Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH MENGENAL GANGGUAN PSIKOMATIK

Disusun Oleh :

1. Diska Puspita (920173062)


2. Eva Elya Fauziyah (920173064)
3. Ike Dwi Lestyani (920173070
4. Yoga Dzakiy Mufadhol (920173091)
5. Ruly Rohadi (920173147)

3.B S1 ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Fenomena Gangguan Psikosomatik ................................................................... 2
B. Kaitan antara Badan dan Jiwa ........................................................................... 3
C. Sejarah Munculnya Istilah Psikosomatik .......................................................... 3
D. Teori-teori Psikosomatik .................................................................................... 5
E. Kaitan Gangguan Psikosomatik dan Kepribadian ............................................. 6
F. Prevalensi Berbagai Gangguan Psikosomatik dan Upaya
Penanganannya .................................................................................................... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 10
B. Saran .................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegagalan dalam melakukan penyesuaian terhadap berbagai persoalan bukan hanya
menimbulkan gangguan psikis atau mental saja. Gejala gagal dalam melakukan penyesuaian bisa
muncul dalam bentuk gangguan-gangguan yang bersifat kebutuhan/fisik karena pada dasarnya
antara badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga gangguan terhadap
salah satu di antaranya menimbulkan gangguan pada lainnya. Inilah yang kemudian sering disebut
dengan gangguan psikosomatik.
Penyakit-penyakit psikosomatik merupakan gangguan kesehatan yang bukan saja umum
dijumpai dalam populasi, tapi sering menimbulkan kesalahpahaman di bidang medis. Medikasi
sering memberi kesembuhan secara cepat, namun bukan berarti persoalannya menjadi beres karena
seringkali penyakit tersebut kambuh kembali berulang-ulang. Ini berkaitan karena sumbernya
bukan dari tubuh yang sakit, melainkan pada persoalan mental yang belum terselesaikan.
Penemuan-penemuan terbaru berkaitan dengan kerja otak semakin menambah keyakinan
antara hubungan yang erat antara fisik dan mental. Oleh karena itu penyembuhan penyakit-
penyakit psikosomotik perlu melibatkan interaksi fisik mental. Kerja sama bidang kedokteran dan
psikologi perlu mulai dikembangkan untuk mendapatkan strategi penyembuhan yang ideal.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fenomena gangguan psikosomatik?
2. Apa kaitan antara badan dan jiwa?
3. Bagaimana sejarah munculnya istilah psikosomatik?
4. Bagaimana teori-teori psikosomatik?
5. Bagaimana kaitan gangguan psikosomatik dengan kepribadian?
6. Bagaimana prevensi berbagai gangguan psikosomatik dan upaya penanganannya?

C. Tujuan
1. mengetahui fenomena gangguan psikosomatik.
2. Mengetahui kaitan antara badan dan jiwa.
3. Mengetahui sejarah munculnya istilah psikosoomatik.
4. Mengetahui teori-teori psikosomatik.
5. Mengetahui kaitan gangguan psikosomatik dengan kepribadian.
6. Mengetahui prevensi berbagai gangguan psikosomatik dan upaya penanganannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fenomena Gangguan Psikosomatik


