TESIS
HADET PRISDHIANY
0906565072
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
JAKARTA
JANUARI 2015
TESIS
HADET PRISDHIANY
0906565072
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
JAKARTA
JANUARI 2015
i Universitas Indonesia
NPM : 0906565072
Tanda Tangan:
ii Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 19 Januari 2015
Mengetahui
Kepala Departemen
Koordinator Penelitian
iv Universitas Indonesia
Segala puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Sholawat dan salam selalu saya
panjatkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW.
Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
mencapai gelar Spesialis Neurologi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis
Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan tesis ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih
kepada:
(1) Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Direktur Utama RSCM, Direktur Instalasi Rawat Jalan RSCM,
Koordinator Pendidikan Dokter Spesialis FKUI/RSCM beserta seluruh
jajarannya, atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk
menempuh pendidikan spesialis di Departemen Neurologi FKUI/RSCM.
(2) Ketua Departemen Neurologi dr. Diatri Nari Lastri, SpS(K) dan Ketua
Program Studi PPDS Neurologi dr. Eva Dewati, SpS(K) untuk bimbingan
dan kesempatan yang diberikan bagi saya untuk belajar di Departemen
Neurologi FKUI/RSCM.
(3) Para pembimbing dan moderator tesis saya: dr. Fitri Octaviana, Sp.S(K),
M.Pd.Ked dan dr. Astri Budikayanti, SpS(K); untuk inspirasi, kesabaran,
waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan dalam mengarahkan saya pada
penyusunan tesis ini. DR. dr. Judho Prihartono, MPH selaku pembimbing
statistik, terimakasih dan rasa hormat atas waktu dan pikiran yang telah
diberikan dalam membatu saya selama proses penelitian.
(4) Para penguji saya: dr. Zakiah Syeban, SpS(K), dr. Adre Mayza, Sp.S(K),
dr. Darma Imran,Sp.S(K), untuk segala asupan dan pemikiran yang telah
diberikan dalam tiap tahap ujian tesis ini, dr. Luh Ari Indrawati, Sp.S
selaku moderator yang juga memberikan masukan atas tesis ini.
v Universitas Indonesia
vi Universitas Indonesia
Hadet Prisdhiany
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Januari 2015
Yang menyatakan
Hadet Prisdhiany
Metode. Desain penelitian adalah potong lintang pada pasien ELT mesial-SH di
Poliklinik Epilepsi RSCM. Kriteria inklusi adalah pasien ELT mesial-SH yang
menunjukkan lokasi yang sama antara aktivitas epileptiform interiktal pada
elektroensefalografi (EEG) dan letak SH pada magnetic resonance imaging
(MRI). Dilakukan anamnesis pada pasien dan keluarga, mengenai bentuk
bangkitan epileptik, kemudian dinilai kesesuaian antara semiologi dan sisi lesi.
ix Universitas Indonesia
Methods. This was a cross sectional study involving patients with mTLE-HS in
Epilepsy Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital. Inclusion criterias were patients
with mTLE-HS who have same side of interictal epileptiform activity based on
electroencephalography (EEG) and HS based on Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Anamnesis were taken from patient and family member on seizure
semiology. Then, concordance between semiology and side of lesion was
analyzed.
x Universitas Indonesia
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah ............................................................. 1
1.2 Rumusan masalah ...................................................................... 4
1.3 Tujuan penelitian ........................................................................ 5
1.4 Manfaat penelitian ..................................................................... 5
1.4.1 Bidang penelitian .............................................................. 5
1.4.2 Bidang pendidikan ............................................................. 5
1.4.3 Bidang pelayanan masyarakat .......................................... 6
xi Universitas Indonesia
Gambar 2.1 Batasan lobus temporal dan posisi sulkus mayor dan girus
dan penanda lain permukaan lateral dan medial
hemisfer serebri kiri ................................................................ 10
Gambar 2.2 Potongan transversal badan hipokampus, girus dentata,
fissura koroid dan bagian tanduk inferior ventrikel lateral ..... 11
Gambar 2.3 Potongan koronal lobus temporal dan struktur sekitarnya,
pada level kepala hippokampus ............................................ 11
Gambar 2.4 Hubungan anatomi lobus temporal, potongan seksional
temporal, anterior amigdala, hipokampus dan tanduk
temporal ................................................................................... 10
Gambar 2.5 Mekanisme bangkitan parsial pada lobus temporal .................. 19
Gambar 2.6 Mikroskopik (A) Hippokampus normal dan
(B-I) Sklerosis hippokampus .................................................. 20
Gambar 2.7 Skematik 3 potensial jalur propagasi bangkitan epileptik ....... 21
Gambar 2.8 Jalur-jalur utama penyebaran cetusan epileptik dari kompleks
amigdala-hippokampus kanan ................................................. 22
Gambar 2.9 Gambar EEG interiktal, laki-laki dengan epilepsi lobus
temporal mesial kanan ............................................................. 34
Gambar 2.10 Gambar EEG, wanita 29 tahun dengan
riwayat bangkitan epileptik parsial kompleks ......................... 35
Gambar 2.11 Lateralisasi gelombang tajam temporal dengan fase reversal
terlihat di regio mid temporal kiri (T3) ................................... 39
Gambar 4.1 Persentase sebaran semiologi .............................................. 54
Gambar 4.2 Persentase Sebaran semiologi pada ELT mesial kanan ........... 55
Gambar 4.3 Persentase Sebaran semiologi pada ELT mesial kiri ............... 56
xv Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Sindrom epilepsi lobus temporal (ELT) berkisar 30–35% pada dewasa
maupun anak-anak dari keseluruhan jenis epilepsi dimana sebanyak 2/3 berasal
dari lobus temporal mesial, sisanya lobus temporal lateral. Sindrom ELT mesial
saja berkisar 20% dari seluruh epilepsi dengan penyebab umum (65%) sklerosis
hippokampus (SH).1,2 Secara umum di dunia, terdapat ± 50-60 juta penyandang
epilepsi, dengan tingkat prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%.3 Di negara
berkembang, prevalensi epilepsi berkisar 14-57 kasus per 1000 penduduk dan
insidensi 30-115 orang per 100.000 penduduk. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 220 juta orang, maka diperkirakan jumlah penyandang epilepsi adalah
lebih dari 1,1 juta orang dan insidensi 250.000 orang per tahun. Jika
dibandingkan di negara maju dengan prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk,
dan insidensi 25-50 orang per 100.000 penduduk per tahun, maka prevalensi dan
insidensi penyandang epilepsi di negara berkembang seperti Indonesia,
diperkirakan 2-3 kali lebih tinggi.4 Khusus pada ELT mesial, 70% pasien dapat
menjadi refrakter pengobatan, sehingga diperlukan pembedahan, namun
diperkirakan hanya 20% pasien epilepsi ini yang sudah mendapat tatalaksana
bedah epilepsi sejauh ini.5 Hal tersebut diatas menunjukkan fenomena gunung es
bahwa kasus epilepsi tinggi, dengan kasus ELT mesial yang refrakter pengobatan
terbanyak namun sedikit yang sampai mendapat tatalaksana bedah. Ini
seharusnya dapat dikenali lebih awal dan ditatalaksana maksimal baik oleh dokter
umum di pelayanan primer, maupun ahli syaraf dan bedah syaraf di jenjang
pelayanan yang lebih tinggi.
Langkah awal mendiagnosa klinis epilepsi adalah dengan mengetahui
semiologi bangkitan epileptik melalui anamnesis riwayat perjalanan penyakit.
Meskipun deskripsi per anamnesis bangkitan epileptik memiliki beberapa
keterbatasan namun masih dibutuhkan sampai sekarang analisanya secara detil.
Semiologi bangkitan epileptik merupakan tahapan kronologis dari perubahan
keadaan neurologis yang berulang, sementara, berhenti dengan sendirinya atau
1 Universitas Indonesia
tidak disadari. Semiologi bangkitan epileptik ini efektif untuk terlebih dahulu
membedakan bangkitan epileptik dan non epileptik. 6,7 Gangguan kesadaran atau
memori oleh karena aktivitas epileptik membuat pasien tidak mampu mengingat
gambaran bangkitan epileptiknya sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan kemampuan
observasi dan menceritakan kembali bangkitan epileptik oleh saksi mata keluarga
dan teman. Dengan semiologi ini, selanjutnya dapat diketahui tipe bangkitan,
sindroma dan etiologi epilepsi. Diawali dengan anamnesis pada pasien dan
keluarga pasien, sampai penggunaan alat diagnostik elektroensefalografi (EEG)
dan magnetic resonance imaging (MRI), merupakan faktor penting yang
menentukan prognosis dan tatalaksana pengobatan, serta penilaian prabedah
epilepsi.8
Salah satu penelitian menunjukkan akurasi 44,5% untuk mengingat
kembali setelah melihat video episode konvulsif dan 70% pada non konvulsivus.
