Anda di halaman 1dari 71

Referat

PSIKONEUROIMUNOLOGI
STRESS DAN DISFUNGSI EREKSI

Disusun oleh:
Dokter Muda Psikiatri Periode 16 Maret 11 April 2015

Nurrasyidah

G99132005

Rizal Tahta Maulana

G99132008

M. Idzham Reeza

G99132009

Aditya Bawono

G99132010

Carko Budiyanto

G0007049

Pembimbing:
Istar Yuliadi, dr.,M.Si. FIAS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA/PSIKIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan referat kepaniteraan
kliniki ilmu kedokteran jiwa/psikiatri dengan judul Psikoneuroimunologi Stress
Dan Disfungsi Ereksi.
Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan referat ini tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa bimbingan dan nasihat, oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr.,Sp.KJ(K)
2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr.,Sp.KJ(K)
3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr.,Sp.KJ(K)
4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr.Sp.KJ(K)
5. Mardiatmi Susilohati, dr.,Sp.KJ(K)
6. Yusvick M. Hadin, dr.,Sp.KJ
7. Djoko Suwito, dr.Sp.KJ
8. I.G.B. Indro Nugroho, dr.Sp.KJ
9. Gst. Ayu Maharatih, dr.,Sp.KJ
10. Makmuroch, Dra. MS
11. Debree Septiawan, dr.,Sp.KJ.,M.Kes
12. Istar Yuliadi, dr.,M.Si. FIAS
13. Rohmaningtyas HS, dr.,Sp.KJ.,M.Kes
14. RH Budhi M, dr.,Sp.KJ(K)
15. Maria Rini I, dr.,Sp.KJ
16. Adriesti H, dr.,Sp.KJ(K)
17. Wahyu Nur Ambarwati, dr.,Sp.KJ.,M.Kes.
18. Setyowati Raharjo, dr.,Sp.KJ

Penulis menyadari dalam referat

ini masih banyak kekurangan dan

kekeliruan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat kami harapkan untuk perbaikan referat ini.
Semoga apa yang telah penulis susun dapat bermanfaat bagi banyak
pihak dan dapat menjadi bahan informasi yang berguna.

Surakarta, 10 April 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul......................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 6
BAB II STRESS...................................................................................................... 9
A.

Definisi Stress ............................................................................................. 9

B.

Gejala Dan Tanda Stress ........................................................................... 11

C.

Sumber Stress ............................................................................................ 12

D.

Jenis-Jenis Stressor ................................................................................... 15

E. Derajat Stress ............................................................................................. 16


F.

Macam-Macam Stress ................................................................................ 17

G.

Model Stress Kesehatan ............................................................................ 18

H.

Faktor Pengaruh Respon Terhadap Stressor ............................................. 19

I.

Daya Tahan Stress ...................................................................................... 21

J.

Sifat Dan Reaksi Terhadap Stress .............................................................. 21

K.

Fight Or Flight Response Pada Stress ....................................................... 24

L. Respon Fisiologis Stress ............................................................................ 25


M. Faktor Yang Mempengaruhi Perbedaan Respon Stress ............................ 25
N.

Dampak-Dampak Stress ............................................................................ 26

BAB III PSIKONEUROIMUNOLOGI ................................................................ 31


A.

Definisi ...................................................................................................... 31

B.

Sejarah ....................................................................................................... 32

C.

Sistem Limbik, Hipotalamus Dan Pengaturan Emosi ............................... 33

D.

Konsep Stress Dalam Psikoneuroimunologi ............................................. 36

E. Kelenjar Adrenal Dan Sekresi Kortisol...................................................... 38


F.

Pengaruh Hpa Axis Pada Reaksi Inflamasi Yang Diperantarai Imun........ 40

BAB IV DISFUNGSI EREKSI ............................................................................ 51


A.

Definisi Ereksi........................................................................................... 51

B.

Mekanisme Ereksi ..................................................................................... 51

C.

Disfungsi Ereksi (De)................................................................................ 54


4

D.

Penyebab Disfungsi Ereksi (De) ............................................................... 55

E. Klasifikasi Disfungsi Ereksi....................................................................... 56


F.

Psikoneuroimunologi Disfungsi Ereksi ..................................................... 57

G.

Manajemen Disfungsi Ereksi .................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 69

BAB I
PENDAHULUAN

Kondisi sehat dapat dipertahankan karena individu mempunyai


ketahanan tubuh yang baik. Stress terjadi karena tidak adekuatnya kebutuhan
dasar manusia yang akan dapat bermanifes pada perubahan fungsi fisiologis,
kognitif, emosi dan perilaku. Paradigma yang banyak dianut pada saat ini adalah
memfokuskan pada hubungan antara perilaku, sistem saraf pusat (SSP), fungsi
endokrin dan imunitas. Responsivitas sistem imun terhadap stress menjadi
konsep dasar psikoneuro-imunologi. Mekanisme hubungan tersebut diperantarai
oleh mediator kimiawi seperti glukokortikoid, zat golongan amin dan berbagai
polipeptida melalui aksis limbik hipotalamus-hipofisis-adrenal yang dapat
menurunkan respon imun seperti aktifitas sel natural killer (NK), interleukin (IL2R mRNA), TNF-dan produksi interferon gama (IFN).
Stress merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam
percakapan sehari-hari. Stress adalah salah satu dampak perubahan sosial dan
akibat dari suatu proses modernisasi yang biasanya diikuti oleh proliferasi
teknologi, perubahan tatanan hidup serta kompetisi antar individu yang makin
berat.
Para ahli perilaku mempelajari hubungan perilaku dengan sistem
kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu isu menarik adalah
hubungan antara stress dengan sistem kekebalan tubuh. Akhir-akhir ini
berkembang penelitian tentang hubungan antara perilaku, kerja saraf, fungsi
endokrin dan imunitas. Penelitian-penelitian tersebut telah mendorong munculnya
konsep baru yaitu psikoneuroimunologi.
Stress merupakan suatu keadaan yang sudah tidak asing lagi bagi
kalangan masyarakat di seluruh dunia. Setiap orang kemungkinan pernah
mengalami stress dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Pada saat seseorang
mengalami stress, dapat ditemui gejala-gejala seperti sulit tidur, timbul rasa kuatir
yang berlebih, sulit berkonsentrasi, dan masih banyak gejala yang lainnya
(Kisker, 1997).

Definisi stress sampai saat ini masih sangat sulit untuk dijabarkan oleh
para ilmuwan, karena itu merupakan sensasi subjektif yang berhubungan dengan
gejalagejala yang bervariasi, dimana masing-masing ahli memiliki pendapat yang
berbeda. Dalam tingkatan yang rendah stress mungkin berguna bagi tubuh, tetapi
jika stress tersebut menjadi berat dan berkepanjangan akan mempengaruhi fungsi
fisik dan mental, hal ini akan menjadi masalah besar yang perlu penanganan lebih
lanjut (Kisker, 1997). Jika keadaan stress pada seseorang dibiarkan begitu saja,
tanpa ada upaya penanganan atau upaya pengobatan maka sudah dipastikan akan
banyak masyarakat di dunia ini yang akan mengalami gangguan kejiwaan
(Tristiadi, 2007).
Prevalensi stress semakin meningkat baik dalam kalangan masyarakat
yang tinggal di perkotaan, maupun yang tidunggal di pedesaan. Bahkan di zaman
global ini stress cenderung lebih banyak menyerang masyarakat dengan tingkat
perekonomian tinggi daripada masyarakat dengan tingkat perekonomian rendah,
meskipun demikian terdapat perbedaan daripada tingkatan-tingkatan stress yang
dialami oleh masingmasing golongan masyarakat tersebut (Kisker,1997). Di
Amerika, stress menjadi masalah besar karena 43% orang dewasa mengalami
gangguan kesehatan akibat dari stress, 75-90% kunjungan ke pusat kesehatan
berkaitan dengan stress, dan 60-80% kecelakaan industri berkaitan dengan
masalah stress (Jaffe-Gill, 2007).
Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi
modernisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah mempengaruhi
nilai-nilai moral etika dan gaya hidup. Hal tersebut merupakan stressor
psikososial sehingga bagi sebagian individu dapat menimbulkan perubahan dalam
kehidupan dan dia harus berusaha untuk beradaptasi dan menanggulanginya.
(Hawari, 2008; Maramis, 2009).
Penelitian menunjukkan bahwa stress memberi kontribusi 50 sampai 70
persen

terhadap

timbulnya

sebagian

besar

penyakit

seperti

penyakit

kardiovaskuler, hipertensi, kanker, penyakit kulit, infeksi, penyakit metabolic, dan


yang berat akan memperlihatkan tanda-tanda mudah lelah, sakit kepala, hilang

nafsu, mudah lupa, bingung, gugup, kehilangan gairah seksual, kelainan


pencernaan, dan tekanan darah tinggi (Hawari, 2008).
Stress adalah sesuatu yang alami, natural. Akan tetapi, stress dapat
mempengaruhi tubuh, pikiran, dan perilaku. Ia menimbulkan perasaan gelisah,
was-was, tidak nyaman, sulit tidur, tertekan hingga gangguan fisik (Hawari,
2008). Stress merupakan kondisi yang serius karena jika tidak mendapat
penanganan yang tepat dapat menyebabkan gangguan fungsi fisik maupun sosial.
Sampai saat ini penanganan yang memuaskan dalam menangani stress belum
dapat dirumuskan karena faktor etiologi dan perjalanan penyakitnya yang
beragam sehingga perlu kesepahaman dalam mengerti faktor-faktor yang berperan
di dalam gangguan stress.

BAB II
STRESS

A. DEFINISI STRESS
Istilah stress pertama kali digunakan oleh Hans Selye tahun 1936
dalam laporan penelitiannya, didefinisikan sebagai respon tidak spesifik dari
tubuh terhadap tuntutan perubahan (dalam Yuliadi, 2014). Dwight Carlson
mengatakan

bahwa

stress

adalah

suatu

perasaan

ragu

terhadap

kemampuannya untuk mengatasi sesuatu, suatu anggapan bahwa persediaan


yang ada tidak dapat memenuhi permintaan yang didapat. Maramis
mengatakan bahwa stress adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian
diri dank arena itu sesuatu yang menganggu keseimbangan kita (Maramis,
2009). Menurut The American Institute of Stress, stress adalah perasaan tidak
mempunyai kendali atau hanya sedikit kendali (dalam Yuliadi, 2014).
Pengertian lain mengatakan bahwa stress menunjukkan suatu tekanan
atau tuntutan yang dialami individu atau organisme agar ia beradaptasi atau
menyesuaikan diri, bila kita tidak dapat mengatasinya dengan baik, akan
muncul gangguan badan ataupun gangguan jiwa (Nevid, 2005; Maramis,
2009). Stress adalah salah satu konsep dasar psikiatri (Sadock & Sadock,
2009).
Stress adalah respons tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap
tuntutan beban atasnya. Misalnya, bagaimana respons tubuh sesorang
manakala yang bersangkutan mengalami pekerjaan yang berlebihan. Bila ia
sanggup mengatasinya, artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh,
dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stress. Tetapi sebaliknya,
ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga
yang tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik ia disebut
mengalami distress (Hawari, 2008).
Stress dibedakan menjadi dua, yakni stress yang merugikan dan
merusak (disebut distress) serta stress yang positif dan menguntungkan
(disebut eustress). Setiap individu mempunyai reaksi yang berbeda terhadap

jenis stress, dalam kenyataannya stress menyebabkan sebagian individu


menjadi putus asa, tetapi bagi individu lain justru menjadi dorongan baginya
untuk lebih baik (dalam Yuliadi, 2014).
Konsep Dasar Stress
Sesuatu yang sangat penting dalam model konsep adalah organisme itu
sendiri. Tergantung pada proses internal seperti bekerjanya perhatian,
persepsi, dan memori, pada makna dari rangsangan baginya, organisme
berbeda yang mendapat rangsangan serupa dapat memberikan resnpons
berbeda. Hal ini dapat digambarkan dengan singkatan S-O-R-C (stimulus
organism response consequences). Model S-O-R-C adalah dasar bangunan
dari teori pembelajaran sosial kognitif dan perilaku (Froggatt, 2006).
Selye, seorang endrokrinologis yang telah memperkenalkan suatu riset
ilmiah, meurumuskan tiga tingkat respons individu terhadap stress yang
disebut general adaptation syndrome, yang meliputi: (1) tingkat alarm yang
mengaktifkan respon individu terhadap lawan atau membentuk defense
mechanism; (2) tingkat resistensi, kemampuan organisme untuk beradaptasi
sangat merosot tajam. Menurut Selye, istilah stress dapat digunakan baik
untuk pengertian secara positif (eustress) maupun negatif (distress) (dalam
Yuliadi, 2014).
Penjelasan dari sistem dari sistemregulasi fungsional, seperti sistem
saraf, hormone, kekebalan, yang menghubungkan pikiran dan tubuh adalah
tema yang penting dalam kedokteran psikosomatis. Sama dengan hal itu,
penting juga untuk menjelaskan bagaiman dan apa bentuk ketidakseimbangan
atau distorsi faktor psikis perilaku, seperti kebiasaan hidup harian yang
tidak adekuat dan cara coping stress yang tidak sesuai, telah mempengaruhi
kemungkinan untuk atau berlanjutnya suatu penyakit. Hal ini selanjutnya
meliputi pendekatan sosial budaya yang bersifat epidemiologis, tidak hanya
memfokuskan secara tunggal pada aspek psikologis atau perilaku (dalam
Yuliadi, 2014).
Setiap individu/pasien memiliki kekhususan atau (keunikan) sendiri
yang berakar pada jenis kelamin, konstitusi, pengalaman hidup, umur, fase

10

kehidupan, sumber-sumber kekuatan dan dukungan lain, agama, kepercayaan,


budaya, dan sebagainya, yang mempengaruhi keadaannya, baik dalam kondisi
sakit maupun sehat. Berbagai aspek tersebut perlu dipertimbangkan dalam
menangani masalah kesehatan (Wibisono, 2007).
B. GEJALA DAN TANDA STRESS
Stress dapat dialami oleh semua orang, bila stress bersifat eustress,
artinya dapat memotivasi agar seseorang bersemangat mengatasi problemnya,
justru diperlukan oleh seseorang sebagai pendorong dan pembangkit
semangat, tetapi bila bersifat distress, yaitu membuat seseorang menjadi
terganggu dan tidak dapat melakukan fungsi sosial dan pekerjaan seperti
biasanya, dapat mempengaruhi fungsi kehidupan yang lain (Accelerated Cure
Project, 2007).
Stress mempengaruhi manusia baik secara fisik, kognitif, emosi, dan
perilaku sehingga gejala dan tanda stress dapat dibagi berdasarkan fisik,
kognitif, emosi, dan perilaku.gejala dan tanda ini berbeda-beda untuk setiap
orang karena faktor biologis dan pembawaan yang berbeda dari setiap
individu (Jaffe-Gill et al., 2007).
1. Gejala dan tanda fisik dapat berupa nyeri kepala atau nyeri punggung,
ketegangan atau kekakuan otot, mual, pusing, sulit tidur, mencret atau
diare, gangguan tidur, nyeri dada, jantung berdebar cepat, penambahan
atau pengurangan berat badan, gangguan kulit, hilangnya dorongan
seksual, dan sering meriang.
2. Gejala dan tanda kognitif dapat berupa gangguan daya ingat, kesulitan
konsentrasi, sulit berpikir jernih, sulit mengambil keputusan, hanya
berpikiran yang buruk, pikiran kecemasan, kekhawatiran yang menetap,
kehilangan objektivitas, dan antisipasi ketakutan.
3. Gejala dan tanda emosional dapat berupa tergantung mood, marah,
gampang emosi, gampang terpancing, tidak sabar, tidak dapat tenang,
merasa di ujung tanduk, merasa terancam, merasa sendiri dan tersingkir,
sedih.