Krisis moneter yang melanda Indonesia menimbulkan dampak yang luas. Salah satu
dampak yang muncul berkaitan dengan krisis ini adalah meningkatnya jumlah penderita gangguan
jiwa. Sejumlah rumah sakit jiwa melaporkan peningkatan pasien yang datang berobat, baik pasien
yang datang untuk rawat inap maupun yang hanya rawat jalan. Bahkan beberapa rumah sakit jiwa
melaporkan, kapasitas tempat yang bersedia saat ini tidak mencukupi lagi.
Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah apa yamng sering disebut sebagai gangguan
psikosomatik. Gangguan psikosomatik merupakan bentuk gangguan jiwa yang agak unik, karena
muncul dalam bentuk keluhan-keluhan sakit secara fisik sehingga seringkali mendapatkan
perlakuan yang kurang tepat. Menurut Yusuf (tnp. thn.), pada proses berkembangan terjadinya
gangguan psikosomatis, krisis moneter berfungsi sebagai stresor spikososial, sedangkan gangguan
psikosomatik berfungsi sebagai reaksi individu terhadap stresor tersebut.
Sebelum krisis berlangsung, dalam suatu survei yang diselenggarakan oleh Direktorat
Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan, didapatkan bahwa sekitar 30% pengunjung dari salah satu
Puskesmas di Jakarta adalah kasus-kasus dengan gejala-gejala somatik psikogenik, yang
didiagnosis oleh dokter ahli jiwa yang terlibat dalam survei tersebut sebagai neurosis depresi,
neurosis cemas, gangguan situasional sementara, kegagalan penyesuaian sosial, dan gangguan
psikofisologik. Permasalahan yang terjadi, kasus-kasus semacam itu masih kurang dapat dikenali
dan dideteksi oleh dokter umum di Puskesmas sehingga tata laksana terapi penyembuhannya
menjadi tidak terarah (Maslim, R., 1997).
Temuan Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan tersebut serupa dengan
penelitian-penelitian yang dilakukan diluar negeri. Penelitian-penelitian tersebut menyebutkan
bahwa gangguan psikosomatik menyebabkan sejumlah besar penderitaan dan ketidalmampuan
serta masalah kesehatan masyarakat yang besar. Disebutkan, tendensi untuk mengalami dan
mengkomunikasikan tekanan-tekanan psikologis ke dalam bentuk simtom-simtom fisik dan untuk
mencari bantuan medis merupakan fenomena klinis yang meluas, yang mungkin meliputi lebih
dari 30-40% dari pasien medis (Fava, 1992). Bahkan penelitian lainnya berani menyatakan bahwa
antara ½ -2/3 pasien medis menunjukkan gejala-gejala yang sebagian maupun keseluruhannya
berasal dari sebab psikologis (Lazarus, 1976).
Hasil-hasil penelitian tersebut di atas mendukung pendapat yang dikemukakan oleh
Supangat (1992) yang menyatakan bahwa penyakit manusia abad dua puluh lebih banyak diwarnai
dengan gejala-gejala psikosomatik yag menimbulkan berbagai macam penyakit. Hal itu
merupakan akibat adanya ketidakseimbangan lahiriah dan batiniah yang menimbulkan stres,
frustrasi, ketegangan, kecemasan, dan lain-lainnya.
Sayangnya, belum pernah terdengar hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan gangguan
psikosomatik di masa krisis ini, sekalipun banyak ahli yang berpendapat bahwa prevalensi
gangguan psikosomatik tentu meningkat sejalan dengan meningkatnya stres yang diakibatkan oleh
krisis yang tengah berlangsung.
B. Kaitan Antara Badan Dan Jiwa
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa antara badan dan jiwa terdapat hubungan yang
sangat erat. Ini berlainan dengan pandangan dualisme yang menyatakan bahwa antara badan dan
jiwa terpisah dan dapat dibedakan. Berdasarkan penelitian, otak ternyata merupakan pusat
integrasi dari badan dan jiwa ini.
Otak manusia selain merupakan pusat pikir (otak besar) yang merupakan pusat kesadaran,
juga merupakan pusat emosi (otak kecil maupun batang otak). Jadi sebenarnya antara pikiran dan
emosi terdapat jalinan yang sangat erat karena semuanya terjadi di otak. Berdasarkan anatomi
seperti inilah, maka muncul istilah kecerdasan emosi, yaitu bagaimana orang bisa mengelola
emosinya sehingga berguna untuk meningkatkan kualitas hidup.
Emosi pada giliranya akan memengaruhi kerja sistem syaraf, hormonal maupun fungsi otak
lainnya. Orang yang cerdas secara emosi akan mampu mengintegrasikan kerja seluruh bagian
otaknya sehingga mampu berfingsi secara optimal. Misalnya, ketika menghadapi suatu persoalan,
otak kecil dan batang otak akan bereaksi sehingga memacu pengeluaran hormon yang ada di otak.
Hormon ini pada gilirannya akan mempengaruhi kerja kelenjar hormon lain yang terdapat di ginjal.
Bagia dalam kelenjar adrenal memproduksi hormon adrenalin yang menyebabkan reaksi emosi
takut dan berbagai emosi lainnya dalam jangka waktu yang agak lama. Apalagi karena hormon-
hormon tersebut diserap oleh tubuh dengan perlahan-lahan. Hormon-hormon ini pada gilirannya
akan mempengaruhi reaksi syaraf otonom dalam jangka waktu yang agak lama juga. Inilah
sebabnya mengapa orang yang mengalami stres atau emosi yang tinggi dalam jangka waktu yang
lama akhirnya mudah menjadi sakit. Ini disebabkan fungsi organ tubuh yang tidak seimbang lagi
(mengalami ketegangan dalam jangka waktu yang lama) sehingga mengganggu metabolisme
maupun daya tahan tubuh. Otak besar (cerebal cortex) berfungsi melakukan evaluasi terhadap
derajad pentingnya situasi tersebut, sehingga menentukan juga tingkat emosi yang terjadi. Selain
itu, otak besar turut menentukan antisipasi terhadap peristiwa yang sama pada masa yang akan
datang maupun memilih alternatif untuk melakukan koping yterhadap peristiwa yang dialami.
Kecerdasan emosi pada dasrnya memantu individu untuk menemukan cara-cara yang
konstruktif untuk menguatkan hubungan/jalur antara otak besar (yang berfungsi sebagai pusat
berfikir) dengan pusat emosi sehingga individu tidak hanya menggunakan otak kecil maupun
batang otak (pusat emosi) untuk melakukan reaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang dihadapi.

