Anda di halaman 1dari 46

PSIKONEURO IMUNOLGI

( KEPERAWATAN HIV/AIDZ)

KELOMPOK 1

R.2C KEPERAWATAN

Dosen Pengampuh : Roganda,S.Kep.M.kep

NILUH ENSIANI 201901106

NUR NURUL REZA 201901107

AMALIA RAHIM 201901086

REZKI EKA SAPUTRA 201901111

SITI NURRAFIQA 201901118

EKA SULISTIAWATI 201901089

PROGRAM STUDI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

WIDYA NUSANTARA PALU

2021
DAFTAR ISI

COVER .............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................

B. Rumusan Masalah..................................................................

C. Tujuan penulisan....................................................................

BAB II ISI

A. Konsep Psikoneurimunologi
1.
B. Respon spesifik pada pasien HIV/AIDZdan penyalahgunaan NAPZA
1) Respon biologis........................................................
2) Respon adaptif psiko-spiritual.................................
C. Stigma pada ODHA.............................................................
D. Konsep perilaku beresiko
a) sex bebas .................................................................
b) penyalahgunaan napza............................................
BAB III PENELITIAN

BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN

A. Asuhan Keperawatan HIV/AIDZ dan Penyalahgunaan NAPZA


1) Pengkajian................................................................
2) Diganosa...................................................................
3) Intervensi .................................................................
4) Implementasi............................................................
5) Evaluasi....................................................................
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................
B. Saran....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, sebuah virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.AIDS singkatan dari Acquired
Immune Deficiency Syndrome.AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang
sistem kekebalan tubuh.Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan satu atau lebih
penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa
penyakit bisa menjadi lebih berat daripada biasanya (Spiritia, 2015).Penyakit AIDS
telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat terjadi
peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Dikatakan pula
bahwa epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakit (AIDS ), virus (HIV)
tetapi juga reaksi/dampak negatif berbagai bidang seperti kesehatan, sosial,
ekonomi, politik, kebudayaan dan demografi. Hal ini merupakan tantangan yang
harus dihadapi baik oleh negara maju maupun negara berkembang (Siregar,
2004).Orang yang terkena HIV/AIDS sangat mudah tertular oleh berbagai macam
penyakit karena sistem kekebalan tubuh penderita yang menurun.HIV/AIDS bisa
menular ke orang lain melalui hubungan seks (anal, oral, vaginal) yang tidak
terlindungi (tanpa alat pengaman kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV,
jarum suntik, tindik, tato yang tidak steril yang dipakai bergantian, mendapat
tranfusi darah dari orang yang darahnya mengandung virus HIV positif dan ibu
yang positif HIV kepada bayinya ketika dalam kandungan, saat melahirkan atau
melalui ASI (Parikesit, 2008). Sumber penularan yang utama HIV/AIDS pada ibu
rumah tangga adalah dari pasangannya sendiri atau suami.Berdasarkan data
disebutkan bahwa heteroseksual merupakan penyebab utama HIV/AIDS.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep dari psikoneuroimunologi ?
2. bagaimanakah asuhan keperawatan dari HIV/AIDZ dan Penyalahgunaan
NAPZA ?
3. Bagaimanakah respon spesifik pada pasien HIV/AIDZ dan penyalah gunaan
NAPZA ?
4. Bagaimanakah stigma pada ODHA?
5. Bagaimanakah konsep perilaku beresiko meliputi seks bebas dan
penyalahgunaan NAPZA?
C. Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas matakuliah keperawatan HIV /AIDZ sekaligus
mampu memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai HIV/AIDZ dan
penyalahgunaan NAPZA.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Psikoneuroimunologi
Konsep Psikoneuroimunologi Martin (1938) mengemukakan ide dasar
konsep psikoneuroimunologi yaitu: status emosi menentukan fungsi sistem
kekebalan, dan stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi
dan karsinoma. Dikatakan lebih lanjut bahwa karakter, perilaku, pola coping
dan status emosi berperan pada modulasi sistem imun.
Pada awal tahun 1950-an para ahli perilaku mempelajari hubungan
perilaku dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu
isu menarik adalah hubungan antara stres dengan sistem kekebalan tubuh.
Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antara perilaku, kerja
saraf, fungsi endokrin dan imunitas. Hasil penelitian inilah yang selanjutnya
mendukung konsep psikoneuroimunologi.
Sedangkan Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan istilah
psikoneuroimunologi yaitu kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan,
neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak
digunakan pada penelitian dan banyak temuan memperkuat keterkaitan stres
terhadap berbagai patogenesis penyakit termasuk infeksi dan neoplasma.
Psikoneuroimunologi adalah suatu ilmu yang dapat menjelaskan modulasi
sistem imun yang mengalami stres sebagai respons terhadap adanya
perubahan perilaku (Ader, 2007). Konsep ini merupakan gabungan antara
psiko-neuro dan imunologi, sehingga terdapat interaksi antara susunan saraf
pusat dan sistem imun yang diperantarai oleh aksis HPA (Hipotalamus-
pituitary-adrenal) (Black PH, 1995). Ader juga menyatakan bahwa
psikoneuroimunologi merupakan ilmu yang mempelajari interaksi antara
perilaku (behavior), fungsi neuroendokrin dan proses sistem imun (Putra,
2005).
Komunikasi dua arah antara sistem saraf dan immune networks dapat
menjelaskan bahwa perilaku dan stres dapat berpengaruh pada imunitas,
demikian pula sebaliknya, proses imun dapat mempengaruhi perilaku. Jadi,
aktivitas fisik dan psikologis dapat menimbulkan aktivitas biologis tubuh,
termasuk respons ketahanan tubuh (Setyawan, 1995; Siswantoyo, 2005).
Dalam hal ini, istilah stres seringkali digunakan untuk menggambarkan
kondisi psikologis (emosional) dan respon biologis (Black PH, 1994). Istilah
stres disiapkan untuk fenomena psikologis dan fisiologik yang kompleks dan
belum diketahui secara jelas (Putra, 1993; Siswantoyo, 2005). Bartrop (1977)
melaporkan adanya hubungan antara kondisi kejiwaan dengan perubahan
imunologi. Demikian pula dengan Breier dkk (1987) melakukan penelitian
tentang depresi yang ditimbulkan oleh stres akibat suara (100 dB). Hasilnya
menyatakan bahwa pada keadaan stres akan terjadi peningkatan kadar
adrenocorticotropin hormone (ACTH) yang akan memicu timbulkan respons
tubuh terhadap stres (Siswantoyo, 2005).
Pada penelitian yang berdasar pada konsep psikoneuroimunologi ini,
istilah stres digunakan untuk menggambarkan kondisi psikologik yang
tercermin dalam perubahan biologik, seperti biokimia, seluler dan jaringan,
yang berkaitan dengan rangsangan emosional dari korteks adrenal melalui
pelepasan hormone ACTH (Putra, 1993). Konsep psikoneuroimunologi bukan
merupakan penyatuan atas tiga hal (psiko, neuro dan imun), tetapi merupakan
komplementasi ketiga disiplin ilmu yang menetapkan sistem saraf sebagai
pusat titik tangkap. Atas dasar itu, maka setiap rangsangan digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 102 terhadap sistem saraf pusat yang
menyebabkan respons sekresi neurohormon akan memberikan perubahan
aktivitas pada sel tubuh. Beberapa neurohormonal yang diketahui adalah
ACTH, kortisol, katekolamin, endorphin, enkepalin dan somatostatin.
Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat
emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke
organ tubuh melalui saraf otonom. Jalur yang di lalui stres antara lain kelenjar
hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya
akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa
peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter
neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary
Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO
(Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme
yang paling banyak diteliti .
Rangsangan terhadap sistem saraf pusat akan menimbulkan sekresi
beberapa neurotransmitter, neuropeptide dan hormon untuk langkah
operasionalisasi reaksi adaptasi pada sel atau subselluler. Adanya kesamaan
titik tangkap pada tingkat sistem saraf pusat antara aspek fisik dan psikologik,
maka setiap stresor yang mengenai tubuh akan memberikan respons biologik
pada sistem saraf. Jadi kedua aspek fisik dan psikologik tersebut dapat
menimbulkan aktivitas biologik tubuh, termasuk respons ketahanan tubuh.
Stres dan sistem imun menerima berbagai input, termasuk stresor yang
akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular nucleus
paraventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan mensintesis
corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP), yang
akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisis anterior. Reseptor CRH
dan AVP akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensintesis
adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC
(propiomelanocortin) serta mengsekresikannya. Selanjutnya ACTH
mengaktifkan proses biosintesis dan melepaskan glukokortikoid dari korteks
adrenal, berupa kortisol. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang
diperantarai reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi
tubuh secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang
diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stresor.
Dengan demikian, pada kondisi stres, aksis HPA meningkat dan
glukokortikoid disekresikan walaupun kemudian kadarnya kembali normal
melalui mekanisme umpan balik negatif. Peningkatan glukokortikoid
umumnya disertai penurunan kadar androgen dan estrogen, karena
glukokortikoid dan steroid gonadal melawan efek fungsi imun. Stres pertama
akan menyebabkan baik imunodepresi (melalui peningkatan kadar
glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steroid
gonadal). Oleh karena rasio estrogen- androgen berubah maka stres
menyebabkan efek yang berbeda pada wanita dibanding pria. Pada penelitian
binatang percobaan, stres menstimulasi respons imun pada betina tetapi justru
menghambat respons tersebut pada jantan. Suatu penelitian menggunakan 63
tikus menunjukkan kadar testosteron serum meningkat bermakna dan birahi
betina terhadap pejantan menurun.
Wheaton (1983) membedakan stres akut dan kronik sedangkan Holmes
dan Rahe (1967) menekankan pembagian pada jumlah stres (total amount of
change) yang dialami individu yang sangat berpengaruh terhadap efek
psikologiknya. Ross dan Viowsky (1979) dalam penelitiannya berpendapat,
bahwa bukan jumlah stres maupun beratnya stres yang mempunyai efek
psikologik menonjol akan tetapi apakah stres tersebut diinginkan atau tidak
diinginkan (undesirable) yang mempunyai potensi digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 103 besar dalam menimbulkan efek
psikologik stres baik ringan, sedang maupun berat dapat menimbulkan
perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku. Besarnya respons
stres (McEwen, 1994) bukan hanya bergantung pada stresor dan individunya,
respons stres juga bergantung pada strategi yang diadopsi individu untuk
mengatasi stres (Pinel, 2009).
Salah satu faktor yang tampaknya penting adalah kemampuan individu
untuk dapat mengendalikan stres. Persepsi pengendalian memperantarai
pengaruh stres pada sistem imun manusia. Dalam satu penelitian terhadap
wanita dengan kanker payudara menemukan bahwa pasien yang pesimistik
memiliki kemungkinan lebih besar mengalami tumor baru dalam periode lima
tahun, bahkan setelah keparahan fisik penyakit mereka diperhitungkan.
B. Respon Spesifik HIV/AIDZ dan penyalah-gunaanNAPZA Respon biologis
Respon adaptif psiko spiritual
Penyalahgunaan Napza Di dalam masyarakat NAPZA /NARKOBA yang
sering disalah gunakan adalah :
1. Opioda, terdapat 3 golonagan besar :
a. Opioda alamiah (Opiat) : Morfin, Opium, Codein.
b. Opioda semisintetik : Heroin /putaw, Hidromorfin.
c. Opioda sintetik : Metadon. Nama jalanan dari Putauw : ptw, black
heroin, brown sugar. Heroin yang murni berbentuk bubuk putih,
sedangkan yang tidak murni berwarna putih keabuan. Dihasilkan dari
getah Opium poppy diolah menjadi morfin dengan proses tertentu
dihasilkan putauw yang kekuatannya 10 kali melebihi morfin.
Sedangkan opioda sintetik mempunyai kekuatan 400 kali lebih kuat
dari morfin. Morfin, Codein, Methadon adalah zat yang digunakan
oleh dokter sebagai penghilang sakit yang sangat kuat, misalnya pada
opreasi, penderita cancer.
Reaksi dari pemakaian ini sangat cepat yang kemudian
menimbulkan perasaan ingin menyendiri untuk menikmati efek
rasanya dan pada taraf kecanduan pemakai akan kehilangan percaya
diri hingga tak mempunyai keinginan untuk bersosialisasi. Pemakai
akan membentuk dunianya sendiri, mereka merasa bahwa
lingkungannya menjadi musuh.
2. Kokain Kokain berupa kristal putih, rasanya sedikit pahit dan lebih mudah
larut
a. Nama jalanan, koka, coke, happy dust, srepet, snow
b. Cara pemakainnya, membagi setumpuk kokain menjadi beberapa
bagian berbaris lurus diatas permukaan kaca atau alas yang
permukaannya datar kemudian dihirup dengan menggunakan
penyedot seperti sedotan atau dengan cara dibakar bersama dengan
tembakau. Penggunaan dengan cara dihirup akan beresiko kering dan
luka pada sekitar lubang hidung bagian dalam.
c. Efek pemakain kokain, pemakai akan merasa segar, kehilangan nafsu
makan, menambah percaya diri, dan dapat menghilangkan rasa sakit
dan lelah.
3. Kanabis
a. Nama jalanan, cimeng, ganja, gelek, hasish, marijuana, grass, Berasal
dari tanaman kanabis sativa atau kanabis indica.
b. Cara penggunaan, dihisap dengan cara dipadatkan menyerupai rokok
atau dengan menggunakan pipa rokok.
c. Efek rasa dari kanabi, tergolong cepat, pemakai cenderung merasa
lebih santai, rasa gembira berlebihan (euphoria), sering berfantasi /
menghayal, aktif berkomunikasi, selera makan tinggi, sensitive,
kering pada mulut dan tenggorokan.

