Anda di halaman 1dari 132

UNIVERSITAS INDONESIA

GAMBARAN PSIKOPATOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR


YANG MEMENGARUHI PADA PASANGAN INFERTILITAS
YANG MENJALANI FERTILISASI IN VITRO DI KLINIK
YASMIN RSCM KENCANA

TESIS

DYANI PITRA VELYANI


0906565154

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
BIDANG STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA
JAKARTA
AGUSTUS 2014

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

GAMBARAN PSIKOPATOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR


YANG MEMENGARUHI PADA PASANGAN INFERTILITAS
YANG MENJALANI FERTILISASI IN VITRO DI KLINIK
YASMIN RSCM KENCANA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


DOKTER SPESIALIS ILMU KEDOKTERAN JIWA

DYANI PITRA VELYANI


0906565154

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
BIDANG STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA
JAKARTA
AGUSTUS 2014

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Dyani Pitra Velyani


NPM : 0906565154
Tanda Tangan : ...............................
Tanggal : 26 Agustus 2014

ii

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :


Nama : Dyani Pitra Velyani
NPM : 0906565154
Program Studi : Ilmu Kedokteran Jiwa
Judul Tesis : Gambaran Psikopatologi dan Faktor-faktor yang
Memengaruhi pada Pasangan Infertilitas yang Menjalani Fertilisasi in Vitro di
Klinik Yasmin RSCM Kencana

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis
pada Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : dr. Charles Evert Damping SpKJ(K) ( ..................................)

Pembimbing II : dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K) (...................................)

Pembimbing Akademi : dr. Feranindhya Agiananda, SpKJ ( ..................................)

Penguji : dr. Sylvia Detri Elvira, SpKJ(K) ( ..................................)

Penguji : dr. Charles Evert Damping, SpKJ(K) (……………………...)

Penguji : dr. Feranindhya Agiananda, SpKJ (……………………...)

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 24 Juni 2014

iii

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan pada Allah SWT atas segala berkah dan
karunianya yang membuat saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan pendidikan di program studi Ilmu Kedokteran Jiwa,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Saya menghaturkan terima kasih kepada dr. Charles Evert Damping SpKJ(K)
selaku pembimbing penelitian saya yang telah sabar memberikan bimbingan dan
dukungannya sejak masa-masa kebingungan dalam pemilihan topik penelitian
hingga akhirnya penelitian ini dapat selesai. Terima kasih kepada dr. Sylvia Detri
Elvira SpKJ(K) sebagai penguji sekaligus narasumber penelitian yang juga sangat
membantu hingga penelitian ini dapat terlaksana. Terima kasih juga saya
sampaikan pada dr. Feranindhya Agiananda SpKJ selaku pembimbing akademik
yang telah merelakan banyak waktunya untuk terlibat langsung dalam penelitian
ini, meredakan kekalutan saya dan selalu memberikan semangat. Terima kasih
kepada dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K) selaku Kepala Klinik Yasmin RSCM
Kencana yang juga merupakan pembimbing penelitian dari Departemen Obstetri
dan Ginekologi yang memungkinkan terlaksananya penelitian ini. Saya juga
mengucapkan terima kasih kepada dr. A.A.A.A Kusumawardhani selaku Kepala
Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan kepada
dr.Natalia Widiasih SpKJ(K) MPdKed selaku ketua program studi Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang senantiasa
memberikan dukungan.

Penelitian ini melibatkan banyak pihak. Saya mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman PPDS dr. Adhika Anindita, dr. Deasyanti, dr. Mutiara, dr. Imelda
Gracia, dr. Alvina, dr. Elvina, dr. Endang Legiarti, dr. Olga Leodirista, dr. Ryan
Aditya, teman-teman di Klinik Yasmin RSCM Kencana mbak Tetya, mbak
Widhi, Mbak Sammy serta kakak-kakak perawat yang tidak bisa saya sebutkan
satu persatu, juga dokter-dokter di Klinik Yasmin Kencana yang telah berperan
besar hingga terlaksananya penelitian ini, serta banyak pihak lain yang telah
memberikan dukungannya.

Tak lupa terima kasih tak terhingga pada ibu, ayah, suami dan anak tercinta atas
limpahan kasih sayang, doa serta dukungan yang tak berkesudahan.

Saya menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna, namun saya berharap
hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan

Jakarta, Agustus 2014

Penulis

iv

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah
ini:

Nama : Dyani Pitra Velyani


NPM : 0906565154
Program Studi : Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa
Departemen : Psikiatri
Fakultas : Kedokteran
Jenis karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Gambaran Psikopatologi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi pada


Pasangan Infertilitas yang Menjalani Fertilisasi in Vitro di Klinik Yasmin
RSCM Kencana

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 26 Agustus 2014
Yang menyatakan

Dyani Pitra Velyani

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


ABSTRAK

Nama : Dyani Pitra Velyani


Program Studi : Ilmu Kedokteran Jiwa
Judul : Gambaran Psikopatologi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi
pada Pasangan Infertilitas yang Menjalani Fertilisasi in Vitro di
Klinik Yasmin RSCM Kencana

Fertilisasi invitro (FIV), atau yang biasa dikenal oleh masyarakat awam sebagai
“program bayi tabung”, adalah metode Assisted Reproductive Therapy (ART)
yang dilakukan saat metode lain untuk mengatasi masalah infertilitas telah
mengalami kegagalan (end of the line treatment). Terapi ini menghabiskan banyak
waktu, biaya, tenaga, serta digambarkan sebagai emotional roller-coaster bagi
pasangan yang menjalaninya.

Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dan kualitatif untuk mengetahui


fenomena psikologis yang terjadi pada pasangan suami istri dengan masalah
infertilitas yang menjalani program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana dan
mengetahui bagaimana pasangan suami istri memaknai masalah infertilitas dan
terapi FIV yang mereka jalani.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala kecemasan merupakan gambaran
yang paling banyak ditemukan. Pada uji statistik tidak didapatkan hubungan yang
bermakna antara faktor demografi yaitu suku dan agama, durasi infertilitas,
riwayat terapi FIV sebelumnya serta tahapan FIV yang sedang dijalani dengan
adanya psikopatologi. Hal ini kemungkinan besar berhubungan dengan kesiapan
mental pasangan sebelum menjalani terapi FIV, penerimaan pasangan terhadap
kondisi infertilitasnya, serta religious coping positif yang dilakukan oleh pasangan
dalam memaknai hasil dari terapi yang mereka jalani.
Kata Kunci: fertilisasi in vitro; fenomena psikologis; infertilitas; psikopatologi

vi
Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
ABSTRACT

Name : Dyani Pitra Velyani


Program : Psychiatry
Title : Psychopathological Profile and Its Influencing Factors in
Infertility Couples Undergoing In vitro Fertilization (IVF)
inYasmin Clinic, Kencana Cipto Mangunkusumo Hospital

In vitro fertilization (IVF), is a method of therapy which was done after other
methods to overcome infertility problems had failed (end of the line treatment).
This therapy is time-, cost-, energy-consuming, and also described as an
emotional roller-coster for the couples.

This research is a quantitative and qualitative study to discover psychological


phenomenon that occurs in couples with infertility problems who underwent the
program in Yasmin Clinic at RSCM Kencana and to explore how the couples
experience this problem and IVF therapy.

The results showed that anxiety are the most common symptoms. The statistical
test found no significant association between demographic factors (race and
religion), duration of infertility, history of previous treatment and the stages of
IVF in relation with the presence of psychopathology. This is most likely related
to the mental preparation of couples before undergoing IVF, partner acceptance of
the condition of infertility, and positive religious coping were performed by
couples in defining the outcome of their treatment.

Keywords: in vitro fertilization; infertility; psychological phenomenon;


psychopathology

vii
Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................. v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
ABSTRACT ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii
1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.3 Hipotesis ................................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 9


2.1 Infertilitas .................................................................................................. 9
2.2 Aspek Psikologis Infertilitas ................................................................... 10
2.2.1 Infertilitas dan Perempuan ................................................................. 12
2.2.2 Infertilitas dan Laki-laki..................................................................... 14
2.2.3 Perbedaan Mekanisme Koping Perempuan dan Laki-laki dalam
Menghadapi Infertilitas ...................................................................... 15
2.3 Aspek Psikologis Terapi Fertilisasi in Vitro (FIV) ................................... 16
2.4 Self Rating Questionnaire-20 ................................................................... 20
2.5 Kerangka Teori ........................................................................................ 22
2.6 Kerangka Konsep .................................................................................... 23

3. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 24


3.1 Desain Penelitian ..................................................................................... 24
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 24
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................... 24
3.4 Kriteria Inklusi dan Ekskusi ..................................................................... 24
3.5 Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel .......................................... 25
3.6 Izin Subjek Penelitian dan Masalah Etika ................................................ 26
3.7 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 26
3.8 Instrumen Penelitian ................................................................................ 27
3.9 Cara Kerja ............................................................................................... 27
3.10 Kerangka Kerja...................................................................................... 29
3.11 Manajemen dan Analisis Data................................................................ 30
3.12 Definisi Operasional .............................................................................. 30
3.13 Jadwal Penelitian ................................................................................... 31
3.14 Anggaran ............................................................................................... 32
3.15 Organisasi Penelitian ............................................................................. 32

viii
Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
4. HASIL PENELITIAN.................................................................................. 33
4.1 Data Hasil Penelitian ............................................................................... 36
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian ....................................................... 36
4.1.2 Data Kondisi Klinis Infertilitas........................................................ 38
4.1.3 Data Kondisi Psikopatologi berdasar Skor SRQ-20 ......................... 40
4.2 Hubungan Karakteristik Subyek Penelitian dengan Adanya Psikopatologi40
4.2.1 Gambaran Psikopatologi pada Suami yang Menjalani Program FIV
di Klinik Yasmin RSCM Kencana ................................................. 40
4.2.2 Gambaran Psikopatologi pada Istri yang Menjalani Program FIV di
Klinik Yasmin RSCM Kencana ..................................................... 41
4.2.3 Hubungan antara Suku dengan Psikopatologi pada Suami .............. 41
4.2.4 Hubungan antara Suku dengan Psikopatologi pada Istri ................. 42
4.2.5 Hubungan antara Agama dengan Psikopatologi pada Suami ........... 43
4.2.6 Hubungan antara Agama dengan Psikopatologi pada Istri .............. 43
4.2.7 Hubungan antara Lama Menikah dengan Psikopatologi pada
Suami ............................................................................................ 44
4.2.8 Hubungan antara Lama Menikah dengan Psikopatologi pada Istri .. 45
4.2.9 Hubungan antara Fase FIV dengan Psikopatologi pada Suami........ 45
4.2.10 Hubungan antara Fase FIV dengan Psikopatologi pada Istri ......... 46
4.2.11 Hubungan antara Jumlah Siklus FIV dengan Psikopatologi pada
Suami .......................................................................................... 47
4.2.12 Hubungan antara Jumlah Siklus FIV dengan Psikopatologi pada
Istri .............................................................................................. 47
4.3 Pemaknaan Pasangan Suami Istri terhadap Infertilitas dan Terapi FIV yang
Mereka Jalani di Klinik Yasmin RSCM Kencana .................................... 48
4.3.1 Riwayat Perjalanan Terapi .............................................................. 50
4.3.2 Makna Memiliki Anak .................................................................... 50
4.3.3 Makna Infertilitas ............................................................................ 51
4.3.4 Komunikasi Pasanngan dalam Menghadapi Masalah Infertilitas dan
dalam Menjalani Terapi FIV .......................................................... 52
4.3.5 Dukungan Pasangan dalam Menghadapi Masalah Infertilitas dan
Dalam Menjalani Terapi................................................................. 52
4.3.6 Pengaruh Masalah Infertilitas dan Terapi FIV terhadap Kualitas
Hubungan Seksual ......................................................................... 53
4.3.7 Cara Mengatasi Perasaan Negatif terkait Infertilitas ........................ 54
4.3.8 Tuntutan dari Keluarga maupun Lingkungan yang Dirasakan oleh
Pasangan dengan Infertilitas ........................................................... 54
4.3.9 Dukungan dari Keluarga terhadap Pasangan dalam Menghadapi
Masalah Infertilitas dan Terapi FIV ................................................ 55
4.3.10 Dukungan dari Lingkungan terhadap Pasangan dalam Menghadapi
Masalah Infertilitas ...................................................................... 55
4.3.11 Persiapan dalam Menjalani Terapi FIV ........................................ 55
4.3.12 Kerahasiaan dan Stigma tentang FIV............................................. 56
4.3.13 Dampak yang Dirasakan terkait Terapi FIV .................................. 57
4.3.14 Pandangan terhadap Keberhasilan dan Ketidakberhasilan Terapi... 58
4.3.15 Kecemasan Saat Terjadi Kehamilan .............................................. 58

ix
Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
4.3.16 Hal-hal yang Dipertimbangkan untuk Kembali Menjalani Terapi
FIV .............................................................................................. 59
4.3.17 Kebutuhan akan Pendampingan dan Akses Pelayanan ................... 60
4.3.18 Pengaruh Kultur terhadap Penyampaian Kebutuhan ...................... 60

5. PEMBAHASAN ........................................................................................... 61

6. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 70


6.1Simpulan .................................................................................................. 70
6.2 Saran ....................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 72

x
Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian berdasarkan Umur, Tingkat Pendidikan,


Pekerjaan, Agama, dan Suku Bangsa ................................................................. 37

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Durasi Infertilitas, Jenis Infertilitas, Jumlah Siklus


FIV Sebelumnya serta Tahapan FIV Saat Ini...................................................... 39

Tabel 3. Data Kondisi Psikopatologi berdasar Skor SRQ-20 .............................. 40

Tabel 4. Distribusi Psikopatologi Suami yang Menjalani Program FIV di Klinik


Yasmin RSCM Kencana .................................................................................... 40

Tabel 5. Distribusi Psikopatologi pada Istri yang Menjalani Program FIV di


Klinik Yasmin RSCM Kencana ......................................................................... 41

Tabel 6. Hubungan antara Suku dengan Psikopatologi pada Suami yang Menjalani
Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ................................................ 41

Tabel 7. Hubungan antara Suku dengan Psikopatologi pada Istri yang Menjalani
Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ................................................ 42

Tabel 8. Hubungan antara Agama dengan Psikopatologi pada Suami yang


Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana................................ 43

Tabel 9. Hubungan antara Agama dengan Psikopatologi pada Istri yang Menjalani
Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ................................................ 44

Tabel 10. Hubungan antara Lama Menikah dengan Psikopatologi pada Suami
yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ....................... 44

Tabel 11. Hubungan antara Lama Menikah dengan Psikopatologi pada Istri yang
Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana................................ 45

Tabel 12. Hubungan antara Fase FIV dengan Psikopatologi pada Suami yang
Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana................................ 46

Tabel 13. Hubungan antara Fase FIV dengan Psikopatologi pada Istri yang
Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana................................ 46

Tabel 14. Hubungan antara Jumlah Siklus FIV dengan Psikopatologi pada Suami
yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ....................... 47

Tabel 15. Hubungan antara Jumlah Siklus FIV dengan Psikopatologi pada Istri
yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ....................... 48

xi
Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Keterangan Lolos Kaji Etik ............................................................ 77

Lampiran 2. Lembar Informasi Penelitian .......................................................... 78

Lampiran 3. Formulasi Persetujuan Mengikuti Penelitian ................................... 80

Lampiran 4. Kuesioner Biodata .......................................................................... 84

Lampiran 5. Self Rating Questionnaire (SRQ)-20 ............................................... 86

Lampiran 6. Pedoman Wawancara ..................................................................... 87

Lampiran 7. Pengolahan Data Statistik ............................................................... 88

Lampiran 8. Matrikulasi Wawancara .................................................................. 94

xii
Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sebagai makhluk hidup memiliki naluri untuk berpasangan dan
meneruskan keberlangsungan spesiesnya. Sebagai makhluk yang tertinggi,
memiliki keturunan juga melingkupi berbagai tujuan lainnya seperti untuk
menunjukkan identitas seksual, kompetensi, maturitas sosial, mempertahankan
pernikahan, serta mendapatkan penghargaan di mata sosial. Keinginan untuk
memiliki keturunan ini sama besar baik pada perempuan maupun laki-laki,
namun, definisi peran perempuan yang lebih besar dalam keluarga dibandingkan
perannya dalam pekerjaan serta penghayatan yang lebih intim terhadap kehamilan
menjadikan keinginan untuk memiliki anak ini sebagai pencapaian yang lebih
penting, kalau tidak dapat dikatakan utama, dan aspirasi gender dari seorang
perempuan.1,2,3
Fertilitas manusia dikatakan paling rendah bila dibandingkan dengan
berbagai spesies lainnya. Pada setiap siklus menstruasi, hanya terdapat 30%
kemungkinan terjadinya kehamilan pada manusia. Pada pasangan yang
melakukan hubungan seksual secara regular tanpa pengaman, maka terdapat
kemungkinan sebesar 85% untuk terjadi kehamilan dalam satu tahun.
Diperkirakan 5 sampai 10% pasangan memerlukan waktu satu hingga dua tahun
untuk mendapatkan kehamilan.4,5
Infertilitas didefinisikan sebagai kondisi saat tidak terjadi kehamilan setelah
pasangan melakukan hubungan seksual secara rutin tanpa alat ataupun teknik
pencegah kehamilan. Prevalensi terjadinya infertilitas di negara yang lebih maju
adalah 3,5 hingga 16,7%, sedangkan prevalensi di negara yang kurang maju
berada dalam rentang 6,9 hingga 9,3%, dengan prevalensi median 9%. Hanya
kurang lebih separuh dari pasangan yang mengalami infertilitas yang mencari
pertolongan, dan hanya kurang lebih 22,4% yang sungguh-sungguh mendapatkan
penanganan.6 Kondisi infertilitas sendiri memengaruhi individu dan juga
pasangan. Sebanyak 71% perempuan melaporkan bahwa kondisi infertilitas

1
Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
2

memengaruhi kehidupan pernikahannya. Sebagai individu, seorang perempuan


mengatakan bahwa infertilitas memengaruhi perasaannya terhadap identitas,
status, perasaan defektif dan inkompeten. 7 Sebuah studi yang dilakukan oleh
Chachamovich dkk mendapatkan adanya gambaran depresi dan ansietas yang
sedikit berada di bawah garis ambang pada kelompok laki-laki yang menghadapi
masalah infertilitas.8
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa perempuan menunjukkan
gambaran morbibiditas psikiatri yang lebih besar dibandingkan pasangan laki-
lakinya dalam menghadapi masalah infertilitas. Pada studi perbandingan
morbiditas psikiatri yang dilaporkan Guerra dkk, didapatkan morbiditas psikiatri
pada 61,1% perempuan dan 21% laki-laki. Hal ini dikaitkan dengan berbagai
faktor diantaranya ambang stresor perempuan yang lebih rendah, keseimbangan
hormonal, pandangan sosiokultural dan stigma infertilitas pada perempuan, serta
intervensi medis yang lebih invasif pada perempuan. Pada sebuah studi yang
dilakukan oleh Purnamawati NWA di RSCM pada pasangan dengan infertilitas,
didapatkan bahwa gambaran proporsi depresi yang lebih besar pada istri yaitu
43,5% dibandingkan pada suami yaitu sebesar 15,2%. 5,9
Laki-laki menghadapi masalah infertilitas dengan cara yang berbeda dengan
perempuan. Walaupun banyak studi yang mendapatkan bahwa laki-laki lebih
sedikit terpengaruh dengan masalah infertilitas yang ia hadapi, hal ini harus
diinterpretasikan sebagai perbedaan gender dalam menghadapi stres, distres
emosional dan kedukaan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sesuai
norma sosial tentang maskulinitas, laki-laki cenderung untuk menekan emosinya
dan akan menunjukkan sikap tabah dan mengambil peran dalam menguatkan
pasangan yang bersedih dalam masalah infertilitas. Laki-laki juga cenderung
menutup diri mengenai masalah infertilitas yang ia hadapi. Hal ini dihubungkan
dengan stigma yang melekat pada infertilitas laki-laki. Infertilitas pada laki-laki
lebih banyak dihubungkan dengan disfungsi seksual, dan hasil pemeriksaan
berupa “rendahnya jumlah sperma” akan menyinggung maskulinitas stereotipik
laki-laki.8,10
Pasangan yang mengalami infertilitas akan mencoba mencari berbagai jalan
keluar untuk mendapatkan keturunan. Berbagai pemeriksaan akan dijalani oleh

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
3

pasangan untuk mengetahui penyebab dari infertilitas. Dan tidak jarang, penyebab
infetilitas tersebut tetap tidak dapat mereka ketahui karena pada 25-30% kasus,
penyebab infertilitas tidak diketahui. Terapi yang dapat dilakukan pada
perempuan maupun pada laki-laki adalah berupa terapi hormonal, obat, ataupun
pembedahan. Apabila metode-metode tersebut tidak juga berhasil, maka assisted
reproductive technology (ART) menjadi pilihan.3,6,11
Fertilisasi invitro (FIV), atau yang biasa dikenal oleh masyarakat awam
sebagai “program bayi tabung”, adalah metode ART yang dilakukan saat metode
lain seperti inseminasi telah mengalami kegagalan. Metode ini mulai
dikembangkan pada manusia sejak tahun 1950an dan hingga saat ini telah
dilakukan kurang lebih satu juta siklus FIV pertahun dengan angka kesuksesan 20
hingga 30%, dan belakangan meningkat hingga 48%. Sampai dengan tahun 2008
telah dilahirkan tiga juta anak dari kehamilan dengan metode FIV ini. Program ini
memerlukan waktu yang panjang, biaya yang tidak sedikit, dan angka
kesuksesannya pun relatif kecil sehingga membutuhkan kesiapan baik materi
maupun non materi dari pasangan. Selain membutuhkan kesiapan materi maupun
non materi mereka juga mengalami tekanan fisik maupun emosional, baik pada
perempuan, maupun pasangannya.12 Pasangan juga menghadapi pandangan
masyarakat dan agama yang tidak seragam mengenai program bayi tabung. Gereja
Katolik secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap terapi FIV karena
menganggap prosedur ini mencampuri tangan Tuhan dengan mengatur terjadinya
ovulasi, pertemuan sel telur dan sperma di luar rahim, manipulasi konsepsi
embrio, serta penyimpanan beku yang dilakukan. Islam melalui fatwa para ulama
membolehkan teknik FIV ini selama dilakukan dengan menggunakan sel telur dan
sperma dari pasangan suami istri yang terikat dalam pernikahan Islam. Yahudi
membolehkan FIV dengan pemahaman bahwa bahkan teknologi pun merupakan
perpanjangan dari tangan Tuhan. Pandangan yang berbeda-beda ini membuat
pasangan seringkali melakukan terapi secara sembunyi-sembunyi untuk
menghindari penilaian orang lain yang akan memengaruhi mereka.13
FIV terdiri dari lima tahapan yaitu: produksi sel telur, pengambilan sel telur,
inseminasi atau injeksi sperma intrasitoplasmik, transfer embrio serta
suplementasi fase luteal. Tiap fase merupakan stresor tersendiri bagi pasangan.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
4

Perempuan biasanya merasa khawatir dengan intervensi invasif yang mereka


jalani dan juga merasa tidak nyaman dengan efek yang ditimbulkan oleh terapi
hormonal yang mereka dapatkan, sementara laki-laki banyak menyatakan
kekhawatiran tentang rangkaian prosedur yang dijalani oleh pasangan mereka.
Banyak pasangan melaporkan bahwa stresor terbesar bagi mereka adalah saat
mereka akan mendapatkan apakah program tersebut berhasil membuat mereka
mendapatkan kehamilan. Saat kehamilan telah terjadi pun, kecemasan terhadap
kehamilan cenderung lebih tinggi daripada kehamilan yang terjadi secara alami. 12
Sesuai dengan apa yang telah dipaparkan di atas, dianggap perlu dilakukan
penelitian mengenai gambaran psikopatologi pada pasangan suami istri yang
menjalani terapi FIV, faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya, bagaimana
pasangan memaknai infertilitas, hal-hal apa saja yang membawa pasangan dalam
mempertimbangkan dan memutuskan untuk menjalani terapi FIV, serta apa saja
yang mendukung dalam menghadapi stresor atau memperberat stresor pada
pasangan tersebut. Dengan mengetahui hal tersebut diharapkan peranan psikiater
akan menjadi lebih optimal dalam penatalaksanaan komprehensif dalam terapi
FIV.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian tersebut di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai
berikut:

1. Bagaimana gambaran psikopatologi pada pasangan suami istri yang


menjalani terapi FIV?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan munculnya
psikopatologi?
3. Bagaimana pasangan memaknai masalah infertilitas yang mereka alami
dan terapi FIV yang mereka jalani?
4. Hal-hal apa saja yang mendukung dan memberatkan pasangan dalam
menghadapi stresor berkaitan dengan infertilitas dan terapi FIV yang
mereka jalani?

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
5

1.3 Hipotesis
- Terdapat hubungan antara faktor demografi yaitu suku dan agama dengan
munculnya psikopatologi pada pasangan suami istri yang menjalani terapi
FIV
- Terdapat hubungan antara durasi infertilitas, jumlah siklus FIV yang telah
dijalani, serta fase terapi yang dijalani dengan munculnya psikopatologi
pada pasangan suami istri yang menjalani terapi FIV
- Terdapat hubungan antara faktor psikososial yaitu tuntutan keluarga,
dukungan emosional, dan komunikasi dengan pasangan dengan
munculnya psikopatologi pada pasangan suami istri yang menjalani terapi
FIV

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui fenomena psikologis yang terjadi pada pasangan suami
istri dengan masalah infertilitas yang menjalani program FIV dan
mengetahui bagaimana pasangan suami istri memaknai masalah infertilitas
dan terapi FIV yang mereka jalani.

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui gambaran psikopatologi pada suami yang menjalani
program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.
2. Untuk mengetahui gambaran psikopatologi pada istri yang menjalani
program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.
3. Untuk mengetahui hubungan antara suku dengan munculnya
psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin
RSCM Kencana.
4. Untuk mengetahui hubungan antara suku dengan munculnya
psikopatologi pada istriyang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin
RSCM Kencana.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
6

5. Untuk mengetahui hubungan antara agama dengan munculnya


psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin
RSCM Kencana.
6. Untuk mengetahui hubungan antara agama dengan munculnya
psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin
RSCM Kencana.
7. Untuk mengetahui hubungan antara durasi infertilitas dengan
munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIVdi
Klinik Yasmin RSCM Kencana.
8. Untuk mengetahui hubungan antara durasi infertilitas dengan
munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di
Klinik Yasmin RSCM Kencana.
9. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah siklus FIV yang telah
dijalani dengan munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani
terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.
10. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah siklus FIV yang telah
dijalani dengan munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani
terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.
11. Untuk mengetahui hubungan antara fase FIV yang dijalani dengan
munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di
Klinik Yasmin RSCM Kencana.
12. Untuk mengetahui hubungan antara fase FIV yang dijalani dengan
munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di
Klinik Yasmin RSCM Kencana.
13. Untuk mengetahui hubungan antara tuntutan keluarga dengan
munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di
Klinik Yasmin RSCM Kencana.
14. Untuk mengetahui hubungan antara tuntutan keluarga dengan
munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di
Klinik Yasmin RSCM Kencana.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
7

15. Untuk mengetahui hubungan antara dukungan emosional dengan


munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di
Klinik Yasmin RSCM Kencana.
16. Untuk mengetahui hubungan antara dukungan emosional dengan
munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di
Klinik Yasmin RSCM Kencana.
17. Untuk mengetahui hubungan antara komunikasi dengan pasangan
dengan munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi
FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.
18. Untuk mengetahui hubungan antara komunikasi dengan pasangan
dengan munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV
di Klinik Yasmin RSCM Kencana.
19. Untuk mengetahui bagaimana suami memaknai masalah infertilitas
dan terapi FIV yang mereka jalani.
20. Untuk mengetahui bagaimana istri memaknai masalah infertilitas dan
terapi FIV yang mereka jalani.
21. Untuk mengetahui hal-hal yang mendukung dan memberatkan suami
dalam menghadapi stresor berkaitan dengan infertilitas dan terapi FIV
yang mereka jalani.
22. Untuk mengetahui hal-hal yang mendukung dan memberatkan istri
dalam menghadapi stresor berkaitan dengan infertilitas dan terapi FIV
yang mereka jalani.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Di Bidang Pendidikan
Penelitian ini merupakan sarana dalam proses pendidikan. Hasil
penelitian diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan dalam bidang
psikiatri khususnya bidang consultation liaison psychiatry dan bidang obstetri
ginekologi khususnya bidang infertilitas dan fertilisasi in vitro.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
8

1.5.2 Di Bidang Pengembangan


Data yang didapat pada penelitian ini dapat digunakan untuk
penelitian lebih lanjut di bidang consultation liaison psychiatry dan bidang
terapi infertilitas

1.5.3 Di Bidang Pelayanan Masyarakat


Dengan mengetahui gambaran psikopatologi pada pasangan suami
istri yang menjalani program FIV serta mengetahui faktor risiko dan faktor
pendukungnya, diharapkan intervensi psikologis yang lebih terarah dan tepat
kebutuhan pada pasien FIV dapat dilakukan.
Dengan mengetahui gambaran psikopatologi pada pasangan suami
istri yang menjalani program FIV dapat dilakukan tatalaksana komprehensif
dengan peran optimal consultation liaison psychiatry antara Departemen
Psikiatri dan Departemen Obstetri Ginekologi pada pasien yang menjalani
terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infertilitas