11

4. Tanda perilaku dapat berupa tidur berlebihan atau kurang, menghindari


orang lain, menolak bertanggungjawab, penggunaan zat untuk santai,
gugup, menggertakan gigi, aktivitas berlebihan, bersikap berlebihan
terhadap suatu masalah, bertengkar dengan orang lain.
(Jaffe-Gill et al., 2007).
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata dampak stress ini tidak
hanya mengenai gangguan fungsional hingga organ tubuh, tetapi juga
berdampak pada bidang kejiwaan, misalnya kecemasan dan atau depresi.
Kecemasan (anxiety/ansietas) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang
ditandai oleh perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan
berkelanjutan, dimana pasien tidak mengalami gangguan dalam menilai
realitas (RTA masih baik) dan kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat
terganggu, tetapi masih dalam batas-batas normal. Depresi adalah gangguan
alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang
mendalam dan berkelanjutan sehingga gairah hidup hilang, tetapi tidak
mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian tetap utuh, dan
perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari,
2008).
C. SUMBER STRESS
Stressor atau sumber stress, dapat dalam berbagai bentuk, meliputi
fisik, psikologis, dan sosial-budaya, masa lalu, sekarang dan masa yang akan
datang, positif dan negatif, serta akut dan kronis (Accelerated Cure Project,
2007).
Gejala emosional atau perilaku dapat terjadi sebagai respons peristiwa
kehidupan yang menimbulkan stress (Saddock & Sadock, 2009). Faktor
penyebab stress disebut stressor, sebagian contohnya (Hawari, 2008) yaitu:
1. Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stress yang
dialami seseorang, misalnya pertengkaran, perpisahan, perceraian,
kematian salah satu pasangan dan ketidaksetiaan.

12

2. Problem orang tua


Permasalahan yang dihadapi orang tua, misalna tidak mempunyai anak,
kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit, hubungan yang tidak baik
dengan mertua, ipar, dan besan.
3. Hubungan interpersonal (antar pribadi)
Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang
mengalami konflik, konflik dengan kekasih, antara atasan dan bawahan.
4. Pekerjaan
Masalah pekerjaan merupakan sumber stress kedua setelah masalah
perkawinan, misalnya pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok,
mutasi, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, dan kehilangan pekerjaan
(PHK).
5. Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan
seseorang, misalnya soal perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran.
Hidup dalam lingkungan yang rawan.
6. Keuangan
Masalah keuangan (kondisi sosial ekonomi) yang tidak sehat, misalnya
pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang,
kebangkrutan usaha, dan soal warisan.
7. Hukum
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber
stress.
8. Perkembangan
Yang dimaksud adalah perkembangan, baik fisik maupun mental
seseorang, misalnya masa remaja, masa dewasa, menopause, dan usia
lanjut.
9. Penyakit fisik atau cidera
Sumber stress yang dapat menimbulkan depresi, misalnya penyakit
kecelakaan, operasi, dan aborsi.

13

10. Faktor keluarga


Faktor stress yang dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan oleh
kondisi keluarga yang tidak baik (sikap orang tua), misalnya orang tua
bercerai, jarang di rumah, ketegangan dengan anak, dan orang tua otoriter.
11. Trauma
Seseorang yang mengalami bencana alam, kecelakaan transportasi,
kebakaran, kerusuhan, peperangan, kekerasan, penculikan, perampokan,
perkosaan, dan kehamilan diluar nikah.
Apabila dikelompokkan, segala sumber stress pada manusia bersumber
dari 4 hal, yaitu (Maramis, 2009):
1. Frustrasi
Frustrasi muncul bila ada aral melintang antara individu dan
maksud/tujuannya, misalnya seseorang mau melanjutkan sekolah, tetapi
orang tuanya tak memiliki biaya. Frusatasi dapat berasal dari dalam dan
luar diri seseorang.
2. Konflik
Konflik terjadi bila individu tidak dapat memilih antara dua atau lebih
macam kebutuhan atau tujuan. Memilih yang satu berarti frustrasi terhadap
yang lain. Terdapat tiga macam konflik, yaitu:
a. Konflik pendekatan-penolakan: individu dihadapkan pada suatu
keadaan yang mengharuskan dia mengambil keputusan, tetapi ia tidak
dapat menentukan karena di satu sisi dia menginginkan hal tersebut,
tetapi di sisi lain ada risiko yang tidak dia sukai jika dia menuruti apa
yang dia inginkan tersebut. Misalnya, seseorang ingin menikah dengan
seorang perempuan yang cantik dan luwes, tetapi memiliki orang tua
yang galak dan judes.
b. Konflik pendekatan ganda: individu dihadapkan pada dua pilihan yang
sama-sama dia inginkan.senangi, tetapi dia tidak dapat memilih
keduanya sekaligus dan harus melepaskan salah satunya. Misalnya,
seorang yang jatuh cinta pada dua hati.

14

c. Konflik penolakan ganda: individu dihadapkan pada dua pilihan yang


sama-sama tidak dia senangi/inginkan, padahal dia harus memilih
salah satu. Misalnya, apakah dia memilih pekerjaan yang tidak
menarik atau menganggur.
3. Tekanan
Tekanan juga dapat menjadi sumber stress. Tekanan dapat berasal
dari dalam dan luar individu. Tekanan dari dalam datang dari cita-cita atau
norma-norma yang kita gantungkan terlalu tinggi dan individu
mengejarnya tanpa ampun, sehingga dia terus-menerus berada di bawah
tekanan.
Tekanan dari luar misalnya anak yang menuntut orang tuanya
untuk selalu memenuhi keinginannya, seorang istri yang mengeluh pada
suaminya bahwa uang belanjanya tidak cukup.
4. Krisis
Krisis adalah suatu keadaan yang mendadak menimbulkan stress
pada seorang individu ataupun suatu kelompok, misalnya: kematian,
kecelakaan, masuk sekolah yang pertama kali, bencana alam, dan
sebagainya.
Tak jarang, beberapa keadaan di atas secara bersamaan dialami oleh
seorang individu.
D. JENIS-JENIS STRESSOR
Tabel 1. Jenis Stressor Dalam Tahap Perkembangan
Tahap Perkembangan
Anak

Remaja

Dewasa Muda

Jenis Stressor
Konflik mandiri dan ketergantungan
orang tua
Hubungan dengan teman sebaya
Kompetisi dengan teman
Perubahan tubuh
Hubungan dengan teman
Seksualitas
Mandiri
Menikah
Meninggalkan rumah
Mulai bekerja
15

Dewasa Tengah

Dewasa Tua

Melanjutkan pendidikan
Membesarkan anak
Menerima proses menua
Status sosial
Usia lanjut
Perubahan tempat tinggal
Penyesuaian diri masa pension
Proses kematian

(Alimul, 2008)
E. DERAJAT STRESS
Stress dapat mengenai semua orang dalam berbagai tingkatan usia.
Menurut Hawari, sress timbul secara lambat dan tidak disadari kapan
munculnya. Adapun derajat stress terbagi dalam 6 tingkatan yaitu:
1. Stress tingkat I
Tingkat ini merupakan tingkatan dasar atau yang paling ringan dari
suatu stress. Pada tingkatan ini biasanya disertai semangat hidup yang
besar, penglihatan tajam seperti biasanya, gugup yang berlebihan. Sikap
pasien yang mengalami stress pada tahap ini biasanya menyenangkan,
tetapi tidak disadari cadangan energinya menipis.
2. Stress tingkat II
Tingkatan ini merupakan tahap lanjut dari stress dasar. Pada tahap
ini mulai muncul keluhan karena cadangan energi tidak cukup lagi untuk
sepanjang hari. Keluhan yang dialami pasien antara lain letih pada waktu
pagi hari, lelah setelah makan siang dan menjelang sore, serta ada
gangguan otot dan pencernaan.
3. Stress tingkat III
Tahap ini gejala semakin terasa dan mulai mengalami gangguan
pada lambung dan usus seperti adanya keluhan gastritis, buang air besar
tidak teratur, gangguan lain seperti ketegangan otot makin terasa dan
perasaan tidak tenang. Munculnya gangguan tidur pada pasien seperti
terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur. Pasien merasa dirinya
ingin pingsan. Pada tahap ini sebaiknya pasien penderita berkonsultasi
dengan dokter.

16

4. Stress tingkat IV
Tahap ini keadaan semakin memburuk yang ditunjukkan oleh
kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit, semula tanggap
terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara
adekuat, konsentrasi menurun, sulit tidur, dan ada rasa takut yang tak
terdefinisikan.
5. Stress tingkat V
Keadaan ini merupakan kelanjutan dari tingkat IV. Gejala yang
muncul pun semakin berat. Stress tahap ini ditandai adanya kelekahan
fisik secara mendalam, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ringan
dan sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, perasaan
ketakutan, dan kecemasan semakin meningkat.
6. Stress tingkat VI
Pada tahap ini penderita harus dibawa ke ICCU karena gejala yang
muncul sangat membahayakan. Penderita dapat merasakan jantung
berdebar sangat keras karena zat adrenalin yang dihasilkan oleh stress
yang cukup tinggi, sesak nafas, badan gemetar, tubuh dingin, dan
berkeringat. Bahkan penderita dapat mengalami kondisi di mana merasa
tenaganya tak ada sama sekali dan tak jarang pingsan.
(Contrada dan Baum, 2010).
F. MACAM-MACAM STRESS
Ditinjau dari penyebab, maka stress dibagi menjadi 7 macam, antara lain:
1. Stress fisik
Stress yang disebabkan karena keadaan fisik seperti dikarenakan
temperatur yang tinggi atau yang sangat rendah, suara yang bising, sinar
matahari, atau karena tegangan arus listrik.
2. Stress kimiawi
Stress ini disebabkan karena zat kimiawi seperti obat-obatan, zat
beracun asam, basa, faktor hormon, atau gas prinsipnya karena pengaruh
senyawa kimia.

17

3. Stress mikrobiologis
Stress ini disebabkan karena kuman, seperti adanya virus, bakteri,
atau parasit.
4. Stress fisiologis
Stress yang disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh di
antaranya gangguan dari struktur tubuh, fungsi jaringan, organ, dan lainlain.
5. Stress proses pertumbuhan dan perkembangan
Stress

yang

disebabkan

karena

proses

pertumbuhan

dan

perkembangan seperti pada pubertas, perkawinan, dan proses lanjut usia.


6. Stress psikis atau emosional
Stress yang disebabkan karena gangguan stimulus psikologis, atau
ketidakmampuan kondisi psikologis saat menyesuaikan diri seperti
hubungan interpersonal, sosial budaya, atau faktor keganasan.
(Alimul, 2008).
G. MODEL STRESS KESEHATAN
Model stress kesehatan merupakan suatu model di mana stress dapat
mempengaruhi status kesehatan seseorang. Model ini terdiri dari beberapa
unsur di antaranya:
1. Unsur langsung
Stress dapat menghasilkan atau mempengaruhi secara langsung
dari perubahan fisiologis dan psikologis, seperti adanya ketegangan
(stress) akan menyebabkan terjadinya proses pelepasan hormon secara
langsung yaitu hormon kotekolamin dan kortikosteroid yang kondisi
berdebar-debar, denyut nadi cepat dan lain-lain
2. Unsur kepribadian
Stress dapat dipengaruhi karena adanya tipe kepribadian yang
memudahkan timbulnya kesakitan.
3. Unsur interaktif
Stress dapat menyebabkan ketidakkebalan tubuh sehingga tubuh
akan menjadi mudah terjadi gangguan pada tubuh baik biologis maupun
18

psikologis. Proses ini dikarenakan adanya interaksi antara faktor dari luar
dan faktor dari dalam untuk mempertahankan keseimbangan tubuh.
4. Unsur perilaku sehat
Stress dapat secara tidak langsung mempengaruhi kesakitan, akan
tetapi dapat merubah perilaku terlebih dahulu seperti adanya peningkatan
konsumsi alkohol, rokok, dan lain-lain.
5. Unsur perilaku sakit
Stress apat mempengaruhi secara langsung terhadap kesakitan
tanpa menyebabkan adanya perilaku sakit seperti mencari bantuan
pengobatan.
(Alimul, 2008).
H. FAKTOR PENGARUH RESPON TERHADAP STRESSOR
Menurut Alimul (2008), respon terhadap stressor yang diberikan setiap
individu akan berbeda berdasarkan faktor yang akan mempengaruhi dari
stressor tersebut, dan koping yang dimiliki individu, di antara stressor yang
dapat mempengaruhi respon tubuh antara lain :
1. Sifat stressor
Sifat stressor merupakan faktor yang dapat mempengaruhi respon
tubuh terhadap stressor. Sifat stressor ini dapat berupa tiba-tiba atau
berangsur-angsur, sifat ini pada setiap individu dapat berbeda tergantung
dari pemahaman tentang arti stressor.
2. Durasi stressor
Lamanya stressor yang dialami klien akan mempengaruhi respon
tubuh. Apabila stressor yang dialami lebih lama, maka respon yang
dialaminya juga akan lebih lama dan dapat mempengaruhi dari fungsi
tubuh yang lain.
3. Jumlah stressor
Jumlah stressor yang dialami seseorang dapat menentukan respon
tubuh. Semakin banyak stressor yang dialami pada seseorang, dapat
menimbulkan dampak yang besar bagi fungsi tubuh juga sebaliknya

19

dengan jumlah stressor yang dialami banyak dan kemampuan adaptasi


baik, maka seseorang akan memiliki kemampuan dalam mengatasinya.
4. Pengalaman masa lalu
Pengalaman ini juga dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap
stressor yang dimiliki. Semakin banyak stressor dan pengalaman yang
dialami dan mampu menghadapinya, maka semakin baik dalam mengatasi
sehingga kemampuan adaptifnya akan semakin baik pula.
5. Tipe kepribadian
Tipe kepribadian seseorang juga dapat mempengaruhi respon
terhadap stressor. Apabila seseorang yang memiliki tipe kepribadian A,
maka akan lebih rentan terkena stress dibandingkan dengan tipe
kepribadian B. Tipe kepribadian A memiliki ciri ambisius, agresif,
kompetitif, kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung, mudah
marah, memiliki kewaspadaan yang berlebihan, bicara cepat, bekerja tidak
kenal waktu, pandai berorganisasi dan memimpin atau memerintah, lebih
suka bekerja sendirian bila ada tantangan, kaku terhadap waktu, ramah,
tidak mudah dipengaruhi, bila berlibur pikirannya ke pekerjaan dan lainlain. Sedangkan tipe kepribadian B memiliki ciri tidak agresif, ambisinya
wajar-wajar, penyabar, senang, tidak mudah tersinggung, tidak mudah
marah, cara bicara tidak tergesa-gesa, perilaku tidak interaktif, lebih suka
kerjasama, mudah bergaul, dan lain-lain atau merupakan kebalikan dari
tipe kepribadian B.
6. Tingkat perkembangan
Tingkat perkembangan pada individu ini juga dapat mempengaruhi
respon tubuh dimana semakin matang dalam perkembangannya, maka
semakin

baik

pula

kemampuan

untuk

mengatasinya.

Dalam

perkembangannya kemampuan individu dalam mengatasi stressor dan


respon terhadapnya berbeda-beda dan stressor yang dihadapinya pun
berbeda yang dapat digambarkan dalam pembahasan diatas pada poin D.