Penilaian paling akurat adalah pada gambaran fasial dan vokalisasi, dan paling
tidak akurat pada deskripsi pergerakan tungkai dan tingkah laku postiktal. Pada
salah satu studi, spesifitas epileptologist berdasarkan anamnesis dalam
mengidentifikasi epilepsi lobus temporal adalah 50%, dan sensitivitas 96%
dengan akurasi klinis 94% mengidentifikasi bangkitan epileptik atau bukan
bangkitan epileptik.9,10 Studi lain menunjukkan sensitivitas 87% dan spesifitas
82% untuk seorang neurolog menegakkan diagnosa epilepsi dibandingkan
sensitivas 51% dan spesifitas 56% oleh dokter umum.11
Gambaran semiologi memiliki reliabilitas yang tinggi dalam menentukan
lateralisasi onset bangkitan epileptik. Penelitian Chee dan kawan-kawan (dkk)
meneliti rekaman video pada 27 pasien dengan epilepsi lobus temporal dan 11
pasien dengan epilepsi lobus ekstratemporal, didapatkan lateralisasi berdasarkan
semiologi bangkitan epileptik pada 80% pasien dan yang lateralisasinya sesuai
94%. Penelitian O’Brien dkk menganalisa semiologi bangkitan epileptik melalui
video menunjukkan 82% pasien dapat dilateralisasi berdasarkan semiologi
bangkitan epileptik dan lateralisasinya sesuai 90% ELT, dan pada epilepsi lobus
frontal (ELF), 87% pasien dapat dilateralisasi berdasarkan semiologi bangkitan
epileptik dan lateralisasinya sesuai 95%. Semiologi juga memberikan informasi
lokalisasi pada seluruh pasien ELT dan 83% pada pasien ELF. Penelitian Serles
Universitas Indonesia
dkk menilai kesesuaian 96% antara semiologi bangkitan epileptik dan EEG iktal
pada ELT. Pada penelitian yang sama juga dinilai informasi lokalisasi, bahwa
semua pasien dapat dilokalisasi dan sesuai lokalisasinya pada ELT, sementara
83% dapat terlokalisasi dan sesuai 74% pada pasien ELF.12-14
Tanda lateralisasi yang berguna pada saat iktal pada ELT adalah aura
abdominal, distonia unilateral, automatisme oroalimentari, automatisme tangan
automotor, automatisme dengan kesadaran terjaga, versive, spasme tonik
unilateral, muntah iktal, iktal verbal, aphasia postiktal, dan menyeka hidung
postiktal.15,16 Di luar negeri, banyak penelitian sudah dipublikasi mengenai tanda
lateralisasi yang memprediksi hemisfer onset bangkitan epileptik pada ELT. 12,15,17-
26
Di Indonesia, berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Aldi
dkk, gambaran aura pada 75% pasien ELT berupa rasa nyeri kepala, rasa tidak
nyaman di epigastrium dan rasa takut subjektif, serta adanya gerakan perputaran
kepala dan automatisme oral.27
Gambaran semiologi epilepsi lobus temporal (ELT) mesial adalah aura
khas munculnya sensasi epigastrium, deja vu, fenomena afektif berupa rasa takut
atau sedih diikuti tanda motorik unilateral dan bilateral. Behavioural arrest dan
automatisme oral umum terjadi dan penyebaran bitemporal berperan pada
perubahan kesadaran, amnesia, fenomena otonom (perubahan pada denyut jantung
dan pernafasan), dan khas terjadi automatisme motorik (tonic/dystonic
posture).1,28 Salah satu penelitian semiologi pada pasien dengan lesi hippokampus
dan ekstrahippokampus didapatkan gambaran semiologi saat awal iktal pada
lokasi lesi hippokampus yang bermakna adalah aura, automatisme oral dan
dystonic posture.29 Penelitian lain juga melaporkan kombinasi dari dystonic
posture kontralateral dan automatisme ipsilateral terobservasi hanya pada pasien
ELT mesial.30
Keuntungan elektroensefalografi (EEG) rutin adalah kemudahan, biaya
yang lebih murah, nyaman, dan tidak beresiko timbulnya status epileptikus. Bila
telah ada kesesuaian lateralisasi EEG interiktal, bersama dengan kesesuaian
gambaran klinis, dan adanya abnormalitas MRI membuat EEG interiktal dipakai
di semua pusat epilepsi. Keterbatasan EEG interiktal ini dapat dikurangi jika
semiologi bangkitan epileptik juga digunakan untuk menentukan onset bangkitan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada ELT mesial-SH, bentuk paling umum berupa epilepsi fokal dan
manifestasi klinis aktivitas epileptik di struktur limbik. Pada ELT mesial-SH,
terdapat gambaran khas pada semiologi, EEG, gambaran imaging, gambaran
patologi. Pada SH, tanda pola spesifik kehilangan sel melibatkan CA1 dan neuron
hilar dan sedikit daerah CA2. Pada salah satu penelitian, 70% pasien ELT yang
intraktabel post operasi memiliki SH secara patologis. 1,40 Pada ELT neokortikal,
dalam hal ini adalah ELT lateral, profil klinisnya berbeda dari ELT mesial.41
Usia onset rata-rata ± 5-10 tahun lebih dari ELT mesial. Tidak diketahui faktor
risiko jenis kelamin, budaya, ras. Tidak ada riwayat bangkitan epileptik demam,
cedera kepala, cedera perinatal ataupun infeksi susunan saraf pusat seperti ELT
mesial. Membedakan antara kedua jenis ELT ini memberi tantangan untuk
menentukan lokasi epileptogeniknya karena gejala klinis yang saling tumpang
tindih, dikarenakan koneksi antara struktur temporal lateral dan mesial membuat
penyebaran cetusan iktal pada arah yang mana saja di keduanya. 42
2.2 EPIDEMIOLOGI
Terdapat ± 50-60 juta orang penyandang epilepsi di seluruh dunia. Dari
banyak studi, diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata
prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk di negara maju, dengan insidensi 25-50
orang per 100.000 penduduk per tahun. Angka prevalensi epilepsi di negara
berkembang berkisar 14-57 kasus per 1000 orang dengan insidensi 30-115 per
100.000 penduduk per tahun.3 Prevalensi epilepsi di negara maju, pada bayi dan
anak-anak cukup tinggi, namun menurun pada dewasa muda dan pertengahan,
kemudian meningkat kembali pada kelompok usia lanjut. Di negara berkembang,
Universitas Indonesia
insidensi lebih sering pada dewasa muda. Di Indonesia, dengan jumlah penduduk
220 juta orang, diperkirakan jumlah penyandang epilepsi adalah 250.000 per
tahun dan dengan prevalensi 0,5%, terdapat lebih dari 1,1 juta orang dengan
epilepsi.4
Angka kejadian epilepsi lobus temporal berkisar 30 – 35 % dari
keseluruhan kejadian epilepsi dan sebanyak 2/3 nya berasal dari lobus temporal
mesial, sisanya lobus temporal lateral.1 Penyebab umum (65%) epilepsi lobus
temporal mesial adalah sklerosis hippokampus.2 Laki-laki dan perempuan bisa
sama terkenai. Usia saat onsetnya tergantung pada etiologi. Menurut Hauser dan
Kurland, yang melakukan penelitian epidemiologi epilepsi di Rochester
Minnesota dari tahun 1935 sampai dengan 1967 menyatakan bahwa angka insiden
dari epilepsi lobus temporal adalah 10.4 per 100.000 orang pada tahun 1945
sampai dengan 1964 dan 6.5 pada tahun 1935 sampai dengan 1944. 43 Pada
penelitian yang dilakukan di Poli Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, 74,2%
kunjungan merupakan penderita ELT.44 Data demografis memperlihatkan bahwa
ELT mesial-SH umumnya dimulai pada masa akhir kanak-kanak dan usia awal
dewasa, antara usia 4-16 tahun. Onset sebelum usia 4 tahun jarang, tetapi bisa
terjadi.5
Universitas Indonesia
Gambar 2.1 Batasan lobus temporal dan posisi sulkus mayor dan girus dan
penanda lain permukaan lateral dan medial hemisfer serebri kiri. 45
(CA):CA1-CA4 dikelilingi oleh girus dentata yang penting untuk transfer memori
jangka pendek ke penyimpanan jangka panjang pada korteks asosiasi. Girus
parahippokampus memiliki 2 koneksi antara hippokampus dan semua korteks
asosiasi mayor dan korteks olfaktori primer. Pasien dengan kerusakan berat lobus
temporal medial menjadi amnesia dengan ketidakmampuan membentuk dan
meraih memori baru.46
2.4 ETIOLOGI
Predisposisi genetik bisa ditemukan di ELT mesial-SH, tetapi bukan suatu
proses yang seragam, sebagai berikut ini.5
Insidensi meningkat dengan riwayat keluarga kejang demam dan epilepsi
(utamanya epilepsi bangkitan umum). Predisposisi genetik untuk kejang
demam dapat diasosiasikan dengan bangkitan epileptik yang berat pada
beberapa pasien yang menghasilkan sklerosis hippokampus dan ELT
mesial. Epilepsi umum dengan kejang demam dapat menjadi bangkitan
epileptik parsial/fokal.
Biasanya, tidak ada peningkatan insidensi riwayat keluarga dengan
epilepsi hippokampus dan sklerosis hippokampus tidak terjadi pada
saudara kembar yang memiliki SH. Namun, 18 dari 52 individu
asimptomatik dari 11 keluarga dengan ELT mesial familial memiliki atrofi
hippokampus sisi kiri (11 subyek) atau bilateral (7 subyek); 14 subyek
diantaranya memiliki tanda MRI klasik sklerosis hippokampus. Pada
kasus tersebut, diasumsikan bahwa defek genetik bisa menyebabkan ELT
mesial, membuat terjadinya SH dengan atau tanpa kejang demam.
Defek kanal natrium pada tikus dapat menyebabkan terjadinya SH, dan ini
memungkinkan defek yang sama dapat memiliki efek yang sama pada
manusia menyebabkan ELT mesial dengan atau tanpa kejang demam.
Begitu pula dengan penyebab SH masih belum diketahui. Ada dua pendapat
yang bertentangan mengenai ini:5
1. Konsep tradisional bahwa kejang demam lama dan cedera otak pada awal
kehidupan menyebabkan SH dan epilepsi hippokampus. Hal ini karena:
1/3 pasien dengan ELT mesial-SH memiliki riwayat kejang demam
lama dan lainnya memiliki riwayat cedera otak pada awal
kehidupan.
