wilayah pembangunan keluarga, hampir separuh orang
desa. Selain itu, hampir sepertiga remaja di kota tua remaja laki-laki (43,7%) dan perempuan
(32,7%) dan desa (31,1%) memiliki pengetahuan (44,2%) memiliki pengetahuan tentang
NAPZA pada kategori tinggi, namun 37,6 persen pembangunan keluarga pada kategori sedang.
remja di wilayah kota dan 41,9 persen di wilayah Penelitian menemukan adanya perbedaan yang
desa masih masuk pada kategori pengetahuan signifikan antara orang tua remaja perempuan
NAPZA yang masih rendah. (33,64) yang mana pengetahuannya lebih baik
dibandingkan orang tua remaja laki-laki (32,62).
Selanjutnya, orang tua remaja di wilayah
Pengetahuan Remaja perkotaan (36,80) memiliki pengetahuan lebih
baik dibandingkan orang tua remaja di wilayah
tentang HIV perdesaan (30,35). Hampir separuh orang tua
remaja di wilayah perkotaan (47,3%) dan orang
Berdasarkan sebaran pengetahuan tentang HIV tua remaja di wilayah perdesaan (41,4%) memiliki
(Tabel 2), hampir separuh remaja laki-laki (41,2%) pengetahuan tentang program pembangunan
dan perempuan (38,7%) memiliki pengetahuan keluarga pada kategori sedang.
tentang HIV pada kategori rendah. Hasil uji beda
menunjukkan pengetahuan HIV antara remaja
laki-laki dan perempuan berbeda secara
Vol. 12, 2019 PENGETAHUAN REMAJA DAN ORANG TUA SERTA PENGGUNAAN NAPZA 105
Tabel 3 Uji Beda Perilaku NAPZA berdasarkan jenis kelamin dan wilayah
Pertanyaan Rata-rata p-value Rata-rata p-value
Laki-laki Perempuan Kota Desa
Pernah mencoba 0,12 0,05 0,000** 0,08 0,09 0,099
mengonsumsi NAPZA
POR 1
Tipe 4
PN2 Tipe 3
PNH1 P
Tipe 4 PNH2 N
Remaja Laki-laki 33,1% Tipe 3 1
Remaja Perempuan 32,3% Remaja Laki-laki 54,8%
Remaja Perempuan 62,4%
Gambar 2 Tipologi Pengetahuan Orang
tuatentang Pembangunan
PN1 Keluarga dengan Perilaku
NAPZA Berdasarkan Jenis
Gambar 1 Tipologi Pengetahuan NAPZA dan Kelamin
HIV dengan Perilaku NAPZA
Berdasarkan Jenis Kelamin Keterangan
PN 2 Tipe 1Tipe 2
POR 1
Kota 2,9 %Kota 5,8 %
Desa 3,6%Desa 5,8%
Tipe 4Tipe 3
POR 2
Kota 30,3%Kota 61,0%
PNH 1 Desa 34,8%Desa 55,8% PNH 2
PN 1
PN1
Gambar 3 Tipologi Pengetahuan
Gambar 4 Tipologi Pengetahuan
Pengetahuan Orang tua tentang
Pengetahuan Orang tua tentang
Pembangunan Keluarga dengan
Pembangunan Keluarga dengan
Perilaku NAPZA Berdasarkan
Perilaku NAPZA Berdasarkan
Wilayah
Wilayah
Keterangan
P
N
2
Tipe 1
Kota 0,9% Tipe 2
Desa 2,0% Kota 7,8%
Desa 7,4%
Tipe 4 Tipe 3
Kota 11,7% Kota 79,6%
Desa 23,8% Desa 66,8%
106 NASUTION, PUSPITAWATI, RIZKILLAH, & PUSPITASARI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
keluarga secara signifikan berpengaruh
terhadap perilaku penggunaan NAPZA pada
remaja (Tabel 4). Wilayah tempat tinggal
Uji Kesesuaian Model berpengaruh positif terhadap probabilitas
menggunakan NAPZA. Probabilitas remaja
Regresi Logistik yang bertempat tinggal di perkotaan 1,18 lebih
tinggi menggunakan NAPZA dibandingkan
remaja yang ada di perdesaan. Hasil uji beda
pada Tabel 3 sebelumnya, menyatakan bahwa
Nilai -2 log likelihood digunakan untuk uji
remaja yang tinggal di perdesaan sedikit lebih
keseluruhan model (overall model fit test)
banyak yang mengkonsumsi NAPZA dari
dalam menilai model yang telah
remaja yang tinggal di perkotaan, namun hasil
dihipotesiskanP. NHHa2sil uji menemukan
ini tidak signifikan.
terjadi penurunan -2 log likelihood setelah
dimasukkan variabel independen dari
22.124,156 menjadi 17.547,436 sehingga
model regresi logistik yang digunakan
merupakan yang model fit. Uji estimasi
parameter secara serentak pada analisis
regresi logistik biner menghasilkan nilai Chi-
square sebesar 19.570,115 dengan nilai
signifikansi 0,00 dibawah nilai p-value (0,05).