20

I. DAYA TAHAN STRESS


Daya tahan stress atau nilai ambang stress (stress or frustration
threshold/tolerance) pada setiap orang berbeda-beda. Hal ini tergantung pada
keadaan somato-psiko-sosial orang tersebut. Ada orang yang sangat peka
terhadap stressor ternetu atau yang disebut dengan stressor spesifik. Stressor
spesifik ini kuncul karena adanya pengalaman dahulu yang menyakitkan dan
tidak dapat diatasi dengan baik. Salah satu contoh yang dapat diambil yaitu
seroang istri setiap kali berselisih dengan suaminya, istri tersebut lari dari
rumah dan pulang ke rumah ibunya. Ia tidak dapat mengatasi keadaan tersebut
karena pada waktu anak-anak, ia sering melihat ibunya dipukul oleh sang ayah
yang menimbulkan stress padanya hingga tidak dapat ditangani dengan baik
(Maramis dan Maramis, 2009).
Setiap orang memiliki cara sendiri untuk penyesuaian diri terhadap
stress karena penilaian terhadap stressor dan stress yang berbeda-beda (faktor
internal) dank arena tuntutan terhadap individu yang berbeda (factor
eksternal). Hal ini antara lain tergantung dari umur, sex, keprbadian,
intelegensi, emosi, status sosial, dan pekerjaan individu (Maramis dan
Maramis, 2009).
J. SIFAT DAN REAKSI TERHADAP STRESS
Ada dua macam sifat stress, yaitu stress yang bersifat negatif disebut
sebagai distress, misalnya oleh karena merasa kehilangan jabatan setelah
pensiun, maka ia merasa tidak berdaya, minder, dan mengakibatkan muncul
rasa segan untuk bertemu dengan teman-temannya. Stress yang bersifat positif
disebut eustress. Dalam hal ini dapat dicontohkan adanya upaya-upaya untuk
mengantisipasi kehidupan setelah nanti. Melakukan penyesuaian-penyesuaian
yang positif seperti mencari aktivitas pengganti atau mulai menyesuaikan gaya
hidup (Maramis dan Maramis, 2009).
Namun demikian, pengertian stress yang berkembang di masyarakat
hanya semata-mata stress yang negatif saja, sedangkan stress yang positif
tidak diperhitungkan. Oleh karenanya, orang menolak bila dikatakan stress
walaupun reaksi stressnya bersifat positif (Maramis dan Maramis, 2009).
21

Adapun reaksi-reaksi yang bersifat negatif adalah sebagai berikut:


1. Reaksi psikologis biasanya lebih dikaitkan pada aspek emosi seperti
mudah marah, sedih, ataupun mudah tersinggung.
2. Reaksi fisiologis biasanya muncul dalam keluhan-keluhan fisik, seperti
pusing, nyeri tengkuk, tekanan darah naik, nyeri lambung, gatal-gatal di
kulit, ataupun rambut rontok.
3. Reaksi proses berpikir (kognisi), biasanya tampak dalam gejala sulit
berkonsentrasi, mudah lupa, ataupun sulit mengambil keputusan.
4. Reaksi perilaku. Pada remaja tampak dari perilaku-perilaku yang
menyimpang seperti mabuk, ngepil, frekuensi merokok meningkat,
ataupun menghindar bertemu temannya. Sedangkan pada karyawan yang
akan purna karya tampak pada perilaku yang malas untuk bertemu dengan
teman sekantor karena merasa rendah diri.
Reaksi terhadap stress oleh Chevalier dkk., dikemukakan atas
beberapa aspek, yakni (Chevalier, 2011):
1. Aspek Biologis
Terdapat reaksi tubuh berupa fight-or-flight respone karena
respons fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau
menghindari situasi yang mengancam terseut. Fight-or-flight respone
menyebabkan individu dapat berespons dengan cepat terhadap situasi tak
nyaman yang akan memperbaiki keadaan yang akan yang mengancam.
Stress dapat mempengaruhi sistem simpatik tubuh, yakni
berhubungan dengan kelenjar pituitary anterior. Dapat dikatakan bahwa
indikator adanya stress pada seseorang ditandai dengan peningkatanpeningkatan aktivitas kelenjar pituitary tersebut ditandai dengan
meningkatnya konsentrasi ACTH dalam plasma darah manusia.
Dalam penelitiannya, Chevalier dkk., juga mempelajari akibat yang
diperoleh bila stressor terus meerus muncul. Ia kemudian mengemukakan
istilah general adaption syndrome (GAS) yang tediri dari rangkaian taapan
reaksi fisiologis terhadap stressor:

22

a. Alarm reaction
Tahapan pertama ini mirip dengan fighft-or-flight respone.
Pada tahap ini araousal yang terjadi pada tubuh organisme berada di
bawah yang untuk selanjutnya meningkat di atas normal. Pada akhir
tahapan ini, tubuh melindungi organisme terhadap stressor. Tetapi,
tubuh tidak dapat mempertahankan intensitas araousal dari alarm
reaction dalam waktu yang sangat lama.
b. Stage of resistance
Araousal masih tinggi, tubuh masih terus bertahan untuk
melawan dan beradaptasi dengan stressor. Respons fisiologis menurun,
tetapi masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi normal.
c. Stage of exhaustion
Respons fisiologis masih terus berlangsug. Hal ini dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh dan menguras energi tubuh
sehingga terjadi kelelahan pada tubuh. Stressor yang terus akan
mengakibatkan penyakit dan kerusakan fisiologis, dapat juga
menyebabkan kematian.
2. Aspek Psikologis
Reaksi psikologis terhadap stress dapat meliputi (Sarafino, 1994):
a. Kognisi
Stress dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas
kognitif. Stressor berupa kebisingan dapat menyebabkan defisit
kognitif pada anak-anak. Kognisi juga dapat berpengaruh dalam stress.
b. Emosi
Emosi cenderung terkait dengan stress. Individu sering
meggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stress. Reaksi
emosional terhadap stress adalah rasa takut, fobia, keemasan, depresi,
perasaan sedih, dan rasa marah.
c. Perilaku sosial
Stress dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain.
Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana
23

alam membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi


lain, individu dapat mengembangkan sikap bermusuhan. Stress yang
diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku negatif cenderung
meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif. Stress juga
dapat mempengaruhi perilaku membantu pada individu.
K. FIGHT OR FLIGHT RESPONSE PADA STRESS
Walter Canon (1929) memperkenalkan frasa fight-or-flight response
untuk menjelaskan reaksi psikologis manusia dalam merespon suatu keadaan
yang berbahaya. Hans Selye (1956-1974) menjelaskan general adaptation
syndrome (GAS) yang terdiri dari tiga tingkatan, yakni alarm reaction,
resistance stage, exhaustion stage (Alloy dkk, 2005).
Alarm reaction, selama alarm, perlawanan tubuh melawan stressor
yang diarahkan melalui aktivasi sistem saraf simpatetik. Aktivasi sistemsistem tubuh untuk kekuatan maksimal dan mempersiapkan mereka untuk
respon fight or flight. Adrenalin (epinefrin) dilepaskan, denyut jantung dan
tekanan darah meningkat, nafas menjadi lebih cepat, darah diarahkan dari
organ dalam berpindah ke otot skelet, kelenjar keringat diaktifkan, dan
aktivitas gastrointestinal menurun. Sebagai respon jangka pendek untuk
keadaan emergensi, reaksi-reaksi fisik ini dapat disesuaikan (Alloy dkk,
2005).
Resistance stage, pada tahap ini, organisme beradaptasi terhadap
stressor. Seberapa lama tahap ini tergantung keparahan stressor dan kapasitas
organisme. Jika organisme mampu beradapatasi maka kekuatan melawan pada
tahap ini akan berlanjut untuk jangka waktu yang lama. Selama tingkatan ini,
seseorang memberikan gambaran keadaan normal. Akan tetapi, menurut ilmu
jiwa, fungsi internal tubuh tidak normal. Stress yang terus menerus akan
menyebabkan

perubahan

neurologis

dan

hormon.

Hipotesis

Seyle,

menyatakan bahwa ketakutan dalam melawan stress akan menyebabkan


perubahan terhadap sistem imun sehingga rentan terhadap infeksi (Alloy dkk,
2005).

24

Exhaustion stage, tahap akhir, kemampuan organisme untuk bertahan


habis, dan menghasilkan suatu kerusakan. Karakteristik tahap ini adalah
aktivasi parasimpatik dari sistem saraf otonom. Fungsi parasimpatik abnormal,
menyebabkan seseorang menjadi kelelahan, tahap ini sering menghasilkan
depresi dan kadang-kadang kematian (Alloy dkk, 2005).
L. RESPON FISIOLOGIS STRESS
Keadaan stress menimbulkan respon fisiologis, reaksi fisiologis stress
dimulai dengan persepsi stress yang menghasilkan aktivasi simpatetik pada
sistem saraf otonom, yang mengarahkan tubuh untuk bereaksi terhadap emosi,
dan keadaan darurat. Pengarahan ini terjadi dalam dua jalur, yang pertama
melalui aktivasi simpatetik terhadap autonomic nervus system (ANS) dari
sistem medula adrenal, mengaktifkan medula adrenal untuk menyekresi
epinefrin dan norepinefrin yang mempengaruhi sistem kardiovaskular,
pencernaan dan respirasi. Rute kedua yaitu hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA) aksis, yang meliputi semua struktur ini. Tindakan ini mulai dengan
persepsi terhadap situasi yang mengnacam, aksi yang cepat pada hipotalamus.
Hipotalamus merespon pelepasan corticotrophin releasing hormone (CRH),
yang

akan

merangsang

hipofisis

anterior

untuk

menyekresikan

adrenocorticotropic hormone (ACTH). Hormon ini merangsang korteks


adrenal untuk menyekresi glukokortikoid, termasuk kortisol. Sekresi kortisol
mengarahkan sumber energi tubuh, meningkatkan kadar gula darah yang
berguna untuk energi sel. Kortisol juga sebagai antiinflamasi yang
memberikan perlawanan alami selama respon fight or flight (Alloy dkk, 2005;
Carlson, 2005; Pinel, 2009).
M. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERBEDAAN RESPON STRESS
Salah satu teori stress adalah model psikologis dari Lazarus (Baron,
1994), yang menekankan pentingnya interpretasi dari stressor. Untuk sampai
pada proses stress, haruslah dimulai dari penilaian kognitif. Ada dua macam
penilaian kognitif, yaitu penilaian primer dan penilaian sekunder. Yang
dimaksud penilaian primer adalah penilaian atau evaluasi terhadap situasi

25

apakah yang dirasakan sebagai sesuatu yang mengancam ataukah menantang.


Jika sesuatu dipersepsikan sebagai suatu tantangan, maka orang akan berusaha
mengatasi situasi tersebut. Jika situasi tertentu dipersepsikan sebagai suatu hal
yang mengancam, maka orang akan menghindar. Yang dimaksud dengan
penilaian sekunder adalah penilaian terhadap sumber daya yang dimiliki baik
yang berbentuk fisik, psikis, social, maupun materi. Proses penilaian primer
dan sekunder terjadi bersama-sama dalam membentuk makna setiap peristiwa
yang dihadapi sehingga akan menentukan perilaku pengatasan (Baron, 1994).
Perilaku pengatasan bersifat dinamis artinya perilaku pengatasan yang
digunakan tergantung situasi yang dihadapi dan sumber daya yang dimiliki.
Oleh karena itu, ada berbagai macam perilaku pengatasan stress, yang
dapatdikategorikan dalam dua hal, yait perilaku pengatasan yang bersifat
emosional yakni upaya-upaya yang dilakukan untuk meredakan emosi saat
belangsungnya stress sedangkan yang bersifat rasional adalah bagaimana
memperbaiki proses penilaian primer dan sekunder (Baron, 1994).
Secara garis besar ada dua tipe manusia dalam menghadapi situasi
sulit, yaitu orang optimis dan orang yang pesimis. Optimism dan pesimisme
ini dipengaruhi oleh cara berpikir seseorang. Orang pesimis akan melihat
peristiwa dari sisi negatif sedangkan orang optimis akan menilai dari sisi
positif (Baron, 1994).
Yang membedakan orang berpikir positif atau negatif adalah
bagaimana gaya seseorang dalam menjelaskan (explanatoru style) suatu
peristiwa yang tidak mengenakkan. Orang-orang yang berpikir negatif akan
mengalami berbagai kesalahan proses berpikir, yaitu: kurangnya data akurat,
berpikir hitam putih, berpikir perfek, terlalu cepat mengambil kesimpulan, dan
berpikir ekstrem. Orang yang berpikir positif akan menggunakan cara-cara
model berpikir rasional, menggunakan data sebagai dasar mengambil
kesimpulan dan bersikap terbuka terhadap alternatif (Baron, 1994).
N. DAMPAK-DAMPAK STRESS
Menurut Powell (1983) stress dapat berdampak positif yang
mencakup pemuasan kebutuhan dasar, kemampuan menangani masalah, juga
26

inokulasi stress. Dampak negatif yang berupa gangguan fisik dan mental serta
dapat juga mempengaruhi perubahan tingkah laku individu. Stress yang terjadi
dapat berpengaruh terhadap kondisi psikologis, tingkah laku, kognitif,
fisiologis, maupun berdampak pada kemampuan organisasi.
Adapun beberapa contoh dampak stress tersebut adalah sebagai berkut:
1. Dampak psikologis
a. Emosi, menangis. marah
b. Menarik diri
c. Bermusuhan, agresif
d. Cemas, curiga, merasa tidak berguna
e. Menyalahkan lingkungan
2. Dampak tingkah laku
a. Selalu terburu-buru
b. Pelupa
c. Alkoholik, perokok berat
d. Tidak bersemangat, malas
e. Makan berlebih/kurang
3. Dampak kognitif
a. Sulit memutuskan
b. Kurang konsentrasi
c. Kurang kreatif
d. Peka terhadap kritik
4. Dampak fisiologis
a. Kadar gula meningkat
b. Keringat berlebihan
c. Tekanan darah meningkat
d. Denyut jantung meningkat
e. Sakit kepala
f. Tidak nafsu makan
g. Rambut rontok

27

5. Dampak stress terhadap organisasi


a. Tingkat absensi meningkat
b. Produktifitas menurun
c. Ketidak puasan kerja
(Powell, 1983).
Stress psikologis dan dampaknya
Bukti klinis dan eksperimental menunjukan bahwa durasi dan
perjalanan dari stress merupakan faktor bercabang yang menentukan muasal
dari stress memicu perubahan imunitas dan kesehatan. Bukti klinis dan
eksperimental menunukan bahwa stress psikologis mempengaruhi proses
penyembukan luka dan berperan pada penyakit infeksi termasuk reaktivasi
virus herpes yang laten. Stress juga dapat menjadi kofaktor, baik
perkembangan dan progresifitas tumor. Menentukan bagaimana stress
mempengaruhi fungsi imun penting untuk pengembangan intervensi perilaku
maupun farmakologi yang potensial untuk menurunkan insiden dari stress
memicu disfungsi imunitas. Intervensi, meliputi nutrisi, olahraga, dan protokol
untuk mengurangi stress seperti relaksasi otot dan yoga dapat memberikan
pendekatan melawan kelemahan imunitas dan kesehatan yang dimediasi
stress.
Stress psikologis dapat didefinisikan sebagai pengalaman stress yang
mempengaruhi kemampuan individu untuk beradaptasi dengan sehat terhadap
peristiwa kehidupan. Sudah jelas bahwa stress psikologis memberikan dampak
terhadap sistem imun dan kesehatan. Bukti klinis dan eksperimental
menunjukan bahwa durasi dan perjalanan dari stress merupakan faktor
bercabang yang menentukan muasal dari stress memicu perubahan imunitas
dan kesehatan

