Disusun Oleh :
A. Latar Belakang
Kegagalan dalam melakukan penyesuaian terhadap berbagai persoalan bukan hanya
menimbulkan gangguan psikis atau mental saja. Gejala gagal dalam melakukan penyesuaian bisa
muncul dalam bentuk gangguan-gangguan yang bersifat kebutuhan/fisik karena pada dasarnya
antara badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga gangguan terhadap
salah satu di antaranya menimbulkan gangguan pada lainnya. Inilah yang kemudian sering disebut
dengan gangguan psikosomatik.
Penyakit-penyakit psikosomatik merupakan gangguan kesehatan yang bukan saja umum
dijumpai dalam populasi, tapi sering menimbulkan kesalahpahaman di bidang medis. Medikasi
sering memberi kesembuhan secara cepat, namun bukan berarti persoalannya menjadi beres karena
seringkali penyakit tersebut kambuh kembali berulang-ulang. Ini berkaitan karena sumbernya
bukan dari tubuh yang sakit, melainkan pada persoalan mental yang belum terselesaikan.
Penemuan-penemuan terbaru berkaitan dengan kerja otak semakin menambah keyakinan
antara hubungan yang erat antara fisik dan mental. Oleh karena itu penyembuhan penyakit-
penyakit psikosomotik perlu melibatkan interaksi fisik mental. Kerja sama bidang kedokteran dan
psikologi perlu mulai dikembangkan untuk mendapatkan strategi penyembuhan yang ideal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fenomena gangguan psikosomatik?
2. Apa kaitan antara badan dan jiwa?
3. Bagaimana sejarah munculnya istilah psikosomatik?
4. Bagaimana teori-teori psikosomatik?
5. Bagaimana kaitan gangguan psikosomatik dengan kepribadian?
6. Bagaimana prevensi berbagai gangguan psikosomatik dan upaya penanganannya?
C. Tujuan
1. mengetahui fenomena gangguan psikosomatik.
2. Mengetahui kaitan antara badan dan jiwa.
3. Mengetahui sejarah munculnya istilah psikosoomatik.
4. Mengetahui teori-teori psikosomatik.
5. Mengetahui kaitan gangguan psikosomatik dengan kepribadian.
6. Mengetahui prevensi berbagai gangguan psikosomatik dan upaya penanganannya.
BAB II
PEMBAHASAN
D. Teori-teori Psikosomatis
Teori-teori psikosomatis snagat beragam. Psikologi sendiri sekurangnya memiliki dua teori
dasar untuk menjelaskan gangguan psikosomatis ini.
Teori-teori psikosomatis formal mula-mula dipengaruhi oleh gagasan Freudian yang
menyatakan nahwa simtom-simtom bisa merupakan ekspresi simnbolik dari konflik-konflik yang
tidak disadari, dorongan-dorongan dan harapan-harapan yang direpresi, dimana hal tersebut dapat
diketemukan dalam sejarah perkembangan individu. Teori-teori yang dipengaruhi paham
psikoanalisa ini dimasukkanke dalam teori-teori simtom-simbol, yang menyatakan bahwa organ
atau sistem yang terkena memiliki makna simbolis bagi pasien (Lachman, 1972: Totman, 1982).
Masalah yang timbul berkaitan dengan pendekatan psikosomatis ini secara umum
didasarkan atas dua kesulitan, yaitu:
a. Definisi dari proses seperti ketidaksadaran mengakibatkan teori-teori tersebut secara apriori sulit
didefinisikan dan dapat didemonstrasikan secara meyakinkan dalam penelitian.
b. Proporsi kunci pada kebanyakan teori-teori tersebut adalah bersifat dualistik secara eksplisit
maupun implisit berpegang pada pemikiran bahwa perasaan-perasan menyebabkan kondisi
fisiologis.
Sebagian besar kritik terhadap pendekatan psikodinamis ini dapat diturunkan pada salah
satu ataukedua poin dasar tersebut diatas. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh sebagian besar
studi kasus gagal untuk menemukan kriteria bagi objektivitas ilmiah yang dapat diaplikasikan
sehingga akibatnya bahwa akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an minat pada formulasi
psikodinamis berangsur menurun. Alasan utama menurunnya minat pada tradisi psikoanalisis
adalah tumbuhnya popularitas aliran behaviorisme gaya Skinner.
Teori-teori behavioristik yang menjelaskan gangguan psikosomatis pada umumnya kalau
disederhanakan adalah sebagai berikut:
Sakit kepala merupakan salah satu gangguan yang berhubungan dan dekat dengan simtom-
simtom psikosomatik dan yang paling umum ditemukan oleh beberapa penelitian (attanasio, dkk,
1984;Biondi, dkk;1994;Tamminen dkk; 1990). Sakit kepala diketahui disebabkan oleh masalah-
masalah kepribadian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecemasan, depresei, sifat obsesif
komplusif dan neurotik memiliki hubungan dengan serangan sakit kepala. Lebih jauh lagi dalam
penelitian yang dilakukan oleh Schaefer pada tahun 1994 menunjukkan bahwa ciri-ciri kepribadian
“tipe melankolik” berhubungan dengan pasien yang terkena gangguan migraine. Migraine
merupakan merupakan salah satu bentuk gangguan sakit kepala. Tipe melankolik adalah struktur
kepribadian yang berhubungan dengan “tipe melankolis” dari Tellenbach yang sering ditemukan
pada pasien yang mengalami gangguan depresi unipolar. Orang dengan kepribadian tipe
melankolis mempunyai kesadaran yang terlalu sensitive yang bertujuan untuk menghindari
bahkan perasaaan bersalah yang paling kecil sekalipun. Dalam hubungan yang lebih bersifat
personal, tipe melankolis ini juga dicirikan oleh penghindaran perasaan bersalah dan dengan
bersamaan membuat bentuk persahabatan yang menghindari semua argument dengan menjaga
norma-norma dan konveksi yang dianggap sebagai kebenaran.