Teori adaptasi Roy mengemukakan bahwa adaptasi dari jaringan atau


sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam
waktu lain menderita stres atau yang biasa disebut dengan mekanisme
regulator. Faktor pemahaman tentang cara penularan HIV & AIDS oleh
individu turut memengaruhi tingkat kecemasan. Hal ini dibuktikan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Anurmalasari, Karyono, & Dewi (2009)
yang melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa
terdapat hubungan antara pemahaman HIV & AIDS dengan kecemasan
tertular HIV & AIDS pada wanita tuna susila di Cilacap. Persepsi
individu dapat dibentuk bersumber dari banyak faktor seperti faktor
adanya peran kelompok dukungan sebaya.

Hal ini dibuktikan berdasar penelitian yang dilakukan Kamila &


Siwiendrayanti (2010) yang menyatakan terdapat hubungan yang kuat
dengan adanya peran dukungan sebaya dalam membentuk persepsi pada
sesama Orang Dengan HIV & AIDS (ODHA) untuk patuh dalam
mengonsumsi Anti-Retroviral Virus (ARV).

Walaupun sebagian kecil responden yang tidak tinggal serumah


dengan ODHA, tetapi mereka tetap yang merawat anggota keluarga yang
ODHA apabila terserang infeksi oportunistik di rumah sakit. Pemahaman
tentang cara penularan HIV dari responden sebagian besar diperoleh dari
peran serta kelompok sebaya dalam hal ini ODHA yang bekerja sosial di
bawah kendali Dinas Kesehatan Kabupaten. Dinas Kabupaten A
misalnya, mempunyai kader HIV & AIDS yang juga anggota perwakilan
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) cabang Kabupaten A.
Mereka sangat mengenal betul para ODHA di Kabupaten A dibuktikan
dengan interaksi yang cukup bersahabat baik pada ODHA maupun ke
keluarganya. Peran serta yang baik ini turut mendukung pemahaman
responden akan penyakit HIV & AIDS yang dialami anggota keluarga
mereka Hampir tidak ada perbedaan kadar kortisol responden dengan
anggota keluarga HIV & AIDS yang tertular saat TKI maupun nonTKI,
menunjukkan respons biologis (kortisol) dalam rentang normal. Dapat
dikatakan tidak ada kecemasan secara biologis pada responden baik
dengan anggota keluarga HIV & AIDS yang tertular saat TKI maupun
non-TKI.

Sebagian besar responden dengan anggota keluarga TKI penderita


HIV & AIDS respons psikologisnya berada dalam tahap bargaining.
Berbeda dengan responden dengan anggota keluarga HIV & AIDS non-
TKI yakni sebagian besar responden, respons psikologisnya berada dalam
tahap acceptance. Sebagian kecil responden dengan anggota keluarga
HIV & AIDS yang TKI dan non-TKI respons psikologisnya berada
dalam tahap depresi. Respons psikologis dalam tahap menerima dialami
oleh sebagian kecil responden dengan anggota keluarga HIV & AIDS
yang tertular saat menjadi TKI. Sebagian kecil saja responden dengan
anggota keluarga HIV & AIDS non-TKI yang respons psikologisnya
berada dalam tahap bargaining.

Respons adaptasi psikologis terhadap stresor menurut Kubler Ross


(1974) dalam Potter & Perry (2005) menguraikan lima tahap reaksi emosi
seseorang terhadap stresor yakni 1) pengingkaran; 2) marah; 3) tawar
menawar; 4) depresi; dan 5) menerima.

Adanya anggota keluarga yang terinfeksi HIV & AIDS dipandang


sebagai sumber stresor bagi responden, sehingga respons psikologis atau
tingkat penerimaan responden terhadap anggota keluarga yang terinfeksi
HIV & AIDS tidak hanya dilihat secara kualitatif dengan melihat kadar
kortisol, tapi juga dibuktikan secara kuantitatif menggunakan kuesioner
untuk melihat tahapan respons psikologis responden. Menurut peneliti,
terdapat perbedaan tahapan psikologis yang dicapai secara kuantitatif.
Pada responden dengan anggota keluarga yang terinfeksi HIV & AIDS
saat bekerja sebagai TKI berada dalam tahap bargaining. Tahap
bargaining menurut Kubler Ross mempunyai ciri antara lain marah-
marah telah berlalu, tidak ada manfaatnya menyesali yang terjadi, dan
mulai berpikir dan mempunyai niat atau bersikap tenang. Hal ini seperti
yang dialami salah satu responden yang menyatakan sering kali masih
takut dengan penyakit HIV & AIDS, namun jika melihat keadaan
anggota keluarganya yang terinfeksi HIV & AIDS saat ini yang dalam
keadaan sehat dan mampu mengurus keluarga dengan baik serta bisa
bekerja dengan berdagang makanan membuat responden ingin berperan
aktif merawat anggota keluarganya tersebut terbatas pada mengingatkan
untuk minum obat dan menjaga stamina.
Pada responden dengan anggota keluarga yang terinfeksi HIV &
AIDS nonTKI berada dalam tahap acceptance. Menurut peneliti terdapat
bukti yang sesuai antara yang dialami responden dengan ciri individu
berada dalam tahap acceptance menurut Kubler Ross. Ciri tersebut antara
lain responden lebih sabar dalam menerima anggota keluarga yang
terinfeksi HIV & AIDS dan berusaha melindungi anggota keluarga
tersebut dengan stigma-stigma masyarakat terkait adanya tetangga yang
mengerti penyakit apa yang dialami anggota keluarganya dan
menyebarkan isu ke yang lain.

Respons sosial responden dengan anggota keluarga terinfeksi HIV &


AIDS baik saat menjadi TKI dan non-TKI mengemukakan bahwa
terdapat sebagian besar responden dengan anggota keluarga HIV & AIDS
TKI mempunyai respons sosial dalam tahap emosi, sebagian kecil yang
berada dalam tahap cemas dan sosial yang baik. Responden dengan
anggota keluarga terinfeksi HIV & AIDS non-TKI terdapat sebagian
kecil responden respons sosialnya berada dalam tahap cemas, hampir
setengahnya dalam tahap emosi, dan setengahnya berada dalam tahap
sosial yang baik.

Respons adaptif sosial individu yang menghadapi stresor tertentu


menurut Stewart (1997) dibedakan dalam 3 aspek yang antara lain: 1)
stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang
harga diri individu; 2) diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV,
misalnya penolakan bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh
terhadap kondisi kesehatan; dan 3) terjadinya waktu yang lama terhadap
respons psikologis mulai penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan
depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan
pengobatan. Adanya dukungan sosial yang baik dari keluarga, teman,
maupun tenaga kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA. Hal
ini sesuai dengan penelitian oleh Payuk, Arsin, & Abdullah (2012)
tentang hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup ODHA
di daerah kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Jumpandang
Baru, Makasar. Bentuk dukungan sosial terutama kepada ODHA menurut
Nurbani & Zulkaida (2012) antara lain emotional support, informational
support, instrumental or tangible support, dan companionship support,
dukungan tersebut berdampak positif pada kehidupan ODHA. Untuk
kesehatan, ODHA menjadi lebih memperhatikan kesehatannya. Jika
dilihat dari dampak psikologis, ODHA menjadi memiliki motivasi, lebih
percaya diri dalam menjalankan sesuatu dan menjadi lebih ringan dalam
melakukannya. Adapun dampak sosial, ODHA menjadi lebih banyak
teman, merasa dirinya berarti, serta ODHA diikutsertakan dalam kegiatan
kelompok. Selain dampak tersebut, ada pula dampak perkerjaan yang
dapat mengoptimalkan kemampuannya, menjadikan kemampuan ODHA
bertambah, ODHA dapat mengevaluasi pekerjaannya serta mendapatkan
informasi yang dibutuhkan, sehingga ODHA dapat membantu dalam
memberikan informasi mengenai akses kesehatan kepada kelompok
anggota dukungan Selama pengambilan data berlangsung, pada
responden dengan anggota keluarga yang terinfeksi HIV & AIDS saat
bekerja sebagai TKI mempunyai respons sosial yang kurang sesuai
dengan yang ditunjukkan atau dihasilkan dari kuesioner berdasar data
secara kuantitatif. Responden memiliki interaksi sosial dengan
masyarakat sekitar yang baik. Peneliti hampir tidak pernah, walaupun
ada, melihat responden harus mengisolasi sosial dengan masyarakat
sekitar, sehingga merasa emosi dan cemas ketika melakukan interaksi
sosial dengan masyarakat sekitar terutama tetangga meskipun tetangga
mengetahui penyakit yang diderita anggota keluarga responden.

Responden mengetahui cara penularan virus ini dengan cukup baik


dari peran serta kelompok sebaya yang juga pemerhati ODHA yang
bersama Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten melakukan pendampingan
tidak hanya terhadap ODHA-nya sendiri tapi juga memberi pengetahuan
kepada responden tentang penularan penyakit HIV & AIDS. Hal ini
memengaruhi respons penerimaan responden akan anggota keluarga
mereka yang tertular HIV & AIDS saat bekerja sebagai TKI sehingga
responden tidak menjadi sumber stresor bagi ODHA melainkan menjadi
faktor pendukung bagi ODHA dalam meningkatkan kualitas hidup
ODHA.
Responden dengan anggota keluarga terinfeksi HIV & AIDS non-TKI
menunjukkan kegiatan interaksi sosial dengan masyarakat sekitar yang
baik. Beberapa responden terlibat dalam acara kemasyarakatan saat
peneliti melakukan pengambilan data. Walaupun juga terdapat responden
yang merasa malu untuk berinteraksi sosial karena telah diketahuinya
penyakit anggota keluarga mereka di masyarakat. Namun responden
tidak terbatasi interaksi sosialnya dengan kelompok lainnya. Seluruh
responden dari anggota keluarga HIV & AIDS yang tertular saat bekerja
sebagai TKI yang respons spiritualnya berada dalam tahap tabah.
Sedangkan pada responden dengan anggota keluarga HIV & AIDS
nonTKI terdapat sebagian kecil responden saja yang respons spiritualnya
berada dalam fase harapan dan sebagian besarnya dalam fase tabah.

Responss adaptif spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson


(2000) dalam Nursalam & Kurniawati (2007). Respons adaptif spiritual,
meliputi: 1) harapan yang realistis; 2) tabah dan sabar; dan 3) pandai
mengambil hikmah.

Gambaran respons spiritual responden dari kedua populasi ODHA


yang berbeda tersebut yang berada dalam fase tabah tergambar jelas saat
peneliti melakukan pengambilan data. Hampir seluruh responden
menyatakan tabah dan menerima anggota keluarganya yang terinfeksi
HIV & AIDS dan menjalani kehidupan seperti orang-orang biasa yang
lain. Bersikap seperti tidak ada yang terjadi, dalam artian dapat
melupakan diagnosis penyakit yang diterima anggota keluarganya.

C. Stigma Pada ODHA


Stigma pada ODHA bukan sekadar pemberian label negatif, tapi
berdampak negatif pada kehidupan ODHA, keluarga, dan upaya pemerintah
dalam mengatasi HIV/AIDS. Berikut ini dampak negatif stigma dan perilaku
diskriminatif pada ODHA yang perlu diketahui :
1) Melanggar hak asasi manusia. Di antaranya hak untuk bekerja,
membangun rumah tangga, mendapat akses pelayanan kesehatan dan
kehidupan yang layak.
2) Menutup kesempatan bagi ODHA untuk mengembangkan diri, termasuk
untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan yang layak.
3) Membuat ODHA mengasingkan diri. Yakni membuat ODHA
menyembunyikan status HIV positifnya dan mengasingkan diri dari
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
4) Menghambat program pemerintah dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS di masyarakat. Stigma membuat ODHA menyembunyikan
status HIV positifnya dan malu untuk memeriksa kesehatannya.
Akibatnya, ia tidak akan mendapat pengobatan dan perawatan yang bisa
meningkatkan risiko kematian ODHA dan penularan HIV/AIDS di
masyarakat.

Stigma pada ODHA tentu tidak bisa dibiarkan. Kesalahan informasi


tentang HIV/AIDS perlu dibenarkan untuk mencegah perilaku diskriminatif
pada ODHA agar tidak memperburuk kondisi ODHA. Karena seringkali,
penyebab kematian ODHA bukan penyakit yang diidapnya, tetapi perilaku
diskriminatif yang membuatnya kehilangan kesempatan untuk mendapat
pengobatan dan perawatan yang layak.

