Anda di halaman 1dari 15

FRAKTUR DENTOALVEOLAR

MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah DS 3 dari drg. R. Tantry
Maulina, M.Kes.,Ph.D

Disusun Oleh :

R.Maudy Dwi Kusuma Putri (160110170029)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat

rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Dental

Science 3 dan untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang

Dentoalveolar Fracture.

Proses penulisan menggunakan sumber data literatur atau sekunder. Data

diperoleh dari berbagai buku, textbook, dan jurnal. Penulis juga mengucapkan terima

kasih kepada pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada

pembaca. Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena

itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan.

Majalengka, 18 Maret 2020

Penulis

1
PEMBAHASAN

Fraktur Dentoalveolar

A. Definisi Fraktur Dentoalveolar


Fraktur dentoalveolar adalah fraktur tulang wajah yang melibatkan
segmen alveolus serta gigi terkait di segmen itu. Fraktur jenis ini dapat dengan
mudah diidentifikasi melalui temuan klinis yang khas. Temuan tersebut
termasuk mobilitas segmen dan dislokasi beberapa gigi serta perubahan
oklusal karena ketidakselarasan dari segmen alveolar yang fraktur.
Fraktur dentoalveolar didefinisikan juga sebagai kerusakan atau
putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan tulang alveolar yang
disebabkan trauma,atau fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi, atau fraktur
gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar
dapat terjadi tanpa atau disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya, biasanya
terjadi akibat kecelakaan ringan seperti jatuh, terbentur saat bermain,
berolahraga atau iatrogenik.

B. Etiologi Fraktur Dentoalveolar


Etiologi fraktur dentoalveolar pada umumnya adalah karena trauma
akibat perkelahian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan saat olahraga,
kecelakaan saat bermain, dan terjatuh. Fraktur dentoalveolar pada anak-anak
sering dijumpai karena trauma akibat kecelakaan di rumah atau di sekolah.
Dalam satu penelitian yang dilaku oleh Schwartz, dikatakan selama
masa remaja, cedera olahraga merupakan kasus yang umum namun pada usia
dewasa, kasus seperti cedera olahraga, kecelakaan sepeda motor, kecelakaan
industri, dan kekerasan dalam rumah tangga merupakan penyebab potensial
trauma. Olahraga yang melibatkan kontak fisik merupakan penyebab umum

2
fraktur dental, seperti sepakbola dan bola basket. Olahraga tanpa kontak fisik
seperti berkuda dapat menyebabkan fraktur dental. Benturan atau trauma, baik
berupa pukulan langsung terhadap gigi atau berupa pukulan tidak langsung
terhadap mandibula, dapat menyebabkan pecahnya tonjolan-tonjolan gigi,
terutama gigi-gigi posterior. Selain itu, tekanan oklusal yang berlebihan
terutama terhadap tumpatan yang luas dapat pula menyebabkan fraktur.
Keparahan fraktur bisa hanya sekedar retak saja, pecahnya prosesus, atau
sampai lepasnya gigi yang tidak bisa diselamatkan lagi. Trauma secara
langsung kebanyakan mengenai gigi anterior, dan karena arah pukulan
mengenai permukaan labial, garis retakannya menyebar ke belakang dan
biasanya menyebab fraktur horizontal atau miring. Pada fraktur yang lain,
tekanan hampir selalu mengenai permukaan oklusal, sehingga fraktur pada
umumnya vertikal.

C. Tanda-Tanda Klinis
Tanda-tanda klinis fraktur dentoalveolar diantaranya adalah adanya
kegoyahan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada
gingiva dan vermilion bibir, luka pada gingiva dan hematom di atasnya, nyeri
tekan pada daerah garis fraktur serta adanya pembengkakan atau luka pada
dagu. Pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan radiografi diperlukan
untuk menegakkan diagnosis

D. Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar

Para ahli mengklasifikasikan berbagai macam kelainan akibat trauma


gigi anterior. Klasifikasi trauma gigi yang telah diterima secara luas adalah
klasifikasi menurut Ellis dan Davey (1970) dan klasifikasi yang
direkomendasikan dari World Health Organization (WHO) dalam Application
of International Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology.