Artinya, minimal ada satu variabel
independen yang signifikan memengaruhi
variabel dependen. Selanjutnya, pengujian
koefisien determinasi pada regresi logistik
menggunakan pendekatan dengan nilai
Nagelkerke R-Square sebesar 0,638, yang
artinya variabilitas variabel dependen yang
dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel
independen sebesar 63,8 persen. Hasil
classification table menunjukkan secara
keseluruhan ketepatan model sebesar 86,5
persen.
Pengaruh karakteristik
remaja, orang tua, wilayah
tempat tinggal,
pengetahuan tentang
NAPZA, pengetahuan
tentang HIV, dan
pengetahuan orang tua
tentang pembangunan
keluarga terhadap perilaku
NAPZA
Tabel 4 Pengaruh karakteristik remaja, orang tua, wilayah tempat tinggal, pengetahuan tentang
NAPZA, pengetahuan tentang HIV, dan pengetahuan orang tua tentang
pembangunankeluarga terhadap perilaku NAPZA
Variabel Koefisien β Sig. Exp (β)
Daerah Tempat Tinggal
Perkotaan 0,17 0,00* 1,18
Perdesaan** - 1,00
Usia Remaja
15-19** - 1,00
20-24 0,99 0,00* 2,68
Jenis Kelamin Remaja
Perempuan** - 1,00
Laki-laki 0,28 0,00* 1,32
Tingkat pendidikan Remaja
Pendidikan Dasar 1,03 0,00* 2,80
Pendidikan Menengah-tinggi** - 1,00
Kelompok Umur Kepala Keluarga
<40 tahun 0,65 0,00* 1,92
40-49 tahun -1,15 0,00* 0,32
50-59 tahun -1,17 0,00* 0,31
>60 tahun** - 1,00
Jenis Kelamin Kepala Keluarga
Laki-laki** - 1,00
Perempuan 1,26 0,00* 3,52
Tingkat pendidikan Kepala Keluarga
Pendidikan Dasar -0,96 0,00* 0,38
Pendidikan Menengah-Tinggi** - 1,00
Kuintil Kekayaan
Terbawah 0,36 0,00* 1,43
Menengah bawah 0,23 0,00* 1,26
Menengah 0,11 0,07 1,12
Menegah Atas 0,07 0,24 1,08
Teratas** - 1,00
Tipe Keluarga
Keluarga Utuh** - 1,00
Lainnya/Tidak Utuh 0,92 0,00* 2,52
Indeks Pengetahuan NAPZA
Rendah -0,49 0,00* 0,60
Menengah 0,13 0,00* 1,14
Tinggi** - 1,00
Indeks Pengetahuan HIV
Rendah 0,23 0,00* 1,27
Menengah 0,31 0,00* 1,37
Tinggi** - 1,00
Indeks Pengetahuan Pembangunan Keluarga
Rendah 0,02 0,61 1,03
Menengah -0,21 0,00* 0,80
Tinggi** - 1,00
Keterangan:
* = signifikan pada α=0,01
** = kategori referensi
Setelah diuji lebih lanjut dengan analisis menggunakan NAPZA dibandingkan dengan
regresi biner logitik yang melibatkan variabel remaja perempuan dan remaja dengan tingkat
independen lainnya di temukan bahwa remaja pendidikan dasar juga cenderung
di perkotaan secara signifikan lebih banyak menggunakan NAPZA sebesar 2,8 kali
mengkonsumsi NAPZA. Usia remaja juga dibandingkan dengan tingkat pendidikan tinggi.
berpengaruh positif terhadap probabilitas
menggunakan NAPZA. Remaja yang masuk Hasil lain juga menunjukkan bahwa remaja
kategori usia 20-24 memiliki kecenderungan yang berasal dari keluarga dengan kepala
menggunakan NAPZA 2,68 kali dibandingkan keluarga masuk dalam kategori usia <40 tahun
remaja yang berusia 15-19 tahun. Remaja laki- lebih cenderung menggunakan NAPZA
laki 1,32 kali lebih cenderung untuk daripada remaja yang memiliki kepala
108 NASUTION, PUSPITAWATI, RIZKILLAH, & PUSPITASARI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
keluarga usia >60 tahun. Sementara remaja dalam membentuk kualitas sumber daya
yang memiliki kepala keluarga usia 40-49 manusia. Bronfenbrenner menyajikan model
tahun serta 50-59 tahun memiliki probabilitas pandangan dari segi ekologi dalam mengerti
masing-masing 0,3 kali kurang cenderung proses sosialisasi anak-anak. Model tersebut
menggunakan NAPZA. Jenis kelamin kepala menempatkan posisi anak pada pusat di
keluarga berpengaruh positif terhadap dalam model yang secara langsung dapat
penggunaan NAPZA. Remaja yang yang berinteraksi dengan lingkungan mikrosistem
berasal dari keluarga dengan kepala keluarga (keluarga, sekolah, teman sebaya, dan
berjenis kelamin perempuan 3,5 kali lebih tetangga), lingkungan mesosistem, lingkungan
tinggi menggunakan NAPZA dibandingkan exosystem dan lingkungan makrosistem
dengan remaja yang berasal dari keluarga (Klein & White, 1996).