D. Konsep perilaku beresiko


a) Sex bebas
Perilaku seks bebas atau perilaku seksual pranikah menurut
Soetjiningsih (2004: 135-136) adalah segala tingkah laku remaja yang
didorong oleh hasrat baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis
yang dilakukan sebelum adanya hubungan resmi sebagai suami istri.
Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan, atau
diri sendiri.
Sarwono (2005: 142) menyatakan bahwa perilaku seksual adalah
segala tingkah laku yang didorong hasrat seksual baik dengan lawan
jenisnya maupun sesama jenisnya, sedangkan bentuk-bentuk dari
tingkah laku ini bisa bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik
sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama atau
melakukan hubungan seksual. Perilaku seksual merupakan akibat
langsung dari perubahan hormon dan kelenjar seks yang menimbulkan
dorongan seksual pada seseorang yang mencapai kematangan pada
masa remaja awal yang ditandai dengan adanya perubahan fisik.PKBI
(2000: 32), perilaku seksual adalah tingkah laku yang ditampilkan
seseorang untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Bentuk perilaku
seksual bermacam-macam, mulai dari bergandengan tangan,
berpelukan, bercumbu, sampai dengan berhubungan seks. Seks
pranikah sendiri dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual sebelum
adanya ikatan perkawinan yang sah, baik berhubungan seks yang
penetratif (penis dimasukkan ke dalam vagina, anus atau mulut)
maupun yang non-penetratif (penis tidak dimasukkan ke dalam vagina).
Seks bebas sangatlah berbahaya karena akan membuat berbagai
persoalan negatif terjadi pada individu. Persoalan negatif tersebut
meliputi masalah keperawanan, kehamilan, cibiran masyarakat,
keterkucilan diri, sampai pada perasaan dosa dan kutukan Tuhan.
Perilaku seksual adalah perilaku yang melibatkan sentuhan secara fisik
anggota badan antara laki-laki dan perempuan. Perilaku seks bebas itu
sendiri merupakan perilaku seks pranikah yang merupakan perilaku
seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut
hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing
individu. Perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh
dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual
melalui berbagai perilaku, contohnya berfantasi, masturbasi atau onani,
berpegangan tangan, cium pipi, berpelukan, dan sebagainya.
b) Penyalahgunaan NAPZA
Perilaku penggunaan narkotika secara ilegal, apapun bentuk dan
caranya, sangat berisiko terhadap kesehatan, baik laki-laki maupun
perempuan. Perilaku seksual berisiko dapat menyebabkan terjadinya
penularan infeksi HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya.
universitas Indonesia tahun 2000 mengungkapkan bahwa 33%
pengguna narkoba, psikotropika, dan zat adiktif (napza) suntik masih
aktif secara seksual dengan perilaku berisiko. Dari 33% pengguna
napza suntik dengan perilaku seksual berisiko, sebanyak 19,5%
melakukan hubungan seksual dengan pasangan tidak tetap dan 12,1%
berhubungan seksual dengan pasangan komersil. Dari 19,5% yang
melakukan perilaku seksual berisiko dengan pasangan tidak tetap, 90%
tidak menggunakan kondom. Sedangkan dari 12,1% berhubungan
seksual dengan pasangan komersil, 68% di antaranya tidak
menggunakan kondom.
kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun
tetap tinggi. Angka yang pernah menggunakan narkotika di populasi
diperkirakan sebesar 2,4% dengan laki-laki jauh lebih besar daripada
perempuan. Pada tahun 2011, prevalensi penyalahgunaan narkoba di
Indonesia sebesar 2,2 % atau sekitar 3,8 – 4,2 juta orang. Pengguna
narkotika di Indonesia mulai dari usia anak-anak sampai usia tua. Data
Badan Narkotika Nasional tahun 2011 mengungkapkan bahwa rentang
usia pengguna narkotika adalah 10 – 59 tahun dengan prevalensi paling
tinggi pada rentang usia 20 – 29 tahun sebesar 4,41%.3 Berdasarkan
laporan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012, baik
laki-laki maupun perempuan pengguna narkotika melakukan perilaku
hubungan seksual sebelum menikah, dengan proporsi laki-laki sebesar
19,1% dan perempuan 2,5%.
Dampak buruk yang sangat kompleks akibat penyalahgunaan
narkotika di usia dini mengakibatkan pelbagai masalah sosial dan
kesehatan di masa depan. Kecenderungan pengguna narkotika
melakukan perilaku seksual yang tidak aman dan belum waktunya juga
semakin memperparah kondisi kualitas hidup pecandu dan tentunya
berdampak besar pada kelangsungan hidup di masa depan. Dari
pelbagai permasalahan di atas, perlu dicari determinan perilaku seksual
berisiko di kalangan pecandu narkotika. Pelbagai penelitian tentang
narkotika telah dilakukan di masyarakat. Perbedaan dari penelitian ini
adalah masyarakat pecandu narkotika yang dirawat inap dan yang
direhabilitasi di rumah sakit sebagai responden. Kesadaran pecandu
narkotika untuk datang ke fasilitas pelayanan dan pusat rehabilitasi
merupakan hal positif yang dapat mencegah komorbiditas dan perilaku-
perilaku berisiko. Masyarakat yang menggunakan narkotika sejak dini
akan berdampak buruk dan menjadi beban berat bagi negara,
masyarakat dan keluarga pecandu narkotika. Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan mengetahui faktor determinan yang berhubungan dengan
perilaku seksual berisiko di kalangan pecandu narkotika.
Jur. Ilm. Kel. & Kons., Mei 2019, p : 100 - 113 Vol. 12, No.2
BAB III
PENELITIAN

ISSN : 1907 – 6037 e-ISSN : 2502 – 3594 DOI:http://dx.doi.org/10.24156/jikk.2019.12.2.100

PENGARUH PENGETAHUAN REMAJA TENTANG NAPZA DAN HIV SERTA


PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG PROGRAM PEMBANGUNAN
KELUARGA TERHADAP PERILAKU PENGGUNAAN NAPZA PADA REMAJA

Sri Lilestina Nasution1, Herien Puspitawati2*), Risda Rizkillah2, Mardiana Dwi Puspitasari1

1
Pusat Penelitian dan Pengembangan KB dan KS, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Jl. Permata 1
No.1 Jl. Halim Perdanakusuma, RT.4/RW.5, Kb. Pala, Makasar, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
13650, Indonesia Indonesia

2
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor
16680, Indonesia

*)
E-mail: herien_puspitawati@email.com

Abstrak

Perkembangan arus globalisasi yang begitu cepat menyebabkan remaja mengalami berbagai tantangan kehidupan.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh dari karakteristik remaja dan keluarga, pengetahuan remaja tentang NAPZA
(narkotika, psikotropika, dan zat adiktif), pengetahuan remaja tentang HIV, dan pengetahuan orang tua tentang
pembangunan keluarga terhadap Perilaku NAPZA. Metode penelitian ini menggunakan data sekunder Survei Indikator
Kinerja Program KKBPK RPJMN 2017 yang dirancang untuk menghasilkan estimasi parameter pada level provinsi dan
nasional. Unit analisis adalah remaja usia 15-24 tahun yang belum menikah di seluruh Indonesia. Analisis dalam studi ini
dilakukan secara deskriptif dan inferensial menggunakan regresi logistik. Secara garis besar ditemukan bahwa remaja yang
rentan terhadap perilaku NAPZA adalah remaja yang tinggal di perkotaan, berusia 20-24 tahun, jenis kelamin laki-laki,
berpendidikan dasar, indeks pengetahuan NAPZA menengah, dan indeks pengetahuan HIV menengah. Lebih lanjut, remaja
yang rentan terhadap perilaku NAPZA adalah remaja yang berasal dari keluarga dengan umur kepala keluarga kurang dari
40 tahun, tipe keluarga tidak utuh/tunggal, jenis kelamin kepala keluarga perempuan, tingkat pendidikan kepala keluarga
menengah-tinggi, keluarga dengan kuintil kekayaan terbawah, dan indeks pengetahuan orang tua pada program
pembangunan keluarga yang tinggi.

Keywords:pembangunan keluarga, pengetahuan HIV, pengetahuan NAPZA, perilaku NAPZA, remaja

The Influence of Adolescent’s Knowledge of Drug and HIV and Parent’s Knowledge of Family
Development Program on Adolescent’s Drug Using Behavior

Abstract

The rapid increasing flow of globalization causes young people (including adolescent) experience various challenges in life.
The present research proposes the role of demographic factors of young people and their family, young people’s knowledge
on drug abuse and HIV, and family’s knowledge about family development program in drug using among young people. This
study used secondary analysis of the 2017 Survey of Population, Family Planning and Family Development Program
Performance, National Medium Term Development Plan Year 2017 (KKBPK RPJMN 2017) which was designed to produce
parameter in Provincial and National levels.The unit of analysis was young people aged 15-24 years who have never been
married in Indonesia. Logistic regression was applied to analyze the inferential statistics. Results indicate that the risk
factors of young people which make them more likely to use drug are living in urban area, between the ages of 20-24 years,
male, having low education level, having moderate drug abuse and HIV knowledge indexes. The family contexts examining
Jur. Ilm. Kel. & Kons., Mei 2019, p : 100 - 113 Vol. 12, No.2
the risk factors are family whose head was under 40 years of age, single-parent family, family whose head was female,
family with moderate to high educational level, low level of family’s wealth, and high family development program index.

Keywords: drug abuse, drug abuse knowledge, family development program, HIV knowledge, young people

PENDAHULUAN keluarga dengan anak remaja (Duvall & Miller,


1985). Remaja merupakan generasi penerus
bangsa yang harus dipersiapkan dengan
maksimal. Tahapan keluarga dengan anak
Keluarga merupakan sekumpulan orang yang remaja menjadi salah satu tahapan kritis.
memiliki ikatan perkawinan, kelahiran, dan Beberapa tahapan kritis di antaranya peran
adopsi, dalam perkembangannya dibagi ke
dalam delapan tahapan, salah satunya adalah
harus ditindaklanjuti. Hasil penelitian Nisa dan
Afriani (2015) menyatakan bahwa hampir
orang tua terhadap kehidupan sosial anak sebagian remaja mendapatkan pengetahuan
semakin berkurang, anak tidak tertarik untuk NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif)
bertanya pendapat orang tua, dan cenderung dari berbagai sumber baik media seperti internet,
menyimpan rahasia (Peter, 2015). Pada televisi, koran dan majalah, orang tua dan guru
tahapan ini keluarga harus melakukan serta teman dan hanya variabel komunikasi
perlindungan dan pengasuhan anak yang orang tua remaja dan usia remaja yang memiliki
sesuai dengan tahapan remaja karena remaja hubungan signifikan dengan tingkat
berada dalam masa transisi baik secara fisik pengetahuan remaja terhadap NAPZA.
maupun sosial-psikologi. Usia anak remaja Penelitian lain menunjukkan bahwa faktor tempat
adalah 10-24 tahun melihat faktor kematangan tinggal juga turut memengaruhi tingkat
biologis dan faktor perannya dalam lingkungan penyalahgunaan obat di kalangan siswa.
sosial (Sawyer, Azzopardi, Wickremarathne, & Kemungkinan siswa yang tidak tinggal bersama
Patton, 2018). Faktor kematangan biologis orang tua mempunyai resiko 2,808 kali untuk
dalam hal ini ditandai dengan semakin terjerumus dalam penyalahgunaan obat (Afandi,
cepatnya masa pubertas, sementara pada Chandra, Novitasari, Widjaja, & Kurniawan,
saat yang bersamaan terjadi penundaan peran 2009).
sosial yang diakibatkan masa sekolah yang
semakin lama serta usia pernikahan yang Penggunaan narkoba, khususnya penggunaan
semakin tinggi. Namun pemerintah Indonesia jarum suntik bersama, erat kaitannya dengan
dalam hal ini BKKBN mengategorikan pemuda penyebaran kasus HIV/ AIDS. Pada tahun
berusia 15-24 tahun dan belum menikah. 2016, penyebaran kasus HIV positif (1,9%)
Remaja merupakan calon pemimpin bangsa dan AIDS (2,6%) disebabkan oleh pengguna
sehingga kualitas sumber daya manusia pada narkoba suntikan. Dari data tersebut
kelompok remaja harus berkualitas, yang mengindikasikan bahwa kondisi remaja saat ini
dapat ditunjukkan dari fisik dan psikososial sangat rentan dengan perilaku penylahagunan
yang baik, namun Lyold (2015) menyebutkan narkoba yang dapat mengakibatkan kasus HIV
bahwa masa remaja merupakan masa yang /AIDS. Oktarina, Hanafi, dan Budisuari (2009)
penuh tantangan dikarenakan masa transisi menyatakan bahwa masyarakat di wilayah
dari anak menuju dewasa serta pengaruh arus perkotaan cenderung berpengetahuan tentang
globalisasi. Arus globalisasi merupakan dua HIV/AIDS baik 0,4 kali dibandingkan wilayah
sisi mata pisau yang berlawanan, di satu sisi desa. Masyarakat dengan jenis kelamin laki-
berdampak pada pembangunan dan laki cenderung berpengetahuan tentang
peningkatan kualitas hidup, sementara di sisi HIV/AIDS baik 1,2 kali dibandingkan yang jenis
lainnya dapat menurunkan kualitas hidup kelamin perempuan.
remaja. Contohnya adanya premarital sexsual
yang diakibatkan meningkatnya masa sekolah Lickona (1991) menyatakan bahwa ada
dan usia pernikahan, penggunaan rokok dan sepuluh tanda-tanda kehancuran suatu
obat-obatan terlarang, serta hubungan seksual bangsa yang meliputi meningkatnya kekerasan
yang tidak aman di kalangan anak muda di di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan
kebanyakan negara miskin dan berkembang. kata-kata kotor, pengaruh kelompok teman
yang kuat dalam tindakan kejahatan,
Berdasarkan data Kemenkes (2017) meningkatnya perilaku merusak diri seperti
prevalensi penyalahgunaan narkoba di narkoba, seks bebas dan alkohol, semakin
kalangan pelajar dan mahasiswa di Indonesia kaburnya pedoman moral antara hal-hal yang
mengalami penurunan dari 2,9 persen di tahun baik dan buruk, penurunan etos kerja, semakin
2011 menjadi 1,9 persen di tahun 2016. Akan rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan
tetapi, survei penyalahgunaan dan peredaran guru, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai
gelap narkoba pada kelompok pelajar dan individu dan sebagai warga negara, semakin
mahasiswa hanya dilakukan di 18 provinsi di membudayanya nilai ketidakjujuran, dan
tahun 2016 serta angka 1,9 persen masih semakin meningkatnya rasa kebencian dan
Jur. Ilm. Kel. & Kons., Mei 2019, p : 100 - 113 Vol. 12, No.2
saling curiga. Konsisten dengan perspektif
ekologi Bronfenbrenner, Ennet et al., (2008)
menemukan bahwa pengaruh keluarga
sangat terkait erat dibandingkan dengan
pengaruh dari teman sebaya, sekolah dan
lingkungan dalam penyalahgunaan alkohol
dan obat- obatan terlarang oleh remaja.

Pengetahuan remaja tentang NAPZA dan


HIV, perilaku NAPZA remaja, dan
pengetahuan orang tua tentang program
pembangunan keluarga menjadi bagian
yang penting untuk dikaji karena masih
terjadinya penyebaran kasus HIV/AIDS yang
disebabkan oleh penggunaan narkoba.
Selain itu, bukti penelitian sebelumnya
menegaskan bahwa apabila orang tua tidak
berperan dengan baik maka kemungkinan
remaja untuk
102 NASUTION, PUSPITAWATI, RIZKILLAH, & PUSPITASARI Jur. Ilm. Kel. & Kons.

menyalahgunakan narkoba lebih besar.


