PSIKONEUROIMUNOLOGI
STRESS DAN DISFUNGSI EREKSI
Disusun oleh:
Dokter Muda Psikiatri Periode 16 Maret 11 April 2015
Nurrasyidah
G99132005
G99132008
M. Idzham Reeza
G99132009
Aditya Bawono
G99132010
Carko Budiyanto
G0007049
Pembimbing:
Istar Yuliadi, dr.,M.Si. FIAS
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan referat kepaniteraan
kliniki ilmu kedokteran jiwa/psikiatri dengan judul Psikoneuroimunologi Stress
Dan Disfungsi Ereksi.
Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan referat ini tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa bimbingan dan nasihat, oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr.,Sp.KJ(K)
2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr.,Sp.KJ(K)
3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr.,Sp.KJ(K)
4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr.Sp.KJ(K)
5. Mardiatmi Susilohati, dr.,Sp.KJ(K)
6. Yusvick M. Hadin, dr.,Sp.KJ
7. Djoko Suwito, dr.Sp.KJ
8. I.G.B. Indro Nugroho, dr.Sp.KJ
9. Gst. Ayu Maharatih, dr.,Sp.KJ
10. Makmuroch, Dra. MS
11. Debree Septiawan, dr.,Sp.KJ.,M.Kes
12. Istar Yuliadi, dr.,M.Si. FIAS
13. Rohmaningtyas HS, dr.,Sp.KJ.,M.Kes
14. RH Budhi M, dr.,Sp.KJ(K)
15. Maria Rini I, dr.,Sp.KJ
16. Adriesti H, dr.,Sp.KJ(K)
17. Wahyu Nur Ambarwati, dr.,Sp.KJ.,M.Kes.
18. Setyowati Raharjo, dr.,Sp.KJ
kekeliruan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat kami harapkan untuk perbaikan referat ini.
Semoga apa yang telah penulis susun dapat bermanfaat bagi banyak
pihak dan dapat menjadi bahan informasi yang berguna.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul......................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 6
BAB II STRESS...................................................................................................... 9
A.
B.
C.
D.
G.
H.
I.
J.
K.
Definisi ...................................................................................................... 31
B.
Sejarah ....................................................................................................... 32
C.
D.
Definisi Ereksi........................................................................................... 51
B.
C.
D.
G.
BAB I
PENDAHULUAN
Definisi stress sampai saat ini masih sangat sulit untuk dijabarkan oleh
para ilmuwan, karena itu merupakan sensasi subjektif yang berhubungan dengan
gejalagejala yang bervariasi, dimana masing-masing ahli memiliki pendapat yang
berbeda. Dalam tingkatan yang rendah stress mungkin berguna bagi tubuh, tetapi
jika stress tersebut menjadi berat dan berkepanjangan akan mempengaruhi fungsi
fisik dan mental, hal ini akan menjadi masalah besar yang perlu penanganan lebih
lanjut (Kisker, 1997). Jika keadaan stress pada seseorang dibiarkan begitu saja,
tanpa ada upaya penanganan atau upaya pengobatan maka sudah dipastikan akan
banyak masyarakat di dunia ini yang akan mengalami gangguan kejiwaan
(Tristiadi, 2007).
Prevalensi stress semakin meningkat baik dalam kalangan masyarakat
yang tinggal di perkotaan, maupun yang tidunggal di pedesaan. Bahkan di zaman
global ini stress cenderung lebih banyak menyerang masyarakat dengan tingkat
perekonomian tinggi daripada masyarakat dengan tingkat perekonomian rendah,
meskipun demikian terdapat perbedaan daripada tingkatan-tingkatan stress yang
dialami oleh masingmasing golongan masyarakat tersebut (Kisker,1997). Di
Amerika, stress menjadi masalah besar karena 43% orang dewasa mengalami
gangguan kesehatan akibat dari stress, 75-90% kunjungan ke pusat kesehatan
berkaitan dengan stress, dan 60-80% kecelakaan industri berkaitan dengan
masalah stress (Jaffe-Gill, 2007).
Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi
modernisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah mempengaruhi
nilai-nilai moral etika dan gaya hidup. Hal tersebut merupakan stressor
psikososial sehingga bagi sebagian individu dapat menimbulkan perubahan dalam
kehidupan dan dia harus berusaha untuk beradaptasi dan menanggulanginya.
(Hawari, 2008; Maramis, 2009).