dengan kepala keluarga berjenis kelamin laki-
laki. Sementara, remaja yang memiliki kepala Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja
keluarga berpendidikan rendah 0,38 kali yang rentan terhadap perilaku NAPZA adalah
kurang cenderung untuk menggunakan remaja yang tinggal di perkotaan. Kondisi ini
NAPZA dibandingkan yang berpendidikan kemungkinan dapat disebabkan karena orang
tinggi. tua remaja yang tinggal di perkotaan memiliki
penghasilan yang lebih tinggi sehingga
Kuintil kekayaan dan tipe keluarga juga peluang remaja untuk mendapatkan narkoba
berpengaruh positif terhadap penggunaan lebih besar. Selain itu, kemudahan dalam
NAPZA. Remaja yang berasal dari keluarga penyebaran distribusi obat-obatan terlarang di
dengan kuintil kekayaan terbawah memiiki suatu wilayah juga menyebabkan tingginya
peluang 1,43 kali cenderung untuk penggunaan NAPZA. Hasil penelitian ini
menggunakan NAPZA. Begitu juga remaja sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
yang berasal dari keluarga dengan kuintil Tutussaus dan Balic (2016) yang menyatakan
kekayaan menengah bawah lebih cenderung bahwa penggunaan NAPZA oleh remaja lebih
menggunakan NAPZA sebesar 1,26 kali banyak ditemukan di daerah perkotaan
dibandingkan dengan remaja yang berasal dari dibandingkan di daerah perdesaan. Hasil ini
kuintil teratas. Lebih lanjut, remaja yang bertentangan dengan preposisi yang diajukan
berasal dari keluarga lainnya/tidak utuh oleh Keyes, Cerda, Brady, Havens, & Galea,
memiliki probabilitas 2,52 kali menggunakan (2014) mengatakan bahwa remaja pengguna
NAPZA dari remaja dengan keluarga utuh. NAPZA lebih banyak ditemukan di perdesaan.
Hasil ini menunjukkan rentannya remaja
menngunakan NAPZA jika berasal dari Selain itu, remaja yang rentan terhadap
keluarga yang tidak utuh. perilaku NAPZA berasal dari keluarga dengan
umur kepala keluarga kurang dari 40 tahun.
Selain itu, remaja yang memiliki indeks Remaja yang menjadi responden pada survei
pengetahuan NAPZA yang rendah memiliki RPJMN 2017 adalah mereka yang belum
probabilitas 0.6 kali kurang cenderung menikah dan berusia 15-24 tahun. Artinya, jika
menggunakan NAPZA namun remaja yang remaja yang menjadi responden adalah anak
memiliki indeks pengetahuan NAPZA yang pertama maka kepala keluarga dari remaja
sedang 1,14 kali lebih cenderung untuk tersebut menikah pertama kali pada rentang
menggunakan NAPZA. Sementara remaja usia antara 15-24 tahun. Hal tersebut
dengan pengetahuan HIV yang rendah dan mengindikasikan bahwa remaja yang
sedang lebih cenderung untuk menggunakan cenderung menggunakan NAPZA berasal dari
NAPZA dengan probabilitas 1,27 kali dan 1,37 keluarga yang menikah muda. Pernikahan
kali dari remaja yang memiliki indeks yang terjadi pada usia yang masih sangat
pengetahuan HIV tang tinggi. Selanjutnya, muda akan rentan pada permasalahan sosial
remaja dengan orang tua yang memiliki dan mental, termasuk kekerasan dalam rumah
pengetahuan tentang program pembangunan tangga dan penggunaan NAPZA (Hovdestad ,
keluarga sedang lebih kurang cenderung Shields, Williams, & Tonmyr, 2015). Bahkan
menggunakan NAPZA 0,8 kali sebesar 1,03 anak-anak dari pasangan usia muda juga
kali dari remaja dengan orang tua dengan rentan untuk tidak mendapatkan kasih sayang
indeks pengetahuan tentang program dari orang tua mereka, beresiko pada
pembangunan keluarga yang tinggi. penggunaan minuman keras/alkohol bahkan
melakukan hubungan seksual di usia yang
masih sangat muda (Cavazos et al., 2010).