Berdasarkan pemaparan tersebut, tujuan tangga beserta remaja pria serta perempuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh umur 15-24 tahun belum menikah pada rumah
dari karakteristik remaja, karakteristik keluarga, tangga terpilih.
pengetahuan remaja tentang NAPZA,
pengetahuan remaja tentang HIV, dan Variabel-variabel yang digunakan dalam
pengetahuan orang tua tentang program analisis dikelompokkan menjadi variabel tidak
pembangunan keluarga terhadap perilaku bebas dan variabel bebas. Variabel tidak
penggunaan NAPZA pada remaja. bebas yaitu penggunaan NAPZA sedangkan
variabel bebas meliputi wilayah tempat tinggal,
usia remaja, jenis kelamin remaja, tingkat
pendidikan remaja, kelompok umur kepala
METODE keluarga, jenis kelamin kepala keluarga,
tingkat pendidikan kepala keluarga, kuintil
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data kekayaan keluarga, tipe keluarga, indeks
sekunder Survei Indikator Kinerja Program pengetahuan remaja tentang NAPZA, indeks
Kependudukan, Keluarga Berencana, dan pengetahuan remaja tentang HIV, indeks
Pembangunan Keluarga Rencana Pembangunan pengetahuan orang tua tentang program
Jangka Menengah Nasional (KKBPK RPJMN) pembangunan keluarga.
2017 yang dirancang untuk menghasilkan
estimasi parameter pada level provinsi dan Analisis dalam studi ini dilakukan secara
nasional. Survei KKBPK RPJMN 2017 merupakan deskriptif dan inferensial. Analisis secara
survei berskala nasional yang dilaksanakan oleh deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi
Badan Keluarga Berencana Nasional di 34 remaja menurut karakteristik remaja dan
Provinsi. keluarga. Pada saat melakukan pengolahan
data pada variable dibuat scoring data,
Unit analisis adalah remaja pria dan perempuan kemudian hasil scoring tersebut dijumlahkan
usia 15-24 tahun dan belum menikah yang pada masing-masing variable. Skor total
merupakan salah satu di antaranya (anak kemudian ditransformasikan ke dalam skor
kandung anak tiri, anak angkat, anak asuh) yang indeks sebagai berikut:
menjadi tanggung jawab keluarga yang Total skor-skor terendah
bersangkutan serta
tinggal bersama selama 6 bulan terakhir.
Indeks= Skor tertinggi-skor terendah X 100
Responden remaja tercatat sebagai anggota
keluarga pada rumah tangga terpilih dan
memenuhi syarat sebagai remaja terpilih.
Setelah mendapatkan skor indeks setiap
Pengambilan sampel remaja dimulai dengan
variable, selanjutnya skor tersebut
menentukan klaster (yaitu sebanyak 1.912
dikelompokkan menjadi tiga kategori yang
klaster dari 514 kab/ kota di 34 provinsi),
ditentukan dengan menggunakan cut off
dengan total sampel sebanyak 66.920 rumah
pengkategorian yaitu <60 dikategorikan
tangga. Penentuan total sampel ditentukan
rendah, 60-79 dikategorikan sedang, dan ≥80
dengan metode Probability Proportionate to
dikategorikan tinggi. Analisis dilakukan dengan
Size (PPS) sampling, yaitu ditentukan 35
menggunakan tabulasi silang dan analisis
rumah tangga dari setiap klaster. Kemudian
tipologi berdasarkan pengetahuan NAPZA
dari 66.920 rumah tangga terpilih, yang
dengan perilaku NAPZA dan pengetahuan
berhasil ditemui sebanyak 66.672 rumah
orang tua tentang pembangunan keluarga
tangga. Dari 66.672 rumah tangga terpilih dan
dengan perilaku NAPZA yang dilihat
berhasil diwawancarai, diambil remaja berusia
berdasarkan jenis kelamin remaja dan wilayah
15-24 tahun yang belum menikah dari rumah
tempat tinggal remaja. Cut off yang digunakan
tangga tersebut (diperoleh sebanyak 27.187
dalam analisis tipologi ada dua, yaitu kategori
remaja yang memenuhi syarat). Tetapi yang
rendah-sedang (< 80) dan tinggi (≥ 80).
berhasil diwawancarai dan menjadi
sampel/contoh adalah 23.821 remaja (tidak
tertimbang) atau 23.878 remaja dengan Analisis secara inferensial dilakukan dengan
sampel tertimbang. uji statistik chi-square untuk mengetahui
hubungan antara masing-masing variabel
independen dengan variabel dependen yang
Pengumpulan data dilakukan oleh enumerator
dianalisis secara bivariat. Analisis inferensial
yang telah mendapatkan pelatihan dengan
lainnya menggunakan model regresi logistik
metode wawancara dan menggunakan
yang digunakan untuk melihat hubungan
smartphone di setiap klaster terpilih yang
beberapa variabel independen terhadap
tersebar di 34 provinsi. Pengumpulan data
variabel dependen.
diselesaikan sampai mencapai 35 rumah
Vol. 12, 2019 PENGETAHUAN REMAJA DAN ORANG TUA SERTA PENGGUNAAN NAPZA 103

dengan tingkat pendidikan menengah-tinggi


(SMA ke atas) tercatat 34,5 persen dan 28
HASIL persen pada kepala keluarga berjenis kelamin
perempuan. Angka tersebut menunjukkan
Karakteristik Remaja bahwa kepala keluarga berjenis kelamin laki-
laki relatif memiliki tingkat pendidikan yang
Usia remaja. Berdasarkan hasil penelitian, lebih baik dibandingkan kepala keluarga
total remaja laki-laki dalam studi ini sebanyak perempuan. Selanjutnya, kepala keluarga
13.238 jiwa (55,4%) dan remaja perempuan yang bertempat tinggal di perkotaan memiliki
sebanyak 10.640 jiwa (44,6%). Remaja laki- tingkat pendidikan menengah-tinggi (SMA ke
laki maupun remaja perempuan berada pada atas) sebesar 50,2 persen, dibandingkan
kategori rentang usia 15-19 tahun (64,8%) dan dengan kepala keluarga yang bertempat
(70,4%) dengan proporsi terbesar pada tinggal di wilayah perdesaan yaitu sebesar
kategori usia 20-24 (35,2% perempuan dan 21,8 persen.
29,6% laki-laki). Rata-rata usia remaja laki-laki
18,56 tahun dan peremuan 18,20 tahun. Tipe keluarga. Berdasarkan hasil penelitian,
hampir seluruh kepala keluarga berjenis
Pendidikan remaja. Berdasarkan tingkat kelamin laki-laki memiliki keluarga utuh
pendidikan, lebih dari separuh remaja laki-laki (97,0%) sedangkan kepala keluarga dengan
dan perempuan memiliki tingkat pendidikan jenis kelamin perempuan memiliki keluarga
menengah-tinggi (SMA/SMK/MA ke atas) tidak utuh sebesar 81,7 persen. Lebih lanjut,
dengan masing-masing 65 persen dan 76 kepala keluarga yang tinggal di perkotaan
persen. Remaja yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan proporsi terbesarnya
maupun di perdesaan memiliki tingkat adalah memiliki tipe keluarga yang utuh
pendidikan menengah-tinggi masing-masing (87,7% dan 88,5%).
dengan proporsi 78 persen dan 64 persen.
Kuintil kekayaan keluarga. Hasil penelitian
seperti yang tersaji pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa lebih dari separuh kepala keluarga
Karakeristik Keluarga yang berjenis kelamin laki-laki maupun
perempuan berada pada kelompok kuintil
Usia kepala keluarga. Berdasarkan hasil penelitian, kekayaan menengah ke atas (64,0% dan
21.195 (89,0%) kepala keluarga 57,0%). Sementara itu, sepertiga keluarga
dengan kepala keluarga berjenis kelamin laki-
berjenis kelamin laki-laki dan 2.683 (11,0%) laki (35,7%) dan dua dari lima (43,4%)
berjenis kelamin perempuan. Selain itu, hampir keluarga dengan kepala keluarga berjenis
separuh kepala keluarga berjenis kelamin laki- kelamin perempuan masuk dalam kuintil
laki berada pada rentang usia 40-49 tahun kekayaan menengah bawah hingga terbawah.
(47%) sedangkan kepala keluarga berjenis Tabel 1 juga menunjukkan bahwa empat dari
kelamin perempuan proporsi terbesar berada lima kepala keluarga (83,1%) yang tinggal di
pada rentang usia 50-59 tahun (41%). Rata- perkotaan masuk dalam kuintil kekayaan
rata usia kepala keluarga berjenis kelamin laki- keluarga menengah hingga teratas. Kepala
laki 49,63 tahun dan berjenis kelamin keluarga yang tinggal di perdesaan
perempuan 49,97 tahun. separuhnya (51,0%) masuk dalam kuintil
kekayaan keluarga menengah ke bawah.
Pendidikan kepala keluarga. Kepala
keluarga baik yang berjenis kelamin laki-laki
maupun perempuan lebih banyak yang
memiliki tingkat pendidikan dasar, masing-
masing 66 persen dan 72 persen. Sementara
kepala keluarga berjenis kelamin laki-laki

Tabel 1 Distribusi persentase kepala keluarga menurut kuintil kekayaan, jenis kelamin dan
wilayahtempat tinggal
Jenis kelamin KK Daerah tempat tinggal
Kuintil
Laki-laki Perempuan Perkotaan Perdesaan
kekayaan
n % n % n % n %
Terbawah 3.652 17,2 580 21,6 520 5,2 3.712 26,9
Menengah
3.921 18,5 585 21,8 1.188 11,8 3.318 24,1
bawah
Menengah 4.454 21,0 594 22,1 1.935 19,2 3.112 22,6
Menengah
4.598 21,7 465 17,3 2.603 25,8 2.461 17,8
atas
Teratas 4.571 21,6 459 17,1 3.837 38,1 1.192 8,6
Total 21.195 100,0 2.683 100,0 10.084 100,0 13.794 100,0
104 NASUTION, PUSPITAWATI, RIZKILLAH, & PUSPITASARI Jur. Ilm. Kel. & Kons.

Tabel 2 Sebaran dan uji beda pengetahuan NAPZA, Pengetahuan HIV, dan Pengetahuan Orang tua
tentang Pembangunan Keluarga
Rendah Sedang Tinggi Rata-
Kategorisasi t p-value
Rata
n % n % n %
Pengetahuan NAPZA
Laki-laki 5.455 41,2 3.733 28,2 4.051 30,6 26,03
-4.977 0,000**
Perempuan 4.117 38,7 2.984 28,0 3.539 33,3 27,17
Kota 3.790 37,6 3.000 29,7 3.294 32,7 27,44
6.807 0,000**
Desa 5.782 41,9 3.717 26,9 4.296 31,1 25,88
Pengetahuan HIV
Laki-laki 5.455 41,2 3.733 28,2 4.051 30,6 73,19
-8.615 0,000**
Perempuan 4.117 38,7 2.984 28,0 3.539 33,3 76,78
Kota 3.790 37,6 3.000 29,7 3.294 32,7 80,83
Desa 5.782 41,9 3.717 26,9 4.296 31,1 70,38 25.185 0,000**
Pengetahuan Orang tua tentang Pembangunan Keluarga
Laki-laki 2.958 22,3 5.781 43,7 4.500 34,0 32,62
-2.983 0,003**
Perempuan 2.174 20,4 4.705 44,2 3.762 35,4 33,64
Kota 1.377 13,7 4774 47,3 3.932 39,0 36,80
Desa 3.755 27,2 5711 41,4 4.329 31,4 30,35 18,825 0,000**

signifikan.
Remaja perempuan memiliki rata-rata indeks
pengetahuan (76,78) lebih tinggi dibandingkan
Pengetahuan Remaja remaja laki-laki (73,19). Berdasarkan hasil uji beda
pengetahuan tentang HIV secara total berdasarkan
tentang NAPZA wilayah, terdapat perbedaan yang sangat signifikan
yang mana remaja di wilayah perkotaaan memiliki
Berdasarkan sebaran pengetahuan remaja pengetahuan (80,83) yang lebih baik dibandingkan
tentang NAPZA (Tabel 2), sepertiga remaja remaja di wilayah desa (70,38). Berdasarkan
perempuan (33,3%) dan hampir sepertiga remaja kategorisasi pengetahuan tentang HIV, baik remaja
laki-laki (30,6%) memiliki pengetahuan tentang yang tinggal di perkotaan maupun diperdesaan lebih
NAPZA pada kategori tinggi. Berdasarkan hasil uji banyak masuk pada kategori rendah, masing-
beda, pengetahuan tentang NAPZA antara remaja masing 37,6 persen dan 41,9 persen.
laki-laki dan perempuan berbeda sangat
signifikan. Remaja perempuan memiliki
pengetahuan lebih tinggi (rata-rata indeks 27,17)
dibandingkan remaja laki-laki (rata-rata indeks Pengetahuan Orang tua
26,03). Sementara itu, hasil uji beda total
pengetahuan tentang NAPZA berdasarkan tentang Program
wilayah tempat tinggal remaja menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan antara
Pembangunan Keluarga
wilayah kota (27,44) dan desa (25,88).
Pengetahuan remaja tentang NAPZA di wilayah Tabel 2 sebaran pengetahuan orang tua tentang
kota lebih tinggi dibandingkan remaja di wilayah pembangunan keluarga, hampir separuh orang
desa. Selain itu, hampir sepertiga remaja di kota tua remaja laki-laki (43,7%) dan perempuan
(32,7%) dan desa (31,1%) memiliki pengetahuan (44,2%) memiliki pengetahuan tentang
NAPZA pada kategori tinggi, namun 37,6 persen pembangunan keluarga pada kategori sedang.
remja di wilayah kota dan 41,9 persen di wilayah Penelitian menemukan adanya perbedaan yang
desa masih masuk pada kategori pengetahuan signifikan antara orang tua remaja perempuan
NAPZA yang masih rendah. (33,64) yang mana pengetahuannya lebih baik
dibandingkan orang tua remaja laki-laki (32,62).
Selanjutnya, orang tua remaja di wilayah
Pengetahuan Remaja perkotaan (36,80) memiliki pengetahuan lebih
baik dibandingkan orang tua remaja di wilayah
tentang HIV perdesaan (30,35). Hampir separuh orang tua
remaja di wilayah perkotaan (47,3%) dan orang
Berdasarkan sebaran pengetahuan tentang HIV tua remaja di wilayah perdesaan (41,4%) memiliki
(Tabel 2), hampir separuh remaja laki-laki (41,2%) pengetahuan tentang program pembangunan
dan perempuan (38,7%) memiliki pengetahuan keluarga pada kategori sedang.
tentang HIV pada kategori rendah. Hasil uji beda
menunjukkan pengetahuan HIV antara remaja
laki-laki dan perempuan berbeda secara
Vol. 12, 2019 PENGETAHUAN REMAJA DAN ORANG TUA SERTA PENGGUNAAN NAPZA 105