3
Ellis dan Davey menyusun klasifikai trauma pada gigi anterior
menurut banyaknya struktur gigi yang terlibat, yaitu :
Kelas 1 : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan
email.
Kelas 2 : Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan
jaringan dentin tetapi belum melibatkan pulpa.
Kelas 3 : Fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan
menyebabkan terbukanya pulpa.
Kelas 4 : Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non vital
dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
Kelas 5 : Trauma pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau
avulsi.
Kelas 6 : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
Kelas 7 : Perubahan posisi atau displacement gigi.
Kelas 8 : Kerusakan gigi akibat trauma atau benturan pada gigi sulung.

Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization


(WHO) dalam Application of International Classification of Diseases to
Dentistry and Stomatology diterapkan baik gigi sulung dan gigi tetap, yang
meliputi jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak
rongga mulut yaitu sebagai berikut :

I. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa


1. Retak mahkota (enamel infraction), yaitu suatu fraktur yang tidak
sempurna pada email tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah
horizontal atau vertikal.
2. Fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture),
yaitu fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture)
yaitu suatu fraktur yang hanya mengenai lapisan email saja.

4
3. Fraktur email-dentin (uncomplicated crown fracture), yaitu fraktur pada
mahkota gigi yang hanya mengenai email dan dentin saja tanpa
melibatkan pulpa.
4. Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture), yaitu
fraktur yang mengenai email, dentin, dan pulpa.
II. Kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar
1. Fraktur mahkota-akar, yaitu suatu fraktur yang mengenai email, dentin,
dan sementum. Fraktur mahkota akar yang melibatkan jaringan pulpa
disebut fraktur mahkota-akar yang kompleks (complicated crown-root
fracture) dan fraktur mahkota-akar yang tidak melibatkan jaringan pulpa
disebut fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks (uncomplicated
crown-root fracture).
2. Fraktur akar, yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum, dan pulpa
tanpa melibatkan lapisan email.

gambar 1 fraktur akar

3. Fraktur dinding soket gigi, yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan
dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual
dari dinding soket.
4. Fraktur prosesus alveolaris, yaitu fraktur yang mengenai prosesus
alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi.

5
5. Fraktur korpus mandibula atau maksila, yaitu fraktur pada korpus
mandibula atau maksila yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan
atau tanpa melibatkan soket gigi.
III. Kerusakan pada jaringan periodontal
1. Concusion, yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi yang
menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa
adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi.
2. Subluxation, yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi
akibat trauma pada jaringan pendukung gigi.
3. Luksasi ekstrusi (partial displacement), yaitu pelepasan sebagian gigi ke
luar dari soketnya. Ekstrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih
panjang.
4. Luksasi, merupakan perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan
gigi ke arah labial, palatal maupun lateral, hal ini menyebabkan kerusakan
atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut. Trauma gigi yang
menyebabkan luksasi lateral menyebabkan mahkota bergerak ke arah
palatal
5. Luksasi intrusi, yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, dimana
dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar. Luksasi intrusi
menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih pendek.
6. Laserasi (hilang atau ekstrartikulasi) yaitu pergerakan seluruh gigi ke luar
dari soket.

6
gambar 2 A. Concussion, B. Subluxation, C. Intrusive luxation, D. Extrusive luxation, E., F., Lateral luxation, G.
Retained root-crown fracture, H. Exarticlation.