Penelitian menunjukkan bahwa stress memberi kontribusi 50 sampai 70
persen
terhadap
timbulnya
sebagian
besar
penyakit
seperti
penyakit
BAB II
STRESS
A. DEFINISI STRESS
Istilah stress pertama kali digunakan oleh Hans Selye tahun 1936
dalam laporan penelitiannya, didefinisikan sebagai respon tidak spesifik dari
tubuh terhadap tuntutan perubahan (dalam Yuliadi, 2014). Dwight Carlson
mengatakan
bahwa
stress
adalah
suatu
perasaan
ragu
terhadap
10
11
12
13
14
Remaja
Dewasa Muda
Jenis Stressor
Konflik mandiri dan ketergantungan
orang tua
Hubungan dengan teman sebaya
Kompetisi dengan teman
Perubahan tubuh
Hubungan dengan teman
Seksualitas
Mandiri
Menikah
Meninggalkan rumah
Mulai bekerja
15
Dewasa Tengah
Dewasa Tua
Melanjutkan pendidikan
Membesarkan anak
Menerima proses menua
Status sosial
Usia lanjut
Perubahan tempat tinggal
Penyesuaian diri masa pension
Proses kematian
(Alimul, 2008)
E. DERAJAT STRESS
Stress dapat mengenai semua orang dalam berbagai tingkatan usia.
Menurut Hawari, sress timbul secara lambat dan tidak disadari kapan
munculnya. Adapun derajat stress terbagi dalam 6 tingkatan yaitu:
1. Stress tingkat I
Tingkat ini merupakan tingkatan dasar atau yang paling ringan dari
suatu stress. Pada tingkatan ini biasanya disertai semangat hidup yang
besar, penglihatan tajam seperti biasanya, gugup yang berlebihan. Sikap
pasien yang mengalami stress pada tahap ini biasanya menyenangkan,
tetapi tidak disadari cadangan energinya menipis.
2. Stress tingkat II
Tingkatan ini merupakan tahap lanjut dari stress dasar. Pada tahap
ini mulai muncul keluhan karena cadangan energi tidak cukup lagi untuk
sepanjang hari. Keluhan yang dialami pasien antara lain letih pada waktu
pagi hari, lelah setelah makan siang dan menjelang sore, serta ada
gangguan otot dan pencernaan.
3. Stress tingkat III
Tahap ini gejala semakin terasa dan mulai mengalami gangguan
pada lambung dan usus seperti adanya keluhan gastritis, buang air besar
tidak teratur, gangguan lain seperti ketegangan otot makin terasa dan
perasaan tidak tenang. Munculnya gangguan tidur pada pasien seperti
terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur. Pasien merasa dirinya
ingin pingsan. Pada tahap ini sebaiknya pasien penderita berkonsultasi
dengan dokter.
16
4. Stress tingkat IV
Tahap ini keadaan semakin memburuk yang ditunjukkan oleh
kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit, semula tanggap
terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara
adekuat, konsentrasi menurun, sulit tidur, dan ada rasa takut yang tak
terdefinisikan.
5. Stress tingkat V
Keadaan ini merupakan kelanjutan dari tingkat IV. Gejala yang
muncul pun semakin berat. Stress tahap ini ditandai adanya kelekahan
fisik secara mendalam, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ringan
dan sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, perasaan
ketakutan, dan kecemasan semakin meningkat.
6. Stress tingkat VI
Pada tahap ini penderita harus dibawa ke ICCU karena gejala yang
muncul sangat membahayakan. Penderita dapat merasakan jantung
berdebar sangat keras karena zat adrenalin yang dihasilkan oleh stress
yang cukup tinggi, sesak nafas, badan gemetar, tubuh dingin, dan
berkeringat. Bahkan penderita dapat mengalami kondisi di mana merasa
tenaganya tak ada sama sekali dan tak jarang pingsan.
(Contrada dan Baum, 2010).
F. MACAM-MACAM STRESS
Ditinjau dari penyebab, maka stress dibagi menjadi 7 macam, antara lain:
1. Stress fisik
Stress yang disebabkan karena keadaan fisik seperti dikarenakan
temperatur yang tinggi atau yang sangat rendah, suara yang bising, sinar
matahari, atau karena tegangan arus listrik.
2. Stress kimiawi
Stress ini disebabkan karena zat kimiawi seperti obat-obatan, zat
beracun asam, basa, faktor hormon, atau gas prinsipnya karena pengaruh
senyawa kimia.
17
3. Stress mikrobiologis
Stress ini disebabkan karena kuman, seperti adanya virus, bakteri,
atau parasit.
4. Stress fisiologis
Stress yang disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh di
antaranya gangguan dari struktur tubuh, fungsi jaringan, organ, dan lainlain.
5. Stress proses pertumbuhan dan perkembangan
Stress
yang
disebabkan
karena
proses
pertumbuhan
dan
psikologis. Proses ini dikarenakan adanya interaksi antara faktor dari luar
dan faktor dari dalam untuk mempertahankan keseimbangan tubuh.