MRI memperlihatkan bahwa kejang demam lama dan fokal
menghasilkan kerusakan akut hippokampus menyebabkan atrofi
hippokampus.
2. Kecendrungan baru bahwa abnormalitas hippokampus yang sudah ada
sebelumnya mempredisposisi kejang demam. Jika ini berlangsung lama,
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
hippokampus dapat terjadi tanpa adanya tanda sklerosis hippokampus, hal ini
pada MRI terlihat dengan berkurangnya volume hippokampus (yang diukur
dengan menggunakan volumemetri) tapi memiliki gambaran T2 dan FLAIR yang
normal. Atrofi sebagai satu – satunya gambaran sklerosis hippokampus ditemukan
lebih dari 80 – 85% kasus.52,53
Interpretasi MRI menunjukkan atrofi hippokampus dengan sensitivitas
87%-100% pada pasien ELT hanya dengan analisa visual saja. Atrofi
54
hippokampus bilateral pada 10-15% kasus. Peningkatan intensitas signal T2
pada hippokampus bisa terlihat pada FLAIR, dan ini konsisten dengan sklerosis
hippokampus.55 Adanya MRI yang menunjukkan atrophy yang jelas ataupun
peningkatan intensitas sinyal struktur temporal mesial membantu evaluasi
prabedah pasien ELT yang refrakter. Pada pemeriksaan MRI volumetrik terhadap
formasi hippokampus saja memberikan lateralisasi 87%, terhadap amygdala dan
formasi hippokampus, didapatkan 93% lateralisasi yang masing-masing sesuai
dengan lateralisasi EEG.56
2.5 PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang menghasilkan penguatan sinyal, sinkronisitas, dan
13,51
penyebaran aktivitas terlibat dalam transisi interiktal-iktal. Pada mekanisme
non sinaptik, terjadi:,57
A. Perubahan dalam lingkungan mikro ionik. Kegiatan iktal dan interiktal
berulang menyebabkan peningkatan K+ ekstraseluler, menyebabkan
peningkatan rangsangan/ eksitabilitas neuron. Beberapa neuron sangat sensitif
terhadap perubahan membran arus K+, misalnya sel piramidal di wilayah CA1
hippokampus.57 Neuron epileptik terlihat memiliki peningkatan konduktansi
Ca2+. Jalur Ca2+ laten dipakai, membuat efikasi jalur Ca 2+ meningkat atau
jumlah jalur Ca2+ naik secara kronis. Terjadinya burst activity, aktivitas yang
sangat cepat tergantung dari masuknya arus. Ketika konsentrasi K+
ekstraselular naik (selama aktivitas bangkitan epileptik), keseimbangan K+
sepanjang membran berkurang, membuat berkurangnya arus K+ yang keluar.
K+ ekstraselular eksesif mendepolarisasi neuron dan memimpin terjadinya
cetusan gelombang paku.Arus akan masuk, mendepolarisasi neuron sampai
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dua macam reseptor yang dapat mengaktifkan kanal ion, yakni: reseptor
ionotropik antara lain alpha-amino-2,3-dihydro-5-methyl-3-oxo-4-
isoxazolepropanoic acid (AMPA), reseptor kainate, N-methyl-D-aspartate
(NMDA) serta reseptor GABAA (γ aminobutyric acid), yang langsung
berhubungan dengan kanal ion, serta reseptor metabotropik, yang berfungsi
sebagai second messenger (perantara), seperti protein G, untuk mengaktifkan
kanal ion (reseptor GABAB, peptide, katekolamin, dan glutamate).
Neurotransmiter merupakan substansi yang dilepaskan oleh saraf pre sinaps ke
dalam sinaps kemudian substansi ini terikat kepada reseptor yang spesifik pada
paska sinaps. Neurotransmitter utama di otak adalah glutamate, gamma-amino-
butyric acid (GABA), acetylcholine (Ach), norepinefrin, dopamine, serotonin, dan
histamine. Molekul lainnya seperti neuropeptide dan hormone memiliki peranan
sebagai modulator. Neurotransmiter inhibitor utama adalah GABA, sedangkan
neurotransmitter eksitatorik utama adalah glutamat.60
Pada saat terjadi depolarisasi, muncul potensial aksi di paska sinaps
(excitatory post synaptic potential/ EPSP), sedangkan pada saat hiperpolarisasi
terjadi mekanisme inhibisi (inhibitory post-synaptic potential/ IPSP) yang
diakibatkan menurunnya kemampuan eksitasi membran. EPSP dapat terjadi pada
Universitas Indonesia
dendrit dan badan sel, sedangkan IPSP hanya pada badan sel. Penjumlahan dari
EPSP dan IPSP dari dendrit dan badan sel akan mengalami sinkronisasi ke seluruh
permukaan neuron dan jika sudah mencapai ambang potensial, akan dihantarkan
sepanjang akson menuju organ target atau dendrit lainnya. Sehingga, hal-hal yang
menyebabkan kanal Na+ dan Ca++ terbuka dan terjadi depolarisasi membran
disebut sebagai kemampuan eksitasi, sedangkan terbukanya kanal K+ dan Cl-
sehingga terjadi hiperpolarisasi disebut mempunyai kemampuan inhibisi. 60
GABA reseptor mempunyai dua bentuk mayor, yaitu reseptor GABAA dan
GABAB, masing – masing dengan subunit yang multipel. Menempelnya GABA ke
reseptor GABAA menyebabkan terbukanya kanal klorida. Sebagai contoh,
benzodiazepin yang menempel pada reseptor GABA akan meningkatkan
efektifitas pengikatan reseptor GABA itu sendiri. Reseptor GABA B berhubungan
dengan kanal kalium dan aktivasinya dapat mencetuskan hiperpolarisasi pada
banyak sel. Mekanisme ini penting pada semua neuron yang terdapat di
hippokampus yang menggunakan GABA sebagai neurotransmitternya. Hal ini
memperlihatkan dengan sedikit berkurangnya inhibisi GABA dapat menyebabkan
aktivitas spontan epileptiform. Glutamat telah lama dikenal sebagai transmisi
eksitator sinap yang cepat pada korteks dan hippokampus. Reseptor utama dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu N-methyl D-aspartate (NMDA) yang tipe reseptor
dan non NMDA reseptor. Kanal NMDA antagonis dapat menghentikan cetusan
epileptik pada beberapa model epileptogenesis.49
Pada dasarnya kondisi sklerosis hippokampus adalah substrat patologis
pada ELT mesial-SH yang memiliki pola kehilangan hiposelular dan gliosis yang
tidak ditemukan pada penyakit otak yang lain. 5 Sklerosis hippokampus ini
ditemukan pada 65% pasien ELT yang telah direseksi. Sklerosis hippokampus
adalah kondisi nuropatologis dengan hilangnya sel neural yang berat dan gliosis di
hippokampus, terutama CA-1 dan subikulum hippokampus. Ini pertama kali
dideskropsikan oleh Wilhelm Sommer, tahun 1880.61
Regio selektif hippokampus utamanya CA1, terjadi hilangnya sel piramidal
(>30-50% kasus), dominan melibatkan regio hilus dan sel granula dentata.
Somatostatin dan neuropeptide Y-berisikan neuron hilar biasanya rentan.
Khas ada preservasi pada subikulum.
Universitas Indonesia
GABA neuron dan terminal biasanya relatif baik. CA2 juga relatif baik.
Dispersi sel granula girus dentata dan sprouting aksonnya (serat saraf mossy)
membentuk sinap umpan balik eksitatorik monosinaptik pada dendrit sel
granula.
Terjadi perubahan ekspresi dan reorganisasi pada neuropeptida Y dan
somatostatin.
Universitas Indonesia
struktur yang memiliki hubungan kuat dengan sistem limbik. Publikasi lain
menyatakan bahwa sensitivitas yang meningkat pada glutamat berperan penting
pada patofisiologi ELT yang menunjukkan upregulasi pada pasien dengan zona
epileptik hippokampus.57
.
2.5.1 PENYEBARAN BANGKITAN EPILEPTIK
Ada 3 rute bangkitan epileptik untuk menyebar, yaitu:69
1. Penyebaran intrakortikal: aktivitas epileptik menyebar secara horisontal dari
fokus epileptik melalui axon yang tidak bermielen dan diameternya tipis.
2. Penyebaran yang dimediasi white matter: propagasi aktivitas bangkitan
epileptik dari gray matter secara vertikal melalui axon bermielin yang juga
berjalan kembali ke arah permukaan guna menghubungkan area-area yang
jauh dari di kedua hemisfer.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Frekuensi bangkitan epileptik bila lebih dari 1 kali per minggu dikategorikan
frekuensi yang tinggi dan bila kurang dan sama dengan 1 kali per minggu
dikategorikan frekuensi rendah.71 Penelitian lain membagi frekuensi SGTC
sering bila >1 kali per bulan, dan frekuensi CPS dalam kategori <5 kali perbulan,
5-20 kali perbulan dan >20 kali perbulan.72
Semiologi bangkitan epileptik merupakan tahapan kronologis dari
perubahan keadaan neurologis yang berulang, sementara, berhenti dengan
sendirinya ataupun tidak disadari. Semiologi adalah alat sederhana dan efisien
yang bisa menunjukkan lokasi dari zona simptomatogenik (ZS), yaitu daerah yang
dianggap sangat berkaitan dengan zona epileptogenik (ZE), suatu area kortikal
minimal yang menggenerasi bangkitan epileptik, yang harus direseksi untuk
menghasilkan keadaan bebas kejang. Semiologi inipun khususnya menjadi
penting pada kasus-kasus dimana epilepsi fokal tidak menunjukkan lesi pada
MRI. Dengan mengetahui ZS, semiologi dapat mengarahkan sindrom epilepsi
dan tatalaksana selanjutnya. Dokter/klinisi dapat misdiagnosa epilepsi parsial
daripada epilepsi umum dan konsekuensinya bisa membahayakan
penatalaksanaan pasien.73
Gejala-gejala klinis pada aura dan bangkitan epileptik adalah refleksi dari
aktivasi spesifik cetusan listrik otak, dimana lokasi dan perluasannya
merepresentasikan zona simptomatogenik (ZS). Zona kortikal ada 5 zona, yaitu
zona iritatif, zona onset iktal, lesi epileptogenik, zona defisit fungsional dan ZS.