IV. Injury to the supporting bone

7
gambar 3 injury to the supporting bone

1. Comminution of the alveolar socket


Tertekan dan hancurnya soket tulang alveolar, disertai adanya
intrusif dan luksasi lateral gigi.
2. Fracture of the alveolar socket wall
Fraktur soket alveolar yang terjadi hanya pada dinding soket
bagian fasial / lingual.
3. Fracture of the alveolar process
Fraktur prosesus alveolar yang dapat disertai fraktur pada soket
alveolar maupun tidak.
4. Fracture Mandible and Maxilla
Fraktur yang meliputi base/dasar tulang mandibula atau maksila.
Biasanya fraktur disertai fraktur pada prosesus alveolar.

8
5. Luka Laserasi pada Gingiva / Oral Mucosa
Luka yang terjadi pada gingiva / mukosa oral, dapat merupakan luka
dangkal maupun luka yang dalam. Biasanya terjadi akibat dari robeknya
jaringan karena benda tajam.
6. Luka Memar pada Gingiva / Oral Mucosa
Luka memar yang disebabkan benda tumpul. Luka memar ini terjadi
karena adanya hemorrhage submucosal.
7. Luka Abrasi pada Gingiva / Oral Mucosa
Luka yang dangkal berupa luka abrasi pada gingiva/ mukosa oral yang
disebabkan karena gerakan menggosok/menggaruk struktur mukosa.

E. Perawatan Fraktur Dentoalveolar

Faktor yang harus dipertimbangkan dalam perawatan definitive cedera


dentoalveolar meliputi: usia dan kerja sama pasien, durasi antara trauma dan
perawatan, lokasi atau luasnya cedera,cedera pada primer atau gigi permanen,
tahapan pengembangan root,adanya fraktur tulang pendukung dan periodontal
,dan kesehatan gigi yang tersisa.

1. Perawatan Trauma yang Mengenai Jaringan Keras Gigi


Trauma yang mengenai jaringan keras gigi dan membutuhkan tindakan
reposisi serta replantasi pada pasien adalah fraktur akar. Fragmen mahkota
terlihat mengendur dan biasanya mengalami perpindahan posisi di koronal.
Fraktur biasanya terletak pada pertengahan akar di sepertiga
apical.Insidensi fraktur akar terjadi sekitar 6% dari semua trauma dental,
7,7% pada gigi permanen, dan 3,8% pada gigi sulung . Penanganan fraktur
akar gigi sulung dengan fraktur akar gigi permanen berbeda, jika pada gigi
sulung fragmen mahkota diekstraksi dan fragmen akarnya dibiarkan

9
teresorpsi secara fisiologis, berbeda pada gigi permanen. Penanganan pada
gigi permanen dapat dilihat dari lokasi frakturnya, jika fraktur berada di
sepertiga apikal dan tidak ada kegoyangan prognosisnya baik dan
membutuhkan penanganan minimal .
Fraktur akar yang menyebabkan perubahan posisi di fragmen koronal
dapat dilakukan reposisi sesegera mungkin dengan manipulasi digital.
Posisi setelah tindakan tersebut harus dievaluasi dengan pemeriksaan
radiografi untuk mengetahui penyembuhan di jaringan kerasnya, terutama
bagian pulpa. Tindakan reposisi ini dilanjutkan dengan pemasangan alat
stabilisasi selama 4 minggu oleh alat stabilisasi semi-rigid atau alat
stabilisasi fungsional . Tindakan lain yang harus dilakukan adalah evaluasi
kondisi pulpa selama 1 tahun, jika terdapat nekrosis maka perlu dilakukan
perawatan saluran akar .
2. Perawatan Trauma yang Mengenai Jaringan Periodontal
Trauma yang mengenai jaringan periodontal pada adalah kasus trauma
yang paling sering terjadi. Trauma ini biasa disebut dengan cedera luksasi
dan biasa ditandai dengan adanya perubahan posisi gigi. Tujuan
predominan perawatan untuk kasus luksasi pada gigi sulung adalah
menjaga ligamen periodontal dan pulpa dari infeksi bakteri. Rincian
rencana perawatan pada trauma dentoalveolar yang mengenai jaringan
periodontal adalah sebagai berikut:
1) Concussion
Gigi yang mengalami concussion tidak terdapat kegoyangan maupun
perpindahan posisi dan juga tidak mengalami perdarahan di gusi.
Pemeriksaan klinis menunjukkan ketidaknyamanan saat perkusi
dikarenakan adanya edema dan hemoragi di ligamen periodontal.Beberapa
kasus disertai inflamasi dan dokter gigi dapat memberikan medikasi berupa
analgetik jika diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri.Penanganan yang
dilakukan hanya evaluasi kondisi pulpa selama 1 tahun untuk memastikan