C. Sejarah Munculnya Istilah Psikosomatik


Teori-teori dan sudut pandang mengenai psikosomatik sangat beragam. Menggunakan
istilah umum dari berbagai teori psikosomatik tersebut, psikosomatik dapat didefinisikan sebagai
tidak ada penyakit somatis (kebutuhan) tanpa didahului oleh anteseden-antesenden emosional dan
atau sosial. Sebaliknya, tidak ada penyakit-penyakit psikis tanpa memunculkan simtim-simtom
somatik. Jelasnya, istilah “reaksi-reaksi psikosomatik” berarti terjadinya reaksi tubuh yang muncul
dalam organ-organ yang berbeda sebagai konsekuensi dari reaksi emosi dan situasi-situasi yang
penuh tekanan seperti gangguan perut, asma bronkial, dan lainnya. Sebaliknya, istilah “reaksi-
reaksi somato psikis” berarti keadaan psikis ditentukan oleh simtom-simtom penyakit somatik.
Sebagai contoh, kemurungan dan kesedihan yang mendalam dihubungkan dengan penyakit
kanker. Menurut model psikosomatik, penyakit berkembang melalui saling mempengaruhi antara
faktor-faktor pisikal dan mental secara terus menerus yang saling memperkuat satu sama lain,
melalui suatu jaringan timbal balik kompleks. Penyembuhan dari penyakit diasumsikan akan
terjadi dengan cara yang sama (Tamm, 1993). Secara sigkat, Kellner (1994) mengungkapkan
bahwa istilah psikosomatik menunjukkan hubungan antara juwa dan badan. Gangguan
psikosomatik didefinisikan sebagai suatu gangguan atau penyakit fisik dimana psoses psikologis
memainkan peranan penting, sedikitnya pada beberapa pasien dengan sindroma ini.
Menurut Tamm (1993), sebelum istilah psikosomatik muncul, yang berkembang dengan
sangat baik adalah istilah biomedis. Perkembangan ini terjadi terutama di negara-negara barat.
Pengobatan biomedis ini berakar pada pengobatan tradisional Yunani yang secara mendalam
dihubungkan dengan filsafat Yunani. Pola pikir filsafati pada era Yunani kuno adalah abstrak,
sistematis, dan dilakukan dengan cara-cara yang rasional dan logis. Konsepsi mengenai dunia
dimengerti oleh para filsuf pada umumnya sebagai dualistik. Manusia dipisahkan antara jiwa dan
badan. Ini nampak jelas sekali lewat pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Plato dan
Aristoteles. Cara berpikir yang seperti ini mempengaruhi dunia Barat bahkan sampai beberapa
abad kemudian, misalnya pandangan yang dikemukakan oleh Descartes. Banyak penyakit yang
dapat ditangani dan disembuhkan oleh model biomedis ini, seperti infeksi dan penyakit-pentakit
lain yang disebabkan oleh virus misalnya. Itu menjadi salah satu alasan mengapa model biomedis
dapat berkembang dengan baik. Tetapi karena model ini mempunyai ciri reduksionistik, banyak
fenomena yang berhubungan dengan kesehatan dan penyakit mendapatkan pemahaman yang
keliru. Sebagai contoh adalah perasaan sakit (kesakitan) dan nyeri. Kesakitan tidak dapat hanya
direduksi sebagai tanda-tanda peringatann karena tubuh sedang melakukan reaksi dalam rangka
mempertahankan diri atau melindungi diri dari serangan penyakit. Fakta menunjukkan bhwa
sebenarnya ada beberapa aspek yang kompleks yang brhubungan dengan kesakitan, seperti aspek-
aspek biologis, psikologis, fenomenologis dan sosial. Model biomedis sebagai titik pandang pada
akhirnya tidak dapat memuaskan lagi meskipun telah mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Jurang antara aspek-aspek biologis dan psikologis dari keadaan sakit masih tetap berlanjut