28

Psychological
Stress

Human:
- Academic
- Marital discord
- Primary caregiver of a demented spouse
- Other factor

Immune Dysfunction

Cell mediated
wound repair
circulation
inflamatory
cytokines
reactivation of
latentvirus

Innate
NK activity

Adaptive
Antibody
productionto
vaccination
Infection episode

Potential Complications

Increase clinical symptoms of an infection


Decrease resillency in recovery from infection
Prolonged recovery from surgical procedures
Behavioral/ cognitive deficits
Tumor promotion/progress on

Gambar 1. Dampak stress pada sistem imun


(dalam Yuliadi, 2014)

Dampak dari Stress Sesuai Tahapan Perkembangan


Bagaimana efek dari pemaparan stress yang kronis atau berulang
(pemaparan tunggal stress yang berat) pada tahapan yang berbeda dari
kehidupan, tergantung pada area otak yang berkembang atau berkurang pada
saat pemaparan. Stress pada periode prenatal mempengaruhi perkembangan
berbagai region otak yang terlibat dalam pengaturan aksis HPA, yaitu
hipokampus, korkteks frontal, dan amigdala (efek pemrograman). Stress

29

postnatal mempunyai efek yang bervariasi: pemaparan perpisahan maternal


selama masa kanak menyebabkan peningkatan sekresi glukokortikoid,
sedangkan pemaparan penyiksaan yang erat berkaitan dengan penurunan
kadar glukokortikoid. Sehingga, produksi glukokortikoid selama masa kanak
bervariasi sebagaimana fungsi dari lingkungan (efek diferensiasi) (Lupien
et.al., 2009).
Dari periode prenatal hingga selanjutnya, semua area otak yang
berkembang sensitif terhadap efek hormon stress; bagaimanapun beberapa
area mengalami periode pertumbuhan cepat selama periode tertentu. Dari lahir
sampai usia 2 tahun, hipokampus berkembang. Hal ini menyebabkan area otak
ini sangat rentan terhadap efek dari stress pada masa ini. Sebaliknya,
pemaparan stress dari lahir sampai masa kanak akhir dapat menyebabkan
perubahan volume amigdala, sebagaimana daerah otak berlanjut untuk
berkembang sampai usia 20 tahun akhir. Hipokampus berkembng sempurna
pada masa remaja, amigdala masih berkembang dan ada pertumbuhan yang
penting pada volume frontal. Konsekuensinya, pemaparan stress selama
periode

ini mempunyai efek yang besar pada korteks frontal. Penelitian

menunjukkan bahwa remaja sangat rentan terhadap stress, kemungkinan


disebabkan oleh respon glukokortikoid yang tinggi terhadap stress yang
bertahan sampai usia dewasa (efek potensiasi/inkubasi). Pada usia dewasa dan
selama penuaan, region otak yang mengalami penurunan paling cepat sebagai
akibat proses penuaan sangat rentan terhadap efek hormone stress. Stress
selama periode ini dapat menyebabkan manifestasi dari efek inkubasi dari
kelainan otak masa awal (efek manifestasi) atau mempertahankan efek kronis
dari stress (efek mempertahankan) (Lupien et.al., 2009).

30

BAB III
PSIKONEUROIMUNOLOGI
A. DEFINISI
Pada awal perkembangannya, psikoneuroimunologi difahami sebagai
field of study. Pemahaman ini didasarkan atas keterlibatan tiga bidang kajian,
yaitu (1) Psikologi, (2) Neurologi, (3) Imunologi (Putra ST, 1999).
Notosoedirdjo M M, 1998, menyatakan bahwa psikoneuroimunologi
adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara sistem imunitas dan perilaku
melalui sistem saraf. Sedangkan imunitas berupa suatu jaringan alat tubuh
yang melindungi badan dari invasi bakteri, virus dan benda asing.
Psikoneuroimunologi adalah suatu bidang penelitian baru yang
menghubungkan proses-proses psikologi, neural, dan imunologis. Banyak
dokter telah memperhatikan hubungan antara kehilangan yang penting, seperti
kematian orang yang dicintai dan penyakit yang menyusul. Hubungan itu
sering terasa sangat hebat bila orang yang mengalami kehilangan itu tidak
dapat mengungkapkan emosi-emosi yang kuat, misalnya kesedihan yang
biasanya terjadi karena orang sendiri mengalami tragedi itu. Hipotesis bahwa
stress yang ditimbulkan kehilangan atau pemisah yang hebat mengganggu
sistem kekebalan tubuh dan dengan demikian ikut menyebabkan sejumlah
penyakit fisik.
Sistem kekebalan memiliki dua tugas pokok, yakni mengetahui adanya
benda-benda asing (yang disebut antigen) dan menonaktifkan atau
menghilangkan benda-benda itu. Sistem kekebalan itu terdiri dari beberapa
kelompok

sel

berbeda

yang

dinamakan

limfosit-limfosit.

Penelitian

belakangan telah memberikan suatu pemahaman awal mengenai bagaimana


stress dan faktor-faktor emosional menyebabkan perubahan-perubahan
hormon yang kadang-kadang dapat mengurangi efisiensi dari sistem
kekebalan dan dengan demikian meningkatkan kerentanan terhadap penyakit.
Para ahli psikoneuroimunologi meneliti sekaligus tiga sistem tubuh,
sistem saraf, sistem endokrin, dan sistem kekebalan yang berkomunikasi
31

antara yang satu dengan yang lainnya melalui sinyal-sinyal kimia yang
kompleks. Ada kemungkinan hal ini sedang diteliti terutama pada orang-orang
yang menderita salah satu dari dua kondisi psikologis yang berat, yakni
skizofrenia dan depresi.
B. SEJARAH
Stress merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam
percakapan sehari-hari. Stress adalah salah satu dampak perubahan sosial dan
akibat dari suatu proses modernisasi yang biasanya diikuti oleh poliferasi
teknologi, perubahan tatanan hidup serta kompetisi antar individu yang makin
berat.
Pada awal tahun 1950-an para ahli perilaku mempelajari hubungan
perilaku dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu
isu menarik adalah hubungan antara stress dengan sistem kekebalan tubuh.
Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antar perilaku,
kerja saraf, fungsi endokrin dan imunitas. Penelitian-penelitian tersebut telah
mendorong munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi. Martin (1938)
mengemukakan ide dasar konsep psikoneuroimunologi yaitu : a. Status emosi
menentukan fungsi sistem kekebalan, b. Stress dapat meningkatkan
kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma. Dikatakan lebih lanjut
bahwa karakter, perilaku, pola coping dan status emosi berperan pada
modulasi sistem imun. Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan istilah
psikoneuroimunologi : yaitu kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan,
neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak
digunakan pada penelitian dan banyak temuan memperkuat keterkaitan stress
terhadap berbagai patogenesis penyakit termasuk infeksi dan neoplasma.

32

Psikologi

Neurologi

Imunologi

Gambar 1. Hubungan Psikoneuroimunologi


Secara historis, konsep psikoneuroimunologi muncul sekitar tahun
1975, oleh R. Ader dan C. Holder (Putra ST, 1999). Psikoneuroimunologi
muncul setelah munculnya konsep pemikiran imunopatobiologik dan
imunopatologik. Fakta imunopatobiologik menunjukkan bahwa kerentanan
individu dan metastasis pada individu yang mengalami stress disebabkan oleh
penurunan ketahanan imunologik. Sedangkan kelainan mukosal yang
memunculkan pemikiran respon imun yang melukai merupakan fakta
imunopatologik. Karena kedua pendekatan model berpikir tersebut dalam
mengungkap patogenesis dianggap kurang holistik, maka muncullah ilmu baru
yang sekarang dikenal dengan psikoneuroimunologi, yang dikembangkan atas
dasar keterkaitan antara tiga konsep, yaitu behavior, neuroendokrin dan
konsep imunologik (Putra ST, 1999).
C. SISTEM LIMBIK, HIPOTALAMUS DAN PENGATURAN EMOSI
Kata limbik berarti pembatasan. Istilah limbik digunakan untuk
menjelaskan struktur tepi di sekeliling region basal dari serebrum. Sistem
limbik ini berhubungan erat dengan emosi, kegiatan motorik dan sensoris
bawah sadar, serta perasaan intrinsik mengenai rasa nyeri dan kesenangan
(Lieben P, 1999; Soleh, 2005).
Bagian utama sistem limbik adalah hipotalamus. Selain perannya
mengatur perilaku, area ini mengatur banyak kondisi internal dari tubuh,
seperti suhu tubuh, osmolaritas cairan tubuh dan dorongan untuk makan dan
minum serta pengaturan berat badan (Guyton, 1996; Soleh, 2005). Fungsi
internal ini secara bersama-sama disebut fungsi vegetatif otak dan

33

pengaturannya berkaitan erat dengan perilaku. Sistem limbik menghasilkan


banyak sekali pengaturan emosi untuk menyiapkan area otak lain ke dalam
suatu aksi dan bahkan menghasilkan pengaturan motivasi untuk proses belajar
itu sendiri (Guyton & Hall, 1997; Soleh, 2005).
Sekitar tahun 1950-an, McLeland P, ahli neurologi mengemukakan
bahwa pusat emosi terletak pada sistem limbik dengan hipokampus. Namun,
pada penelitian Joseph Le Doux membuktikan bahwa hipokampus kurang
terlibat langsung dalam emosi. Sedangkan prefrontal-amigdala, merupakan
bagian penting bagi letak emosi (Goleman D, 1997; Soleh, 2005). Ahli
nuerologi berpendapat bahwa hipokampus yang sudah lama dianggap sebagai
kunci struktur sistem limbik, ternyata lebih berkaitan dalam perekaman dan
pemaknaan pola persepsi ketimbang reaksi emosional. Sumbangan utama
hipokampus adalah dalam hal penyediaan ingatan terperinci akan korteks,
pemahaman emosional, hipokampuslah yang mengenali perbedaan makna,
misalnya, ular di kebun binatang dan ular di halaman rumah (Goleman D,
1995; Soleh, 2005). Dengan kata lain, hipokampus sebagai spesialis ingatan,
dan penyimpanan, sedangkan amigdala spesialis masalah emosional.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa pemuda yang amigdalanya
dibuang untuk mengendalikan penyakit epilepsinya, pemuda tersebut menjadi
sama sekali tidak berminat kepada manusia, menarik diri dari hubungan antar
manusia. Meskipun ia mampu mengimbangi percakapan, ia tidak mampu
mengenali sahabatnya, kerabat, bahkan ibunya, tetap pasif meskipun
menghadapi kecemasan. Tanpa amigdala, ia telah kehilangan semua
pemahaman tentang perasaan. Amigdalalah yang berfungsi sebagai semacam
gudang ingatan emosional, dan dengan demikian makna emosional itu sendiri
hidup tanpa amigdala merupakan kehidupan tanpa makna pribadi sama sekali
(Goleman D, 1995; Soleh, 2005). Pengaruh emosi melalui amigdala dapat
digambarkan sebagai berikut :

34

Gambar 2. Sistem Limbik, Hipotalamus Dan Pengaturan Emosi


Korteks prefrontal bertindak sebagai manajer emosi yang efisien,
menimbang-nimbang reaksi sebelum bertindak adalah dengan menghambat
sinyal untuk pengaktifan apa yang telah dikirim amigdala dan pusat limbik
lainnya. Penelitian suasana hati beberapa pasien yang mengalami cedera pada
bagian lobus prefrontal ditemukan bahwa salah satu tugas lobus prefrontal kiri
adalah bertindak sebagai thermostat saraf, mengatur emosi yang tidak
menyenangkan menjadi positif menyenangkan, cinta kasih dan rasa bahagia.
Lobus prefrontal kanan merupakan tempat perasaan negatif seperti rasa takut
dan amarah, cemas, agresif. Kelompok pasien penderita stroke yang cederanya
pada korteks prefrontal kiri mudah cemas, takut yang hebat, sedangkan
penderita yang cedera bagian kanan pasien tersebut menjadi kelewat ceria,
santai, berkelakar kelewat batas (Gionatti G, 1972; Soleh, 2005)

35

D. KONSEP STRESS DALAM PSIKONEUROIMUNOLOGI


Konsep stress menurut Hans Selye, yaitu stress merupakan sindrom
yang spesifik, yang berisi semua perubahan sistem biologis yang nonspesifik
atau merupakan kondisi spesifik yang didasari oleh perubahan biologis yang
nonspesifik (Cox, 1995), merupakan konsep stress yang sesuai untuk
paradigma psikoneuroimunologi. Hal ini mengingat imunoregulasi merupakan
perubahan biologis namun penggambaran sindrom spesifik yang didasari oleh
perubahan perubahan biologis dari sistem imun tersebut belum teraktualisasi
dengan jelas. Menurut Weiten (2004), konsep psikologi yang merupakan
penyempurnaan konsep perilaku, yang diketengahkan oleh Watson, adalah
ilmu yang mempelajari perilaku dan semua perubahan yang mendasari
(perubahan kognisi dan fisiologis). Selanjutnya juga memperhatikan konsep
Cox (1995), bahwa proses pembelajaran akan menghasilkan persepsi maka
manusia sebagai individu yang berakal dan beremosi mempunyai keunikan
yang sangat variatif. Atas dasar hal ini maka perpaduan antara tiga konsep,
yaitu konsep psikologis, konsep stress psikologis dan konsep stress biologis
ini merupakan penyempurnaan konsep stress yang sesuai untuk perkembangan
paradigma psikoneuroimunologi.
Konsep stress tersebut menyatakan bahwa stress terdiri dari stress
perception dan stress response. Stress perception ini hasil proses pembelajaran
untuk menyeleksi, mengorganisasi, mengintepretasi dan mengartikan stressor
secara benar. Stress perception, selain melibatkan akal, pengalaman juga
emosi. Dengan demikian maka ketepatan persepsi ini akan membuat stress
response menjadi tepat pula. Stress perception merupakan pencerminan
kinerja otak yang mempengaruhi imunoregulasi yang menghasilkan imunitas
yang merupakan model stress response. Berdasarkan konsep stress ini maka
setiap stressor yang diterima oleh individu akan dipelajari dengan seksama
sehingga menghasilkan persepsi yang benar yang akhirnya akan direspon
dengan benar pula.

36

Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah suatu mekanisme untuk mengatasi
perubahan yang diterima atau beban yang diterima. Apabila mekanisme
koping ini berhasil maka orang tersebut dapat beradaptasi terhadap perubahan
tersebut atau akan merasakan beban berat menjadi ringan. Mekanisme koping
ini dapat dipelajari, sejak awalnya timbul stressor dan orang menyadari
dampak dari stressor tersebut (Carlson, 1994; Soleh, 2005). Kemampuan dari
mekanisme koping setiap orang tergantung dari temperamen individu dan
persepsi serta kognisi terhadap stressor yang diterima (Carlson, 1994; Soleh,
2005). Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat.
Belajar di sini adalah kemampuan menyesuaikan diri pada pengaruh faktor
internal dan eksternal (Notosoedirdjo M, 1998; Soleh, 2005). Mekanisme
belajar ada 2 macam, yaitu (1) bentuk belajar yang implisit, dan (2) bentuk
belajar yang eksplisit. Belajar yang implisit umumnya bersifat reflektif dan
tidak memerlukan kesadaran. Keadaan ini ditemukan dalam perilaku
habituasi, kebiasaan, sensitisasi, dan conditioning (Bear, 1996; Notosoedirdjo
M, 1998; Soleh, 2005).
Lipowski membagi koping dalam dua bentuk yaitu coping style dan
coping strategy. Coping style merupakan mekanisme adaptasi individu
meliputi mekanisme psikologis, mekanisme kognitif dan persepsi. Sifat dasar
coping style adalah mengurangi makna suatu konsep yang dianutnya,
misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi yang sangat tidak
realistis atau berat (psikotik) hingga pada tingkatan yang sangat ringan saja
terhadap suatu keadaan. Sedangkan coping strategy merupakan coping yang
digunakan individu secara sadar dan terarah dalam mengatasi sakit atau
stressor yang dihadapinya. Apabila individu mempunyai mekanisme coping
yang efektif dalam mengahadapi stressor, maka stressor tidak akan
menimbulkan stress yang berakibat kesakitan (disease), tetapi stressor justru
menjadi stimulant yang mendatangkan wellness (kesejahteraan) dan prestasi
(Soleh, 2005).