Infertilitas adalah suatu kondisi saat sistem reproduksi tidak memungkinkan


terjadinya konsepsi atau kehamilan setelah terjadi hubungan seksual secara
regular tanpa alat atau teknik pencegah kehamilan selama minimal satu tahun.
Kondisi ini diperkirakan terjadi pada kurang lebih 6,1 juta orang di Amerika
Serikat dan 3,5 juta orang di Inggris. World Health Organization (WHO)
menyebutkan bahwa infertilitas terjadi pada 15% dari seluruh pasangan dan
diperkirakan akan meningkat dalam 20 tahun ke depan. Infertilitas dapat
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder.
Seseorang dikatakan mengalami infertilitas primer bila ia tidak pernah memiliki
keturunan sebelumnya dan mengalami kesulitan dalam usahanya untuk
mendapatkan keturunan saat ini. Infertilitas sekunder adalah apabila seseorang
sudah pernah memiliki anak sebelumnya namun saat ini memiliki kesulitan untuk
mendapatkan keturunan kembali.4,11
Penyebab infertilitas dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari faktor
perempuan, faktor laki-laki, faktor keduanya, dan bahkan pada 10-30% kasus
penyebabnya tidak diketahui. Beberapa kondisi yang dapat menjadi penyebab
infertilitas perempuan diantaranya adalah gangguan ovulasi, hal ini dapat terjadi
akibat dari berbagai masalah klinis seperti polikistik ovari, gangguan tiroid
(hipotiroid atau hipertiroid), kegagalan ovarian prematur; gangguan pada tuba dan
pelvis, termasuk endometriosis dan Pelvic Inflammatory Disease (PID); gangguan
uterus seperti mioma submukosum dan polip endometrium; usia; serta
penggunaan medikasi dan zat adiktif. Beberapa kondisi yang dapat menjadi
penyebab infertilitas pada laki-laki diantaranya adalah gangguan hipotalamus atau
hipofisis, gangguan pada testis, atau gangguan penyaluran sperma akibat penyakit
pada penis ataupun kelenjar di sekitarnya, serta penggunaan medikasi dan alkohol.
Selain itu terdapat juga beberapa kondisi yang dapat memengaruhi fertilitas baik
laki-laki maupun perempuan diantaranya adalah berat badan baik yang berlebih

9
Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
10

ataupun kondisi malnutrisi, infeksi menular seksual, kebiasaan merokok, faktor


lingkungan seperti pajanan terhadap pestisida, logam dan solven dan stres. 14,15,16
Terapi fertilisasi in vitro (FIV) dapat dikatakan merupakan salah satu jalan
keluar terakhir bagi pasangan yang mengalami masalah infertilitas. FIV dilakukan
sebagai tatalaksana dari berbagai kondisi infertilitas. Pada awalnya, terapi FIV ini
hanya dilakukan pada perempuan yang mengalami hambatan pada ovarium.
Namun belakangan ini FIV dilakukan pada berbagai masalah infertilitas lainnya
seperti endometriosis, masalah antibodi terhadap sperma, kualitas sperma yang
buruk dan juga infertilitas dengan penyebab yang tidak diketahui. 12
Keberhasilan terapi FIV hingga saat ini telah meningkat. Di Amerika
Serikat, angka keberhasilannya telah meningkat dari 38% menjadi 48% pada
perempuan dengan usia dibawah 35 tahun. Pedoman dari National Institute for
Health and Clinical Excellence (NICE) menetapkan bahwa FIV kini harus
ditawarkan bahkan pada perempuan dengan usia hingga 42 tahun dan pada
pasangan yang telah melakukan hubungan seksual tanpa pengaman selama dua
tahun tanpa terjadinya kehamilan.12,17
Pelaksanaan FIV terdiri dari lima tahapan yaitu: produksi sel telur yang
melibakan stimulasi hormon serta stimulasi ovarium baik dengan pil maupun
injeksi, pengambilan sel telur, inseminasi atau injeksi sperma intrasitoplasmik,
transfer embrio serta suplementasi fase luteal. Komplikasi dapat terjadi selama
rangkaian terapi dilakukan. Risiko terjadinya tromboemboli vena pada trimester
pertama kehamilan pasca FIV meningkat hingga sepuluh kali lipat dibandingkan
populasi umum, dan 6-7% kehamilan mengalami penyulit berupa hiperstimulasi
ovarium.18,19

2.2 Aspek Psikologis Infertilitas

Infertilitas menimbulkan trauma psikologis pada kebanyakan pasangan dan


memengaruhi baik istri maupun suami. Kebanyakan pasangan menggambarkan
infertilitas sebagai kejadian yang paling menekan dalam hidup mereka. Kondisi
ini mengakibatkan berbagai sekuele negatif seperti terganggunya kehidupan
seksual, ketidakpuasan dalam pernikahan, terganggunya komunikasi, harga diri
yang rendah serta perasaan tidak mampu dan terisolasi. Kondisi infertilitas juga

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
11

membawa pasangan pada berbagai pemeriksaan dan prosedur medis lainnya yang
memengaruhi kondisi fisik, mental, serta ekonomi. 20
Beberapa studi telah melakukan evaluasi profil psikologis pada pasangan
infertil dan didapatkan bahwa kondisi ini memengaruhi baik pada perempuan
maupun laki-laki dengan prevalensi psikopatologi yang lebih tinggi pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Infertilitas dikatakan menunjukkan pengaruh
yang lebih besar pada perempuan. El Kissi dkk dalam studinya mengutip
penelitian Keye dkk yang melaporkan bahwa 57% perempuan dan hanya 12%
laki-laki yang menganggap bahwa infetilitas adalah hal terburuk dalam hidup
mereka. Studi lain yang dikutip oleh El Kissi yaitu penelitian McEwan dkk
mendapatkan bahwa 40% perempuan dan hanya 13% laki-laki yang mengalami
gejala psikologis yang secara klinis bermakna dan kondisi yang lebih berat
terutama dialami oleh perempuan yang berusia lebih muda tanpa adanya diagnosis
infertilitas yang jelas. Pada sebuah studi terhadap pasangan dengan masalah
infertilitas di Italia didapatkan bahwa terdapat 14,7% perempuan dengan gejala
kecemasan dan 17,9% dengan gejala depresi, sementara hanya didapatkan 4,5%
laki-laki yang mengalami gejala kecemasan dan 6,9% dengan gejala depresi. 20
Infertilitas dihayati secara berbeda-beda oleh pasangan yang mengalaminya.
Pada tinjauan kritis literatur yang dilakukan oleh Greil didapatkan bahwa
pasangan infertil mengaitkan kondisinya sebagai fokus dari identitas, perasaan
kehilangan kendali, perasaan cacad dan kurangnya kompetensi, ketiadaan status,
stres dalam perkawinan dan relasi seksual, perasaan terasing dari “dunia fertil”,
stigma sosial, kesulitan untuk menghayati infertilitas tersebut, terikat dalam
proses terapi, dengan tekanan dalam menjalani terapi serta pada penyedia layanan.
Cook dkk, sebagaimana dikutip oleh Downey mendapatkan bahwa 71%
perempuan melaporkan bahwa infertilitas memengaruhi kehidupan pernikahan
mereka baik secara positif maupun negatif. Infertilitas dapat menguatkan
hubungan dalam pernikahan ataupun menjadi faktor yang melemahkannya.
Downey juga mengutip pernyataan Connolly dkk bahwa infertilitas cenderung
lebih menimbulkan kesulitan dalam pernikahan saat penyebab dari infertilitas
tersebut adalah dari pihak laki-laki, dan bahwa lama pasangan menjalani terapi
berkaitan dengan menurunnya “sense of wellbeing” pada pasangan.7,21

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
12

Infertilitas berakibat pada area penting dalam pernikahan yaitu fungsi serta
kenikmatan seksual. Beberapa efek negatif dalam kehidupan seksual pasangan
telah banyak dilaporkan seperti terjadinya impotensi, anorgasmia, serta
menurunnya hasrat seksual. Hubungan seksual yang terjadwal, yang biasanya
dilakukan saat pasangan menjalani terapi fertilitas juga didapatkan dapat
mengganggu fungsi seksual pasangan. Hingga 10% dari kasus infertilitas
dikaitkan dengan adanya disfungsi seksual pada laki-laki.7
Selain akibat pada fungsi seksual, infertilitas juga memengaruhi hubungan
keluarga dan sosial pasangan. Tuntutan dari keluarga besar untuk memiliki
keturunan, orangtua yang berulang kali menanyakan kehadiran cucu mereka akan
menimbulkan perasaan tertekan pada pasangan. Nilai agama yang mementingkan
adanya keturunan, ataupun kerabat serta teman yang telah memiliki anak akan
menambah rasa malu dan gagal pasangan. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
penghindaran dan isolasi sosial pasangan demi menghindari rasa sedih dan juga
rasa iri yang akan timbul pada diri mereka. Selain itu, infertilitas yang biasa
dikaitkan dengan fungsi seksual akan membuat pasangan merasa malu dan enggan
untuk terbuka mengenai kondisinya.7

2.2.1 Infertilitas dan Perempuan


Banyak studi mendapatkan bahwa perempuan lebih terpengaruh dengan kondisi
infetilitas dibandingkan laki-laki. Droszdol dan Skrzypulec, sebagaimana dikutip
oleh Guerra, dalam studinya pada pasangan infertil mendapatkan bahwa
prevalensi depresi pada perempuan mencapai 30-40%. Pada perbandingan
morbiditas psikiatri oleh Guerra dkk didapatkan 61,1% pada perempuan dan 21%
pada laki-laki. Studi yang dilakukan oleh Dyer dkk mendapatkan bahwa
perempuan infertil mengalami tekanan psikologis yang lebih besar dibandingkan
perempuan fertil. Morbiditas pada perempuan dengan infertilitas primer ternyata
lebih tinggi dibandingkan perempuan yang telah memiliki anak sebelumnya dan
mengalami infertilitas sekunder. Selain itu didapatkan bahwa perempuan
cenderung mengalami tekanan emosional yang lebih besar saat menjalani terapi
fertilitas dan bila infertilitas dikaitkan dengan faktor istri. Kondisi ini dikaitkan
dengan gender, namun bagaimanapun juga tekanan psikologis ini memengaruhi

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
13

prediktor yang penting dari “sense of wellbeing” seperti kualitas pernikahan serta
dukungan sosial.9,22
Dyer dkk dalam studinya pada populasi di subsahara Afrika mendapatkan
bahwa infertilitas berperan dalam meningkatnya instabilitas pernikahan.
Infertilitas menempatkan perempuan dalam instabilitas pernikahan, keregangan,
turunnya status sosial, kesehatan mental serta disinheritance. Beberapa studi juga
mendapatkan bahwa perempuan infertil dapat mengalami kekerasan fisik oleh
suami ataupun keluarga dari pihak suami.22,23,24
Ideologi pronatalis menganut keyakinan bahwa nilai sosial seseorang
bertautan dengan prokreasi. Pandangan ini sangat berdampak pada perempuan.
Fisher, sebagaimana dikutip oleh Parry DC, menjelaskan bahwa kebanyakan
perempuan menghadapi tekanan untuk mengandung atau membesarkan anak.
Dengan berkembangnya kebudayaan pada beberapa dekade terakhir, peran
sebagai ibu tetap dianggap sebagai peran utama bagi seorang perempuan. Hal ini
menyebabkan anggapan bahwa menjadi ibu secara biologis adalah jalur yang
paling berharga bagi perempuan dalam perannya sebagai orangtua. Parry DC juga
mengutip pernyataan dari Wolf yang mengatakan, “segala perjuangan untuk
menjadi fertil dan mengandung anak biologisnya sendiri adalah sangat menyayat
hati, namun hal ini sesuai dengan bagaimana perempuan dibuat merasa bahwa
jalan tersebutlah yang paling baik untuk menjadi ibu.”25
Pentingnya memiliki anak sebagai penentu status sosial di lingkungan
budaya tertentu sangat memengaruhi dampak infertilitas pada perempuan. Hal ini
bahkan berlaku hingga kini, ketika karir perempuan telah jauh berkembang,
memiliki anak tetap menjadi hal yang penting kalaupun tidak yang utama. Pada
lingkungan yang mengajarkan bahwa arti perempuan sangat dikaitkan dengan
perannya sebagai ibu, perempuan yang tidak pernah mengalami kehamilan,
kelahiran, dan menjadi orangtua akan dikucilkan dalam percakapan. Pasangan
akan mendapat tekanan untuk mendapatkan keturunan segera setelah menikah.
Saat ditemukan adanya kemungkinan infertilitas, laki-laki akan merasa
dipermalukan dan perempuan cenderung akan disalahkan karena tidak dapat
hamil. Bahkan saat infertilitas laki-laki telah diketahui, perempuan cenderung
mengambil tanggungjawab akan masalah infertilitas yang mereka alami. 7,25,26

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
14

2.2.2 Infertilitas dan laki-laki


Berbagai studi di bidang psikosomatik telah membuahkan kesepakatan bahwa
laki-laki lebih sedikit terpengaruh oleh infertilitas dibandingkan perempuan.
Penelitian oleh Purnamawati pada pasangan infertil di RSUPN
Ciptomangunkusumo mendapatkan gambaran proporsi depresi yang lebih besar
pada perempuan yaitu 43,5% dibandingkan pada laki-laki yaitu sebesar 15,2%.
Namun perbedaan respons psikologis ini harus diinterpretasikan lebih pada
perbedaan gender dalam bereaksi terhadap stres, tekanan emosional, dan
kedukaan daripada reaksi spesifik terhadap infertilitas. Sesuai dengan norma
maskulin, kebanyakan laki-laki akan menekan emosinya sebagai usaha untuk
mendukung pasangannya. Penarikan diri dapat merupakan cara untuk berlindung
dari rasa sakit pasangannya. Jaffe dan Diamond, sebagaimana dikutip oleh
Wischmann dan Thorn, menyatakan bahwa di permukaan, laki-laki dan
perempuan akan mengekspresikan rasa dukanya dengan cara yang berbeda: saat
perempuan membicarakan kesedihan mereka, laki-laki justru akan menghindari
emosi yang terbuka dan mengambil peran sebagai pasangan yang sangat tabah. 27
Studi-studi berbagai negara untuk menilai kualitas hidup (QoL) laki-laki
yang menghadapi masalah infertilitas ternyata menunjukkan hasil yang tidak
konklusif. Ragni dkk tidak mendapatkan adanya perbedaan QoL pada laki-laki
infertil dibandingkan dengan nilai normatif. Penemuan ini berbeda dengan hasil
studi di Belanda dan Amerika Serikat yang menunjukkan skor mental, emosional
dan sosial yang lebih rendah.8
Pada studi yang dilakukan oleh Chachamovics dkk pada laki-laki dengan
masalah infertilitas, didapatkan bahwa hanya 1,9% dan 3,7% subjek yang
mencapai skor di atas cut off point untuk depresi dan cemas dengan QoL dalam
tingkat moderat hingga tinggi. Pada analisis multivariat didapatkan bahwa
persepsi subjektif tentang etiologi infertilitas, status sosioekonomi serta perubahan
dalam komunikasi dengan pasangan memiliki relevansi dengan kualitas hidup
yang dicapai. Selain itu didapatkan bahwa laki-laki dengan usia yang lebih muda
cenderung lebih mengalami gangguan dibandingkan dengan yang usianya lebih
tua. Tingkat pendidikan, riwayat FIV sebelumnya serta durasi infertilitas
berkaitan dengan skor yang lebih rendah pada domain emosional dan kesehatan

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
15

mental. Johansson dkk pada studinya mengenai efek jangka panjang setelah FIV
yang sukses maupun tidak, mendapatkan bahwa laki-laki yang tetap tidak
memiliki anak lebih terpengaruh negatif dibandingkan sebelumnya dan skor
depresi laki-laki menjadi hampir sama dengan perempuan yang gagal FIV. 8,28
Diagnosis infertilitas pada laki-laki masih cenderung dirahasiakan dan tidak
jarang pasangan perempuan akan mengambil peran untuk disalahkan. Infertilitas
laki-laki lebih banyak dikaitkan dengan disfungsi seksual dibandingkan infertilitas
pada perempuan. Jumlah sperma yang menurun juga cenderung dihubungkan
dengan impotensi dan terlukanya maskulinitas seorang laki-laki. Studi yang
dilakukan oleh Dyer dkk di Afrika Selatan mendapatkan bahwa pada laki-laki
dengan latar belakang budaya pronatalistik yang kuat, masalah infertilitas akan
menjadi penderitaan yang lebih berat. Hal ini berlawanan dengan studi yang
dilakukan di Denmark yang mendapatkan bahwa laki-laki dengan faktor
infertilitas tunggal pada dirinya tidak mengalami penurunan kesehatan mental,
peningkatan stres fisik ataupun stres sosial dibandingkan laki-laki dengan faktor
infertilitas di luar dirinya.27,28,29

2.2.3 Perbedaan Mekanisme Koping Perempuan dan Laki-laki dalam


Menghadapi Infertilitas
Mekanisme koping dilakukan untuk memediasi pengalaman stres dengan keluaran
kesehatan jiwa di dalam komunitas. Jordan dkk mengutip pendapat Lazarus dan
Folkmanyang mengatakan bahwa proses koping melibatkan “usaha kognitif dan
perilaku yang secara konstan berubah untuk mengatasi kebutuhan eksternal
ataupun internal yang spesifik yang dianggap melebihi atau menguras sumber
daya seseorang tersebut”. Mekanisme koping ini dapat bersifat adaptif maupun
maladaptif, bergantung dengan stresor yang dihadapi, dan strategi yang sama
dapat membawa pada hasil yang berbeda.26
Infertilitas dapat dianggap sebagai stresor yang kronik, tidak terduga, dan
tidak dapat dikendalikan yang dapat melampaui sumber daya koping yang
dimiliki pasangan. Infertilitas adalah suatu stresor pasangan dan bukan suatu
stresor individual. Dalam menghadapi masalah infertilitas yang dianggap sebagai
stresor mayor kehidupan, perempuan dan laki-laki menggunakan mekanisme
koping yang berbeda.26

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
16

Pada banyak studi mengenai strategi koping dan stresor kehidupan,


didapatkan bahwa perempuan lebih banyak menggunakan strategi koping
“emotion-focused” dibandingkan laki-laki. Strategi ini bertujuan untuk mengatasi
tekanan emosional yang diakibatkan oleh masalah yang dihadapi dengan berbagai
cara seperti mengekspresikan tekanan emosional yang dirasakan, mencari
dukungan sosial, melarikan diri/menghindar, distraksi dan mereduksi tekanan.
Laki-laki cenderung menggunakan strategi koping instrumental ataupun
“problem-focused”. Studi dari Endler, sebagaimana dikutip oleh Jordan dkk,
mendapatkan bahwa “emotion-focused problem-solving” merupakan strategi yang
lebih tidak efektif dan lebih menyebabkan kesehatan mental yang lebih buruk
dibandingkan strategi koping “problem-focused”.26
Pada studi metaanalisis yang dilakukan oleh Jordan dan Revenson pada
pasangan yang mengalami masalah infertilitas sebagai stresor bersama sebagai
pasangan, ternyata didapatkan lebih banyak kesamaan dibandingkan perbedaan
strategi koping diantara kedua gender. Hanya tiga dari delapan strategi yang
berbeda bermakna diantara perempuan dan laki-laki. Perempuan lebih banyak
menggunakan “escape” dan penghindaran, reframing positif terhadap situasi, dan
mencari dukungan sosial dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat dijelaskan dengan
kecenderungan perempuan untuk lebih bersosialisasi dan lebih sensitif secara
emosional terhadap perasaan mendalam yang mereka rasakan dan cenderung
untuk mengekspresikan perasaannya tersebut. Di sisi lain, laki-laki cenderung
untuk memiliki jaringan sosial yang lebih luas namun tidak mendalam. Laki-laki
biasanya akan menyebut istri mereka sebagai satu-satunya orang yang mereka
percayai. Perbedaan penggunaan strategi koping ini dapat menjelaskan adanya
gambaran tekanan emosional yang lebih tinggi yang dialami oleh perempuan saat
menghadapi masalah infertilitas sementara peran, harga diri, serta identitas laki-
laki hanya sedikit dipengaruhi oleh infertilitas yang dialami. 26

2.3 Aspek Psikologis Terapi Fertilisasi in Vitro (FIV)


Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan “end-of-the-line treatment” dalam tatalaksana
infertilitas. Banyak pasangan telah melalui berbagai pemeriksaan dan telah
mencapai berbagai metode terapi tanpa hasil selama bertahun-tahun hingga
akhirnya memutuskan untuk mencoba terapi FIV. Prosedur terapi dari FIV sendiri

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
17

memiliki kompleksitas yang menuntut secara fisik, emosional, terkait dengan


masalah etik dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, serta memiliki angka
keberhasilan yang relatif rendah. Berbagai hal ini membuat pasangan yang
melaluinya mengalami perasaan yang mereka gambarkan sebagai “emotional
roller coaster”. Greenfeld dkk menyatakan bahwa dukungan perlu diberikan
untuk mengatasi berbagai spektrum emosional yang dialami pasangan seperti
euforia, kecemasan dan disforia selama menjalani protokol terapi yang kompleks.
Newman mengutip hasil studi Milne yang mendapatkan bahwa 78% subjek (28
pasangan) menggunakan kata “melelahkan” dan “menguras fisik maupun
emosional” serta “menghancurkan perasaan” dalam menggambarkan pengalaman
mereka.30
Dari beberapa studi yang dikutip oleh Eugster diantaranya oleh Hearn dkk
dan Shaw dkk, didapatkan bahwa secara umum pasangan yang mulai menjalani
terapi FIV memiliki gambaran psikologis yang cukup baik, dengan gambaran
status dan trait ansietas yang hanya sedikit mengalami elevasi dibandingkan data
normatif. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah
efek dari self selection, bahwa hanya pasangan yang dapat melakukan
penyesuaian dengan baik yang akan mencari pertolongan medis akan kondisinya
dan berani menghadapi tuntutan emosional yang tinggi dari terapi FIV, sementara
pasangan dengan kondisi psikologis yang tidak optimal mungkin akan terlalu
lemah untuk menghadapi pemeriksaan infertilitas yang kompleks. Hal lain yang
mungkin memengaruhi adalah bahwa pasangan-pasangan ini telah menghadapi
infertilitas selama bertahun-tahun dan mereka telah menemukan cara untuk
menghadapi stresor tersebut dengan cukup baik. Beaurepaire dkk, sebagaimana
dikutip oleh Eugster, berpendapat bahwa penyebab tidak didapatkannya depresi
pada wanita yang baru memulai terapi FIV adalah karena depresi adalah akibat
dari perasaan kehilangan. Saat pasangan memulai terapi FIV, mereka memulai
prosedur dengan harapan tinggi bahkan tidak realistik akan kesuksesan terapi.
Harapan ini untuk sementara dapat menekan perasaan kehilangan yang
sebelumnya mereka alami saat divonis mengalami infertilitas. Saat prosedur FIV
telah berulang kali dilakukan dan kehamilan tetap tidak terjadi, maka saat itulah
seorang perempuan akan merasakan kehilangan yang nyata karena berhadapan

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
18

dengan kenyataan bahwa ia mungkin tidak akan dapat memiliki anak. Kondisi ini
membuat seseorang menjadi rentan untuk mengalami depresi. 12
Pelaksanaan FIV terdiri dari lima tahapan yaitu:
1. Produksi sel telur yang melibatkan stimulasi hormon serta stimulasi folikel.
Pada tahapan ini perempuan akan mendapatkan injeksi gonadotropin yang
mengandung follicle stimulating hormone (FSH), luteineizing hormone (LH),
serta diikuti dengan injeksi human chorionic hormone (hCG);
2. Pengambilan sel telur, dengan prosedur melalui jalur vaginal dengan panduan
alat USG;
3. Inseminasi atau injeksi sperma intrasitoplasmik, yang dapat diikuti dengan
kriopreservasi embrio;
4. Transfer embrio dengan bantuan proses hatching embrio pada endometrium,
serta;
5. Suplementasi fase luteal.18
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai aspek emosional yang terjadi
dalam berbagai tahapan tersebut. Connoly dkk dalam studinya mendapatkan
bahwa saat yang dianggap paling menekan bagi pasangan baik laki-laki maupun
perempuan adalah saat menunggu hasil dari transfer embrio, menunggu hasil dari
terapi FIV, dan mendapatkan bahwa terapi FIV tersebut tidak berhasil. Studi yang
dilakukan oleh Dudok de Wit, sebagaimana dikutip oleh Eugster dkk,
menunjukkan bahwa pada tiap fase, dilaporkan adanya ketegangan yang
meningkat, menurun selama transfer embrio dan kembali meningkat saat
menunggu apakah embrio berhasil terimplantasi. Dalam studi ini juga didapatkan
bahwa fase-fase saat pasangan tidak berkontak langsung dengan rumah sakit
dirasakan lebih berat karena pasangan tidak merasa mendapatkan dukungan dari
rumah sakit. Pada laki-laki, keharusan untuk mengeluarkan spermanya dalam
waktu yang terbatas di rumah sakit dilaporkan sebagai sesuatu yang menekan.12,31
Newman dan Zouves melakukan studi pada pasangan untuk mendapatkan
gambaran tentang reaksi emosional yang terjadi pada tiap fase terapi dan
menggolongkan respons subjek dalam beberapa kategori yaitu ansietas, depresi,
kehilangan kontrol, dan perasaan positif. Pada fase induksi ovulasi didapatkan
ansietas yang lebih tinggi pada perempuan, perasaan positif yang lebih banyak

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
19

pada laki-laki, selain itu didapatkan perasaan kehilangan kontrol baik pada laki-
laki maupun perempuan, terutama perasaan seakan hidup mereka dalam kondisi
“on hold”. Pada fase pengambilan oosit, kecemasan tetap paling banyak dirasakan
terutama oleh perempuan dan dideskripsikan dengan perasaan tegang dan
khawatir. Perasaan optimis juga dirasakan paling tinggi. Fase berikutnya, yaitu
transfer embrio, perasaan positif dilaporkan paling tinggi dibandingkan pada fase-
fase lainnya. Perasaan kehilangan kontrol juga dirasakan cukup tinggi oleh
perempuan dan juga kecemasan. Laki-laki menunjukkan tingkat kecemasan dan
perasaan kehilangan kontrol yang rendah. Fase saat pasangan harus menunggu
apakah konsepsi berhasil terjadi merupakan fase saat kecemasan didapatkan
paling tinggi baik bagi perempuan maupun laki-laki, begitu juga dengan perasaan
kehilangan kontrol. Perasaan depresi juga dirasakan lebih banyak dirasakan oleh
perempuan dibandingkan laki-laki. Saat mengetahui hasil apakah terjadi
kehamilan, perasaan depresi dirasakan oleh 90% perempuan dan 94% laki-laki.
Perasaan kehilangan kontrol juga didapatkan tinggi pada perempuan dengan
perasaan frustasi yang mendominasi. Perasaan positif berada pada tingkat
terendah pada perempuan maupun laki-laki. Perasaan positif yang paling banyak
disampaikan adalah perasaan lega.30
Eugster menyatakan bahwa setelah tiga percobaan terapi FIV, 60%
pasangan tidak berhasil mengalami kehamilan. Pasangan yang mengalami
ketidakberhasilan harus menghadapi lagi masalah infertilitasnya. Leiblum dkk,
sebagaimana dikutip oleh Eugster, dalam studinya menyatakan bahwa
kekecewaan karena kegagalan FIV banyak dirasakan oleh pasangan. Pasangan
juga merasakan ketegangan yang tinggi, kesedihan, kemarahan dan depresi. Hal
ini terutama dilaporkan oleh perempuan daripada laki-laki. Pada pasangan yang
berhasil mengalami kehamilan, kecemasan lebih banyak dialami. Studi dari
Reading dkk, yang juga dikutip oleh Eugster, mendapatkan bahwa perempuan
yang menjalani FIV memiliki tingkat kecemasan yang tidak berbeda secara
signifikan dengan perempuan yang melakukan konseling genetik, namun kedua
kelompok ini memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan
primipara normal. Eugster dkk juga mengutip hasil yang didapatkan oleh
McMahon dkk dalam studinya yang menunjukkan bahwa bila jumlah siklus FIV

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
20

yang dilakukan tidak dipertimbangkan, maka tingkat kecemasan pada perempuan


dan laki-laki pada masa kehamilan pasca FIV tidak berbeda secara signifikan
dibandingkan kontrol, namun bila siklus diperhitungkan, didapatkan bahwa
didapatkan perbedaan tingkat kecemasan yang signifikan pada perempuan yang
telah menjalani dua siklus FIV dibandingkan kontrol dan tidak ada perbedaan
pada laki-laki.12
Keberhasilan dari terapi FIV ditentukan oleh berbagai faktor baik yang telah
diketahui maupun belum diketahui. Selain faktor biomedis seperti usia dan
riwayat kehamilan sebelumnya, faktor psikologis seperti kecemasan dan depresi
didapatkan juga memengaruhi keberhasilan dari terapi FIV seperti yang
didapatkan oleh Demyttenaere dkk dan Smeenk dkk, walaupun ada juga studi
yang menyatakan bahwa kondisi psikososial tidak berelasi dengan keluaran dari
terapi seperti yang didapatkan dalam studi yang dilakukan oleh Boivin dan
Takefman. Adanya pengaruh dari faktor psikologis pada keberhasilan terapi
mendorong dilakukannya intervensi psikososial pada pasangan dengan infertilitas.
Rodriguez dkk, sebagaimana dikutip oleh Eugster dkk, menyatakan bahwa latihan
relaksasi yang dilakukan pada perempuan dengan infertilitas yang tidak diketahui
penyebabnya dan pada perempuan yang menjalani program FIV menghasilkan
angka konsepsi yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Begitupula intervensi
farmakologis yang dilakukan untuk mengatasi ansietas pada studi oleh Sharma
dan Sharma menghasilkan tingkat konsepsi yang lebih tinggi pada perempuan
dengan masalah infertilitas.12,32

2.4 Self Rating Questionnaire-20


Self Rating Questionnaire (SRQ) adalah instrumen yang disusun oleh World
Health Organization (WHO) untuk melakukan penapisan gangguan psikiatri
terutama di negara-negara berkembang. Penggunaan alat ukur ini dikatakan
sebagai salah satu cara yang cukup baik dengan cara yang relatif mudah dan
murah. Dikatakan murah karena cara ini dapat dilakukan dengan waktu yang
singkat serta tidak diperlukan keterampilan atau sumber daya yang khusus untuk
menilainya. SRQ juga memiliki efektivitas yang baik karena sensitivitas dan
spesifisitasnya yang cukup tinggi.33