sampai suatu pendekatan baru muncul dan mulai dikembangkan pada awal abad kedua puluh.
Sigmund Freud, Ivan Pavlov dan WB Cannon berjasa besar dalam hal ini. penjelasan Freud
mengenai ketidaksadaran, penelitian Pavlov mengenai reflek yang terkondisi dan perhatian
Cannon mengenai reaksi menyerang dan menghindar menyediakan konsep-konsep psikologis
yang penting dan merangsang tubuhnya pendekatan psikosomatik dalam bidang perawatan
kesehatan. Gerakan psikosomatik dimulai di Jerman dan Australia pada tahun 1920-an dan
kemudian banyak orang-orang Eropa seperti Fransz Aleksander yang berimigrasi ke Amerika
Serikat membawa serta minat oranng Eropa terhadap gangguan-gangguan psikosomatik (Corsini,
1984).
Istilah psikosomatik sendiri dikembangkan oleh Helen Flanders Dunbar pada sekitar tahun
1930-an yang antara tahun 1930 sampai tahun 1940-an mempublikasikan sejumlah tulisan-tulisan
ilmiah. Buku-bukunya mengenai serangkaian perkembangan yang intensif dalam bidang
penelitian psikosomatik (Tamm, 1993).
Sayang, dalam sejarahnya, karena tidak berhasil menciptakan teori-teori psikosomatik
yang seragam, lebih-lebih sejak model psikosomatik muncul secara simultan dalam berbagai
tingkat organisasi dan endapatkan pengetahuannya baik dari ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
humaniora, istilah psikosomatik mengalami berbagai kesuliatan mendapatkan penerimaan dalam
ilmu medis dan dalam administrasi praktis perawatan pasien. Banyak orang yang mengeluhkan
tentang stres, ketakutan dan kesakitan, atau menunjukkan simtom-simtom somatik yang
menyebar, dengan sendirinya mendapat pengobatan medis atau dilegitimasi sebagai dalam
keadaan sakit (Corsini, 1984). Eisenberg (Fava, 1992) bahkan telah mengidentifikasi beberapa
halangan untuk melakukan kerja samma yang luas antara tanggung jawab perawatan humanistik
dan secara psikologis kedalam praktek medis. Halangan-halangan berikut ialah: 1) tanggung jawab
secara psikologis mengakibatkan bertambahnya biaya dan itu dilihat sebagai dapat menurunkan
efisiens; 2) adanya skeptisisme mengenai realita faktor-faktor psikososial pada riwayat patologis
dan penyebab penyakit; 3) atribusi yang salah terhadap efek terapeutik (pengetahuan dokter yang
terbatas terhadap akibat kekuatan nonspesifik pada hubungan antara dokter dan pasien); 4)
kesulitan untuk mempelajari keterampilan-keterampilan yang baru; dan 5) konteks sosial yang
terdapat pada praktik medis sekarang ini.
Sekarang ini istilah psikosomatik tidak digunakan lagi baik dalam DSM-IV dan ICD-10.
Pada bagian Gambar klinis dan petunjuk diagnosis klasifikasi gangguan mental dan behavioral
dalam ICD-10 memberikan penjelasan bahwa istilah psikosomatik tidak digunakan sebab istilah
inin mungkin membawa implikasi bahwa faktor-faktor psikologis tidak berperan pada timbulnya,
jalannya dan keluaran dari penyakit yang lain yang tidak selalu dapatt digambarkan. Sebagai
gantinya, dalam ICD-10 menggunakan istilah seperti somatoform, gangguan makan, disfungsi
seksual, dan faktor-faktor psikologis serta behavioral yang dihubungkan dengan gangguan atau
penyakit yang diklasifikasikan di mana saja, dimana gangguan psikosomatik biasanya mengambil
peranan pada gangguan tersebut (WHO, 1992).

