Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, setiap manusia hidup saling membutuhkan dan senantiasa

melakukan interaksi dengan manusia lainnya (Srisusanti & Zulkaida, 2013). Salah

satu bentuk adanya interaksi adalah dengan menjalani sebuah pernikahan (Utami,

2015). Menurut Undang-undang No I tahun 1974 pasal 1 ayat 1 tentang

pernikahan disebutkan bahwa “Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” (Wulandari, 2009). Pernikahan juga merupakan salah

satu aspek penting dalam kehidupan dewasa awal, termasuk pada wanita dewasa.

Bagi seorang wanita, memasuki kehidupan berkeluarga dalam suatu lembaga

pernikahan merupakan impian, karena struktur budaya Indonesia memandang

pernikahan merupakan hal yang sakral (Anissa & Handayani, 2012).

Setiap pasangan berharap agar memiliki pernikahan sesuai dengan apa yang

menjadi keinginannya. Pasangan yang menikah akan mendambakan kehidupan

pernikahan yang sakinah, mawaddah, warrahmah, bahagia serta puas dan berharap

dapat memenuhinya dalam institusi pernikahan (Nihayah, 2006). Menurut Papalia,

Olds, dan Feldman (2009) setiap pasangan yang menikah akan cenderung

memiliki keinginan untuk mencapai kepuasan didalam pernikahan.

1
Kepuasan pernikahan dikatakan sebagai perasaan subjektif yang dirasakan

pasangan dalam suatu pernikahan, seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-

pengalaman yang menyenangkan bersama pasangannya (Olson, DeFrain, &

Skogrand, 2010). Kepuasan pernikahan juga dapat dilihat dari sejauh mana

kebutuhan, harapan, dan keinginan sudah dipenuhi dalam menjalani

pernikahannya (Az Zahra & Caninsti, 2016). Dalam hal ini, ada perbedaan

harapan pernikahan antara wanita dan laki-laki yang menjadi dasar dalam

mencapai kepuasan pernikahan, dimana wanita lebih mementingkan keekspresifan

emosional dibandingkan dengan laki-laki (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Sehingga kepuasan pernikahan pada wanita menjadi faktor penting menjaga

kestabilan rumah tangga.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Stutzer dan Frey (2005)

mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan memiliki peranan yang penting bagi

setiap wanita, dimana kepuasan pernikahan menjadi suatu hal yang berpengaruh

terhadap kesejahteraan seseorang yang menjalankan suatu pernikahan, wanita

yang sudah menikah lebih bahagia daripada wanita yang belum menikah. Hasil

penelitian yang dilakukan Afni dan Indrijati (2011) menemukan bahwa wanita

yang merasakan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan secara materil, seksual,

dan psikologis dapat mempengaruhi kepuasan dalam pernikahannya.

Namun pada kenyataannya, masih banyak wanita yang tidak berhasil

mencapai kepuasan pernikahan dan banyak yang menggunakan perceraian sebagai

solusi dari permasalahannya. Di Indonesia sendiri, menurut Badan Peradilan

2
Agama (Badilag) Mahkamah Agung, tahun 2016 memiliki angka perceraian

mencapai 19,9% dari 1,8 juta peristiwa. Sementara data 2017, angkanya mencapai

18,8% dari 1,9 juta peristiwa. Jika merujuk data 2017, maka ada lebih 357 ribu

pasang keluarga yang bercerai tahun itu. Sementara itu, menurut data

Kementerian Agama RI, dari banyaknya kasus perceraian yang terjadi pada tahun

2014-2016 diperkirakan 80% perceraian itu terjadi pada pernikahan di bawah usia

lima tahun dan 70% perceraian diajukan oleh istri. Hasil data ini didukung dengan

pendapat dari Walgito (2011) yang mengatakan bahwa angka perceraian tertinggi

terjadi antara tahun kedua sampai tahun keempat periode pernikahan.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Matondang (2014)

mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan tingginya perceraian

adalah fakor usia muda, faktor ekonomi, faktor belum memiliki keturunan dan

faktor suami sering berlaku kasar. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan

bahwa terjadinya perceraian di periode awal pernikahan pada wanita dapat

menunjukkan kepuasan pernikahan rendah, seharusnya masa periode awal

memiliki kebahagiaan serta kepuasan, karena pada masa itu adalah masa paling

indah bagi pasangan yang masih dipenuhi oleh perasaan cinta dan gairah (Barash,

2012).

Mencapai kepuasan pernikahan periode awal pernikahan tentu bukanlah hal

yang mudah, karena setiap kehidupan pernikahan akan selalu ada masalah yang

memicu terjadi perbedaan pendapat dan konflik (Olson, DeFrain & Skogrand,

2010). Hal ini didukung dengan pendapat Walgito (2011) yang mengatakan tahun

3
awal (Early Years) mencakup kurang lebih 10 tahun pertama pernikahan, dalam

menjalani hubungan tahun pertama biasanya sangat sulit untuk dilalui karena

tidak dapat mengantisipasi ketegangan atau tekanan yang timbul. Dalam hal ini,

usia pernikahan memegang pernanan penting untuk dapat menentukan apakah

suatu pernikahan dapat bertahan (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingkat kepuasan pernikahan, salah

satunya adalah self efficacy. Menurut penelitian di Iran bahwa sikap self efficacy

pada pasangan suami istri dapat meningkatkan kepuasan pernikahan yang

dirasakan oleh suami istri (Mashal pour fard, Kavoosi, Ebadi, & Moussavi, 2016).

Self efficacy adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam

memotivasi dirinya untuk melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk

mencapai hasil tertentu (Bandura, 1997). Self efficacy dapat menggambarkan

suatu kognisi seseorang tentang apakah dia mampu melakukan tindakan untuk

menghasilkan hasil yang diinginkan (Mashal pour fard, Kavoosi, Ebadi, &

Moussavi, 2016).

Self efficacy perlu diterapkan dalam pernikahan agar individu memiliki

keyakinan atas kemampuannya untuk mencapai kepuasan pernikahan ( Mashal

pour fard, Kavoosi, Ebadi, & Moussavi, 2016). Dampak yang terjadi apabila

seorang wanita memiliki self efficacy yang tinggi pada pernikahannya adalah

wanita akan yakin bahwa dirinya dapat mengontrol situasi dan mampu mengatasi

konflik yang menjadikannya tantangan untuk dapat mencapai tujuan yang sudah

ditetapkannya (Bandura, 1997).

4
Wanita yang merasa dapat mengontrol situasi hubungannya dapat menjadi

depresi ketika tidak dapat mengendalikan agresi verbal atau fisik pasangannya.

Dengan demikian, memiliki self efficacy terkadang membuat orang merasa

bangga untuk mencapai apa pun yang mereka inginkan (Mashal pour fard,

Kavoosi, Ebadi, & Moussavi, 2016). Begitu juga sebaliknya, wanita yang

memiliki self efficacy rendah akan mudah putus asa, cenderung pesimis dalam

menyelesaikan konflik, sehingga tingkat kepuasan pernikahan menjadi rendah.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut

hubungan antara self efficacy dengan kepuasan pernikahan yang berjudul

“Hubungan Antara Self-Efficacy dengan Kepuasan Pernikahan Pada Wanita di

Periode Awal Pernikahan”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang muncul

adalah apakah ada hubungan antara Self Efficacy dengan Kepuasan Pernikahan

pada Istri periode awal pernikahan ?.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Self Efficacy

dengan kepuasan pernikahan pada wanita di periode awal pernikahan.