Tabel 3 Uji Beda Perilaku NAPZA berdasarkan jenis kelamin dan wilayah
Pertanyaan Rata-rata p-value Rata-rata p-value
Laki-laki Perempuan Kota Desa
Pernah mencoba 0,12 0,05 0,000** 0,08 0,09 0,099
mengonsumsi NAPZA

Dua dari lima orang tua remaja di wilayah


perkotaan (39,0%) dan hampir sepertiga orang Sementara itu, berdasarkan Gambar 2, tipe
tua remaja di wilayah perdesaan (31,4) tiga yaitu pengetahuan orang tua tentang
memiliki pengetahuan tentang program program pembangunan keluarga yang tinggi
pembangunan keluarga pada kategori tinggi. dengan perilaku NAPZA yang rendah memiliki
persentase terbanyak yaitu 69,6 persen pada
remaja laki-laki dan 76,6 persen pada remaja
perempuan. Selain itu, terdapat 9,9 persen
Perilaku NAPZA Remaja keluarga remaja laki-laki dan 4,7 persen
keluarga remaja peremuan yang memiliki
pengetahuan orang tua tentang program
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir pembangunan keluarga yang tinggi dan
seluruh (91,5%) remaja tidak pernah mencoba perilaku remaja dalam penggunaan NAPZA
mengonsumsi NAPZA. Hanya 8,5 persen yang tinggi.
remaja yang mengaku pernah mencoba
NAPZA. Hasil uji beda menunjukkan bahwa Tipologi Pengetahuan Orang
terdapat perbedaan yang sangat signifikan
(α=0,000) antara remaja laki-laki dengan
tua tentang Pembangunan
remaja perempuan, remaja laki-laki (0,12)
lebih banyak yang pernah mencoba
Keluarga dengan Perilaku
mengonsumsi NAPZA dibandingkan remaja NAPZA
perempuan (0,05). Berdasarkan wilayah,
remaja di wilayah perdesaan (0,09) lebih
banyak yang pernah mengonsumsi NAPZA
Berdasarkan Gambar 3, sebanyak 61,0 persen
dibandingkan remaja di wilayah perkotaan
remaja di wilayah kota dan 55,8 persen remaja
(0,08), namun tidak berbeda signifikan.
di wilayah desa masuk pada tipe 3 yaitu
memiliki pengetahuan remaja tentang NAPZA
Tipologi Pengetahuan kategori tinggi dan perilaku remaja dalam
menggunakan NAPZA yang tinggi. Namun,
NAPZA dan HIV dengan masih terdapat masing-masing 5,8 persen di
wilayah kota dan di wilayah desa yang masuk
Perilaku NAPZA pada kategori tipe 2 yaitu pengetahuan
NAPZA tinggi namun perilaku NAPZA nya
tinggi.
Berdasarkan Gambar 1, sebanyak 54,8 persen
remaja laki-laki dan 62,4 persen remaja
perempuan masuk pada tipe 3 yaitu memiliki P
pengetahuan NAPZA tinggi dan perilaku
NAPZA yang rendah. Namun masih terdapat N
2
7,6 persen remaja laki-laki dan 3,5 persen Tipe 1
Tipe 2
remaja perempuan yang masuk pada kategori
Remaja Laki-laki 2,2 %
tipe 2 yaitu pengetahuan NAPZA tinggi namun Remaja Perempuan 0,6% Remaja Laki-laki 9,9%

Remaja Perempuan 4,7%

perilaku NAPZA nya juga tinggi.


Vol. 12, 2019 PENGETAHUAN REMAJA DAN ORANG TUA SERTA PENGGUNAAN NAPZA 105

POR 1
Tipe 4
PN2 Tipe 3

Tipe 1 Remaja Laki-laki 18,3%


Tipe 2 Remaja Laki-laki 69,6%

Remaja Laki-laki 4,5% Remaja Perempuan 18,3%


Remaja Laki-laki 7,6%
Remaja Perempuan 76,6%

Remaja Perempuan 1,8%


Remaja Perempuan 3,5%

PNH1 P
Tipe 4 PNH2 N
Remaja Laki-laki 33,1% Tipe 3 1
Remaja Perempuan 32,3% Remaja Laki-laki 54,8%
Remaja Perempuan 62,4%
Gambar 2 Tipologi Pengetahuan Orang
tuatentang Pembangunan
PN1 Keluarga dengan Perilaku
NAPZA Berdasarkan Jenis
Gambar 1 Tipologi Pengetahuan NAPZA dan Kelamin
HIV dengan Perilaku NAPZA
Berdasarkan Jenis Kelamin Keterangan

Keterangan: POR2= Pengetahuan Orang tua tentang Pembangunan Keluarga


sedang-tinggi
PNH2= Pengetahuan NAPZA sedang-tinggi; PNH1= Pengetahuan
NAPZA rendah; PN2= Perilaku NAPZA sedang- tinggi; PN1= POR1= Pengetahuan Orang tua tentang Pembangunan
Perilaku NAPZA rendah Keluargarendah

PN2= Perilaku NAPZA sedang-tinggi


PN1= Perilaku NAPZA rendah
106 NASUTION, PUSPITAWATI, RIZKILLAH, & PUSPITASARI Jur. Ilm. Kel. & Kons.

PN 2 Tipe 1Tipe 2
POR 1
Kota 2,9 %Kota 5,8 %
Desa 3,6%Desa 5,8%

Tipe 4Tipe 3

POR 2
Kota 30,3%Kota 61,0%
PNH 1 Desa 34,8%Desa 55,8% PNH 2

PN 1
PN1
Gambar 3 Tipologi Pengetahuan
Gambar 4 Tipologi Pengetahuan
Pengetahuan Orang tua tentang
Pengetahuan Orang tua tentang
Pembangunan Keluarga dengan
Pembangunan Keluarga dengan
Perilaku NAPZA Berdasarkan
Perilaku NAPZA Berdasarkan
Wilayah
Wilayah
Keterangan

PNH2= Pengetahuan NAPZA sedang-tinggi Keterangan


PNH1= Pengetahuan NAPZA rendah PN2= POR2= Pengetahuan Orang tua tentang Remaja sedang- tinggi
Perilaku NAPZA sedang-tinggi
POR1= Pengetahuan Orang tua tentang Remaja rendah PN2=
PN1= Perilaku NAPZA rendah Perilaku NAPZA sedang-tinggi; PN1= Perilaku NAPZA rendah

Gambar 4 menunjukkan bahwa tipe tiga yaitu


pengetahuan orang tua tentang program
pembangunan keluarga yang tinggi dengan
perilaku remaja dalam menggunakan NAPZA
yang tinggi memiliki persentase terbanyak
yaitu 79,6 persen pada keluarga remaja di
wilayah perkotaan dan 66,8 persen pada
keluarga remaja di wilayah perdesaan. Namun
masih terdapat 7,8 persen keluarga remaja di
wilayah perkotaan dan 7,4 persen keluarga
remaja di wilayah perdesaan yang memiliki
pengetahuan orang tua tentang program
pembangunan keluarga yang tinggi dan
perilaku remaja dalam menggunakan NAPZA
yang tinggi.

P
N
2
Tipe 1
Kota 0,9% Tipe 2
Desa 2,0% Kota 7,8%
Desa 7,4%

Tipe 4 Tipe 3
Kota 11,7% Kota 79,6%
Desa 23,8% Desa 66,8%
106 NASUTION, PUSPITAWATI, RIZKILLAH, & PUSPITASARI Jur. Ilm. Kel. & Kons.
keluarga secara signifikan berpengaruh
terhadap perilaku penggunaan NAPZA pada
remaja (Tabel 4). Wilayah tempat tinggal
Uji Kesesuaian Model berpengaruh positif terhadap probabilitas
menggunakan NAPZA. Probabilitas remaja
Regresi Logistik yang bertempat tinggal di perkotaan 1,18 lebih
tinggi menggunakan NAPZA dibandingkan
remaja yang ada di perdesaan. Hasil uji beda
pada Tabel 3 sebelumnya, menyatakan bahwa
Nilai -2 log likelihood digunakan untuk uji
remaja yang tinggal di perdesaan sedikit lebih
keseluruhan model (overall model fit test)
banyak yang mengkonsumsi NAPZA dari
dalam menilai model yang telah
remaja yang tinggal di perkotaan, namun hasil
dihipotesiskanP. NHHa2sil uji menemukan
ini tidak signifikan.
terjadi penurunan -2 log likelihood setelah
dimasukkan variabel independen dari
22.124,156 menjadi 17.547,436 sehingga
model regresi logistik yang digunakan
merupakan yang model fit. Uji estimasi
parameter secara serentak pada analisis
regresi logistik biner menghasilkan nilai Chi-
square sebesar 19.570,115 dengan nilai
signifikansi 0,00 dibawah nilai p-value (0,05).
Artinya, minimal ada satu variabel
independen yang signifikan memengaruhi
variabel dependen. Selanjutnya, pengujian
koefisien determinasi pada regresi logistik
menggunakan pendekatan dengan nilai
Nagelkerke R-Square sebesar 0,638, yang
artinya variabilitas variabel dependen yang
dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel
independen sebesar 63,8 persen. Hasil
classification table menunjukkan secara
keseluruhan ketepatan model sebesar 86,5
persen.

Pengaruh karakteristik
remaja, orang tua, wilayah
tempat tinggal,
pengetahuan tentang
NAPZA, pengetahuan
tentang HIV, dan
pengetahuan orang tua
tentang pembangunan
keluarga terhadap perilaku
NAPZA

Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan


bahwa hasil analisis regresi biner logistik
menjelaskan bahwa semua variabel
independen yaitu wilayah tempat tinggal,
usia remaja, jenis kelamin remaja. tingkat
pendidikan remaja, kelompok umur kepala
keluarga, jenis kelamin kepala keluarga,
tingkat pendidikan kepala keluarga, kuintil
kekayaan, tipe keluarga, indeks
pengetahuan NAPZA, indeks pengetahuan
HIV, indeks pengetahuan pembangunan
Vol. 12, 2019 PENGETAHUAN REMAJA DAN ORANG TUA SERTA PENGGUNAAN NAPZA 107

Tabel 4 Pengaruh karakteristik remaja, orang tua, wilayah tempat tinggal, pengetahuan tentang
NAPZA, pengetahuan tentang HIV, dan pengetahuan orang tua tentang
pembangunankeluarga terhadap perilaku NAPZA
Variabel Koefisien β Sig. Exp (β)
Daerah Tempat Tinggal
Perkotaan 0,17 0,00* 1,18
Perdesaan** - 1,00
Usia Remaja
15-19** - 1,00
20-24 0,99 0,00* 2,68
Jenis Kelamin Remaja
Perempuan** - 1,00
Laki-laki 0,28 0,00* 1,32
Tingkat pendidikan Remaja
Pendidikan Dasar 1,03 0,00* 2,80
Pendidikan Menengah-tinggi** - 1,00
Kelompok Umur Kepala Keluarga
<40 tahun 0,65 0,00* 1,92
40-49 tahun -1,15 0,00* 0,32
50-59 tahun -1,17 0,00* 0,31
>60 tahun** - 1,00
Jenis Kelamin Kepala Keluarga
Laki-laki** - 1,00
Perempuan 1,26 0,00* 3,52
Tingkat pendidikan Kepala Keluarga
Pendidikan Dasar -0,96 0,00* 0,38
Pendidikan Menengah-Tinggi** - 1,00
Kuintil Kekayaan
Terbawah 0,36 0,00* 1,43
Menengah bawah 0,23 0,00* 1,26
Menengah 0,11 0,07 1,12
Menegah Atas 0,07 0,24 1,08
Teratas** - 1,00
Tipe Keluarga
Keluarga Utuh** - 1,00
Lainnya/Tidak Utuh 0,92 0,00* 2,52
Indeks Pengetahuan NAPZA
Rendah -0,49 0,00* 0,60
Menengah 0,13 0,00* 1,14
Tinggi** - 1,00
Indeks Pengetahuan HIV
Rendah 0,23 0,00* 1,27
Menengah 0,31 0,00* 1,37
Tinggi** - 1,00
Indeks Pengetahuan Pembangunan Keluarga
Rendah 0,02 0,61 1,03
Menengah -0,21 0,00* 0,80
Tinggi** - 1,00
Keterangan:
* = signifikan pada α=0,01
** = kategori referensi
Setelah diuji lebih lanjut dengan analisis menggunakan NAPZA dibandingkan dengan
regresi biner logitik yang melibatkan variabel remaja perempuan dan remaja dengan tingkat
independen lainnya di temukan bahwa remaja pendidikan dasar juga cenderung
di perkotaan secara signifikan lebih banyak menggunakan NAPZA sebesar 2,8 kali
mengkonsumsi NAPZA. Usia remaja juga dibandingkan dengan tingkat pendidikan tinggi.
berpengaruh positif terhadap probabilitas
menggunakan NAPZA. Remaja yang masuk Hasil lain juga menunjukkan bahwa remaja
kategori usia 20-24 memiliki kecenderungan yang berasal dari keluarga dengan kepala
menggunakan NAPZA 2,68 kali dibandingkan keluarga masuk dalam kategori usia <40 tahun
remaja yang berusia 15-19 tahun. Remaja laki- lebih cenderung menggunakan NAPZA
laki 1,32 kali lebih cenderung untuk daripada remaja yang memiliki kepala
108 NASUTION, PUSPITAWATI, RIZKILLAH, & PUSPITASARI Jur. Ilm. Kel. & Kons.