37

E. KELENJAR ADRENAL DAN SEKRESI KORTISOL


Secara embriologik, kelenjar adrenal terdiri dari dua bagian yang
berbeda, yaitu (1) bagian luar, korteks yang berasal dari mesoderm dan (2)
bagian dalam (medulla) yang berasal dari neuroectoderm (Gani, 1995).
Korteks adrenal terdiri dari tiga zona, yaitu (1) Glomerulosa, (2) Fasciculata,
(3) Retikularis. Antara kelenjar adrenal dan hipotalamus terdapat jalur efferen,
yang memungkinkan stress dapat merangsang sekresi ACTH (Gani, 1995;
Soleh,2005).
Perkembangan dari zona fasikulata dan retikularis dipengaruhi oleh
ACTH. Kelebihan ACTH akan menyebabkan hiperplasi dan hipertrofi.
Sedangkan kekurangan ACTH akan menyebabkan atropi. Zona fasikulata
merespon terhadap medula adrenal yang mengandung kromafin yang
bentuknya tidak teratur. Sel ini berfungsi untuk sintesis dan sekresi
katekolamin. Granula pada sel ini berfungsi untuk menyimpan katekolamin,
dimana pada manusia 85% merupakan epinefrin (Gani, 1995; Soleh, 2005).
Hormon yang disekresi oleh korteks adrenal adalah kortisol, aldosteron
dan androgen. Sekresi kortisol dan androgen diatur oleh ACTH, sedangkan
sekresi aldosteron juga dipengaruhi oleh angiotensin dan konsentrasi ion K.
Selain oleh ACTH, sekresi kortisol juga dipengaruhi oleh rangsangan otak
sebagai respon terhadap stress, khususnya sekresi kortisol dipengaruhi oleh 3
respon, yaitu : stress, ACTH, diurnal rythme (Guyton, 1996; Soleh, 2005).
Peranan ACTH pada sekresi kortisol terjadi melalui interaksi antara
hypothalamic-pituitary-adrenal axis (HPA). ACTH yang bekerja pada zona
fasiculata dan reticularis, merupakan faktor utama dalam pengaturan sekresi
kortisol, androgen dan aldosteron. Sedangkan ACTH sendiri diatur oleh CRH
dan neurotransmiter (Guyton, 1996; McCance & Shelby, 1994; Soleh, 2005).
Hormon korteks adrenal terikat dengan reseptor dalam sitoplasma
(reseptor intra seluler). Interaksi kortisol dengan reseptornya akan
menginduksi proses transkripsi dengan jalan berinteraksi dengan bagian DNA
yang disebut glucocorticoid response elements (RGEs). Berbagai protein yang
dihasilkan akan mempengaruhi respon kortisol terhadap berbagai jaringan.

38

Respon tersebut dapat bersifat stimulasi atau inhibisi, tergantung dari jaringan
mana hormon tersebut bekerja. Walaupun reseptor kortisol sama di semua
jaringan, namun terdapat variasi sintesis protein akibat ekspresi gen spesifik
pada berbagai jaringan (Turner & Bagnara, 1988; Guyton, 1996; Soleh, 2005).
Pada sistem kardiovaskuler, kortisol meningkatkan curah jantung dari
tonus pembuluh darah perifer, kemungkinan dengan jalan meningkatkan efek
vasokonstriktor lain seperti katekolamin. Kortisol juga mengatur ekspresi
reseptor adrenergik (Gani, 1995; Soleh, 2005). Pada keadaan kekurangan
kortisol yang berat dapat terjadi vasodilatasi yang abnormal, walaupun tidak
terjadi kehilangan cairan, namun pengisian pembuluh darah akan berkurang,
tekanan darah akan menurun dan terjadi shok, terutama rentan terhadap stress.
Jadi kortisol berfungsi mempertahankan integritas dan sifat responsive
pembuluh darah dan volume cairan tubuh. Kelebihan kortisol dapat
menyebabkan hipertensi melalui stimulasi rennin pada sistem rennin
angiotensin (Guyton, 1996; Soleh, 2005).
Pada sistem imun, pemberian kortisol meningkatkan pelepasan leokosit
(PMN) intravaskuler dari sumsum tulang, meningkatkan waktu paruh PMN
dalam sirkulasi, mengurangi pergerakan PMN keluar dari pembuluh darah.
Kortisol mengurangi konsentrasi limfosit, monosit dan eosinofil dalam
sirkulasi, terutama dengan jalan meningkatkan pergerakan mereka keluar dari
sirkulasi. Pemberian kortisol dalam jangka waktu lama memudahkan
seseorang untuk mendapat infeksi oleh karena penekanan sistem imunologik
(Calabres & Nieman, 1996; Soleh, 2005). Secara ringkas Granner (1988) yang
dikutip oleh Soleh (2005), mengemukakan efek kortisol terhadap sistem imun
adalah sebagai berikut :
1. Menekan sintesis imunoglobulin.
2. Menurunkan populasi sel PMN, limfosit dan makrofag dalam darah tepi.
3. Menimbulkan atropi jaringan limfosit dalam timus, limpa dan kelenjar
limfe.
Selain mempengaruhi hipotalamus melalui mekanisme umpan balik
negatif untuk sekresi ACTH, juga mempengaruhi tingkah laku dan emosi.
39

Kelebihan kortisol pada awalnya memberikan euphoria, namun dengan


pemberian jangka panjang dapat memberikan gangguan psikologik, seperti
emosi labil, mudah tersinggung, dan depresi. Pada beberapa penderita dapat
terjadi gangguan kognisi seperti gangguan memori dan konsentrasi (Guyton,
1996; Soleh M, 2005).
F. PENGARUH

HPA

AXIS

PADA

REAKSI

INFLAMASI

YANG

DIPERANTARAI IMUN
Adrenocortical Hormon
Efek antiinflamasi dan imunosupresif yang dimiliki oleh glukokortikoid
membuatnya menjadi agen terapi yang

sangat berharga pada beberapa

penyakit. Regio carboxyterminal mengikat glukokortikoid, dan midregio


mengikat sekuens spesifik pada DNA yang berperan dalam regulasi regio gen
responsif glukokortikoid (elemen glukokortikoid responsif). Glukokortikoid
mempengaruhi lalu lintas peredaran leukosit dan menghambat banyak fungsi
leukosit dan sel kekebalan tubuh aksesori. Glukokortikoid menekan aktivasi
sel-sel imun, menghambat produksi sitokin dan mediator peradangan lainnya,
dan menyebabkan resistensi terhadap sitokin. Glukokortikoid secara istimewa
mempengaruhi subgrup tertentu limfosit T, mereka menekan fungsi dari
limfosit T tipe 1 helper dan merangsang apoptosis eosinofil dan kelompok
tertentu sel T. Mereka juga menghambat ekspresi molekul adhesi dan reseptor
yang sesuai dan mempotensiasi reaksi fase akut. Semua efek ini tergantung
pada perubahan dari tingkat transkripsi gen responsif glucocorticoid atau
perubahan dalam stabilitas beberapa protein inflamasi messenger RNA
(mRNA). Misalnya, glukokortikoid menekan produksi interleukin-6 dan
interleukin-1 dengan mengurangi tingkat transkripsi gen untuk interleukin dan
stabilitas mRNA. Penekanan gen fosfolipase A2, siklooksigenase 2, dan nitric
oxide synthase 2 oleh glukokortikoid menurunkan produksi prostanoids,
platelet-activating factor, dan nitric oxide - tiga molekul kunci dalam respon
inflamasi. Reseptor glukokortikoid teraktifasi juga menghambat aktivitas
proinflamasi banyak faktor pertumbuhan dan sitokin dengan menghambat
faktor transkripsi yang diperlukan untuk ekspresi atau aksi selular dari
40

substansi tersebut. Dalam cara yang timbal balik, konsentrasi intraseluler


tinggi dari faktor-faktor ini mencegah reseptor glukokortikoid aktif dari
mempengaruhi genom. (Guyton, 2002)
Beberapa fungsi imun sirkadian menyebabkan penyakit terkait
perubahan diurnal yang sesuai dengan variasi diurnal dalam konsentrasi
glukokortikoid plasma. Sebagai contoh, reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
yang sangat responsif terhadap glukokortikoid, yang paling menonjol di
malam hari, ketika sekresi glukokortikoid rendah, dan berakhir di pagi hari,
ketika sekresi tinggi. (Chrousos, 1995)
Androgen adrenal

memodulasi fungsi kekebalan tubuh. Sebuah

reseptor dari superfamili steroid -tiroid-reseptor spesifik untuk androgen


adrenal telah terdeteksi dalam limfosit T, tetapi mungkin ini memungkinkan
androgen untuk meningkatkan imunitas seluler. Sekresi adrenal androgen,
yang mengikuti pola sirkadian dari sekresi kortikotropin, memiliki pola
perkembangan yang berbeda, dengan tingkat tertinggi dalam rahim , selama
masa pubertas dan dewasa muda. (Chrousos, 1995)
Hormon hipofisis
Hormon-hormon hipofisis dari sumbu HPA, kortikotropin dan endorphin, memiliki kemampuan

immunopotensi dan proinflamasi; -

endorphin yang diproduksi di situs inflamasi adalah analgesik lokal kuat.


Kontribusi relatif dari yang beredar dan lokal menghasilkan kortikotropin dan
-endorphin untuk inflamasi, serta sumber-sumber lokal dari neuropeptida,
belum diketahui. (Soleh, 2005)
Hormon hipotalamus
Regulator hipotalamus utama dari sumbu HPA, CRH dan mungkin
AVP, memiliki efek proinflamasi baik secara in vitro dan in vivo. Situs
peradangan mengandung banyak immunoreactif CRH, sebagian besar dalam
sel imun aksesori dan eksudat inflamasi. CRH, serta produk-produknya yang
teroksidasi dan produk proteolitik, telah ditemukan dalam cairan sinovial
pasien dengan rheumatoid arthritis dan dalam kelenjar tiroid pada pasien

41

dengan tiroiditis Hashimoto. CRH dan mRNA nya, atau keduanya juga hadir
dalam sirkulasi sel darah putih dan dalam sel-sel timus dan limpa.
Menetralkan antibodi terhadap CRH mengurangi peradangan seefektif
immunoneutralisasi

TNF-,

sebuah

sitokin

proinflamasi

yang

jelas.

Konsentrasi CRH di situs inflamasi sama tingginya seperti pada sistem portal
hypophysial, tetapi dalam sampel plasma diperoleh bersamaan hormon ini
tidak terdeteksi. Katabolisme yang cepat, uptake, atau mengikat dapat
mencegah masuknya peptida ke dalam sirkulasi sistemik. (Soleh, 2005)
Pengaruh Reaksi Inflamasi yang Dimediasi Imun terhadap HPA axis
Beberapa mediator yang beredar memiliki peran utama dalam
mengaktifkan sumbu HPA selama stres inflamasi. Awalnya ditunjuk "
corticotropin-releasing factor jaringan," dimana mediator ini benar-benar
berbeda dari imun CRH, yang biasanya tidak menyebar ke dalam sirkulasi
umum. Sebaliknya, mereka adalah campuran dari sitokin dan partisipan utama
lainnya dalam reaksi imun dan inflamasi. Tiga sitokin - TNF-, interleukin-1,
dan interleukin-6 tampak untuk hampir seluruh aktivitas HPA-axis-stimulating
dalam plasma. TNF- biasanya muncul pertama, kemudian diikuti oleh sekresi
Interleukin-1 dan Interleukin-6. (Elenkov & Chrousos, 1999)
Interleukin-1 adalah sebutan bagi beberapa polipeptida sitokina IL-1,
IL-1 dan IL-1Ra, yang memainkan peran penting dalam regulasi sistem
kekebalan dan respon peradangan. IL-1 dan IL-1 masing-masing memiliki
berkas genetik IL1A, dan IL1B,pada kromosom 2 deret yang sama yaitu 2q14,
dan merupakan sitokin pleiotropik hasil sekresi monosit dan makrofag berupa
prohormon, sebagai respon saat sel mengalami cedera, oleh karena itu
menginduksi apoptosis. Beberapa pakar menganggap bahwa defisiensi genetik
IL-1 berperan dalam reumatoid artritis dan Alzheimer. IL-1 merupakan
sitokina yang diiris oleh ICE, dan berperan di dalam aktivitas selular seperti
proliferasi, diferensiasi dan apoptosis. Induksi COX-2 pada sitokin ini di
dalam sistem saraf pusat ditemukan sebagai penyebab hipersensitivitas yang
memberikan rasa sakit. (Elenkov & Chrousos, 1999)

42

Interleukin-6 (Interleukin 6, Interferon beta-2, IFNB2, B cell


differentiation factor, B cell stimulatory factor 2, BSF2, Hepatocyte
stimulatory factor, HSF, Hybridoma growth factor, HGF, IL-6) adalah sitokin
yang disekresi dari jaringan tubuh ke dalam plasma darah, terutama pada fase
infeksi akut atau kronis. IL-6 menurunkan sintesis IL-1 dan TNF-. IL-6
melemahkan sintesis dari sitokinproinflamasi ketika memiliki sedikit efek
pada sintesis dari sitokin anti-inflamasiseperti IL-10 dan Transforming
Growth Factor- (TGF-). IL-6 menginduksi sintesis dari glukokortikoid dan
meningkatkan sintesis IL-1ra dan mengeluarkan reseptorTNF larut pada
sukarelawan manusia. Pada saat yang sama, IL-6 menghambat produksi dari
sitokin proinflamasi seperti GM-CSF, IFN-, dan MIP-2. Hasil dari
efekimunologi ini menempatkan IL-6 diantara kelompok sitokin antiinflamasi. (Elenkov & Chrousos, 1999)
Ketiga sitokin merangsang sekresi mereka sendiri dari sel-sel yang
memproduksi mereka. Tumor necrosis factor dan interleukin-1 juga
merangsang sekresi interleukin-6, sedangkan interleukin-6 menghambat
sekresi faktor nekrosis tumor dan interleukin-1. Interleukin-6 bertindak
sinergis dengan glukokortikoid dalam merangsang produksi reaktan fase akut.
Konsentrasi interleukin-6 sistemik juga meningkat selama stres tidak
berhubungan dengan inflamasi, mungkin dirangsang oleh aksi katekolamin
melalui reseptor 2-adrenergik. (Elenkov & Chrousos, 1999)
Inflamasi juga dapat mengaktifkan HPA axis secara tidak langsung. Hal
ini dapat terjadi melalui rangsangan sistem stres noradrenergik pusat oleh
sitokin dan mediator lain yang bertindak pertama pada stres-sistem neuron di
luar sawar darah-otak (area postrema) atau pada neuron di dalam penghalang,
melalui kaskade endotel-glial-saraf disebutkan di atas. Selain itu, situs
inflamasi mengandung neuron aferen nosiseptif, viseral, dan somatosensori,
yang merangsang noradrenergik dan sistem stres CRH melalui rute saraf
ascending medulla spinalis atau rute saraf serebral. (Elenkov & Chrousos,
1999)