5
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini mampu memberikan sumbangan yang berguna

untuk perkembangan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang kajian psikologi

sosial.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Wanita Menikah

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi kepada wanita menikah

terutama pada periode awal pernikahan dan sebagai wawasan tambahan untuk

mencapai kepuasan pernikahan.

b. Peneliti

Penelitian ini peneliti dapat mengetahui hubungan kepuasan pernikahan pada

wanita di periode awal pernikahan yang dipengaruhi oleh self efficacy

c. Peneliti Lain

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi dan bahan dasar

untuk penelitian berikutnya.

1.5 Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian sebelumnya, ada beberapa penelitian yang telah

dilakukan mengenai Self Efficacy dengan Kepuasan Pernikahan. Penelitian

tersebut tentunya dapat mendukung hasil penelitian ini nantinya, namun dari

penelitian ini tentunya memiliki perbedaan dalam teori, subjek, variabel dan lain

sebagainya. Adapun beberapa perbedaan penelitian yang pernah dilakukan

peneliti sebelumnya dengan penelitian penulis adalah sebagai berikut.

6
1.5.1 Keaslian Topik

Penelitian kepuasan pernikahan pernah dilakukan oleh Imannatul Istiqomah

dan Mukhlis (2015) dengan topik Religiusitas dengan Kepuasan Perkawinan.

Penelitian lain oleh M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita Suminta (2017) dengan

topik Komitmen Beragama dan Kepuasan Perkawinan. Selanjutnya penelitian

yang dilakukan Siti Fatimah (2018) dengan topik Hubungan Cinta Komitmen

dengan Kepuasan Pernikahan dimoderatori oleh Kebersyukuran. Lalu penelitiam

yang dilakukan Putri Soraiya, Maya Khairani, Risana Rachmatan, Kartika Sari

dan Arum Sulistyani (2016) dengan topik Kelekatan Dan Kepuasan Pernikahan

Pada Dewasa Awal Di Kota Banda Aceh. Sedangkan dalam penelitian ini peneliti

memilih topik Hubungan Self Efficacy dengan Kepuasan Pernikahan Wanita Pada

Periode Awal Pernikahan.

1.5.2 Keaslian Teori

Teori yang digunakan Imannatul Istiqomah dan Mukhlis (2015) tentang

Religiusitas dengan Kepuasan Perkawinan adalah teori dari Glock dan Stark

(1970) untuk kepuasan perkawinan. M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita Suminta

(2017) tentang Komitmen Beragama dan Kepuasan Perkawinan menggunakan

teori dari Corcoran (2007) untuk kepuasan perkawinan. Lalu penelitian yang

dilakukan Siti Fatimah (2018) dengan topik Hubungan Cinta Komitmen dengan

Kepuasan Pernikahan adalah teori dari Fournier (1983). Selanjutnya penelitian

Putri Soraiya, Maya Khairani, Risana Rachmatan, Kartika Sari dan Arum

Sulistyani (2016) dengan topik Kelekatan Dan Kepuasan Pernikahan

menggunakan teori dari Fowers dan Olson (1993). Sedangkan dalam penelitian ini

7
peneliti menggunakan teori dari Fowers dan Olson (1993) mengacu pada 10 aspek

kepuasan pernikahan.

1.5.3 Keaslian Alat Pengumpulan Data

Alat ukur yang digunakan Imannatul Istiqomah dan Mukhlis (2015) tentang

Religiusitas dengan Kepuasan Perkawinan adalah skala ENRICH Marital

Satisfaction (EMS) oleh Fowers dan Olson yang dimodifikasi oleh penulis sendiri

berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (1970). M. Nur

Ghufron dan Rini Risnawita Suminta (2017) tentang Komitmen Beragama dan

Kepuasan Perkawinan menggunakan skala Dyadic Adjustment Scale (DAS). Lalu

alat ukur yang digunakan Siti Fatimah (2018) dengan topik Hubungan Cinta

Komitmen dengan Kepuasan Pernikahan menggunakan skala ENRICH Marital

Satisfaction (EMS) oleh Fowers dan Olson yang dikembangkan oleh Fournier dkk

(1983). Selanjutnya penelitian Putri Soraiya, Maya Khairani, Risana Rachmatan,

Kartika Sari dan Arum Sulistyani (2016) dengan topik Kelekatan Dan Kepuasan

Pernikahan menggunakan skala ENRICH Marital Satisfaction (EMS) yang

disusun oleh Fowers dan Olson (1993) versi 15 butir pernyataan. Sedangkan

dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala ENRICH Marital Satisfaction

(EMS) oleh Fowers dan Olson (1993) yang dimodifikasi oleh peneliti sendiri

berdasarkan 10 aspek yang dikemukakan oleh Fowers dan Olson.

8
1.5.4 Keaslian Subjek

Imannatul Istiqomah dan Mukhlis (2015) tentang Religiusitas dengan

Kepuasan Perkawinan adalah 208 orang terdiri dari 103 orang laki-laki dan 105

orang perempuan di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru. Subjek yang digunakan

M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita Suminta (2017) tentang Komitmen Beragama

dan Kepuasan Perkawinan adalah 51 sampel pasangan yang telah menikah dan

salah satunya bekerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tinggal di

Kabupaten Ponorogo. Subjek yang digunakan Siti Fatimah (2018) dengan topik

Hubungan Cinta Komitmen dengan Kepuasan Pernikahan adalah 53 subjek yang

keseluruhan adalah perempuan, spesifikasi subjek pada penelitian ini adalah istri

yang menjalani hubungan pernikahan jarak jauh, khususnya istri dari suami yang

bekerja sebagai TKI di luar negeri. Selanjutnya subjek yang digunakan Putri

Soraiya, Maya Khairani, Risana Rachmatan, Kartika Sari dan Arum Sulistyani

(2016) dengan topik Kelekatan Dan Kepuasan Pernikahan adalah 120 subjek (27

laki-laki dan 93 perempuan) dengan rerata usia 30 tahun, rerata usia pernikahan 5-

7 tahun dan rerata jumlah anak 2 orang. Sedangkan pada penelitian ini peneliti

menggunakan subjek yaitu 100 wanita dewasa dengan rentang usia pernikahan 1-

5 tahun di Jakarta.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepuasan Pernikahan

1. Definisi Kepuasan Pernikahan

Menurut Olson dan Defrein (2006), kebahagiaan, kepuasan, dan kesenangan

yang dirasakan secara subyektif oleh individu-individu yang menikah dapat dilihat

dari aspek-aspek yang terdapat dalam kepuasan pernikahan. Olson dan Fowers

(1993) mendefinisikan kepuasan pernikahan (marital satisfaction) sebagai

perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suami istri berkaitan dengan aspek

yang ada dalam suatu perkawinan, seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman

yang menyenangkan bersama pasangannya ketika mempertimbangkan semua

aspek kehidupan pernikahannya, yang bersifat individual.

Az Zahra dan Caninsti (2016) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan juga

dapat dilihat dari sejauh mana kebutuhan, harapan, dan keinginan suami istri

sudah dipenuhi dalam menjalani pernikahannya, peran, aturan peran bersama

sebagai suami-istri (pasangan), dan aturan peran masing-masing sebagai diri

sendiri. Beda halnya dengan pendapat dari Dowlatabadi, Sadaat dan Jahangiri

yang mengatakan bahwa kepuasan pernikahan adalah perasaan bahagia terhadap

perkawinan yang dijalani, kepuasan pernikahan berhubungan dengan kualitas

hubungan dan pengaturan waktu, juga bagaimana pasangan mengelola

keuangannya (Istiqomah, 2015).

10
Dari beberapa pedapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan

pernikahan adalah perasaan bahagia dan puas terhadap pernikahan yang

dijalankan setiap pasangan, dan dapat memenuhi harapan setiap pasangan.

2. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan

Aspek-aspek kepuasan pernikahan yang digunakan dalam penelitian ini

berdasarkan pada teori yang di kemukakan oleh Fowers dan Olson (1993).

Beberapa aspek untuk mencapai kepuasan pernikahan yaitu:

a. Komunikasi (Communication)

Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam

berkomunikasi dengan pasangannya. Aspek ini berfokus pada tingkat

kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam membagi dan menerima

informasi emosional dan kognitif.

b. Aktivitas bersama (Leisure Activity)

Aspek ini mengukur pada pilihan kegiatan untuk mengisi waktu

luang, merefleksikan aktivitas sosial versus aktivitas personal. Aspek ini

juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan bersama

serta harapan-harapan mengisi waktu luang bersama pasangan.

c. Orentasi keagamaan (Religius Orientation)

Aspek ini mengukur makna keyakinan beragama serta bagaimana

pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang memiliki

keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang perduli terhadap

hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah

individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orangtua akan

11
mengajarkan dasar-dasar dan nilai-nilai agama yang dianut kepada

anaknya. Mereka juga akan menjadi teladan yang baik dengan

membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran agama yang mereka

anut.

d. Pemecahan masalah (Conflict Resolution)

Aspek ini mengukur persepsi suami istri terhadap suatu masalah serta

bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan

untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi

yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Aspek ini juga menilai

bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah

bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain.

e. Manajemen keuangan (Financial Management)

Aspek ini berfokus pada bagaimana cara pasangan mengelola keuangan

mereka. Aspek ini mengukur pola bagaimana pasangan membelanjakan

uang mereka dan perhatian mereka terhadap keputusan finansial mereka.

Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi

kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan,

serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi

masalah dalam pernikahan. Konflik dapat muncul jika salah satu pihak

menunjukkan otoritas terhadap pasangan yang juga tidak percaya terhadap

kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.

12
f. Orientasi seksual (Sexual Orientation)

Aspek ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah

seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan.

Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab terjadinya pertengkaran dan

ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan.

Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini

dapat terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui

kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan

cinta mereka, dan dapat membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan

sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri.

g. Keluarga dan teman (Family and Friend)

Aspek ini menunjukan perasaan dalam berhubungan dengan anggota

keluarga dan keluarga dari pasangan, serta teman-teman, serta menunjukan

harapan untuk mendapatkna kenyamanan dalam menghabiskan waktu

bersama keluarga dan teman-teman.

h. Anak-anak dan pengasuhan (Children and Parenting)

Aspek ini mengukur sikap dan perasaan terhadap tugas mengasuh dan

membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan

keputusan mengenai disiplin anak, cita- cita terhadap anak serta

bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan.

Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendiidk anak

penting halnya dalam pernikahan. Orang tua biasanya memiliki cita- cita

13
pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat

terwujud.

i. Masalah kepribadian (Personality Issues)

Aspek ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-

kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu

berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian

pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah

menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul. Setelah menikah

perbedaan ini dapat memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku

pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan,

sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan

menimbulkan perasaan senang dan bahagia.

j. Kesamaan Peran (Equalitarium Role)

Aspek ini mengukur perasaan dan sikap individu mengenai peran

pernikahan dan keluarga. Aspek ini berfokus pada pekerjaan, pekerjaan

rumah, seks, dan peran sebagai orang tua. Suatu peran harus

mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita

sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa

malu jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih

tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa 10 aspek yang dapat

menentukan tingkat kepuasan pada individu adalah Komunikasi

(Communication), Aktivitas bersama (Leisure Activity), Orentasi keagamaan

14
(Religius Orientation), Pemecahan masalah (Conflict Resolution), Manajemen

keuangan (Financial Management), Orientasi seksual (Sexual Orientation),

Keluarga dan teman (Family and Friend), Anak-anak dan pengasuhan (Children

and Parenting), Masalah kepribadian (Personality Issues), Kesamaan Peran

(Equalitarium Role).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Dalam membangung kepuasan pernikahan, ada beberapa faktor yang dapat

menentukan tingkat kepuasan pernikahan. Menurut Papalia, Olds, dan Feldman

(2008), faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu:

a. Kekuatan komitmen

Salah satu faktor terpenting kesuksesan pernikahan adalah adanya

Komitmen. Komitmen pada pasangan suami istri dapat berjalan dan

terpelihara dengan baik selama pasangan tersebut mampu untuk menjaga

keharmonisan, kasih sayang.

b. Pola interaksi yang ditetapkan dalam masa dewasa awal

Kesuksesan dalam pernikahan amat berkaitan dengan cara pasangan

tersebut berkomunikasi, membuat keputusan, dan mengatasi konflik.

Karena dengan adanya interaksi yang baik, keharmonisan dalam rumah

tangga akan selalu terjaga.

c. Usia Pada Pernikahan

Orang yang menikah pada usia dua puluhan memiliki kesempatan lebih

sukses dalam pernikahan, daripada yang menikah pada usia yang lebih

muda.

15
d. Kelenturan dalam menghadapi kesulitan ekonomi

Salah satu faktor keberlangsungan dan kebahagiaan sebuah perkawinan

sangat dipengaruhi oleh kehidupan ekonomi- finansialnya. Kebutuhan-

kebutuhan hidup akan dapat tercukupi dengan baik bila pasangan suami-

istri memiliki sumber finansial yang memadai. Di Indonesia sendiri

ekonomi menjadi salah satu konflik utama penyebab perceraian.

e. Agama

Orang yang memandang agama sebagai hal yang penting relatif jarang

mengalami masalah pernikahan dibandingkan orang yang memandang

agama sebagai hal yang tidak penting.

f. Dukungan Emosional

Kegagalan dalam pernikahan ini ada kemungkinan terjadi karena

ketidakcocokan secara emosional dan tidak adanya dukungan emosional

dari lingkungan.

g. Perbedaan harapan antara wanita dan pria

Dimana perempuan cenderung lebih mementingkan ekspresi emosional

dalam pernikahan, di sisi lain suami cenderung puas jika istri mereka

menyenangkan.

16
Sedangkan menurut Baron dan Byrne (2005) ada tiga faktor yang

mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu:

a. Kesamaan dan kesamaan yang diasumsikan

Sejauh mana dua orang percaya bahwa mereka serupa pada hal-hal

tertentu dan sebaliknya bukan sejauh mana mereka pada kenyataannya

serupa.

b. Faktor-faktor kepribadian

Kebutuhan-kebutuhan tertentu dari seseorang dapat dipenuhi secara

paling baik bukan oleh pasangan hidup yang serupa, tetapi oleh seseorang

yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan tesebut. Karakteristik

kepribadian seperti kecemasan, afek negatif, dan neurotisme ditemukan

berkaitan dengan negativitas interpersonal dalam sebuh pernikahan mereka

(Baron & Byrne, 2005).

c. Seks dalam pernikahan

Interaksi seksual menjadi lebih tidak sering seiring dengan berjalannya

waktu dan penurunan yang paling cepat terjadi selama empat tahun

pertama dalam pernikahan.

Berdasarkan beberapa faktor yang dikemukakan oleh tokoh di atas, maka

dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self

efficacy adalah komitmen, interaksi, kepribadian individu, dan seks dalam

pernikahan.

17
4. Tahap-Tahap Periode Pernikahan

Menurut Walgito (2011), Tahap-tahap dalam pernikahan perlu diketahui

agar mengerti tentang konsep perjalanan hidup pasangan serta masa-masa krisis

yang dialaminya. Terdapat tiga periode dalam pernikahan yaitu :

a. Tahun awal (early years)

Masa ini mencakup kurang lebih 10 tahun pertama perkawinan.