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
21

SRQ terdiri dari 20 pertanyaan yang memelukan jawaban “ya” atau “tidak”.
Kuesioner ini dapat digunakan sebagai self administered ataupun interviewer
administered. Pada awalnya, SRQ terdiri dairi 25 pertanyaan. Duapuluh
pertanyaan berkaitan dengan gejala neurotik, 4 pertanyaan meliputi gejala psikotik
dan satu pertanyaan mengenai kejang. Pada akhirnya SRQ hanya difokuskan pada
20 pertanyaan yang meliputi gejala neurotik karena beberapa alasan, diantaranya:
a. Hanya beberapa pasien psikotik yang datang dengan spontan ke
fasilitas kesehatan primer untuk mencari pertolongan
b. Cakupan terhadap pasien psikotik biasanya lebih merupakan usaha
akitf dari petugas kesehatan primer
c. Kebutuhan penggunaan “item psikotik” dipertanyakan, mengingat
kebanyakan pasien psikotik biasanya mudah dikenali dan pasien
psikotik cenderung untuk tidak menyadari kondisinya sehingga
penggunaan kuesioner dinilai tidak tepat
d. Properti psikometrik dari pertanyaan-pertanyaan tersebut belum
dinilai spesifitas dan sensitivitasnya33
Butir-butir pertanyaan dalam SRQ-20 meliputi pertanyaan-pertanyaan
mengenai beberapa kelompok gejala. Gejala depresi terdapat pada nomor
6,9,10,14,15,16, dan 17. Gejala cemas dicakup pad pertanyaan nomor 3,4 dan 5.
Gejala somatik ditanyakan pada butir nomor 1, 2, 7, dan 19. Gejala kognitif
ditanyakan pada nomor 8,12, dan 13, sedangkan gejala penurunan energi pada
butir 8,11,12,13,18, dan 20.33
Pada penggunaan SRQ-20 ini, subjek dikatakan mengalami suatu gangguan
psikiatri bila total jawaban “ya” berjumlah di atas nilai yang ditetapkan. Nilai
batas pisah SRQ berkisar antara 3 dan 10. Pada Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) ditetapkan 5/6 sebagai nilai pisah. Hal ini berarti subjek yang
menjawab “ya” pada enam atau lebih butir pertanyaan akan dianggap mengalami
gangguan mental emosional atau distres yang berpotensi pada terjadinya
gangguan jiwa apabila dilakukan pemeriksaan psikiatri lebih lanjut. Nilai pisah
5/6 sesuai dengan penelitian uji validitas yang telah dilakukan oleh Hartono dari
Badan Litbang Depkes pada tahun 1995. Pada penelitian tersebut didapatkan
sensitivitas SRQ-20 sebesar 88%dan spesifitasnya adalah 81%. 34,35,36

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
22

2.5 Kerangka Teori

ETIOLOGI BIOLOGI PADA LAKI-LAKI


Etiologi yang tidak diketahui
ETIOLOGI BIOLOGI PADA
 Gangguan hipotalamus atau PEREMPUAN
hipofisis KONDISI LAINNYA
 faktor testikel  gangguan ovulasi
 Berat badan  gangguan pada tuba dan
 gangguan penyaluran sperma
 Infeksi menular pelvi
 penggunaan medikasi dan  gangguan uterus
seksual
alkohol  usia
 Kebiasaan
merokok  penggunaan medikasi dan zat
 Pajanan adiktif
lingkungan
 Stres

TERAPI INFERTILITAS

 Terapi terhadap
kausa: hormonal, Suami Istri
peradangan,
infeksi Infertilitas
 Inseminasi
intrauterin
FAKTOR SOSIAL

 Dukungan pasangan
 Tuntutan keluarga
Durasi infertilitas  Mitos tentang
infertilitas
Terapi yang telah dan
 Budaya
sedang dijalani
FAKTOR DEMOGRAFI

 Usia
 Jenis kelamin
 Suku
PSIKOPATOLOGI
 Agama FAKTOR PSIKOLOGIS
 Pendidikan
 Status  Kepribadian
sosioekonomi  Mekanisme
 Lama pernikahan
koping
 Jumlah anak

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
23

II.6 Kerangka Konsep

ETIOLOGI BIOLOGI LAKI-LAKI ETIOLOGI ETIOLOGI BIOLOGI


LAINNYA PEREMPUAN

Pasangan suami istri


TERAPI INFERTILITAS  dengan infertilitas di
Klinik Yasmin Kencana
Terapi sebelumnya
FAKTOR
Fase terapi FIV SOSIAL
Durasi infertilitas

PSIKOPATOLOGI

FAKTOR FAKTOR
DEMOGRAFI PSIKOLOGIS

Keterangan:
: diteliti

: tidak diteliti

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualititatif berupa
studi potong lintang analitik dan focus group discussion. Studi potong lintang
digunakan untuk mendapatkan gambaran psikopatologi serta faktor-faktor yang
berhubungan dengan terjadinya psikopatologi pada subjek penelitian. Pendekatan
kualitatif berupa focus group discussion dipilih untuk mendapatkan gambaran
yang lengkap berupa pemaknaan dan interpretasi mengenai masalah infertilitas
dan terapi FIV dari sudut pandang subjek tanpa adanya intervensi dari peneliti.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Klinik Yasmin RSCM Kencana. Sampel diambil dari
pasangan yang datang untuk menjalani terapi FIV.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi adalah seluruh pasangan suami istri yang mengalami masalah infertilitas.
Populasi target adalah pasangan dengan masalah infertilitas yang
mempertimbangkan untuk menjalani terapi FIV.
Populasi terjangkau adalah pasangan suami istri dengan masalah infertilitas dan
datang ke Klinik Yasmin RSCM Kencana untuk menjalani terapi FIV.
Sampel adalah sebagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Pasangan suami istri dengan masalah infertilitas yang datang ke Klinik
Yasmin RSCM Kencana untuk menjalani terapi FIV.
2. Mengalami infertilitas primer.
3. Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani surat persetujuan
penelitian.

24

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


25

4. Pendidikan: minimal tamat SD, mampu membaca dan menulis dengan baik
serta mengerti bahasa Indonesia

3.4.2 Kriteria Eksklusi


Menderita gangguan jiwa berat

3.5 Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel


3.5.1 Besar Sampel
Besar sampel pada metode kuantitatif ditentukan dengan menggunakan
perhitungan besar sampel pada statistik deskriptif analitik dengan variabel
kategorik tidak berpasangan, dengan rumus:

2
n1= n2= Zα√(2pq)+Zβ√(p1q1+p2q2)
(p1-p2)

α = 5% p = ½(p1+p2) = ½(0.611+0.21) = 0.41


Zα = 1.96 q = 1- p = 0.59
ß = 20% p1 = 61.1% (prevalensi morbiditas psikiatri pada
perempuan)
Zß = 0.84 p2 = 21% (prevalensi morbiditas psikiatri pada laki-
laki)
n1 = n2 = (1.96√(2.0.41.0.59)+0.84√(0.611.0.389+0.21.0.79) 2 =22,3≈ 23
0.401

Maka besarnya sampel adalah n1 = n2 = 23 orang dibulatkan menjadi 25 orang.


Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 25 pasang suami dan istri yang
mengalami masalah infertilitas dan akan menjalani terapi FIV. Dipertimbangkan
kemungkinan drop out 20%, jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 30
pasang suami istri. Dalam pelaksaanaan penelitian, didapatkan sampel sebanyak
43 pasang suami istri, 5 pasangan drop out, sehingga total sampel yang dianalisa
adalah 38 pasang suami istri.
Pada sampel penelitian kualitatif, besar sampel tidak dapat ditentukan
sebelumnya. Jumlah sampel atau responden dianggap telah memadai apabila telah
sampai kepada taraf redundancy (ketuntasan atau kejenuhan). Dalam pelaksanaan,
sampel untuk penelitian kualitatif adalah 7 responden suami dan 9 respoden istri.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
26

3.5.2 Cara Pengambilan Sampel


Sampel untuk data kuantitatif diambil secara non probability sampling yaitu
secara consecutive sampling, setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi
diikutsertakan dalam penelitian hingga jumlah sampel terpenuhi. Sedangkan
untuk penelitian kualitatif pengambilan sampel dilakukan secara purposif, yaitu
pengambilan sumber-sumber data dilakukan dengan mempertimbangkan suku,
agama, durasi infertilitas, jenis infertilitas, jumlah siklus FIV sebelumnya, tahapan
FIV yang sedang dijalani serta total skor SRQ.

3.6 Izin Subjek Penelitian dan Masalah Etika


Penelitian ini telah memperoleh persetujuan dari Komite Etik Rumah Sakit tempat
penelitian diadakan. Setiap pasangan yang bersedia menjadi subjek pada
penelitian ini diminta untuk menandatangani surat persetujuan penelitian setelah
diberikan penjelasan. Setiap orang yang terlibat dalam penelitian ini wajib
menjaga kerahasiaan segala hal yang diketahuinya tentang subjek penelitian.

3.7 Metode Pengumpulan Data


3.7.1 Pengisian Kuesioner
Pengumpulan data dilakukan dengan meminta responden mengisi kuesioner
biodata dan lembaran SRQ-20.

3.7.2 Focus Group Discussion


Focus groups adalah sekelompok orang yang memiliki karakteristik tertentu yang
dapat memberikan informasi yang bersifat kualitatif dalam diskusi yang terfokus
pada topik tertentu. Diskusi ini sifatnya semi terstruktur yang dipandu dengan
poin-poin kunci atau pertanyaan-pertanyaan kunci. Sesi dapat direkam dengan
video atau rekorder.
Awalnya direncanakan responden yang bersedia mengikuti focus group
discussion dikelompokkan menjadi satu kelompok laki-laki dan satu kelompok
perempuan masing-masing terdiri dari 10 orang. Apabila kejenuhan data belum
didapatkan maka akan dilakukan FGD kembali pada kelompok yang berbeda.
Namun pada akhirnya focus group discussion dilakukan pada kelompok istri yang

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
27

terdiri dari 4 orang. Kemudian dilakukan in-depth interview pada 5 orang istri
serta 7 orang suami melalui wawancara tatap muka maupun saluran telepon.

3.8 Instrumen Penelitian


3.8.1 Self Rating Questionnaire (SRQ)-20 dalam bahasa Indonesia
Self rating questionnaire (SRQ)-20 adalah instrumen yang disusun oleh World
Health Organization (WHO) untuk melakukan penapisan gangguan psikiatri.
SRQ terdiri dari 20 pertanyaan yang memelukan jawaban “ya” atau “tidak”.
Kuesioner ini digunakan secara self administered dan diisi secara terpisah oleh
pasangan suami istri.

3.8.2 Pedoman Wawancara


Dalam pengambilan data kualitatif digunakan pedoman wawancara agar
wawancara tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini
disusun berdasar teori yang digunakan dalam penelitian.

3.8.3 Lembar Observasi


Lembar observasi digunakan oleh pengamat untuk mencatat hal-hal yang
dianggap penting dan dapat memberi penjelasan lebih jauh mengenai data yang
didapatkan atau mengenai hal-hal yang diduga dapat memengaruhi jalannya
wawancara.

3.8.4 Alat Perekam


Seluruh kegiatan wawancara akan direkam dengan menggunakan alat perekam.
Hal ini ditujukan untuk memudahkan peneliti dalam membuat transkrip dan
melakukan analisis data, serta mengurangi bias yang terjadi akibat keterbatasan
dan subyektivitas peneliti.

3.9 Cara Kerja


- Mengajukan permohonan izin kepada Ketua Departemen Psikiatri RSCM-
FKUI agar dapat melakukan penelitian di Klinik Yasmin RSCM Kencana
- Mengajukan permohonan persetujuan penelitian dari Komisi Etik
Penelitian FKUI/RSCM

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
28

- Mengajukan permohonan izin kepada Klinik Yasmin RSCM Kencana


untuk melakukan penelitian
- Melakukan presentasi mengenai rencana penelitian di departemen Obsteri
dan Ginekologi RSCM-FKUI
- Melakukan inter-rater anamnesis klinis berdasar PPDGJ III. Jumlah
subjek untuk inter-rater adalah 10% dari jumlah sampel yang dibutuhkan
yaitu 6 orang.
- Melakukan pendataan pasangan suami istri yang menjalani terapi FIV di
Klinik Yasmin RSCM Kencana
- Menentukan sampel sesuai kriteria inklusi
- Pasien yang menjadi sampel diberikan informasi tentang tujuan, manfaat
penelitian dan tata cara penelitian. Bila setuju menjadi responden, pasien
akan diberikan lembar informed consent untuk ditandatangani
- Melakukan anamnesis klinis berdasar PPDGJ III untuk menyingkirkan
adanya gangguan jiwa berat
- Subjek mengisi kuesioner biodata
- Subjek mengisi lembaran SRQ-20
- Responden yang dipilih untuk mengikuti focus group discussion
dikelompokkan menjadi satu kelompok perempuan yang terdiri dari 4
orang. FGD ini dipandu oleh satu orang fasilitator, dengan didamping satu
orang pengamat dan satu orang notulen. Semua kegiatan yang berlangsung
direkam dengan menggunakan alat perekam.
- Tujuh responden laki-laki dan 5 responden perempuan mengikuti in-depth
interview. Wawancara dilakukan dengan tatap muka dan melalui saluran
telepon, serta direkam dengan menggunakan alat perekam.
- Setelah FGD dan wawancara selesai dilakukan, peneliti langsung
membuat transkrip verbatim dari setiap wawancara.
- Setelah semua data selesai dikumpulkan, peneliti melakukan analisis
statisitik pada data kuantitatif dan melakukan analisis data kualitatif
dengan mempelajari transkrip yang telah dibuat.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
29

3.10 Kerangka Kerja

Pengajuan izin penelitian


kepada KaDep Psikiatri
FKUI/RSCM

Pengajuan permohonan persetujuan


penelitian dari Komisi Etik
FKUI/RSCM

Pengajuan izin penelitian kepada


Kepala Unit Klinik Yasmin Kencana
RSCM Kencana

Inter-rater anamnesis klinis berdasar PPDGJ III

Pendataan Pasien dan Penentuan


Sampel

Pemberian penjelasan mengenai penelitian secara


lisan dan tertulis

Informed consent

Anamnesis klinis berdasar PPDGJ III

Pengisian kuesioner biodata Pengisian SRQ-20

Focus group discussion dan in-


depth interview

Membuat transkrip

Analisis

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
30

3.11 Manajemen dan Analisis Data


- Data yang didapat dari kuesioner biodata dan SRQ-20 dikumpulkan,
ditabulasi kemudian disajikan secara deskriptif.
- Hubungan variabel bebas dan variabel tergantung masing-masing
dianalisis menggunakan uji statistik parametrik dan non parametrik yang
digunakan sesuai data yang diperoleh.
- Data dari hasil wawancara pada focus group discussion dan in-depth
interview dibuat transkrip secara verbatim, dan dilakukan metode analisis
isi dengan kesamaan maupun kontras dari isi.
- Strategi pengujian validitas data dilakukan dengan menggunakan metode
triangulasi, baik triangulasi sumber, traingulasi metode, maupun
triangulasi data/analisis. Triangulasi sumber yaitu dilakukan cross check
antara data yang didapat dari satu sumber dengan sumber lain. Triangulasi
metode dilakukan dengan metode wawancara dan observasi. Triangulasi
data/analisis dilakukan dengan pelaksanaan analisis yang dilakukan oleh
lebih dari satu orang, yaitu peneliti dan para pembimbing.

3.12 Definisi Operasional


1. Psikopatologi adalah disfungsi psikologis dan perilaku yang terjadi pada
gangguan mental baik berupa gejala yang dirasakan subyektif maupun
berupa tanda yang didapatkan dari pengamatan klinis.
2. Data demografi :
- usia: jumlah tahun berdasarkan ulang tahun terakhir
- suku: pengelompokkan etnik bangsa yang berlaku secara nasional
berdasarkan suku ayah
- agama: keyakinan atas Ketuhanan yang dianut
- tingkat pendidikan: pendidikan terakhir, yaitu Sekolah Dasar (SD) dan
sederajat, Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat, Sekolah
Menengah Umum (SMU) dan sederajat, diploma, strata 1, strata 2,
strata 3
3. Infertilitas primer adalah kegagalan konsepsi dalam jangka waktu minimal
satu tahun dengan melakukan hubungan seksual teratur tanpa pengaman
dan belum pernah hamil sebelumnya.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
31

4. Etiologi/penyebab infertilitas: penyebab infertilitas yang diidentifikasi


pada saat penelitian dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik,
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya yang telah dilakukan
sebelumnya.
5. Durasi infertilitas: jumlah tahun yang dihitung sejak pasangan
merencanakan untuk memiliki anak hingga saat penelitian dilakukan
6. Jumlah siklus FIV: jumlah siklus terapi FIV yang sudah dilakukan oleh
pasangan suami istri semenjak menikah hingga saat penelitian dilakukan
7. Fase terapi FIV: salah satu dari kelima tahapan terapi FIV (stimulasi
ovarium, pengambilan sel telur, inseminasi atau injeksi sperma
intrasitoplasmik, transfer embrio serta suplementasi fase luteal) yang
sedang dijalani oleh pasangan saat penelitian dilakukan.
8. Faktor psikososial: setiap keadaan ataupun peristiwa yang terjadi dan akan
memengaruhi kondisi psikologis seseorang.

3.13 Jadwal Penelitian

Kegiatan Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli


2013 2014 2014 2014 2014 2014 2014 2014

Persiapan
penelitian

Pengumpulan
data

Pengolahan
data

Presentasi
dan publikasi
hasil

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
32

3.14 Anggaran

1. Tahap persiapan

Fotokopi makalah, dokumen kaji etik Rp. 500.000,-

Alat perekam Rp 1.000.000,-

2. Tahap pelaksanaan

Fotokopi lembar wawancara Rp. 500.000,-

Cinderamata bagi responden Rp 1.600.000,-

Konsumsi Rp. 500.000,-

3. Tahap penyelesaian

Pengolahan data statistik Rp 750.000

Penyusunan laporan dan fotokopi Rp 500.000

Jumlah: Rp 5.350.000,-

3.15 Organisasi Penelitian

Peneliti : dr. Dyani Pitra Velyani

Pembimbing penelitian : dr. Charles E Damping SpKJ(K)

Pembimbing penelitian II : dr. Andon Hestiantoro SpOG(K)

Pembimbing akademik : dr. Feranindhya Agiananda SpKJ

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
BAB 4
HASIL PENELITIAN

Pengambilan data telah dilakukan di Klinik Yasmin RSCM Kencana sejak tanggal
5 Mei 2014 hingga 8 Juni 2014. Total subjek yang awalnya dapat dihimpun
adalah 43 pasang, namun 5 pasang kemudian dianggap drop out karena suami
berhalangan ataupun tidak bersedia mengisi kuesioner. Total 38 (76 responden)
pasangan mengisi kuesioner SRQ-20 secara lengkap, dan pengisian kuesioner
biodata dilakukan dalam bentuk wawancara. Dari 38 pasangan tersebut dilakukan
pemilihan pasangan berdasarkan suku, agama, durasi infertilitas, jenis infertilitas,
jumlah siklus FIV sebelumnya, tahapan FIV yang sedang dijalani, serta total skor
SRQ untuk mengikut focus group discussion. Awalnya dipilih 10 pasangan,
namun saat dilakukan konfirmasi sebagian besar berhalangan karena berbagai
alasan diantaranya sedang tirah baring pasca transfer embrio, telah kembali ke
kota asalnya, tidak lagi bersedia karena mengalami keluhan fisik, serta tidak
bersedia karena baru saja mengetahui bahwa terapi yang mereka jalani tidak
berhasil. Kemudian dilakukan penggantian subyek, dengan tetap
mempertimbangkan dasar pemilihan sebelumnya dan didapatkan 10 pasangan
yang menyatakan kesediaannya dan mengkonfirmasi kehadirannya satu hari
sebelum pelaksanaan FGD. Namun pada hari pelaksanaan FGD untuk istri tanggal
27 Mei 2014, hanya hadir 4 orang, dan pada hari pelaksanaan FGD untuk suami
tanggal 29 Mei 2014, hanya hadir 2 orang. FGD untuk istri tetap dilaksanakan
selama kurang lebih 3 jam 20 menit, sementara FGD untuk suami dibatalkan.
Mengingat keterbatasan waktu yang tersedia untuk melakukan pengambilan
sampel, dilakukan perubahan metode pengambilan data kualitatif dari FGD
menjadi in-depth interview baik melalui wawancara tatap muka maupun melalui
saluran telepon. Masing-masing wawancara berlangsung antara 37 hingga 75
menit terhadap 5 orang istri dan 7 orang suami.

35
Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
36

4.1. Data Hasil Penelitian


4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Distribusi umur, pendidikan, pekerjaan, agama dan suku bangsa dapat dilihat pada
tabel 1.
Usia
Pada penelitian ini rerata usia suami adalah 37,26 tahun. Rerata usia istri adalah
34,1 tahun. Baik usia suami maupun istri terbanyak berkisar antara 36-40 tahun
yaitu 36,84%.
Pendidikan
Pada penelitian ini didapatkan tingkat pendidikan yang terbanyak baik suami
maupun istri adalah setingkat perguruan tinggi, yaitu suami 52,63% dan istri
60,52%.
Pekerjaan
Pada penelitian ini didapatkan bahwa seluruh suami bekerja, dan pekerjaan yang
paling banyak adalah karyawan swasta sebanyak 44,73%. Sedang untuk istri
terbanyak juga bekerja sebagai karyawan swasta sebanyak 21,05% dan 18,42%
adalah ibu rumah tangga.
Agama
Sebagian besar responden baik suami maupun istri memeluk agama Islam, yaitu
sebanyak 68,42%, sedangkan yang beragama Kristen Protestan sebanyak 18,42%.
Suami yang beragama Katholik sebanyak 7,89% sementara istri yang beragama
Katholik sebanyak 10,53%. Sebanyak 5,26% suami memeluk agama Budha dan
2,63% istri memeluk agama Budha.
Suku Bangsa
Pada penelitian ini, suku terbanyak suami adalah Jawa yaitu 31,58%. Suku
kelompok istri yang terbanyak adalah suku Jawa, Minang dan Melayu, masing-
masing sebanyak 15,79%.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
37

Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, agama, dan
suku bangsa.

Karakteristik Suami Istri

Jumlah % Jumlah %

Umur

<30 3 7,89 8 21,05

30-35 10 26,31 14 36,84

36-40 14 36,84 14 36,84

>40 12 31,58 2 5,27

Pendidikan

SLTA 4 10,53 1 2,63

Diploma 6 15,79 9 23,68

S1 20 52,63 23 60,52

S2 8 21,05 5 13,16

Pekerjaan

PNS 7 18,42 6 15,79

Swasta 17 44,74 8 21,05

Wiraswasta 8 21,05 5 13,16

Dokter 2 5,26 3 7,89

Perawat 1 2,63 2 5,26

Dosen 1 2,63 3 7,89

Kedutaan 2 5,26 0 0

Bidan 3 7,89

Jaksa 1 2,63

IRT 7 18,42

Agama

Islam 26 68,42 26 68,42

Kristen Protestan 7 18,42 7 18,42

Katholik 3 7,89 4 10,53

Budha 2 5,26 1 2,63

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
38

Lanjutan Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan umur, tingkat pendidikan, pekerjaan,
agama, dan suku bangsa

Suku bangsa

Jawa 12 31,58 6 15,79

Minang 4 10,53 6 15,79

Melayu 5 13,16 6 15,79

Sunda 0 0 4 10,53

Tionghoa 4 10,53 4 10,53

Betawi 3 7,89 3 7,89

Arab 2 5,26 2 5,26

Batak 5 13,16 3 7,89

Lampung 1 2,63 1 31,58

Rejang 0 0 1 2,63

Minahasa 0 0 1 2,63

Afrika Selatan 1 2,63 1 2,63

Bima 1 2,63 0 0

4.1.2 Data kondisi klinis infertilitas


Data kondisi klinis infertilitas pada sampel penelitian terdiri dari lama menikah
(durasi infertilitas), jenis infertilitas, jumlah siklus FIV yang sebelumnya telah
dilakukan, serta tahapan terapi FIV pada saat pasangan melakukan pengisian
kuesioner. Distribusi frekuensi data-data tersebut dapat dilihat di tabel 2.
Lama menikah
Pada penelitian ini, sebagian besar pasangan telah menikah selama kurun waktu 5-
10 tahun, yaitu sebanyak 68,42%, dengan kurun waktu terpendek adalah 1 tahun
dan kurun waktu terpanjang adalah 15 tahun.
Jenis infertilitas
Jenis infertilitas pada penelitian ini digolongkan menjadi 4, yaitu infertilitas
perempuan, infertilitas laki-laki, infertilitas campuran, dan lainnya termasuk
karena kondisi medis khusus ataupun tidak diketahui sebabnya. Dari

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
39

pengumpulan data didapatkan jenis infertilitas yang terbanyak adalah infertilitas


campuran yaitu sebanyak 44,74%.
Jumlah siklus FIV sebelumnya
Jumlah siklus pada penelitian ini digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu belum
pernah, pernah menjalani FIV 1-3 siklus sebelumnya, dan lebih dari 3 siklus. Dari
pengumpulan data didapatkan bahwa lebih dari separuh sampel belum pernah
menjalani FIV sebelumnya, yaitu sebanyak 57,89%.
Tahapan FIV saat ini
Pada penelitian ini, tahapan yang tercantum adalah tahapan saat pasangan diminta
untuk mengisi kuesioner. Dari pengumpulan data didapatkan bahwa 47,37%
pasangan telah melewati tahapan transfer embrio baik sudah ataupun belum
mengetahui hasilnya.

Tabel 2. Distribusi frekuensi durasi infertilitas, jenis infertilitas, jumlah siklus FIV sebelumnya
serta tahapan FIV saat ini
Data Infertilitas Jumlah Pasangan %
Durasi infertilitas
<5 9 23,68
5-10 tahun 26 68,42
>10 3 7,89
Jenis infertilitas
Infertilitas perempuan 10 26,32
Infertilitas laki-laki 9 23,68
Infertilitas campuran 17 44,74
Lain-lain 2 5,26
Jumlah siklus FIV sebelumnya
belum pernah 22 57,89
1x-3x 15 39,47
>3x 1 26,31
Tahapan FIV saat ini
Baru memulai 5 13,16
Stimulasi folikel 11 28,95
Pasca ovum pick up 4 10,53
Pasca transfer embrio (belum ada hasil) 3 7,89
Hasil βHCG tinggi (>200) 10 26,32
Hasil βHCG rendah (<200) 5 13,16

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
40

4.1.3 Data Kondisi Psikopatologi berdasar Skor SRQ-20


Pada penelitian ini, digunakan kuesioner dengan pengisian mandiri yaitu SRQ-20.
Kuesioner ini digunakan sebagai penapisan akan adanya gangguan mental
emosional atau distres yang berpotensi pada terjadinya gangguan jiwa dengan
nilai pisah 5/6. Pada penelitian ini didapatkan bahwa 7,9% suami mengalami
distres, sedangkan 18,4% istri mengalami distres.

Tabel 3. Data kondisi psikopatologi berdasar kuesioner SRQ-20


Hasil Pengisian Laki-laki Perempuan
Rerata total skor 1,97 3,68
Total skor tertinggi 7 12
Total skor >5 3 7
Memiliki keluhan:
Depresi 5 10
Cemas 18 29
Somatik 11 18
Kognitif 10 10
Penurunan energi 12 23

4.2. Hubungan Karakteristik Subyek Penelitian dengan Adanya


Psikopatologi
4.2.1. Gambaran Psikopatologi pada Suami yang Menjalani Program FIV di
Klinik Yasmin RSCM Kencana
Tabel 4. Distribusi psikopatologisuami yang menjalani program FIV di Klinik Yasmin
RSCM Kencana
Psikopatologi Jumlah Persentase (%)

Ya 3 7,9

Tidak 35 92,1

Total 38 100

Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel di atas, terlihat bahwa


prevalensi psikopatologi pada suami yang menjalani program FIV di Klinik
Yasmin RSCM Kencana tahun 2014 adalah sebesar 7,9%

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
41

4.2.2. Gambaran Psikopatologi pada Istri yang Menjalani Program FIV di


Klinik Yasmin RSCM Kencana

Tabel 5. Distribusi psikopatologi pada istri yang menjalani program FIV di Klinik Yasmin
RSCM Kencana
Psikopatologi Jumlah Persentase (%)

Ya 7 18,4

Tidak 31 81,6

Total 38 100

Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel di atas, terlihat bahwa


prevalensi psikopatologi pada istri yang menjalani program FIV di Klinik Yasmin
RSCM Kencana adalah sebesar 18,4% .

4.2.3 Hubungan antara suku dengan psikopatologi pada suami


Analisis bivariat dilakukan dengan uji statistik Chi Square untuk melihat
hubungan antara variabel independen dengan dependen yang bersifat kategorik.
Hasil analisis bivariat hubungan antara suku dengan psikopatologi pada suami
ditunjukkan pada tabel 6.

Tabel 6. Hubungan antara suku dengan psikopatologi pada suami yang


menjalani program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana

Psikopatologi
Ya Tidak Total
Suku Nilai p
N % N % n %
Jawa 1 8,3 11 91,7 12 100
Melayu 0 20,0 5 100,0 5 100
Batak 1 25 4 75,0 5 100
Betawi 0 0 3 100 3 100
Bima 0 0 1 100 1 100
0,584
Lampung 0 0 1 100 1 100
Minang 0 0 4 100 4 100
Tionghoa 0 0 4 100 4 100
Afrika Selatan 0 0 1 100 1 100
Arab 1 50 1 50 2 100
Jumlah 3 7,9 35 92,1 38 100

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
42

Hasil analisis hubungan antara suku dengan psikopatologi pada suami


diperoleh bahwa ada sebanyak 1 orang Jawa (16,7%), 1 orang Batak (25%) dan 1
orang Arab (50%) mengalami distres. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,584
sehingga hubungan antara suku dan psikopatologi pada suami tidak bermakna.

4.2.4 Hubungan antara Suku dan Psikopatologi pada Istri


Analisis bivariat dilakukan dengan uji statistik Chi Square untuk melihat
hubungan antara variabel independen dengan dependen yang bersifat kategorik.
Hasil analisis bivariat hubungan antara suku dengan psikopatologi pada istri
ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 7. Hubungan antara suku dengan psikopatologi pada istri yang menjalani
program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana

Psikopatologi
Ya Tidak Total
Suku Nilai p
n % N % N %
Sunda 1 25 3 75 4 100
Jawa 0 0 6 100 6 100
Melayu 2 33,3 4 66,7 6 100
Batak 0 0 3 100 3 100
Minahasa 0 0 1 100 1 100
0, 458
Betawi 1 33,3 2 66,7 3 100
Lampung 0 0 1 100 1 100
Minang 2 33,3 4 66,7 6 100
Rejang 0 0 1 100 1 100
Tionghoa 0 0 4 100 4 100
Afrika Selatan 1 100 0 0 1 100
Arab 0 0 2 100 2 100
Jumlah 6 18,4 32 81,6 38 100

Hasil analisis hubungan antara suku dengan psikopatologi pada istri


diperoleh bahwa ada sebanyak 1 orang Sunda (25%),2 orang melayu (33,3%), 1
orang Betawi (33,3%), dan 2 orang Minang (33,3%) mengalami distres. Pada

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
43

hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,458 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara suku dengan munculnya distres pada istri.