D. Teori-teori Psikosomatis
Teori-teori psikosomatis snagat beragam. Psikologi sendiri sekurangnya memiliki dua teori
dasar untuk menjelaskan gangguan psikosomatis ini.
Teori-teori psikosomatis formal mula-mula dipengaruhi oleh gagasan Freudian yang
menyatakan nahwa simtom-simtom bisa merupakan ekspresi simnbolik dari konflik-konflik yang
tidak disadari, dorongan-dorongan dan harapan-harapan yang direpresi, dimana hal tersebut dapat
diketemukan dalam sejarah perkembangan individu. Teori-teori yang dipengaruhi paham
psikoanalisa ini dimasukkanke dalam teori-teori simtom-simbol, yang menyatakan bahwa organ
atau sistem yang terkena memiliki makna simbolis bagi pasien (Lachman, 1972: Totman, 1982).

Masalah yang timbul berkaitan dengan pendekatan psikosomatis ini secara umum
didasarkan atas dua kesulitan, yaitu:
a. Definisi dari proses seperti ketidaksadaran mengakibatkan teori-teori tersebut secara apriori sulit
didefinisikan dan dapat didemonstrasikan secara meyakinkan dalam penelitian.
b. Proporsi kunci pada kebanyakan teori-teori tersebut adalah bersifat dualistik secara eksplisit
maupun implisit berpegang pada pemikiran bahwa perasaan-perasan menyebabkan kondisi
fisiologis.
Sebagian besar kritik terhadap pendekatan psikodinamis ini dapat diturunkan pada salah
satu ataukedua poin dasar tersebut diatas. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh sebagian besar
studi kasus gagal untuk menemukan kriteria bagi objektivitas ilmiah yang dapat diaplikasikan
sehingga akibatnya bahwa akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an minat pada formulasi
psikodinamis berangsur menurun. Alasan utama menurunnya minat pada tradisi psikoanalisis
adalah tumbuhnya popularitas aliran behaviorisme gaya Skinner.
Teori-teori behavioristik yang menjelaskan gangguan psikosomatis pada umumnya kalau
disederhanakan adalah sebagai berikut:

Situasi Stimulus > Reaksi Fisiologis > Gangguan Psikosomatis


Situasi-situasi stimulus, apakah eksplisit atau implisit, menimbulkan sejumlah variasi pada
konsisi internal, meliputi aktivitas-aktivitas fisiologis yang dimengerti sebagai aspek-aspek pokok
pada tingkah laku emosional. Juka pola reaksi yang muncul (atau beberapa bagian darinya) adalah
bersifat intens dan berlangsung dalam jangka waktu yang mencukupi, maka perubahan struktural
maupun fisiologis yang menetap mungkin akan timbul sebagai suatu konsekuensi langsung.
Umumnya penelitian-penelitian yang dilakukan akan mengacu pada bagan tersebut diatas,
yaitu berusaha mengukur perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh, atau emosi yang timbul
dari situasi tertentu dan mengkaitkannya dengan gangguan psikosomatis yang terjadi.