Zona iritatif adalah bagian otak yang menghasilkan aktivitas epileptiform
interiktal pada elektroneurodiagnostik. Zona onset iktal adalah bagian korteks
yang tampaknya memproduksi bangkitan epileptik aktual pada EEG. Lesi
epileptogenik adalah lesi yang ditemukan pada neuroimajing yang diketahui
potensial epileptogenik dan diasosiasikan dengan zona lain. Zona defisit
fungsional adalah volume otak yang menunjukkan defisit fungsional berdasarkan
tes neurofisiologi dan atau neuroimajing fungsional. Zona simptomatogenik
adalah korelasi anatomi dari semiologi inisial bangkitan epileptik, yaitu bagian
otak dimana stimulasi cetusan epileptik menghasilkan gejala awal pada pasien.
Mengidentifikasi ZS membutuhkan informasi yang terintegrasi dengan
cermat yang dapat diperoleh dari riwayat klinis, analisa video/EEG, dan stimulasi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.6.1 AURA
Kriteria aura yang akan diteliti pada penelitian ini mencakup aura
abdominal, aura psikis, dan aura sefalik. Aura merupakan fenomena subjektif
iktal, yang pada pasien tertentu bisa mengawali bangkitan epileptik. Jika aura saja
yang timbul, dapat menunjukkan bangkitan epileptik sensoris. Sebagai gejala
awal dari bangkitan epileptik, banyak tipe aura yang memiliki nilai lokalisasi atau
lateralisasi yang berguna untuk menentukan hubungan antara ZS dan ZE. Aura,
yang dari bahasa latin yang berarti angin, dan dari bahasa Yunani yang berarti
udara, sebenarnya adalah bagian dari bangkitan epileptik parsial sederhana dan
dapat muncul secara terpisah, dan dapat muncul pada pasien dengan bangkitan
epileptik parsial kompleks, dimana aura ini dapat muncul selama beberapa detik
atau lebih lama, sekitar 1 – 2 menit sebelum hilangnya kesadaran. Pada 90%
Universitas Indonesia
pasien yang terbukti dengan onset asal di lobus temporal, dilaporkan terdapat
aura. Aura yang berasal daerah mesial temporal dapat berupa aura viseral,
autonom, sefalik, pengecapan, dysmnestic dan gejala afektif.39,74
Aura viseral/abdominal/epigastrium. Ini mencakup rasa mual, nyeri, atau
perasaan tidak enak di perut atau periumbilikal yang dapat statis, naik ke dada
atau tenggorokan atau turun ke regio abdominal bawah. Aura yang sering adalah
sensasi yang naik dari epigastrium. Meskipun dikatakan tidak spesifik untuk
ELT, tetapi memiliki hubungan kuat dengan ELT mesial dengan keterlibatan SH
(70% dengan SH pada MRI; 40% pada ELT mesial dengan bukti histologis SH).1
Lokasi ZS untuk aura abdominal ini adalah korteks insular anterior, operkulum
frontal, struktur temporal mesial, dan SSMA. Dan jika dikombinasikan dengan
muntah, aura abdominal sugestif pada ZE lobus temporal non dominan. Tipe aura
ini lebih sering atau kecenderungan terjadi pada fokus temporal kanan.74,76
Aura psikis. Termasuk gejala emosional (seperti rasa takut, cemas, rasa
mau kiamat dan kegembiraan) dan distorsi seperti rasa yang familiar (seperti déjà
vu, jamais vu dan halusinasi multisensorial termasuk penarikan memori
kompleks). Pada ELT mesial, sensasi abnormal seperti déjà vu, sensasi bermimpi
berkisar <20%-30% dan cetusan di hemisfer non dominan. Ketakutan adalah
gejala afektif yang paling umum muncul (15-50%) dan aura emosional lainnya
(dengan keterlibatan kuat pada amigdala). Rasa takut diproduksi oleh aktivasi
amigdala, hippokampus, regio frontal mesial, atau neokorteks temporal.74 Tipe
aura ini juga lebih sering atau kecenderungan terjadi pada fokus temporal kanan.
Aura psikis juga umumnya sering ditemukan pada pasien dengan sindrom ELT
benign familial.39 Rasa takut ini haruslah rasa takut primer, yang tidak dapat
dihilangkan oleh pasien, bukan hanya rasa takut sekunder, sebagao respon pasien
bahwa ada bangkitan epileptik lain akan muncul. Biasanya dengan wajah yang
ketakutan.73
Aura non spesifik. Aura sefalik adalah sensasi kepala non vertigo seperti
dizziness, rasa melayang/ lightheadedness, seperti dikejut listrik, kesemutan di
kepala, dan rasa menekan. Sensasinya dapat berasal dari amigdala, korteks
entorhinal, dan neokorteks lateral temporal, tapi seringkali sedikit bernilai
lokalisasinya.74 Umumnya aura sefalik ke arah ekstratemporal. 48
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 2.3 Lokalisasi dan lateralisasi tanda dan gejala bangkitan epileptik. 74
Tipe Sub tipe Zona Simptomatogenik Lateralisasi Sindrom
Bangkitan Epilepsi
epileptik
Aura Somatosensoris Korteks somatosensoris primer (area 1,2 CL PLE
dan 3b ) IPSI (jika PLE, TLE
Area somatosensoris sekunder unilateral) PLE,FLE
(operkulum parietal/SSII) CL (umumnya)
SSMA
Visual sederhana Korteks visual primer (area 17,18 dan 19) CL OLE
Visual kompleks Temporo oksipital junction dan korteks CL (jika TLE,OLE
basal temporal unilateral)
Auditori sederhana Korteks auditori primer (area 41) CL (jika TLE
unilateral)
Auditori kompleks Korteks asosiasi auditori (area 42 dan 22) CL (jika TLE
unilateral)
Vertiginous Temporo oksipital junction NonLat (sering TLE
kanan)
Olfaktori Regio orbitofrontal, amigdala, dan insula NonLat MTLE, FLE
Gustatorik Operculum parietal dan korteks basal NonLat TLE
temporal
Otonomik Insula, amigdala, cinguli anterior, dan NonLat TLE, FLE
SSMA
Abdominal Insula, operkulum frontal, lobus NonLat MTLE
temporal mesial, dan SSMA
Rasa Takut Amigdala, hippokampus, dan lobus NonLat TLE, FLE
frontal mesial
Deja vu/ jamais vu Uncus, korteks entorhinal, dan temporal NonLat (sering TLE
neokorteks ND)
Multisensorial Korteks mesobasial limbik, neokorteks NonLat TLE, PLE
temporal, TPO junction
Sefalik / seluruh tubuh Amigdala, korteks entorhinal, dan NonLat NTLE,FLE
neokorteks temporal/SSII dan SSMA
Motor Mioklonik/mioklonus Korteks morotik primer (area 4) dan CL (jika unilateral FLE
sederhana negatif korteks premotor (area 6)/ area
somatosensorik primer
Klonik Korteks motor primer, korteks premotor CL FLE
dan SSMA
Tonik Korteks motor primer dan SSMA CL (jika FLE
unilateral)
Motor Hipermotor Cinguli anterior, regio orbitofrontal, NonLat FLE
kompleks frontopolar, korteks operkular-insular,
dan area frontal intermediate
Automotor Temporal mesial dan cinguli anterior NonLat TLE, FLE
Gelastik Hipotalamus, frontal anteromesial dan NonLat FLE, TLE
temporal basal
Dialeptik Struktur limbik temporal, cinguli, frontal NonLat
intermediate(area 8), dan area
orbitofrontal
Autonom Takikardia/hiperventilasi Amigdala, insula, cinguli anteriot, dan NonLat (sering TLE
konteks medial prefrontal kanan)
Piloereksi IPSI TLE
Midriasis IPSI (jika TOLE
unilateral)
a Typical symptomatogenic zones.
b Common focal epilepsy syndromes.
c CL, contralateral; D, dominant; FLE, frontal lobe epilepsy; IPSI, ipsilateral; ND, nondominant;
NonLAT, nonlateralizing; OLE, occipital lobe epilepsy; PLE, parietal lobe epilepsy;
TLE, temporal lobe epilepsy; SSMA, supplementary sensorimotor area epilepsy; TOLE, temporo-
occipital lobe epilepsy; TPO junction, temporo-parieto-occipital junction
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 2.5 Nilai dari tanda positif dan negatif motorik dalam melateralisasi
onset bangkitan epileptik.8
Universitas Indonesia
75% pasien yang telah terkontrol terapi obat. Pada penelitian dengan pasien ELT
yang refrakter, dilaporkan lebih tinggi 82-91% munculnya aktivitas epileptiform.