keluarga usia >60 tahun. Sementara remaja dalam membentuk kualitas sumber daya
yang memiliki kepala keluarga usia 40-49 manusia. Bronfenbrenner menyajikan model
tahun serta 50-59 tahun memiliki probabilitas pandangan dari segi ekologi dalam mengerti
masing-masing 0,3 kali kurang cenderung proses sosialisasi anak-anak. Model tersebut
menggunakan NAPZA. Jenis kelamin kepala menempatkan posisi anak pada pusat di
keluarga berpengaruh positif terhadap dalam model yang secara langsung dapat
penggunaan NAPZA. Remaja yang yang berinteraksi dengan lingkungan mikrosistem
berasal dari keluarga dengan kepala keluarga (keluarga, sekolah, teman sebaya, dan
berjenis kelamin perempuan 3,5 kali lebih tetangga), lingkungan mesosistem, lingkungan
tinggi menggunakan NAPZA dibandingkan exosystem dan lingkungan makrosistem
dengan remaja yang berasal dari keluarga (Klein & White, 1996).
dengan kepala keluarga berjenis kelamin laki-
laki. Sementara, remaja yang memiliki kepala Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja
keluarga berpendidikan rendah 0,38 kali yang rentan terhadap perilaku NAPZA adalah
kurang cenderung untuk menggunakan remaja yang tinggal di perkotaan. Kondisi ini
NAPZA dibandingkan yang berpendidikan kemungkinan dapat disebabkan karena orang
tinggi. tua remaja yang tinggal di perkotaan memiliki
penghasilan yang lebih tinggi sehingga
Kuintil kekayaan dan tipe keluarga juga peluang remaja untuk mendapatkan narkoba
berpengaruh positif terhadap penggunaan lebih besar. Selain itu, kemudahan dalam
NAPZA. Remaja yang berasal dari keluarga penyebaran distribusi obat-obatan terlarang di
dengan kuintil kekayaan terbawah memiiki suatu wilayah juga menyebabkan tingginya
peluang 1,43 kali cenderung untuk penggunaan NAPZA. Hasil penelitian ini
menggunakan NAPZA. Begitu juga remaja sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
yang berasal dari keluarga dengan kuintil Tutussaus dan Balic (2016) yang menyatakan
kekayaan menengah bawah lebih cenderung bahwa penggunaan NAPZA oleh remaja lebih
menggunakan NAPZA sebesar 1,26 kali banyak ditemukan di daerah perkotaan
dibandingkan dengan remaja yang berasal dari dibandingkan di daerah perdesaan. Hasil ini
kuintil teratas. Lebih lanjut, remaja yang bertentangan dengan preposisi yang diajukan
berasal dari keluarga lainnya/tidak utuh oleh Keyes, Cerda, Brady, Havens, & Galea,
memiliki probabilitas 2,52 kali menggunakan (2014) mengatakan bahwa remaja pengguna
NAPZA dari remaja dengan keluarga utuh. NAPZA lebih banyak ditemukan di perdesaan.
Hasil ini menunjukkan rentannya remaja
menngunakan NAPZA jika berasal dari Selain itu, remaja yang rentan terhadap
keluarga yang tidak utuh. perilaku NAPZA berasal dari keluarga dengan
umur kepala keluarga kurang dari 40 tahun.
Selain itu, remaja yang memiliki indeks Remaja yang menjadi responden pada survei
pengetahuan NAPZA yang rendah memiliki RPJMN 2017 adalah mereka yang belum
probabilitas 0.6 kali kurang cenderung menikah dan berusia 15-24 tahun. Artinya, jika
menggunakan NAPZA namun remaja yang remaja yang menjadi responden adalah anak
memiliki indeks pengetahuan NAPZA yang pertama maka kepala keluarga dari remaja
sedang 1,14 kali lebih cenderung untuk tersebut menikah pertama kali pada rentang
menggunakan NAPZA. Sementara remaja usia antara 15-24 tahun. Hal tersebut
dengan pengetahuan HIV yang rendah dan mengindikasikan bahwa remaja yang
sedang lebih cenderung untuk menggunakan cenderung menggunakan NAPZA berasal dari
NAPZA dengan probabilitas 1,27 kali dan 1,37 keluarga yang menikah muda. Pernikahan
kali dari remaja yang memiliki indeks yang terjadi pada usia yang masih sangat
pengetahuan HIV tang tinggi. Selanjutnya, muda akan rentan pada permasalahan sosial
remaja dengan orang tua yang memiliki dan mental, termasuk kekerasan dalam rumah
pengetahuan tentang program pembangunan tangga dan penggunaan NAPZA (Hovdestad ,
keluarga sedang lebih kurang cenderung Shields, Williams, & Tonmyr, 2015). Bahkan
menggunakan NAPZA 0,8 kali sebesar 1,03 anak-anak dari pasangan usia muda juga
kali dari remaja dengan orang tua dengan rentan untuk tidak mendapatkan kasih sayang
indeks pengetahuan tentang program dari orang tua mereka, beresiko pada
pembangunan keluarga yang tinggi. penggunaan minuman keras/alkohol bahkan
melakukan hubungan seksual di usia yang
masih sangat muda (Cavazos et al., 2010).

PEMBAHASAN Remaja berusia 20-24 tahun, berjenis kelamin


laki-laki,dan berpendidikan dasar juga rentan

Pandangan teori ekologi keluarga dapat


dikaitkan dengan proses sosialisasi anak-anak
Vol. 12, 2019 PENGETAHUAN REMAJA DAN ORANG TUA SERTA PENGGUNAAN NAPZA 109

terhadap perilaku penggunaan NAPZA. Hal ini (Hoffmann & Johnson, 1998; Hoffman, 2002;
dapat disebabkan karena remaja dengan Hemovich & Crano, 2009).
rentang usia 20-24 tahun sudah memiliki
otonomi atau kebebasan terhadap dirinya Remaja yang tinggal pada keluarga dengan
sendiri dibandingkan remaja dengan kelompok kuintil kekayaan terbawah cenderung beresiko
usia di bawahnya. Otonomi tersebut menggunakan NAPZA. Hal ini sejalan dengan
memungkinkan remaja lebih cepat (Laoniramau, Laosee, Somrongthong,
terpengaruh dengan NAPZA. Namun, terkait Sunanta, & Sitthiamorns, 2005; Keyes, Cerda,
hasil tentang rentang usia remaja yang Brady, Havens, & Galea, 2014) yang
menggunakan NAPZA bertentangan dengan menemukan bahwa tekanan ekonomi dapat
penelitian sebelumnya. Kondisi penelitian membuat kecenderungan remaja
memperlihatkan bahwa semakin tinggi usia menggunakan NAPZA lebih tinggi. Akan tetapi,
remaja maka kecenderungan menggunakan hal ini berlawanan dengan (Humensky, 2010)
NAPZA akan semakin kecil (Tutussaus & yang menemukan bahwa remaja yang datang
Balic, 2016) dan hasil penelitian lain juga dari keluarga dengan status ekonomi yang
menyatakan pelajar yang menyalahgunakan tinggi cenderung menggunakan NAPZA
NAPZA sebagian besar berada pada usia dikarenakan kemudahan untuk membeli
remaja awal (Nur’artavia, 2017). Akan tetapi, barang tersebut.
hasil penelitian sejalan dengan penelitian pada
(Kabir, Goh, Kamal, & Khan, 2013) yang Remaja yang tinggal dengan kepala keluarga
menemukan bahwa remaja pada rentang usia memiliki tingkat pendidikan menengah-tinggi
20-24 tahun lebih cenderung menggunakan cenderung menggunakan NAPZA. Hal ini
NAPZA dibandingkan pada rentang usia 15-19 dapat disebabkan semakin tingginya
tahun serta remaja yang berpendidikan rendah perolehan pendapatan kepala keluarga yang
cenderung menggunakan NAPZA memiliki pendidikan menengah-tinggi
dibandingkan remaja yang berpendidikan memungkinkan anaknya lebih mudah untuk
tinggi. Secara umum, pendidikan terkait erat mendapatkan akses NAPZA. Selain itu
dengan pengetahuan yang dimiliki seseorang. pendidikan orang tua yang tinggi
Hasil penelitian juga sejalan dengan penelitian memungkinkan terjadinya mobilitas bekerja
yang menyatakan bahwa secara keseluruhan orang tua yang tinggi sehingga tingkat
laki-laki lebih bermasalah dalam pengawasan pada anak dapat berkurang
penyalahgunaan obat dibandingkan Sejalan dengan penelitian (Humensky, 2010)
perempuan (Afandi, Chandra, Novitasari, juga menemukan bahwa pemuda yang masuk
Widjaja, & Kurniawan, 2009; Turner, Turner, dalam kategori dewasa awal (lebih dari 20
Yang, Luo 2013; Nur’atavia, 2017). tahun) dan datang dari keluarga dengan orang
Berdasarkan analisis tipologi menunjukkan tua berpendidikan tinggi cenderung
bahwa lebih dari separuh remaja pada survei menggunakan NAPZA. Sementara (Amoateng
RPJMN 2017 memiliki pengetahuan yang & Bahr, 1986) menemukan bahwa tidak ada
tinggi akan resiko NAPZA dan kecil hubungan antara tingkat pendidikan orang tua
kemungkinan menggunakan NAPZA. dengan penggunaan NAPZA pada remaja.

Remaja dengan tipe keluarga tidak Remaja dengan indeks pengetahuan NAPZA
utuh/tunggal dan berasal dari keluarga dengan menengah cenderung menggunakan NAPZA
kepala keluarga berjenis kelamin perempuan dibandingkan remaja dengan indeks
lebih rentan dengan perilaku NAPZA. pengetahuan tinggi. Akan tetapi, hasil ini
Penelitian ini sesuai dengan beberapa menjadi tidak konsisten ketika ditemukan
penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa remaja dengan indeks pengetahuan
bahwa remaja yang tinggal pada keluarga yang rendah cenderung untuk tidak
tidak utuh/tunggal lebih beresiko menggunakan NAPZA. Demikian pula dengan
menggunakan NAPZA (Amoateng & Bahr, indeks pengetahuan HIV/AIDS dan
1986; Hoffmann & Johnson, 1998; Hoffman, kecenderungan remaja untuk menggunakan
2002). Namun, jika dilihat berdasarkan jenis NAPZA. Remaja dengan indeks pengetahuan
kelamin kepala keluarga dari remaja yang HIV/AIDS menengah cenderung lebih
rentan dengan perilaku NAPZA, maka hasil menggunakan NAPZA dibandingkan remaja
penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang memiliki indeks pengetahuan HIV/ AIDS
sebelumnya yang menemukan bahwa remaja rendah dan tinggi. Penelitian yang dilakukan
yang tinggal pada keluarga yang hanya (Malik et al., 2012) menemukan bahwa meski
memiliki ayah memiliki resiko lebih tinggi akan kesadaran akan resiko penggunaan NAPZA
menyalahgunakan NAPZA dibandingkan lebih tinggi pada remaja yang tidak
remaja yang tinggal hanya dengan ibunya menggunakan NAPZA, akan tetapi masih
110 NASUTION, PUSPITAWATI, RIZKILLAH, & PUSPITASARI Jur. Ilm. Kel. & Kons.