43

Gambar 3. Stress mengaktivasi HPA axis


Selain efek jangka pendeknya pada hipotalamus, sitokin inflamasi
ternyata bisa merangsang kortikotropin pituitary dan sekresi kortisol adrenal
langsung pada konsentrasi tinggi atau jika diberikan waktu yang cukup untuk
interaksi dengan jaringan-jaringan. Biasanya, kelenjar hipofisis dan adrenal
anterior

memproduksi

interleukin-1

dan

interleukin-6,

yang

dapat

mempengaruhi produksi hormon lokal. Namun, sitokin mungkin tidak selalu


merangsang kelenjar hipofisis atau korteks adrenal. Interleukin-6, TNF , dan
interferon menghambat efek stimulasi CRH di sel kultur hipofisis anterior,
sedangkan tumor necrosis factor

adalah inhibitor poten sekresi

kortikotropin yang diindukdi kortisol oleh sel kultur adrenokortikal. Mediator


inflamasi lain , termasuk interferon dan faktor interferon , interleukin-2,
epidermal growth factor, transforming growth factor , and platelet-activating
factor, juga dapat berpartisipasi dalam regulasi
Chrousos, 1999)

44

HPA axis. (Elenkov &

Gambar 4. Mediator inflamasi yang mempengaruhi HPA Axis


Interferon dan interleukin-2 dapat melakukannya secara tidak langsung,
yaitu dengan menyebabkan sekresi sitokin inflamasi. Prostanoids dan plateletactivating factor, bagaimanapun, adalah amplifier autacoid hipotalamus CRH
dan sekresi AVP. Reseptor untuk substansi ini tampak pada nukleus
paraventrikular, dan CRH dan AVP neuron merespon mereka. (Elenkov &
Chrousos, 1999)
Sitokin tertentu atau kombinasi sitokin dapat menyebabkan resistensi
terhadap glucocorticoid. Interleukin-2 dan interleukin-4 bersama menginduksi
resistensi glukokortikoid dalam sel T dengan secara nyata menurunkan
afinitas reseptor glukokortikoid untuk ligandnya. Selain itu, konversi kortisol
menjadi kurang aktif atau metabolit tidak aktif mengubah sensitivitas sel-sel
sistem imun terhadap glukokortikoid. (Elenkov & Chrousos, 1999)
A. SISTEM KEKEBALAN TUBUH
Tubuh kita memiliki sistem imun. Sistem imun tersusun dari sel-sel dan
jaringan yang membentuk imunitas, yaitu kekebalan tubuh terhadap infeksi
atau penyakit. Organisme penyebab penyakit (patogen) dapat masuk ke dalam

45

tubuh dan memasuki jaringan atau sel-sel dalam tubuh. Patogen juga dapat
menghancurkan sistem imun dalam tubuh kita dan menggandakan diri di
dalam tubuh. Patogen juga dapat menghancurkan jaringan-jaringan dalam
tubuh kita dengan melepaskan racun. Jika kekebalan tubuh kita dapat
dikalahkan oleh patogen, berarti tubuh kita mengalami suatu penyakit. Respon
imun tubuh alamiah terhadap serangan patogen baru akan muncul dalam
waktu 24 jam (Diah Aryulina, 2004).
Sistem imun mencakup sumsum tulang, timus, limpa, dan limfonodus;
kelompok limfosit ditemukan dalam paru dan mukosa saluran cerna; linfosit
dalam darah dan limfe; dan limfosit dan sel plasma yang tersebar luas dalam
jaringan ikat di seluruh tubuh. Fungsi bersama kelompok heterogen sel-sel dan
organ ini adalah untuk melindungi organisme terhadap efek invasi yang
berpotensi merusak dari makromolekul eksogen, apakah mereka memasuki
tubuh dalam bentuk itu atau sebagai unsur dari virus, bakteri, atau protozoa.
Hal ini tercapai melalui mekanisme pertahanan seluler dan humoral yang
bersama-sama merupakan respon imun (Jan Tambayong, 1994).
Tujuan utama sistem imun adalah untuk mempertahankan tubuh dari
serangan mikroorganisme. Melalui saluran limfatiknya, sistem imun juga
melakukan fungsi transportasi seperti darah. Sistem imun terdiri dari jutaan sel
yang bersirkulasi dan struktur khusus, seperti nodus limfe yang berlokasi di
seluruh tubuh (Patricia Gonce Morton, 1997).
Sistem imun memiliki beberapa fungsi tubuh, yaitu:
1. Penangkal benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
2. Untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan
komponen tubuh yang telah tua.
3. Sebagai pendeteksi adanya sel-sel abnormal, termutasi, atau ganas, serta
menghancurkannya (Diah Aryulina, 2004).
Defisiensi sistem imun adalah kondisi respons imun defektif, yang
mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Gangguan defisiensi
sistem imun dapat disebabkan oleh obat (seperti kemoterapi sitotoksik),
46

radiasi, dan mikroorganisme, termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV)


yang berkaitan dengan mekanisme pertahanan tubuh (Chris Brooker, 2005).
Efek Stress terhadap Kekebalan Tubuh
Telah terbukti bahwa stress dapat mengganggu kondisi tubuh, bisa
membuat kesehatan terganggu. Stress memang tidak langsung membuat
kondisi tubuh berubah akan tetapi adanya variabel biologis dan psikologis
membuat kondisi tubuh berubah dan akhirnya kesehatan terganggu. Pada
tingkat lanjut membuat penyakit berkembang dalam tubuh. (Alloy L.B., J.H
Riskind, M.J Monos, 2005)
Secara sederhana stress dapat mengganggu kondisi tubuh karena stress
mempunyai efek domino dalam sistem hormone yang ada dalam tubuh. Dalam
hormone ada sistem endokrin yang terdiri dari kelenjar-kelenjar endokrin
menampilkan respon tubuh terhadap stress. Hormon-hormon stress ini
diproduksi oleh kelenjar adrenal membantu tubuh menyiapkan diri mengatasi
stressor atau ancaman. Apabila stressor melewati batas bisa mengganggu
kondisi tubuh dan menyebabkan stress. Selama stress tubuh secara terusmenerus memompa hormon-hormon yang dapat menekan kemampuan sistem
kekebalan tubuh yang fungsinya melindungi tubuh manusia dari berbagai
infeksi dan penyakit. (Alloy L.B., J.H Riskind, M.J Monos, 2005)
Bila kekebalan tubuh (imun) menurun, berbagai penyakit dan infeksi
akan mudah masuk ke dalam tubuh manusia. Sistem kekebalan (immune
system) merupakan pertahanan tubuh melawan penyakit. Berjuta sel darah
putih yang disebut leukosit adalah pasukan sistem kekebalan tubuh dalam
peperangan mikroskopis.
Menurut Kiecolt-Glaser, 1992; Maier, Watkins, dan Fleshner, 1994
sumber-sumber psikologi dari stress menurunkan kemampuan tubuh manusia
untuk menyesuaikan diri dan secara cepat juga mempengaruhi kesehatan.
Stress meningkatkan resiko terkena berbagai jenis penyakit fisik, mulai dari
gangguan pencernaan sampai penyakit jantung.

47

Patofisiologi
Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan
tidak

terpenuhi

secara

adekuat,

sehingga

menimbulkan

adanya

ketidakseimbangan. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman


emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif
dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap
situasi yang menyebabkan stres. (CDK). Respon mamalia terhadap stresor
meliputi berbagai mekanisme adaptasi fisiologis untuk menjaga homeostasis.
Respon fisiologis terhadap stresor utamanya dimediasi oleh sistem
neuroendokrin yang terdiri dari sisten saraf simpatis (SSS) dan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA). Peningkatan katekolamin jaringan dan
plasma merupakan akibat dari peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis
yang diinduksi oleh stresor. Aktivasi sistem saraf simpatis menyebabkan
pelepasan norepinefrin oleh saraf simpatis terminal dan sekresi hormon
epinefrin dari sel kromafin medulaadrenal. Melalui interaksi dengan reseptor
dan adrenergic, norepinefrin dan epinefrin memediasi mekanisme adaptif
fungsi kardiovaskular dan metabolik dibawah kondisi stress. Ada beberapa
bukti penelitian yang menyatakan bahwa sistem saraf simpatis juga dapat
memodulasi respon imun. Misalnya, pemberian 6-hidroksidopamin, suatu
toksin yang merusak saraf noradrenergik menyebabkan penurunan antibodi
sebagai respon terhadap antigen. Telah ditemukan bahwa baik organ limfoid
primer maupun sekunder secara langsung diinervasi oleh saraf simpatik
noradrenergic

post-ganglion.

Distribusi

serat

saraf

pada

organ

ini

menimbulkan dugaan bahwa sel imun efektor yang terdapat didalamnya


merupakan target langsung dari inervasi ini.
Penelitian baik secara in vitro maupun invivo telah menunjukkan bahwa
katekolamin dapat merubah berbagai respon imun. Reseptor adrenergik
terdapat pada sel limfosit T dan B, makrofag, netrofil, dan sel natural killer
(sel NK). Telah dibuktikan adanya efek modulasi katekolamin terhadap
migrasi dan proliferasi limfosit, sekresi antibodi, aktivitas sitotoksik, dan
aktivasi makrofag. Norepinefrin juga menghambat induksi sitokin, ekspresi

48

antigen major histocompatibility complex (MHC) class II pada antigen


presenting cell (APC).

Gambar 5. Efek Stress Pada Imun Tubuh


Stimuli penuh stres juga mengaktifkan aksis HPA yang pada khirnya
memicu

peningkatan

glukokortikoid

glukokortikoid

plasma.

Selama

kondisi

stres,

memediasi adaptasi metabolik, kardiovaskular, dan efek

antiinflamasi. Efek glukokortikoid diaktivasimelalui reseptor glukokortikoid


intraseluler. Produksi dan sekresi glukokortikoid oleh sel dalam zona
fasikulata korteks adrenal distimulasi oleh hormon adrenokortikotropin
(ACTH) hipofisis. Produksi ACTH yang diinduksi stres terutama ditimbulkan
oleh hormon corticotrophin-releasing factor (CRF) hipotalamus. CRF juga
menstimulasi sekresi peptide lain melalui ekspresi gen proopiomelanokortin
meliputi peptida opioid -endorfin dan metionin-enkefalin. Meskipun peranan
pasti respon fisiologik yang diinduksi stres belum sepenuhnya dimengerti,
peptide opioid terlibat dalam kontrol respon nyeri dan belajar. (Chrousos,
1995)

49

Gambar 6. Hormon yang mempengaruhi sistem imun


Sebuah penelitian di Harvard pada tahun 1970-an menemukan adanya
reseptor neuropeptida pada sel imun manusia. Neuropeptida merupakan suatu
produk kimiawi yang dihasilkan oleh otak yang bervariasi tergantung dari
emosi seseorang. Hasil dari penelitian ini adalah menitikberatkan pada fakta
sederhana bahwa system imun pada manusia mendengar pada apa yang
dikatakan oleh mentalnya. Lebih lugas dikatakan bahwa pikiran dari seorang
manusia merupakan pemimpin dari sistem imunnya. Tidak ada pengobatan
yang lebih baik daripada sebuah perilaku yang baik

50

BAB IV
DISFUNGSI EREKSI
A. DEFINISI EREKSI
Ereksi adalah keadaan menjadi kaku dan tegak; seperti jaringan erektil
ketika terisi darah. Pada waktu ereksi, volume penis bertambah karena
terkumpulnya darah dalam korpus kavernosum dan korpus spongiosum. Pada
orang yang berdiri, penis yang ereksi akan membentuk sudut antara 00 dan 450
dari bidang horizontal. Pada keadaan demikian batang penis terasa kaku dan
tekanan intrakavernosum mendekati tekanan rata rata pembuluh darah nadi.
Pada keadaan demikian, volume darah dalam penis meningkat lebih dari
delapan kali dibandingkan saat lemas (Robert C, 2005).
B. MEKANISME EREKSI
Ereksi merupakan hasil dari suatu interaksi yang kompleks dari faktor
psikologik, neuroendokrin dan mekanisme vaskular yang bekerja pada
jaringan ereksi penis.
Ereksi terjadi melalui 2 mekanisme:
1. Pertama, adalah reflex ereksi oleh sentuhan pada penis (ujung batang dan
sekitarnya).
2. Kedua, ereksi psikogenik karena rangsangan erotis. Keduanya menstimulir
sekresi nitric oxide yang memicu relaksasi otot polos batang penis
(corpora cavernosa), sehingga aliran darah ke area tersebut meningkat dan
terjadilah ereksi. Disamping itu, produksi testosteron (dari testis) yang
memadai dan fungsi hipofise (pituitary gland) yang bagus, diperlukan
untuk ereksi.
Oleh beberapa peneliti, proses ereksi dan detumesens diringkaskan
menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase 0 (fase flaksid)
Pada keadaan lemas, yang dominan adalah pengaruh sistem saraf
simpatik. Otot polos arteriola ujung dan otot polos kavernosum
berkontraksi. Arus darah ke korpus kavernosum minimal dan hanya untuk
51

keperluan nutrisi saja. Kegiatan listrik otot polos kaverne dapat dicatat,
menunjukkan bahwa otot polos tersebut berkontraksi. Arus darah vena
terjadi secara bebas dari vena subtunika ke vena emisaria.
2. Fase 1 (fase pengisian laten)
Setelah terjadi perangsangan seks, sistem saraf parasimpatik
mendominan, dan terjadi peningkatan aliran darah melalui arteria
pudendus interna dan arteria kavernosa tanpa ada perubahan tekanan
arteria sistemik. Tahanan perifer menurun oleh berdilatasinya arteri helisin
dan arteri kavernosa. Penis memanjang, tetapi tekanan intrakavernosa
tidak berubah.
3. Fase 2, Fase tumesens ( mengembang)
Pada orang dewasa muda yang normal, peningkatan yang sangat
cepat arus masuk (influks) dari fase flasid dapat mencapai 25 60 kali.
Tekanan intrakavernosa meningkat sangat cepat. Karena relaksasi otot
polos trabekula, daya tampung kaverne meningkat sangat nyata
menyebabkan pengembangan dan ereksi penis. Pada akhir fase ini, arus
arteria berkurang.
4. Fase 3 (fase ereksi penuh)
Trabekula yang melemas akan mengembang dan bersamaan
dengan meningkatnya jumlah darah akan menyebabkan tertekannya
pleksus venula subtunika ke arah tunika albuginea sehingga menimbulkan
venoklusi. Akibatnya tekanan intrakaverne meningkat sampai sekitar 10
20 mmHg di bawah tekanan sistol.
5. Fase 4 atau fase ereksi kaku (rigid erection) atau fase otot skelet.
Tekanan intakaverne meningkat melebih tekanan sistol sebagai
akibat kontrasi volunter ataupun karena refleks otot iskiokavernosus dan
otot bulbokavernosus menyebabkan ereksi yang kaku. Hal demikian
menyebabkan ereksi yang kaku. Pada fase ini tidak ada aliran darah
melalui arteria kavernosus.
6. Fase 5 atau fase transisi.