4.2.5 Hubungan antara Agama dengan Psikopatologi pada Suami


Hasil analisis bivariat hubungan antara agama dengan psikopatologi pada suami
ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 8. Hubungan antara agama dengan psikopatologi pada suami yang


menjalani program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana

Psikopatologi
Ya Tidak Total
Agama Nilai p
n % N % n %
Islam 2 7,6 24 92,4 26 100
Kristen Protestan 1 14,3 6 85,7 7 100
0, 844
Katolik 0 0 3 100 3 100
Budha 0 0 2 100 0 100
Jumlah 3 7,9 35 92,1 38 100

Hasil analisis hubungan antara agama dengan psikopatologi pada suami


diperoleh bahwa ada sebanyak 2 orang Islam (7,6%) dan 1 orang Kristen
Protestan (14,3%) yang mengalami distres. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,844 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara agama dengan munculnya psikopatologi pada suami.

4.2.6 Hubungan antara Agama dengan Psikopatologi pada Istri


Hasil analisis bivariat hubungan antara agama dengan psikopatologi pada istri
ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
44

Tabel 9. Hubungan antara agama dengan psikopatologi pada istri yang


menjalani program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana
Psikopatologi
Ya Tidak Total
Agama Nilai p
N % N % n %
Islam 6 23,1 20 76,9 26 100
Kristen Protestan 1 14,3 6 85,7 7 100
0,663
Katolik 0 0 4 100 4 100
Budha 0 0 1 100 1 100
Jumlah 7 18,4 31 81,6 38 100

Hasil analisis hubungan antara agama dengan psikopatologi pada istri


diperoleh bahwa ada sebanyak 6 orang pemeluk agamaIslam (23,1%) dan1 orang
pemeluk agama Kristen Protestan (14,3%) mengalami distres. Pada hasil uji
statistik diperoleh nilai p= 0,663 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara agama dengan munculnya psikopatologi pada
istri.

4.2.7. Hubungan antara Lama Menikah dengan Psikopatologi pada Suami


Hasil analisis bivariat hubungan antara lama menikah dengan psikopatologi pada
suami ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 10. Hubungan antara lama menikah dengan psikopatologi pada suami
yang menjalani program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana

Psikopatologi
Ya Tidak Total
Lama Menikah Nilai p
N % N % n %
< 5 tahun 1 11,1 8 88,9 9 100
5 – 10 tahun 2 7,7 24 92,3 26 100 0,824
> 10 tahun 0 0 3 100 3 100
3 7,9 35 92,1 38 100

Hasil analisis hubungan antara lama menikah dengan psikopatologi pada


suami diperoleh bahwa ada sebanyak 1 orang yang menikah selama kurang dari 5
tahun (11,1%) yang mengalami distres dan 2 orang yang menikah dalam kurun
waktu 5-10 tahun (7,7%) yang mengalami distres. Hasil uji statistik diperoleh

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
45

nilai p=0,824 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara lama menikah dengan munculnya psikopatologi pada suami.

4.2.8. Hubungan antara Lama Menikah dengan Psikopatologi pada Istri


Hasil analisis bivariat hubungan antara lama menikah dengan psikopatologi pada
istri ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 11. Hubungan antara lama menikah dengan psikopatologi pada istri yang
menjalani program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana

Psikopatologi
Ya Tidak Total
Lama Menikah Nilai p
N % N % N %
< 5 tahun 3 33,3 6 66,7 9 100
5 – 10 tahun 4 15,4 22 84,6 26 100 0,338
> 10 tahun 0 0 3 100 3 100
7 18,4 31 81,6 38 100

Hasil analisis hubungan antara lama menikah dengan psikopatologi pada


istri diperoleh bahwa ada sebanyak 3 orang menikah selama kurang dari 5 tahun
(33,3%) dan 4 orang yang menikah selama kurun waktu 5 – 10 tahun (15,4%)
yang mengalami distres. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,338 maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama menikah
dengan munculnya psikopatologi pada istri.

4.2.9. Hubungan antara Fase FIV dengan Psikopatologi pada Suami


Hasil analisis bivariat hubungan antara fase FIV dengan psikopatologi pada suami
ditunjukkan pada tabel berikut.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
46

Tabel 12. Hubungan antara fase FIV dengan psikopatologi pada suami yang
menjalani program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana

Fase FIV Psikopatologi


Total Nilai p
Ya Tidak
N % N % n %
Baru memulai 0 0 5 100 5 100
Stimulasi folikel 2 18,2 9 81,8 11 100
Pasca pengambilan sel telur 0 0 4 100 4 100
0,682
Pasca transfer embrio 0 0 3 100 3 100
Hasil BhCG tinggi 1 10 9 90 10 100
Hasil BhCG rendah 0 0 5 100 5 100
Jumlah 6 7,9 32 92,1 38 100

Hasil analisis hubungan antara fase FIV dan psikopatologi pada suami
diperoleh bahwa ada sebanyak 5 orang yang baru memulai terapi FIV (100%)
tidak mengalami distres, 2 orang yang menjalani fase stimulasi folikel (18,2%)
dan 1 orang yang telah menjalani transfer embrio dengan hasil βHCG tinggi
(20%) mengalami distres. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,682 maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara fase FIV dengan
munculnya psikopatologi pada suami.

4.2.10. Hubungan antara Fase FIV dengan Psikopatologi pada Istri


Hasil analisis bivariat hubungan antara fase FIV dengan psikopatologi pada istri
ditunjukkan pada tabel 13.
Tabel 13. Hubungan antara fase FIV dengan psikopatologi pada istri yang
menjalani program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana

Fase FIV Psikopatologi


Ya Tidak Total Nilai p

n % N % n %
Baru memulai 0 0 5 100 5 100
Stimulasi folikel 1 9,1 10 90,9 11 100
Pasca pengambilan sel telur 0 0 4 100 4 100
0,285
Pasca transfer embrio 1 33,3 2 66,7 3 100
Hasil BhCG tinggi 4 40 6 60 10 100
Hasil BhCG rendah 1 20 4 80 5 100
Jumlah 7 18,4 31 81,6 38 100

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
47

Hasil analisis hubungan antara fase FIV dan psikopatologi pada istri
diperoleh bahwa ada sebanyak 1 orang istri yang menjalani fase stimulasi folikel
(9,1%), 1 orang (33,3%) yang telah menjalani transfer embrio dan belum
mengetahui hasilnya,4 orang (40%) yang telah mengetahui bahwa kadar
βHCGnya tinggi dan 1 orang (20%) dengan kadar βHCG rendah mengalami
distres. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,285 maka dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara fase FIV dengan munculnya
psikopatologi pada istri.

4.2.11. Hubungan antara Jumlah Siklus FIV dengan Psikopatologi pada


Suami
Hasil analisis bivariat hubungan antara jumlah siklus FIV dengan psikopatologi
pada suami ditunjukkan pada tabel 14

Tabel 14. Hubungan antara jumlah siklus FIV dengan psikopatologi pada suami
yang menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana
Psikopatologi
Ya Tidak Total
Jumlah Siklus FIV nilai p
N % n % n %
0 2 9,1 20 90,9 22 100
1-3 1 6,7 14 93,3 15 100 0,923
>3 0 0 1 100 1 100
Jumlah 3 7,9 35 92,1 38 100

Terdapat 2 orang suami yang belum pernah menjalani terapi FIV (9,1%)
dan satu orang suami yang telah menjalani terapi FIV 1-3 kali sebelumnya yang
mengalami distres. Pada uji statistik didapatkan nilai p=0,923. sehingga hubungan
antara riwayat FIV sebelumnya dan psikopatologi pada suami tidak bermakna.

4.2.12. Hubungan antara Jumlah Siklus FIV dengan Psikopatologi pada Istri
Hasil analisis bivariat hubungan antara jumlah siklus FIV dengan psikopatologi
pada istri ditunjukkan pada tabel 15.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
48

Tabel 15. Hubungan antara jumlah siklus FIV dengan psikopatologi pada istri
yang menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana
Psikopatologi
Ya Tidak Total
Jumlah Siklus FIV nilai p
N % N % n %
0 6 27,3 16 72,7 22 100
1-3 1 6,7 14 93,3 15 100 0,253
>3 0 0 1 100 1 100
Jumlah 7 18,4 31 81,6 38 100

Hasil analisis hubungan antara jumlah siklus FIV dan psikopatologi pada
istri diperoleh bahwa ada sebanyak 6 orang yang belum pernah menjalani siklus
FIV sebelumnya (27,3%) dan1 orang yang pernah menjalani 1-3 siklus FIV
(6,7%) yang mengalami distres. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,253 maka
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah siklus
FIV dengan munculnya psikopatologi pada istri.

4.3. Pemaknaan Pasangan Suami Istri terhadap Infertilitas dan Terapi FIV
yang Mereka Jalani di Klinik Yasmin RSCM Kencana
Pasangan yang dilibatkan dalam focus group discussion maupun in-depth
interview terdiri 7 pasangan suami istri dan 2 orang istri yang suaminya bertugas
di luar Indonesia.
Pasangan 1 (A: istri; B: suami) adalah pasangan yang telah menikah
selama 6 tahun, keduanya beragama Islam, suami bersuku Bima sementara istri
bersuku Betawi. Pasangan ini telah menjalani satu kali siklus FIV sebelumnya
namun anak mereka (kembar) meninggal dunia pada usia 10 dan 20 hari setelah
lahir prematur. Saat ini sang istri tengah mengandung 2 bulan sebagai hasil FIV.
Pada penilaian SRQ-20 keduanya tidak menunjukkan adanya distres.
Pasangan 2 (A, B) adalah pasangan yang telah menikah selama 10 tahun,
keduanya beragama Islam, suami bersuku Jawa sementara istri bersuku Sunda.
Pasangan ini mengalami masalah infertilitas perempuan, yaitu endometriosis yang
telah menjalani tindakan operasi berulang. Pasangan ini telah menjalani 2 kali
siklus FIV sebelumnya dan saat ini akan kembali memulai siklus ketiganya. Pada
penilaian SRQ-20 keduanya tidak menunjukkan adanya distres.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
49

Pasangan 3 (A, B) adalah pasangan yang telah menikah selama 4 tahun,


keduanya beragama Islam, suami bersuku Minang sementara istri bersuku Jawa.
Pasangan ini belum pernah menjalani siklus FIV sebelumnya, dan saat ini istri
sedang menjalani stimulasi folikel. Masalah yang dialami oleh pasangan ini
adalah infertilitas laki-laki. Pada penilaian SRQ-20 keduanya tidak menunjukkan
distres.
Pasangan 4 (A, B) adalah pasangan yang telah menikah selama 10 tahun,
keduanya beragama Islam, bersuku Minang, pasangan ini belum pernah menjalani
siklus FIV sebelumnya namun pernah mengalami kehamilan dengan janin tidak
berkembang sebelum usia 8 minggu di tahun 2004. Saat ini istri sedang
mengandung bulan kelima. Pada penilaian SRQ-20 didapatkan adanya distres
pada istri dengan total skor 12.
Pasangan 5 (A, B) adalah pasangan yang telah menikah selama 1,5 tahun,
keduanya beragama Kristen Protestan, suami bersuku Batak sementara istri
bersuku Minahasa. Keduanya berprofesi sebagai dokter. Pasangan ini belum
pernah menjalani siklus FIV sebelumnya. Masalah yang dialami oleh pasangan ini
adalah infertilitas pria yaitu azospermia. Pada penilaian SRQ-20 didapatkan
distres pada suami dengan total skor 6.
Pasangan 6 (A, B) adalah pasangan yang telah menikah selama 5,5 tahun.
Keduanya bersuku Tionghoa dan beragama Katholik. Pasangan ini saat ini telah
dinyatakan gagal dalam terapi FIV. Pada penilaian SRQ-20 keduanya tidak
menunjukkan adanya distres.
Pasangan 7 (A, B) adalah pasangan yang telah menikah 5 tahun, keduanya
bersuku Batak dan beragama Kristen Protestan. Pasangan ini memiliki masalah
infertilitas laki-laki. Saat ini istri sedang menjalani stimulasi folikel. Pada
penilaian SRQ-20 keduanya tidak menunjukkan adanya distres.
Responden 8(A) adalah seorang istri yang menjalani terapi FIV di klinik
Yasmin RSCM Kencana sementara suami bertugas di Singapura. Pasangan ini
telah menikah selama 6 tahun, dan masalah yang mereka alami adalah infertilitas
campuran. Keduanya beragama Islam, istri bersuku Minang sementara suami
bersuku Jawa. Saat ini istri telah dinyatakan positif hamil. Pada penilaian SRQ-20
keduanya tidak menunjukkan distres.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
50

Responden 9(A) adalah seorang istri yang menjalani terapi FIV di klinik
Yasmin RSCM Kencana sementara suami bertugas di Qatar. Pasangan ini telah
menikah selama 8 tahun. Keduanya bersuku Jawa dan beragama Islam. Pasangan
ini telah menjalani 5 siklus FIV sebelumnya dan saat ini istri sedang persiapan
untuk FET. Pada penilaian SRQ-20 tidak didapatkan distres pada keduanya.

4.3.1 Riwayat Perjalanan Terapi


Selama FGD maupun wawancara, keseluruhan responden dapat menceritakan
riwayat perjalanan sejak mereka memutuskan untuk konsultasi hingga akhirnya
sampai pada pilihan terapi FIV. Para istri menceritakan cenderung lebih runut
dibandingkan para suami Pernyataan istri diantaranya:
“Tahun kedua menikah, belum hamil juga, kami akhirnya memutuskan untuk konsul, cari
tahu apa masalahnya....Dari pemeriksaan hormon sama HSG..Coba 2 kali
penyubur..2011 kemudian dinyatakan oleh dr.I ASAnya tinggi. Itu, terapi nurunin
setahun...Insem di Singapur tahun 2012...Bulan April merasa siap, kami putuskan untuk
IVF di sini”
(Responden 8A)
Pernyataan suami diantaranya:
“Sebenarnya sejak tahun pertama ya kita mulai wira-wiri ke anu ya, ke dokter
apa..dokter ya untuk menanyakan gimana-gimana...Di tahun ke empat baru kita.. ya kita
ke yasmin itu mencoba untuk rekomendasi...Nah kalo itu pertama kan insem dulu, tapi
lalu pada awalnya kan ada kista tu, jadi harus operasi. Ya jadi operasi setelah operasi
itu bayi tabung”
(Responden 1B)

4.3.2 Makna memiliki anak


Saat ditanyakan mengenai pentingnya arti anak bagi mereka, semua pasangan
yang terlibat dalam wawancara maupun FGD menyatakan bahwa anak bermakna
penting bagi mereka. Makna anak dapat dikaitkan dengan ajaran agama, seperti
yang dinyatakan berikut ini.
“anak itu kan kita mengacunya kan ke agama ya. Sebagai penerus, yang nanti
mendoakan. Doa yang tidak ada habisnya kan sampai di akhirat nanti kan doa anak.
Juga sebagai ya kebanggan juga ya, sebagai penyejuk mata, penghibur hari, dan juga ya
namanya anak itu kan satu-satunya untuk meneruskan keturunan.”
(Responden 2B)
Makna anak juga dikaitkan dengan nilai adat, seperti yang dinyatakan diberikut
ini.
“Saya sebagai orang Batak, ya bagi saya anak adalah segala-galanya.”

(Responden 7B)

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
51

Ada beberapa responden istri yang mengaitkan makna anak dengan kesempurnaan
sebagai wanita, serta keutuhan keluarga. Seperti yang dinyatakan berikut ini.
“kayanya bagi wanita juga, kalo ga punya anak kayaknya gimana, kayaknya ga lengkap.
Apalagi kita orang Timur”
(Responden 5A)

“Ya jadi wanita sempurna lah. Karena keluarga utuh itu kan lengkap ama anak”
(Responden 6A)

4.3.3 Makna infertilitas


Pada saat diajak mengenai masalah infertilitas, apa yang mereka rasakan saat
harus menghadapi masalah ini serta apa dampak yang diakibatkan oleh infertilitas
dalam kehidupan mereka baik sebagai pribadi, sebagai pasangan, sebagai anggota
keluarga atau lingkungan pergaulan, tanggapan yang didapat cukup bervariasi.
Ada yang mengatakan mereka tidak mengalami perubahan, seperti berikut ini.
“nggak terlalu berubah ya pola hidupnya yang sekarang yang belum punya anak sama
yang dulu.”
(Responden 3A)
Ada yang mengalami rasa bersalah dan rendah diri.
“aku sendiri jujur pas awal-awal pasti ada rasa salah juga sih, ada rasa rendah diri juga
sih”
(Responden 5B)
Ada yang merasa disalahkan oleh keluarganya.
“sepasang suami istri belum punya anak juga, secara tidak sadar juga menyalahkan
perempuan. Itu sekali-sekali E rasakan dan sedikit membuat E jaga jarak dengan
keluarga mertua”
(Responden 8A)

Ada yang menyatakan ada keterkejutan dan juga kemarahan, kemudian berpasrah.
“ee yang pertama sih syok ya, kaget, gitu.....Ya sedih juga, tapi ya gimana.....kalo
nyalahin Tuhan sih ada....Setelah lama-lama ya udah, pasrah deh, berserah. Kita
percaya Tuhan tuh punya rencana pasti yang terbaik lah mau seperti apapun”

(Responden 5A)

Dan ada yang menyatakan mereka tetap terus berusaha.

“Ga mungkin pesimis gitu kan bu, terus berusaha dengan sekuat tenaga, ya terus
melakukan dengan cara normal ya terus kita lakukan”

(Responden 1B)

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
52

4.3.4 Komunikasi pasangan dalam menghadapi masalah infertilitas dan


dalam menjalani terapi FIV
Dalam wawancara, topik komunikasi dengan pasangan ini muncul sejak awal
pembicaraan mengenai perjalanan terapi yang pasangan jalani. Seluruh pasangan
yang diwawancara menyatakan bahwa pasangan tersebut berdiskusi saat akan
melakukan pemeriksaan ataupun saat akan memulai suatu terapi. Seperti yang
dinyatakan baik oleh istri maupun suami berikut ini.
“baru 2 bulan lalu saya ngobrol dengan suami dan kita putuskan, apalagi kita ada
nyimpen satu lagi eh 2 lagi,kita coba mulai lagi yang ketiga”
(Responden 2A)

“Karena juga komunikasi selalu kita bangun dengan baik”


(Responden 1B)
Namun, untuk mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan, para suami
kebanyakan lebih memilih untuk tidak menceritakan pada istri karena khawatir
akan memberi dampak yang kurang baik pada kondisi psikologis istri. Hal ini juga
dikaitkan dengan peran sebagai kepala rumah tangga yang harus melindungi.
“Biasanya saya, saya simpen sendiri aja sih ya..Kalo saya cerita takutnya ntar istri
malah tambah, tambah merasa..biar gimana kan. Jadi biasanya nggak saya cerita
sih.....Sebagai kepala rumah tangga itu kan ya artinya setidaknya ya tegar ya, walaupun
sebenarnya ya ini juga”
(Responden 2B)

“Ya emang harus begitu. Kalau tahu saya takutnya, nanti kalau tahu istri..saya gak mau
lagi. Kalau istri saya tahu, sebelah kita yang, yah dia udah begini lagi, begitu. Kasihan.”
(Responden 3B)

4.3.5 Dukungan pasangan dalam menghadapi masalah infertilitas dan dalam


menjalani terapi FIV
Dalam wawancara, lebih banyak istri yang menyebut mengenai dukungan suami.
Pada responden istri yang berjauhan dengan suaminya pun, masing-masing
menyatakan bahwa mereka merasa mendapat cukup dukungan dari suaminya.
“trus, suami juga mau kerja sama..ya udah kapan mau ambil sperma, udah langsung aja,
udah siap, dia udah tau diri, kapan mau diambil dia udah siapin beberapa hari
sebelumnya..untungnya bekerja sama banget”
(Responden 5A)

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
53

“insya Allah sih suami ee ya insya Allah kami berjanji akan tetap bahagia apapun takdir
dari Tuhan...Dia tidak demanding, dan selalu ee suportif gitu. Ketika memang E butuh.”
(Responden 8A)

Dari responden suami, hanya dua orang suami yang menyebutkan


mengenai dukungan istri. Kedua responden tersebut adalah responden yang
mengalami masalah infertilitas laki-laki.
“dukungan paling besar? Dari istri..Dia kasih support, ini bisa ditangani, kita bisa cari
tahu masalahnya apa, penyebabnya apa..gitu-gitu sih”
(Responden 5B)

“kami gak pernah..apa namanya..ya bilang „kamu yang salah‟...Sejauh ini kita tidak
pernah bertengkar soal ini”
(Responden 7B)

4.3.6 Pengaruh masalah infertilitas dan terapi FIV terhadap kualitas


hubungan seksual.
Dalam wawancara yang dilakukan pada 7 pasangan suami istri dan 2 responden
istri, masalah seksual pertama kali muncul dalam sesi FGD kelompok istri saat
sedang membicarakan tatalaksana infertilitas dengan senggama terjadwal. Saat itu
muncul pernyataan bahwa jadwal tersebut pada mengurangi kenikmatan dalam
hubungan seksual bersama pasangan.
“terpengaruh, jadi kan kayak kalo model hubungan kayak gitu yang utama kan kita
enjoy, jadi..ini kan karena udah dijadwal dan jadi ada keharusan , harusnya itu..jadi mau
ga mau harus nih sekarang, jadi ga rileks gitu kan. (tertawa) jadi malah kurang
menikmati lah”
(Responden 2A)
Hal lain yang didapatkan adalah kebanyakan pasangan dengan sengaja tidak
melakukan hubungan seksual selama menjalani program FIV.
“Sampai sekarang, sejak mulai, mulai proses sampai sekarang kita ga pernah
berhubungan...Suami saya berpikiran, takut melukai...Tapi itu juga ga jadi prioritas
kita”
(Responden 4A)
Namun, saat hal tersebut ditanyakan secara terpisah pada suami, semua responden
suami menyatakan mereka tidak mengalami permasalahan dalam berhubungan
seksual.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
54

4.3.7 Cara mengatasi perasaan negatif terkait infertilitas


Beberapa pasangan menyatakan bahwa ia dan pasangan ataupun ia sendiri,
memiliki cara tertentu untuk mengatasi perasaan tidak nyaman yang timbul akibat
masalah infertilitas yang mereka hadapi. Seorang responden istri menyatakan
bahwa ia mengatasi perasaan tidak nyamanya dengan jalan bercerita dengan
orang-orang yang dianggap “senasib”.
“kadang saya bercerita kepada orang lain yang mempunyai masalah dengan saya
walaupun masalahnya kadang berbeda tetapi kita berusaha hamil dengan orang-orang
yang seperti itu saya curhat saya bercerita kepada orang-orang seperti itu...Kadang kan
kita ikut group dimana kita cuman curhat-curhat saja lewat sini bisa lewat sini bisa
saling menguatkanlah tidak hanya saya saja rupanya”
(Responden 9A)
Adapula yang melakukannya dengan cara berbagi kebahagiaan dengan anak-anak
lainnya.
“kita bawa enjoy kumpul semua aja. Nah kalo tiap-tiap tahun ajaran baru itu kita beliin
mereka bulpen, pensil lengkap itu. Nah senang mereka. Ya senyumnya mereka itu senyum
buat kita juga ya. Senangnya mereka itu..buat kita enjoy aja”
(Responden 1B)
Ada pula yang mengatasinya dengan mendekatkan diri pada Tuhan. Cara-cara ini
menurut mereka dapat membantu mengembalikan semangat dan perasaan nyaman
mereka.
“Cuma berdoa sih, ke arah rohani”
(Responden 5B)

4.3.8 Tuntutan dari keluarga maupun lingkungan yang dirasakan oleh


pasangan dengan infertilitas
Sebagian besar pasangan yang diwawancara menyatakan bahwa mereka tidak
mendapatkan adanya tuntutan untuk segera memiliki anak dari keluarganya.
Keadaan yang mereka hadapi biasanya berupa pertanyaan ataupun saran-saran
baik dari orangtua, saudara, kerabat, ataupun teman.
“suka ditanyain keluarga “kapan kamu?kapan kamu?”...Ini dipijit tolong ini nih belum
punya anak...Kebetulan saya anak pertama, cucu pertama gitu ya”
(Responden 4A)
Beberapa responden menyatakan bahwa walaupun tidak pernah ada
tuntutan atau desakan yang dinyatakan secara terbuka, mereka merasakan bahwa
ada tuntutan bagi mereka untuk segera memiliki keturunan.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
55

“kalo orangtua sih tidak pernah..tidak pernah menunjukkan itu. Tapi kalo dari
perilakunya sih memang saya yakin ada rasa kecewa juga sih. Dari orangtua terutama
ibu saya”
(Responden 5B)

4.3.9 Dukungan dari keluarga terhadap pasangan dalam menghadapi


masalah infertilitas dan terapi FIV
Hampir seluruh responden kecuali satu pasang responden yang memang tidak
menceritakan kondisinya kepada orangtua atau keluarga terdekatnya menyatakan
bahwa mereka merasa mendapat dukungan dari keluarga, baik orangtua, mertua,
ataupun keluarga kandung.
“Terus jadi dia yang malahan kasih support aku.Ya uda de ga usah pikirin omongan
orang”
(Responden 3A)

“Cuma mereka ya dukung aja. Cuma kasih tahu oo begini mungkin begini.. Tidak pernah
mereka terasa melemahkan diri saya, tidak.. keluarga dari perempuan begitu juga, ga
pernah berfikir untuk melemahkan atau membuat kita pesimis. Justru membuat kita
optimis.”
(Responden 1B)

4.3.10 Dukungan dari lingkungan terhadap pasangan dalam menghadapi


masalah infertilitas
Selama wawancara, selain dukungan dari pasangan serta dari keluarga, bentuk
dukungan yang juga disebutkan adalah dukungan dari lingkungan sekitar seperti
tetangga. Hal ini diungkapkan oleh dua responden suami yang kedua istrinya saat
ini tengah mengandung.
“Tetangga-tetangga sini juga mereka supportingnya luar biasa juga”
(Responden 1B)

“Ya, lingkungan sebetulnya ga ada hmm mereka sebetulnya berempati juga terhadap
kita. Ga ada yang meledek. Jadi saya ga merasa rendah diri”
(Responden 4B)

4.3.11 Persiapan dalam menjalani terapi FIV


Saat diwawancara mengenai perjalanan mereka menjalani terapi FIV, beberapa
hal yang terungkap adalah beberapa hal yang mereka persiapkan dalam
menghadapi terapi FIV. Dari ketujuh responden istri yang mengungkap mengenai

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
56

persiapan FIV, kesemuanya secara seimbang menyatakan perlunya persiapan


mental atau finansial atau keduanya.
“memang yang paling utama itu mental..mental untuk memutuskan memulai bayi tabung,
dengan biaya mahal..kita semua tahu..juga dukungan dari suami paling penting”
(Responden 1A)

“soalnya kan biayanya gede juga mbak. Kalo ga berhasil juga udah abis, ya.. buat biaya
ini.. Mikirnya ke situ juga. Kadang mikir, untuk anak. Tapi kan kita hidup butuh realistis
juga.. jadi kesiapan finansialnya...Sama kalo hati ya, pikirannya”
(Responden 6A)

Kelompok responden suami mengungkapkan dua hal yang utama dalam


persiapan FIV yaitu membekali diri dengan informasi dan persiapan finansial.
Hanya dua orang responden suami yang menyebutkan persiapan mental sebagai
persiapan dalam menjalani terapi FIV.
“Kami sudah baca informasi-informasi..Psikologis istri dulu, mungkin pertamanya itu
kan ya..”
(Responden 1B)
“Cuma masalah finansial mah itu kudu penting. Mahal..Sebelum ke sini itu kita udah
cari tahu. Gimana caranya cari tahu”
(Responden 3B)

4.3.12 Kerahasiaan dan stigma tentang FIV


Dalam wawancara, beberapa dari pasangan lebih memilih untuk merahasiakan
kepada keluarga ataupun kerabat bahwa mereka sedang menjalani terapi FIV.
Beberapa alasan yang diungkapkan pasangan diantaranya adalah stigma yang
masih ditemukan di masyarakat.

“Karena saya, nanti keluarga saya pemahaman mengenai bayi tabung tuh masih..karena
saya ga menjelaskan juga, mereka pemahaman tentang bayi tabungnya masih aneh-aneh
gitu”
(Responden 4A)
Ada pula yang menyatakan mengenai kekhawatiran akan adanya “label” pada
anak mereka nanti.
“anak itu kita ga mau ada perlakuan yang berlebih. Artinya, kami itu punya mimpi
biarlah mereka itu terus seperti anak-anak yang biasa. Janganlah wah hasil ini, hasil
ini”
(Responden 1A)
Serta ada pasangan yang menyatakan alasan mereka untuk merahasiakan terapi
yang mereka jalani adalah untuk menghindari tekanan yang semakin bertambah
dengan semakin banyaknya orang yang tahu mengenai hal tersebut.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
57

“Soalnya makin banyak orang yang tau saya makin underpressure..ga bisa.. Minimal ya
keluarga aja sih yang tau. Soalnya kadang-kadang orang luar tuh, kan kadang kita ga
tahu, trus mereka suka nanya”
(Responden 6A)

“yang itu..khawatirkan.. ya itu ya, yang diceritakan istri pas kita ngobrol pertama tuh.
Namanya kalo ditanyain kalo berhasil ya alhamdulillah.. Kalo ga berhasil itu kan
namanya temen kan suka, kenapa sih..temen satu nanya, diceritain kan otomatis. Yang
satu lagi nanya.. yang keempat nanya.. yang kelima nanya. Kalo yang ditanyain secara
psikologisnya lagi..ya bisa dibilang sedih ya..mungkin, disuruh cerita lagi cerita lagi kan
bete juga”
(Responden 2B)

4.3.13. Dampak yang dirasakan terkait terapi FIV


Saat ditanyakan mengenai apa yang dirasakan selama menjalani terapi FIV,
pasangan mengungkapkan baik hal positif maupun hal negatif yang terjadi
beriringan dengan terapi FIV yang mereka jalani. Baik responden dari kelompok
suami maupun dari kelompok istri mengungkapkan bahwa dampak positif yang
mereka rasakan selama menjalani terapi FIV adalah hubungan mereka yang
menjadi lebih dekat.
“Ya maksudnya mungkin lebih berasa sekarang kali ya..karena mungkin karena lagi
program....Ya jadi ya lebih berasa ya kesabarannya, kasih sayangnya”
(Responden 5A)
“Malah lebih bersemangat ya. Lebih deket...Kita saling mensupport”
(Responden 4B)
Dampak negatif yang dirasakan ada yang berupa keluhan fisik seperti rasa lelah
dan penambahan berat badan, serta keluhan psikis seperti emosi yang tidak stabil.
“Melelahkan banget gitu..lelah banget. Sampe saya tuh pernah tidur di mushola, saya
tunggu suami saya pulang, lelah gitu”
(Responden 1A)
“kalo aku lihat ke fisik..nggak, kayanya badan aku ini melar. Jadi kayanya baju-baju tuh
pada sempiit selama kita menjalani program”
(Responden 7A)
Responden suami menyatakan dampak yang mereka rasakan diantaranya
adalah terganggunya pekerjaan, sebagaimana pernyataan berikut.
“Memang agak mempengaruhi maksudnya membatasi kerjaan gitu”
(Responden 4B)
Dampak lain yang diungkapkan oleh responden suami adalah timbulnya perasaan
tidak tega dan tidak adil dengan banyaknya prosedur yang dilakukan terhadap
istri.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
58

“Kebanyakan istri ya yang..yang akhirnya banyak berkorban, yang harus diterapi terus-
terusan. Padahal yang bermasalah saya, jadi dalam hati juga merasa ga fair, ga adil”
(Responden 5B)

4.3.14 Pandangan terhadap keberhasilan dan ketidakberhasilan terapi


Saat membicarakan mengenai hasil dari terapi FIV yang mereka jalani, hampir
seluruh responden menghubungkan keberhasilan mereka mendapatkan keturunan
nanti dengan rejeki dan kekuasaan Tuhan. Saat mereka mendapatkan hasil yang
tidak diharapkan pun hampir seluruh pasangan dengan senada mengatakan bahwa
hal tersebut sudah di luar kuasa mereka. Hal ini dapat dinyatakan oleh responden
istri, seperti berikut ini.