4. Unsur perilaku sehat
Stress dapat secara tidak langsung mempengaruhi kesakitan, akan
tetapi dapat merubah perilaku terlebih dahulu seperti adanya peningkatan
konsumsi alkohol, rokok, dan lain-lain.
5. Unsur perilaku sakit
Stress apat mempengaruhi secara langsung terhadap kesakitan
tanpa menyebabkan adanya perilaku sakit seperti mencari bantuan
pengobatan.
(Alimul, 2008).
H. FAKTOR PENGARUH RESPON TERHADAP STRESSOR
Menurut Alimul (2008), respon terhadap stressor yang diberikan setiap
individu akan berbeda berdasarkan faktor yang akan mempengaruhi dari
stressor tersebut, dan koping yang dimiliki individu, di antara stressor yang
dapat mempengaruhi respon tubuh antara lain :
1. Sifat stressor
Sifat stressor merupakan faktor yang dapat mempengaruhi respon
tubuh terhadap stressor. Sifat stressor ini dapat berupa tiba-tiba atau
berangsur-angsur, sifat ini pada setiap individu dapat berbeda tergantung
dari pemahaman tentang arti stressor.
2. Durasi stressor
Lamanya stressor yang dialami klien akan mempengaruhi respon
tubuh. Apabila stressor yang dialami lebih lama, maka respon yang
dialaminya juga akan lebih lama dan dapat mempengaruhi dari fungsi
tubuh yang lain.
3. Jumlah stressor
Jumlah stressor yang dialami seseorang dapat menentukan respon
tubuh. Semakin banyak stressor yang dialami pada seseorang, dapat
menimbulkan dampak yang besar bagi fungsi tubuh juga sebaliknya
19
baik
pula
kemampuan
untuk
mengatasinya.
Dalam
20
22
a. Alarm reaction
Tahapan pertama ini mirip dengan fighft-or-flight respone.
Pada tahap ini araousal yang terjadi pada tubuh organisme berada di
bawah yang untuk selanjutnya meningkat di atas normal. Pada akhir
tahapan ini, tubuh melindungi organisme terhadap stressor. Tetapi,
tubuh tidak dapat mempertahankan intensitas araousal dari alarm
reaction dalam waktu yang sangat lama.
b. Stage of resistance
Araousal masih tinggi, tubuh masih terus bertahan untuk
melawan dan beradaptasi dengan stressor. Respons fisiologis menurun,
tetapi masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi normal.
c. Stage of exhaustion
Respons fisiologis masih terus berlangsug. Hal ini dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh dan menguras energi tubuh
sehingga terjadi kelelahan pada tubuh. Stressor yang terus akan
mengakibatkan penyakit dan kerusakan fisiologis, dapat juga
menyebabkan kematian.
2. Aspek Psikologis
Reaksi psikologis terhadap stress dapat meliputi (Sarafino, 1994):
a. Kognisi
Stress dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas
kognitif. Stressor berupa kebisingan dapat menyebabkan defisit
kognitif pada anak-anak. Kognisi juga dapat berpengaruh dalam stress.
b. Emosi
Emosi cenderung terkait dengan stress. Individu sering
meggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stress. Reaksi
emosional terhadap stress adalah rasa takut, fobia, keemasan, depresi,
perasaan sedih, dan rasa marah.
c. Perilaku sosial
Stress dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain.
Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana
23
perubahan
neurologis
dan
hormon.
Hipotesis
Seyle,
24
akan
merangsang
hipofisis
anterior
untuk
menyekresikan
25
inokulasi stress. Dampak negatif yang berupa gangguan fisik dan mental serta
dapat juga mempengaruhi perubahan tingkah laku individu. Stress yang terjadi
dapat berpengaruh terhadap kondisi psikologis, tingkah laku, kognitif,
fisiologis, maupun berdampak pada kemampuan organisasi.
Adapun beberapa contoh dampak stress tersebut adalah sebagai berkut:
1. Dampak psikologis
a. Emosi, menangis. marah
b. Menarik diri
c. Bermusuhan, agresif
d. Cemas, curiga, merasa tidak berguna
e. Menyalahkan lingkungan
2. Dampak tingkah laku
a. Selalu terburu-buru
b. Pelupa
c. Alkoholik, perokok berat
d. Tidak bersemangat, malas
e. Makan berlebih/kurang
3. Dampak kognitif
a. Sulit memutuskan
b. Kurang konsentrasi
c. Kurang kreatif
d. Peka terhadap kritik
4. Dampak fisiologis
a. Kadar gula meningkat
b. Keringat berlebihan
c. Tekanan darah meningkat
d. Denyut jantung meningkat
e. Sakit kepala
f. Tidak nafsu makan
g. Rambut rontok
27
28
Psychological
Stress
Human:
- Academic
- Marital discord
- Primary caregiver of a demented spouse
- Other factor
Immune Dysfunction
Cell mediated
wound repair
circulation
inflamatory
cytokines
reactivation of
latentvirus
Innate
NK activity
Adaptive
Antibody
productionto
vaccination
Infection episode
Potential Complications
29
30
BAB III
PSIKONEUROIMUNOLOGI
A. DEFINISI
Pada awal perkembangannya, psikoneuroimunologi difahami sebagai
field of study. Pemahaman ini didasarkan atas keterlibatan tiga bidang kajian,
yaitu (1) Psikologi, (2) Neurologi, (3) Imunologi (Putra ST, 1999).