Sisi munculnya aktivitas epileptiform terbanyak pada lobus temporal berkorelasi
dengan asal bangkitan epileptik pada 90-95% pasien. Lateralisasi oleh aktivitas
delta di temporal juga berkorelasi dengan asal bangkitan epileptik. Namun,
karena biasanya timbul dengan asosiasi munculnya aktivitas epileptiform fokal di
temporal, maka daerah cakupan untuk delta di temporal kecil. Aktivitas
epileptiform bilateral yang muncul independen dapat terlihat pada 20-56% pasien
ELT. Namun, 78-98% pasien dimana 75% aktivitas epileptiform muncul pada
satu sisi memiliki asal bangkitan epileptik ipsilateral. Tingginya prevalensi
aktivitas epileptiform lobus temporal diantara pasien ELT menandakan bahwa
kurangnya aktivitas epileptiform yang timbul menaikkan kemungkinan bahwa
serangan merupakan representasi epilepsi dari regio lain seperti korteks
orbitofrontal, atau nonepileptik. Evaluasi bedah epilepsi menjadi pilihan
terapeutik pada pasien aktivitas epileptiform interiktal konsisten berkorelasi
dengan abnormalitas lobus temporal berdasar MRI.84
Universitas Indonesia
2.7.1.1 Non-epileptiform
A. Disritmia fokal / Perlambatan.
EEG rutin dapat memperlihatkan 4-7Hz persisten atau intermiten
(aktivitas theta) atau 1-3 Hz (aktivitas delta) secara unilateral atau bilateral di
daerah temporal. Hal ini spesifik pada berbagai penyebab seperti tumor, stroke,
dan SH, ataupun non substrat patologis. Jika terus-menerus muncul, lebih
konsisten dengan kelainan struktural. Namun, jika neuroimaging tidak
mengungkapkan substrat patologis, gelombang lambat intermiten di daerah
temporal sering karena aktivitas interiktal atau post iktal.31
Aktivitas delta fokal atau daerah polimorfik sering ditemukan di ELT dan
sangat berhubungan dengan gelombang paku/spiking temporal. Koutroumanidis
dkk. mengkorelasi aktivitas delta interiktal di ELT dengan hasil patologi dan
bedah. Mereka melaporkan aktivitas lambat terlateralisasi di 66% dari 141 pasien
yang telah reseksi lobus temporal untuk bangkitan epileptik parsial intraktabel.
Aktivitas delta berkorelasi baik dengan sisi paku temporal. Ini memberikan
informasi tambahan 15%, bilamana EEG tidak menunjukkan gelombang paku
lateralisasi interiktal. Para penulis menyimpulkan bahwa pada pasien dengan
ELT, yang MRI normal atau sugestif SH, aktivitas gelombang lambat interiktal
memiliki nilai lateralisasi mirip dengan gelombang paku dan secara bermakna
dikaitkan dengan hasil bedah. Dalam studi lain, 82% pasien dengan bangkitan
epileptik eksklusif dari satu lobus temporal memiliki aktivitas delta unilateral
ipsilateral sisi onset iktal, aktivitas ini tidak pernah secara salah melateralisasi
timbulnya bangkitan epileptik.31
Universitas Indonesia
Gambar 2.9 Laki-laki dengan epilepsi lobus temporal mesial kanan. EEG
memperlihatkan dominansi dan umum sisi kanan diikuti aktivitas ritmik
pada regio temporal kanan. Ia melakukan pembedah dan berhasil bebas
bangkitan epileptik. (HFF = 70, LFF = 1, dan sensitivitas= 10 μV/mm).31
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
epileptik. Pada ELT, adanya gelombang paku temporal anterior unilateral adalah
prediktor kuat untuk bebas kejang post operatif, dan sedikitnya cetusan
epileptiform dan abnormalitas bilateral diasosiasikan dengan prognosis yang
buruk. Kejadian timbulnya gelombang paku bitemporal walaupun begitu, baik
sinkron ataupun independen tidak mengurangi kemungkinan bedah jika timbulnya
lebih dominan pada sisi yang akan direseksi.34
Aktivitas epileptiform interiktal fokal dengan gelombang lambat pada
regio temporal biasanya terbatas pada area anterior temporal. Perlambatan fokal
dan gelombang paku berkorelasi dengan onset zona iktal, yaitu 82% pada delta
fokal, dan 90% pada gelombang paku. Perlambatan fokal dan gelombang paku
berkorelasi baik dengan abnormalitas struktural yang terdeteksi oleh MRI pada
mayoritas pasien dengan ELT.32
Pada ELT mesial, aktivitas epileptiform interiktal jarang terjadi bersamaan
dengan ELT neokortikal, tapi gelombang paku neokortikal tidak mungkin terjadi
dengan ELT mesial. Aktivitas epileptiform interiktal pada ELT dengan sklerosis
temporal cenderung terlokalisir pada regio temporal anterior namun dengan
kecenderungan ekspresi yang meningkat bilateral daripada ELT mesial yang
sekunder untuk tumor. Gelombang paku anterior khas dapat juga terlihat dengan
asosiasi epilepsi ekstratemporal (seperti pada epilepsi lobus oksipital yang dapat
menyerupai ELT). Pada ELT unilateral terdapat respon baik dengan operatif.
Sebagian pasien dengan ELT unilateral dengan evaluasi parameter lainnya,
menunjukkan aktivitas epileptiform interiktal yang bitemporal. Meningkatnya
aktivitas epileptiform interiktal bilateral berhubungan dengan kurang optimalnya
keluaran operatif.52
Hal fundamental antara epilepsi parsial dan umum direfleksikan pada
cetusan iktal dan interiktal fokal dan umum. Karena perekaman iktal jarang pada
praktek rutin, maka aktivitas epileptiform interiktal, bersama riwayat klinis
membentuk dasar untuk membedakan jenis bangkitan epileptik dan hubungannya
dengan sindrom epilepsi. Gambaran pola fokal berkorespondensi pada
munculnya aktivitas epileptiform interiktal. Pada bangkitan epileptik parsial, EEG
rutin jarang memperlihatkan gelombang paku atau gelombang tajam yang
repetitif. Bangkitan epileptik parsial khas menunjukkan evolusi kompleks,
Universitas Indonesia
kadang dimulai dengan aktivitas repetitif pada alpha atau beta, diikuti
perlambatan menjadi theta kemudian delta bersamaan amplitudo aktivitas
epileptiform interiktal meningkat dan menyebar secara topografi. Diikuti
bangkitan epileptik, namun tidak menjadi bangkitan epileptik, terlihat peningkatan
frekuensi aktivitas epileptiform interiktal yang berakhir beberapa jam sampai hari.
Kadangkala, cetusan epileptiform ini menyebar ke satu hemisfer, dikatakan
lateralisasi. Gambaran multifokal aktivitas epileptiform interiktal merujuk pada
cetusan independen yang terjadi pada satu sisi, berasal dari sedikitnya 3 lokasi
yang jelas dan dipisahkan oleh lebih dari satu jarak interelektroda. Sedangkan
cetusan umum, biasanya dalam bentuk gelombang paku, atau kompleks
gelombang paku multipel diikuti gelombang lambat dan melibatkan kedua
hemisfer, biasanya sinkron dan simetris bilateral. Pada dasarnya, aktivitas
epileptiform interiktal berperan penting untuk memahami fisiologi epilepsi, dan
penanganan diagnosis, klasifikasi serta tatalaksana.52
Universitas Indonesia
melebihi 8:1, bangkitan epileptik dapat dianggap berasal dari sisi yang
sklerosis.
3. Gelombang paku yang muncul dari anterior temporal membawa prognosis
operatif yang lebih baik.
4. Di masa lalu, selalu dibutuhkan perekaman iktal pada seluruh pasien ELT.
Bukti bukti saat ini menyatakan bahwa perekaman iktal memberi sedikit
masukan pada kategori penting pasien ELT, terutama bilamana telah jelas ada
abnormalitas MRI, kesesuaian gambaran klinis/ psikometri, kesesuaian
lateralisasi EEG interiktal, dan jika tidak ada pertanyaan apakah serangannya
non epileptik. Olehkarenanya, telah menjadi pemeriksaan tersering di
beberapa pusat epilepsi untuk tidak membutuhkan perekaman iktal pada
pasien-pasien ini. Namun jika ada gambaran ketidaksesuasian atau
komplikasi, iktal tetap harus direkam.52
Pada salah satu penelitian lain, pasien didefinisikan sebagai uni atau
bitemporal berdasarkan distribusi aktivitas epileptiform interiktal interiktal
(unitemporal, >90% gelombang paku terjadi pada satu lobus temporal,
berkorespondensi ke sisi SH; bitemporal, <90% gelombang paku pada satu lobus
temporal).90
Pasien dengan cetusan independen bitemporal masih bisa menjadi
kandidat untuk operasi dan memiliki keluaran bedah yang baik jika memiliki
patologi unilateral, terutama jika sisi patologi dan peristiwa iktalnya sesuai. So
Universitas Indonesia
dkk. melaporkan keluaran bedah minimal dua tahun setelah operasi lobus
temporal pada 48 pasien dengan gelombang paku temporal bilateral independen;
14 pasien bebas bangkitan epileptik, 22 pasien memiliki lebih dari 50%
pengurangan bangkitan epileptik, dan 3 pasien memiliki bangkitan epileptik
kurang dari 3x per tahun. Chung dkk. mengkorelasikan derajat lateralisasi
aktivitas epileptiform interiktal dengan hasil bedah setelah lobektomi temporal.