terhadap perilaku penggunaan NAPZA. Hal ini (Hoffmann & Johnson, 1998; Hoffman, 2002;
dapat disebabkan karena remaja dengan Hemovich & Crano, 2009).
rentang usia 20-24 tahun sudah memiliki
otonomi atau kebebasan terhadap dirinya Remaja yang tinggal pada keluarga dengan
sendiri dibandingkan remaja dengan kelompok kuintil kekayaan terbawah cenderung beresiko
usia di bawahnya. Otonomi tersebut menggunakan NAPZA. Hal ini sejalan dengan
memungkinkan remaja lebih cepat (Laoniramau, Laosee, Somrongthong,
terpengaruh dengan NAPZA. Namun, terkait Sunanta, & Sitthiamorns, 2005; Keyes, Cerda,
hasil tentang rentang usia remaja yang Brady, Havens, & Galea, 2014) yang
menggunakan NAPZA bertentangan dengan menemukan bahwa tekanan ekonomi dapat
penelitian sebelumnya. Kondisi penelitian membuat kecenderungan remaja
memperlihatkan bahwa semakin tinggi usia menggunakan NAPZA lebih tinggi. Akan tetapi,
remaja maka kecenderungan menggunakan hal ini berlawanan dengan (Humensky, 2010)
NAPZA akan semakin kecil (Tutussaus & yang menemukan bahwa remaja yang datang
Balic, 2016) dan hasil penelitian lain juga dari keluarga dengan status ekonomi yang
menyatakan pelajar yang menyalahgunakan tinggi cenderung menggunakan NAPZA
NAPZA sebagian besar berada pada usia dikarenakan kemudahan untuk membeli
remaja awal (Nur’artavia, 2017). Akan tetapi, barang tersebut.
hasil penelitian sejalan dengan penelitian pada
(Kabir, Goh, Kamal, & Khan, 2013) yang Remaja yang tinggal dengan kepala keluarga
menemukan bahwa remaja pada rentang usia memiliki tingkat pendidikan menengah-tinggi
20-24 tahun lebih cenderung menggunakan cenderung menggunakan NAPZA. Hal ini
NAPZA dibandingkan pada rentang usia 15-19 dapat disebabkan semakin tingginya
tahun serta remaja yang berpendidikan rendah perolehan pendapatan kepala keluarga yang
cenderung menggunakan NAPZA memiliki pendidikan menengah-tinggi
dibandingkan remaja yang berpendidikan memungkinkan anaknya lebih mudah untuk
tinggi. Secara umum, pendidikan terkait erat mendapatkan akses NAPZA. Selain itu
dengan pengetahuan yang dimiliki seseorang. pendidikan orang tua yang tinggi
Hasil penelitian juga sejalan dengan penelitian memungkinkan terjadinya mobilitas bekerja
yang menyatakan bahwa secara keseluruhan orang tua yang tinggi sehingga tingkat
laki-laki lebih bermasalah dalam pengawasan pada anak dapat berkurang
penyalahgunaan obat dibandingkan Sejalan dengan penelitian (Humensky, 2010)
perempuan (Afandi, Chandra, Novitasari, juga menemukan bahwa pemuda yang masuk
Widjaja, & Kurniawan, 2009; Turner, Turner, dalam kategori dewasa awal (lebih dari 20
Yang, Luo 2013; Nur’atavia, 2017). tahun) dan datang dari keluarga dengan orang
Berdasarkan analisis tipologi menunjukkan tua berpendidikan tinggi cenderung
bahwa lebih dari separuh remaja pada survei menggunakan NAPZA. Sementara (Amoateng
RPJMN 2017 memiliki pengetahuan yang & Bahr, 1986) menemukan bahwa tidak ada
tinggi akan resiko NAPZA dan kecil hubungan antara tingkat pendidikan orang tua
kemungkinan menggunakan NAPZA. dengan penggunaan NAPZA pada remaja.