Notosoedirdjo M M, 1998, menyatakan bahwa psikoneuroimunologi
adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara sistem imunitas dan perilaku
melalui sistem saraf. Sedangkan imunitas berupa suatu jaringan alat tubuh
yang melindungi badan dari invasi bakteri, virus dan benda asing.
Psikoneuroimunologi adalah suatu bidang penelitian baru yang
menghubungkan proses-proses psikologi, neural, dan imunologis. Banyak
dokter telah memperhatikan hubungan antara kehilangan yang penting, seperti
kematian orang yang dicintai dan penyakit yang menyusul. Hubungan itu
sering terasa sangat hebat bila orang yang mengalami kehilangan itu tidak
dapat mengungkapkan emosi-emosi yang kuat, misalnya kesedihan yang
biasanya terjadi karena orang sendiri mengalami tragedi itu. Hipotesis bahwa
stress yang ditimbulkan kehilangan atau pemisah yang hebat mengganggu
sistem kekebalan tubuh dan dengan demikian ikut menyebabkan sejumlah
penyakit fisik.
Sistem kekebalan memiliki dua tugas pokok, yakni mengetahui adanya
benda-benda asing (yang disebut antigen) dan menonaktifkan atau
menghilangkan benda-benda itu. Sistem kekebalan itu terdiri dari beberapa
kelompok
sel
berbeda
yang
dinamakan
limfosit-limfosit.
Penelitian
antara yang satu dengan yang lainnya melalui sinyal-sinyal kimia yang
kompleks. Ada kemungkinan hal ini sedang diteliti terutama pada orang-orang
yang menderita salah satu dari dua kondisi psikologis yang berat, yakni
skizofrenia dan depresi.
B. SEJARAH
Stress merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam
percakapan sehari-hari. Stress adalah salah satu dampak perubahan sosial dan
akibat dari suatu proses modernisasi yang biasanya diikuti oleh poliferasi
teknologi, perubahan tatanan hidup serta kompetisi antar individu yang makin
berat.
Pada awal tahun 1950-an para ahli perilaku mempelajari hubungan
perilaku dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu
isu menarik adalah hubungan antara stress dengan sistem kekebalan tubuh.
Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antar perilaku,
kerja saraf, fungsi endokrin dan imunitas. Penelitian-penelitian tersebut telah
mendorong munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi. Martin (1938)
mengemukakan ide dasar konsep psikoneuroimunologi yaitu : a. Status emosi
menentukan fungsi sistem kekebalan, b. Stress dapat meningkatkan
kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma. Dikatakan lebih lanjut
bahwa karakter, perilaku, pola coping dan status emosi berperan pada
modulasi sistem imun. Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan istilah
psikoneuroimunologi : yaitu kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan,
neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak
digunakan pada penelitian dan banyak temuan memperkuat keterkaitan stress
terhadap berbagai patogenesis penyakit termasuk infeksi dan neoplasma.
32
Psikologi
Neurologi
Imunologi
33
34
35
36
Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah suatu mekanisme untuk mengatasi
perubahan yang diterima atau beban yang diterima. Apabila mekanisme
koping ini berhasil maka orang tersebut dapat beradaptasi terhadap perubahan
tersebut atau akan merasakan beban berat menjadi ringan. Mekanisme koping
ini dapat dipelajari, sejak awalnya timbul stressor dan orang menyadari
dampak dari stressor tersebut (Carlson, 1994; Soleh, 2005). Kemampuan dari
mekanisme koping setiap orang tergantung dari temperamen individu dan
persepsi serta kognisi terhadap stressor yang diterima (Carlson, 1994; Soleh,
2005). Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat.
Belajar di sini adalah kemampuan menyesuaikan diri pada pengaruh faktor
internal dan eksternal (Notosoedirdjo M, 1998; Soleh, 2005). Mekanisme
belajar ada 2 macam, yaitu (1) bentuk belajar yang implisit, dan (2) bentuk
belajar yang eksplisit. Belajar yang implisit umumnya bersifat reflektif dan
tidak memerlukan kesadaran. Keadaan ini ditemukan dalam perilaku
habituasi, kebiasaan, sensitisasi, dan conditioning (Bear, 1996; Notosoedirdjo
M, 1998; Soleh, 2005).