52

Terjadi peningkatan kegiatan sistem saraf simpatik, yang


mengakibatkan meningkatnya tonus otot polos pembuluh helisin dan
kontraksi otot polos trabekula. Arus darah arteri kembali menurun dan
mekanisme venoklusi masih tetap diaktifkan.
7. Fase 6 (fase awal detumesens)
Terjadi sedikit penurunan tekanan intrakaverne yang menunjukkan
pembukaan kembali saluran arus vena dan penurunan arus darah arteri.
8. Fase 7 ( fase detumesens cepat)
Tekanan

intrakaverne

menurun

dengan

cepat,

mekanisme

venoklusi diinaktifkan, arus darah arteri menurun kembali seperti sebelum


perangsangan, dan penis kembali ke keadaan flaksid.
(Robert C, 2005)

Gambar 7. Mekanisme Ereksi


A. NEUROTRANSMITTER EREKSI

53

Serabut saraf adrenergik -dan reseptor telah terbukti dalam trabekula


kavernosa dan di sekitar arteri kavernosa, dan norepinephrine secara umum
telah diterima sebagai neurotransmitter utama untuk mengontrol keadaan
flaksid penis dan detumesens. Endotelin, suatu vasokonstriktor kuat yang
dihasilkan oleh sel-sel endotel, juga telah diusulkan untuk menjadi mediator
untuk detumesens. Prostanoids konstriktor, termasuk prostaglandin I2 (PGI2),
PGF2, dan thromboxane A2 (TXA2), disintesis oleh jaringan kavernosa
manusia. Penelitian secara in vitro telah menunjukkan bahwa prostanoids
adalah ikut bertanggung jawab atas tonus dan aktivitas spontan otot trabekula
terisolasi. Sistem renin-angiotensin juga mungkin memainkan peran penting
dalam pemeliharaan otot polos penis. Angiotensin II telah terdeteksi pada sel
endotel dan otot polos corpus cavernosum manusia dan membangkitkan
kontraksi corpus cavernosum manusia secara in vitro. Di sisi lain, detumesens
setelah ereksi mungkin akibat dari penghentian rilis NO, pemecahan
monofosfat guanosin siklik (cGMP) oleh phosphodiesterases, atau pelepasan
simpatik saat ejakulasi.( Alan J, 2007)
Kebanyakan peneliti sekarang setuju bahwa NO dilepaskan dari
nonadrenergic, neurotransmisi noncholinergic dan dari endotelium merupakan
neurotransmiter utama mediasi ereksi penis. NO, meningkatkan produksi
cGMP, yang pada gilirannya melemaskan otot polos kavernosa. (Karl-Erik,
2010)
Berbagai

neurotransmiter

(dopamin,

norepinefrin,

5-

hydroxytestosterone [5-HT], dan oksitosin) dan neural hormon (oksitosin,


prolaktin) telah terlibat dalam pengaturan fungsi seksual. Ada pendapat
mengatakan bahwa reseptor dopaminergik dan adrenergik dapat meningkatkan
fungsi seksual dan reseptor 5-HT menghambat itu. (Karl-Erik, 2010)
C. DISFUNGSI EREKSI (DE)
Disfungsi ereksi atau kesulitan ereksi adalah ketidakmampuan yang
menetap atau terus menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi
penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang
memuaskan.
54

Disfungsi Ereksi atau erectile dysfunction adalah disfungsi sexsual yang


ditandai dengan ketidakmampuan atau mempertahankan ereksi pada pria
untuk mencapai kebutuhan sexsual dirinya sendiri maupun pasangannya.
Disfungsi ereksi (DE) merupakan masalah yang signifikan dan umum di
bidang medis, merupakan kondisi medis yang tidak berhubungan dengan
proses

penuaan

walaupun

prevalensinya

meningkat

sejalan

dengan

bertambahnya usia (Feldman, 1994)


D. PENYEBAB DISFUNGSI EREKSI (DE)
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Disfungsi Ereksi beragam
sekali.

Oleh

karena

itu, bebrapa

organisasi

telah

mencoba

untuk

mengklasifikasi disfungsi ereksi berdasarkan penyebabnya.

Gambar 8. Klasifikasi Disfungsi Ereksi


Fazio

dan

Brock

(sebagaimana

dikutip

oleh

Wibowo,

2007)

mengklasifikasikan penyebab disfungsi ereksi sebagai berikut: Faktor


penyebab dan contohnya :

55

1. Ketuaan
2. Gangguan psikologis, misalnya depresi, ansietas
3. Gangguan neurologis, misalnya: penyakit serebral, trauma spinal, penyakit
medulla spinalis neuropati, trauma nervus pudendosus
4. Penyakit

hormonal

(libido

menurun),

misalnya:

hipogonadism,

hiperprolaktinemia, hiper atau hipotiroidisme, sindrom Cushing, penyakit


addison.
5. Penyakit vaskuler, misalnya: aterosklerosis, penyakit jantung iskemik,
penyakit vaskuler perifer, inkompetensi vena, penyakit kavernosus.
6. Obat obatan, misalnya: antihipertensi, antidepresan, esterogen,
antiandrogen, digoksin.
7. Kebiasaan, contohnya: pemakai marijuana, alkohol, narkotik, merokok.
8. Penyakit penyakit lain, contohnya: diabetes melitus, gagal ginjal,
hiperlipidemi, hipertensi, penyakit paru obstruksi kronis.
E. KLASIFIKASI DISFUNGSI EREKSI
Pembagian disfungsi ereksi dikelompokkan menjadi lima kategori
penyebab yaitu:
a. Psikogenik
Disfungsi ereksi yang disebabkan faktor psikogenik biasanya
episodik, terjadi secara mendadak yang didahului oleh periode stress berat,
cemas, depresi. Disfungsi ereksi dengan penyebab psikologis dapat
dikenali dengan mencermati tanda klinisnya yaitu: usia muda dengan
awitan mendadak, awitan berkaitan dengan kejadian emosi spesifik,
disfungsi pada keadaan tertentu sementara dalam keadaan lain normal,
ereksi malam hari tetap ada, riwayat terdahulu adanya disfungsi ereksi
yang dapat membaik secara spontan, terdapat stress dalam kehidupannya,
status mental terkait kelainan depresi, psikosis, atau cemas.
b. Organik
Disfungsi ereksi yang disebabkan organik dibagi menjadi dua
yaitu: neurogenik dan vaskuler. Disfungsi ereksi akibat neurogenik
ditandai dengan gambaran klinis seperti riwayat cedera atau operasi
56

sumsum tulang

atau panggul,

mengidap

penyakit

kronis

(DM,

alkoholisme), pemeriksaan neurologik abnormal daerah genital/ perineum.


Disfungsi ereksi akibat vaskuler dapat dibagi dua yaitu kelainan pada
arteri dan vena. Kelainan pada arteri memiliki tampilan klinis seperti
minat terhadap seks tetap ada, pada semua kondisi terjadi penurunan
fungsi seks, secara bertahap terjadi disfungsi ereksi sesuai bertambahnya
umur. Kelainan pada memiliki tampilan klinis seperti tidak mampu
mempertahankan ereksi yang sudah terjadi, riwayat priapism, dan kelainan
lokal penis.
c. Hormonal
Disfungsi ereksi yang disebabkan karena hormonal mempunyai
gambaran klinis yaitu hilangnya minat pada aktifitas seksual, testis atrofi
dan mengecil, dan kadar testosteron rendah prolaktin naik.
d. Farmakologis
Hampir semua obat hipertensi dapat menyebabkan disfungsi ereksi
yang bekerja di sentral, misalnya metildopa, klonidin, dan reserpin.
Pengaruh utama kemungkinan melalui depresi sistem saraf pusat.
e. Traumatik paska operasi
Patologi penis atau proses penyakit pada panggul dapat merusak
jalur serabut saraf otonom untuk ereksi penis, reseksi abdominal perineal,
sistektomi radikal, prostatektomi radikal, uretroplasti membranesea, dll.
F. PSIKONEUROIMUNOLOGI DISFUNGSI EREKSI
Stres dapat dialami oleh semua orang. Bila stres bersifat eustres, artinya
kondisi tersebut dapat memotivasi agar seseorang bersemangat mengatasi
problemnya yang justru diperlukan oleh seseorang sebagai pendorong dan
pembangkit semangat. Tetapi bila stres bersifat distres, akan membuat
seseorang menjadi terganggu dan tidak dapat melakukan fungsi sosial dan
pekerjaannya seperti biasa, dapat mempengaruhi fungsi kehidupan yang lain,
termasuk fungsi seksual (Jaffe-Gill et,al., 2007).
Pengalaman hidup tidak mengenakkan yang mengakibatkan stress
tentang hubungan seks pada masa lalu (isalnya mengalmai perkosaan atau
57

pelecehan seksual) dapat mengakibatkan terganggunatau terpengaruhnya


fungsi seksual pada masa kini.bkebanyakan dari mereka akan mengalami
kesulitan atau bahkan takut melakukan hubungan seksual (Elvira, 2006).
Gangguan dorongan seksual dapat berupa dorongan seksual hipoaktif
dan munculnya perasaan tidak senang atau takut terhadap aktivitas seksual
hingga cenderung menolak (gangguan aversi seksual) (Pangkahila, 2007).
Dorongan seksual hipoaktif didefinisikan sebagai berkurangnya (atau
hilangnya) hasrat, pikiran, atau fantasi seksual yang menetap atau berulang
untuk melakukan aktivitas seksual yang menyebabkan distres pada seseorang.
Gangguan aversi sosial didefinisikan sebagai ketakutan tidak normal yang
menetap atau berulang sehinggamenyebabkan penolakan terhadap aktivitas
seksual dengan pasangan yang menyebabkan distres pada seseorang (Brown
dan Luisi, 2006).
Dorongan seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu hormon seks,
faktor psikis, kedaan kesehatan tubuh, dan pengalaman seksual sebelumnya.
Bila faktor-faktor tersebut mendukung, dorongan seksual akan tetap berfungsi,
tetap bertahan, bahkan mungkin semakin baik. Sebaliknya, bila faktor-faktor
tersebut tidak mendukung, bahkan menghambat, dorongan seksual akan
menurun atau bahkan lenyap sama sekali. Keadaan kesehatan tubuh yang
tidak baik, seperti dalam keadaan lelah atau astenia, dapat menyebabkan
dorongan seksual menurun bahkan lenyap. Wanita yang tidak pernah
mencapai orgasme berarti mempunyai pengalaman seksual yang tidak
menyenangkan. Kalau initerus berlangsung, dapat menyebabkan dorongan
seksual wanita menjadi hilang dan wanita menjadi tidak senang melakukan
huubungan seksual. Dalam keadaan begini wanita sama sekali tidak tertarik
untuk melakukan aktivitas seksual apapun. Karena hambatan psikis, wanita
mungkin kehilangan dorongan seksual terhadap suaminya, tetapi tidak
demikian terhadap pria lain. Kejemuan terhadap suasana yang monoton juga
dapat menekan dorongan seksual (Pangkahila, 2007).
Depresi sebagai salah satu akibat dari stress, memiliki dampak ataupun
efek pada gangguan seksual, khususnya pada disfungsi ereksi. Berkurangnya

58

libido dapat diakibatkan dari penyebab organik atau psikologik. Dari sisi
psikogenik,

depresi

bisa

mempengaruhi

neurotransmiter

yang

juga

berpengaruh pada disfungsi ereksi. Neurotransmiter ini berpengaruh terhadap


sinyal parasimpatetik gairah seksual (sexual arousal) dan sinyal parasimpatetik
pada penis memulai perubahan intraseluler yang diperlukan untuk ereksi.

Erection

GTP

guanylyl
cyclase

Smooth muscle
relaxation

cGMP

Nitric Oxide

PDE-5
Parasympathetic
signal to penis

5-GMP
Detumescence

Arousal

Gambar 9. Mekanisme molekuler ereksi penis

Sel endotel dan nervus terminal melepaskan nitric oxide, yang pada
gilirannya meningkatkan kadar cyclic guanosine monophosphate (cGMP).
Kadar cGMP yang berlimpah menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan
kavernosa,

serta

meningkatkan

aliran

darah

penis.

Ketika

tekanan

intrakavernosa meningkat, venula subtunika penis terkompresi, sehingga


membatasi aliran balik vena dari penis. Kombinasi peningkatan aliran arteri
dan penurunan aliran balik vena mengakibatkan ereksi. Proses ini dibalikkan
oleh aktifitas type 5 cGMP phosphodiesterase (PDE), yang memecah cGMP,
menyebabkan penghentian ereksi.
Depresi dapat mempengaruhi neurotransmiter yang juga berpengaruh
pada disfungsi ereksi. Neurotransmiter tersebut adalah :
59

1. Asetilkolin
2. Serotonin
3. Norepinefrin
4. Dopamin
5. Glutamat
6. Gamma-aminobutyric acid ( GABA )
Secara keseluruhan, gangguan neurotransmitter dan biomolekuler pada
depresi dilihat dalam gambar berikut.

Gambar 10. Bagan disfungsi ereksi


G. MANAJEMEN DISFUNGSI EREKSI
Dalam terapi Disfungsi Ereksi (DE), yang menjadi sasaran terapi
adalah ereksi penis. Berdasarkan sasaran yang diterapi, maka tujuan terapi
adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas ereksi penis yang nyaman saat
berhubungan seksual. Kualitas yang dimaksud adalah kemampuan untuk
mendapatkan dan menjaga ereksi. Sedangkan kuantitas yang dimaksud adalah

60

seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjaga ereksi. Berikut ini
adalah alur penanganan penderita yang diduga menderita disfungsi ereksi:

Gambar 11. Bagan penatalaksanaan disfungsi ereksi.


Sebelum memilih terapi yang tepat, perlu diketahui penyebab atau
faktor risiko pada pasien yang berperan dalam menyebabkan munculnya DE.
Hal ini terkait dengan beberapa penyebab DE yang terkait. Dengan demikian,
jika diketahui penyebab DE yang benar maka dapat diberikan terapi yang tepat
pula. Terapi untuk DE dapat dibedakan menjadi dua yaitu terapi tanpa obat
(nonfarmakologis pola hidup sehat dan menggunakan alat ereksi seperti
vakum ereksi) dan terapi menggunakan obat (farmakologis). (Wibowo &
Gofir, 2008)

61

Gambar 12. Terapi Disfungsi Ereksi


Yang pertama kali harus dilakukan oleh pasien DE adalah harus
memperbaiki pola hidup menjadi sehat. Beberapa cara dalam menerapkan pola
hidup sehat antara lain olah raga, menu makanan sehat (asam amino arginin,
bioflavonoid, seng, vitamin C dan E serta makanan berserat), kurangi dan
hindari rokok atau alkohol, menjaga kadar kolesterol dalam tubuh,
mengurangi berat badan hingga normal), dan mengurangi stres. Jika dengan
menerapkan pola hidup sehat, pasien sudah mengalami peningkatan kepuasan
ereksi maka pasien DE tidak perlu menggunakan obat atau vakum ereksi.
(Wibowo & Gofir, 2008)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen DE
menyangkut terapi psikologi, terapi medis dan terapi hormonal yaitu :

Terapi psikologi yaitu terapi seks atau konsultasi psikiatrik, percobaan


terapi (edukasi, medikamentosa oral / intrauretral, vacum constricsi
device).