Remaja dengan tipe keluarga tidak Remaja dengan indeks pengetahuan NAPZA
utuh/tunggal dan berasal dari keluarga dengan menengah cenderung menggunakan NAPZA
kepala keluarga berjenis kelamin perempuan dibandingkan remaja dengan indeks
lebih rentan dengan perilaku NAPZA. pengetahuan tinggi. Akan tetapi, hasil ini
Penelitian ini sesuai dengan beberapa menjadi tidak konsisten ketika ditemukan
penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa remaja dengan indeks pengetahuan
bahwa remaja yang tinggal pada keluarga yang rendah cenderung untuk tidak
tidak utuh/tunggal lebih beresiko menggunakan NAPZA. Demikian pula dengan
menggunakan NAPZA (Amoateng & Bahr, indeks pengetahuan HIV/AIDS dan
1986; Hoffmann & Johnson, 1998; Hoffman, kecenderungan remaja untuk menggunakan
2002). Namun, jika dilihat berdasarkan jenis NAPZA. Remaja dengan indeks pengetahuan
kelamin kepala keluarga dari remaja yang HIV/AIDS menengah cenderung lebih
rentan dengan perilaku NAPZA, maka hasil menggunakan NAPZA dibandingkan remaja
penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang memiliki indeks pengetahuan HIV/ AIDS
sebelumnya yang menemukan bahwa remaja rendah dan tinggi. Penelitian yang dilakukan
yang tinggal pada keluarga yang hanya (Malik et al., 2012) menemukan bahwa meski
memiliki ayah memiliki resiko lebih tinggi akan kesadaran akan resiko penggunaan NAPZA
menyalahgunakan NAPZA dibandingkan lebih tinggi pada remaja yang tidak
remaja yang tinggal hanya dengan ibunya menggunakan NAPZA, akan tetapi masih
110 NASUTION, PUSPITAWATI, RIZKILLAH, & PUSPITASARI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa sepertiga remaja perempuan dan hampir sepertiga remaja
laki-laki memiliki pengetahuan tentang NAPZA pada kategori tinggi. Selain itu, hampir separuh
remaja laki-laki dan perempuan memiliki pengetahuan tentang HIV pada kategori rendah.
Remaja perempuan memiliki rata-rata pengetahuan NAPZA dan HIV/AIDS lebih tinggi
dibandingkan remaja laki-laki. Pengetahuan remaja tentang NAPZA dan HIV/AIDS di wilayah
kota lebih tinggi dibandingkan remaja di wilayah desa. Berdasarkan pengetahuan orang tua
tentang program pembangunan keluarga, orang tua remaja perempuan memiliki pengetahuan
yang lebih baik dibandingkan orang tua remaja laki- laki sedangkan orang tua remaja di wilayah
perkotaan memiliki pengetahuan lebih baik dibandingkan orang tua remaja di wilayah
perdesaan. Berdasarkan tipologi pengetahuan NAPZA dan HIV dengan perilaku NAPZA dan
tipologi pengetahuan orang tua tentang program pembangunan keluarga dengan perilaku
NAPZA, mayoritas remaja masuk pada kuadran terbaik yaitu kuadaran dengan tingkat
pengetahuan tinggi dan perilaku NAPZA yang rendah. Berdasarkan perilaku NAPZA remaja laki-
laki lebih banyak yang pernah mencoba mengonsumsi NAPZA dibandingkan remaja perempuan.
Secara garis besar ditemukan bahwa remaja yang rentan terhadap perilaku NAPZA adalah
remaja yang tinggal di perkotaan, berusia 20-24 tahun, berjenis kelamin laki-laki, dan
berpendidikan dasar. Remaja yang rentan terhadap perilaku penggunaan NAPZA adalah remaja
yang berasal dari keluarga dengan umur kepala keluarganya berusia kurang dari 40 tahun, jenis
kelamin kepala keluarga perempuan, tingkat pendidikan kepala keluarga menengah- tinggi,
keluarga dengan kuintil kekayaan terbawah, tipe keluarga tidak utuh/tunggal, indeks
pengetahuan remaja tentang NAPZA menengah, indeks pengetahuan remaja tentang HIV
menengah, dan indeks pengetahuan orang tua tentang program pembangunan keluarga yang
tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang diberikan, yaitu
sebagai berikut: 1) untuk peneliti, diharapkan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan
pengasuhan dan perlindungan anak yang terkait dengan perilaku negatif; 2) untuk masyarakat
terutama yang rentan, diperlukan pendampingan melalui peningkatan pengetahuan dan lifeskills
seperti pencegahan resiko terhadap NAPZA; 3) untuk keluarga, diperlukan pendampingan untuk
mewujudkan ketahanan keluarga dalam mencegah perilaku NAPZA remaja; 4) untuk
kepentingan program diprioritaskan perhatian pada remaja rentan yaitu remaja yang tinggal di
perkotaan,berusia 20-24 tahun, jenis kelamin laki-laki,dan berpendidikan dasar, remaja yang
berasal dari keluarga dengan umur kepala keluarganya berusia kurang dari
40 tahun, jenis kelamin kepala keluarga perempuan, tingkat pendidikan kepala keluarga
menengah-tinggi, keluarga dengan kuintil kekayaan terbawah, tipe keluarga tidak utuh/tunggal.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, D., Chandra, F., Novitasari, D.,
Widjaja, I.R., & Kurniawan, L. (2009). Tingkat
penyalahgunaan obat dan faktor risiko di kalangan Siswa Sekolah Menengah Umum. Majalah
Kedokteran Indonesia, 59(6): 266-271
Amoateng, A.Y.,& Bahr, S.J. (1986). Religion, family, and adolescent drug use.Sociological
Perspectives, 29(1): 53-76.