E. Kaitan Gangguan Psikosomatik Dan Kepribadian


Beberapa penelitian menunjukkan ternyata gangguan psikosomatik berkaitan dengan
kepribadian seseorang. Beberapa temuan menunjukkan hubungan antara bentuk-bentuk gangguan
psikosomatik tertentu dengan gangguan-gangguan kepribadian tertentu pula, seperti dipaparkan
berikut.
Sebagian besar ahli sependapat bahwa kepribadian alexithymia berhubungan dengan
meningkatnya factor resiko terkena gangguan psikosomatik. Alexithymia merupakan suatu konsep
untuk menggambarkan kesulitan-kesulitan dalam mengidentifikasi dan mengomunikasikan
perasaan, kehidupan fantasi yang miskin dan suatu gaya kognitif yang berorientasi keluar (Taylor,
dkk, 1993). Fava dkk. (1995) menyatakan bahwa telah ditemukan kepribadian alexithymia dalam
jangka waktu yang lama daripada subjek-subjek yang lain.

Sakit kepala merupakan salah satu gangguan yang berhubungan dan dekat dengan simtom-
simtom psikosomatik dan yang paling umum ditemukan oleh beberapa penelitian (attanasio, dkk,
1984;Biondi, dkk;1994;Tamminen dkk; 1990). Sakit kepala diketahui disebabkan oleh masalah-
masalah kepribadian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecemasan, depresei, sifat obsesif
komplusif dan neurotik memiliki hubungan dengan serangan sakit kepala. Lebih jauh lagi dalam
penelitian yang dilakukan oleh Schaefer pada tahun 1994 menunjukkan bahwa ciri-ciri kepribadian
“tipe melankolik” berhubungan dengan pasien yang terkena gangguan migraine. Migraine
merupakan merupakan salah satu bentuk gangguan sakit kepala. Tipe melankolik adalah struktur
kepribadian yang berhubungan dengan “tipe melankolis” dari Tellenbach yang sering ditemukan
pada pasien yang mengalami gangguan depresi unipolar. Orang dengan kepribadian tipe
melankolis mempunyai kesadaran yang terlalu sensitive yang bertujuan untuk menghindari
bahkan perasaaan bersalah yang paling kecil sekalipun. Dalam hubungan yang lebih bersifat
personal, tipe melankolis ini juga dicirikan oleh penghindaran perasaan bersalah dan dengan
bersamaan membuat bentuk persahabatan yang menghindari semua argument dengan menjaga
norma-norma dan konveksi yang dianggap sebagai kebenaran.
Kaitan antara gangguan somatoform dengan gangguan kepribadian dilaporkan oleh Bass
dkk. (1995) dengan melakukan studi dengan cara sistematis pada pasien-pasien dengan gangguan
somatoform. Mereka menemukan bahwa sebagian besar pasien dengan gangguan somatoform
kebanyakan juga didiagnosa memiliki gangguan kepribadian dari pada yang menderita sakit
mental lainnya, seperti yang dikodekan pada axis I dari DSM-IV. Lebih jauh mereka mengatakan
bahwa dua dari tiga pasien dengan gangguan somatoform memenuhi kriteria untuk gangguan
kepribadian.
Barsky (1995) mengungkapkan, sebelumnya ada gagasan awal yang mengatakan bahwa
gangguan somatoform berhubungan dengan gangguan kepribadian anti sosial. Hasilnya
meunjukkan bahwa gangguan kepribadian merupakan hal yang jauh lebih umum daripada
gangguan kepribadian antisosial dan histerionik pada pasien dengan gangguan somatoform.
Barsky kemudian mengumpulkan hasil sejumlah penelitian yang meunjukkan hasil-hasil tersebut
antara lain penelitian yang dilakukan oleh Smith pada tahun 1991 dengan menggunakan populasi
psikiatri.
Barsky menyarankan bahwa lebih baik menggunakan penelitian perkembangan dan life-
span untuk gangguan somatoform daripada penelitian deskriptif dan fenomenologi. Argument
yang dikemukakannya adalah bahwa di samping penelitian deskriptif dan fenomenologi
mempunyai pengukuran objektif yang kuat dan definisi istilah akurat, pengkuantifikasian yang
hati-hati, alat ukur yang enunjukkan kekuatan psikometrik dan kelompok pembanding yang baik,
penelitian deskriptif dan fenomenologi juga memiliki kelemahan kelemahan terutama kurang
dapar membantu dalam mengerti natur dari gangguan ini dalam meneliti mekanisme patogenik
dan dalam mempelajari variabel-variabel yang mempunyai implikasi teraupetik langsung. Dengan
kata lain penelitian deskriptif dan fenomenologi memiliki keterbatasan pada kegunaan klinis.