Masa ini merupakan masa perkenalan dan masa penyesuaian diri bagi

kedua belah pihak, pasangan suami istri berusaha untuk saling mengenal,

menyelesaikan sekolah atau memulai karier, merencanakan kehadiran

anak pertama serta mengatur peran masing-masing dalam menjalani

hubungan suami istri tahun-tahun pertama biasanya sangat sulit untuk

dilalui karena pasangan muda ini tidak dapat mengantisipasi ketegangan

atau tekanan yang mungkin timbul.

Angka perceraian tertinggi terjadi antara tahun kedua sampai

tahun keempat pekawinan. Suami istri harus saling belajar satu sama lain

untuk saling mengenal, sebab pada masa ini biasanya terjadi suatu krisis

yang disebabkan karena masing-masing kurang memainkan peranan baru

baik suami istri ataupun sebagai orangtua.

b. Tahun pertengahan (midle years)

Periode ini berlangsung antara tahun kesepuluh sampai dengan tahun

ketigapuluh dari masa perkawinan. Masa yang terjadi pada tahap ini

adalah “child full phase” yang kemudian diikuti oleh “us aging phase”.

Pada “child full phase” orangtua mengkonsentrasikan pada

18
pengembangan dan pemeliharaan keluarga, selain itu suami istri harus

mampu menyelesaikan konflik-konflik sosial yang timbul dalam

perkawinan, sehingga tidak terjadi ketegangan dalam keluarga. Pada “us

aging phase” pasangan suami istri menemukan dan membangun kembali

hubungan antara kedua belah pihak. Pasangan suami istri kembali

menyusun prioritas baru dan menikmati hubungan intim yang telah

diperbaharui, tanpa ada anak-anak dalam rumah.

Bagi suami istri yang tidak memiliki anak, maka fase ini dapat

digunakan untuk memusatkan perhatian pada karier ataupun aktivitas-

aktivitas produktif lainnya. Pasangan suami istri merupakan titik penting,

yang berarti bahwa suami istri serasa berada dalam sarang kosong

karena anak-anaknya telah pergi atau menikah.

c. Tahun matang (mature years)

Masa ini dimulai pada tahun ketiga puluh dalam perkawinan.

Pasangan suami istri berada dalam peran yang baru, misalnya bertindak

sebagai kakek atau nenek, menikmati hari tua bersama-sama atau hidup

sendiri lagi karena salah satu pasangan telah meninggal lebih dulu.

Masa ini merupakan masa pensiun atau pengunduran diri dari kegiatan-

kegiatan di dalam dunia kerja.

19
2.2 Self Efficacy

1. Pengertian Self Efficacy

Menurut Rustika (2012), Efficacy memegang peran yang sangat penting

dalam kehidupan sehari-hari, seseorang akan mampu menggunakan potensi

dirinya secara optimal apabila self efficacy mendukungnya. Bandura (1997)

mengemukakan bahwa self efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap

kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan,

atau mengatasi hambatan.

Sama halnya dengan Adicondro dan Purnamasari (2011) yang mengatakan

bahwa self efficacy adalah proses kognitif yang mempengaruhi motivasi seseorang

untuk berperilaku. Seberapa baik seseorang dapat menentukan atau memastikan

terpenuhinya motif mengarah pada tindakan yang diharapkan sesuai situasi yang

dihadapi. Keyakinan akan seluruh kemampuan ini meliputi kepercayaan diri,

kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan kognitif, kecerdasan, dan motivasi

untuk bertindak pada situasi yang penuh tekanan.

Sedangkan Alwisol (2006) mengatakan bahwa self efficacy sebagai

persepsi diri sendiri mengenai seberapa kuat diri dapat bertahan dalam situasi

tertentu, self-efficacy berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki

kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Self-efficacy merupakan

pertimbangan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan

menampilkan tindakan yang diperlukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan,

tidak tergantung pada jenis keterampilan dan keahlian, tetapi lebih berhubungan

20
dengan keyakinan tentang apa yang dapat dilakukan dengan berbekal

keterampilan dan keahlian.

Selanjutnya, Alwisol (2006) juga menambahkan bahwa self efficacy

berbeda dengan aspirasi (cita-cita). Cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal

yang seharusnya dapat dicapai, sedangkan self efficacy menggambarkan penilaian

kemampuan diri. Self efficacy lebih penting dari kemampuan yang sebenarnya,

karena hasil penilaian diri akan mempengaruhi cara berfikir, reaksi emosi dan

perilaku individu.

Dari beberapa pedapat di atas, dapat disimpulkan bahwa self efficacy

adalah suatu pandangan atau persepsi mengenai keyakinan diri sendiri untuk dapat

menilai sejauh mana diri sendiri mampu menjalani permasalahan yang

dihadapinya.

2. Dimensi Self Efficacy

Menurut Bandura (dalam Ghufron & Risnawita, 2010), setiap individu

memiliki Self Efficacy yang berbeda yang berdasarkan tiga dimensi. Berikut tiga

dimensi Self Efficacy adalah :

a. Level

Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu

merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada

tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka self efficacy

individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang,

atau bahkan meliputi tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas

21
kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang

dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki implikasi

terhadap pemilihan tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan

menghindari tingkah laku yang berada di luar batas kemampuan yang di

rasakannya.

b. Strength

Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau

pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah

mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.

Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan

dalam usahanya. Meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang

menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi

level, yaitu makin tiggi level taraf kesulitan tugas, makin lemah keyakinan

yang dirasakan untuk menyelesaikannya.

c. Generality

Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku yang mana individu

merasa yakin akan kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap

kemampuan dirinya. Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi

tertentu atau pada serangkain aktivitas dan situasi yang bervariasi.

Berdasarkan uraian di atas, tiga dimensi self efficacy pada setiap individu

adalah dimensi level, strength, dan generality.

22
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy

Menurut Bandura (1997), ada empat faktor penting yang digunakan individu

dalam membentuk self efficacy, yaitu:

a. Pengalaman Keberhasilan (Mastery Experience)

Mastery experience merupakan prestasi yang pernah dicapai pada masa

lalu. Sebagai sumber, pengalaman masa lalu menjadi pengubah self

efficacy yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi yang bagus meningkatkan

ekspetasi self efficacy, sedangkan kegagalan menurunkan ekspektasi self

efficacy. Dampak dari self efficacy berbeda-beda, tergantung dari proses

pencapaiannya, yaitu:

1) Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat self efficacy

semakin tinggi.

2) Kerja sendiri lebih meningkatkan self efficacy dibandingkan kerja

kelompok atau dibantu orang lain.

3) Kegagalan menurunkan self efficacy, kalau orang merasa sudah

melakukannya dengan sebaik mungkin.

4) Kegagalan ketika dalam suasana emosional atau stres, dampaknya

tidak seburuk kalau kondisinya optimal.

5) Kegagalan ketika orang memiliki self efficacy tinggi, dampaknya

tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang memiliki

self efficacy rendah.

6) Orang yang biasa berhasil sesekali gagal tidak mempengaruhi self

efficacy.

23
b. Pengalaman Orang lain (Vicarious Experience)

Diperoleh melalui model sosial. Self efficacy akan meningkat ketika

individu mengamati keberhasilan orang lain, ketika melihat orang lain

dengan kemampuan yang sama berhasil dalam suatu bidang atau tugas

melalui usaha yang tekun, individu juga akan merasa yakin bahwa dirinya

juga dapat berhasil dalam bidang tersebut dengan usaha yang sama.