“Manusia bisa berusaha sebagaimana sejauh apapun, cuman kalo Tuhan tidak
berkehendak ya tetap aja, ya ga bisa kan”
(Responden 5A)

“kalo memang ga jadi berarti belum rejeki..Udah, udah pasrah, udah ikhlas”
(Responden 8A)
Dan juga oleh responden suami, seperti berikut ini.
“ya optimis aja, lillahi ta‟ala juga. kita apa namanya, pasrahkan saja...Tiba-tiba kan kita
ga ngerti ya, maunya Tuhan. Tuhan kan lain.”
(Responden 1B)

“ya intinya ya namanya usaha, namanya berhasil atau engga ya Tuhan aja yang tau”
(Responden 7B)

4.3.15 Kecemasan saat terjadi kehamilan


Dari seluruh pasangan yang menjadi responden baik untuk FGD maupun
wawancara, 3 orang responden telah dinyatakan hamil. Dari keterangan ketiganya
didapatkan bahwa setelah mengetahui bahwa mereka telah berhasil hamil, mereka
tidak langsung merasa lega dan justru mengalami berbagai hal terkait dengan
kondisi kehamilan yang sedang mereka jalani.
“kalo orang hamil manual mah kuat-kuat aja. Kalo kita kan beda ya mbak ya. Mungkin
kondisinya beda, karena saya ngalamin yang pertama, saya kuat, saya kuat, ternyata
yang di dalem bayinya ga kuat”
(Responden 1A)
“Dokter bilang kalo usia-usia di atas 35, kemungkinan terjadinya sindrom Down itu ada.
Ya..”
(Responden 4A)
“pas ketahuan positif besoknya malah mulai ada gejala-gejala, mual-mual, nyeri-nyeri,
dan suatu hari gejala itu hilang. Iya, kayanya itu deh yang bikin stres”
(Responden 8A)

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
59

Khusus para suami, dari responden kelompok suami mengungkapkan


bahwa mereka berusaha mengendalikan kecemasannya dengan mencari informasi
mengenai hal tersebut.
“Tapi selain itu saya browsing juga, bener gak sih sakit? Saya ngeri dok, entar cek
normal taunya gak normal kan? Saya browsing, oh normal”
(Responden 3B)

“Tapi istri ga puas. Ketemu dokter apa. Sampai dua minggu itu dia agak labil. Pokoknya
harus tanya sana-sini. Saya juga browsing. Tapi saya lihat, dari berapa ini, sebenernya
angkanya ga bermasalah”
(Responden 4B)

4.3.16. Hal-hal yang dipertimbangkan untuk kembali menjalani terapi FIV


Saat membicarakan apakah pasangan akan melakukan usaha melalui terapi FIV
ini lagi bila ternyata siklus kali ini memberi hasil yang tidak sesuai dengan
harapan, pasangan yang masih berada di tengah perjalanan proses menyatakan
belum mau memikirkan hal tersebut, sedangkan pada pasangan yang telah
menyelesaikan satu siklus, kebanyakan responden istri akan menyebutkan
motivasi untuk memiliki anak sebagai bahan pertimbangan.
“Motivasi yang utamanya adalah mau punya anak ya. Jadi kita mikirnya, apa namanya,
ya harus usaha ya. Kita kan harus berusaha, ya namanya usahanya nanti yang
menentukan kan”
(Responden 2A)

“Ya intinya sih, ya memberikan usaha terbaik ya semampu kita. Kalo memang mampu
menjalaninya ya jalani, toh dikasih rejeki salah satunya mungkin buat ini kali.. Ada
rejekinya ya udah, jalani terus”
(Responden 8A)
Sementara tanggapan dari responden suami lebih mengungkapkan hal-hal yang
praktis.
“karena sudah pertama itu. Karena berhasil kan ya walaupun tidak berhasil. Udah kita
anggap berhasil lah ya, karena faktor X aja...Yang pasti udah kita anggap berhasil itu.
Kita anggap berhasil itu, kita coba lagi”
(Responden 1B)

“Ya udah deh, yang terbaik secara medisnya gimana ya kalo kami sanggup ya kami
kerjakan gitu loh. Akhirnya, kemarin bayi tabung sampe berapa tuh, 3 kali, eh 2 kali
yang belum berhasil. Makanya sekarang ada..kita masih ada 2 embrio lagi, ya mudah-
mudahan sih”
(Responden 2B)

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
60

4.3.17. Kebutuhan akan pendampingan dan akses ke pelayanan


Dalam menjalani terapi FIV, hampir seluruh pasangan sepakat bahwa terapi yang
mereka jalani bukanlah terapi yang sederhana. Sepanjang perjalanan terapi
seringkali muncul pertanyaan, keraguan, ataupun kecemasan. Karena itu sebagian
besar pasangan mengharapkan pemberian informasi yang optimal, akses yang
mudah untuk mendapatkan pelayanan serta pendampingan psikologis terutama
pada fase-fase yang dianggap krusial.
Beberapa tanggapan dari responden istri adalah seperti berikut ini.
“kita butuh komunikasi, kita butuh teman-teman share”
(Responden 1A)

“kalau bisa, sebelum masuk, pasangan memutuskan bayi tabung, jadi oke mau bayi
tabung. Didampingi sama..yang ahli gitu kan, dijelaskan kalo bayi tabung itu seperti ini,
nanti ada dampaknya secara fisik maupun non fisik. Ada informasinya yang jelas. Kalo
kita dapat dari ahlinya kan juga kita jadi lebih aman, lebih tenang.”
(Responden 2A)

Beberapa tanggapan dari responden suami antara lain sebagai berikut.


“Pendampingan psikologi menurut saya itu bukan hanya pada waktu awal saja. Jadi itu
sangat diperlukan kayaknya. Misalnya, karena untuk sebagian orang, dia gak bisa
menerima dan malah makin down. Makin down, atau mungkin gak bisa bangkit, gitu”
(Responden 3B)

“Jadi ada semacam hmm call centre, tapi orang itu memahami betul permasalahannya”
(Responden 4B)

4.3.18. Pengaruh kultur terhadap penyampaian kebutuhan


Dalam wawancara, terdapat satu fenomena yang tertangkap dari sepasang suami
istri. Pasangan ini memiliki banyak hal untuk ditanyakan namun keduanya
terkesan kurang bebas dalam bertanya kepada dokter yang memberikan
pelayanan. Hal ini belum dapat tertangkap dari pasangan yang lain.

“Yaa tapi ga kepikiran, saya sih ga mau bertanya lebih lanjut...Jadi, saya begini sama
dokter, “tanyain ga?”, “jangan, jangan”. Dia ga mau.”
(Responden 4A)

“Kami juga setiap ke sini juga ga pernah berusaha nanya, dok bisa ga kontak langsung?
Enggak...Kita kemarin itu ga berpikiran untuk minta itu juga..Agak sungkan juga”
(Responden 4B)

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
BAB 5
PEMBAHASAN

Penelitian ini mendapatkan bahwa pada pasangan dengan infertilitas yang


menjalani fertilisasi in vitro di Klinik Yasmin RSCM Kencana 7,9% suami dan
18,4% istri mengalami gangguan mental emosional atau distres yang berpotensi
pada terjadinya gangguan jiwa apabila dilakukan pemeriksaan psikiatri lebih
lanjut. Hasil ini lebih kecil dari hasil yang didapatkan oleh penelitian sebelumnya
yang dilakukan di RSCM pada pasangan dengan masalah infertilitas di poliklinik
kebidanan RSCM oleh Purnamawati pada tahun 2004. Penelitian tersebut
mendapatkan bahwa gambaran proporsi depresi pada istri adalah 43,5% sementara
pada suami sebesar 15,2%5. Hasil ini juga jauh lebih kecil bila dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Guerra dkk pada studi perbandingan
morbiditas psikiatri pada pasangan infertil yang mendapatkan morbiditas psikiatri
pada 61,1% perempuan dan 21% laki-laki9. Hasil ini hanya sedikit berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Freeman dkk pada pasangan yang
menjalani FIV, yang mendapatkan bahwa 18% laki-laki dan 16% perempuan
menunjukkan adanya distres emosional. Hasil ini juga sesuai dengan hasil
penelitian Edelman pada pasangan yang baru memulai program FIV, yang
menunjukkan bahwa pada pasangan-pasangan tersebut hanya didapatkan sedikit
deviasi dibandingkan nilai normatif pada pengisian instrumen psikologis
terstandar sehingga disimpulkan bahwa pasangan yang datang untuk menjalani
FIV secara umum memiliki fungsi mental yang baik37.
Lebih tingginya distres yang didapatkan pada perempuan dibandingkan
pada laki-laki dalam penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian yang
menyatakan bahwa perempuan menunjukkan gambaran morbiditas psikiatri yang
lebih besar dibandingkan pasangan laki-lakinya dalam menghadapi masalah
infertilitas. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa keluhan somatik dan
penurunan energi lebih banyak dialami oleh perempuan. Hasil ini juga sesuai
dengan hasil yang didapatkan oleh Laffont dan Edelmann bahwa berdasarkan
pengisian General Health Questionaire distres lebih banyak dialami oleh
perempuan38. Dalam penelitian Eugster, perbedaan gambaran morbiditas ini

61
Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
62

dihubungkan dengan keterlibatan perempuan yang lebih besar selama


menjalankan prosedur FIV12.
Gejala yang paling banyak dialami oleh pasangan yang berpartisipasi
dalam penelitian ini adalah gejala ansietas. Hal ini sesuai dengan penelitian
Beaurepaire yang mendapatkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan
mengalami kecemasan selama menjalani FIV12. Pada wawancara, kecemasan
banyak diungkapkan oleh responden. Kecemasan tersebut berupa kecemasan akan
hasil transfer embrio, tentang prosedur suntik yang harus dijalani, serta kecemasan
sebelum menjalani prosedur operasi pengambilan telur. Pernyataan-pernyataan
tersebut sesuai dengan penelitian Brandt dan Zach, sebagaimana dikutip oleh
Eugster, yang menyatakan bahwa kecemasan yang dialami pasangan yang
menjalani FIV berkaitan dengan prosedur FIV sendiri, sejarah infertilitas
sebelumnya, ketakutan akan pengambilan sel telur, ketidakpastian terhadap
dampak hasil yang negatif terhadap perkawinan, serta kecemasan terhadap
kehamilan12.
Kecemasan juga tetap dialami oleh responden yang telah berhasil
mengalami kehamilan. Dari 7 subyek istri yang mengalami distres, 4 orang adalah
istri yang telah mendapatkan hasil βHCG tinggi dan dinyatakan hamil. Pada
wawancara didapatkan baik suami maupun istri merasakan kecemasan terhadap
kehamilan yang telah terjadi. Mereka merasa khawatir dengan perjalanan
kehamilannya, kemungkinan terjadinya kecacatan ataupun gangguan
perkembangan pada janin, dan cenderung menganggap bahwa kehamilannya lebih
rentan mengalami gangguan dibandingkan dengan kehamilan yang terjadi secara
alami. Gambaran kecemasan setelah mendapatkan kehamilan ini sesuai dengan
hasil penelitian sebelumnya oleh McMahon dkk yang mendapatkan bahwa para
ibu yang menjalani FIV memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi mengenai
keselamatan dan normalitas bayinya nanti serta kecemasan tentang kemungkinan
cedera lahir serta perpisahan setelah kelahiran39.
Pada penelitian ini gejala depresi lebih banyak dialami oleh perempuan
dibandingkan laki-laki. Namun gejala ini tetap lebih sedikit dialami perempuan
dibandingkan dengan kecemasan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Beaurepaire
dkk, sebagaimana dikutip oleh Eugster, bahwa penyebab tidak didapatkannya

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
63

depresi pada wanita yang menjalani terapi FIV adalah karena depresi merupakan
akibat dari perasaan kehilangan. Saat pasangan memulai terapi FIV, mereka
memulai prosedur dengan harapan tinggi dan harapan ini untuk sementara dapat
menekan perasaan kehilangan yang sebelumnya mereka alami dalam menghadapi
infertilitas12. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa hampir semua
subyek perempuan mengisi kuesioner saat mereka mendapatkan terapi hormonal
baik pada stimulasi folikel maupun setelah transfer embrio. Penggunaan hormon-
hormon ovarian telah diketahui dapat memengaruhi mood secara negatif, sehingga
kemungkinan pengaruh hormonal terhadap gambaran distres tidak boleh
diabaikan begitu saja. Keluhan mengenai pengaruh hormonal ini juga terungkap
dalam wawancara dan FGD12.
Pada subyek suami, dari 3 orang yang mengalami distres, 2 diantaranya
sedang berada dalam tahapan stimulasi folikel. Dalam wawancara didapatkan
bahwa prosedur suntikan yang diterima oleh perempuan membuat para suami
merasa tidak nyaman. Salah satu responden yang mengalami infertilitas laki-laki
mengatakan bahwa banyaknya prosedur yang dilakukan pada istrinya
menimbulkan perasaan bersalah dan tidak adil. Responden suami lainnya
mengungkapkan adanya perasaan tidak tega karena prosedur yang dijalani istri
terlihat menyakitkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Downey bahwa laki-laki
cenderung merasa tidak berdaya dengan prosedur terapi yang banyak dijalani oleh
pasangannya7.
Pada ketiga subyek suami yang mengalami distres, didapatkan bahwa
ketiganya mengalami masalah infertilitas baik secara tunggal maupun campuran.
Problem yang mereka alami adalah azoospermia dan teratospermia. Hasil ini
sejalan dengan hasil penelitian Chachamovich yang mendapatkan bahwa laki-laki
yang menyadari bahwa ia adalah pihak yang mengalami masalah infertilitas
memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak
menjadi penyebab dalam infertilitas8. Dalam wawancara, seorang responden laki-
laki yang mengalami infertilitas laki-laki mengatakan bahwa ia merasakan
perasaan bersalah dan tidak mampu setelah mengetahui bahwa dirinya mengalami
infertilitas.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
64

Dalam wawancara, saat dibicarakan mengenai arti memiliki anak, semua


pasangan menyatakan bahwa anak bermakna penting bagi mereka. Makna anak
dapat dikaitkan dengan nilai agama, nilai adat, kesempurnaan bagi wanita serta
keutuhan keluarga. Menurut agama Islam, salah satu tujuan pernikahan adalah
untuk mencari keturunan yang soleh. Hal ini karena umat Islam diperintahkan
untuk melestarikan bani Adam40. Nilai ini diungkapkan selama wawancara oleh
responden yang beragama Islam, baik oleh suami maupun oleh istri. Pentingnya
memiliki anak menurut adat diungkapkan oleh tiga orang responden yang bersuku
Batak. Salah satu responden bahkan menyatakan bahwa anak adalah segala-
galanya. Hal ini sesuai dengan nilai adat yang mereka anut. Menurut adat Batak
sendiri, anak dianggap tinggi artinya, terutama anak laki-laki, karena merupakan
penerus keturunan ataupun marganya. Bahkan dalam adat Batak Toba, tujuan
hidup ada tiga, yaitu banyak anak (hagabeon), kaya materi (hamoraon), dan
prestise (hasangapon)41.
Pada responden perempuan, didapatkan bahwa memiliki anak merupakan
penanda keutuhannya sebagai wanita dan terutama dikaitkan dengan nilai-nilai
orang Timur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kentenich yang dikutip oleh
Jordan dan Revenson bahwa memiliki anak biologis merupakan bagian intrinsik
dari alamiah perempuan26. Hal ini sejalan dengan apa yang kemudian
diungkapkan, bahwa lingkungan masih cenderung menyalahkan perempuan atas
kondisi infertilitas yang terjadi. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Greil
bahwa saat ditemukan adanya kemungkinan infertilitas, laki-laki akan merasa
dipermalukan dan perempuan cenderung akan disalahkan karena tidak dapat
hamil21.
Pada wawancara, didapatkan bahwa semua responden mengungkapkan
bahwa tidak ada tuntutan dari keluarga yang secara langsung mereka rasakan.
Namun tiga orang responden menyatakan bahwa mereka tetap merasakan tuntutan
terutama dari orangtua sendiri ataupun orangtua pasangan, walaupun tidak pernah
ada pernyataan dari orangtua mengenai hal tersebut. Pasangan, terutama dari
kelompok perempuan, merasakan bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang memiliki
anak membuat mereka merasa tidak nyaman dan tidak jarang membuat mereka
cenderung menghindari situasi sosial tertentu. Hal ini sesuai dengan penelitian

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
65

Greil yang mendapatkan bahwa pentingnya nilai anak di masyarakat dapat


mengakibatkan terjadinya penghindaran dan isolasi sosial pasangan demi
menghindari rasa sedih dan juga rasa iri yang akan timbul pada diri mereka7.
Dalam menjalani terapi FIV, lebih banyak pasangan yang memilih untuk
tidak menceritakan mengenai terapi yang mereka jalani. Hal ini dikaitkan oleh
responden ada kekhawatiran mengenai stigma, akan adanya perbedaan perlakuan
pada anak mereka kelak, serta tekanan yang mereka rasakan. Selain itu,
pandangan agama tertentu yang belum sependapat mengenai terapi FIV, membuat
pasangan memilih untuk tidak menyampaikan terapi yang mereka jalani ini
kepada pemuka tempat mereka beribadah. Beberapa pandangan agama mengenai
FIV ini memang masih belum seragam. Berbagai aliran Islam telah membolehkan
terapi ini selama melibatkan pasangan suami istri yang sah42. Gereja Reform
cenderung membolehkan karena perkembangan teknologi merupakan berkah dari
Tuhan dan pemegang kuasa kehidupan tetaplah Tuhan, sementara gereja Katholik
melarang karena hal tersebut dianggap mencampuri kuasa Tuhan13.
Saat dilakukan analisis bivariat untuk melihat hubungan antara faktor
demografi berupa suku dan agama terhadap terjadinya psikopatologi, didapatkan
bahwa nilai p>0,05 sehingga hipotesis awal bahwa suku dan agama berhubungan
dengan munculnya psikopatologi pada pasangan suami istri yang menjalani terapi
FIV tidak dapat diterima. Pada pengujian statistik terhadap hubungan durasi
infertilitas, jumlah siklus FIV sebelumnya, serta fase terapi yang dijalani dengan
munculnya psikopatologi didapatkan nilai p yang juga lebih besar dari 0,05
sehingga hipotesis awal bahwa terdapat hubungan antara durasi infertilitas, jumlah
siklus FIV sebelumnya, serta fase terapi yang dijalani dengan munculnya
psikopatologi pada pasangan suami istri yang menjalani terapi FIV tidak dapat
diterima. Hasil pada penelitian ini berbeda dengan gambaran yang didapatkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Laffont dan Edelman yang menyatakan
bahwa tahapan FIV secara bermakna mempengaruhi stres emosional yang dialami
pasangan baik bagi suami maupun istri38. Dari hasil wawancara yang dilakukan,
didapatkan bahwa pasangan-pasangan yang menjalan terapi FIV di klinik Yasmin
RSCM Kencana ini menyatakan pentingnya kesiapan mental mereka sebelum
memutuskan untuk memulai terapi. Hal ini dapat menjadi kemungkinan bahwa

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
66

tidak bermaknanya faktor demografi serta faktor kondisi infertilitas pasangan


terhadap terjadinya psikopatologi adalah karena pasangan telah memiliki kesiapan
mental yang baik sebelum memulai terapi.
Hal lain yang dapat memengaruhi didapatkannya hubungan tidak
bermakna antara munculnya psikopatologi dengan faktor demografi dan faktor
infertilitas tersebut adalah bahwa dari wawancara yang dilakukan, didapatkan
kebanyakan pasangan akan bereaksi sebagaimana seorang individu bereaksi
terhadap kedukaan dalam menghadapi infertilitasnya. Hal ini sesuai dengan
berbagai penelitian yang dikutip oleh Jordan dan Revenson bahwa infertilitas akan
menimbulkan berbagai reaksi seperti kemarahan, terkejut, penolakan, rasa
bersalah, frustasi, isolasi, serta kedukaan26. Dan sebagaimana reaksi kedukaan,
responden juga mengungkapkan bahwa mereka melewati fase-fase kedukaan
Kubler Ross, yaitu denial-bargaining-anger-depression-acceptance walaupun
mungkin tidak seluruh tahapan secara berurutan. Sebagian besar responden
menunjukkan bahwa mereka telah mencapai fase acceptance dengan menyatakan
bahwa mereka menerima kondisi infertilitasnya dengan kepasrahan dan rasa
ikhlas.
Fenomena lainnya yang didapatkan selama wawancara dan dapat menjadi
penyebab proporsi distres yang rendah serta hubungan yang tidak bermakna
antara faktor demografi dan faktor infertilitas dengan munculnya psikopatologi
adalah pandangan responden terhadap hasil dari terapi FIV yang mereka jalani.
Hampir seluruh responden menyatakan bahwa keberhasilan terapi merupakan
kekuasaan dan kehendak Tuhan. Bila memang belum berhasil, mereka
berpendapat berarti memang Tuhan belum memberikan mereka kebahagian itu,
dan yang manusia lakukan hanyalah berusaha sebaik-baiknya dan ikhlas dengan
hasil yang didapat. Fenomena ini merupakan bentuk religious coping yang positif,
sehingga pada pasangan yang mengalami kegagalan tidak terjadi rasa putus asa
dan berhenti berusaha. Hal ini sesuai dengan pernyataan Domar, bahwa agama
dan spiritualitas merupakan sumber daya yang penting bagi individu, dan
keyakinan religius yang kuat dapat membantu atau menghambat dalam koping
dan penyembuhan43.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
67

Hal lain yang tetap menjadi pertimbangan adalah kemungkinan terjadinya


bias dalam penelitian ini. Bias yang dapat terjadi pada penelitian ini adalah bias
seleksi, bias respons dan bias berksonian. Bias seleksi dapat terjadi karena
kecenderungan peneliti untuk mengambil sampel yang lebih kooperatif. Bias
respon dapat terjadi karena mereka yang setuju untuk berpartisipasi dalam
penelitian mungkin berbeda dengan mereka yang menolak untuk berpartisipasi.
Bias berksonian yang dapat terjadi karena sudah terdapat perbedaan probabilitas
pada mereka yang datang ke klinik44.
Saat dilakukan wawancara pada pasangan, terdapat perbedaan fenomena
yang terjadi pada kelompok subyek suami dan kelompok subyek istri, yaitu
masalah kualitas hubungan seksual. Sebagaimana telah tercantum pada bab
sebelumnya, topik ini pertama kali muncul pada FGD istri. Dan kebanyakan istri
mengatakan bahwa kualitas hubungan seksual mereka terpengaruh oleh terapi
fertilitas yang mereka jalani bahkan beberapa menyatakan mereka tidak
melakukan hubungan seksual selama menjalani FIV. Namun saat ditanyakan pada
pihak suami, semua responden menyatakan tidak ada masalah dalam hubungan
seksual yang mereka lakukan. Fenomena ini membawa kepada dua pertimbangan,
yang pertama, hal ini sesuai dengan penelitian Laffont dan Edelman bahwa
perempuan cenderung lebih terpengaruh dalam hal pekerjaan, kesenangan, dan
hubungan seksual dibandingkan laki-laki selama menjalani terapi FIV38, atau yang
kedua, terjadi efek Hawthorne dari kelompok laki-laki karena adanya stigma
infertilitas terkait maskulinitas sebagaimana diungkapkan oleh Dyer dkk 29,44.
Fenomena perbedaan strategi koping juga didapatkan dalam penelitian ini.
Para perempuan tampak banyak menggunakan strategi koping “emotion-focused”
dalam menghadapi masalahnya terkait infertilitas dan terapi FIV yang dijalani,
sementara para laki-laki banyak menggunakan strategi koping “problem-focused”.
Subyek istri banyak mengungkapkan tentang dukungan emosional, dan kebutuhan
untuk berbagi pengalaman dan perasaan untuk membantu mereka merasa lebih
nyaman. Saat ditanyakan mengenai persiapan dalam menjalankan FIV sendiri,
hampir seluruh subyek istri menyebutkan persiapan mental atau psikologis.
Sementara para suami, banyak mengungkapkan hal-hal yang bersifat praktikal.
Hanya dua orang suami yang menyebut tentang dukungan emosional pasangan

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
68

yang mereka dapatkan dalam menjalani masalah infertilitas yang mereka alami.
Saat ditanyakan mengenai persiapan yang mereka lakukan saat akan memulai
terapi FIV, kebanyakan suami menyatakan mengenai kesiapan finansial serta
pencarian informasi mengenai prosedur yang mereka jalani. Bahkan ketika
membicarakan pertimbangan untuk kembali melakukan FIV, saat kebanyakan istri
mengungkapkan alasannya adalah keinginan yang kuat untuk memiliki anak, para
suami lebih mengungkapkan pertimbangan seperti metode yang paling mungkin
berhasil ataupun keberhasilan usaha sebelumnya. Fenomena ini sesuai dengan
banyak studi yang dikutip oleh Jordan dan Revenson bahwa perempuan banyak
menggunakan strategi koping “emotion-focused” dalam menghadapi masalahnya
sementara para laki-laki banyak menggunakan strategi koping “problem-
focused”26. Potingger dkk menyatakan bahwa strategi koping direk yang biasa
digunakan pria lebih efektif pada situasi yang terkontrol sedangkan strategi
koping indirek yang biasa digunakan perempuan akan lebih efektif pada situasi
yang tidak terkontrol. Perjalanan terapi FIV ini sendiri merupakan situasi yang
terkontrol sekaligus tidak terkontrol, sehingga konseling dengan memperhatikan
perbedaan tersebut amat dibutuhkan45.
Fenomena lain yang didapatkan adalah bahwa hampir seluruh responden
suami memilih untuk menyimpan sendiri apa yang ia rasakan terkait dengan
masalah infertilitas yang mereka hadapi daripada menceritakan hal tersebut
kepada istrinya. Para responden suami mengungkapkan alasan yang serupa yaitu
kekhawatiran bahwa apa yang mereka ungkapkan akan menambah beban istri.
Gambaran ini sesuai dengan norma maskulin bahwa kebanyakan laki-laki akan
menekan emosinya sebagai usaha untuk mendukung pasangannya. Penarikan diri
dapat merupakan cara untuk berlindung dari rasa sakit pasangannya sebagaimana
diungkapkan Jaffe dan Diamond dalam kutipan oleh Wischmann dan Thorn27.
Kebutuhan akan pendampingan dan akses pelayanan diungkapkan oleh
hampir seluruh pasangan. Sementara responden istri tampak antusias dengan
bentuk peer support selain konseling individual terkait perasaan senasib dan tidak
sendirian, responden suami lebih memilih konseling individual karena merasa
tidak nyaman untuk membagi hal-hal pribadi dan emosional ke orang lain. Hal ini

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
69

sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rodriguez dkk dan Eugster dkk bahwa
intervensi psikososial perlu diberikan pada pasangan yang menjalani terapi FIV 12.

Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, didapatkan beberapa keterbatasan.
Beberapa keterbatasan yang dimiliki diantaranya adalah sampel yang dianalisis,
walaupun memenuhi perhitungan jumlah minimal sampel, memiliki heterogenitas
yang tinggi. Hal ini dapat berpengaruh dalam perhitungan statistik. Keikutsertaan
subyek dalam penelitian dilandaskan pada sifat sukarela sehingga bias respontidak
dapat dihindari. Lokasi penelitian yang terbatas pada satu tempat saja, walaupun
menjadikan sampel lebih homogen, menjadikan bias berksonian tidak dapat
sepenuhnya dihindari. Pada pelaksanaan pengambilan data kualitatif, metode yang
direncanakan tidak dapat dilaksanakan karena berbagai faktor. Hal ini dapat
menjadi pertimbangan pada penelitian berikutnya sehingga dapat diperoleh hasil
yang lebih optimal.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

6. 1. Simpulan
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa 7,9% suami mengalami distres, sedangkan
18,4% istri mengalami distres. Gambaran distres yang paling banyak ditemukan
baik pada suami maupun istri adalah berupa gejala kecemasan. Pada uji statistik
didapatkan bahwa hubungan antara faktor demografi yaitu suku dan agama, durasi
infertilitas, riwayat terapi FIV sebelumnya serta tahapan FIV yang sedang dijalani
dengan adanya psikopatologi masing-masing pada suami dan pada istri tidak
bermakna. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan kesiapan mental pasangan
sebelum menjalani terapi FIV, penerimaan pasangan terhadap kondisi
infertilitasnya, serta religious coping positif yang dilakukan oleh pasangan dalam
memaknai hasil dari terapi yang mereka jalani.
Hampir seluruh subyek yang diwawancara menyatakan betapa pentingnya
anak bagi mereka. Hal ini terkait dengan nilai agama, adat, ataupun nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Hal ini juga terkait dengan tetapnya dirasakan adanya
tuntutan untuk mempunyai anak, terutama oleh orangtua, serta adanya perilaku
menghindari pertemuan sosial akibat pertanyaan-pertanyaan mengenai anak yang
diajukan pada pasangan oleh para kerabat.
Didapatkan perbedaan strategi koping antara responden suami dan istri
dalam menghadapi infertilitas dan terapi FIV. Sebagian besar responden suami
juga cenderung untuk menguatkan dirinya agar tidak menyakiti pasangannya. Hal
ini sejalan dengan kebutuhan akan pendampingan dalam bentuk peer support
yang banyak diungkapkan oleh responden istri, sementara responden suami lebih
memilih konseling individu yang lebih menitikberatkan pada informasi.
Kebutuhan lain yang diungkapkan adalah adanya akses pelayanan yang mudah
dicapai baik berupa call center ataupun petugas khusus untuk membantu pasangan
saat menghadapi kendala di luar waktu konsultasi.