Cavazos, R., Patricia, A., Spitznagel, E.L., Bucholz, K.K., Nurnberger, J., & Edenberg,
H.J. (2010). Predictors of sexual debut at age 16 or younger. Archives of Sexual Behavior, 39(2):
664-673.
Day, M.M. (2008). Talking to youth about drugs: what do late adolescents say about parental
strategies?.Family Relations, 57(1): 1-12.
Duvall, E.M.,& Miller, B.C.(1985). Marriage and Family Development (Sixth Edition). New York: Harper
& Row.
Hoffmann, J. (2002). The community context of family structure and adolescent drug use.Journal of
Marriage and the Family, 64(2): 314-330.
Hovdestad, W., Shields, M., Williams, G., & Tonmyr, L. (2015).Vulnerability within families
headed by teen and young adult mothers investigated by child welfare services in
Canada.Ottawa, 35(8/9), 143- 150
Humensky, J.L. (2010). Are adolescents with high socioeconomic status more likely to engage in alcohol
and illicit drug use in early adulthood?.Substance Abuse Treatment, Prevention, and Policy, 5(19): 1-
11.
Kabir, M.A., Goh, K.L., Kamal, S.M.M., & Khan, M.M.H. (2013). Tobacco smoking and its
association with illicit drug use among young men aged 15-24 years living in Urban Slums of
Bangladesh.Plos One, 8(7): 1-11.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. (2017). Pusat data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI: Anti Narkoba Sedunia. Jakarta: kemekes.go,id.
Keyes, K.M., Cerda, M., Brady, J.E., Havens, J.R., & Galea, S. (2014). Understanding the rural–
urban differences in nonmedical prescription opioid use and abuse in the United States.
American Journal of Public Health, 104(2): 52-59.
Klein, D.M.,& White, J.M. (1996). Family Theories. An Introduction. Thousand Oaks. London.
New Delhi: SAGE Publications. International Education and Professional Publisher.
Laoniramau, P., Laosee, OC., Somrongthong, R., Sunanta, W., & Sitthiamorns, C. (2005).Factors affecting
the experiences of drug use by adolescents in A Bangkok Slum.Southeast Asian Journal of Tropical
Medicine and Public Health, 36(4): 1014-
1019.
Lickona, T. (1991).Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility.United
State of America: Bantam Book.ISBN 0-553-37052-9.
Lyold, CB. 2005. Growing Up Global: The Changing Transitions to Adulthood in Developing Countries.
Washington, DC: National Academies Press. ISBN 0-30909- 528-X.
Malik, A.A., Nawaz, S., Tahir, A.A., Ahmed, S., Ashraf, S., Hanif, N., Aslam, J., Jamshed, I., Yawar,
A., & Malik, M.R. (2012). Knowledge and awareness of harmful effect of substance abuse
Vol. 12, 2019 PENGETAHUAN REMAJA DAN ORANG TUA SERTA PENGGUNAAN NAPZA 113
among users and non-users: a cross-sectional study from Bari Imam. J Pak Med Assoc, 62(4):
412-415.
Marceau, K., Abar, CC., & Jackson, KM. (2015). Parental knowledge is a contextual amplifier
of associations of pubertal maturation and substance use. Journal Youth Adolescence, 44,
1720-1734.DOI : 10.1007/s10964-015-0335-8
Nisa, H., & Afriani. (2015). Studi tentang pengetahuan terhadap NAPZA pada remaja di kota
Banda Aceh. Laporan hasil penelitian dosen muda. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala. [tersedia pada]
file:///C:/Users/User%20Asus/Downloads/ Haiyun_laporan.pdf
Nur’artavia, M.R. (2017). Karakteristik pelajar penyalahguna NAPZA dan jenis NAPZA yang digunakan di
Kota Surabaya. The Indonesian Jurnal f Public Health, 12(1): 27-38
Oktarina., Hanafi, F., Budisuari, M.A. (2009). Hubungan antara karakteristik responden,
keadaan wilayah dengan pengetahuan, sikap terhadap HIV/AIDS pada masyarakat
Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 12(2), 362-369.
Ollalla, C., Fraguela, G., Antonio, J., & Jorge,
S. (2017). Two faces of parental support: risk and protection for antisocial youth depending
on parental knowledge. Journal of Child and Family Studies, 26(1), 296- 305.
DOI:10.1007/s10826-016-0559-6
Peter, R. (2015). Peran orang tua dalam krisis remaja. Humaniora, 6(4), 453-460.
Poole, M, & Evans, G. (1987). Substance use: alife skills perspective. European Journal of Psychology of
Education, 2(4), 403-419.
Ratnasari, Y. (2015). Hubungan pengetahuan, sikap siswa tentang bahaya narkoba dan peran
keluarga terhadap upaya pencegahan narkoba (studi penelitian di SMP agus salim
Semarang). Junrla Kesehatan Masyarakat Inondesia, 10(2), 90-99.