Sebaliknya, dapat menurun ketika orang diamati gagal walaupun telah

berusaha dengan keras, individu juga akan ragu untuk berhasil dalam

bidang tersebut. Peran vicarious experience terhadap self efficacy

seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi diri dari individu tersebut

tentang dirinya memiliki kesamaan dengan model.

Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka

kesuksesan dan kegagalan model akan semakin mempengaruhi self

efficacy pada dirinya. Sebaliknya, apabila individu merasa dirinya semakin

berbeda dengan model, maka self efficacy menjadi semakin tidak

dipengaruhi oleh perilaku model. Seseorang akan berusaha mencari model

yang memiliki kompetensi atau kemampuan yang sesuai dengan dirinya,

dengan mengamati perilaku dan cara berfikir model tersebut akan dapat

memberi pengetahuan dan pelajaran tentang strategi dalam menghadapi

berbagai tuntutan lingkungan.

24
c. Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)

Self-efficacy juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui

persuasi verbal. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang

tepat, persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi self-efficacy. Kondisi

ini adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistis dari apa

yang dipersuasikan. Pada persuasi verbal, individu diarahkan dengan

saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya

tentang kemampuan–kemampuan yang dimiliki yang dapat membantu

mencapai tujuan yang diinginkan.

Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha

lebih keras untuk mencapai suatu keberhasilan. Pengaruh persuasi verbal

tidaklah terlalu besar, karena tidak memberikan suatu pengalaman yang

dapat langsung dialami atau diamati individu. Dalam kondisi yang

menekan dan kegagalan terus-menerus, pengaruh sugesti akan cepat

lenyap jika mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan.

d. Keadaan Emosional

Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi

self efficacy dibidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas dan stres

dapat mengurangi self efficacy, namun bisa juga terjadi peningkatan emosi

(yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan self efficacy. Perubahan

tingkah laku dapat terjadi kalau sumber ekspektasi self efficacy berubah.

Perubahan self efficacy banyak dipakai untuk memperbaiki kesulitan dan

adaptasi tingkah laku orang yang mengalami berbagai masalah.

25
4. Proses-Proses Self Efficacy

Menurut Bandura (1997), ada empat proses psikologis dalam self efficacy

yang turut berperan dalam diri manusia yaitu:

a. Proses Kognitif

Proses kognitif merupakan suatu proses berfikir yang didalamnya

termasuk pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi.

Biasanya, tindakan manusia berawal dari sesuatu apa yang difikirkan

terlebih dahulu. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi lebih

senang membayangkan tentang kesuksesan. Sebaliknya, individu dengan

self efficacy rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal

lainnya yang dapat menghambat kesuksesan.

b. Proses Motivasi

Individu memberi motivasi untuk dirinya sendiri dan mengarahkan suatu

tindakan untuk melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya.

Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam

beberapa hal, yaitu salah satunya menentukan tujuan yang telah ditentukan

individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka

dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan keyakinan setiap individu

dalam menghadapi kegagalan.

c. Proses Afektif

Proses afektif merupakan suatu proses pengendalian kondisi emosi dan

reaksi emosional pada individu. Menurut Bandura (1997), keyakinan

individu akan coping mereka turut mempengaruhi level stres dan depresi

26
seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi self efficacy

tentang kemampuannya mengendalikan sumber stres memiliki peranan

penting dalam timbulnya kecemasan. Individu yang percaya akan

kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan

hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol

situasi cenderung mengalami level kecemasan yang tinggi, selalu

memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh

dengan ancaman, membesar-besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas

pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi.

d. Proses Seleksi

Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut

mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung

menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka.

Jika individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu

situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut.

Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat

meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka.

2.3 Hubungan antara Self Efficacy dengan Kepuasan Pernikahan Pada

Wanita Periode Awal Pernikahan

Self efficacy pada wanita menikah diharapkan mampu menjadi solusi untuk

memberikan keyakinan dan kemampuan pada setiap konflik yang terjadi dalam

rumah tangga. Dlam hal ini self efficacy dapat diartikan sebagai keyakinan

individu mengenai kemampuan dirinya dalam memotivasi dirinya untuk

27
melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu

(Bandura, 1997).

Self efficacy memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi level, strength, dan

generality. Menurut Bandura (1997) seseorang yang memiliki self efficacy tinggi

akan mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Oleh sebab

itu, self efficacy dapat membantu wanita menikah memiliki kemampuan dalam

manajemen konflik yang mereka hadapi. Karena jika wanita tidak memiliki

pemecahan masalah yang baik, maka akan memungkinkan terjadinya perceraian

(Fajar, 2016). Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Papalia, Olds, dan

Feldman (2009) bahwa keberhasilan pernikahan bergantung pada cara seseorang

memanajemen konflik mereka.

Hanurawan (2010) mengatakan bahwa tingkat keberhasilan manusia dalam

memecahkan masalah akan mempengaruhi kebahagiaannya, sehingga dapat

menentukan tingkat kepuasan pernikahannya. Kepuasan pernikahan didefinisikan

sebagai sejauh mana pasangan yang menikah merasakan dirinya tercukupi dan

terpenuhi dalam hubungan yang dijalani (DeGenova & Rice, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, dimana self efficcacy yang dimiliki individu

akan berdampak pada kepuasan pernikahan, hal tersebut juga didukung oleh hasil

penelitian yang mengungkapkan bahwa self-efficacy pada pasangan suami istri

dapat meningkatkan kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh suami istri (Mashal

pour fard et al., 2016).

Mengacu kepada beberapa uraian di atas, jelas ada keterkaitan antara self

efficacy yang dimiliki individu terhadap kepuasan pernikahan. Individu yang

28
memiliki self efficacy tinggi akan lebih mampu memecahkan permasalahan rumah

tangga dengan baik, sehingga kondisi tersebut sangat mendukung individu untuk

mencapai kepuasan pernikahan terutama di periode awal pernikahan.

Berdasarkan pemahaman yang telah diuraikan di atas, maka dapat

digambarkan alur kerangka pemikiran sebagai berikut.

Gambar 1
Kerangka Berfikir Hubungan antara Self Efficacy dengan Kepuasan
Pernikahan Pada Wanita Periode Awal Pernikahan

Wanita Menikah
(Usia pernikahan 1-5 tahun menikah)

Dimensi Self Efficacy :


1. Level
2. Strength
3. Generality

Rendah Tinggi

Kepuasan pernikahan rendah Kepuasan pernikahan tinggi

Keterangan : = Mempunyai

= Mempengaruhi

29
2.4 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan uraian dari

teori-teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diambil suatu hipotesa

yaitu : ada hubungan antara self efficacy dengan kepuasan pernikahan wanita pada

periode awal pernikahan. Ada hubungan positif yaitu semakin tinggi self efficacy

maka semakin tinggi kepuasan pernikahan wanita pada periode awal pernikahan.

Begitu juga sebaliknya, semakin rendah self efficacy maka semakin rendah

kepuasan pernikahan wanita pada periode awal pernikahan.

30
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dapat dikatakan sebagai suatu atribut seseorang, atau obyek yang

mempunyai variasi antara satu orang dengan yang lainnya, variabel juga dapat

merupakan atribut dari bidang keilmuan dan kegiatan tertentu (Sugiyono, 2016).

Hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain dalam penelitian

dapat dibedakan menjadi :

3.1.1 Variabel Independen

Dalam penelitian ini yang dimaksud variabel independen adalah self

efficacy, yang dilambangkan dengan variabel X.

3.1.2 Variabel Dependen

Dalam penelitian ini yang dimaksud variabel dependen adalah kepuasan

pernikahan, yang dilambangkan dengan variabel Y.