10
tidak adanya komplikasi berupa jejas pada pulpa . Diet lunak pun dapat
direkomendasikan oleh dokter gigi pada kasus ini untung mengurangi
keluhan nyeri saat mengunyah.
2) Subluksasi
Gambaran secara klinis menunjukkan adanya perdarahan di sulkus
gusi. Informasi yang diberikan oleh foto rontgen tidak ada kondisi yang
abnormal pada ligamen periodontal. Perawatan yang dapat dilakukan ada
beberapa pilihan, di antaranya adalah:
 Observasi kondisi pulpa (American Academy of Pediatric Dentistry,
2010)
 Pemakaian alat stabilisasi wire-orthodonti dengan acid-etch resin
selama 7-10 hari. pilihan perawatan dapat juga dengan alat stabilisasi
fleksibel selama 2 minggu. Pemakaian alat stabilisasi ini dilakukan
ketika adanya gangguan oklusal.
 Diet lunak selama 1 minggu
 Berkumur dengan klorheksidin 0,2% 2 kali sehari.
3) Intrusi
Pemeriksaan klinis menunjukkan adanya bunyi metalik saat
diperkusi, perdarahan pada gingiva, dan kadang bibir atas bengkak karena
edema dan hemoragi. Ada dua keadaan pada kasus intrusi, yaitu
perpindahan gigi ke arah aksial tulang labial dan perpindahan gigi yang
mendorong benih gigi permanen. Intrusi pada gigi permanen dibedakan
sesuai dengan perkembangan akarnya, jika formasi akarnya belum lengkap,
penanganannya adalah reposisi spontan selama 3 minggu, bila tidak ada
perubahan maka dapat dilakukan tindakan penarikan dengan alat
orthodonti. Intrusi pada gigi permanen dengan akar lengkap dilakukan
dengan tindakan orthodonti atau bedah sesegera mungkin. Kondisi pulpa
harus menjadi perhatian ketika dilakukan penanganan tersebut agar dapat

11
dievaluasi jika terjadi nekrosis pulpa. Tindakan ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi berupa ankylosis dan meminimalisir
tekanan nekrosis pada ligamen periodontal. Prognosis gigi permanen
dengan akar lengkap yang mengalami intrusi tidak baik karena adanya
kemungkinan terjadi nekrosis pulpa dengan persentase 96%, resorpsi akar
dan menurunnya tulang alveolar, jika terjadi kerusakan pada pulpa maka
harus dilakukan tindakan ekstirpasi dan pengaplikasian kalsium hidroksida
di kanal akarnya.
4) Ekstrusi
Gigi ekstrusi terlihat mengalami elongasi dengan penambahan jarak
ligamen periodontal di daerah apikal. Perpindahan kurang dari 3mm pada
ekstrusi gigi permanen dilakukan perawatan reposisi dengan perlahan,
lakukan penjahitan jika terjadi laserasi, dan stabilisasi selama 2 minggu
menggunakan alat stabilisasi dengan komposit resin, wire, atau alat
orthodonti dengan evaluasi keadaan pulpa . Medikasi antibiotik,
profilaksis tetanus, dan klorheksidin glukonat 0,2% dapat diberikan untuk
menjaga kebersihan oral . Prognosis dipengaruhi oleh tingkat perubahan
posisi dan perkembangan apikal dan penyembuhan pada gigi immature.
Nekrosis pulpa dapat terjadi 15-85% dari semua kasus dan ini terjadi
terutama pada gigi dengan apeks tertutup.
5) Luksasi Lateral
Luksasi lateral dapat menyebabkan gangguan oklusi pada beberapa
kasus. Tindakan pertama yang dapat dilakukan adalah pemberian anestesi
lokal kemudian reposisi dengan manipulasi digital berupa kombinasi
tekanan pada labial dan palatal . Kondisi open bite pada oklusi cukup
menguntungkan karena penanganan kasus ini dapat dilakukan dengan
reposisi spontan, namun jika tidak ada kondisi open bite dapat dilakukan
preparasi di incisal edge atau penambahan komposit di bagian gigi
posterior untuk membuat open bite artifisial \. Alat stabilisasi dilakukan