Sawyer, S.M., Azzopardi, P.S., Wickremarathne, D., & Patton, G.C. (2018).The age of
adolescence.Lancet Child Adolesc Health, 2(3), 223-228 DOI:
http://dx.doi.org/10.1016/S2352- 4642(18)30022-1.
Schwartz, S.J.,& Pantin, H. (2005). Family functioning, identity, and problem behavior in Hispanic
immigrant early dolescents.J Early Adolesc, 25(4): 392-420.
Turner, E.M., Turner, C.G., Yang, X., Luo, H.(2013). Gender wage differences and
illicit drug use: findings from Yunnan Province. China International Journal, 11(1): 113-130.
Tutussaus, L.C., & Balic, M.G. (2016). Relationship between healthy lifestyle and
sociodemographic factors in adolescentsin catalonia: application of VISA-TEEN
Questionnaire. PLoS ONE, 11(9): 1-19. DOI:10.1371/journal.pone.016338
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDZ &
PENYALAHGUNAAN NAPZA
Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit AIDS merupakan tantangan yang besar
bagi perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk menjadi sasaran infeksi ataupun
kanker. Rencana keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun secara individual untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing pasien (Burnner & Suddarth, 2013).
1) Pengkajian
a) Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR.
b) Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori
ditemui :
1. keluhan utama sesak nafas.
2. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu,
demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan),
3. diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus,
4. penurunan berat badan lebih dari 10%,
5. batuk kronis lebih dari 1 bulan,
6. infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur
Candida Albicans,
7. pembengkakan kelenjer getah bening diseluruh tubuh,
8. munculnya Harpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal
diseluruh tubuh.
c) Riwayat kesehatan sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS
adalah : pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang
memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan demam,
pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan
drastis.Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya
riwayat penggunaan narkotika suntik, hubungan seks bebas atau
berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS, terkena cairan tubuh
penderita HIV/AIDS.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang
menderita penyakit HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua
yang terinfeksi HIV.
e) riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja di tempat
hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).
f) Pola aktivitas sehari-hari (ADL)
1) Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat Biasanya pada
pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan atau gangguan pada
personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB
dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan
melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung
dibantu oleh keluarga atau perawat.
2) Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu
makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan
mengalami penurunan BB yang cukup drastis dalam waktu
singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
3) Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus
berdarah.
4) Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan
tidurmengalami gangguan karena adanya gejala seperi demam
dan keringat pada malam hari yang berulang. Selain itu juga
didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap
penyakitnya.
5) Pola Istirahat dan tidur
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami
perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat melakukan
aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka yang
menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan
kerja, karena depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi
tubuh yang lemah.
6) Pola presepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah,
cemas, depresi, dan stres.
7) Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan
pengecapan, dan gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya
mengalami penurunan daya ingat, kesulitan berkonsentrasi,
kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang
terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.
8) Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran
yang dapat mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien
merasa malu atau harga diri rendah.
9) Pola penanggulangan stress
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas,
gelisah dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya
waktu perawatan, perjalanan penyakit, yang kronik, perasaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis
yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan
lain-lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu
menggunakan mekanisme koping yang kontruksif dan adaptif.
10) Pola reproduksi seksual
Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya
terganggu karena penyebab utama penularan penyakit adalah
melalui hubungan seksual.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan Pada pasien HIV AIDS
Tata nilai keyakinan pasien awal nya akan berubah, karena mereka
menggap hal menimpa mereka sebagai balasan akan perbuatan
mereka. Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi
tubuh mempengaruhi nilai dan kepercayaan pasien dalam
kehidupan pasien, dan agama merupakan hal penting dalam hidup
pasien.
g) Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas istirahat Mudah lemah, toleransi terhadap aktifitas
berkurang, progresif, kelelahan,, perubahan pola tidur.
b. Gejala sabjektif Demam kronik, demam atau tanpa mengigil,
keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB
menurun, nyeri, sulit tidur.
c. Psikososial Kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola
hidup, mengungkapkan perasaan takut, cemas, meringis. Satus
mental Marah, pasrah, depresi, ide bunuh diri, hilang interest pada
lingkungan sekitar, gangguan proses pikir, hilang memori,
gangguan antensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
d. Neurologis Gangguan reflek pupil, vertigo, ketidak seimbangan,
kaku kuduk, kejang, paraf legia.
e. Muskuloskletal Focal motor deficit, lemah, tidak mampu
melakukan ADL
f. Kardiovaskuler Takikardi, sianosis, edema perifer, dizziness.
g. Pernafasan Nafas pendek yang progresif, batuk ( sedang-parah ),
batuk produktif/ non-produktif, sesak pada dada.
h. Integument Kering gatal, rash dan lesi, turgor jelek.