3.2 Definisi Operasional

Definisi operasinal adalah mendefinisikan variable secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati yang memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau

fenomena (Hidayat, 2007).

3.2.1 Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan adalah perasaan bahagia dan puas terhadap

pernikahan yang dijalankan setiap pasangan, dan dapat memenuhi harapan setiap

31
pasangan. Kepuasan pernikahan dapat menjadi tolak ukur sebagai sebuah

keberhasilan pasangan dalam membangun rumah tangga, sehingga kepuasan

pernikahan memiliki peranan yang sangat penting untuk dapat meningkatkan

kesejahteraan dan kebahagiaan.

Tinggi rendahnya kepuasan pernikahan akan di uraikan dengan

menggunakan skala kepuasan pernikahan yang disusun oleh peneliti berdasarkan

aspek-aspek kepuasan pernikahan yang diterjemahkan dan diadaptasi dari

ENRICH Marital Satisfaction yang dikemukakan oleh Fowers dan Olson (1993)

yaitu: 1) Komunikasi (Communication), 2) Aktivitas bersama (Leisure Activity),

3) Orentasi keagamaan (Religius Orientation), 4) Pemecahan masalah (Conflict

Resolution), 5) Manajemen keuangan (Financial Management), 6) Orientasi

seksual (Sexual Orientation), 7) Keluarga dan teman (Family and Friend), 8)

Anak-anak dan pengasuhan (Children and Parenting), 9) Masalah kepribadian

(Personality Issues), 10) Kesamaan Peran (Equalitarium Role).

3.2.2 Self Efficacy

Self efficacy adalah suatu pandangan atau persepsi mengenai keyakinan diri

sendiri untuk dapat menilai sejauh mana diri sendiri mampu menjalani

permasalahan yang dihadapinya.

Tinggi rendahnya self efficacy akan diuraikan oleh peneliti dengan

menggunakan skala terjemahan Bandura, yaitu General Self Efficacy (GSE) dari

Schwarzer dan Jerusalem (1995) berdasarkan tiga dimensi self efficacy yang

32
dikemukakan oleh Bandura (dalam Ghufron dan Risnawita, 2010) yaitu: 1)

dimensi level, 2) dimensi strength, 3) dimensi generality.

3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

3.3.1 Populasi

Sugiyono (2016) mendefinisikan populasi sebagai wilayah generalisasi yang

terdiri atas : obyek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya.

Peneliti mengambil populasi di wilayah DKI Jakarta, Jenis Populasi dalam

penelitian ini adalah populasi terhingga, namun jumlahnya terlalu banyak, maka

tidak memungkinkan untuk sensus, sehingga peneliti menggunakan sampling

untuk penelitian berdasarkan karakteristik yang sudah ditentukan sebelumnya.

Berikut data populasi selama 5 tahun terakhir yang didapatkan dari website

data.jakarta.go.id.

Tabel 3.1
Data populasi registrasi pernikahan di DKI Jakarta

Tahun Jumlah
2013 - 2014 57652
2015 - 2016 55969
2017 - 2018 56766
Total 170387

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut, bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari

semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan

waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel (Sugiyono, 2016). Jumlah

33
sampel ini didapatkan menggunakan Rumus Slovin. Dimana Rumus Slovin adalah

sebuah rumus atau formula untuk menghitung jumlah sampel minimal apabila

perilaku dari sebuah populasi tidak diketahui secara pasti (Sugiyono,2013).

Adapun Rumus Slovin adalah sebagai berikut ini:

Ket :
n = Sampel
N = Populasi
= Batas toleransi kesalahan (error tolerance)

Jumlah populasi adalah 170387 orang tingkat kesalahan yang dikehendaki

adalah 10%, maka jumlah sampel yang digunakan adalah

Maka diperoleh jumlah sampel minimum sebesar 100. Namun peneliti

menetapkan akan menggunakan sampel sebanyak 150 orang.

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel merupakan suatu teknik untuk menentukan

sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling

(Sugiyono, 2016). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling

Insidental, yaitu teknik untuk menentukan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu

siapa saja yang secara kebetulan atau insidental bertemu dengan peneliti dapat

digunakan sebagai sampel, bila ditemukan orang yang kebetulan ditemui itu cocok

sebagai sumber data (Sugiyono, 2016).

34
3.4 Metode Pengumpulan Data

Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan

menggunakan skala sikap. Skala sikap menurut Azwar (2011) adalah kumpulan

pernyataan-pernyataan sikap yang ditulis, disusun, dan dianalisis sedemikian rupa,

sehingga respon seseorang terhadap pernyataan tersebut dapat diberi angka (skor)

dan kemudian diinterpretasikan. Jenis skala yang digunakan adalah skala likert,

yang merupakan metode untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang

atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2016).

Variabel yang diukur akan dijabarkan menjadi beberapa indikator,

kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai acuan untuk menyusun aitem-aitem

instrument yang berupa pernyataan, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan

antara konsep diri dengan kepuasan pernikahan wanita pada periode awal

pernikahan.

Penelitian ini menggunakan dua buah skala, yaitu skala kepuasan

pernikahan dan skala self efficacy.

3.4.1 Skala Kepuasan Pernikahan

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kepuasan

pernikahan yang diukur menggunakan sepuluh aspek dari kepuasan pernikahan

yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (1993) pada ENRICH Marital

Satisfication Scale, yaitu aspek Komunikasi (Communication), Aktivitas

bersama (Leisure Activity), Orentasi keagamaan (Religius Orientation),

Pemecahan masalah (Conflict Resolution), Manajemen keuangan (Financial

Management), Orientasi seksual (Sexual Orientation), Keluarga dan teman

35
(Family and Friend), Anak-anak dan pengasuhan (Children and Parenting),

Masalah kepribadian (Personality Issues), Kesamaan Peran (Equalitarium Role).

Jika nilai skala dari aspek tersebut tinggi, maka kepuasan pernikahan tersebut

tinggi, sedangkan jika nilai skala dari aspek tersebut rendah maka kepuasan

pernikahan tersebut rendah.

Skala ini dikembangkan dengan menggunakan skala Likert yang terdiri dari

30 butir pernyataan. Aitem-aitem dalam skala ini menggunakan empat pilihan

jawaban, yaitu : sangat tidak sesuai (STS), tidak sesuai (TS), sesuai (S), dan

sangat sesuai (SS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan mendukung

(favorable) dan tidak mendukung (unfavorable), nilai yang diberikan memiliki

rentang 1-4. Bobot untuk pernyataan mendukung (favorable), yaitu SS = 4, S=3,

TS=2, STS=1 sedangkan untuk pernyataan tidak mendukung (unfavorable) yaitu

SS=1, S=2, TS=3, STS=4. Berikut adalah Blue Print yang menyajikan distribusi

aitem-aitem skala kepuasan pernikahan.

Tabel 3.2
Blue Print Skala Kepuasan Pernikahan Sebelum Uji Coba (Try Out)

No. Aspek Favorable UnFavorable Total


1 Komunikasi 3,10 9 3
2 Aktifitas Bersama 6,8 13 3
3 Orientasi Keagamaan 28,30 7 3
4 Pemecahan Masalah 1,19 15 3
5 Manajemen Keuangan 20,22 4 3
6 Orientasi Seksual 2,18 5 3
7 Keluarga dan Teman 12,29 24 3
8 Anak-anak dan Pengasuhan 21,27 17 3
9 Masalah Kepribadian 11,14 25 3
10 Kesamaan Peran 16,23 26 3
Total 20 10 30

36
3.4.2 Skala Self Efficacy

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala self efficacy yang

dikembangkan oleh peneliti berdasarkan tiga dimensi dari self efficacy yang

dikemukakan oleh Bandura (dalam Ghufron & Risnawita, 2010), yaitu level,

strength, generality. Jika nilai skala dari dimensi tersebut tinggi, maka self

efficacy tersebut tinggi, sedangkan jika nilai skala dari dimensi tersebut rendah

maka self efficacy tersebut rendah.