Lipowski membagi koping dalam dua bentuk yaitu coping style dan
coping strategy. Coping style merupakan mekanisme adaptasi individu
meliputi mekanisme psikologis, mekanisme kognitif dan persepsi. Sifat dasar
coping style adalah mengurangi makna suatu konsep yang dianutnya,
misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi yang sangat tidak
realistis atau berat (psikotik) hingga pada tingkatan yang sangat ringan saja
terhadap suatu keadaan. Sedangkan coping strategy merupakan coping yang
digunakan individu secara sadar dan terarah dalam mengatasi sakit atau
stressor yang dihadapinya. Apabila individu mempunyai mekanisme coping
yang efektif dalam mengahadapi stressor, maka stressor tidak akan
menimbulkan stress yang berakibat kesakitan (disease), tetapi stressor justru
menjadi stimulant yang mendatangkan wellness (kesejahteraan) dan prestasi
(Soleh, 2005).
37
38
Respon tersebut dapat bersifat stimulasi atau inhibisi, tergantung dari jaringan
mana hormon tersebut bekerja. Walaupun reseptor kortisol sama di semua
jaringan, namun terdapat variasi sintesis protein akibat ekspresi gen spesifik
pada berbagai jaringan (Turner & Bagnara, 1988; Guyton, 1996; Soleh, 2005).
Pada sistem kardiovaskuler, kortisol meningkatkan curah jantung dari
tonus pembuluh darah perifer, kemungkinan dengan jalan meningkatkan efek
vasokonstriktor lain seperti katekolamin. Kortisol juga mengatur ekspresi
reseptor adrenergik (Gani, 1995; Soleh, 2005). Pada keadaan kekurangan
kortisol yang berat dapat terjadi vasodilatasi yang abnormal, walaupun tidak
terjadi kehilangan cairan, namun pengisian pembuluh darah akan berkurang,
tekanan darah akan menurun dan terjadi shok, terutama rentan terhadap stress.
Jadi kortisol berfungsi mempertahankan integritas dan sifat responsive
pembuluh darah dan volume cairan tubuh. Kelebihan kortisol dapat
menyebabkan hipertensi melalui stimulasi rennin pada sistem rennin
angiotensin (Guyton, 1996; Soleh, 2005).
Pada sistem imun, pemberian kortisol meningkatkan pelepasan leokosit
(PMN) intravaskuler dari sumsum tulang, meningkatkan waktu paruh PMN
dalam sirkulasi, mengurangi pergerakan PMN keluar dari pembuluh darah.
Kortisol mengurangi konsentrasi limfosit, monosit dan eosinofil dalam
sirkulasi, terutama dengan jalan meningkatkan pergerakan mereka keluar dari
sirkulasi. Pemberian kortisol dalam jangka waktu lama memudahkan
seseorang untuk mendapat infeksi oleh karena penekanan sistem imunologik
(Calabres & Nieman, 1996; Soleh, 2005). Secara ringkas Granner (1988) yang
dikutip oleh Soleh (2005), mengemukakan efek kortisol terhadap sistem imun
adalah sebagai berikut :
1. Menekan sintesis imunoglobulin.
2. Menurunkan populasi sel PMN, limfosit dan makrofag dalam darah tepi.
3. Menimbulkan atropi jaringan limfosit dalam timus, limpa dan kelenjar
limfe.
Selain mempengaruhi hipotalamus melalui mekanisme umpan balik
negatif untuk sekresi ACTH, juga mempengaruhi tingkah laku dan emosi.
39
HPA
AXIS
PADA
REAKSI
INFLAMASI
YANG
DIPERANTARAI IMUN
Adrenocortical Hormon
Efek antiinflamasi dan imunosupresif yang dimiliki oleh glukokortikoid
membuatnya menjadi agen terapi yang
41
dengan tiroiditis Hashimoto. CRH dan mRNA nya, atau keduanya juga hadir
dalam sirkulasi sel darah putih dan dalam sel-sel timus dan limpa.
Menetralkan antibodi terhadap CRH mengurangi peradangan seefektif
immunoneutralisasi
TNF-,
sebuah
sitokin
proinflamasi
yang
jelas.