Bila lebih dari 90% dari gelombang paku terbatas pada satu lobus temporal, 92%
pasien memiliki hasil bedah yang baik. Jika lateralisasi aktivitas epileptiform
interiktal adalah kurang dari 90%, hanya setengah dari pasien mencapai hasil yang
baik.31
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
SEMIOLOGI
EEG interiktal
Epilepsi
Aura epigastrium
Aktivitas epileptiform
Lobus
interiktal / TIRDA, Aura rasa takut
Temporal
(T3-T1-F7/T4-T2-F8) Aura sefalik
Mesial
kanan atau kiri.
Automatisme oral
Automatisme manual
MRI Kepala ipsilateral
Sklerosis
Perputaran kepala awal
hippokampus kanan
ipsilateral
atau kiri
Perputaran kepala akhir
kontralateral
Dystonic posture
Tipe bangkitan kontralateral
Usia onset bangkitan pertama
Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
43 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sisi lesi adalah lateralisasi bangkitan epileptik, merupakan lesi struktural area
terbatas otak, dimana onset fokus, daerah otak yang karena suatu sebab sel-
selnya secara spontan dan berulang menjadi titik awal terjadinya kejang.
Terdapat kesesuaian letak lesi berdasarkan abnormalitas EEG interiktal dan
penilaian hippokampus berdasarkan MRI berupa SH. Dibagi atas sisi lesi
kanan atau kiri.3
Abnormalitas EEG interiktal adalah aktivitas abnormal diluar serangan
bangkitan epileptik yang terekam melalui elektroda di kulit kepala, dapat
berupa aktivitas epileptiform interiktal di T3-T1-F7/T4-T2-F8 atau TIRDA
(Temporal Intermitten Rhytmic Delta Activity), dibagi atas lateralisasi
langsung dan bilateral dominasi.
- Lateralisasi langsung adalah aktivitas epileptiform interiktal dapat secara
langsung menentukan letak lesi mesial temporal (T3-T1-F7/T4-T2-F8)
atau TIRDA (Temporal Intermitten Rhytmic Delta Activity)
- Bilateral dengan dominasi adalah hasil pemeriksaan EEG menunjukkan
abnormalitas EEG unilateral pada salah satu hemisfer dan abnormalitas
EEG bilateral dengan ketentuan perbandingan dominansi 8 : 1 pada salah
satu hemisfer.
Dibagi atas sisi lesi kanan dan kiri 52
Sklerosis hippokampus adalah salah satu struktur pada lobus temporal mesial
dengan penurunan volume hippokampus, gambaran hiperintens sinyal pada
T2W1/ FLAIR dan asimetrisitas volume pada potongan koronal
hippokampus. Apabila didapatkan gambaran sklerosis dan atrofi
hippokampus berdasarkan pembacaan ahli radiologi, akan dimasukkan
kategori sklerosis hippokampus. Atrofi hippokampus adalah perbedaan
ukuran/asimetris dari hippokampus unilateral yang dilihat secara visual pada
pemeriksaan MRI kepala di T1 dengan potongan koronal dan axial.91 Atrofi
hippokampus dapat merupakan bagian dari SH atau dapat terjadi tanpa
adanya SH. 91 Dibagi atas SH sisi lesi kanan dan kiri.
Semiologi bangkitan epileptik : tahapan kronologis dari perubahan keadaan
neurologis yang berulang, sementara, berhenti dengan sendirinya atau tidak
disadari, yang terdiri dari aura, automatism, dan perputaran kepala. 73
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pengumpulan data
Universitas Indonesia
BAB IV
HASIL PENELITIAN
50 Universitas Indonesia
usia termuda subjek 17 tahun dan usia tertua adalah 66 tahun dengan usia rata –
rata 33,9 ± 12.4 tahun.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada tabel 4.3 diatas, dari 26 subjek dengan fokus epileptiform ELT
mesial kanan terdapat 88,5% diperoleh dari lateralisasi langsung aktivitas
epileptiform atau TIRDA dan 11,5% aktivitas epiletiform bilateral dengan
dominasi. Dari 19 subjek dengan fokus epileptiform ELT mesial kiri, terdapat
57,9% lateralisasi langsung dan 42,1% bilateral dengan dominasi.
Universitas Indonesia
0 10 20 30 40 50 60 70
Pada gambar 4.2 terlihat persentase sebaran semiologi pada ELT mesial
kanan pada pasien ELT mesial kanan dan atrofi. Gambaran semiologi yang
terlihat adalah putaran kepala late (92,9%), dystonic posture (92,9%), putaran
kepala early (92,3%), automatisme manual 83,3% , automatisme oral (53,8%),
aura sakit kepala (53,6%), aura epigastrik (52,6%), dan aura rasa takut (50,0%).
Pada penelitian ini, 9 dari 10 subjek dengan aura abdominal dengan letak
lesi di sisi kanan mengalami automatisme, 5 subjek dengan aura abdominal
diikuti automatisme oral saja, dan 4 subjek dengan aura abdominal diikuti
automatisme oral dan automatisme manual.
Ada 8 dari 10 subjek dengan automatisme manual sisi kanan memiliki
dystonic posture sisi kiri. Ada 7 dari 8 subjek dengan SGS memiliki putaran
kepala late kanan dengan letak lesi di kiri. Hanya 3 subjek dengan bangkitan
parsial kompleks dari 13 subjek yang memiliki gejala putaran kepala early kanan
dan letak lesi kanan sementara 10 subjek berkembang menjadi bangkitan SGS.
Universitas Indonesia
0 20 40 60 80 100
Pada gambar 4.3, sebaran semiologi pada ELT mesial kiri pada sebaran 45
subjek terdapat putaran kepala early, putaran kepala late, dystonic posture pada
persentase yang sama-sama 100%, diikuti automatisme manual 71,4%, dengan
aura terbanyak aura rasa takut 50%, aura epigastrik 47,4%, aura sakit kepala
46,4%, dan automatisme oral 46,2%.
Terdapat 6 dari 9 subjek dengan aura abdominal dominan di sisi kiri
diikuti automatisme; 4 subjek diikuti automatisme oral saja, dan 2 subjek diikuti
automatisme oral dan automatisme manual. Dan 2 dari 5 subjek dengan
automatisme manual sisi kiri mengalami dystonic posture sisi kanan. Ada 12 dari
13 subjek dengan gejala putaran kepala late kiri dengan letak lesi di kanan yang
mengalami SGS, dan hanya 1 subjek dengan bangkitan parsial komplek dari 2
subjek dengan gejala putaran kepala early kiri dan letak lesi kiri.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB V
PEMBAHASAN
59 Universitas Indonesia
Dari analisis penelitian ini didapatkan jenis kelamin pada pasien epilepsi
lobus temporal untuk laki – laki dan perempuan tidak jauh berbeda dimana
perempuan sebanyak 21 subyek (45,76%) dan laki – laki sebanyak 24 subyek
(53,3%). Hasil ini menunjukkan bahwa perempuan dan laki – laki memiliki resiko
yang sama untuk terjadi epilepsi lobus temporal mesial. Hal ini sesuai dengan
beberapa data epidemiologi yang menyatakan tidak adanya perbedaan jenis
kelamin dalam hal resiko terjadinya epilepsi maupun untuk atrofi
5,94
hippokampus.
Pada penelitian ini usia termuda subyek adalah 17 tahun dan usia tertua
adalah 66 tahun dengan usia rata – rata 33,9 + 12,4 tahun. Sebagian besar subyek
berusia antara 18 – 55 tahun (88,9%). Kelompok umur berada pada usia
produktif. Di Indonesia, sebagai negara berkembang, insidensi lebih sering pada
usia dewasa muda. Cendes pada tahun 2002 mengatakan bahwa epilepsi lobus
temporal mesial lebih banyak diderita oleh pasien dewasa muda. 2,65
Usia onset bangkitan epileptik rata-rata adalah 16,3 ± 11,7 tahun. Usia
onset terbanyak pada usia 6-12 tahun (28.9%). Hal ini tidak jauh berbeda dengan
laporan ILAE mengenai epilepsi lobus temporal mesial dengan sklerosis
hippokampus, dimana atrofi hippokampus menjadi bagian dari sklerosis
hippokampus itu sendiri, yang mengatakan umur terbanyak untuk terjadinya
sklerosis hippokampus adalah usia 4 sampai dengan 16 tahun. (1) Pada penelitian
oleh Heuser, usia onset pasien sama dengan penelitian ini, terbanyak di kelompok
6-12 tahun.95
Frekuensi bangkitan terbanyak < 4x/ bulan terdapat pada 29 subyek
(64,4%) dan 3 subyek bebas bangkitan minimal 1 tahun (6,7%). Dengan usia
rata-rata pada penelitian ini 33,9 ± 12.4 tahun, dan usia onset epilepsi rata-rata
16,3 ± 11,7 tahun, maka diperkirakan rata-rata lebih dari 15 tahun lama menderita
epilepsi, dengan masih terdapat bangkitan epileptik frekuensi terbanyak < 4 kali
per bulan. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang mengatakan bahwa
kejang berulang dalam jangka waktu lama menyebabkan berkurangnya volume
hippokampus. Semakin sering frekuensi bangkitan dan semakin lama durasi
bangkitan dapat menimbulkan atrofi tidak hanya pada hippokampus namun juga
diluar hippokampus.96 Semakin lama menderita epilepsi maka akan menyebabkan
Universitas Indonesia
kerusakan otak yang lebih banyak dan dapat menyebabkan penurunan fungsi
kognitif dan kerusakan sel otak itu sendiri berpotensi menjadi fokus epilepsi yang
baru.57 Selain itu hal – hal lain yang mempengaruhi frekuensi bangkitan seperti
ketaatan subyek dalam minum obat, faktor pencetus bangkitan tidak dievaluasi
dalam penelitian ini. Tetapi penelitian lain yang dilakukan oleh Salmenpera
mengatakan bahwa atrofi hippokampus dapat saja terjadi pada penderita epilepsi
setelah lebih dari 20 tahun, jadi masih mungkin pada pasien epilepsi lobus
temporal mesial dengan lama menderita epilepsi lebih dari 10 tahun mempunyai
hippokampus yang masih normal.94,97
Penyebab terbanyak untuk ELT mesial adalah SH yang ditemukan pada
2/3 kasus, dimana gambaran sklerosis hipokampus salah satunya adalah atrofi
hipokampus.5 Gambaran MRI untuk sklerosis hipokampus adalah atrofi,
meningkatnya sinyal di T2 dan FLAIR dan menurunnya sinyal di T1 dan
gangguan pada struktur internal. Hipointens juga terlihat pada hipokampus dengan
menggunakan T1-weighted Inversion Recorvery Images.91 Atrofi hipokampus pun
dapat terjadi tanpa adanya tanda sklerosis hipokampus, hal ini pada MRI terlihat
dengan berkurangnya volume hipokampus (yang diukur dengan menggunakan
volumemetri) tapi memiliki gambaran T2 dan FLAIR yang normal. Atrofi sebagai
satu – satunya gambaran sklerosis hipokampus ditemukan lebih dari 80 – 85%
kasus.52 Salah satu penelitian lain, dikatakan atrofi hippokampus berkorelasi
secara patologi dengan SH.52,53
Atrofi hippokampus terlihat 60% dengan penilaian visual MRI pada
penelitian oleh Coan dkk.97 Sedangkan penilaian MRI SH didasarkan pada
volume hippokampus dan peningkatan sinyal T2WI/FLAIR potongan koronal
hippokampus yang secara histologis dikaitkan pada kondisi neuronal loss, gliosis,
dan sklerosis. Ditemukan pada gambaran MRI SH berupa penurunan volume
hippokampus: atrofi hippokampus, peningkatan sinyal T2, abnormal morfologi
hilangnya gambaran internal hippokampus.91 Pada penelitian ini, penetapan sisi
lesi adalah 26 subjek (57,8%) subjek dengan lesi kanan dan 19 subjek (42,2%)
lesi kiri yang ditunjukkan oleh lateralisasi yang sesuai SH dan EEG interiktal.