70

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


71

6. 2. Saran
Masih terdapat berbagai kelemahan dalam penelitian ini. Penelitian lanjutan
dengan subyek yang lebih homogen misalnya kelompok subjek yang menjalani
fase FIV yang sama, dengan jumlah sampel yang lebih besar dapat dilakukan.
Dapat dilakukan pula studi kohort yang menilai kondisi mental subjek saat akan
memulai terapi FIV yang dilanjutkan dengan penilaian berkala pada setiap
tahapan FIV sehingga gambaran stresor yang terjadi dan distres yang dialami akan
dapat terpotret dengan lebih jelas. Dapat pula dilakukan pengukuran dengan
instrumen yang lebih spesifik misalnya instrumen mengenai mekanisme koping
ataupun instrumen kualitas hidup seperti WHO-QoL sebagai pengukuran objektif
kondisi psikologis subjek/pasangan yang menjalani terapi FIV. Hal lain yang
harus dipertimbangkan adalah faktor kemampulaksanaan metode penelitian
sehingga akan didapatkan hasil yang lebih optimal.
Dapat disusun suatu prosedur standar pelayanan psikologis sebagai bagian
pelayanan komprehensif pada pasien yang menjalani terapi FIV terutama pada
fase-fase krusial seperti awal terapi, menjelang prosedur pengambilan sel telur,
sebelum dan setelah transfer embrio. Sebaiknya disediakan akses layanan seperti
call center, case manager atau kelas konsultasi berkala untuk memenuhi
kebutuhan pasien akan informasi dan penanganan segera pada keadaan yang
dirasakan mendesak.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
72

DAFTAR PUSTAKA

1. Hardy E, Makach MY. Gender, infertility and ART. Dalam Current


Practice and Controversies in Assisted Reproduction Report of a Meeting
on Medical Ethical and Social of Assisted Reproduction. WHO
headquarters. Geneva. 7-21 Sept. 2001; 272-8.
2. Notman MT, Nadelson CC, Reproductive choice and development:
psychodynamic and psychoanalitic perspective. Dalam Psychological
Aspects of Women’s Health Care The Interface Between Psychiatry and
Obstetrics and Gynecology. Washington DC:American Psychiatric Press.
2001: 365-73.
3. Newton CR, Hearn MT, Yuzpe AA. Motives for parenthood and respone
to failed in vitro fertilization: implications for counseling. Journal of
Assisted Reproduction and Genetics.1992; 9(1) :24-31.
4. Fritz MA, Speroff L. Female infertility. Dalam Clinical Gynecologic
Endocrinology and Infertility. Edisi kedelapan.Boston: Lippincott Wilkins
and Williams. 2011: 1137-81.
5. Purnamawati NWA. Perbedaan derajat depresi antara suami dengan istri
pasutri dengan masalah infertilitas di poliklinik kebidanan departemen
obstetri-ginekologi/FKUI/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (Tesis).
Jakarta: Universitas Indonesia.2004
6. Boivin J, Bunting L, Collins JA, Nygren KG. International estimates of
infertility prevalence and treatment-seeking:potential need and demand
for infertility medical care. Hum. Reprod. 2007; 22(6): 1506-12.
7. Downey JI. Infertility and the new reproductive technologies. Dalam
Psychological Aspects of Women’s Health Care The Interface Between
Psychiatry and Obstetrics and Gynecology. Washington DC:American
Psychiatric Press. 2001: 205-8.
8. Chachamovich JLR, Chachamovich E, Ezer H, dkk. Psychological distres
as predictor of quality of life in men experiencing infertility: a cross-
sectional survey. Reproductive Health. 2010; 7(3).

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
73

9. Guerra D, Llobera A, Veiga A, Barri PN. Psychiatric morbidity in couples


attending a fertility service. Hum Reprod. 1998; 13(6): 1733-6.
10. Wischmann T, Stammer H, Scherg H, Gerhard I, Verres R. Psychological
characteristics of infertile couples: a study by the „Heidelberg fertility
consultation service‟. Hum Reprod, 2001; 16: 1753-61.
11. Puscheck EE. Infertility. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/274143 pada tanggal 22 Oktober
2013.
12. Eugster A, Vingerhoets AJJM. Psychological aspects of in vitro
fertilization:a review. Social Science & Medicine. 1999; 48: 575-89.
13. Thompson C. God is in the details: comparative perpsectives on the
intertwining of religion and assisted reproductive technologies.Culture,
medicine and Psychiatry. 2006; 30: 557-61.
14. Lee HD, Lee HS, Park SH. Causes and classification of male infertility in
Korea. Clin Exp Reprod Med. 2012; 39(4): 172-5.
15. Wiweko B, Tania A. Infertilitas dan fertilisasi in vitro. Dalam: Best
Practices on Infertility Menopause PCOS Endometriosis Recurrent
miscarriage In vitro fertilization Adolescent gynecology abnormaL uterine
bleeding. Jakarta. Sagung Seto. 2012: 1-21.
16. Huang JYJ, Rosenwaks Z. In vitro fertilisation treatment and factors
affecting success. Best Oarctice & Research Clinical Obstetrics and
Gynecology. 2012: 1-12.
17. National Institute for Health and Care Excellence. Updated NICE
guidelines revise treatment recommendations for people with fertility
problems. Diunduh dari
http://www.nice.org.uk/newsroom/pressreleases/UpdatedGuidelinesRevise
FertilityTreatment.jsp Pada tanggal 2 Desember 2013.
18. Zhao Y, Brezina P, Hsu C, garcia J, Brinsden PR, Wallach E. In vitro
fertilization: four decades of reflections and promises. Biochimica et
Biophysica Acta. 2011; 1810: 843-52.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
74

19. Petrozza JC. Assisted Reproduction Technology. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/263907. Pada tanggal 2 Desember
2013.
20. El Kissi Y, Romdhane AB, Hidar S dkk. General Psychopathology,
anxiety, depression and self-esteem in couples undergoing infertility
treatment: a comparative study between men and women. European
Journal of Obestetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2013;
167: 185-9.
21. Greil AL. Infertility and psychological distres: a critical reiview of the
literature. Soc Sci Med. 1997; 45(11): 1679-704.
22. Dyer SJ, Abraham N, Hoffman M, Van der Spuy ZM. „Men leave me as I
cannot have children‟: women‟s experiences with involuntary
childlessness. Hum Reprod. 2002; 17: 1663-8.
23. Dyer SJ, Abraham N, Mokoena NE, Van der Spuy ZM.‟You are a man
because you have children‟: experiences, reproductive health knowledge
and treatment-seeking behavior among men suffering from couple
infertility in South Africa. Hum Reprod. 2004; 19: 960-7.
24. Fledderjohann JJ. „Zero is not good for me‟: implications of infertility in
Ghana. Hum Reprod. 2012; 27(5): 1383-90.
25. Parry DC. Women‟s experiences with infertility: the fluidity of
conceptualizations of „family‟. Qualitative Sociology. 2005; 28(3): 275-91.
26. Jordan C, Revenson TA. Gender differences in coping with infertility: a
meta-analysis. Journal of Behavioral Medicine. 1999; 22(4): 341-58.
27. Wischmann T, Thorn P. (Male) infertility: what does it mean to men?New
evidence from quantitative and qualitative studies. Reproductive
Biomedicine Online. 2013; 27: 236-43.
28. Johansson M, Adolfson A, Berg M dkk. Gender perspective on quality of
life, comparisons between groups 4-5.5 years after unsuccessful or
successful IVF treatment. Acta Obstet Gynecol Scand. 2010; 89: 683-91.
29. Dyer S, Lombard C, Van der Spuy Z. Psychological distres among men
suffering from couple infertility in South Africa: a quantitative assessment.
Hum Reprod. 2009; 24: 2821-6.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
75

30. Newman NE, Zouves CG. Emotional experiences of in vitro fertilization


participants. Journal of in Vitro Fertilization and Embryo Transfer. 1991:
8(6); 1991.
31. Connolly KJ, Edelmann RJ, Bartlett H, Cooke ID, Lenton E, Pike S. An
evaluation of counselling for couples undergoing treatment for in vitro
fertilization. Human Reproduction. 1993; 8: 1332-8.
32. Smeenk JMJ, Verhaak CM, Vingerhoets AJJM dkk. Stres and outcome
success in IVF: the role of self-reports and endocrine variables. Hum
Reprod. 2005; 20(4): 991-6.
33. WHO. A user‟s guide to the self reporting questionnaire. Geneva. WHO
1994.
34. Harpham T dkk. Measuring health in cost effective manner. Health Policy
and Planning. 2003; 18(3): 344.
35. Idaini S, Suhardi, Kristanto AY. Analisis Gejala Gangguan Mental
Emosional Penduduk Indonesia. Maj Kedokt Indon. 2009; 56(10): 473-9.
36. Hartono IG. Psychiatric morbidity among patients attending the
Bangetayu community health centre in Indonesia (Tesis). Perth: University
of Western Australia;1995
37. Edelmann RJ, Connoly KJ, Bartlett H. Coping strategies and
psychological adjustment of couples presenting for IVF. J Spychosom Res.
1994; 38(4): 355-64.
38. Laffont I, Edelmann RJ. Psychological aspects of in vitro fertilization: a
gender comparison. J Psychosom Obstet Gynecol. 1994; 15: 85-92.
39. McMahon CA, Ungerer JA, Beaurepaire J. Anxiety during pregnancy and
fetal attachment after in-vitro fertilization conception. Human
Reproduction. 1997; 12(1): 176-82.
40. Al-abror MI. Tujuan perkawinan dalam Islam. Diunduh dari
https://m.facebook.com/notes/sebutir-mutiaraseindah-wanita-sholehah-
ii/tujuan-perkawinan-dalam-islam/242567052465755 pada tanggal 19 Juni
2014.
41. Aritonang PCS. Kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak Toba
setelah berlakunya undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
76

perlindungan anak. (Tesis) Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas


Sumatera Utara. 2008.
42. Inhorn MC. Making muslim baby: IVF and gamete donation in sunni
versus shi‟a Islam. Culture, Medicine and Psychiatry. 2006: 30; 427-50.
43. Domar AD. The stress and distres of infertility: does religion help women
cope? Sexuality, Reproduction & Menopause.2005;3(2).
44. Vermooten H. Bias and confounding. Diunduh dari
http://www.ais.up.ac/za pada tanggal 17 Juni 2014.
45. Potingger AM, McKanzie C, Fredericks J, dkk. Gender difference in
coping with infertility among couples undergoing counsellin for in-vitro
fertilization treatment. West Indian Med J. 2006; 55(4): 237-42.

Universitas Indonesia
Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014
77

Lampiran 1

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


78

Lampiran 2

LEMBAR INFORMASI PENELITIAN

Dengan hormat,

Kami mengharapkan kesediaan Anda untuk berpartisipasi dalam penelitian


“Gambaran Psikopatologi dan Fakto-faktor yang Memengaruhi pada
Pasangan Infertilitas yang Menjalani Fertilisasi in Vitro di Klinik Yasmin
RSCM Kencana”. Sebelum Anda memutuskan untuk berpartisipasi, bacalah
terlebih dahulu dengan seksama lembar informasi ini. Bila diperlukan, Anda dapat
mendiskusikannya dengan pasangan, keluarga atau teman Anda sebelum
mengambil keputusan.

Telah diketahui bahwa infertilitas akanmenimbulkan stres psikologis pada


kebanyakan pasangan dan memengaruhi istri maupun suami serta mengakibatkan
berbagai dampak negatif dalam kehidupan. Kondisi infertilitas juga membawa
pasangan pada berbagai pemeriksaan dan prosedur medis lainnya yang
memengaruhi kondisi fisik, mental, serta ekonomi.Fertilisasi in vitro (FIV) sendiri
merupakan prosedur terapi yangkompleks dan menuntut secara fisik, emosional,
terkait dengan masalah etik dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, serta
memiliki angka keberhasilan yang relatif rendah. Untuk itu kami ingin melakukan
penelitian untuk mengetahui gambaran psikopatologi pada pasangan suami istri
yang menjalani program FIV serta mengetahui faktor risiko dan faktor
pendukungnya sehingga intervensi psikologis yang lebih terarah dan tepat
kebutuhan pada pasien FIV dapat dilakukan.

Apabila Anda bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini, maka Anda
akan diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan topik
penelitian yang telah disebutkan sebelumnya. Pertanyaan tersebut akan diajukan
dalam bentuk pengisian kuesioner, wawancara dan diskusi dalam kelompok.
Untuk memudahkan proses analisis, jawaban anda selama wawancara dan diskusi
dalam kelompok akan direkam. Semua data yang kami dapatkan akan kami jaga

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


79

kerahasiaannya. Apabila terdapat pertanyaan mengenai penelitian ini, Anda dapat


menghubungi:

Dr. Dyani Pitra Velyani – No telp. 08129175375

Terima kasih atas kesediaan Anda membaca lembar informasi ini.


Partisipasi Anda dalam penelitian ini sangat kami harapkan.

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


80

Lampiran 3

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

(FORMULIR INFORMED CONSENT)


Peneliti Utama : dr. Dyani Pitra Velyani

Pemberi Informasi :

Penerima Informasi :

Nama Subyek :

Tanggal Lahir (umur) :

Jenis Kelamin :

Alamat :

No. Telp (Hp) :

JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDAI

1. Judul Penelitian Gambaran Psikopatologi dan


Faktor-faktor yang
Memengaruhi pada Pasangan
Infertilitas yang Menjalani
Fertilisasi in Vitro di Klinik
Yasmin RSCM Kencana

2. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui fenomena


psikologis yang terjadi pada
pasangan suami istri dengan
masalah infertilitas yang
menjalani program fertilisasi
in vitro (FIV) dan mengetahui
bagaimana pasangan suami
istri memaknai masalah
infertilitas dan terapi FIV yang
mereka jalani

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


81

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

(FORMULIR INFORMED CONSENT)


3. Metodologi Penelitian Metode campuran kuantitatif
dan kualititatif berupa studi
potong lintang analitik dan
focus group discussion

4. Risiko & Efek samping dalam Tidak ada bahaya kepada


penelitian pasien dalam penelitian ini
karena tidak dilakukan
prosedur invasif

5. Manfaat Penelitian termasuk Dapat menjadi tambahan


manfaat bagi subyek penelitian pengetahuan dalam bidang
psikiatri khususnya bidang
consultation liaison psychiatry
(CLP) dan bidang obstetri
ginekologi khususnya bidang
infertilitas dan fertilisasi in
vitro, serta diharapkan dapat
mendukung pengembangan
intervensi psikologis yang
lebih terarah dan tepat
kebutuhan pada pasien FIV

6. Prosedur Penelitian Akan dilakukan wawancara


klinis, pengisian kuesioner
oleh subyek, serta focus group
discussion

7. Ketidaknyamanan subyek Tidak dilakukan prosedur


penelitian (potential discomfort) invasif pada subyek

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


82

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

(FORMULIR INFORMED CONSENT)


8. Alternatif penelitian -

9. Penjagaan Kerahasiaan data Peneliti akan mengganti nama


subjek dalam bentuk kode
angka (subyek 1, subyek 2,
dst..) dalam laporan sehingga
kerahasiaan data subjek akan
terjaga

10. Kompensasi bila terjadi efek Tidak ada risiko terjadi efek
samping samping pada penelitian ini

11. Nama dan alamat peneliti serta dr. Dyani Pitra Velyani,
nomor telepon yang dapat 08129175375
dihubungi

12. Jumlah Subyek 30 pasangan suami istri (60


orang)

13. Bahaya potensial Tidak ada bahaya kepada


subyek dalam penelitian ini
karena tidak dilakukan
prosedur invasif

14. Biaya yang timbul Subyek tidak dikenakan biaya


apapun

15. Insentif bagi subyek Insentif akan diberikan dalam


bentuk cindera mata

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


83

Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 dan 2 mengenai penelitian yang akan
dilakukan oleh..............................................................................................dengan
judul:......................................................................,informasi tersebut telah Saya pahami
dengan baik.

Dengan menandatangani formulir ini, saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam


penelitian di atas dengan suka rela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila suatu
waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun. Saya berhak membatalkan
persetujuan ini.

Tanda Tangan Subyek atau cap jempol Tanggal

Nama Subyek

Tanda Tangan Saksi/Wali Tanggal

Nama Saksi/Wali

Ket: Tanda tangan saksi/wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis, penurunan kesadaran,
mengalami gangguan jiwa, dan berusia dibawah 18 tahun

Saya telah menjelaskan kepada subyek secara benar dan jujur mengenai maksud
penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, serta resiko dan ketidaknyamanan
potensial yang mungkin timbul (penjelasan terperinci sesuai dengan hal yang saya
tandai di atas ). Saya juga telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait penelitian
dengan sebaik-baiknya.

Tanda Tangan Peneliti Tanggal

Nama Peneliti

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


84

Lampiran 4

KUESIONER BIODATA
Tanggal pengisian :

Data Sosiodemografik
Nama :
Usia :
Tempat/tanggal lahir :
Alamat/No telp :
Jenis Kelamin :

Pendidikan terakhir :
Pekerjaan :
Penghasilan per bulan :
Agama :
Suku bangsa :
Pernikahan ke :

Lama menikah : ............ tahun

Data Ginekologi
Apakah Anda pernah berkonsultasi untuk masalah infertilitas sebelumnya?
Bila ya, sejak kapan?
Bila ya, konsultasi sebelumnya di...

Jenis pengobatan yang sebelumnya pernah dijalani?


Apakah Anda pernah menjalani terapi fertilisasi in vitro sebelumnya?
Bila ya, berapa jumlah siklus yang pernah dilakukan?
Apakah Anda sudah mengetahui jenis infertilitas yang dihadapi?

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


85

Bila ya, apa jenis infertilitasnya?

1. Infertilitas perempuan
2. Infertilitas laki-laki
3. Infertilitas campuran
4. Lain-lain ...............................................

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


86

Lampiran 5

Self Rating Questionnaire (SRQ)-20

Petunjuk: Bacalah petunjuk ini seluruhnya sebelum mulai mengisi. Pertanyaan berikut
berhubungan dengan masalah yang mungkin mengganggu Anda selama 30 hari
terakhir. Apabila Anda menganggap pertanyaan itu Anda alami dalam 30 hari terakhir,
berilah tanda silang (X) pada kolom Y (berarti Ya). Sebaliknya apabila Anda
menganggap pertanyaan itu tidak Anda alami dalam 30 hari terakhir, berilah tanda silang
(X) pada kolom T (Tidak). Jika Anda tidak yakin tentang jawabannya, berilah jawaban
yang paling sesuai di antara Y dan T. Kami tegaskan bahwa jawaban Anda bersifat
rahasia.
Y T

1 Apakah Anda sering merasa sakit kepala?


2 Apakah Anda kehilangan nafsu makan?
3 Apakah tidur Anda tidak nyenyak?
4 Apakah Anda mudah merasa takut?
5 Apakah Anda merasa cemas, tegang, atau khawatir?
6 Apakah tangan Anda gemetar?
7 Apakah Anda mengalami gangguan pencernaan?
8 Apakah Anda merasa sulit berpikir jernih?
9 Apakah Anda merasa tidak bahagia?
10 Apakah Anda lebih sering menangis?
11 Apakah Anda merasa sulit untuk menikmati aktivitas
sehari-hari?
12 Apakah Anda merasa kesulitan untuk mengambil
keputusan?
13 Apakah aktivitas/tugas sehari-hari Anda terbengkalai?
14 Apakah Anda merasa tidak mampu berperan dalam
kehidupan ini?
15 Apakah Anda kehilangan minat terhadap banyak hal?
16 Apakah Anda merasa tidak berharga?
17 Apakah Anda mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup
Anda?
18 Apakah Anda merasa lelah sepanjang waktu?
19 Apakah Anda merasa tidak enak di perut?
20 Apakah Anda mudah lelah?

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


87

Lampiran 6

PEDOMAN WAWANCARA

Tentang Infertilitas

1. Berapa lama Anda telah menikah?


2. Setelah berapa lama Anda atau pasangan mulai berpikir mengenai kemungkinan
adanya masalah infertilitas?
3. Apa yang Anda ketahui tentang masalah infertilitas?
4. Siapa yang pertama kali mengusulkan untuk melakukan pemeriksaan?
5. Apakah saat ini Anda mengetahui apa yang menyebabkan masalah infertilitas yang
Anda alami?
6. Bagaimana reaksi Anda dan pasangan saat mengetahui bahwa Anda menghadapi
masalah infertilitas?
7. Apakah Anda menceritakan masalah ini kepada orang lain?
8. Perubahan apa yang terjadi dalam kehidupan perkawinan Anda?
9. Bagaimana perasaan Anda terhadap pasangan?
10. Selain dalam perkawinan, perubahan apa yang terjadi pada Anda sendiri?
11. Bagaimana relasi Anda dengan keluarga atau kerabat?
12. Apa yang Anda dan pasangan lakukan dalam menghadapi masalah ini?
13. Bagaimana pandangan Anda tentang arti memiliki anak?
14. Apakah Anda mendapat tuntutan dari orang-orang di sekitar Anda untuk segera
memiliki anak?
15. Dukungan apa yang Anda dapatkan?

Tentang terapi FIV


1. Apa yang Anda ketahui tentang terapi FIV?
2. Siapakah yang pertama kali mengusulkan terapi ini?
3. Siapakah yang mengambil keputusan untuk menjalani terapi ini?
4. Apa yang membuat Anda mempertimbangkan untuk menjalani terapi ini?
5. Apa yang Anda harapkan dari terapi ini?
6. Apa yang Anda khawatirkan mengenai terapi ini?
7. Apakah Anda terbuka pada keluarga dan kerabat Anda mengenai terapi yang Anda
jalani?
8. Dukungan apa yang Anda dapatkan dari orang-orang di sekitar Anda?
9. Dukungan apa yang Anda harapkan baik dari tenaga medis, pasangan, keluarga,
ataupun kerabat?
10. Pengaruh apa yang Anda ataupun pasangan rasakan dengan menjalani terapi FIV ini?

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


88

Lampiran 7

PENGOLAHAN DATA STATISTIK

OUTPUT ISTRI

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

agama * psikopatologi 38 100.0% 0 0.0% 38 100.0%

agama * psikopatologiCrosstabulation
psikopatologi Total

tidak ya
Count 19 7 26
Islam
% within agama 73.1% 26.9% 100.0%

Count 5 2 7
kristenprotestan
% within agama 71.4% 28.6% 100.0%
agama
Count 4 0 4
Katolik
% within agama 100.0% 0.0% 100.0%

Count 1 0 1
Budha
% within agama 100.0% 0.0% 100.0%
Count 29 9 38
Total
% within agama 76.3% 23.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-


sided)
a
Pearson Chi-Square 1.795 3 .616
Likelihood Ratio 2.938 3 .401
Linear-by-Linear Association 1.175 1 .278
N of Valid Cases 38

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


89

a. 5 cells (62.5%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is .24.

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

lama menikah new * 38 100.0% 0 0.0% 38 100.0%


psikopatologi

lama menikah new * psikopatologiCrosstabulation

Psikopatologi Total

tidak Ya

Count 5 4 9
< 5 tahun
% within lama menikah new 55.6% 44.4% 100.0%
Count 21 5 26
lama menikah new 5 - 10 tahun
% within lama menikah new 80.8% 19.2% 100.0%

Count 3 0 3
>10
% within lama menikah new 100.0% 0.0% 100.0%
Count 29 9 38
Total
% within lama menikah new 76.3% 23.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-


sided)

Pearson Chi-Square 3.362a 2 .186


Likelihood Ratio 3.781 2 .151
Linear-by-Linear Association 3.242 1 .072
N of Valid Cases 38

a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is .71.

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


90

Case Processing Summary


Cases

Valid Missing Total


N Percent N Percent N Percent

jumlahriwfivkat * 38 100.0% 0 0.0% 38 100.0%


psikopatologi

jumlahriwfivkat * psikopatologiCrosstabulation

psikopatologi Total
tidak ya

Count 15 7 22
0
% within jumlahriwfivkat 68.2% 31.8% 100.0%

Count 13 2 15
jumlahriwfivkat 1-3
% within jumlahriwfivkat 86.7% 13.3% 100.0%

Count 1 0 1
>3
% within jumlahriwfivkat 100.0% 0.0% 100.0%
Count 29 9 38
Total
% within jumlahriwfivkat 76.3% 23.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-


sided)
a
Pearson Chi-Square 2.005 2 .367
Likelihood Ratio 2.301 2 .316
Linear-by-Linear Association 1.941 1 .164
N of Valid Cases 38

a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is .24.

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


91

OUTPUT SUAMI

Case Processing Summary


Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

agama * psikopatologi 38 100.0% 0 0.0% 38 100.0%

agama * psikopatologiCrosstabulation

psikopatologi Total

tidak ya

Count 22 4 26
Islam
% within agama 84.6% 15.4% 100.0%

Count 5 2 7
kristenprotestan
% within agama 71.4% 28.6% 100.0%
agama
Count 3 0 3
katolik
% within agama 100.0% 0.0% 100.0%

Count 2 0 2
budha
% within agama 100.0% 0.0% 100.0%
Count 32 6 38
Total
% within agama 84.2% 15.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-


sided)

Pearson Chi-Square 1.801a 3 .615


Likelihood Ratio 2.448 3 .485
Linear-by-Linear Association .266 1 .606
N of Valid Cases 38

a. 6 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is .32.

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


92

Case Processing Summary


Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

lama menikahbaru * 38 100.0% 0 0.0% 38 100.0%


psikopatologi

lamamenikah_br * psikopatologiCrosstabulation

Psikopatologi Total
tidak Ya

Count 7 2 9
< 5 tahun
% within lamamenikah_br 77.8% 22.2% 100.0%

Count 23 3 26
lamamenikah_br 5 - 10 tahun
% within lamamenikah_br 88.5% 11.5% 100.0%

Count 2 1 3
> 10 tahun
% within lamamenikah_br 66.7% 33.3% 100.0%
Count 32 6 38
Total
% within lamamenikah_br 84.2% 15.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-


sided)
a
Pearson Chi-Square 1.328 2 .515
Likelihood Ratio 1.198 2 .549
Linear-by-Linear Association .002 1 .966
N of Valid Cases 38

a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is .47.

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


93

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent


jumlahriwfivkat * 38 100.0% 0 0.0% 38 100.0%
psikopatologi

jumlahriwfivkat * psikopatologiCrosstabulation

psikopatologi Total

tidak ya
Count 19 3 22
0
% within jumlahriwfivkat 86.4% 13.6% 100.0%

Count 12 3 15
jumlahriwfivkat 1-3
% within jumlahriwfivkat 80.0% 20.0% 100.0%

Count 1 0 1
>3
% within jumlahriwfivkat 100.0% 0.0% 100.0%
Count 32 6 38
Total
% within jumlahriwfivkat 84.2% 15.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-


sided)
a
Pearson Chi-Square .464 2 .793
Likelihood Ratio .611 2 .737
Linear-by-Linear Association .064 1 .800
N of Valid Cases 38

a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is .16.

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


94

Lampiran 8

MATRIKULASI WAWANCARA

RIWAYAT MENJALANI TERAPI

ISTRI

1A  memutuskan untuk program sebenarnya ketika saya 1 tahun menikah


ternyata saya tidak hamil ee dengan frekuensi berhubungan yang normal..
 mungkin 3 th sempat vakum, manual, sampe saya sempat ke alternatif, ke
teh mayang, semua usaha saya lakukan deh semuanya
 akhirnya kata dokter sekarang putusin, akhirnya mau apa..saya coba
insem..saya coba insem.ee insem gagal..sekali..akhirnya kata dokter ee
sekarang ibu mau apa karena sudah bersih..insem sudah, manual sudah,
akhirnya saya putusin waktu itu..kami memutuskan untuk ya udahlah
biayanya toh sama saja kalau insem beberapa kali terus akhirnya kami
memutuskan untuk bayi tabung

2A  akhirnya sejak 3 tahunan kurang lebih 2006, dan saya rasa juga kok
kayanya ada sesuatu..karena tiap bulan, hampir tiap bulan tuh saya kalau
menstruasi lumayan sakit..jadi saya denger-denger informasi juga..
 ..tapi yaa dari pada belum memulai akhirnya kita putuskan, berdua dengan
suami, ya udah kita coba ke dokter deh
 ya uda akhirnya 2 tahun yang lalu saya mulai intensif di sini, di yasmin

3A  udah coba aja di harapan kita sama dr.ini.. ya uda kita kesana, aku selesai
semuanya dicek
 ..ya udah de suami dicek
 trus aku pikir, emang harus ya bayi tabung

4A  saya kalo kata temen saya gini ya nanti aja deh kalo kita menikah atau
menjelang menikah baru kita treatment, ternyata itu salah..
 begitu tahun 2006 saya ikut
 dua tahun terakhir kita kontinu, tahun-tahun belakangan ini, ini kan saya
mulai 2013, 2011 2012 itu saya udah niat
 begitu ketemu dr.Andonnya, ya maksudnya dikasi tahu kalo prosesnya
hampir sama, kecemasannya hampir sama, mengingat usia, kita putuskan
untuk bayi tabung. Nah saya udah, bikin, memberi tahu tempat kerjaan
saya mau cuti. Jadi saya ambil cuti tuh di akhir tahun. Jadi saya cuti
November, eh Oktober, November Desember Januari.

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


95

5A  Pas kita udah tahu, wah udah setahun nih masih belum punya, langsung
memutuskan untuk ngecek
 Cuman kita memang, udah terpikir sih dengan kondisi seperti itu, kayanya
sih, insem atau pun cara normal ataupun insem udah susah ya jadinya. Kita
udah kepikir memang yang ke arah sini gitu loh

6A  setelah setahun de rasanya ga ada ini, ke dokter. Ke dokter terus kontinu


aja terus tuh kalo misalnya ini ke dokternya.
 soalnya agak banyak juga dokternya yang ini. Dari mulai ke Bunda, terus
yang di cipinang juga pernah. Terus yang di daerah kuningan itu ya, trus
pindah lagi. Ya lumayan banyak dokter deh
 Terus ada tindakan histeroskopi, terus nyampe Jakarta seperti biasa ya,
sampe terakhir ke dr.B

7A  sepertinya menjelang 2 tahun deh


 Udah pokonya semua kita cari.
 Jadi yang dulu ke sana, denger-denger sudah banyak keberhasilan. Jadi kita
ke sana.
 Jadi kita itu sudah lama dari berapa dokter ya..sudah lama. Jadi sebenarnya
kalo usaha terakhir ya bagi kita, bayi tabung ini.