2) Diagnosa
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gaya
hidup kurang gerak, Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3
x 24 jam diharapkan terjadi peningkatan :
a. Pengisian kapiler jari tangan dan kaki tidak ada deviasi dari kisaran
normal
b. Suhu kulit ujung kaki dan tangan tidak ada deviasi dari kisaran
normal
c. Kekuatan denyut nadi karotis kiri dan kanan tidak ada deviasi dari
kisaran normal
d. Kekuatan denyut brakialis tidak ada deviasi dari kisaran normal
e. Tekanan darah tidak ada deviasi dari kisaran normal Manajemen
Elektrolit
f. Monitor serum elektrolit yang abnormal
g. Monitor manifestasi ketidak seimbangan elektrolit
h. Pertahankan kepatenan akses IV 14. Berikan cairan sesuai resep
i. Monitor kehilngan cairan yang kaya dengan elektrolit Manajemen
Nyeri
j. Lakukan pengkaijan nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/ durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
k. Pastikan perawatan analgetik bagi pasien dilakukan dengan
pemantuan yang ketat
l. Ajarkan prisip manajemen nyeri
m. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan menangani nyeri dengan
tepat
n. Dukung istirahat/ tidur yang adekuat untuk membantu penurunan
nyeri
2. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan penyakit ,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan terjadi
peningkatan :
a. Merasa merinding saat dingin tidak terganggu
b. Berkeringat saat panas tidak terganggu
c. Menggigil saaat dingin tidak terganggu Perawatan hipertermia
d. Monitor tanda vital
e. Longgarkan pakian pasien
f. Kompres dingin
g. Beriakan cairan
h. Monitor output urin
i. Peningkatan suhu kulit tidak ada
j. Perubahan warna kulit tidak ada
k. Radang dingin tidak ada Pemberian produk produk darah
l. Cek kembali instruksi dokter
m. Monitor tanda vital
n. Monitor adanya reaksi alergi
o. Monitor adanya kelebihan cairan
p. Monitor jumlah cairan dan atur jumalh tetesan selama transfusi
q. Dokumentasikan waktu transfuse.
3. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan immune,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 3 x 24 jam diharapkan terjadi
peningkatan :
a. Nyeri yang dilaporkan tidak ada
b. Mengerang dan meringis tidak ada
c. Menyeringit tidak ada
d. Ketegangan otot tidak ada
Tanda –tanda vital tidak mengalami devisiasi Pemberian analgesik :
e. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
f. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat
analgesik yang diresepkan
g. Cek adanya riwayat alergi obat
Pilih analgesik atau kombinasi analgesik yang sesuai ketikalebih dari satu
diberikan Menajemen nyeri :
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Psikoneuroimunologi adalah suatu ilmu yang dapat menjelaskan modulasi
sistem imun yang mengalami stres sebagai respons terhadap adanya perubahan
perilaku.Adanya kesamaan titik tangkap pada tingkat sistem saraf pusat antara aspek
fisik dan psikologik, maka setiap stresor yang mengenai tubuh akan memberikan
respons biologik pada sistem saraf. Jadi kedua aspek fisik dan psikologik tersebut
dapat menimbulkan aktivitas biologik tubuh, termasuk respons ketahanan tubuh.
Pemahaman remaja tentang HIV /AIDS masih sangat minim,padahal remaja
termasuk usia yang rentan dengan prilaku beresiko. Pemahaman yang salah
membuat remaja tidak mewaspadai bahwa penyakit ini dapat merusak hidupnya
dimasa yang akan datang. Bahkan tidak jarang dari mereka baru menyesalinya
setelah mereka mengidap penyakit mematikan yang belum ada obatnya. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan di SMKN 6 Surabaya dapat disimpulkan bahwa
pemberian pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap pengetahuan dan perilaku
seseorang khususnya remaja dalam penelitian ini. Terjadinya peningkatan
pengetahuan responden disebabkan karena responden telah mendapatkan cukup
banyak informasi melalui pendidikan kesehatan yang diberikan. Peningkatan
perilaku pencegahan HIV/AIDS pada reseponden setelah dilakukan pendidikan
kesehatan. Hal ini dikarenakan remaja atau responden telah cukup banyak mendapat
informasi kesehatan tentang HIV/AIDS dan responden telah memahami sisi positif
dalam perlaku pencegahan HIV/AIDS tersebut. Dengan adanya pendidikan
kesehatan seseorang yang sebelumnya tidak tahu mengenai HIV/AIDS dapat
mengalami peningkatan pengetahuan dan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang
semula dari kurang menjadi baik.
B. Saran
Agar setiap pembaca dari makalah ini mampu menjaga kesehatannya. Atau bahkan
menjauhi beberapa perokok aktif.
DAFTAR PUSTAKA