Terapi medis yaitu terapi yang disesuaikan dengan indikasi medisnya

Terapi hormonal yaitu jika tes laboratoriumnya abnormal seperti kadar


testoteron rendah , kadar LH dan FSH tinggi maka diterapi dengan
pengganti (Wagner, 2012)

62

Apabila penyebab disfungsi ereksi tersebut ialah faktor organik,


dianjurkan lima langkah berikut sebelum dilakukan terapi khusus, yakni:
1. dipertimbangkan apakah perlu dilakukan terapi spesifik;
2. pengobatan terhadap masalah psikogenik sekunder;
3. menyingkirkan faktor yang memperberat disfungsi ereksi;
4. memperbaiki kondisi atau faktor kesehatan umum;
5. mempertimbangkan kenyataan bahwa umur berperan pada penurunan
libido dan frekuensi ereksi. (Wagner, 2012)
Sebelum pemberian suatu obat, perlu dipertimbangkan adanya
penyakit-penyakit yang diderita, obat yang telah diperoleh, kepuasan
pasangan, kenyamanan dengan metoda pemberian obat serta profil efek
sampingnya. Pada menejemen operatif, pilihan terapi disfungsi ereksi ialah
bedah vaskuler atau implantasi prostesis penis, dengan mempertimbangkan
kemungkinan adanya kontra indikasi. Implantasi prostesis penis mempunyai
tingkat kepuasan tinggi, akan tetapi tidak direkomendasikan sebagai pilihan
utama oleh karena kemungkinan menimbulkan kerusakan permanen pada
jaringan penis (korpus kavernosum). Alat bantu ereksi vacuum constriction
devices dapat diterima oleh sekitar 75 persen pasien . Berbagai usaha juga
dapat dilakukan dalam pengelolaan impotensi, yaitu:
1. Farmakoterapi oral, misalnya yohimbin, sildenafil;
2. Injeksi intrakavernosa.
Injeksi alprostadil intra kavernosa masih dipertimbangkan
sebagai cara yang relatif efektif dan aman pada sejumlah pasien
diabetik dengan disfungsi ereksi. Efektivitas terapi alprostadil
bervariasi 50-67 persen. Dosis paling efektif ialah 20 mg, sementara
dosis efektif minimal ialah 10 mg;
3. Prostesis penis.
Implan AMS 700CX menghasilkan ereksi cukup bagus, sangat
memuaskan pada pemantauan jangka penjang sebagian besar pasien.
Beberapa penelitian juga menganjurkan memakai flap tulang iliaka

63

sebagai penunjang penis, oleh karena menurut pengamatan dengan


pemantauan selama satu tahun menunjukkan fungsi seksual baik;
4. Vacuum devices;
5. Revaskularisasi arteriel.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa tidak ada prosedur
revaskularisasi tunggal telah diterima untuk mengatasi masalah
impotensi

vaskulogenik.

Revaskularisasi

arteriel

tidak

direkomendasikan untuk pasien dengan DM. Rekomendasikan


indikator seleksi kasus revaskularisasi penis diantaranya adalah
sebagai berikut: (a) gagal dengan injeksi intra kavernosa, (b) usia
kurang dari 55 tahun, (c) nondiabetik (d) tidak ada kebocoran
kavernosa, dan (e) stenosis di arteria pudenda interna;
6. Pengobatan kerusakan vena;
7. Pengobatan hormonal; dan
8. Terapi seks.
Penanganan disfungsi ereksi dengan obat telah berkembang dengan
signifikan. Sildenafil merupakan salah satu obat yang telah terbukti
bermanfaat untuk terapi disfungsi ereksi laki-laki diabetik. Dosis awal ialah 50
mg (oral) kemudian dapat diturunkan menjadi 25 mg atau dinaikkan menjadi
100 mg tergantung respon penderita.
Efek samping berupa nyeri kepala, dispepsia, gangguan saluran nafas,
dan kardiovaskuler dilaporkan pernah terjadi. Insidensi efek samping
kardiovaskuler sama besar antara subjek dengan kontrol. Efek samping paling
banyak terjadi ialah nyeri kepala, flushing, nyeri otot, dan gangguan saluran
cerna, bahkan ada laporan menimbulkan kematian.
Sildenafil sitrat kontraindikasi mutlak pada pasien yang mendapat nitrat
organik. Beberapa peneliti telah mendiskusikan keuntungan dan kerugian
mulai pengobatan dengan sildenafil dosis rendah. Keuntungan pendekatan
tersebut termasuk: 1) mengidentifikasi pasien sangat sensitif pada efek
sildenafil dan memerlukan dosis lebih; 2) meminimalkan efek samping seperti
flushing dan pusing yang sering menakutkan pasien dan mempengaruhi

64

kepatuhan; 3) menghindari efek samping yang berat; dan 4) menjamin pasien


tetap berhati-hati dalam menggunakan terapi sildenafil. Salah satu penelitian
menyatakan bahwa efek paling bagus sildenafil sitrat tercapai dengan dosis
100 mg (efektif pada 68,5 persen pasien) sementara dengan dosis 50 mg
efektif pada 31,5 persen, dan dosis 25 mg efektif pada 0 persen pasien.
Sildenafil merupakan obat pilihan pertama pasien disfungsi ereksi pada pasien
diabetes melitus .
Vardenafil, suatu penyekat fosfodiesterase-5, ternyata cukup bagus
untuk kasus disfungsi ereksi dengan diabetes mellitus. Vardenafil secara
statistik meningkatkan kemampuan ereksi, dan dapat ditoleransi dengan baik
pada pasien diabetik dengan disfungsi ereksi. Telah dilakukan penelitian butaganda multisenter (placebo-controlled fixed-dose parallel-group phase III
trial ) pada 452 pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 atau 2, dengan
disfungsi ereksi, yang secara acak mendapat dosis 10 mg, 20 mg vardenafil
atau plasebo sesuai kebutuhan selama 12 minggu. Respon efikasi diuji dengan
International Index of Erctile Function domain scores , banyaknya penetrasi
vaginal dan suksesnya hubungsn kelamin, dan Global Assessment Question
(GAQ) tentang perbaikan ereksi selama 4 minggu sebelumnya. Penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa vardenafil meningkatkan fungsi ereksi dan
umumnya ditoleransi dengan baik oleh subjek dengan diabetes melitus dan
disfungsi ereksi.
Dewasa ini terapi obat menjadi sangat penting. Penyekat fosfodiesterase
baru dewasa ini sedang dalam uji praklinik. Fentolamin dan apomorfin ruparupanya akan segera tersedia untuk terapi disfungsi ereksi. Mengkombinasi
VIP dengan fentolamin mesilat injeksi intrakorporeal diketahui efektif dan
aman pada pasien-pasien disfungsi ereksi nonpsikogenik.
Kebanyakan dari pria yang menderita disfungsi ereksi dapat diterapi
dengan berhasil dengan salah satu pedekatan dibawah ini. Pria yang tidak
menderita disfungsi organik kemungkinan lebih menguntungkan dengan terapi
seks yang beroriaentasi pada tingkah laku (behavioral ). Berikut ini beberapa
penjelasan tetang beberapa macam terapi pada disfungsi ereksi.

65

Terapi penggantian hormone


Injeksi testosteron (200 mg intramuscular setiap 3 minggu) atau
testosterone topical (2.56 mg/hari) diberikan pada pria dengan defisiensi
androgen yang telah menjalani pemeriksaan endokrin.
Alat vakum konstriksi
Alat vakum konstriksi adalah alat yang berbentuk silinder yang
menjadikan penis dalam kondisi ereksi dengan memacu kondisi vakum dalam
silinder. Ketika fase tumescence telah tercapai alat konstriksi dari karet atau
pembalut ditempatkan mengelilingi sekitar proksimal penis untuk mencegah
hilangnya ereksi, selanjutnya silinder di pindah. Alat ini cocok untuk pasien
dengan gangguan vena pada penis dan yang gagal mencapai ereksi yang
cukup dengan injeksi bahan vasoaktif. Komplikasi penggunaan alat ini jarang
terjadi.
Pengobatan dengan bahan vasoaktif
Suntikan secara langsung bahan vasoaktif prostaglandin ke dalam penis
yang dapat digunakan dalam pengobatan untuk kebanyakan pria dengan
impotensi. Suntikan ini dilakukan dengan menggunakan spuit (alat suntik)
tuberculin. Pada sisi dasar dan lateral penis digunakan sebagai tempat
suntukan untuk menghindari trauma pada pembuluh darah yang terletak di
permukaan yang terletak di anterior. Komplikasi jarang terjadi; meliputi
pusing, nyeri setempat, terbentuknya jaringan parut dan infeksi. Ereksi yang
diperpanjang memerlukan aspirasi (penyedotan) darah dan suntikan epinefrin
dan fenilefrin untuk mencapai tahap destumescence tetapi kejadian ini sangant
jarang. Mekanisme pengiriman vasoaktif prostaglandin (alprostadil) melalui
obat ang dimasukan uretra sudah diproduksi, pada pemakaiannya memperoleh
hasil yang memuaskan. Sediaan dalam bentuk supositoria yang tersedia 125,
250, 500 dan 1000 mcg.
Rangsangan seksual dengan pelepasan bahan nitric oxide pada saraf
akan memicu ereksi penis. Penurunan penguraian cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) telah merubah cara pengobatan disfungsi ereksi.
Sildenafil (Viagra) dengan menghambat phosphodiesterase 5 (PDE-5)

66

merupakan suatu penghambat ereksidan menjadikan cGMP berfungsi tanpa


hambatan. Dalam keadaaan normal, nitric oxide -membantu pelepasan dari
saraf

parasimpatis

dan

endothelium

membangkitkan

membangkitkan

campuran tersebut dan memperpanjang waktu paruh dan menopang aliran


darah ke dalam penis yang ereksi. Disarankan untuk meminum lima puluh
milligram 1 jam sebelum berhubungan untuk mengantisipasi aktifitas seksual.
Obat ini tidak memiliki efek libido, tetapi efek tambahan dari nitrat memicu
pengurangan preload jantung dengan hebat dan hipotensi.
Dengan demikian, obat ini dikontraindikasikan pada pasien yang
mengkonsumsi nitrogliserin. Semua pasien yang dalam pengawasan nyeri
dada harus ditanyakan apakah mengkonsumsi sildenafil sebelum diberikan
nitrogliserin.Thus, penyakit aterosklerosis yang menetap pada sistem
aortailiaka dihubungkan dengan penurunan kemanjuran. penghambat PDE-5
yang terbaru, termasuk vardenafil (Levitra) and tadalafil (Cialis), memiliki
waktu paruh yang lebih panjang dan memiliki kemanjuran yang sama.
Beberapa pasien yang tidak memberikan respon terhadap suatu jenis
penghambat PDE-5 mungkin memberikan respon terhadap salah satu jenis
penghambat PDE-5 yang lain. Apomorphine SL adalah dopamin D1 dan D2
agonist dan sekarang sudah direkomendasikan di Eropa.
Penile Prostheses (penis buatan)
Alat penis buatan dimasukan secara langsung ke dalam pasangan badan
corporal. Prostesis ini memiliki sifat keras, lentur, seperti sendi atau dapat
dipipihkan. Alat ini diproduksi bervariasi menurut ukuran dan diameter.
Model yang dapat dipipihkan memiliki penampakan kosmetik yang baik,
tetapi memiliki kegagalan mekanik yang lebih besar.
Rekonstruksi pembuluh darah
Pasien dengan gangguan sistem arteri dapat dilakukan dengan berbagai
macam bentuk rekonstruksi arteri, termasuk endarterektomi dan ballon
dilatation (pengembangan balon) pada sumbatan arteri dan teknik bypass pada
arteri menggunakan arteri (pada arteri epigastrik) atau bagian vena (Vena
dorsalis) pada penyumbatan di distal (dibawah) dari krura korpora kavernosa.

67

Pengalama klinis dengan teknik rekonstruksi arteri masih terbatas dan


mungkin beberapa pasien dapat mengalami kegagalan dalam mencapai ereksi
yang maksimal.

68

DAFTAR PUSTAKA
Alan J. Wein, MD, PhD(Hon) Professor and Chair, Division of Urology,
University of Pennsylvania School of Medicine. (2007). Campbell-Wash
Urology 9th edition. Saunders Elesevier.
Alloy L.B., J.H Riskind, M.J Monos. (2005). Stress and Physical Disorders. In
Abnormal Psychology: Current Perspectives. 9th ed, 214-221.
Asadi, A., & Usman, A. (2001). The Role of Psychological Stress in Skin Disease.
J of Cutaneous Med and Surgery, 2:140-5.
Baron R.A, dan Byrne D.B. (1994). Social Psychology. Understansing Human
Interaction, 99-122.
Carlson, N.R. (2005). Stress Disorders. In: Foundations of Physiological
Psychology 6 Edition, 99-122.
Chevalier, Gaetan et.al. (2011). Clinical Applications. Emotional Stress, Heart
Rate Variability, Grounding, and Improved Autonomic Tone, 10:119-127.
Chrousos, G. (1995). The HypothalamicPituitaryAdrenal Axis And ImmuneMediated Inflammation. Seminars In Medicine Of The Beth Israel
Hospital, 332 (20) : 1351 62.
Contrada, & Baum. (2010). The Handbook of Stress Science: Biology,
Psychology, and Health. New York: Springer Publishing Company.
Cox, T. (1995). Stres, Coping and Health. In Health Psychology Process And
Application Edited By Annabel Broome And Sue Llewelyn, 2nd Edition.
London: Champman & Hall.
Elenkov, I., & Chrousos, G. (Trends Endocrinol Metab). Stress Hormones,
Th1/Th2 patterns, pro/anti-inflamatory Cytokines and Susceptibility to
Disease. 1999: 10: 359-68.

69

Ellen, J.-G., Melinda, S., Heather, L., & Jeanne, S. (2007). Undestanding Stress:
Signs, Symptoms, Causes, and Effects. Helpguide.org.
Genco RJ, Ho AW, Kopman J, Grossi SG, Dunford RG, Tedesco LA. (1998).
Models to Evaluate the Role of Stress in Periodontal Disease. Ann
Periodont , (3): 288 -302.
Gunarsa. (1995). Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta:
Gunung Mulia.
Guyton. (2002). Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbt Buku
Kedokteran ECG.
H, A. (2008). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Hawari, D. (2008). Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.
Inc, Accelerated Cure Project. (2007). A Framework for Describing Physical and
Psychological Trauma and Stress as a Cause of Disease.
Kim, J. a. (2011). Stress hormone and Skin Disease. http://www.intechopen.com/ .
Lazarus RS, F. S. (1984). Stress Appraisal and Coping. New York: Springer
Publishing Company.
Lupien Sonia J, M. B. (2009). Effects of Stress Troughout The Lifespan on The
Brain, Behavior, and Cognition. Nature Reviews Neuroscience , 10:434445.
Notosoedirdjo, M. (1999). Psychobiological Basis of Psychoneuroimmunology.
Jakarta: Folia Medika Indonesiana .
OConnor, T., OHalloran, D., & Shanahan, F. (2000). The Stress response and
the HypothalamicPituitaryAdrenal Axis : from molecule to melancholia.
Q J Med , 93 : 323-33.

70

Pinel, J. (2009). Stress dan Kesehatan. Dalam: Biopsikologi Edisi ke-7.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Powell, D. (1983). Human Adjusment Normal Adaptation Through The Life
Cycle. Toronto: Litlle Browm & Co.
Putra, S. (2005). Psikoneuroimunologi Kedokteran. Surabaya: GRAMIK FK
UNAIR-RSU Dr. Soetomo.
Roit, J. (2003). Essensial Immunology. Oxford: Blackwell Science Limited.
Sadock, B., & Sadock, V. (2009). Comprehensive Textbook of Psychiatry.
Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sarafino, E. (1994). Health Psychology (2.Ed). New York: Willey.
Sasanto, W. (2007). Consultation Liasion Psychiatry. Jakarta: FK UI.
Soleh, M. (2005). Manfaat Praktis Ditinjau Dari Ilmu Kedokteran. Yogyakarta:
Forum Studi Himanda.
W., F. (2006). A Brief Introduction to Cognitive-Behaviour Therapy. New
Zealand: Author.
Wagner,

K.-E.

A.

(2012).

Physiology

of

Penile

Erection.

(http://physrev.physiology.org/cgi/pdf_extract/75/1/191, Ed.)
WF, M., & AA, M. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
Wibowo, S., & Gofir, A. (2008). Disfungsi Ereksi. Yogyakarta: Pustaka Cendekia
Press.
Yuliadi, I. (2014). Stress dan Libido. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

71

Anda mungkin juga menyukai