banyak ditemukan remaja yang terus kenakalan remaja (termasuk di antaranya


menggunakan NAPZA meskipun telah adalah penyalahgunaan NAPZA) dengan
mengetahui bahaya NAPZA. Hal ini juga meningkatkan pengetahuan orang tua. Selain
diperkuat oleh hasil penelitian (Poole & Evans, fungsi pengawasan dan kontrol orang tua, pola
1987) bahwa rasa takut akan resiko komunikasi dan pengasuhan juga perlu
penggunaan NAPZA hanya berlaku pada disesuaikan dengan tahapan perkembangan
remaja yang tidak menggunakan NAPZA, remaja. Penelitian sebelumnya menemukan
sedangkan remaja yang telah menggunakan bahwa keluarga konsensual yang dicirikan
NAPZA kecil kemungkinan menggunakan dengan komunikasi terbuka dan dua arah yang
pengetahuannya untuk menyadari bahaya kemudian dikombinasikan dengan pemberian
NAPZA. aturan yang tegas dan penghargaan bagi
anaknya yang tidak menggunakan NAPZA
Secara umum remaja lebih membutuhkan sangat berpengaruh dalam meminimalisir
pengetahuan life skill daripada pengetahuan penggunaan NAPZA pada remaja tahap akhir
tentang NAPZA. Laoniramau, Laosee, (Marceau, Abar, & Jackson, 2015; Ratnasari,
Somrongthong, Sunanta, & Sitthiamorns, 2015; Day, 2016).
(2005); Poole dan Evans (1987) menemukan
bahwa pengetahuan life skill dibandingkan Penelitian ini telah membuktikan kebenaran
pengetahuan akan bahaya NAPZA menjadi grand theory struktural fungsional bahwasanya
faktor yang paling mampu mencegah remaja keluarga yang mempunyai struktur utuh lebih
menggunakan NAPZA. Pengetahuan life-skill baik dibandingkan dengan keluarga yang tidak
berfungsi untuk meningkatkan keyakinan dan utuh. Penelitian ini juga membuktikan teori
kemampuan untuk mengendalikan konteks Bronfenbrener bahwa perilaku remaja
hidupnya sendiri. Sebagaimana perspektif Erik dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungannya.
Erikson mengenai tahapan perkembangan Keterbatasan penelitian ini adaah masih
psikososial, yang mana remaja merupakan banyak terdapat faktor lain yang belum dapat
masa terjadinya konflik pencarian identitas dan dianalisa tetapi ada kemungkinan berpengaruh
peran (identity vs role confusion). Remaja pada penggunaan NAPZA di kalangan remaja.
butuh untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan Misalnya, pengetahuan life-skill pada remaja,
menjadi independen (Curtis, 2015). Fungsi pola pengasuhan orang tua dan pola
keluarga disini dilihat dari pola komunikasi komunikasi orang tua yang mungkin
yang terbuka dan dua arah (keterlibatan peran berpengaruh sangat besar pada penggunaan
orang tua dalam keseharian remaja), NAPZA di kalangan remaja. Ada dinamika
pemberian hadiah/reward kepada remaja atas fungsi keluarga (terutama pada fungsi
perbuatannya yang positif. Ketika keluarga pengawasan dan kontrol orang tua) yang
tidak berfungsi dengan baik maka remaja akan mungkin memiliki pengaruh pada perilaku
mengalami kebingungan peran (role remaja dan belum terlihat pada survei ini.
confusion) dan mengalami permasalahan.
Sebaliknya jika fungsi keluarga berjalan
dengan baik maka kebingungan peran dan
permasalahan remaja dapat dicegah SIMPULAN DAN SARAN
(Schwartz & Pantin, 2005).
Rata-rata usia remaja laki-laki 18,56 tahun dan
Remaja dari keluarga yang memiliki orang tua perempuan 18,20 tahun. Sementara itu, lebih
dengan indeks pengetahuan tentang program dari separuh remaja laki-laki dan perempuan
pembangunan keluarga tinggi cenderung memiliki tingkat pendidikan menengah-tinggi
menggunakan NAPZA dibandingkan remaja (SMA/SMK/MA ke atas). Hasil lain juga
yang berasal dari keluarga dengan indeks menunjukan bahwa hampir separuh kepala
pengetahuan orang tua kategori menengah. keluarga berjenis kelamin laki-laki dan berada
Ennet et al. (2008) dalam temuannya dengan pada rentang usia 40-49 tahun. Adapun kepala
perspektif ekologi Bronfenbrenner keluarga berjenis kelamin perempuanberada
menegaskan bahwa hanya fungsi pengawasan pada rentang usia 50-59 tahun. Kepala
dan kontrol dari orang tua yang dapat keluarga berjenis kelamin laki-laki relatif
menjelaskan dampak pada penyalahgunaan memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik
alkohol dan NAPZA pada remaja. Walaupun, dibandingkan kepala keluarga perempuan.
pengetahuan orang tua tetap harus Selanjutnya, hampir seluruh kepala keluarga
ditingkatkan sebagaimana temuan Ollalla, berjenis kelamin laki-laki memiliki keluarga
Fraguela, Antonio, & Jorge, (2017) yang utuh, sedangkan kepala keluarga dengan jenis
menyatakan bahwa dukungan orang tua hanya kelamin perempuan empat per lima memiliki
dapat efektif dalam mengurangi tingkat keluarga tidak utuh. Sementara itu, lebih
dariseparuh kepala keluarga yang berjenis
kelamin laki-laki maupun perempuan berada
Vol. 12, 2019 PENGETAHUAN REMAJA DAN ORANG TUA SERTA PENGGUNAAN NAPZA 113

pada kelompok kuintil kekayaan menengah ke atas.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa sepertiga remaja perempuan dan hampir sepertiga remaja
laki-laki memiliki pengetahuan tentang NAPZA pada kategori tinggi. Selain itu, hampir separuh
remaja laki-laki dan perempuan memiliki pengetahuan tentang HIV pada kategori rendah.
Remaja perempuan memiliki rata-rata pengetahuan NAPZA dan HIV/AIDS lebih tinggi
dibandingkan remaja laki-laki. Pengetahuan remaja tentang NAPZA dan HIV/AIDS di wilayah
kota lebih tinggi dibandingkan remaja di wilayah desa. Berdasarkan pengetahuan orang tua
tentang program pembangunan keluarga, orang tua remaja perempuan memiliki pengetahuan
yang lebih baik dibandingkan orang tua remaja laki- laki sedangkan orang tua remaja di wilayah
perkotaan memiliki pengetahuan lebih baik dibandingkan orang tua remaja di wilayah
perdesaan. Berdasarkan tipologi pengetahuan NAPZA dan HIV dengan perilaku NAPZA dan
tipologi pengetahuan orang tua tentang program pembangunan keluarga dengan perilaku
NAPZA, mayoritas remaja masuk pada kuadran terbaik yaitu kuadaran dengan tingkat
pengetahuan tinggi dan perilaku NAPZA yang rendah. Berdasarkan perilaku NAPZA remaja laki-
laki lebih banyak yang pernah mencoba mengonsumsi NAPZA dibandingkan remaja perempuan.
Secara garis besar ditemukan bahwa remaja yang rentan terhadap perilaku NAPZA adalah
remaja yang tinggal di perkotaan, berusia 20-24 tahun, berjenis kelamin laki-laki, dan
berpendidikan dasar. Remaja yang rentan terhadap perilaku penggunaan NAPZA adalah remaja
yang berasal dari keluarga dengan umur kepala keluarganya berusia kurang dari 40 tahun, jenis
kelamin kepala keluarga perempuan, tingkat pendidikan kepala keluarga menengah- tinggi,
keluarga dengan kuintil kekayaan terbawah, tipe keluarga tidak utuh/tunggal, indeks
pengetahuan remaja tentang NAPZA menengah, indeks pengetahuan remaja tentang HIV
menengah, dan indeks pengetahuan orang tua tentang program pembangunan keluarga yang
tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang diberikan, yaitu
sebagai berikut: 1) untuk peneliti, diharapkan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan
pengasuhan dan perlindungan anak yang terkait dengan perilaku negatif; 2) untuk masyarakat
terutama yang rentan, diperlukan pendampingan melalui peningkatan pengetahuan dan lifeskills
seperti pencegahan resiko terhadap NAPZA; 3) untuk keluarga, diperlukan pendampingan untuk
mewujudkan ketahanan keluarga dalam mencegah perilaku NAPZA remaja; 4) untuk
kepentingan program diprioritaskan perhatian pada remaja rentan yaitu remaja yang tinggal di
perkotaan,berusia 20-24 tahun, jenis kelamin laki-laki,dan berpendidikan dasar, remaja yang
berasal dari keluarga dengan umur kepala keluarganya berusia kurang dari
40 tahun, jenis kelamin kepala keluarga perempuan, tingkat pendidikan kepala keluarga
menengah-tinggi, keluarga dengan kuintil kekayaan terbawah, tipe keluarga tidak utuh/tunggal.

DAFTAR PUSTAKA
Afandi, D., Chandra, F., Novitasari, D.,
Widjaja, I.R., & Kurniawan, L. (2009). Tingkat
penyalahgunaan obat dan faktor risiko di kalangan Siswa Sekolah Menengah Umum. Majalah
Kedokteran Indonesia, 59(6): 266-271
Amoateng, A.Y.,& Bahr, S.J. (1986). Religion, family, and adolescent drug use.Sociological
Perspectives, 29(1): 53-76.
Cavazos, R., Patricia, A., Spitznagel, E.L., Bucholz, K.K., Nurnberger, J., & Edenberg,
H.J. (2010). Predictors of sexual debut at age 16 or younger. Archives of Sexual Behavior, 39(2):
664-673.

Curtis, A.C. (2015). Defining adolescence.Journal of Adolescent and Family


Health, 7(2).1-39
Vol. 12, 2019 PENGETAHUAN REMAJA DAN ORANG TUA SERTA PENGGUNAAN NAPZA 113

Day, M.M. (2008). Talking to youth about drugs: what do late adolescents say about parental
strategies?.Family Relations, 57(1): 1-12.
Duvall, E.M.,& Miller, B.C.(1985). Marriage and Family Development (Sixth Edition). New York: Harper
& Row.

Ennet, S.T., Faris, R., Foshee, V.A., Bauman,


K.E., Hussong, A., Cai, L., Luz, H., Reyes,
M., Hipp, R.J., & Durant, R. (2008). The social ecology of adolescent alcohol Misuse.Child
Development, 79(6): 1777-
1791.
Hemovich, V., & Crano, W.D. (2009). Family structure and adolescent drug use: an exploration
of single-parent families. Subst Use Misuse, 44(14), 2099-
2113.doi:10.3109/10826080902858375.
Hoffmann, J.P.,& Johnson, R.A. (1998). Anational portrait of family structure and
adolescent drug dse.Journal of Marriage and the Family, 60(3): 633-645.

Hoffmann, J. (2002). The community context of family structure and adolescent drug use.Journal of
Marriage and the Family, 64(2): 314-330.

Hovdestad, W., Shields, M., Williams, G., & Tonmyr, L. (2015).Vulnerability within families
headed by teen and young adult mothers investigated by child welfare services in
Canada.Ottawa, 35(8/9), 143- 150
Humensky, J.L. (2010). Are adolescents with high socioeconomic status more likely to engage in alcohol
and illicit drug use in early adulthood?.Substance Abuse Treatment, Prevention, and Policy, 5(19): 1-
11.

Kabir, M.A., Goh, K.L., Kamal, S.M.M., & Khan, M.M.H. (2013). Tobacco smoking and its
association with illicit drug use among young men aged 15-24 years living in Urban Slums of
Bangladesh.Plos One, 8(7): 1-11.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. (2017). Pusat data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI: Anti Narkoba Sedunia. Jakarta: kemekes.go,id.
Keyes, K.M., Cerda, M., Brady, J.E., Havens, J.R., & Galea, S. (2014). Understanding the rural–
urban differences in nonmedical prescription opioid use and abuse in the United States.
American Journal of Public Health, 104(2): 52-59.
Klein, D.M.,& White, J.M. (1996). Family Theories. An Introduction. Thousand Oaks. London.
New Delhi: SAGE Publications. International Education and Professional Publisher.
Laoniramau, P., Laosee, OC., Somrongthong, R., Sunanta, W., & Sitthiamorns, C. (2005).Factors affecting
the experiences of drug use by adolescents in A Bangkok Slum.Southeast Asian Journal of Tropical
Medicine and Public Health, 36(4): 1014-

1019.
Lickona, T. (1991).Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility.United
State of America: Bantam Book.ISBN 0-553-37052-9.

Lyold, CB. 2005. Growing Up Global: The Changing Transitions to Adulthood in Developing Countries.
Washington, DC: National Academies Press. ISBN 0-30909- 528-X.

Malik, A.A., Nawaz, S., Tahir, A.A., Ahmed, S., Ashraf, S., Hanif, N., Aslam, J., Jamshed, I., Yawar,
A., & Malik, M.R. (2012). Knowledge and awareness of harmful effect of substance abuse
Vol. 12, 2019 PENGETAHUAN REMAJA DAN ORANG TUA SERTA PENGGUNAAN NAPZA 113

among users and non-users: a cross-sectional study from Bari Imam. J Pak Med Assoc, 62(4):
412-415.

Marceau, K., Abar, CC., & Jackson, KM. (2015). Parental knowledge is a contextual amplifier
of associations of pubertal maturation and substance use. Journal Youth Adolescence, 44,
1720-1734.DOI : 10.1007/s10964-015-0335-8
Nisa, H., & Afriani. (2015). Studi tentang pengetahuan terhadap NAPZA pada remaja di kota
Banda Aceh. Laporan hasil penelitian dosen muda. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala. [tersedia pada]
file:///C:/Users/User%20Asus/Downloads/ Haiyun_laporan.pdf
Nur’artavia, M.R. (2017). Karakteristik pelajar penyalahguna NAPZA dan jenis NAPZA yang digunakan di
Kota Surabaya. The Indonesian Jurnal f Public Health, 12(1): 27-38

Oktarina., Hanafi, F., Budisuari, M.A. (2009). Hubungan antara karakteristik responden,
keadaan wilayah dengan pengetahuan, sikap terhadap HIV/AIDS pada masyarakat
Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 12(2), 362-369.
Ollalla, C., Fraguela, G., Antonio, J., & Jorge,
S. (2017). Two faces of parental support: risk and protection for antisocial youth depending
on parental knowledge. Journal of Child and Family Studies, 26(1), 296- 305.
DOI:10.1007/s10826-016-0559-6
Peter, R. (2015). Peran orang tua dalam krisis remaja. Humaniora, 6(4), 453-460.
Poole, M, & Evans, G. (1987). Substance use: alife skills perspective. European Journal of Psychology of
Education, 2(4), 403-419.

Ratnasari, Y. (2015). Hubungan pengetahuan, sikap siswa tentang bahaya narkoba dan peran
keluarga terhadap upaya pencegahan narkoba (studi penelitian di SMP agus salim
Semarang). Junrla Kesehatan Masyarakat Inondesia, 10(2), 90-99.
Sawyer, S.M., Azzopardi, P.S., Wickremarathne, D., & Patton, G.C. (2018).The age of
adolescence.Lancet Child Adolesc Health, 2(3), 223-228 DOI:

http://dx.doi.org/10.1016/S2352- 4642(18)30022-1.
Schwartz, S.J.,& Pantin, H. (2005). Family functioning, identity, and problem behavior in Hispanic
immigrant early dolescents.J Early Adolesc, 25(4): 392-420.
Turner, E.M., Turner, C.G., Yang, X., Luo, H.(2013). Gender wage differences and
illicit drug use: findings from Yunnan Province. China International Journal, 11(1): 113-130.
Tutussaus, L.C., & Balic, M.G. (2016). Relationship between healthy lifestyle and
sociodemographic factors in adolescentsin catalonia: application of VISA-TEEN
Questionnaire. PLoS ONE, 11(9): 1-19. DOI:10.1371/journal.pone.016338
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDZ &
PENYALAHGUNAAN NAPZA

Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit AIDS merupakan tantangan yang besar
bagi perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk menjadi sasaran infeksi ataupun
kanker. Rencana keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun secara individual untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing pasien (Burnner & Suddarth, 2013).