Skala ini dikembangkan dengan menggunakan skala Likert yang terdiri dari

20 butir pernyataan. Aitem-aitem dalam skala ini menggunakan empat pilihan

jawaban, yaitu : sangat tidak sesuai (STS), tidak sesuai (TS), sesuai (S), dan

sangat sesuai (SS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan mendukung

(favorable) dan tidak mendukung (unfavorable), nilai yang diberikan memiliki

rentang 1 – 4. Bobot untuk pernyataan mendukung (favorable), yaitu SS = 4, S=3,

TS=2, STS=1 sedangkan untuk pernyataan tidak mendukung (unfavorable) yaitu

SS=1, S=2, TS=3, STS=4. Berikut adalah Blue Print yang menyajikan distribusi

aitem-aitem skala self efficacy.

Tabel 3.3
Blue Print Skala self efficacy Sebelum Uji Coba (Try Out)

No. Dimensi Favorable UnFavorable Total


1 Level 1,3,10,12 2,13,16 7
2 Strength 5,7,8,19 4,17,20 7
3 Generality 6,9,11,15 14,18 6
Total 12 8 20

37
3.4.3 Validitas Alat Ukur

Hasil penelitian dikatakan valid apabila terdapat kesamaan antara data yang

terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada pada obyek yang diteliti.

Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang

hendak diukur. Uji validitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji

validitas internal, yang berupa nontest (mengukur sikap), validitas isi dapat

dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan isi atau rancangan

yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2012). Tinggi rendahnya validitas ukur

dinyatakan dengan angka yang disebut koefisien validitas. Koefisien validitas

yang baik dan terukur nilainya berkisar 0,30 dan nilai ini dianggap bisa

memberikan kontribusi yang baik terhadap efisiensi suatu hasil penelitian

(Cronbach dalam Azwar, 2012).

3.4.4 Daya Diskriminasi

Uji coba alat ukur dilakukan untuk melihat daya diskriminasi aitem/daya

beda aitem korelasi aitem total dari alat ukur untuk digunakan dalam penelitian.

Daya diskriminasi aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara

individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut

yang diukur (Azwar, 2012). Daya diskriminasi aitem memiliki batasan nilai 0,3

sehingga dapat digunakan dalam satuan alat ukur.

38
3.4.5 Reliabelitas Alat Ukur

Reliabel artinya dapat digunakan berkali-kali dan menghasilkan data yang

sama. Pengujian reliabilitas instrumen dapat dilakukan secara eksternal maupun

internal. Uji reliabilitas pada penelitian ini adalah reliabilitas internal

menggunakan konsistensi butir-butir yang ada pada instrumen sekali saja

kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu (Sugiyono, 2016).

Estimasi reliabilitas pengukuran di anggap tinggi atau memuaskan yaitu

kisaran rxx = 0,90. Lebih tinggi lagi adalah lebih baik sehingga dapat diyakini

bahwa eror yang terjadi adalah sangat kecil. Instrumen riset yang hanya dapat

menghasilkan reliabilitas pengukuran kurang dari rxx = 0, 80 tidak layak untuk

digunakan dalam penelitian psikologi (Azwar, 2017).

3.5 Metode Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau

sumber data lain terkumpul. Kegiatan dalam analisis data ini meliputi:

mengelompokkan data berdasarkan variabel atau seluruh responden, menyajikan

data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan

masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan

(Sugiyono, 2016).

Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam

penelitian ini menggunakan teknik analisa statistik yaitu statistik inferensial

parametris, yang merupakan teknik statistik digunakan untuk menguji parameter

populasi atau menguji ukuran populasi melalui data sampel (Sugiyono, 2016).

39
Statistik inferensial parametris meliputi : uji asumsi dan uji hipotesis. Uji

asumsi digunakan sebagai syarat penggunaan statistik parametris, maka sebelum

dianalisis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi terhadap data yang diperoleh,

meliputi :

3.5.1 Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model

korelasi antara variabel independen dengan variabel dependen atau keduanya

mempunyai distribusi normal atau tidak mendekati normal. Sebaran data normal

atau tidak normal pada penelitian adalah dengan teknik statistik One Sample

Kolmogorov-Smirnov dengan nilai besar dari 0,05, maka dapat disimpulkan

bahwa data yang melebihi 0,05 pada variabel berdistibusi normal.

b. Uji Linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel mempunyai

hubungan yang linear atau tida secara signifikan. Uji linearitas ini dilakukan

dengan menggunakan Test For Linierity dengan taraf signifikansi 0,05.

3.5.2 Uji Hipotesis

Uji Hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan atau

korelasi antara variabel independen dengan dependen dan berapa besar serta

bagaimana korelasi atau hubungannya. Teknik analisis data yang digunakan

adalah teknik hipotesis korelasi product moment.

40
DAFTA R PUSTAKA

Adicondro, N., & Purnamasari, A. (2011). Efikasi diri, Dukungan Sosial Keluarga
Dan Self Regulated Learning Pada Siswa Kelas VIII. Humanitas, 3.

Afni, N., & Indrijati, H. (2011). Pemenuhan Aspek-Aspek Kepuasan Perkawinan


pada Istri yang Menggugat Cerai. INSAN, 13, No.03, 176–184.

Alwisol. (2006). Psikologi Kepribadian (Edisi Revi). Malang: PT. UMM Press.

Az Zahra, S., & Caninsti, R. (2016). Hubungan Antara Kepuasan Pernikahan


Dengan Spiritualitas Pada Istri Bekerja Yang Berada Dalam Tahap
Pernikahan Families With School Children Correlation Between Marriage
Satisfaction And Spirituality Towards Working Wives In The Stages Of
Marriage Familie. Jurnal Psikogenesis, 4(2), 215–223.

Azwar, S. (2011). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya (2nd ed.).


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2012). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Azwar, S. (2017). Metode Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy in Changing Societies. Cambridge University


Press.

Barash, S. S. (2012). The Nine Phases of Marriage : How to Make It, Break It,
Keep It. New York: St. Martin’s Press.

Baron, A. R., & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial Jilid 2 Edisi Kesepuluh (10th
ed.). Jakarta: Erlangga.

DeGenova, M. K., & Rice, F. P. (2005). Intimate Relationship, Marriages, and


family. New Jersey: McGraw-Hill Humanities.

Fajar, D. P. (2016). Teori-Teori Komunikasi Konflik: Upaya Memahami dan


Memetakan Konflik. Malang: Universitas Brawijaya Press (UB Press).

Fowers, B. J., & Olson, D. H. (1993). ENRICH Marital Satisfaction Scale: A


Brief Research and Clinical Tool. Journal of Family Psychology, 7(2), 176–
185. https://doi.org/10.1037/0893-3200.7.2.176

Ghufron, M. N., & Risnawita, R. (2010). Teori-teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-


Ruzz Media.

41
Ghufron, M. N., & Suminta, R. R. (2017). Komitmen Beragama dan Kepuasan
Perkawinan pada Pasangan yang Bekerja Menjadi Tenaga Kerja Indonesia.
Psikohumaniora, 2. https://doi.org/DOI:
http://dx.doi.org/10.21580/pjpp.v2i2.2172

Hanurawan, F. (2010). Psikologi Sosial Suatu Pengantar. (A. S. Wardan, Ed.).


Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Hidayat, A. A. A. (2007). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknis Analisis


Data. Jakarta: Salemba Medika.

Istiqomah, I. (2015). Hubungan Antara Religiusitas dengan Kepuasan


Perkawinan, 11.

Mashal pour fard, M., Kavoosi, M., Ebadi, Z., & Moussavi, S. (2016). The
Relationship between Self-efficacy and Marital Satisfaction among Married
Students. International Journal of Pediatrics, 4(8), 3315–3321.
https://doi.org/10.22038/IJP.2016.7384

Matondang, A. (2014). Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian dalam


Perkawinan, 2(2), 141–150.

Olson, D., DeFrain, J., & Skogrand, L. (2010). Marriages and Families: Intimacy,
Diversity, and Strengths 7 Edition (7 edition). Boston: McGraw-Hill
Humanities.

Papalia, E. D., Olds, W. S., & Feldman, D. R. (2008). Human Development


Psikologi Perkembangan (5th ed.). Jakarta.

Papalia, E. D., Olds, W. S., & Feldman, D. R. (2009). Human Development, Edisi
10 Perkembangan Manusia. (R. Widyaningrum, Ed.) (10th ed.). Jakarta:
Salemba Humanika.

Psikologi, P. S., Kedokteran, F., & Kuala, U. S. (2016). DEWASA AWAL DI


KOTA BANDA ACEH Putri Soraiya , Maya Khairani , Risana Rachmatan ,
Kartika Sari , Arum Sulistyani, 15(1), 36–42.

Rustika, I. M. (2012). Efikasi Diri: Tinjauan Teori Albert Bandura. Buletin


Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 20.

Stutzer, A., & Frey, B. S. (2005). Does Marriage Make People Happy, Or Do
Happy People Get Married?, (1811). Retrieved from
https://psydok.psycharchives.de/jspui/bitstream/20.500.11780/1124/1/dp181
1.pdf

Sugiyono. (2012). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

42
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.

Walgito, B. (2011). Bimbingan & Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Andi


Publisher.

Zahrotun Nihayah, Y. A. & Z. I. W. (2006). Peran Religiusitas dan Faktor-Faktor


Psikologis Terhadap Kepuasan Pernikahan Zahrotun Nihayah , Yufi Adriani
, Zulfa Indira Wahyuni. Annual International Conference on Islamic Studies
(AICIS XII), 937–964.

43
Inisial :

Usia Pernikahan : tahun

Petunjuk :

Berikut adalah sejumlah pernyataan. Pilihlah satu pilihan jawaban pada setiap

pernyataan di bawah ini yang paling menggambarkan keadaan anda yang

sesungguhnya. Bacalah setiap pernyataan dengan seksama, kemudian jawablah

sejujur-jujurnya seseuai dengan apa yang anda pahami pada setiap pernyataan.

Pastikan anda telah mengisi seluruh pernyataan-pernyataan tersebut, sehingga

adalah baik untuk memeriksanya kembali untuk meninjau apakah ada nomor yang

masih belum dikerjakan.

Silahkan beri tanda ceklis (√) pada salah satu dari empat pilihan di kotak

jawaban yang tersedia sebagai tanggapan bagi setiap pernyataan.

Contoh :

No. Pernyataan SS S TS STS


1. Saya dan pasangan bekerjasama dengan √
baik untuk mengatur keuangan keluarga.

Keterangan : SS : Sangat Sesuai TS : Tidak Sesuai

S : Sesuai STS : Sangat Tidak Sesuai

44
No. Pernyataan SS S TS STS
Saya puas dengan cara kami
1
menyelesaikan masalah dalam hubungan
Saya mendapatkan kepuasan saat
2 melakukan hubungan seksual bersama
suami saya
Saya merasa nyaman saat menyampaikan
3
pendapat kepada suami saya
Sampai saat ini saya dan suami masih
4 belum bisa mengatur keuangan dengan
baik
Saya merasa hubungan seksual saya
5
tidak seperti yang diharapkan

Jika ada waktu luang, saya akan


6
beraktivitas bersama dengan pasangan

Suami saya tidak tertarik ikut terlibat


7
dalam acara keagamaan
Suami saya tidak menolak jika saya
8 mengajak pergi untuk mengisi waktu
luang
Suami saya tidak terbuka dengan
9
permasalahan yang dihadapinya
Kami sering berdiskusi tentang
10 konflik rumah tangga secara baik-
baik
Saya dapat dengan mudah meredakan
11 amarahnya karena saya sangat mengerti
dirinya
Saya merasa nyaman ketika membaur
12
dengan keluarga besar suami saya.

Jika ada waktu luang, saya lebih


13
memilih pergi bersama teman-teman
Saya tidak memiliki masalah
14 dengan segala kekurangan dalam
diri pasangan saya
Ada banyak konflik yang belum
15
terselesaikan di antara kami

45
Saya merasa puas dengan
16 pembagian peran dalam rumah
tangga
Saya dan suami memiliki
17 pandangan yang berbeda dalam
mengurus anak
Saya dan suami berbicara secara
18 terbuka mengenai hubungan seksual
yang kami alami
Kami bekerjasama dalam mengatasi
19 konflik rumah tangga yang kami
alami
Saya dan suami mempunyai
20 komitmen untuk mengatur keuangan
bersama-sama
Saya puas dengan kesepakatan
21
kami dalam mengurus anak

Saya senang suami mempercayakan


22
saya dalam mengurus keuangan

Kami selalu bekerjasama dalam


23
mengurus pekerjaan rumah
Saya merasa tidak nyaman jika
24 berkumpul bersama keluarga besar
suami saya
Saya merasa tidak puas dengan
25 kekurangan yang dimiliki suami
saya
Saya tidak puas dengan pembagian
26
peran dalam mengurus rumah tangga
Kami selalu berdiskusi tentang masa
27
depan anak

Suami saya mendukung saat saya ikut


28
kegiatan keagamaan
Suami saya tidak bermasalah
29 jika saya menghadiri acara
reuni bersama teman

30 Saya dan suami rutin bersedekah

46
No. Pernyataan SS S TS STS
Saya dapat menyelesaikan masalah yang
1
saya hadapi
Saya tetap melakukan sesuatu di luar batas
2
kemampuan saya
Saya dengan mudah mengetahui batas
3
kemampuan diri saya
Saya cenderung membiarkan masalah dalam
4
rumah tangga saya
5 Saya tetap berusaha walaupun sudah gagal
Saya mampu menjadi seorang istri dan
6
wanita karir disaat bersamaan
Saya mampu memotivasi diri sendiri untuk
7
mencapai tujuan
Saya dengan mudah memotivasi diri untuk
8
dapat memecahkan masalah
Saya dapat melakukan pekerjaan rumah
9
yang biasa dilakukan suami saya
Saya tidak melakukan sesuatu yang
10
melampaui batas kemampuan saya
Saya tidak ragu melakukan sesuatu hal yang
11
belum pernah saya lakukan
Saya dapat menghadapi masalah sesulit
12
apapun
Saya ragu terhadap kemampuan diri saya
13
dalam memecahkan masalah
Saya kurang yakin dengan kemampuan
14
yang saya miliki
Ketika saya dihadapkan dengan beberapa
15 masalah, saya yakin bisa menemukan
solusinya
Saya tetap tenang jika memiliki masalah
16
sesulit apapun
Kegagalan membuat saya berhenti untuk
17
berusaha
Saya tidak yakin untuk melakukans sesuatu
18
yang belum pernah saya kerjakan
Saya tahu apa yang harus dilakukan jika ada
19
masalah dalam rumah tangga
Saya sulit memotivasi diri untuk dapat
20
memecahkan masalah

47

Anda mungkin juga menyukai