Kaitan antara gangguan somatoform dengan gangguan kepribadian dilaporkan oleh Bass
dkk. (1995) dengan melakukan studi dengan cara sistematis pada pasien-pasien dengan gangguan
somatoform. Mereka menemukan bahwa sebagian besar pasien dengan gangguan somatoform
kebanyakan juga didiagnosa memiliki gangguan kepribadian dari pada yang menderita sakit
mental lainnya, seperti yang dikodekan pada axis I dari DSM-IV. Lebih jauh mereka mengatakan
bahwa dua dari tiga pasien dengan gangguan somatoform memenuhi kriteria untuk gangguan
kepribadian.
Barsky (1995) mengungkapkan, sebelumnya ada gagasan awal yang mengatakan bahwa
gangguan somatoform berhubungan dengan gangguan kepribadian anti sosial. Hasilnya
meunjukkan bahwa gangguan kepribadian merupakan hal yang jauh lebih umum daripada
gangguan kepribadian antisosial dan histerionik pada pasien dengan gangguan somatoform.
Barsky kemudian mengumpulkan hasil sejumlah penelitian yang meunjukkan hasil-hasil tersebut
antara lain penelitian yang dilakukan oleh Smith pada tahun 1991 dengan menggunakan populasi
psikiatri.
Barsky menyarankan bahwa lebih baik menggunakan penelitian perkembangan dan life-
span untuk gangguan somatoform daripada penelitian deskriptif dan fenomenologi. Argument
yang dikemukakannya adalah bahwa di samping penelitian deskriptif dan fenomenologi
mempunyai pengukuran objektif yang kuat dan definisi istilah akurat, pengkuantifikasian yang
hati-hati, alat ukur yang enunjukkan kekuatan psikometrik dan kelompok pembanding yang baik,
penelitian deskriptif dan fenomenologi juga memiliki kelemahan kelemahan terutama kurang
dapar membantu dalam mengerti natur dari gangguan ini dalam meneliti mekanisme patogenik
dan dalam mempelajari variabel-variabel yang mempunyai implikasi teraupetik langsung. Dengan
kata lain penelitian deskriptif dan fenomenologi memiliki keterbatasan pada kegunaan klinis.
Sejumlah penelitian mengenai gangguan perut khususnya usus iritabel yang dilaporkan
oleh Kellner (1994) menemukan bahwa pasien dengan sindrom usus iritabel yang mencari
pengobatan medis mempunyai skor distress yang lebih tinggi pada skala distress dan pengukuran
inventori psikologi yang psikopatologi disbanding pasien yang mengalami penyakit perut organik
asli dan kontrol kelompok normal.
Penelitian yang dilakukan oleh Warwick (1990) menunjukkan bahwa pasiepasien yang
mengalami gangguan hipokondriasasi berbeda dari pasien-pasien psikiatrik yang mengalami
kecemasan dan depresei dengan laporan mengalami kekuatan yang berlebihan dan keyakina
keyakinan yang keliru mengenai penyakit, perhatian yang lebih besar pada sensasi sensasi
ketubuhan, ketakutan akan kematian yang sering, dan ketidak percayaan yang lebih besar pada
pendapat dokter meskipun mereka lebih banyak mengunjungi tempat-tempat perawatan medis
dibanding yang dilakukan oleh pasien yang lain dalam penelitian tersebut.
Studi yang dilakukan oleh Borkovec (1982) menyimpulkan bahwa pasien pasien dengan
gangguan insomnia yang dites dengan menggunakan MMPI ternyata lebih sering mempunyai
profil patologis dengan ciri-ciri gambaran klinis seetengah depresi.
Eratnya kaitan antara psikosomatik dengan kepribadian dikuatkan dengan pendapat
Halliday (Fava, 1992)yang memasukan kepribadian kedalam salah satu dari enam ciri suatu
gangguan dikenakan ke dalam kelompok psikosomatik. 1. Emosi sebagai factor pencetus 2. Tipe
kepribadian 3. Rasio seks 4. Berhubungan dengan gejala-gejala psiosomatik lainnya 5. Sejarah
keluarga 6. Tahap-tahap kemunculannya.
A. Kesimpulan
Gangguan psikosomatik merupakan bentuk gangguan kesehatan yang umum dijumpai di
masyarakat, tapi masih sedikit yang menyadari bahwa penyebabnya adalah masalah psikologis.
Bahkan tidak banyak penderita yang berusaha mengguanakan terapi psikologis untuk
menyembuhkan penyakit psikosomatik.
Penyakit-penyakit psikosomatis biasanya berkaitan dengan kerja saraf otonom. Faktor
budaya serta kepribadian juga memegang peranan terhadap jenis dan gejala psikosomatis yang
dimunculkan.
Upaya menangani gangguan psikosomatis secara integral perlu mulai dikembangkan.
Pendekatan medis saja tidaklah cukup bagi kesejahteraan pasien tertama dengan gangguan
psikosomatis ini. apalagi efek jangka panjang dari medikasi yang berakibat merugikan sering kali
tidak diperkirakan sebelumnya. Sementara itu terapi psikologi perlu dikembangkan untuk juga
bukan hanya melulu mengatasi gejala-gejala psikis saja, melainkan diperluas untuk menyentuh
aspek fisik.
B. Saran
Agar seseorang tersebut tidak mudah mengalami stres atau mengalami gangguan
psikosomatik, maka diperlukannya keseimbangan antara psikologisnya. Apabila psikisnya baik,
maka seseorang tersebut tidak mudah mengalami stres.
DAFTAR PUSTAKA