Hasil EEG interiktal dengan aktivitas epileptiform atau TIRDA pada satu
sisi secara langsung melateralisasi subyek penelitian (75,6%), dan juga aktivitas
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Aura merupakan pertanda bahwa akan ada bangkitan epileptik yang lebih
besar akan terjadi. Namun, aura itu sendiri merupakan bangkitan epileptik tipe
parsial sederhana bila tidak timbul gerakan yang mengikutinya, bangkitan
epileptik yang tidak menyebar menjadi bangkitan yang dapat diobservasi yang
mengganggu kesadaran dan kemampuan respon. Tidak semua subyek dengan
ELT memiliki aura, dan tidak semua yang memiliki aura dapat mengingatnya. 101
Hal inilah yang membuat tidak semua sampel pada penelitian ini menyatakan
memiliki aura sebelum timbul bangkitan epileptik.
Pada penelitian ini aura epigastrium merupakan terbanyak kedua (42,2%)
setelah aura sakit kepala. Aura epigastrium pada gambaran semiologi dengan sisi
lesi tidak menunjukkan hubungan yang bermakna (p uji chi square=0,550) pada
penelitian ini. Pada artikel review oleh ILAE, aura terbanyak pada ELT mesial
dengan sklerosis hippokampus berdasarkan MRI adalah aura epigastrium
(epigastric raising) atau abdominal (70%) dan 40% pada ELT mesial yang
terbukti SH secara patologis. Aura abdominal ini dengan zona simptomatogenik
berasal dari insula, operkulum frontal, lobus temporal mesial dan SSMA. 1,74 Aura
abdominal dan aura rasa takut lebih khas pada ELT mesial. 42 Pada penelitian oleh
Henkel dkk, aura abdominal lebih sering pada 52% pasien ELT daripada pasien
epilepsi ekstratemporal dan lebih sering pada 64% pasien ELT mesial daripada
neokortikal. Tidak ada terbukti untuk lateralisasi ke satu sisi. 102 Presentase untuk
aura epigastrium masih masuk kriteria presentase ELT mesial bila terbukti secara
patologis, namun lebih rendah dibandingkan 70% pasien yang terdapat aura
epigastrium setelah ada penilaian sklerosis hippokampus hanya dengan MRI pada
penelitian terdahulu.
Aura rasa takut sebesar 26,7% diperlihatkan oleh subyek penelitian
(n=45). Aura rasa takut (p=0,524 dengan uji Chi Square) tidak menunjukkan
hubungan bermakna untuk lateralisasi lesi. Aura rasa takut dan anxietas dari
guideline oleh ILAE, 15-50% timbul pada ELT mesial. Aura ini bersumber dari
zona simptomatogenik daerah amigdala, hippokampus dan lobus frontal mesial.
Aura abdominal dan aura rasa takut khas pada ELT mesial. Aura rasa takut dan
anxietas dikatakan 15-50% timbul pada ELT mesial, bersumber dari zona
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
ipsilateral (melihat klinis objektif dari video) dengan sebelumnya telah dilakukan
konfirmasi EEG dan reseksi lobus temporal medial. 19 Dilaporkan biasanya terjadi
pada ELT dan FLE, dan ipsilateral ke hemisfer epileptogenik. Bila bangkitan
epileptik tidak menjadi SGS, gerakan menoleh kepala satu atau dua kali ke arah
yang sama terjadi ipsilateral ke ZE (94%) dan pada sebelum SGS, gerakan
pertamanya ipsilateral dan keduanya kontralateral. 80 Pada penelitian ini kami
tidak menilai deviasi mata setelah putaran kepala timbul. Namun dapat dinilai
bahwa hanya ada 3 subyek dari 13 subyek dengan gejala putaran kepala awal
kanan dengan bentuk bangkitan parsial komplek, dan selebihnya bangkitan SGS,
dan 1 subyek dari 2 subyek dengan putaran kepala early kiri menunjukkan
bangkitan parsial komplek. Namun gerakan putaran kepala awal hanya
tergambarkan pada 13 subyek dari 45 subyek penelitian, dan 10 subyek menjadi
SGS.
Gejala putaran kepala akhir pada penelitian ini dengan uji McNemar p=
0,383 juga tidak menunjukkan perbedaan bermakna, berarti terdapat kesesuaian
diantara kedua variabel. Tingkat kesesuaiannya sangat kuat dan bermakna (r = -
0,819 dan p = 0,000) dengan letak lesi yang kontralateral (arti negatif pada R
kappa). Diartikan bahwa sebagian besar pasien dengan gejala putaran kepala akhir
kanan akan menunjukkan sisi lesi kiri (kontralateral) dan sebaliknya pada pasien
dengan gejala putaran kepala akhir kiri cenderung menunjukkan sisi lesi kanan.
Putaran kepala akhir terjadi pada bangkitan epileptik setengah kedua dari episode
bangkitan, seringkali sebelum menjadi bangkitan umum sekunder. Deviasinya
biasanya kuat dengan ekstensi kaku pada leher. Pada penelitian oleh Williamson
dkk, perputaran kepala akhir tidak selalu terjadi. Hal ini dikarenakan putaran
kepala akhir terjadi sebelum bangkitan umum sekunder. Deviasi kepala akhir ini
kontralateral dari asal bangkitan epileptik. 19 Bila bangkitan epileptik tidak
menjadi SGS, gerakan menoleh kepala satu atau dua kali ke arah yang sama
terjadi ipsilateral ke ZE (94%) dan pada sebelum SGS, gerakan pertamanya
ipsilateral dan keduanya kontralateral.80 Pada penelitian ini, terdapat 7 subyek
dari 8 subyek dengan SGS memiliki gejala putaran kepala late kanan dengan letak
lesi kiri pada penelitian ini, dan 12 dari 13 subyek dengan SGS memiliki gejala
putaran kepala late kiri dengan letak lesi kanan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
tidak menutup kemungkinan masih ada bentuk aura dan gejala klinis lain dan
kemungkinan semiologi yang tidak bermakna pada penelitian ini bermakna bila
didapatkan dalam jumlah sampel yang lebih banyak dan dilihat saat perekaman
bangkitan sedang berlangsung. Selain itu keseragaman pembacaan MRI kepala
pada keadaan atrofi atau sklerosis hippokampus masih belum seragam oleh ahli
radiologi.
Universitas Indonesia
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Gambaran semiologi yang diperoleh melalui anamnesis secara
keseluruhan pada pasien ELT mesial-SH adalah gejala aura sakit kepala
(62,2%), automatisme manual (62,2%), automatisme oral (57,8%), putaran
kepala akhir (48,9%), dystonic posture (48,9%), aura epigastrium (42,2%),
putaran kepala awal (33,3%), dan aura rasa takut (26,7%).
2. Gambaran semiologi yang diperoleh melalui anamnesis pada pasien ELT
mesial-SH kanan adalah aura sakit kepala (53,6%), automatisme manual
(83,3%), automatisme oral (53,8%), putaran kepala akhir (92,9%),
dystonic posture (92,9%), aura epigastrium (52,6%), dan putaran kepala
awal (92,3%), dan aura rasa takut (50,0%).