Sejumlah penelitian mengenai gangguan perut khususnya usus iritabel yang dilaporkan
oleh Kellner (1994) menemukan bahwa pasien dengan sindrom usus iritabel yang mencari
pengobatan medis mempunyai skor distress yang lebih tinggi pada skala distress dan pengukuran
inventori psikologi yang psikopatologi disbanding pasien yang mengalami penyakit perut organik
asli dan kontrol kelompok normal.
Penelitian yang dilakukan oleh Warwick (1990) menunjukkan bahwa pasiepasien yang
mengalami gangguan hipokondriasasi berbeda dari pasien-pasien psikiatrik yang mengalami
kecemasan dan depresei dengan laporan mengalami kekuatan yang berlebihan dan keyakina
keyakinan yang keliru mengenai penyakit, perhatian yang lebih besar pada sensasi sensasi
ketubuhan, ketakutan akan kematian yang sering, dan ketidak percayaan yang lebih besar pada
pendapat dokter meskipun mereka lebih banyak mengunjungi tempat-tempat perawatan medis
dibanding yang dilakukan oleh pasien yang lain dalam penelitian tersebut.
Studi yang dilakukan oleh Borkovec (1982) menyimpulkan bahwa pasien pasien dengan
gangguan insomnia yang dites dengan menggunakan MMPI ternyata lebih sering mempunyai
profil patologis dengan ciri-ciri gambaran klinis seetengah depresi.
Eratnya kaitan antara psikosomatik dengan kepribadian dikuatkan dengan pendapat
Halliday (Fava, 1992)yang memasukan kepribadian kedalam salah satu dari enam ciri suatu
gangguan dikenakan ke dalam kelompok psikosomatik. 1. Emosi sebagai factor pencetus 2. Tipe
kepribadian 3. Rasio seks 4. Berhubungan dengan gejala-gejala psiosomatik lainnya 5. Sejarah
keluarga 6. Tahap-tahap kemunculannya.