Konsentrasi CRH di situs inflamasi sama tingginya seperti pada sistem portal
hypophysial, tetapi dalam sampel plasma diperoleh bersamaan hormon ini
tidak terdeteksi. Katabolisme yang cepat, uptake, atau mengikat dapat
mencegah masuknya peptida ke dalam sirkulasi sistemik. (Soleh, 2005)
Pengaruh Reaksi Inflamasi yang Dimediasi Imun terhadap HPA axis
Beberapa mediator yang beredar memiliki peran utama dalam
mengaktifkan sumbu HPA selama stres inflamasi. Awalnya ditunjuk "
corticotropin-releasing factor jaringan," dimana mediator ini benar-benar
berbeda dari imun CRH, yang biasanya tidak menyebar ke dalam sirkulasi
umum. Sebaliknya, mereka adalah campuran dari sitokin dan partisipan utama
lainnya dalam reaksi imun dan inflamasi. Tiga sitokin - TNF-, interleukin-1,
dan interleukin-6 tampak untuk hampir seluruh aktivitas HPA-axis-stimulating
dalam plasma. TNF- biasanya muncul pertama, kemudian diikuti oleh sekresi
Interleukin-1 dan Interleukin-6. (Elenkov & Chrousos, 1999)
Interleukin-1 adalah sebutan bagi beberapa polipeptida sitokina IL-1,
IL-1 dan IL-1Ra, yang memainkan peran penting dalam regulasi sistem
kekebalan dan respon peradangan. IL-1 dan IL-1 masing-masing memiliki
berkas genetik IL1A, dan IL1B,pada kromosom 2 deret yang sama yaitu 2q14,
dan merupakan sitokin pleiotropik hasil sekresi monosit dan makrofag berupa
prohormon, sebagai respon saat sel mengalami cedera, oleh karena itu
menginduksi apoptosis. Beberapa pakar menganggap bahwa defisiensi genetik
IL-1 berperan dalam reumatoid artritis dan Alzheimer. IL-1 merupakan
sitokina yang diiris oleh ICE, dan berperan di dalam aktivitas selular seperti
proliferasi, diferensiasi dan apoptosis. Induksi COX-2 pada sitokin ini di
dalam sistem saraf pusat ditemukan sebagai penyebab hipersensitivitas yang
memberikan rasa sakit. (Elenkov & Chrousos, 1999)
42
43
memproduksi
interleukin-1
dan
interleukin-6,
yang
dapat
44
45
tubuh dan memasuki jaringan atau sel-sel dalam tubuh. Patogen juga dapat
menghancurkan sistem imun dalam tubuh kita dan menggandakan diri di
dalam tubuh. Patogen juga dapat menghancurkan jaringan-jaringan dalam
tubuh kita dengan melepaskan racun. Jika kekebalan tubuh kita dapat
dikalahkan oleh patogen, berarti tubuh kita mengalami suatu penyakit. Respon
imun tubuh alamiah terhadap serangan patogen baru akan muncul dalam
waktu 24 jam (Diah Aryulina, 2004).
Sistem imun mencakup sumsum tulang, timus, limpa, dan limfonodus;
kelompok limfosit ditemukan dalam paru dan mukosa saluran cerna; linfosit
dalam darah dan limfe; dan limfosit dan sel plasma yang tersebar luas dalam
jaringan ikat di seluruh tubuh. Fungsi bersama kelompok heterogen sel-sel dan
organ ini adalah untuk melindungi organisme terhadap efek invasi yang
berpotensi merusak dari makromolekul eksogen, apakah mereka memasuki
tubuh dalam bentuk itu atau sebagai unsur dari virus, bakteri, atau protozoa.
Hal ini tercapai melalui mekanisme pertahanan seluler dan humoral yang
bersama-sama merupakan respon imun (Jan Tambayong, 1994).
Tujuan utama sistem imun adalah untuk mempertahankan tubuh dari
serangan mikroorganisme. Melalui saluran limfatiknya, sistem imun juga
melakukan fungsi transportasi seperti darah. Sistem imun terdiri dari jutaan sel
yang bersirkulasi dan struktur khusus, seperti nodus limfe yang berlokasi di
seluruh tubuh (Patricia Gonce Morton, 1997).
Sistem imun memiliki beberapa fungsi tubuh, yaitu:
1. Penangkal benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
2. Untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan
komponen tubuh yang telah tua.
3. Sebagai pendeteksi adanya sel-sel abnormal, termutasi, atau ganas, serta
menghancurkannya (Diah Aryulina, 2004).
Defisiensi sistem imun adalah kondisi respons imun defektif, yang
mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Gangguan defisiensi
sistem imun dapat disebabkan oleh obat (seperti kemoterapi sitotoksik),
46
47
Patofisiologi
Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan
tidak
terpenuhi
secara
adekuat,
sehingga
menimbulkan
adanya
post-ganglion.
Distribusi
serat
saraf
pada
organ
ini
48
peningkatan
glukokortikoid
glukokortikoid
plasma.
Selama
kondisi
stres,
49
50
BAB IV
DISFUNGSI EREKSI
A. DEFINISI EREKSI
Ereksi adalah keadaan menjadi kaku dan tegak; seperti jaringan erektil
ketika terisi darah. Pada waktu ereksi, volume penis bertambah karena
terkumpulnya darah dalam korpus kavernosum dan korpus spongiosum. Pada
orang yang berdiri, penis yang ereksi akan membentuk sudut antara 00 dan 450
dari bidang horizontal. Pada keadaan demikian batang penis terasa kaku dan
tekanan intrakavernosum mendekati tekanan rata rata pembuluh darah nadi.