1) Pengkajian
a) Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR.
b) Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori
ditemui :
1. keluhan utama sesak nafas.
2. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu,
demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan),
3. diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus,
4. penurunan berat badan lebih dari 10%,
5. batuk kronis lebih dari 1 bulan,
6. infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur
Candida Albicans,
7. pembengkakan kelenjer getah bening diseluruh tubuh,
8. munculnya Harpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal
diseluruh tubuh.
c) Riwayat kesehatan sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS
adalah : pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang
memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan demam,
pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan
drastis.Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya
riwayat penggunaan narkotika suntik, hubungan seks bebas atau
berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS, terkena cairan tubuh
penderita HIV/AIDS.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang
menderita penyakit HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua
yang terinfeksi HIV.
e) riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja di tempat
hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).
f) Pola aktivitas sehari-hari (ADL)
1) Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat Biasanya pada
pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan atau gangguan pada
personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB
dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan
melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung
dibantu oleh keluarga atau perawat.
2) Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu
makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan
mengalami penurunan BB yang cukup drastis dalam waktu
singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
3) Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus
berdarah.
4) Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan
tidurmengalami gangguan karena adanya gejala seperi demam
dan keringat pada malam hari yang berulang. Selain itu juga
didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap
penyakitnya.
5) Pola Istirahat dan tidur
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami
perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat melakukan
aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka yang
menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan
kerja, karena depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi
tubuh yang lemah.
6) Pola presepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah,
cemas, depresi, dan stres.
7) Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan
pengecapan, dan gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya
mengalami penurunan daya ingat, kesulitan berkonsentrasi,
kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang
terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.
8) Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran
yang dapat mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien
merasa malu atau harga diri rendah.
9) Pola penanggulangan stress
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas,
gelisah dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya
waktu perawatan, perjalanan penyakit, yang kronik, perasaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis
yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan
lain-lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu
menggunakan mekanisme koping yang kontruksif dan adaptif.
10) Pola reproduksi seksual
Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya
terganggu karena penyebab utama penularan penyakit adalah
melalui hubungan seksual.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan Pada pasien HIV AIDS
Tata nilai keyakinan pasien awal nya akan berubah, karena mereka
menggap hal menimpa mereka sebagai balasan akan perbuatan
mereka. Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi
tubuh mempengaruhi nilai dan kepercayaan pasien dalam
kehidupan pasien, dan agama merupakan hal penting dalam hidup
pasien.
g) Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas istirahat Mudah lemah, toleransi terhadap aktifitas
berkurang, progresif, kelelahan,, perubahan pola tidur.
b. Gejala sabjektif Demam kronik, demam atau tanpa mengigil,
keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB
menurun, nyeri, sulit tidur.
c. Psikososial Kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola
hidup, mengungkapkan perasaan takut, cemas, meringis. Satus
mental Marah, pasrah, depresi, ide bunuh diri, hilang interest pada
lingkungan sekitar, gangguan proses pikir, hilang memori,
gangguan antensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
d. Neurologis Gangguan reflek pupil, vertigo, ketidak seimbangan,
kaku kuduk, kejang, paraf legia.
e. Muskuloskletal Focal motor deficit, lemah, tidak mampu
melakukan ADL
f. Kardiovaskuler Takikardi, sianosis, edema perifer, dizziness.
g. Pernafasan Nafas pendek yang progresif, batuk ( sedang-parah ),
batuk produktif/ non-produktif, sesak pada dada.
h. Integument Kering gatal, rash dan lesi, turgor jelek.
2) Diagnosa
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gaya
hidup kurang gerak, Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3
x 24 jam diharapkan terjadi peningkatan :
a. Pengisian kapiler jari tangan dan kaki tidak ada deviasi dari kisaran
normal
b. Suhu kulit ujung kaki dan tangan tidak ada deviasi dari kisaran
normal
c. Kekuatan denyut nadi karotis kiri dan kanan tidak ada deviasi dari
kisaran normal
d. Kekuatan denyut brakialis tidak ada deviasi dari kisaran normal
e. Tekanan darah tidak ada deviasi dari kisaran normal Manajemen
Elektrolit
f. Monitor serum elektrolit yang abnormal
g. Monitor manifestasi ketidak seimbangan elektrolit
h. Pertahankan kepatenan akses IV 14. Berikan cairan sesuai resep
i. Monitor kehilngan cairan yang kaya dengan elektrolit Manajemen
Nyeri
j. Lakukan pengkaijan nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/ durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
k. Pastikan perawatan analgetik bagi pasien dilakukan dengan
pemantuan yang ketat
l. Ajarkan prisip manajemen nyeri
m. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan menangani nyeri dengan
tepat
n. Dukung istirahat/ tidur yang adekuat untuk membantu penurunan
nyeri
2. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan penyakit ,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan terjadi
peningkatan :
a. Merasa merinding saat dingin tidak terganggu
b. Berkeringat saat panas tidak terganggu
c. Menggigil saaat dingin tidak terganggu Perawatan hipertermia
d. Monitor tanda vital
e. Longgarkan pakian pasien
f. Kompres dingin
g. Beriakan cairan
h. Monitor output urin
i. Peningkatan suhu kulit tidak ada
j. Perubahan warna kulit tidak ada
k. Radang dingin tidak ada Pemberian produk produk darah
l. Cek kembali instruksi dokter
m. Monitor tanda vital
n. Monitor adanya reaksi alergi
o. Monitor adanya kelebihan cairan
p. Monitor jumlah cairan dan atur jumalh tetesan selama transfusi
q. Dokumentasikan waktu transfuse.
3. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan immune,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 3 x 24 jam diharapkan terjadi
peningkatan :
a. Nyeri yang dilaporkan tidak ada
b. Mengerang dan meringis tidak ada
c. Menyeringit tidak ada
d. Ketegangan otot tidak ada
Tanda –tanda vital tidak mengalami devisiasi Pemberian analgesik :
e. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
f. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat
analgesik yang diresepkan
g. Cek adanya riwayat alergi obat

Pilih analgesik atau kombinasi analgesik yang sesuai ketikalebih dari satu
diberikan Menajemen nyeri :

h. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,


karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya
nyeri dan faktor pencetus
i. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan
j. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri dan sampaikan penerimaan pasien terhadap nyeri
k. Kaji bersama pasien faktor- faktor yang dapat menurunkan atau
memberatkan nyeri
l. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologilan nyeri
m. Evaluasi keefektifan dari tindakan pengontrolan
n. Mendukung istirahat tidur
o. Memberikan informasi terkait dengan diagnosa dan keperawatan
p. Mendorong keluarga menemani pasien
q. Kaji tanda verbal dan non verbal dari ketidak nyamanan
r. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan dengan tepat
Diagnosa yang mungkin terjsdi :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan
b. Diare
c. Kekurangan Volume Cairan
d. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
e. Nyeri akut
f. Resiko kerusakan integritas kulit
3) Intervensi
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
dengankurangan ya pengetahua tentang proses penyakit :
a. Memonitor serum elektrolit yang abnormal
b. Mempertahankan kepatenan akses IV, melakukan perawatan
infus
c. Memberikan cairan sesuai resep aminofusin : triofusin (2:1)
d. Memonitor kehilngan cairan yang kaya dengan elektrolit
e. Melakukan pengkaijan nyeri komprehensif yang meliputi
lokasi, karakteristik, onset/ durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas
f. Memastikan perawatan analgetik bagi pasien dilakukan
dengan pemantuan yang ketat
g. Mengajarkan prisip manajemen nyeri, mengajarkan teknik
tarik nafas dalam
h. Membantu pasien untuk memonitor nyeri dan menangani
nyeri dengan tepat
i. Menganjurkaan istirahat/ tidur yang adekuat untuk membantu
penurunan nyeri 10.00 S: Pasien mengatakan BAB kehitaman
 Pasien mengatakan badan terasa lemah
 Pasien mengatakan nyeripada bagian perut
 Pasien mengatakan nyeri pada saat eraktifitas
 O: Hb: 6.4
 Alb: 2,6
 Td 90/60 mmHg, N :78x/m, RR: 24x/m, S:
 38°C Skala nyeri pasien 3-4
 Pasien tampak meringis
 A: Masalah belum teratasi P: intervensi lanjut
2. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan penyakit
a. Memonitor tanda vital (suhu , nadi, pernafasan, td)
b. Menganjurkan pasien menggunakan pakaian yang longgar
c. Mengompres pasien dengan kompres dingin pada bagian
kepala
d. Memberiakan cairan infus aminofusin : triofusin ( 2 : 1) 16.
Memonitor output urin
e. Mengecek kembali instruksi dokter
f. Memonitor adanya reaksi alergi
g. Memonitor adanya kelebihan cairan
h. Memonitor jumlah cairan dan atur jumalh tetesan selama
transfusi
i. Mendokumentasikan waktu transfusi 10.00 S: Pasien
mengatakan badan terasa panas
 Pasien mengeluh deman
 O: Hb: 6.4(g/dL)
 Alb 2.6 (g/dL)
 Td 90/60 mmHg,
 N :78x/m, RR: 24x/m
 Suhu tubuh pasien 38°C
 Kulit pasien teraba panas
 Muka pasien tampak merah
 Lidah pasien Tampak kotor
 Bibir pecah-pecah dan merah
 Kulit pasien teraba panas
 Tampak sapu tangan basah menempel di dahi
 klien A: Masalah belum teratasi P: Intervensi lanjut
3. Kerusakan integritas kulit berhubunga n dengan Luka post op /
efek yang ditimbulkan dari proses medikasi :
a. Memberikan rawatan insisi pada luka yang diperlukan
b. Memonitor karakteristik luka ,termasuk drainase,
warna,ukuran dan bau
c. Mempertahankan teknik balutan sterilketika melakukan
perawatan luka
d. Memeriksa luka setiap kali perubahan balutan
e. Membandingkan dan catat setiap perubahan luka
f. Mendokumentasikan lokasi luka , ukuran, dan tampilan
g. Membersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan
untuk setiap pasien
h. Mencuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan
pasien
i. Membatasi jumalah pengunjung
j. Memastikan perawatan luka yang tepat 11.00 S: Istri
pasien mengatakan luka bekas op. padak
 perut suaminya masih berair. Pasien mengatak
lukanya sudah lebih baik dari
 sebelumya Pasien mengatakan luka bekas slang drain
 masih mengeluarkan pus yang mengalir. O: Pasien
tampak selalu membersihkan cairan.
 yang keluar dari lukanya Luka pasien tampak
mengeluarkan pus terus
 menerus Jumlah jahitan pasien 8 ( P= ±10 cm, L=
±1,5cm). A: Masalah belum terastasi P: intervensi
lanjut
4) Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan
dimana rencana keperawatan dilaksananakan, melaksanakan intervensi
yang telah ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk melakukan
intervensi yang telah dicatat dalam rencana keperawatan klien. Agar
implementasi perencanaan dapt tepat waktu dan efektif terhadap biaya ,
pertama-tama harus mengidentifikasi priorotas perawatan klien, kemudian
bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respon
klienterhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini pada
penyedia perawatan kesehatan lainya.
Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan merevisi
rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya.
5) Evaluasi
Tahap evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil
yang diinginkan dan respon pasien terhadap keefektifan intervensi
keperawatan, kemudian mengganti rencana perawatan jika diperlukan
Tahap akhir dari proses keperawatan perawat mengevaluasi kemampuan
pasien kea rah pencapaian.
BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Psikoneuroimunologi adalah suatu ilmu yang dapat menjelaskan modulasi
sistem imun yang mengalami stres sebagai respons terhadap adanya perubahan
perilaku.Adanya kesamaan titik tangkap pada tingkat sistem saraf pusat antara aspek
fisik dan psikologik, maka setiap stresor yang mengenai tubuh akan memberikan
respons biologik pada sistem saraf. Jadi kedua aspek fisik dan psikologik tersebut
dapat menimbulkan aktivitas biologik tubuh, termasuk respons ketahanan tubuh.
Pemahaman remaja tentang HIV /AIDS masih sangat minim,padahal remaja
termasuk usia yang rentan dengan prilaku beresiko. Pemahaman yang salah
membuat remaja tidak mewaspadai bahwa penyakit ini dapat merusak hidupnya
dimasa yang akan datang. Bahkan tidak jarang dari mereka baru menyesalinya
setelah mereka mengidap penyakit mematikan yang belum ada obatnya. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan di SMKN 6 Surabaya dapat disimpulkan bahwa
pemberian pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap pengetahuan dan perilaku
seseorang khususnya remaja dalam penelitian ini. Terjadinya peningkatan
pengetahuan responden disebabkan karena responden telah mendapatkan cukup
banyak informasi melalui pendidikan kesehatan yang diberikan. Peningkatan
perilaku pencegahan HIV/AIDS pada reseponden setelah dilakukan pendidikan
kesehatan. Hal ini dikarenakan remaja atau responden telah cukup banyak mendapat
informasi kesehatan tentang HIV/AIDS dan responden telah memahami sisi positif
dalam perlaku pencegahan HIV/AIDS tersebut. Dengan adanya pendidikan
kesehatan seseorang yang sebelumnya tidak tahu mengenai HIV/AIDS dapat
mengalami peningkatan pengetahuan dan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang
semula dari kurang menjadi baik.
B. Saran
Agar setiap pembaca dari makalah ini mampu menjaga kesehatannya. Atau bahkan
menjauhi beberapa perokok aktif.
DAFTAR PUSTAKA

https://ojs.unimal.ac.id/index.php/averrous/article/download/423/346.diakses pada tanggal 5


maret 2021

https://www.mhahs.org.au/index.php/id/hiv/introduction. diakses pada tanggal 5 maret 2021

http://eprints.umpo.ac.id/2400/2/2.%20BAB%20I.pdf. diakses pada tanggal 5 maret 2021

file:///C:/Users/acer/Downloads/19%20SARI%20RAHMADHANI.pdf. diakses pada tanggal


5 maret 2021

file:///C:/Users/acer/Downloads/Paket%2012.pdf. diakses pada tanggal 5 maret 2021

https://repository.usm.ac.id.. diakses pada tanggal 5 maret 2021

digilib.uinsby.ac.id . diakses pada tanggal 5 maret 2021

media.neliti.com. diakses pada tanggal 5 maret 2021

Anda mungkin juga menyukai