F. Prevalensi Berbagai Gangguan Psikosomatik Dan Upaya Penanganannya


Alexander pada tahun 1950 menuliskan tujuh penyakit psikosomati yang akhirmya dikenal
sebagai psikosomatik klasik. Ketujuh penyakit psikosomatik tersebut adalah: hipertensi esensial,
tukak peptik, rematik, arthtitis, hipertiroid, atsma bronkial, radang usus besar, dan neurodermatitis.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa penelitian berkaitan dengan prevalensi beberapa gangguan
psikosomatik yang pernah dilakukan di luar negeri.
Sakit kepala. Menurut Wiliamson dkk sebagian besar penelitian mengenai sakit kepala
mengelompokkan sakit kepala kedalam dua kelompok, yaitu migraine dan nonmigrain.sebagai
contoh, di Amerika seluruh sampel penderita sakit kepala 85% pria dan 72% wanita mengaku tidak
pernah mengkonsultasi perihal sakit kepala mereka ke dokter. Kejadian sakit kepala tidak secara
merata pada semua kelompok umur.
Gangguan perut/Gastroinstestinal. Para ahli gastroenterologis percaya bahwa gangguan-
gangguan tersebut dipicu dan diperparah oleh stress psikologis. Latimer (1981) menambahkan
bahwa prevalensi sindroma usus iritabel pada populasi umum berkisar antara 10%-35% dan antara
50%-70% dari semua pasien dengan keluhan sakit pencernaan.
Sindroma Urethral. Kellner (1994) menyebutkan sekitar setengah dari wanita yang datang
dengan sindroma urethral ternyata tidak menunjukkan bukti terkena infeksi saluran kencing. Hunt
(1995) menyatakan bhwa gangguan ini megenai sekitar 20% dari populasi wanita yang berusia
antara 20-65 tahun. Yang lainnya menyatakan bahwa sekitar 20% pasien yang datang kebagian
urologi mungkin mempunyai gangguan ini.
Sindroma Nyeri Kronik/Chronic Pain Syndrome. Keefe (1982) menyatakan bahwa nyeri
kronik merupakan prevalensi yang paling banyak dan merupakan masalah paling sulit ditangani
oleh dokter.
Sindroma Kelelahan Kronik. Mmerupakan gangguan yang heterogen yang lebih sering
muncul pada wanita, sering sampai berlarut-larut tetapi biasanya jarang yang sampai fatal.
Kelelahan adlah keluhan yang umum pada pasien-pasien primary care dan kelelahan kronik
dihubungkan dengan banyak keadaan keadaan yang sakit secara medis dan gangguan gangguan
psikiatrik, khususnya kecemasan dan depresi. Menurut Keefe prevalensi sindroma kelelahan
kronik berkisar antara 20% sampai lebih dari 40%.
Penanganan berbagai gangguan psikosomatik tersebut secara umu di negara-negara barat
menggunakan dua pendekatan utama. Pendekatan yang pertama berdasarkan pada pengggunaan
obat-obatan dan yang lainnya menggunakan metode yang tidak menggunakan obat-obatan. Namun
banyak juga yang menggunakan kombinasi dari keduanya, karena biasanya menunjukkan hasil
yang lebih memuaskan.
Jhonston (1991) menyebutkan bahwa secara umum ada tiga macam terapi behavioral yang
secara umum diaplikasikan pada kesehatan fisik, yaitu: biofeedback, relaksasi, dan intervensi
kognitif behavioral. Didasarkan pada beberapa penelitian, disimpulkan bahwa biofeedback secara
umum kurang efektif digunakan untuk menangani kesehatan fisik. Latihan relaksasi biasanya
efektif untuk hipertensi primer dan sakit kepala.
Ada baiknya mulai dilakuakn uoaya-upaya pemberian terapi behavioral kepada pasien-
pasien yang diketahui mengalami gangguan psikosomatik. Beberapa bentuk terapi behavioral ini
telah terbukti relative sama efektifnya dengan terapi obat dan bahkan dalam jangka panjang
memebrikan efek samping yang justru positif pada pasien yang bersangkutan. Untuk itu kerja sama
antara dokter dan psikologis (klinis) dalam bidang penanganan gangguan psikosomatik ini perlu
segera diwujudkan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gangguan psikosomatik merupakan bentuk gangguan kesehatan yang umum dijumpai di
masyarakat, tapi masih sedikit yang menyadari bahwa penyebabnya adalah masalah psikologis.
Bahkan tidak banyak penderita yang berusaha mengguanakan terapi psikologis untuk
menyembuhkan penyakit psikosomatik.
Penyakit-penyakit psikosomatis biasanya berkaitan dengan kerja saraf otonom. Faktor
budaya serta kepribadian juga memegang peranan terhadap jenis dan gejala psikosomatis yang
dimunculkan.
Upaya menangani gangguan psikosomatis secara integral perlu mulai dikembangkan.
Pendekatan medis saja tidaklah cukup bagi kesejahteraan pasien tertama dengan gangguan
psikosomatis ini. apalagi efek jangka panjang dari medikasi yang berakibat merugikan sering kali
tidak diperkirakan sebelumnya. Sementara itu terapi psikologi perlu dikembangkan untuk juga
bukan hanya melulu mengatasi gejala-gejala psikis saja, melainkan diperluas untuk menyentuh
aspek fisik.

B. Saran
Agar seseorang tersebut tidak mudah mengalami stres atau mengalami gangguan
psikosomatik, maka diperlukannya keseimbangan antara psikologisnya. Apabila psikisnya baik,
maka seseorang tersebut tidak mudah mengalami stres.
DAFTAR PUSTAKA

Siswanto. 2006. KESEHATAN MENTAL KONSEP, CAKUPAN, DAN


PERKEMBANGANNYA. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET.

Anda mungkin juga menyukai