Pada keadaan demikian, volume darah dalam penis meningkat lebih dari
delapan kali dibandingkan saat lemas (Robert C, 2005).
B. MEKANISME EREKSI
Ereksi merupakan hasil dari suatu interaksi yang kompleks dari faktor
psikologik, neuroendokrin dan mekanisme vaskular yang bekerja pada
jaringan ereksi penis.
Ereksi terjadi melalui 2 mekanisme:
1. Pertama, adalah reflex ereksi oleh sentuhan pada penis (ujung batang dan
sekitarnya).
2. Kedua, ereksi psikogenik karena rangsangan erotis. Keduanya menstimulir
sekresi nitric oxide yang memicu relaksasi otot polos batang penis
(corpora cavernosa), sehingga aliran darah ke area tersebut meningkat dan
terjadilah ereksi. Disamping itu, produksi testosteron (dari testis) yang
memadai dan fungsi hipofise (pituitary gland) yang bagus, diperlukan
untuk ereksi.
Oleh beberapa peneliti, proses ereksi dan detumesens diringkaskan
menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase 0 (fase flaksid)
Pada keadaan lemas, yang dominan adalah pengaruh sistem saraf
simpatik. Otot polos arteriola ujung dan otot polos kavernosum
berkontraksi. Arus darah ke korpus kavernosum minimal dan hanya untuk
51
keperluan nutrisi saja. Kegiatan listrik otot polos kaverne dapat dicatat,
menunjukkan bahwa otot polos tersebut berkontraksi. Arus darah vena
terjadi secara bebas dari vena subtunika ke vena emisaria.
2. Fase 1 (fase pengisian laten)
Setelah terjadi perangsangan seks, sistem saraf parasimpatik
mendominan, dan terjadi peningkatan aliran darah melalui arteria
pudendus interna dan arteria kavernosa tanpa ada perubahan tekanan
arteria sistemik. Tahanan perifer menurun oleh berdilatasinya arteri helisin
dan arteri kavernosa. Penis memanjang, tetapi tekanan intrakavernosa
tidak berubah.
3. Fase 2, Fase tumesens ( mengembang)
Pada orang dewasa muda yang normal, peningkatan yang sangat
cepat arus masuk (influks) dari fase flasid dapat mencapai 25 60 kali.
Tekanan intrakavernosa meningkat sangat cepat. Karena relaksasi otot
polos trabekula, daya tampung kaverne meningkat sangat nyata
menyebabkan pengembangan dan ereksi penis. Pada akhir fase ini, arus
arteria berkurang.
4. Fase 3 (fase ereksi penuh)
Trabekula yang melemas akan mengembang dan bersamaan
dengan meningkatnya jumlah darah akan menyebabkan tertekannya
pleksus venula subtunika ke arah tunika albuginea sehingga menimbulkan
venoklusi. Akibatnya tekanan intrakaverne meningkat sampai sekitar 10
20 mmHg di bawah tekanan sistol.
5. Fase 4 atau fase ereksi kaku (rigid erection) atau fase otot skelet.
Tekanan intakaverne meningkat melebih tekanan sistol sebagai
akibat kontrasi volunter ataupun karena refleks otot iskiokavernosus dan
otot bulbokavernosus menyebabkan ereksi yang kaku. Hal demikian
menyebabkan ereksi yang kaku. Pada fase ini tidak ada aliran darah
melalui arteria kavernosus.
6. Fase 5 atau fase transisi.
52
intrakaverne
menurun
dengan
cepat,
mekanisme
53
neurotransmiter
(dopamin,
norepinefrin,
5-
penuaan
walaupun
prevalensinya
meningkat
sejalan
dengan
Oleh
karena
itu, bebrapa
organisasi
telah
mencoba
untuk
dan
Brock
(sebagaimana
dikutip
oleh
Wibowo,
2007)
55
1. Ketuaan
2. Gangguan psikologis, misalnya depresi, ansietas
3. Gangguan neurologis, misalnya: penyakit serebral, trauma spinal, penyakit
medulla spinalis neuropati, trauma nervus pudendosus
4. Penyakit
hormonal
(libido
menurun),
misalnya:
hipogonadism,
sumsum tulang
atau panggul,
mengidap
penyakit
kronis
(DM,
58
libido dapat diakibatkan dari penyebab organik atau psikologik. Dari sisi
psikogenik,
depresi
bisa
mempengaruhi
neurotransmiter
yang
juga
Erection
GTP
guanylyl
cyclase
Smooth muscle
relaxation
cGMP
Nitric Oxide
PDE-5
Parasympathetic
signal to penis
5-GMP
Detumescence
Arousal
Sel endotel dan nervus terminal melepaskan nitric oxide, yang pada
gilirannya meningkatkan kadar cyclic guanosine monophosphate (cGMP).