12
setelah reposisi selama 4 minggu dengan disertai evaluasi kondisi
pulpa.Kasus luksasi lateral pada gigi permanen diberikan tindakan berupa
reposisi dengan manipulasi digital secara perlahan, jika terdapat jaringan
sekitar gigi mengalami fraktur alveolar, dokter gigi dapat memberikan
anestesi lokal.
Pemakaian alat stabilisasi fungsional non-rigid dipasang selama 2-3
minggu. Medikasi berupa antibiotik diberikan dengan dosis 250 mg 3 kali
sehari selama 5 hari (kurang dari 10 tahun 125 mg). Kebersihan mulut
harus dijaga dan dokter gigi dapat memberikan klorheksidin 0,2% 2 kali
sehari selama alat stabilisasi terpasang di mulut. Diet lunak dianjurkan
selama perawatan ini

DAFTAR PUSTAKA

Booth, Peter Ward, dkk. 2012. Maxillofacial Trauma & Esthetic Facial
Reconstruction. Missouri: Elsevier.
Nur Cahyo, D. S., Widyastuti, M. G., & Rahajoe, P. S. (2015). Pengelolaan Fraktur
Dentoalveolar pada Anak-Anak dengan Cap Splint Akrilik. Majalah Kedokteran
Gigi Indonesia, 20(2), 216. https://doi.org/10.22146/majkedgiind.9118

13
Tay, Z. W., Zakaria, S. S., Zamhari, A. K., & Lee, S. W. (2018). Dentoalveolar
fracture: A complication of extraction of upper left first molar. Clinical Case
Reports, 6(11), 2096–2098. https://doi.org/10.1002/ccr3.1814
Tay ZW, Zakaria SS, Zamhari AK, Lee SW. Dentoalveolar fracture: A complication
of extraction of upper left first molar. Clin Case Rep. 2018;6:2096–2098.
https://doi.org/10.1002/ccr3.1814
Tosun, E., Akkocaoglu, M., Tüz, H. H., Avag, C., & Göktürk, T. (2019).
Complications associated with anterior iliac bone grafting for the reconstruction
of dentoalveolar defects. Journal of Craniofacial Surgery, 30(4), 980–984.
https://doi.org/10.1097/SCS.0000000000005331
Tauro, D. P. (2006). Management of an Unusual Maxillary. 2–5.
Andreasen, J.O., Andreasen, F.M., Backland, L.K., Flores, M.T., 2003. Traumatic
Dental Injuries – A Manual, 2nd ed., Blackwell Munksgaard, P.
Balaji, S.M. 2007. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. New Delhi: Elsevier.
Welbury, Richard R., Duggal, Monty S., & Hosey, Marie-Therese. 2005. Paediatric
Dentistry. 3rd edition. US: Oxford University Press Inc.
Riyanti, Eriesca., Sp.KGA. Penatalaksanaan Trauma Gigi Pada Anak –
pustakaunpad.ac.id
Miloro M, Ghali GE, Larsen PE, Waite PD. Peterson's Principles of Oral and
Maxillofacial Surgery. 2nd ed. London: BC Decker;200

14

Anda mungkin juga menyukai