3. Gambaran semiologi yang diperoleh melalui anamnesis pada pasien ELT
mesial-SH kiri adalah aura sakit kepala (46,4%), automatisme manual
(46,2%), automatisme oral (71,4%), putaran kepala akhir (100%),
dystonic posture (100%), aura epigastrium (47,4%), putaran kepala awal
(100%), aura rasa takut (50%).
4. Terdapat kesesuaian antara hasil lateralisasi semiologi bangkitan epileptik
dengan sisi lesi berdasarkan EEG interiktal dan SH pada pasien ELT
mesial kanan dan kiri. Ada 4 hal penting dalam anamnesis semiologi yang
memprediksi sisi lesi, yaitu automatisme manual dan gejala putaran kepala
awal menunjukkan letak lesi ipsilateral dengan tingkat kesesuaian sedang-
kuat dan bermakna, serta gejala putaran kepala akhir dan gejala dystonic
posture menunjukkan letak lesi kontralateral dengan tingkat kesesuaian
sangat kuat dan bermakna.
72 Universitas Indonesia
6.2 SARAN
Dari penelitian ini disarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Setiap klinisi penting untuk menanyakan 4 hal pada anamnesis mengenai
semiologi bangkitan epileptik dalam hal penegakan diagnosis klinis pada
pasien ELT mesial dengan SH, yaitu automatisme manual dan pergerakan
kepala early, yang menunjukkan letak lesi ipsilateral dan pergerakan
kepala late serta dystonic posture, yang menunjukkan kontralateral.
2. Anamnesis lateralisasi semiologi ini dapat digunakan oleh sejawat-
sejawat di perifer dengan keterbatasan alat EEG ataupun MRI kepala
untuk memprediksi letak lesi pada pasien ELT mesial. Hal ini dapat
membantu penatalaksanaan pasien selanjutnya.
3. Penting untuk mengetahui lateralisasi semiologi dalam hubungan dengan
letak lesi karena akan memperkuat penilaian evaluasi pra bedah epilepsi.
4. Diperlukan observasi bentuk serangan lebih cermat dengan pemeriksaan
lanjutan berdasarkan video dan EEG iktal.
5. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih
banyak untuk dapat menentukan sensitivitas dan spesifitas akurasi
semiologi yang diperoleh melalui anamnesis pada pasien ELT mesial
dengan SH.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
74 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
55. Bote RP. MR Imaging reveals signs of temporal lobe epilepsy. [Online].;
2007. Available from: http://www.diagnosticimaging.com.
56. Cendes F, Andermann F, Gloor P et al. MRI volumetric measurements of
amygdala and hippocampus in temporal lobe epilepsy. Neurology. 1993;
43(4).
57. Engelborgh S. Pathophysiology of epilepsy. Acta neurol. 2000: 200-213.
58. Bordey A, Sontherimer H. Properties of human glial cells associated with
epileptic foci. Epilepsy Res. 1998.
59. Grisar T, Lakaye B, Thomas E et al. The molecular neuron-glia couple and
epileptogenesis. In Jasper's basic mechanisms of the epilepsies. Advances in
Neurology.: Lippincott Williams & Wilkins; 1999: 591-602.
60. Fosch BJ. Fisch and Spehlmann's EEG primer: Basic Principles of digital and
analog EEG. 2nd ed.: Elseiver.
61. http/en.m.wikipedia.org/hippocampa sclerosis. [Online].
62. Cavazos JE, Golarai G, Sutula T. Mossy fiber synaptic reorganization
induced by kindling: time course of development, progression and
permanence. J. Neurosci. 1991; 11: 2795-2803.
63. Sutula T, Cascino G, Cavazos J. Mossy fiber synaptic reorganiztion in the
epileptic human temporal lobe. Ann Neurol. 1989; 26: 321-330.
64. J.O MN. Emerging insights into the genesis of epilepsy. Nature. 1999; 399:
A15-A22.
65. Chang B. Epilepsy. N Engl J Med. 2003.
66. Juhasz C, Nagy F, Watspm C. Glucose and flumazenil PET abnormalities of
thalamic nuclei in temporal lobe epilepsy. Neurology. 1999; 53: 2037-2045.
67. Fritschy J.M, Kiener T, Loup F. GABAergic neurons and GABA9A)-
receptors in temporal lobe epilepsy. Neurochem Int. 1999; 34: 435-445.
68. John P, Thom M. Epilepy and Hippocampal sclerosis: cause or effect?
ACNR. 2008; 8(5).
69. Milton J, Chkenkeli SA, Towle SL. Brain Connectivity and the Spread of
Epileptic Seizures. In Milton J. Handbook of Brain Connectivity
Understanding Complex System.; 2007: 477-503.
70. Chickenkeli SA, Milton J. Dynamic epileptic systems versus static epileptic
foci?. In Milton J JP. Epilepsies as a dynamic disease. New York: Springer-
Verlag; 2003: 25-36.
71. Aull S, Pataraia E. Outcome predictors for surgical treatment of temporal
lobe epilepsy with hippocampal sclerosis. Epilepsia. 2008; 49: 1308-1316.
72. Villanueva V, Serratosa JM. Temporal lobe epilepsy: clinical semiology and
age at onset. Epileptic disord. 2005 June; 7(2): 83-90.
73. Jan MS, Girvin JP. Seizure Semiology: Value in Identifying Seizure Origin.
Can J. Neurol Sci. 2008; 35: 22-30.
74. Nancy F-S, Unnwongse K. Localizing and lateralizing features of auras and
seizures. Epilepsy & Behaviour. 2011; 20: 160-166.
75. JordanJW. Semiology: Witness to a Seizure-what to note and how to report.
Am. J. END Technol. 2007;(47): 264-282.
Universitas Indonesia
76. Khalil AB, Misulis KE. Seizure Semiology and Differential Diagnosis. In
Atlas of EEG and Seizure Semiology.: Elsevier; 2005: 193-197.
77. William. Semiology of temporal lobe seizures: value in lateralising the
seizure focus. Epilepsia. 1998; 39(7): 721-26.
78. Fakhoury. Association of ipsilateral head turning and dystonia in temporal
lobe seizures. Epilepsia. 1995; 36: 1065-70.
79. King AM. Clinical seizure and ictal pattern in epileptic patients with EEG
temporal lobe foci. Am Neurol. 1977; 2: 138-47.
80. Khalil BA, Fakhoury T. Significance of head turn sequences in temporal
lobe. Epilepsy Res. 1996; 23: 245-50.
81. Wyllie E, Luders H. The lateralizing significance of versive head and eye
movements during epileptic seizures. Neurology. 1986; 36: 606-11.
82. Jasper H. The ten-twenty electrode system of the International Federation.
Electroenceph Clin Neurophysiol. 1958; 10: 371-5.
83. Silverman. The anterior temporal electrode and the ten-twenty system.
Electroencephalograph CLin Neurophysiol. 1960; 12: 735-737.
84. Kaplan PW, Fisher RS. Imitators of Epilepsy. Second edition ed. New York:
Demos Publishing; 2005.
85. Pfander M. Clinical features and EEG findings differentiating mesial from
neocortical temporal lobe epilepsy. Epileptic Disord. 2002; 4: 189-95.
86. Hamer. Interictal epileptiform discharges in temporal lobe epilepsy due to
hippocampal sclerosis versus medial temporal lobe tumors. Epilepsia. 1999;
40: 1261-8.
87. Pedley TA, Mendiratta A, Walczak WS. Seizures and epilepsy. In J.S
Ebersole TAP. Current practice of clinical electroencephalography.
Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2003: 506-587.
88. Williamson P, Engel P, Munari C.. Anatomic classification of localization-
related epilepsies. In Engel J PT. Epilepsy: a comprehensive textbook. New
York: Lippincott-Raven; 1998.
89. Ebersole JS, Wade PB. Spike voltage identifies two type of frontotemporal
epileptic foci. Neurology. 1991; 41: 1425-33.
90. Chung MY, Walczak TL, Lewis DV et al. Temporal lobectomy and
independent bitemoral interictal activity: what degree of lateralization is
sufficient? Epilepsia. 1991; 32: 195-201.
91. Cendes Fernando, Watson Craig, Andermann Frederick, et al. Is it ictal
recording mandatory in temporal lobe epilepsy? Not when the interictal
Encephalogram and hippocampal atrophy coincide. Arch Neurol. 2000;
57(4): 497-500.
92. F Gilliam, S Bowling, E billiar et al. Association of combined MRI, interictal
EEG, and ictal EEG result with outcome and pathology after temporal
lobectomy. Epilepsia. 1997; 38(12): 1315-1320.
93. Baldouf CM,Cukiert A, Argentoni M et al. Surgical outcome in patients with
refractory epilepsy associated to MRI-defined unilateral mesial temporal
sclerosis. Arq Neuropsiquaitr. 2006; 64(2): 363-368.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 1
Universitas Indonesia
ELT mesial
Ada Tidak Keterangan (lingkari)
AURA
Epigastrium
Rasa takut
Sakit kepala
AUTOMATISM
Automatism Oral
Automatism manual kanan/kiri/bilateral
MOTORIK
Perputaran kepala awal Kanan/kiri
Perputaran kepala akhir kanan/kiri
Dystonic posture kanan/kiri
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 2
JADWAL PENELITIAN
Refrat
Penelitian
Inisiasi
rencana
penelitian
Proposal
penelitian
Pengurusan
etik
penelitian
Pengumpulan
data
Pengolahan
data
Seminar hasil
penelitian
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 3
Anggaran Penelitian
6. Penggandaan tesis dengan hard cover 10 eks @ Rp. 50.000 Rp. 500.000
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 4
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 5
Universitas Indonesia