Kadar cGMP yang berlimpah menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan
kavernosa,
serta
meningkatkan
aliran
darah
penis.
Ketika
tekanan
1. Asetilkolin
2. Serotonin
3. Norepinefrin
4. Dopamin
5. Glutamat
6. Gamma-aminobutyric acid ( GABA )
Secara keseluruhan, gangguan neurotransmitter dan biomolekuler pada
depresi dilihat dalam gambar berikut.
60
seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjaga ereksi. Berikut ini
adalah alur penanganan penderita yang diduga menderita disfungsi ereksi:
61
62
63
vaskulogenik.
Revaskularisasi
arteriel
tidak
64
65
66
parasimpatis
dan
endothelium
membangkitkan
membangkitkan
67
68
DAFTAR PUSTAKA
Alan J. Wein, MD, PhD(Hon) Professor and Chair, Division of Urology,
University of Pennsylvania School of Medicine. (2007). Campbell-Wash
Urology 9th edition. Saunders Elesevier.
Alloy L.B., J.H Riskind, M.J Monos. (2005). Stress and Physical Disorders. In
Abnormal Psychology: Current Perspectives. 9th ed, 214-221.
Asadi, A., & Usman, A. (2001). The Role of Psychological Stress in Skin Disease.
J of Cutaneous Med and Surgery, 2:140-5.
Baron R.A, dan Byrne D.B. (1994). Social Psychology. Understansing Human
Interaction, 99-122.
Carlson, N.R. (2005). Stress Disorders. In: Foundations of Physiological
Psychology 6 Edition, 99-122.
Chevalier, Gaetan et.al. (2011). Clinical Applications. Emotional Stress, Heart
Rate Variability, Grounding, and Improved Autonomic Tone, 10:119-127.
Chrousos, G. (1995). The HypothalamicPituitaryAdrenal Axis And ImmuneMediated Inflammation. Seminars In Medicine Of The Beth Israel
Hospital, 332 (20) : 1351 62.
Contrada, & Baum. (2010). The Handbook of Stress Science: Biology,
Psychology, and Health. New York: Springer Publishing Company.
Cox, T. (1995). Stres, Coping and Health. In Health Psychology Process And
Application Edited By Annabel Broome And Sue Llewelyn, 2nd Edition.
London: Champman & Hall.
Elenkov, I., & Chrousos, G. (Trends Endocrinol Metab). Stress Hormones,
Th1/Th2 patterns, pro/anti-inflamatory Cytokines and Susceptibility to
Disease. 1999: 10: 359-68.
69
Ellen, J.-G., Melinda, S., Heather, L., & Jeanne, S. (2007). Undestanding Stress:
Signs, Symptoms, Causes, and Effects. Helpguide.org.
Genco RJ, Ho AW, Kopman J, Grossi SG, Dunford RG, Tedesco LA. (1998).
Models to Evaluate the Role of Stress in Periodontal Disease. Ann
Periodont , (3): 288 -302.
Gunarsa. (1995). Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta:
Gunung Mulia.
Guyton. (2002). Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbt Buku
Kedokteran ECG.
H, A. (2008). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Hawari, D. (2008). Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.
Inc, Accelerated Cure Project. (2007). A Framework for Describing Physical and
Psychological Trauma and Stress as a Cause of Disease.
Kim, J. a. (2011). Stress hormone and Skin Disease. http://www.intechopen.com/ .
Lazarus RS, F. S. (1984). Stress Appraisal and Coping. New York: Springer
Publishing Company.
Lupien Sonia J, M. B. (2009). Effects of Stress Troughout The Lifespan on The
Brain, Behavior, and Cognition. Nature Reviews Neuroscience , 10:434445.
Notosoedirdjo, M. (1999). Psychobiological Basis of Psychoneuroimmunology.
Jakarta: Folia Medika Indonesiana .
OConnor, T., OHalloran, D., & Shanahan, F. (2000). The Stress response and
the HypothalamicPituitaryAdrenal Axis : from molecule to melancholia.
Q J Med , 93 : 323-33.
70
K.-E.
A.
(2012).
Physiology
of
Penile
Erection.
(http://physrev.physiology.org/cgi/pdf_extract/75/1/191, Ed.)
WF, M., & AA, M. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
Wibowo, S., & Gofir, A. (2008). Disfungsi Ereksi. Yogyakarta: Pustaka Cendekia
Press.
Yuliadi, I. (2014). Stress dan Libido. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
71