8A  Tahun kedua menikah, belum hamil juga, kami akhirnya memutuskan untuk
konsul, cari tahu apa masalahnya
 dari pemeriksaan hormon sama HSG
 Coba 2 kali penyubur
 2011 kemudian dinyatakan oleh dr.I ASAnya tinggi. Itu, terapi nurunin
setahun
 insem di Singapur tahun 2012
 Bulan April merasa siap, kami putuskan untuk IVF di sini

9A  kemudian pada tahun ke dua kok belum kemudian saya berpikir untuk
kontrol ke dokter obgin mungkin pertama begini apa namanya tes hormon
dululah
 tidak ada hasil maka saya coba tes lagi, saya tes lagi apa itu namanya pada
dasarnya apa sih namanyanya saya lupa seperti daya tahan sperma
bertahan di dalam kandungan tu berapa lama
 saya coba lagi mungkin tes torch, toxo, rubelle, clamidia, herpes
 saya coba lagi ee saya ikut HSG
 kemudian saya coba lagi IUI inseminasi buatan mungkin 3 kali dan itupun
belum akhirnya saya putuskan buat bayi tabung

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


96

SUAMI

1B  Sebenarnya sejak tahun pertama ya kita mulai wira-wiri ke anu ya, ke


dokter apa..dokter ya untuk menanyakan gimana-gimana
 Di tahun ke empat baru kita.. ya kita ke yasmin itu mencoba untuk
rekomendasi
 Nah kalo itu pertama kan insem dulu, tapi lalu pada awalnya kan ada kista
tu, jadi harus operasi. Ya jadi operasi setelah operasi itu bayi tabung

2B  setelah pernikahan ke dua apa ketiga ya.. ya, setelah 2 tahun lah, kok
belum-belum juga nih? Kami akhirnya memutuskan ke dokter. Jadi biar
ada, penjelasan secara medisnya gitu loh

3B  Sebenarnya awalnya cuma berusaha hamil aja, anak. Tapi kok gak gol-gol
nih? Kayak ada yang salah, gitu kan. Kita berdua merasa nih yang salah, ada
apanya? Kita usaha pertama ke Harapan Kita.
 Coba ke Brawijaya, ke dokter.
 coba kita inseminasi dulu. Inseminasi dulu, kemarin coba, gak berhasil kan.
Yaudah, mau gak mau emang kalau kayak begini, bayi tabung

4B  Jadi berusaha normal ke dokter. Udah ke dokter anak. Udah berusaha


untuk normal aja. Turun naik lah semangatnya. Kadang ke dokter..
 Dalam perjalanan itu waktu tahun 2000...2000 berapa ya hmm sekitar
empat tahun yang lalu lah sempet hamil. Cuma dua bulan. Ketika dicek,
kalau terlihat ada kehamilan lah gitu, dicek cuma belum ada detak jantung.
 Terakhir memutuskan untuk bayi tabung itu, jadi semangatnya udah turun
naik itu
 Tahun kemaren. Agustus lah apa ya.. Nah semenjak mulai dr. Anton bilang
itu, kita mulai mikirkan untuk program itu

5B  Ketika 1 tahun nyoba nggak juga, ya kemudian kami memeriksakan diri.


Gitu aja sih..

6B  Terus kita mulai itu setelah satu tahun setengan ya? eh satu tahun. Hm’eh
baru mulai ke dokter
 kemaren saya konsultasi sama dr. B, katanya ngga ada masalah ya. Hanya
waktu itu saya sempat ke dr. I juga, IJr. Menurut beliau katanya anti-body
saya terlalu tinggi
 terus saya konsultasi kebeberapa dokter
 sempat sampe PNI segala macem sih waktu itu

7B  apa yah, dua atau tiga tahun gitu lah perasaan. Pernikahan ke tiga, dua atau
tiga tahun gitu lah.

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


97

 Ya udah, kami juga empat-lima bulan..empat bulan ya, kurang lebih begitu,
ya diatur lah.
 Ya terapi-terapi kedokteran begitu lah ya. Itu yang pertama yah, baru yang
ke dua ke alternatif gitu ya.
 ada dokter Andrologi juga di Tangerang
 Terakhir itu di sini. Sebelumnya itu kami juga pernah ke Bunda, Bunda juga
begitu. He’eh, sampai inseminasi saat itu.

MAKNA MEMILIKI ANAK

ISTRI

1A  saya sudah merasa bersyukur karena saya sudah bisa menjadi ibu saat itu
selama 20 hari

3A  mau gimana juga hayuk untuk menjemput si baby ini..hayuk..

5A  anak itu mungkin bagi aku penting juga sih. Karena.. yang pertama dia
meneruskan ee meneruskan keturunan kan, kedua terus, kayanya bagi
wanita juga, kalo ga punya anak kayaknya gimana, kayaknya ga lengkap.
Apalagi kita orang Timur

6A  Ya jadi wanita sempurna lah


 Karena keluarga utuh itu kan lengkap ama anak

7A  untuk kita orang Batak. Anak itu sangat berarti. Artinya untuk meneruskan
keturunan, ehm, makanya kita yah gimana lah caranya, yang penting kita
punya keturunan.Tetap harus dijalani. Emang harus paling penting..

8A  investasi ya, investasi akhirat maksudnya..investasi akhirat dan dunia. E


bilang akhirat dulu karena memang ee ya anak bisa membawa orangtuanya
ke syurga, dan investasi dunia karena salah satunya ada rasa memang apa
ya, mungkin memang kodratnya suami istri gitu ingin menyalurkan rasa
sayang gitu, ingin juga seperti orang lain, gitu, mengandung, melahirkan,
membesarkan anak, mendidik mereka, dan mempunyai harapan-harapan
untuk mereka, harapan yang baik gitu.

9A  mungkin pertama dari darah daging saya sendiri jadi jelas dari keturunan
siapa bapaknya mana ibunya mana sifat-sifatnya seperti apa oh itu anak
saya itu yang saya inginkan, ya meneruskan generasilah

SUAMI

1B  kalo anak itu.. ya luar biasa ya.. Itu kan yang melanggengkan komunikasi

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


98

kita kan, itu yang pertama. Yang kedua itu ya mewarisi kehidupan kita,
kehidupan kedua setelah kita nanti kan mereka yang lanjutin kan
 penting itu, sangat penting..

2B  anak itu kan kita mengacunya kan ke agama ya. Sebagai penerus, yang
nanti mendoakan. Doa yang tidak ada habisnya kan sampai di akhirat nanti
kan doa anak. Juga sebagai ya kebanggan juga ya, sebagai penyejuk mata,
penghibur hari, dan juga ya namanya anak itu kan satu-satunya untuk
meneruskan keturunan.
 .. Jadi, sangat didambakan kami gitu ya..

3B  Jadi kalau saya, sangat penting itu karena saya anak tunggal. Mau gak mau
kan saya harus punya keturunan. Kalau gak punya keturunan, putus di saya.

5B  Salah satu tanda keberhasilan jadi saya masih merasa bahwa memiliki anak
adalah salah satu tanda keberhasilan dalam hidup sih

6B  misalnya kan yang utama ya keturuankan ya, terus juga ya kalo ngga ada
itu kan jadi sepi drumah, gaada yang digodain hehe, gaada yang diajak main
gitu, biasanya kan gitu

7B  Saya sebagai orang Batak ya bagi saya anak adalah segala-galanya, ya gini-
gini sih gak terlalu mempengaruhi saya

DAMPAK PSIKOLOGIS INFERTILITAS

ISTRI

2A  kalo sendiri kan kita rasanya, aduh kita yang paling malang di dunia gitu
kan. Kok orang lain mau punya anak ga gini-gini banget
 Makanya saya kalo mau reuni atau apa tuh, suka agak mikir. Soalnya
pengen ketemu, tapi kan yang ditanya pasti bukan apa, bukan apa. Pasti,
“berapa, anaknya udah berapa?”
 Bebannya itu aja

3A  Apa...nggak terlalu berubah ya pola hidupnya yang sekarang yang belum


punya anak sama yang dulu.

5A  ee yang pertama sih syok ya, kaget, gitu


 Ya sedih juga, tapi ya gimana
 Ya pertama sih kita optimis gitu, nyari, apa yang harus kita lakukan, gitu
gitu, gitu-gitu lah.
 kalo nyalahin Tuhan sih ada
 Maksudnya kita juga menjalani hidup nggak..nggak amburadul gitu. Gitu

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


99

maksudnya, nah kita juga maksudnya beragama juga, agama kita juga
lumayan kuat gitu. Sama-sama pelayanan gitu kan. Nggak, nggak
melakukan hal-hal yang gimana gitu. Jadi, kenapa hal ini terjadi?
 setelah lama-lama ya udah, pasrah deh, berserah. Kita percaya Tuhan tuh
punya rencana pasti yang terbaik lah mau seperti apapun
 ya pandangan orang kita yang Timur itu kan kalo misalnya ga punya anak,
cewenya yang disalahin kan. Aku ga mau kayak gitu

6A  Seneng sih ketemu masalahnya. Cuman kita, kok baru ketahuan sih? Kan
sekian tahun kok hanya dokter Singapur yang tahu, kenapa? Gitu aja sih.
 Cuma ya kaget aja
 pasti lah.. Orang berusaha untuk menghindar kadang-kadang. Maksudnya
nggak menghindari sih, maksudnya, kalo lagi down itu aja sih. Kalo lagi
itunya sih nggak, kalo lagi down aja..

7A  ya kita cari aja, ya sama aja. Gimana penyakit sih, ya harus kita basmi. Kita
kan mikirnya gitu

8A  udah langsung syok waktu itu


 sepasang suami istri belum punya anak juga, secara tidak sadar juga
menyalahkan perempuan. Itu sekali-sekali E rasakan dan sedikit membuat
E jaga jarak dengan keluarga mertua.
 buat E sedih, gitu.
 secara tidak sadar menyalahkan perempuan, gitu.
 Agak merasa terbebani, karena mereka sangat berharap, sepertinya sangat
berharap, gitu.
 Dulu sih E kayak ada, rasa khawatir kalo misalnya ada acara ketemuan sama
temen-temen gitu, karena belum punya anak juga gitu. Dan juga dulu
rasanya, aduh pengennya ga usah hadir gitu.

9A  saya ga bisa menyalahkan siapa2 yang penting berusaha terus


 saya juga tidak bisa menyalahkan suami pun juga tidak bisa menyalahkan
saya kenapa saya seperti ini, saya pun juga tidak tau itu juga bukan urusan
saya lagi
 saya pernah dalam keadaan menghindari teman-teman saya menghindari
orang-orang yang bertanya kepada saya
 saya tidak bertanya gimana anaknya, gimana ininya saya menghindari
pertanyaan

SUAMI

1B  Tapi kalo secara emosional sih ya memang, kalo pasangan tuh ga memiliki

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


100

anak ya.. agak goncang ya..


 Apalagi kalo misalnya melihat teman-teman yang sudah punya keturunan
semua.. Ya pastinya kita merasa agak ada yang kurang dari kita.
 Ga mungkin pesimis gitu kan bu, terus berusaha dengan sekuat tenaga, ya
terus melakukan dengan cara normal ya terus kita lakukan.
 lihat facebooknya teman-teman sudah punya anak berapa. Ya, kita merasa
anu kan, minder gitu.. Tapi bagaimanapun ga bisa minder aja, harus bangkit
kan untuk mencari solusinya itu.
 mempengaruhi mungkin, ga terlalu kuat ya.. Ada, ada, tapi tidak terlalu
kuat kita untuk.. menghindari dirI

2B  kalo ketemu keluarga, ketemu temen yang ditanya pasti anaknya udah
berapa, nah itu kan terasa juga ya.. ya

3B  Kalau saya sih reaksinya, berusaha untuk jaga obatnya dulu kalau bisa.
Kalau enggak, ya mau gak mau kita cari alternatif lain. Mau gimana? Tapi
gak ada perasaaan yang, aduh kok begini amat ya. Enggak, gak ada begitu

4B  Saya melihat kakek saya sampai akhir hayat dia ga punya keturunan dan dia
tidak mengambil anak. Yaudah selesai. Hidupnya ga ada cerita lanjutnya.
Dari situ saya kadang...
 Ya perasaan saya berat

5B  ya kaget juga sih, kaget sih, ga nyangka sih. Ya harapannya sih normal ga
ada masalah, cuman kecapean aja, lagi sibuk..
 aku sendiri jujur pas awal-awal pasti ada rasa salah juga sih, ada rasa
rendah diri juga sih
 mental itu atau beban mental ketika pertama kali dibilang ini ga subur, itu
pasti buat orang menunjukkan salah satu kelemahan. Ketidakmampuan
seseorang baik itu istri maupun suami. Itu salah satu pasti rasanya jatuh.
Saya juga waktu itu saya jatuh banget itu, tapi setelah istri responnya bagus
saya bisa bangkit dengan cepat

6B  saya cuman anggep aja kaya apa, istilahnya kado lah ya mungkin belum
dikasih aja sih
 istri saya biasanya rada-rada gimana gitu. Jadi istilahnya kan kaya orang ,
nggak inget jadi diingetin

KOMUNIKASI DENGAN PASANGAN

ISTRI

2A  baru 2 bulan lalu saya ngobrol dengan suami dan kita putuskan, apalagi kita

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


101

ada nyimpen satu lagi eh 2 lagi,kita coba mulai lagi yang ketiga

6A  ee berdua, discuss..
 Paling saat-saat lagi down aja, itu kita ngedeket.. ya udah kita bareng-
bareng..

7A  kita menjalani, kita cerita begini begini begini, bagaimana

9A  sebenarnya itu kita kompromi berdua, karena kan mungkin kita coba
dengan cara yang ini, kebetulan suami juga ditest juga
 sampai sekarang Alhamdulillah kami berusaha berkomunikasi

SUAMI

1B  Karena juga komunikasi selalu kita bangun dengan baik.


 Yang utama saya ga berhenti-berhenti kalo istri lagi down kuatkan lagi.
Begitupula kalo saya agak galau atau gimana-gimana, istri menguatkan.
 emm saya sendiri, saya simpan sendiri

2B  Biasanya saya, saya simpen sendiri aja sih ya..


 Kalo saya cerita takutnya ntar istri malah tambah, tambah merasa..biar
gimana kan. Jadi biasanya nggak saya cerita sih.
 sebagai kepala rumah tangga itu kan ya artinya setidaknya ya tegar ya,
walaupun sebenarnya ya ini juga

3B  Ya emang harus begitu. Kalau tahu saya takutnya, nanti kalau tahu
istri..saya gak mau lagi. Kalau istri saya tahu, sebelah kita yang, yah dia
udah begini lagi, begitu. Kasihan.

4B  lebih banyak saya ini sendiri, karena saya ga cerita, istri saya lebih banyak
sharing sama saya gimana perasaan dia. Kalau saya kadang tidak mau
membebani, menambah beban dia.
 Saya ga bisa sharing gitu, saya khawatir membebani. Cukup lah istri saya
yang cerita sama saya
 Sebenernya miris juga tapi itu tidak ditampakkan terhadap istri.
 Justru yang saya rasain saya menunjukkan supaya tidak terlihat lemah di
samping istri. Berkeluh kesah tentang ga punya anak, hampir tidak saya
lakukan.

5B  Tapi itu sebisa mungkin aku ga tunjukin ke istri.


 kalo misalnya saya menunjukkan apa ya..ketidak..kerendahan diri, itu pasti
akan memukul buat dia juga

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


102

6B  ya paling biasanya kalo itu saya ya bilang aja sabar terus kita keluar makan
biar dia lupa aja gitu
 Kalo saya terlalu nuntut juga takut mentalnya takut itu nanti down malah
itu
 kalo kepikiran ya pastilah, tapi kan saya mencoba untuk istilahnya kaya gak
mikir gitu, padahal didepanya saya pura-pura nggak maksudnya gaada
masalah tapi, ya intinya pasti dalem hati pasti kepikiran juga sih
 Takutnya kalo saya tunjukin, takutnya malah beban kan kasian juga

DUKUNGAN DARI PASANGAN

1A  Suami saya tuh dikit-dikit saya ga boleh ngapa-ngapain, malah justru saya
ga suka kayak begitu.
 Justru karena suami ya, yang terlalu protektif

2A  ya alhamdulillahnya sih suami saya juga sangat mendukung juga memberi


semangat ya

3A  trus, suami juga mau kerja sama..ya udah kapan mau ambil sperma, udah
langsung aja, udah siap, dia udah tau diri, kapan mau diambil dia udah
siapin beberapa hari sebelumnya..untungnya bekerja sama banget

5A  ehm, yang pasti sih dari suami ya..ya dia sih support banget

7A  Sampe suami saya aja menjaga saya kayak menjaga emas kalo saya bilang.
“udah makan belum? Jangan kerja yang berat”..gitu..

8A  insya Allah sih suami ee ya insya Allah kami berjanji akan tetap bahagia
apapun takdir dari Tuhan
 dia tidak demanding, dan selalu ee suportIf gitu. Ketika memang E butuh
beliau untuk ada di sini, ya beliau datang

9A  mau ga mau support secara emosional itu lebih penting, mungkin dengan
mengantarkan, mungkin dengan mendengarkan cerita saya atau dengan
support ya sudah dicoba lagi mungkn belom rejekinya, memberi semangant
ke saya dengan memberikan apapun yang saya butuhkan seperti materi
 mungkin support suami dia nungguin saya, dia dengerin cerita saya
bertanya ke dokter dia menanyakan kepada siapa saja alternatif-alternatif
di luar kedokteran dluar dunia medis mungkin ada yang bisa bantu saya
atau bagaimana dia selalu berusaha seperti itu

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


103

SUAMI

5B  dukungan paling besar? Dari istri..


 dia kasih support, ini bisa ditangani, kita bisa cari tahu masalahnya apa,
penyebabnya apa..gitu-gitu sih

7B  kami gak pernah..apa namanya..ya bilang ‘kamu yang salah’


 sejauh ini kita tidak pernah bertengkar soal ini

KUALITAS HUBUNGAN SEKSUAL

ISTRI

1A  Suami ke luar kota. Terus, uda pulang uda tinggal sisa berapa hari. Udah
gitu, udah tinggal sisa satu hari, udah gitu pulang kan pasti capek, ya Allah
ga dapet jatah lagi deh (tertawa). Ya ga dapet deh, ya udah. Ya kadang sih
saya suka marah

2A  terpengaruh, jadi kan kayak kalo model hubungan kayak gitu yang utama
kan kita enjoy, jadi..ini kan karena udah dijadwal dan jadi ada keharusan ,
harusnya itu..jadi mau ga mau harus nih sekarang, jadi ga rileks gitu kan.
(tertawa) jadi malah kurang menikmati lah

3A  tiap bulan nunggu,harinya, 3 kali sehari harus berhubungan bla bla bla..dari
yang tadinya enjoy lama-lama jadi kaya..(tertawa)..terjadwal..aduh
harus..ntar sore aja deh, ntar sorean ya..jadi kayak ada waktunya gitu

4A  secara kalo dokter bilang kalau memang mau alami, dilihat, yaitu tadi nanti
Prnya dikerjain ya, saya harus berhubungan dok, sedangkan suami saya
juga sering keluar kota jadi udah waktu ini, telpon, pulang ya..kita mau
ngapa-ngapain juga ketawa-ketawa aja.
 .. Sampai sekarang, sejak mulai, mulai proses sampai sekarang kita ga
pernah berhubungan.
 suami saya berpikiran, takut melukai
 tapi itu juga ga jadi prioritas kita

5A  kalo yang pas lagi program sampe yang sekarang ini nggak. Kita memang
sengaja nggak

6A  Cuman memang kalo lagi pas saat..pada saat bapaknya capek, cuman
kitanya pengen, itu aja sih yang problem keluarga. Enjoy aja sih

8A  itu memang berasanya seperti kewajiban cuman tetap bisa dinikmatin lah,

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


104

gitu.

CARA MENGATASI PERASAAN NEGATIF TERKAIT INFERTILITAS

ISTRI

9A  kadang saya bercerita kepada orang lain yang mempunyai masalah dengan
saya walaupun masalahnya kadang berbeda tetapi kita berusaha hamil
dengan orang-orang yang seperti itu saya curhat saya bercerita kepada
orang-orang seperti itu.
 kadang kan kita ikut group dimana kita cuman curhat-curhat saja lewat sini
bisa lewat sini bisa saling menguatkanlah tidak hanya saya saja rupanya

SUAMI

1B  kita bawa enjoy kumpul semua aja. Nah kalo tiap-tiap tahun ajaran baru itu
kita beliin mereka bulpen, pensil lengkap itu. Nah senang mereka. Ya
senyumnya mereka itu senyum buat kita juga ya. Senangnya mereka
itu..buat kita enjoy aja

5B  ya udah kita cari tahu sih, tentang penyebabnya dan penanggulangannya


gitu.
 Cuma berdoa sih, ke arah rohani.

TUNTUTAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN

ISTRI

2A  cuman justru yang saya rasa dari lingkungan di luar keluarga.. Jadi, teman-
teman meskipun secara mereka ga ada tujuan apa ya nanya gitu

4A  suka ditanyain keluarga “kapan kamu?kapan kamu?”


 ini dipijit tolong ini nih belum punya anak.
 kebetulan saya anak pertama, cucu pertama gitu ya..cucu pertama dari
keluarga ibu saya tapi kalo dari keluarga suami ada yang bermasalah juga

6A  nggak sih cuman kitanya berasa ada..


 Dan mama papa juga, dari pihak suami ataupun ini udah punya cucu, jadi,
cuek aja..
 Cuman ya kita tetap berasa.

8A  kalo harapan orangtua dan keluarga dekat ya, pastinya kan mendoakan dan
berharap ya..
 Cuman beban yang lebih berat sih dari keluarga suami gitu

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


105

9A  pada awalnya sih Ibu mertua saya karena suami saya kan anak terakhir jadi
mungkin dia ingin mendapatkan cucu lagi mungkin dan ibu mertua saya
juga sudah tua jadinya beliau pada tahun pertama dan kedua selalu
menanyakan gimana sudah ini sudah ini
 ada juga sih sodara yang kurang enaklah omongannya ya saya mau gimana
lagi

SUAMI

3B Tuntutannya gak besar dan mendesak ya, tapi lebih ke arah saran

5B  kalo orangtua sih tidak pernah..tidak pernah menunjukkan itu. Tapi kalo
dari perilakunya sih memang saya yakin ada rasa kecewa juga sih. Dari
orangtua terutama ibu saya

7B  karena tuntutan itu lah ya. Emang kalo dari keluarga kita sih ya gak masalah
ya, saya bungsu dari pihak saya, dan dari pihak istri saya bersaudara cewek,
jadi kita gak terlalu ya…
 saya kumpul, kumpulan dari keluarga saya, keluarga besar saya, ya paling
cuma ditanyain doang sih ‘ini mana nih..kok lama banget’, ‘ya maunya sih
cepet tapi ya gak mungkin Tuhan langsung ngasih gitu aja’, ‘cepet dong, gue
kan mau liat’

DUKUNGAN DARI KELUARGA

ISTRI

2A  sejauh ini baik dari suami atau keluarga dari saya sendiri kebetulan
keluarganya terbuka ya, belom ada sampe “ini gimana nih kok belom ada
momongan ya..” ga pernah ada kata-kata seperti itu sih

3A  ga ada yang nuntut kita banget di rumah. Orangtuaku aku anak kelima, dari
5 bersaudara, kakak uda punya anak semua, cucunya udah banyak jadi ga
minta-minta lagi..
 Terus jadi dia yang malahan kasih support aku ya uda de ga usah pikirin
omongan orang

5A  kalo dari orangtua kita sih, orangtua dia, orangtua saya, bukan orang yang
seperti itu. Jadi ke kita sih nyantai-nyantai aja, enjoy-enjoy aja, ga suka
nanya-nanya. Ya yang nasihatin aja, paling suruh banyak istirahat.
 Nyokapnya malah bilang, gapapa, ga usah dipikirin hal-hal seperti itu. Gitu..
keluarganya juga ade-adenya
 sampe sekarang sih ngerasa baik-baik aja ya, malah support

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


106

6A  ya mereka sih pasti ngedukung sih. Cuman mereka ga bisa berbuat apa-apa

7A  malah mereka dukung, oh bagus bagus.. Kan kalo itu suatu keberhasilan
kan suatu kabar gembira untuk keluarga.
 Kalo orangtua ya dukungnya doa gitu kan..

8A  Dan E ngasih tahunya ya E lagi program, program pake penyubur


 Mereka sih mendukung kalo memang apa, kalo memang untuk berobat,
kalo memang supaya punya keturunan, sekeluarga mendukung ya

9A  orangtua saya mendukung pd dasarnya mendukung


 pada tahun ketiga dia (mertua) sudah tidak menanyakan lagi cuman
kebetulan saya sangat bersyukur mempunyai ibu mertua seperti itu tidak
menuntut maksud saya dia selalu mendoakan semoga saya cepat diberikan
keturunan, saudara ipar juga iya

SUAMI

1B  Cuma mereka ya dukung aja. Cuma kasih tahu oo begini mungkin begini..
Tidak pernah mereka terasa melemahkan diri saya, tidak.. keluarga dari
perempuan begitu juga, ga pernah berfikir untuk melemahkan atau
membuat kita pesimis. Justru membuat kita optimis.

2B  Ya mereka mendukung, dari keluarga istri juga. Keluarga dekatnya

3B  Gak cuma nuntut tapi mereka memberikan solusi

5B  mereka sih prinsipnya mendukung-dukung aja. Apapun yang kita kerjakan


kalo ini memang caranya ya silakan lakukan aja gitu..

6B  Ke orang tua kita gitu. Ya udah coba aja gitu nantikan jalannya lebih
terbuka istilahnya gitu. Dan kemungkinannya juga lebih besar

7B  Terus dari keluarga juga tidak pernah ini

DUKUNGAN DARI LINGKUNGAN

SUAMI

1B  Tetangga-tetangga sini juga mereka supportingnya luar biasa juga

4B  Ya, lingkungan sebetulnya ga ada hmm mereka sebetulnya berempati juga


terhadap kita. Ga ada yang meledek. Jadi saya ga merasa rendah diri

PERSIAPAN MEMULAI PROGRAM

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


107

ISTRI

1A  memang yang paling utama itu mental..mental untuk memutuskan


memulai bayi tabung, dengan biaya mahal..kita semua tahu..juga dukungan
dari suami paling penting
 ketika kondisinya sudah baik fisik dan mental saya rasanya sudah baik..saya
memutuskan lagi untuk program yang kedua

2A  istirahat aja, istirahat fisik mental, perlu istirahat juga. Memang untuk
mulainya, memang kita putuskan untuk ambil jeda waktu dulu baru kita
rasa udah pas, sesuai juga dengan jadwal di kerjaan juga, baru deh..

4A  Tapi kan juga dikasih tahu budget biaya sekian..


 ..berharap ya mungkin di insem kita berhasil..tanpa harus mencoba bayi
tabung. Tapi kan juga dikasih tahu budget biaya sekian.. Tapi begitu ketemu
dr.Andonnya, ya maksudnya dikasi tahu kalo prosesnya hampir sama,
kecemasannya hampir sama, mengingat usia, kita putuskan untuk bayi
tabung

6A  soalnya kan biayanya gede juga mbak. Kalo ga berhasil juga udah abis, ya..
buat biaya ini.. Mikirnya ke situ juga. Kadang mikir, untuk anak. Tapi kan
kita hidup butuh realistis juga.. jadi kesiapan finansialnya
 Sama kalo hati ya, pikirannya

7A  kita tuh mutusin bayi tabung sebenarnya di uang ya..


 memang harus dana memang harus benar-benar matang kan

8A  tinggal persiapan mental

9A  persiapan mental

SUAMI

1B  Kami sudah baca informas-informasi..


 psikologis istri dulu, mungkin pertamanya itu kan ya..

2B  saya baca-baca juga


 saya mikir juga ini, untuk pengaturan dana

3B  Cuma masalah finansial mah itu kudu penting. Mahal.


 sebelum ke sini itu kita udah cari tahu. Gimana caranya cari tahu

4B  Nah semenjak mulai dr. A bilang itu, kita mulai mikirkan untuk program itu.
Ya itu persiapannya, siap mental, terus biaya

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


108

5B  wah sumber daya ekonomi harus kesini semua nih. Nah itu pertimbangan
yang pertama tuh. Pertimbangan yang kedua itu angka keberhasilannya
yang nyampe 50% pun nggak

STIGMA FERTILISASI IN VITRO

1A  kadang-kadang masyarakat belum siap ya dengan bayi tabung, karena kalo


kita kasih tau, “eh kita bayi tabung”, masyarakat tuh punya persepsi yang
beda gitu loh dok. Punya persepsi yang beda yang kadang-kadang ga
mendukung kita-kita yang mengalami infertil seperti ini
 Belum apa ya, belum positif tentang bayi tabung

3A  nih temennya mama U, “oh, mau bayi tabung..itu pake spermanya siapa?”,
“lah, ya sperma lakinya,”

4A  suami saya kenapa kok harus bayi tabung?agak kaget


 mereka pemahaman tentang bayi tabungnya masih aneh-aneh gitu
 Itu mikirnya, haa itu masih punya kamu kan? Sperma suami kan? Haduu
mikirnya..yang aneh-aneh gitu lah..
 rada-rada ngeri

7A  kalo orang sih kayanya masih takut ya.. Saya sendiri sebenarnya juga masih
takut..

8A  karena orang kan tahunya “bayi tabung”. Konotasinya mungkin kurang


baik, sesuatu yang tidak alami, sesuatu yang dibuat-buat, atau
ngebayanginnya bayi tabung gitu loh. Jadi banyak apa ya asumsi itu lah ya

SUAMI

2B  bayi tabung itu kan yaa yang ekonomi menengah ke atas gitulah

3B  orang bilang bayi tabung spermanya bukan sperma kita, sperma orang lain.
Ada juga orang-orang yang punya pandangan kalau bayi tabung, rahimnya
bukan rahim istri
 Ada juga orang yang mikir, spermanya yang dikembangkan

5B  Ya namanya itu ya..bayi tabung.. artinya properti seseorang itu udah


kehilangan itu salah satunya. Ibaratnya ada yang kurang lah..

PANDANGAN AGAMA TENTANG FIV

ISTRI

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


109

5A  di gerejaku kayaknya ga boleh


 nggak.. Ini makanya aku ga ngomong sama pendetaku. Ya ini ada rasa
bersalah juga sih, tapi ya ntar aja de. Kalo di HKBP sih kayanya ga jadi
masalah ya..
 Gereja kan bisa punya pandangan, gereja bisa punya pandangan ya.. Ada
gereja yang boleh gitu. Ada kayak gereja yang reform, kalo mereka sih
bukan masalah boleh ga bolehnya, mereka berpikir semua kedaulatan
Tuhan. Apapun yang kita lakukan kalo Tuhan ga berdaulat ya ga bisa jadi.

6A  agak ada, istilahnya sih, larangan sih nggak, cuma kalo bisa nggak gitu.
Soalnya itu kan di-iniinnya di luar. Cuma saya mikir lagi, semua kan
tergantung dari..dari..dari apa namanya, embrionya sendiri, sama dari, apa
namanya..kehendak. jadi ya terakhirnya ke situ

SUAMI

3B  Terus yang masalah yang enzim minyak babi itu


 Lalu kalau memang gak ada jalan keluar lain, harus pakai itu, mau
bagaimana? Dan itu pun yang saya tahu, kalau gak ada jalan lain ya gak
masalah. Darurat lah istilahnya. Kalau darurat ya udah, begitu. Dan kan itu
bukan untuk tujuan… Kalau menurut saya tujuannya ke arah baik

4B  sepertinya dibolehkan ya. Kan sama-sama sel telur dan sperma dan
ditanamkan juga ke istri

5B  Meskipun ada perbedaan pandangan sih, kita balik lagi, bahwa ini adalah
kedaulatan Tuhan sih, kita cuman upaya aja, dan ini adalah satu upaya

6B  ngga ada, ngga ada masalah sih

KERAHASIAAN FERTILISASI IN VITRO

ISTRI

1A  mungkin merahasiakan, bukan merahasiakan kenapa..tapi orangtua pasti,


“kenapa kamu ikut? Udah alami aja insya Allah mama mah yakin kamu bisa
hamil. Orang kita banyak kok keturunannya..” pasti orangtua gitu kan
 anak itu kita ga mau ada perlakuan yang berlebih. Artinya, kami itu punya
mimpi biarlah mereka itu terus seperti anak-anak yang biasa. Janganlah
wah hasil ini, hasil ini

4A  kita ga memberitahukan pada keluarga. Karena suami saya berpikir, nanti


kalau udah jadi aja. Karena saya, nanti keluarga saya pemahaman
mengenai bayi tabung tuh masih..karena saya ga menjelaskan juga, mereka

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


110

pemahaman tentang bayi tabungnya masih aneh-aneh gitu

6A  kayak IVF aja sebenarnya saya ga mau cerita, biar kakak sama mama saya
aja. Soalnya makin banyak orang yang tau saya makin underpressure..ga
bisa.. Minimal ya keluarga aja sih yang tau. Soalnya kadang-kadang orang
luar tuh, kan kadang kita ga tahu, trus mereka suka nanya.

8A  bagi suami ini suatu hal yang harus dirahasiakan gitu


 kalo E sih melihatnya dia berpikir pandangan orang beda-beda apalagi di
Indonesia dan keluarga besar, gitu. Apalagi pandangannya beda-beda,
mungkin ada stigma negatif.
 Jadi suami hanya pingin melindungi anaknya nanti supaya tidak ada stigma-
stigma, “ah kamu anak ini anak itu”

9A  ibu saya orang kuno orang lama ya jadi berpikiran seperti itu barang halus,
barang kecil, kamu ngga malu apa alat kelamin kamu dilihat dokter laki-laki
selain suamimu tabu begini begini sudahlah berusaha sendiri ya seperti
itulah makanya saya bayi tabung yang sekarang tidak cerita ke orang tua
saya terutama ke ibu saya saya ngga cerita

SUAMI

1B  Emang kita ga suka menceritakan untuk persoalan bayi tabung


 Pertimbangan khawatirkan misalnya ada kegagalan
 Kita ga mau memberikan informasi yang pesimis kepada orang lain

2B  saya cerita, kalo keluarga sih keluarga dekat aja sih. Kalo teman, ya teman
sih ga mau cerita sebenernya tapi kan karena kita PNS, kami PNS jadi..
 yang itu..khawatirkan.. ya itu ya, yang diceritakan istri pas kita ngobrol
pertama tuh. Namanya kalo ditanyain kalo berhasil ya alhamdulillah.. Kalo
ga berhasil itu kan namanya temen kan suka, kenapa sih..temen satu
nanya, diceritain kan otomatis. Yang satu lagi nanya.. yang keempat nanya..
yang kelima nanya. Kalo yang ditanyain secara psikologisnya lagi..ya bisa
dibilang sedih ya..mungkin, disuruh cerita lagi cerita lagi kan bete juga

4B  Kita komit dulu udah lah ga usah kasih tau siapa-siapa.


 pola pikir mereka kan beda-beda ya. Dari keluarga istri, dari keluarga saya.
Jadi kadang ada yang berpikirnya positif ya. Baik. Ada yang langsung banyak
negatifnya

6B  Emang kita udah sepakat sepakat untuk ngga ngasihtau. Takutnya begitu
dikasih tau si A, dia pastikan nanya, nah jadi kepikiran lagi

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


111

 jadi kalo kita ngomong gagal jadinya, keinget lagi-keinget lagi gitu

DAMPAK POSITIF FERTILISASI IN VITRO

ISTRI

5A  Ya maksudnya mungkin lebih berasa sekarang kali ya..karena mungkin


karena lagi program.
 Ya jadi ya lebih berasa ya kesabarannya, kasih sayangnya

7A  iya, tapi memang dia dari dulu tuh perhatiannya luar biasa, ini tambah lagi

9A  lebih dekat karena kan mau ga mau support secara emosional itu lebih
penting

SUAMI

3B  Saya lebih ngerasa ke sana. Jadi saya harus ngedukung si istri kalau
misalkan mungkin ada kayak kemarin tuh, sakit

4B  Malah lebih bersemangat ya. Lebih deket.


 Kita saling mensupport

5B  ee iya, iya, kita lebih deket, kita lebih deket..

DAMPAK NEGATIF FERTILISASI IN VITRO

ISTRI

1A  Mungkin itu ya dok, salah satu psikis gitu kalo orang pengen bayi tabung
mungkin. Nah kita kan waktu konsul ke dr.Budi ga ada ditanya, “bu, udah
siap belum?”
 Udah gitu saya tuh lelah, lelah..lelah ya mbak, kalo kesini itu. Karena apa,
rumah saya di Bekasi, saya ga bawa mobil, jadi saya ikut suami saya dari
pagi.
 Melelahkan banget gitu..lelah banget. Sampe saya tuh pernah tidur di
mushola, saya tunggu suami saya pulang, lelah gitu
 Memang waktu mau penerimaan rapor itu rasanya, mungkin, saya pernah
ujian tesis, lebih dibanding itu,ujian apapun lebih dari itu

2A  gimana ya..stres aja ya..jadi saat..apalagi pas saat, saya dulu apalagi pas
saat kita distimulasi untuk dapat sel telur itu..ee apa namanya, secara fisik
juga ada pengaruhnya..perut kembung trus pikiran..pokonya kayak hormon
tuh ga seimbang..hehe..ga tau juga..di kantor juga jadi..tensi mulu
 malam sebelum terima hasilnya tuh deg-degan..

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


112

 jadi malah semakin kita ga dipikir malah semakin kepikir gitu, malah
fokusnya.
 pas stimulasi sih, kalo secara fisik alhamdulillah ga ada yang.. ya agak
kembung aja dikit. Malah yang saya rasain yang secara emosi kayanya agak
kurang stabil.
 Secara emosi juga saya rasa agak kurang stabil juga karena hormon

3A  merasa cemas itu karena suntik-suntikannya karena harus nyuntik tiap


hari..”
 Untuk ke sini-sininya, udah ga mau mikirin kayak gimana-gimana..kayak
operasi atau apa..Udah ga usah ditanyain (tertawa), ga mau dipikirin

4A  Saya justru mengkhawatirkan hasil eh yang kena OHSS ini

5A  aku tuh ga suka disuntik ya, paling takut disuntik ya. Dan kemarin
prosedurnya banyak sekali suntikan. Itu bener-bener stres.
 Sama yang ET, aduh ET itu prosedurnya benar-benar menyakitkan

6A  Cuman yang agak ditahan ya perasaannya aja. Kalo abis.. tahu ga berhasil.
Itu yang agak susah. Soalnya kan saya, ya tahu lah ya, kan udah cukup lama
ya nunggunya
 berhasil ga ya, begitu.. Ntar kalo begini, ini ga ya.. Ada rasa begitu sih

7A  kalo aku lihat ke fisik..nggak, kayanya badan aku ini melar. Jadi kayanya
baju-baju tuh pada sempiit selama kita menjalani program
 kalo itu, kalo yang itu yaa ada.. mood kayak pengen lebih diperhatikan,
ingin dimanja
 ... Udah membayangkan pake topi warna hijau. Udah tegang banget

8A  terus pengaruh hormon dan segala macem


 lagi galau-galau nunggu hasil yang habis embrio transfer
 tetap merasa galau kan, merasa depresi, takut ini takut itu, takut ini.
 ketika darah keluar itu, darah warna seger walaupun dikit..itu udah pasrah
banget itu, aduh kayanya ga jadi deh.. Itu udah nangis gitu, ga tahan untuk
bilang sama suami..

9A  menurut saya proses dari awal sampai akhir itu menegangkan setelah
distimulasi ternyata hasil begini ga jadi lagi ini lagi ya kalo menurut saya
semua proses menegangkan maksud saya samalah derajatnya tapi mungkin
yang paling ini sesudah “ET” menunggu hasil pengumuman

SUAMI

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


113

1B  Kayak pas pertama yang prematur itu, sampai istri kan agak down waktu itu

2B  tapi istri juga kan lagi down, lagi drop lah istilahnya.
 istri lagi mikirin itu kali ya, prosesnya atau apa, kadang-kadang kan tau-
taunya nangis gitu. Saya bingungnya, ngapain ya, mau ngomong
apa..maksudnya kan jadi bingung juga.

4B  Memang agak mempengaruhi maksudnya membatasi kerjaan gitu

5B  kebanyakan istri ya yang..yang akhirnya banyak berkorban, yang harus


diterapi terus-terusan. Padahal yang bermasalah saya, jadi dalam hati juga
merasa ga fair, ga adil

6B  istilahnya perjuangannya kan juga lebih lumayan menyakitkan kan ya.


Bayangkan setiap hari disuntuk, itukan perihnya bukan main
 ya ngga teganya aja , pas dia nyuntiknya aja sih

7B  responsaya ke istri saya ya bukannya saya terlalu protektif juga sih, tapi ya
gimana gitu, sampe saya bilang ‘kalo kamu ada masalah ya keluar aja gak
apa-apa, kerjaan mah gampang, kayak orang kaya yang makan gak usah
pake gaji mereka’

PANDANGAN TENTANG HASIL TERAPI

ISTRI

1A  “jadi..kamu sudah menerima..” menerima semua kalau bahasa kami


tuh..menerima dengan ikhlas semuanya

2A  Kalaupun ga berhasil ya itu kembali lagi kan..ya namanya juga rejeki itu tadi
kan..

3A  kan semua di tangan Tuhan

5A  Aku berpikir karena memang pertemuannya pembuahannya terjadi di


tabung atau di cawan, kan tetap kembali yang memberi kehidupan itu kan
Tuhan. Aku percaya itu.
 Manusia bisa berusaha sebagaimana sejauh apapun, cuman kalo Tuhan
tidak berkehendak ya tetap aja, ya ga bisa kan

6A  semua kan tergantung dari..dari..dari apa namanya, embrionya sendiri,


sama dari, apa namanya..kehendak

7A  Ya itu tapi kita pasrah. Karena kan ga bisa kekuatan manusia doang.. Di saat

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


114

penentuan, tetap di tangan Tuhan juga

8A  kalo memang ga jadi berarti belum rejeki


 udah, udah pasrah, udah ikhlas

9A  tapi karena belum rejeki saya belum bisa hamil terus sampai sekarang ini
 rejeki jalan Tuhan bisa dari mana-mana itu
 walaupun proses fertilisasinya diluar ini saya tapi ternyata kan kembali lagi
ama Tuhan

SUAMI

1B  ya optimis aja, lillahi ta’ala juga. kita apa namanya, pasrahkan saja
 Tiba-tiba kan kita ga ngerti ya, maunya Tuhan. Tuhan kan lain.

2B  Ya namanya itu ikhtiar ya berhasil nggaknya kembali ke kekuasaan Allah

3B  Tapi kita harus cari solusinya kenapa. Apakah memang faktor kecapekan,
atau mungkin dari ini istrinya mungkin kurang bisa apa lah segala macem,
karena alasan medis. Kita fokusnya gitu sih.
 Tapi kalau memang gagal, ya sedih sih saya sedih, kecewa sih kecewa.
Cuma ya emang udah takdirnya begitu, mau gimana kan?

5B  Tentunya kalau memang dikasih, mungkin memang harus begini caranya.


Tapi kalo memang misalnya kami tidak diberikan, itu juga kedaulatan Tuhan

6B

7B  ya intinya ya namanya usaha, namanya berhasil atau engga ya Tuhan aja


yang tau
 namanya usaha manusia ya saya bilang tadi ya semua tergantung Tuhan

KECEMASAN TERKAIT KEHAMILAN

ISTRI

1A  semua tubuh saya tuh muncul kayak orang cacar. Jadi, uuh jelek banget
semua, kayak..
 Nah, terus dok, aduh dok, ini yang bikin saya hamil tuh jadi, jadi apa
ya..kurang nyaman gitu. Ya kayak orang yang ga ngurus diri banget gitu,
jelek banget.
 Jadi apa ya, yang membuat saya cemas saat hamil ya ee was-was cemas,
dan kadang sedih, aduh kok jelek banget..
 Saya pun ngeliat diri saya sedih, kadang tuh saya suka nangis sendiri.

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


115

 Saya cuti, karena saya masih ingin kuatin dulu. Karena gitulah, kalo ngajar
di negeri tuh, ga ada eskalator, kita harus naik (tertawa). Ya Allah saya
harus naik, ya udah deh..
 ya Allah berapa ininya.. orang kan ga ngerti..kalo orang hamil manual mah
kuat-kuat aja. Kalo kita kan beda ya mbak ya. Mungkin kondisinya beda,
karena saya ngalamin yang pertama, saya kuat, saya kuat, ternyata yang di
dalem bayinya ga kuat

4A  trus, suami saya nanya, dok itu kok hasilnya dilingkarin sih? Dokter bilang
kalo usia-usia di atas 35, kemungkinan terjadinya sindrom Down itu ada.
Ya..
 itu yang saya mulai stres-stres, panjaang pikiran saya..panjang pikirannya
tuh, gimana ya, ini yang udah lama kita pingin, sudah sampai proses ini, kok
hasilnya seperti ini gitu loh. Itu yang bikin saya stres, stres yang benar-
benar stres gitu
 Jadi saya waktu itu sama suami saya gini, “ Bang, gimana kalo anak kita
begini, apa yang akan diceritakan ibu..?”
 Habis, ya itu tadi karena kekhawatiran yang agak berlebihan kali ya..

8A  justru setelah positif memang sebelumnya itu ga ngerasain gejala yang


gimana-gimana banget makanya waktu itu udah pesimis, pas ketahuan
positif besoknya malah mulai ada gejala-gejala, mual-mual, nyeri-nyeri, dan
suatu hari gejala itu hilang. Iya, kayanya itu deh yang bikin stres

SUAMI

1B  Khawatir soal itu ada, tapi kan sekarang istri udah punya pelajaran dari
yang pertama itu. Dia lebih hati-hati, justru sekarang saya sering ajak dia
keluar, makan misalkan. Istri justru bilang, “ah jangan lah, udah di rumah
aja”

4B  Jadi kita was-was gitu. Makanya saya lebih banyak berada di sampingnya,
ga ada aktivitas yang jauh-jauh.
 Justru saat-saat ini yang kalau dia ada perubahan apa dia kuatir, dia cek,
ada lembab atau apa. Di situ ada kekuatiran.
 Kalau kita ya lebih baik kita di rumah. Mengurangi risiko lah.
 Kalau memang ya khusus menekankan bahwa saya ada terus di
sampingnya. Saya khawatir kalau saya jauh, terus ada keluhan terus saya ga
bisa ini, itu akan membuat saya apa ya hmm sedikit kecewa. Itu saya
berusaha

CARA MEREDAKAN KECEMASAN

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


116

SUAMI

3B  Tapi selain itu saya browsing juga, bener gak sih sakit? Saya ngeri dok, entar
cek normal taunya gak normal kan? Saya browsing, oh normal

4B  Tapi istri ga puas. Ketemu dokter apa. Sampai dua minggu itu dia agak labil.
Pokoknya harus tanya sana-sini. Saya juga browsing. Tapi saya lihat, dari
berapa ini, sebenernya angkanya ga bermasalaH

SUMBER INFORMASI

ISTRI

1A  kadang-kadang hal-hal seperti itu kita browsing tapi perlu diperkuat

3A  nanya sama mbah google, trus tanya temen

4A  suami saya lebih banyak browsing ternyata dia lebih paham

5A  Soalnya kalo aku ga tahu aku cari di internet

8A  Waktu itu biasa ya, langsung googling

SUAMI

1B  Kita diskusi sama dokter semua


 kita diskusikan sama orangtua, orangtua istri, kita semua diskusikan, ya
gimana, mereka cari informasi-informasi semua
 buka webnya, buka apa

2B  jadi istri juga sering searching-searching, trus ada dokter yang “tetap
semangat”, selama masih ada peluang, di dokter siapa di internet

3B  selain itu saya browsing juga, bener gak sih

4B  Saya juga browsing.


 Akhirnya dia cari tahu ke temennya, ke mana gitu

5B  kita tuh banyak dapat informasi dari internet sama temennya istri yang
menjalani proses juga

7B  saya cari info kadang dari internet atau temen-temen tentang ini

PERTIMBANGAN UNTUK FIV KEMBALI

ISTRI

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


117

1A  ya itu memutuskan karena, sebelumnya ya kita sudah, ingin punya anak


kembali ya...
 didorong keinginan kita untuk punya anak, udah pasti, yah kemudian kita
sudah menabung kembali..(tertawa) Itu yang pasti harus, lalu mental sudah
siap

2A  motivasi yang utamanya adalah mau punya anak ya. Jadi kita mikirnya, apa
namanya, ya harus usaha ya. Kita kan harus berusaha, ya namanya
usahanya nanti yang menentukan kan

6A  iya sih..iya sih, abis, cara terakhir itu.. Abis mau coba apa lagi selain itu?

8A  Ya intinya sih, ya memberikan usaha terbaik ya semampu kita. Kalo


memang mampu menjalaninya ya jalani, toh dikasih rejeki salah satunya
mungkin buat ini kali.. Ada rejekinya ya udah, jalani terus.

9A  jadinya keinginan untuk bayi tabung lagi sebenarnya lebih dari kita coba
lagi yuk siapa tau gitu kan kita ngga tau rejeki kapan dimana waktu apa
yang penting berusaha, itu aja
 kita kan tidak tau rejeki kapan, dimana, bagaimana caranya, lewat jalan apa
kita ngga akan pernah tau, rahasia dari Tuhan yang penting berusaha,
berdoa kalaupun hasilnya seperti ini mungkin belum. Itu aja

SUAMI

1B  karena sudah pertama itu. Karena berhasil kan ya walaupun tidak berhasil.
Udah kita anggap berhasil lah ya, karena faktor X aja
 Yang pasti udah kita anggap berhasil itu. Kita anggap berhasil itu, kita coba
lagi

2B  Ya udah deh, yang terbaik secara medisnya gimana ya kalo kami sanggup ya
kami kerjakan gitu loh. Akhirnya, kemarin bayi tabung sampe berapa tuh, 3
kali, eh 2 kali yang belum berhasil. Makanya sekarang ada..kita masih ada 2
embrio lagi, ya mudah-mudahan sih

3B  Itu dilihat lagi misalkan kalau gagal, kenapa? Kalau supaya bisa dilanjutin,
gagalnya di mana? Kalau memang harus coba lagi, ya coba lagi. Mau gak
mau. Coba lagi, coba lagi.

6B  emm karena kan intinya kan kita pengen hasil, jadi mau ngga mau kita
harus jalanin

KEBUTUHAN AKAN PENDAMPINGAN DAN AKSES

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


118

ISTRI

1A  ee dr. B itu kalau memberikan nasihat itu tidak terlalu banyak kalau pada
kami..
 kita butuh komunikasi, kita butuh teman-teman share
 kan ada dari pihak yasmin tuh yang menolong kita, memfasilitasi
 Ya, terus kan kita butuh share atau butuh penguat dari orang yang ahli
supaya kita bisa lebih tenang, lebih rileks dalam menjalani ini ya
 Komunikasi ke contact center

2A  betul tadi kita memang perlu komunikasi ada fasilitasi dari sini juga. Karena
kalo kita cari informasi sendiri belum tentu hasil yang kita peroleh itu benar
ya
 fasilitasi seperti forum atau apa, mengenai program bayi tabung
 kalau bisa, sebelum masuk, pasangan memutuskan bayi tabung, jadi oke
mau bayi tabung. Didampingi sama..yang ahli gitu kan, dijelaskan kalo bayi
tabung itu seperti ini, nanti ada dampaknya secara fisik maupun non fisik.
Ada informasinya yang jelas. Kalo kita dapat dari ahlinya kan juga kita jadi
lebih aman, lebih tenang.
 kadang-kadang kan kita bisa, ya namanya perempuan, kan kadang cari
solusi melalui bercerita ya. Dengan sesama senasib kan lebih, ada ikatannya
lebih kuat ya.
 sejalan, pada saat kita oke mau bayi tabung, mungkin sampai..bukan udah
berhasil, udah gitu, mungkin ga cuman sampai situ
 termasuk juga kalo programnya ga berhasil tuh, kan oo ini bu ternyata
hormonnya ga ini.. Sebenarnya itu masa-masa kritis juga tuh

3A  sebelum program. Karena waktu itu kita ee punya keputusan untuk periksa,
ini ini ini, dari sendiri. Bingung sendiri di rumah
 di awal ya, karena itu kan berpengaruh juga untuk nantinya, untuk janinnya
 Jadi kita juga denger cerita, jadi lebih aware ke depannya kayak kalo
masalah, hamil tadi kan mbak-mbak yang lain yang udah mengalami.
Jadinya kita lebih aware, oo gitu ya..gitu ya..ee kalo bisa sih,ada bagian dari
obginnya juga, jadi kalo ada yang kok begini ya, bingung untuk masang obat
dan segala macem, jadi ada jawaban saat itu juga

4A  kayanya untuk pendampingan, beda kan kalo insem kan tahapannya ga


panjang, sama tapi agak beda. Kalo bayi tabung, begitu OK ikut program ini
pasti kan persayaratannya juga semuanya ya, memang harus ada
pendampingannya juga
 after care tindakan apakah itu OPU apakah itu ET
 Saya ngerasain banget, karena begitu ada kendala, saya bingung, saya ke

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


119

psikolog apa ke psikiater..gitu. ya kita juga kalo ke psikolog mereka


medisnya, kalo menurut saya ya dok, mereka kurang memahami. Kalo
psikiater, mungkin secara biologis anatominya mereka paham.

5A  Cuman mungkin fase yang paling dibutuhkan itu yang fase setelah ET trus
nunggu HCGnya positif ya.. Karena mendekati hari pemeriksaannya itu
semakin tegang. Dan memang banyak pertanyaannya sih di situ
 Dan untuk siapin mentalnya juga sih untuk menerima hasil betaHCG yang
gimana gitu. Trus kan setelah itu mesti ada monitoring-monitoringnya gitu
kan. Kadang-kadang kan kalo betaHCGnya tinggi pun aku baca pas diUSG
ada yang gimana gitu. Mentalnya deh yang harus diituin setelah ET itu.

6A  ee perlu ya, cuman kadang-kadang kondisinya kita sendiri kadang-kadang


ga siap
 ..kalo menurut saya awal. Kalo mau program. Biasanya kan kadang-kadang
kan, kayak kemarin saya, dari dokternya bilang begini gitu kan.
 Sama after hasil ya. Kalo pertama kan mungkin kita udah excited sendiri
kan, jadi ga terlalu ini.

7A  Jadi RS B itu kan dikasih buku, jadi kita tahu nih perkembangan kita udah
sampai mana. Kalo di sini kan kita cuman di status. Ga bisa kita abis ke
dokter liat-liat, oiya ini kita di sini.. Nah di rumah kita konfirmasikan lagi, ini
gimana tadi, ini gimana tadi.
 ketepatan waktu berkunjung. Soalnya kan menunggu itu kan paling
menjemukan. Kadang-kadang kita kalo udah nunggu tuh.. pemberitahuan
kayak dr. syane misal, dr.S ditunggu ya lagi ada tindakan.
 Jadi kita tuh bisa berkomunikasi ke dokternya bebas. Kapan kita butuh dia,
dia ada. Kalo di sini kan nggak

8A  setelah E jalanin ya..konselingnya itu.. Kalo buat E yah, justru setelah


ketahuan positif gitu. Kalo buat E ya, karena E justru downnya di masa-
masa itu.
 mungkin memang itu lah, mengeluarkan perasaan tuh memang
penting..Mungkin perlu juga kali ya diskusi bareng-bareng mengeluarkan
perasaan kita..yah, kayaknya perlu deh
 Ya walaupun mengeluarkan kegalauan kesedihan kalaupun memang itu
gagal, kalau ada teman yang sama-sama mengalami ya gitu, kayaknya enak
juga. yah baru berasa sekarang

9A  iya konseling kalo dari orang yang pertama kali tapi saya sih kurang tau
dengan pendapat orang lain mungkin kita saling menguatkan
 iya jadi wadah, menjadi seperti group support

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


120

SUAMI

1B  konsul-konsultasi perlu juga mungkin. Pra, ee pra yang pertama, tengah


maupun terakhir jadinya.
 forum-forum itu melalui sosial media gitu. Istilahnya dokter fasilitasi itu lah,
social medianya itu

2B  konseling ya dok istilahnya. Saya pikir dulu udah jadi prosedur tetapnya
terus, kok ga ada ya? Tergantung apa gitu. Saya pikir ini kan pasien
udah...udah..mengeluarkan ini ya..secara fisik, secara pikiran, secara
,materi,secara tenaga yang menurut saya cukup besar. Kok ga ada
bimbingan secara ini loh, “Gimana nih, siap ga?”.
 Yang perlu banget kalo menurut saya sih pas..transfer embrio kali ya,
karena kalo di situ kan udah bener-bener puncaknya ya. Udah ditransfer
tinggal nanti tunggu berkembangnya

3B  Kayak misalkan, untuk program bayi tabung ini, dana total yang benar-
benar disiapkan dari konsultasi, suntik, ovum, terus kayak intinya tuh
mereka harus dikasih tahu
 Perlu dok, untuk orang-orang yang… Alhamdulillah kalau saya gak perlu.
Tapi ada juga orang yang menurut saya tuh… Yailah dok, dok, buat ngurus
sperm check aja susahnya setengah mati. Susaaaah banget.
 pendampingan psikologi menurut saya itu bukan hanya pada waktu awal
saja. Jadi itu sangat diperlukan kayaknya. Misalnya, karena untuk sebagian
orang, dia gak bisa menerima dan malah makin down. Makin down, atau
mungkin gak bisa bangkit, gitu. Saya rasa perlu di situ, pendampingan
psikologis. Selebihnya gak ada sih dok kayaknya. paling biaya doang, udah

4B  Saat itu udah sering mulai saya harus ke psikiater, psikolog mana ya ini. Di
situ agak mulai terasa. Udah gitu kami ga punya...dr.Anton juga ga
memberikan ini kalau ada apa-apa hubungin ke hp saya atau gimana. Atau
ada konsulernya siapa yang bisa diini. Ga ada.
 Jadi ada semacam hmm call centre, tapi orang itu memahami betul
permasalahannya.
 Jadi, semacam ada konseling dulu sebelum ada apa yang mau yang kita
hadapi gitu.
 Kalau udah dari awal, setiap orang yang mau, dia wajib ngikutin gitu. Ada
semacam seperti ini ya apa, konseling sama psikiater lah ya. Seperti apa sih
bayi tabung itu nanti keadaan yang akan dihadapi ke depannya.
 Setelah di depan, kemudian ada masalah ada contact person, bisa
dilanjutkan.

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014


121

 Termasuk mereka yang termasuk gagal gitu mestinya juga

5B  mungkin orang-orang yang baru melakukan pertama kali BT terus


kemudian usia perkawinan yang lama mungkin kalo sampai 5 tahun, saya
kira itu pasti butuh..
 proses pendampingan, ee nomor telpon-nomor telpon yang seharusnya
dihubungi

6B  pas mungkin setelah program pertama terus gagal biasanya kan ngedrop
jadinya ya kan, pikirannya jadi kemana-mana biasanya
 tapi ya kadang kadang ya memang perlu di, perlu kan kadang-kadang suka
ada yag sharing jadi misalnya ni saya udah dua kali, saya udah tiga kali, saya
udah tujuh kali. Jadi kan ohh waktunya tuh masih ada yang lebih banyak
dari saya gitu kan jadinya rasanya bisa jadi lebih tenang dikit

7B  contact person-nya kalau bisa ke dokter yang bersangkutan, gak tau apakah
memang, itu stylenya dokternya begitu beda-beda kali ya, kalo kami
bandingkan dulu waktu kami di Bunda, seperti yang dibilang istri saya tadi
kita anytime bisa berhubungan sama dokternya itu gitu
 konsul ya sebelum diiniin, kira-kira apa efeknya gitu. Psikolog gitu ya dok,
ya

PENGARUH KULTUR TERHADAP PENYAMPAIAN KEBUTUHAN

ISTRI

4A  Yaa tapi ga kepikiran, saya sih ga mau bertanya lebih lanjut


 Jadi, saya begini sama dokter, “tanyain ga?”, “jangan, jangan”. Dia ga mau

SUAMI

4B  Kami juga setiap ke sini juga ga pernah berusaha nanya, dok bisa ga kontak
langsung? Enggak.
 Kita kemarin itu ga berpikiran untuk minta itu juga
 Agak sungkan juga

Gambaran psikopatologi ..., Dyani Pitra Velyani, FK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai