Anda di halaman 1dari 72

GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ PADA PASIEN

LEPTOSPIROSIS DI RSUD CENGKARENG

KARYA TULIS ILMIAH

Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar

Ahli Madya Analis Kesehatan

Disusun oleh :

KURNIA SARI

NIM : 1010181126

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MH THAMRIN

2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah Yang Berjudul :

GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ PADA PASIEN


LEPTOSPIROSIS DI RSUD CENGKARENG

Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II

(Imas Latifah., SKM., (Erie Aditia., AM.AK., S.Si., M.KM


M.K.K.K)

Diterima oleh panitia Ujian


Program Studi Diploma III Analis Kesehatan
Fakultas Kesehatan Universitas MH Thamrin Jakarta

Mengetahui :

Ketua
Program Studi Diploma III Analis Kesehatan
Fakultas Kesehatan Universitas MH Thamrin Jakarta

(Imas Latifah., S.KM., M.K.K.K)


LEMBAR PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah dengan judul
GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ PADA PASIEN
LEPTOSPIROSIS DI RSUD CENGKARENG
Telah disusun dan dipertahankan dihadapan penguji oleh:
KURNIA SARI, NIM : 1010181126
Pada tanggal : 14 Juni 2021
Tanda tangan

Penguji I
dr. Yune Yohana, Sp. PK

Penguji II
Lenggo Geni, S.pd., M. Biomed

Penguji III
Erie Aditia., AM.AK., S.Si., M.KM

Pembimbing I
Imas Latifah., SKM., M.K.K.K

Pembimbing II
Erie Aditia., AM.AK., S.Si., M.KM

Mengetahui

Ketua program Studi


Imas Latifah., SKM., M.K.K.K

Dinyatakan lulus dan Yudisium pada tanggal:


LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA TULIS ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Prodi D-III Analis Kesehatan Fakultas Kesehatan


Universitas MH Thamrin, saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Kurnia Sari
NIM : 1010181126
Program Studi : D III Analis Kesehatan
Fakultas : Kesehatan
Jenis Karya : Karya Tulis Ilmiah
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui dan memberikan
kepada Prodi Analis Kesehatan Fakultas Kesehatan Universitas MH
Thamrin Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non exclusive Royalti Free
Right) atas karya Ilmiah saya yang berjudul :
GAMBARAN KADAR UREUM DAN KREATININ PADA PASIEN
LEPTOSPIROSIS DI RSUD CENGKARENG
Beserta perangkat yang ada (jika diperluka). Dengan hak bebas royalty
Nonekslusif ini Prodi D III Analis Kesehatan berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik
Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.


Dibuat di : Universitas MH Thamrin
Pada tanggal : 05 Oktober 2021

Yang menyatakan

(Kurnia Sari)
LEMBAR PERNYATAAN ORISINILITAS

Karya Tulis Ilmiah ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Kurnia Sari


NIM : 1010181126

Tanda tangan :

Tanggal : 05 Oktober 2021


ABSTRAK

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman


golongan Leptospira yang disebarkan oleh tikus dengan cara melepaskan
bakteri melalui urin ke lingkungan. Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk
dan kumuh akibat banjir merupakan faktor penyebab terjadinya
Leptospirosis. Jika tidak ditangani dengan cepat, maka akan menyebabkan
kematian karena bakteri Leptospirosis menyerang hati, ginjal dan otak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar ureum dan
kreatinin pada pasien Leptospirosis di RSUD Cengkareng.
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan data
hasil pemeriksaan ureum dan kreatinin pada pasien Leptospirosis di RSUD
Cengkareng sebanyak 53 pasien. Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin
didapatkan laki-laki sebanyak 39 pasien (74%) dan perempuan sebanyak 14
pasien (26%). Berdasarkan kelompok usia persentase tertinggi didapatkan
pada kelompok usia 46-55 tahun sebanyak 15 pasien (28,30%). Berdasarkan
nilai normal, kadar ureum abnormal sebanyak 36 pasien (68%) dan
kreatinin abnormal sebanyak 40 pasien (75%). Sementara kadar ureum
normal sebanyak 17 pasien (32%) dan kreatinin normal sebanyak 13 pasien
(25%).
Dalam penelitian ini pasien Leptospirosis cenderung memiliki hasil
ureum dan kreatinin meningkat, hal ini disebabkan oleh fungsi ginjal pasien
Leptospirosis terganggu akibat bakteri Leptospira. Hendaknya masyarakat
rutin membersihkan selokan dan lingkungan sekitar dengan memakai APD
yang lengkap agar tidak terdapat sarang tikus yang menjadi sumber
penularan Leptospirosis.

Kata kunci : Leptospirosis, Ureum, Kreatinin


Kepustakaan : 46
Tahun : 2000-2021
ABSTRACT

Leptospirosis is a zoonotic disease caused by the bacteria group


Leptospira bacteria spread by rats with how to release the bacteria through
urine into the environment. The environmental sanitation conditions are
poor and rundown due to floods are the factors causing the occurrence of
Leptospirosis. If not dealt with quickly, then it will lead to death because of
the bacteria Leptospirosis attack the liver, kidney and brain. This research
aims to know the description of the levels of urea and creatinine in patients
with Leptospirosis in RSUD Cengkareng.
This study was done descriptively by using the data the results of the
examination of urea and creatinine in patients with Leptospirosis in RSUD
Cengkareng as much as 53 patients. Results of the study by gender showed
men as much as 39 patients (74%) women and as many as 14 patients
(26%). Based on the age group the highest percentage obtained in the age
group 46-55 years a total of 15 patients (28,30%). Based on normal values,
the levels of urea abnormal as many as 36 patients (68%) and creatinine
abnormal as many as 40 patients (75%). While the levels of urea normal as
many as 17 patients (32%) and creatinine to normal as much as 13 patients
(25%).
In this study of patients with Leptospirosis tend to have the results of
urea and creatinine increased, it is caused by renal function of the patient
Leptospirosis disrupted by the bacteria Leptospira. Should society of
routine gutter cleaning, and the environment by wearing PPE is complete
so that there is a nest of rats that become a source of transmission of
Leptospirosis.

Keywords : Leptospirosis, Ureum, Creatinine


Bibliography : 46
Year : 2000-2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena berkat
Rahmat, hidayah dan karunia-Nya kepada kita semua sehingga saya dapat
menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Judul karya tulis ilmiah ini adalah “Gambaran Hasil UREUM dan
KREATININ Pasien Leptospirosis di RSUD Cengkareng”. Karya Tulis
Ilmiah ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan Tugas Program
Pendidikan Diploma III Analis Kesehatan Universitas MH.Thamrin Jakarta
Timur.
Bersama dengan ini tidak lupa penulis menyampaikan rasa
terimakasih atas bimbingan dan saran-saran di dalam penyusunan karya
tulis ilmiah ini kepada:

1. Imas Latifah., SKM., M.K.K.K selaku Ketua Program Studi Diploma III
Analis Kesehatan Fakultas Kesehatan Universitas MH Thamrin
sekaligus dosen pembimbing materi yang telah memberikan bimbingan
dan petunjuk penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
2. Erie Aditia., AM.AK., S.Si., M.KM, selaku dosen pembimbing teknik
yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam melakukan
penelitian Karya Tulis Ilmiah ini.
3. Para dosen dan staff sekretariat Program Studi Diploma III Analis
Kesehatan Fakultas Kesehatan Universitas MH Thamrin.
4. Keluarga tercinta yang telah memberikan doa, kasih sayang, dorongan
dan dukungan baik moril maupun materil yang tidak bisa penulis balas
dengan materi atas segala pengorbanannya.
5. Seluruh teman-teman seperjuangan Angkatan 2018 Universitas MH
Thamrin yang telah memberi semangat dalam penyusunan Karya Tulis
Ilmiah ini.

i
ii

6. Kepada teman-teman Kelas D yang membantu memberi dukungan serta


semangat dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
7. Kepada Senior Laboratorium RSUD Cengkareng yang selalu membantu
dan memberi dukungan dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
8. Kepada teman-teman terbaik saya : Melati Yuliantina, Olsa Intan,
Diozah, Aditya Damara, Rizki Rahmat Habibi, Terimakasih selalu ada
disetiap waktu tersulit saya.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis menyadari
sepenuhnya akan segala kekurangan-kekurangan yang ada baik isi, susunan
kalimat, maupun cara penyajian materi, penulis senantiasa mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak untuk
kesempurnaan selanjutnya.

Jakarta, Juni 2021

(Penulis)
iii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA TULIS ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
LEMBAR PERNYATAAN ORISINILITAS
ABSTRAK

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
DAFTAR TABEL..........................................................................................v
DAFTAR GAMBAR....................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................vii
BAB I.............................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Identifikasi Masalah............................................................................3
C. Pembatasan Masalah...........................................................................4
D. Perumusan Masalah.............................................................................4
E. Tujuan Penelitian.................................................................................4
F. Manfaat Penelitian...............................................................................5
BAB II............................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................6
A. Leptospirosis.......................................................................................6
1. Definisi............................................................................................6
2. Etiologi............................................................................................7
3. Penularan.........................................................................................9
4. Masa Inkubasi................................................................................11
iv

5. Faktor risiko...................................................................................11
6. Patogenesis dan Patologi...............................................................12
7. Gejala Klinik..................................................................................13
8. Diagnosis......................................................................................15
B. Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis.........................................16
1. Serologi..........................................................................................16
2. Hematologi....................................................................................17
3. Kimia Darah...................................................................................20
C. Gambaran Ureum dan Kreatinin Pada Pasien Leptospirosis...............27
D. Kerangka Berfikir................................................................................28
BAB III.........................................................................................................29
METODOLOGI PENELITIAN...................................................................29
A. Definisi Operasional Variabel...........................................................29
B. Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................29
C. Populasi dan Sampel penelitian.........................................................29
D. Teknik Pengumpulan Data................................................................30
E. Teknik Analisa Data..........................................................................30
BAB IV........................................................................................................31
HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................31
A. Hasil..................................................................................................31
B. Pembahasan.......................................................................................33
BAB V..........................................................................................................36
KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................36
A. Kesimpulan........................................................................................36
B. Saran.................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Naskah

1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan pemeriksaan ureum dan kreatinin

Pada Pasien Leptospirosis di RSUD Cengkareng.................................31

2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin pada Pasien

Leptospirosis di RSUD Cengkareng......................................................32

3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kelompok Usia Pada Pasien

Leptospirosis di RSUD Cengkareng......................................................32

Lampiran

4. Data pemeriksaan ureum dan kreatinin pada pasien Leptospirosis di

RSUD Cengkareng................................................................................44
vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Naskah

1. Bakteri Leptospira.....................................................................................6

2. Hewan sumber penular Leptospirosis.......................................................9

3. Cara Penularan Leptospira......................................................................10

4. Patofisiologi disfungsi ginjal akut pada Leptospirosis...........................12

Lampiran

5. Alat Architect ci4100..............................................................................47

6. Surat Permohonan Izin Pengambilan Data.............................................49

7. Surat Persetujuan Penelitian Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta....51

8. Surat Rekomendasi Penelitian PTSP......................................................53


vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data Hasil Pemeriksaan ureum dan kreatinin di RSUD Cengkareng.....44

2. Gambar Alat Pemeriksaan......................................................................47

3. Surat Izin Penelitian................................................................................49

4. Surat Persetujuan Penelitian Dinas Kesehatan Pemprov DKI Jakarta. . .51

5. Surat Rekomendasi Penelitian PTSP......................................................53

6. Kartu Konsultasi Perbaikan Karya Tulis Ilmiah……………………….54

7. Kartu konsultasi Bimbingan...………………………………………....55


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Leptospirosis adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi bakteri


berbentuk spiral dari genus Leptospira yang patogen dan seringkali berakibat fatal
(Sucipto et al., 2017). Leptospirosis terutama disebarkan oleh tikus yang
melepaskan bakteri melalui urin ke lingkungan. Keberadaan vektor dengan
tingginya populasi tikus dan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk dan kumuh
akibat banjir merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya kasus Leptospirosis
(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Kasus Leptopspirosis sering tidak terlaporkan
karena memiliki gejala klinis yang tidak spesifik dan sering kali terjadi
differential diagnosis (WHO, 2009). Jika Leptospirosis tidak ditangani dengan
cepat, maka akan menyebabkan kematian pada penderitanya karena bakteri
Leptospirosis menyerang hati, ginjal dan otak (WHO, 2014).

Beberapa faktor risiko penularan Leptospirosis ini diantaranya keberadaan


saluran pembuangan air limbah yang terbuka, keberadaan tikus disekitar tempat
tinggal dan lingkungan tempat kerja serta sanitasi rumah merupakan faktor risiko
Leptospirosis (Mulyono et al., 2016).

Kasus Leptospirosis menjadi masalah di dunia karena angka kejadian yang


dilaporkan rendah disebagian besar negara, karena kesulitan dalam melakukan
diagnosis klinis dan tidak tersedianya alat diagnosis, sehingga kejadian tidak
dapat diketahui. Walaupun demikian di daerah tropis yang basah diperkirakan
terdapat kasus Leptospirosis sebesar >10 kasus per 100.000 penduduk
pertahun. Insiden penyakit Leptospirosis tertinggi di wilayah Afrika (95,5
per 100.000 penduduk) diikuti oleh Pasifik Barat (66,4), Amerika (12,5), Asia
Tenggara (4,8) dan Eropa (0,5). Sebagian besar kasus yang dilaporkan memiliki
manifestasi parah, yang angka kematian lebih besar dari 10% (World Health

1
2

Organisation, 2010). International Leptospirosis Society (ILS) menyatakan


Indonesia sebagai negara dengan insidens Leptospirosis tinggi dan peringkat
ketiga dibawah Cina dan India untuk mortalitas (One et al., 2019).

Pada tahun 2019 tercatat 920 kasus Leptospirosis di Indonesia, dengan 122
kematian disebabkan oleh penyakit tersebut. Kasus-kasus tersebut dilaporkan dari
sembilan provinsi (Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Maluku, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Utara).
Namun demikian, jumlah kasus yang dilaporkan ini merupakan perkiraan yang
lebih rendah dari kejadian Leptospirosis di Indonesia mengingat bahwa
morbiditas tahunan Leptospirosis pada populasi saat ini diperkirakan mencapai
39,2 per 100.000 orang (WHO, 2019). Pola penyakit Leptospirosis di DKI Jakarta
sesuai dengan waktu banjir. Peningkatan kasus terjadi pada bulan Januari–Maret,
di mana puncaknya terjadi pada bulan Februari yaitu 63 kasus pada tahun 2014
dan 17 kasus pada tahun 2015. Bakteri Leptospira memiliki masa inkubasi 2-26
hari sehingga pada masa-masa tersebut, kasus Leptospirosis meningkat. Kejadian
Leptospirosis tertinggi di wilayah Jakarta Barat. Kejadian Leptospirosis 72%
tertinggi terjadi di wilayah Kotamadya Jakarta Barat (Kementerian Kesehatan RI,
2017).

Tes laboratorium yang paling umum digunakan didasarkan pada deteksi


antibodi terhadap Leptospira. Leptospira patogen memasuki tubuh melalui luka
kecil atau melalui selaput lendir dan mungkin melalui kulit basah. Setelah infeksi,
Leptospira bersirkulasi dalam aliran darah, dengan fase bakteremik yang
berlangsung hingga 10 hari setelah timbulnya penyakit. Antibodi yang dapat
dideteksi muncul dalam darah sekitar 5-10 hari. Antibodi ini dapat dideteksi
dengan berbagai uji laboratorium seperti Microscope Aglutination Test (MAT), uji
Enzyme Lingked Immunosorbent Assay (ELISA) dan uji Immunofluorescence
Antibody Test (IFAT). Polymerase Chain Reaction (PCR) pada darah telah
terbukti bermanfaat pada minggu pertama penyakit, namun banyak laboratorium
tidak dilengkapi untuk menjalankan tes PCR. Oleh karena itu, untuk sebagian
besar situasi klinis, Rapid Diagnostic Test (RDT) dapat memainkan peran penting
3

dalam deteksi kasus langsung dan manajemen klinis. RDT yang paling umum
digunakan didasarkan dengan metode imunokromatografi (Sawut and Ablet,
2019).

Gejala klinis Leptospirosis mirip dengan banyak penyakit lain seperti


influenza, demam berdarah, malaria atau demam tifoid. Kriteria diagnosis seperti
demam, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, gejala abdominal, infeksi selaput mata
(konjuntiva), hepatomegali atau splenomegali, kesadaran menurun, lekositosis dan
terdapat peningkatan ureum dan kreatinin. Peningkatan ureum dan kreatinin
menunjukkan keterlibatan ginjal yang terjadi di Leptospirosis sebasar 43,67%.
Keterlibatan organ ginjal pada penderita Leptospirosis berat dapat dilihat dari
peningkatan kadar ureum (57,7%), peningkatan kadar kreatinin (47,9%) (Putra,
2008).

Berdasarkan hasil penelitian Depo dan Kusnanto tahun 2018 rata-rata hasil
pemeriksaan kadar kreatinin (84,38%) dan ureum (91,67%) mengalami kenaikan
dari nilai rujukan menandakan keterlibatan pada organ ginjal (Depo and
Kusnanto, 2018). Diagnosis gagal ginjal akut ditetapkan bila kadar kreatinin darah
meningkat hingga 1,5 mg/dl atau lebih. Pada penelitian Amin dkk tahun 2007
diperoleh 81% penderita dengan kadar kreatinin darah yang tinggi yaitu > 1,1
gr/dl (nilai rujukan: 0,6–1,1 gr/dl), hal ini dapat menunjukkan terjadinya
gangguan ginjal di penderita Leptospirosis (Amin dkk, 2007).

Bedasarkan Latar belakang diatas, peneliti ingin melakukan penelitian tentang


gambaran kadar ureum dan kreatinin pada pasien Leptospirosis di RSUD
Cengkareng karena kejadian Leptospirosis tertinggi di Provinsi DKI Jakarta pada
tahun 2015, di wilayah Cengkareng Barat dan Cengkareng Timur, 2 kasus di
wilayah Duri Kosambi dan 1 kasus di wilayah Rawa Buaya.

B. Identifikasi Masalah

1. Leptospirosis masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat di


Indonesia.
4

2. Menurut International Leptospirosis Society (ILS) menyatakan bahwa


Indonesia merupakan negara dengan insiden Leptospirosis peringkat 3 di
bawah Cina dan India.
3. Penderita Leptospirosis berat dapat melibatkan berbagai jenis organ tubuh
manusia yang meliputi organ ginjal, paru-paru, hepar, jantung dan pankreas.
4. Adanya infeksi Leptospirosis dalam tubuh dapat mengakibatkan kegagalan
ginjal sehingga menyebabkan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
5. Kejadian Leptospirosis 72% tertinggi terjadi di wilayah Kotamadya Jakarta
Barat. Di wilayah Cengkareng Barat, Cengkareng Timur, Duri Kosambi,
Rawa Buaya.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini hanya dibatasi pada gambaran
kadar ureum dan kreatinin pada pasien Leptospirosis di Rumah Sakit Umum
Daerah Cengkareng.
D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah ditemukan diatas, maka rumusan


masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran kadar ureum dan
kreatinin pada pasien Leptospirosis di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng ?

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran kadar ureum dan kreatinin pada pasien Leptospirosis di
RSUD Cengkareng.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui persentase kadar ureum dan kreatinin pada pasien
Leptospirosis bedasarkan jenis kelamin.
5

b. Mengetahui persentase kadar ureum dan kreatinin pada pasien


Leptospirosis bedasarkan kelompok usia.

F. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada Rumah Sakit tentang gambaran kadar ureum


dan kreatinin pada pasien Leptospirosis di Rumah Sakit Umum Daerah
Cengkareng.
2. Memberikan informasi kepada tenaga medis tentang gambaran ureum dan
kreatinin pada pasien Leptospirosis sehingga dapat menjadi pertimbangan
dalam penatalaksanaan pasien Leptospirosis.
3. Memberikan informasi bagi dunia pendidikan dan kesehatan tentang peran
ureum dan kreatinin pada pasien Leptospirosis sehingga dapat menambah
kepustakaan tentang hal tersebut.
4. Bagi peneliti dapat menambah wawasan tentang ureum dan kreatinin pada
pasien Leptospirosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Leptospirosis

1. Definisi

Leptospirosis adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi bakteri


berbentuk spiral dari genus Leptospira yang patogen, yang ditularkan secara
langsung dan tidak langsung dari hewan ke manusia. Definisi penyakit zoonosa
(zoonosis) adalah penyakit yang secara alami dapat ditularkan dari hewan
vertebrata ke manusia atau sebaliknya.

Gambar 1.
Leptospira electron microscopy.
(sumber : fineartamerican, 2021)

Leptospirosis disebabkan oleh organisme patogen dari genus Leptospira yang


termasuk dalam ordo Spirochaeta dalam Famili Trepanometaceae. Bakteri ini
berbentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya berbentuk seperti
kait sehingga bakteri sangat aktif baik gerakan berputar sepanjang sumbunya,
maju-mundur, maupun melengkung, Ukuran bakteri ini 0,1 um x 0,6 um sampai
0,1 um x20 um. Leptospira dapat di warnai dengan pewarnaan karbol fuchsin.

6
7

Namun bakteri ini hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap. Bakteri ini
bersifat aerob obligat dengan pertumbuhan optimal pada suhu 28-30°C  dan pH
7,2–8,0. Dapat tumbuh pada media yang sederhana yang kaya vitamin Vit B2
dan B12), asam lemak rantai panjang dan garam ammonium. Asam lemak rantai
panjang akan di gunakan sebagai sumber karbon tunggal dan di metabolisme oleh
alfa-oksidase (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Genus Leptospira terbagi dalam dua serovarian yaitu L. interrogate yang


bersifat patogen (yaitu memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit pada
hewan dan manusia) dan serovarian L. Biflexa yang bersifat non
pathogen/saprophytic (yaitu hidup bebas dan umumnya dianggap tidak
menyebabkan penyakit). Leptospira patogen dipelihara di dalam di tubulus ginjal
dan saluran kelamin hewan tertentu. Saprophytic Leptospira ditemukan di
berbagai jenis lingkungan basah atau lembab mulai dari permukaan air dan
tanah lembab. Bahkan untuk Saprophytichalophilic (menyukai garam)
Leptospira dapat ditemukan dalam air laut (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Unit Sistematis dasar dari kedua spesies tersebut adalah serovar, yang
ditentukan berdasarkan kesamaan dan perbedaan antigenik. Masing-masing
serovar memiliki susunan karakteristik antigenik. Saat ini lipopolisakarida (LPS)
adalah antigen utama yang terlibat dalam klarifikasi serologi. Heterogenitas
struktur dalam komponen karbohidrat dari gugus LPS berasal dari perbedaan gen
yang terlibat dalam biosintesis LPS tampaknya menjadi dasar untuk menetukan
variasi antigenik diamati antara serovarian (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

2. Etiologi

Hampir semua spesies mamalia dapat menjadi tempat berkembangnya


Leptospira di dalam ginjalnya dan bertindak sebagai sumber infeksi untuk
manusia dan hewan lainnya. Biasanya yang menjadi reservoir untuk Leptospira
adalah sapi, kerbau, kuda, domba, kambing, babi, anjing dan hewan pengerat.
Tikus merupakan binatang pertama kali dikenali sebagai reservoir Leptospirosis
yang dapat menularkan Leptospira seumur hidup mereka tanpa menunjukan
manifestasi klinis, yaitu sebagai carrier berkepanjangan. Mereka di curigai
8

sebagai sumber utama infeksi pada manusia. Meskipun serovar


Ichterohaemorrhagiae, Copenhageni, Grippotyphosa dan Ballum telah sering
dikaitkan dengan tikus, serovar lainnya juga telah diisolasi dari tikus. Babi dan
sapi dalam keadaan carrier dapat mengeluarkan Leptospira dalam jumlah yang
sangat besar (kolonisasi Leptospira kronis tubulus ginjal) dan dapat menjadi
sumber infeksi bagi manusia.

Tidak semua hewan yang terinfeksi dengan Leptospira menujukan gejala


sakit. Beberapa hewan menjadi host alami untuk serovar tertentu biasanya tidak
menunjukan gejala sakit atau relatif sakit ringan setelah terinfeksi dengan
serovar itu. Namun, hewan tersebut dapat mengalami sakit berat setelah terinfeksi
dengan serovar lain. Infeksi kronis pada hewan dapat menyebabkan masalah
reproduksi, seperti aborsi dan mengurangi kesuburan pada sapi dan babi mungkin
menderita sindrom icterohaemorahagic dengan akibat fatal. Anjing dapat
menderita penyakit kronis yang menyebabkan kerusakan ginjal, tetapi juga
mungkin menderita sindrom Weil’s seperti penyakit akut setelah infeksi serovar
tertentu.

Leptospirosis di Indonesia terutama disebarkan oleh tikus yang melepaskan


bakteri melalui urin ke lingkungan. Reservoir yang tahan terhadap infeksi bakteri
Leptospira tikus got (Rattus Norvegicus) kebun/ladang (Rattus exulans) akan
menjadi sumber penularan pada manusia dan hewan. Sedangkan tikus yang peka
terhadap infeksi bakteri Leptospira seperti tikus rumah asia (Rattus tanezumi),
tikus got (Rattus norvegicus), dll. Hewan- hewan lain yang berpotensi tertular
Leptospirosis (babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, kelinci, bajing
kucing, dll) dapat pula sebagai sumber penularan kepada manusia pada kondisi
tertentu.

Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis ialah rodent


(tikus, tupai), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga,
burung, insektivora (landak, kelelawar). Di Indonesia tikus adalah menjadi
sumber utama penular Leptospirosis (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
9

(a) (b) (c) (d)

Gambar 2.
Hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis.
(a) Celurut rumah (b) Mencit (c) Tikus got (d) Tikus wirok
(Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2017)

3. Penularan

Risiko manusia terinfeksi tergantung pada paparan terhadap faktor risiko.


Beberapa manusia memiliki risiko tinggi terpapar Leptospirosis karena
pekerjaannya, lingkungan dimana mereka tinggal atau gaya hidup. Kelompok
pekerjaan utama yang berisiko yaitu petani atau pekerja perkebunan, petugas pet
shop, peternak, petugas pembersih, saluran air, pekerja pemotongan hewan,
pengolah daging. Kelompok lain yang memiliki risiko tinggi terinfeksi
Leptospirosis yaitu bencana alam seperti banjir dan peningkatan jumlah manusia
yang melakukan olahraga rekreasi air.

Dari aspek cara transmisinya Leptospirosis merupakan salah satu direct


zoonosis karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja. Penyakit
ini bebas berkembang di alam diantara hewan liar maupun domestik dan manusia
merupakan infeksi terminal yaitu manusia tidak menularkan (Kementerian
Kesehatan RI, 2017).
10

Gambar 3.
Cara penularan Leptospirosis.
(Sumber : BeZhare, 2011)
Letospirosis umumnya ditularkan oleh vektor tikus tetapi juga dapat ditularkan
oleh hewan juga babi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung,
kelelawar, tupai dan landak. Penularan leptospirosis dari tikus ke manusia melalui
kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah terkontaminasi urin hewan yang
menderita leptospirosis. Infeksi ditularkan ke manusia melalui infeksi droplet saat
memerah susu sapi atau kambing, melalui: menghirup aerosol yang tercemar
dengan tetesan urin hewan (WHO, 2003), dan secara langsung Bakteri masuk ke
dalam tubuh melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, atau kulit yang lecet
atau makanan yang terkontaminasi urin hewan yang terinfeksi leptospira dan
menyerang beberapa organ tubuh seperti otak, jantung, paru-paru, hati, pankreas,
ginjal.
Manusia dapat terinfeksi Leptospirosis karena kontak secara lansung atau
tidak langsung dengan urin hewan yang terinfeksi Leptospira.
a. Penularan Langsung :
1) Melalui darah, Urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman
Leptospira masuk kedalam tubuh pejamu.
11

2) Melalui hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi


pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan
misalnya pekerja potong hewan atau seseorang yang tertular dari hewan
peliharaanya.
3) Melalui manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi melalui
hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita
Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
b. Penularan tidak langsung
Terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur
yang tercemar urin hewan.

4. Masa Inkubasi

Infeksi dapat asimptomatik, tetapi pada 5-15% kasus dapat berat atau fatal.
Masa inkubasi leptospirosis 7-12 hari. Perjalanan penyakit secara klasik bifasik
yaitu fase bakteremik akut diikuti fase imun pada kasus berat kedua fase ini
bergabung, pada kasus ringan fase imun mungkin tidak terjadi. Manifestasi klinis
leptospirosis secara umum terbagi dua, yaitu penyakit anikterik yang self limited
dan penyakit ikterik (Penyakit Weil) dengan tampilan lebih berat (Amin, 2016).

5. Faktor risiko

Leptospirosis adalah kondisi yang melekat pada individu (seperti usia, jenis
kelamin, keluarga) dan kebiasaan (seperti aktivitas sehari-hari) yang lebih umum
diantara orang yang terkena Leptospirosis dibandingkan orang yang tidak
terjangkit Leptospirosis. Faktor risiko biasanya tidak menyebabkan penyakit
tetapi hanya mengubah probabilitas seseorang (atau risiko) untuk mendapatkan
penyakit. Secara epidemiologi bahwa penyakit dipengaruhi oleh tiga faktor utama
yaitu pertama faktor agent penyakit yang berkaitan dengan penyebab (jumlah
virulensi, patogenitas kuman Leptospira), faktor kedua yang berkaitan
dengan faktor host (pejamu/tuan rumah/penderita) termasuk di dalamnya adalah
keadaan kebersihan perorangan, keadaan gizi, usia, taraf pendidikan, jenis
pekerjaan, sosial ekonomi dan faktor ketiga adalah lingkungan fisik (selokan tidak
terawat, banyak genangan air) lingkungan bilogi (banyaknya populasi tikus di
12

dalam atau sekitar rumah, hewan piaraan sebagai hospes perantara), lingkungan
sosial ekonomi (jumlah pendapatan), lingkungan budaya (Kementerian Kesehatan
RI, 2017)

6. Patogenesis dan Patologi

Transmisi infeksi dari hewan ke manusia biasanya terjadi melalui kontak


dengan air atau tanah lembap yang terkontaminasi. Leptospira masuk ke sirkulasi
manusia melalui penetrasi kulit terabrasi atau membran mukosa intak (mata,
mulut, nasofaring atau esofagus). Patogenesis terutama pada kasus berat, masih
kurang dimengerti. Temuan mikroskopik utamanya adalah vaskulitis sistemik
dengan cedera endotel, sel endotel rusak dengan berbagai derajat pembengkakan
dan nekrosis. Leptospira ditemukan di pembuluh darah berukuran medium dan
besar serta kapiler berbagai organ. Organ utama yang terkena adalah:

a. Ginjal, dengan inflamasi tubulointerstisial difusi dan nekrosis tubular.


Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada daerah yang
terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian
mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan
dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8
hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan
fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari
darah setelah terbentuknya aglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.
Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu.
b. paru, biasanya kongesti dengan perdarahan intraalveolar fokal atau masif,
deposisi linear imunoglobulin dan komplemen pada permukaan alveolar.
c. hati, yang menunjukkan kolestasis terkait perubahan degeneratif ringan pada
hepatosit. Pada pasien yang bertahan hidup, fungsi hati dan ginjal akan
sembuh sempurna sesuai dengan ringannya kerusakan struktural pada organ
tersebut. Sistem lain juga dapat terkena, pada kasus berat dapat berupa
miokarditis, meningoensefalitis dan uveitis (Rampengan, 2016).
13

Gambar. 4
Patofisiologi disfungsi ginjal akut pada Leptospirosis.
(sumber : 576 CDK-243/ vol. 43 no. 8 th. 2016)
7. Gejala Klinik

Timbulnya lesi jaringan akibat invasi langsung Leptospira dan toksin yang
secara teoritis belum dapat dijelaskan, menandakan fase akut. Manifestasi klinik
akan berkurang bersamaan dengan berhentinya proliferasi organisme di dalam
darah. Fase kedua atau fase imun ditandai dengan meningkatnya titer antibodi dan
inflamasi organ yang terinfeksi. Secara garis besar manifestasi klinis dapat dibagi
menjadi Leptospirosis an-ikterik dan ikterik.

a. Leptospirosis anikterik.
Fase septik dengan gejala demam, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut,
mual dan muntah. Fase imun terdiri dari demam yang tidak begitu tinggi,
nyeri kepala hebat, meningitis aseptik, konjungtiva hiperemis, uveitis,
hepatomegali, kelainan paru dan ruam kulit. Sebagian besar pasien menjadi
asimptomatik dalam 1 minggu. Setelah beberapa hari (2-3 hari), pada
beberapa pasien gejala kembali muncul, disebut fase kedua atau fase imun.
Leptospira hilang dari darah, cairan serebrospinal dan jaringan namun
muncul di urin (leptospiruria). Muncul antibodi IgM, karena itu disebut fase
imun. Gejala utama fase ini adalah meningitis pada 50% kasus, meskipun
pleiositosis pada cairan serebrospinal dapat ditemukan pada 80-90% pasien
pada minggu kedua. Dapat terjadi pula neuritis optik dan neuropati perifer.
14

b. Leptospirosis ikterik (penyakit weil)


Penyakit Weil merujuk pada Leptospirosis berat dan mengancam nyawa,
dicirikan oleh ikterus, disfungsi ginjal dan perdarahan. Meskipun ikterus
merupakan tanda utama, kematian bukan disebabkan oleh gagal hati.
Prognosis tidak ditentukan oleh derajat ikterus, namun oleh adanya ikterus
karena semua kematian pada Leptospirosis terjadi pada kasus ikterik. Ikterus
tampak pertama kali antara hari kelima hingga kesembilan, intensitas
maksimum 4 atau 5 hari kemudian dan terus berlanjut selama rata-rata 1
bulan. Mayoritas pasien memiliki hepatomegali dan nyeri pada saat
mengetukkan hati menunjukkan penyakit masih aktif. Perdarahan kadang
terjadi pada kasus anikterik tetapi paling sering pada penyakit yang berat.
Manifestasi perdarahan yang paling sering adalah purpura, petekie, epistaksis,
perdarahan gusi dan hemoptisis minor.

Kematian dapat terjadi akibat perdarahan subaraknoid dan perdarahan


masif saluran cerna. Adanya perdarahan konjungtiva sangat berguna untuk
diagnostik jika disertai sklera ikterik dan injeksi konjungtiva, merupakan
temuan yang sangat sugestif untuk Leptospirosis. Semua bentuk Leptospirosis
dapat menyebabkan disfungsi ginjal. Gambaran mulai dari yang ringan berupa
proteinuria ringan dan abnormalitas sedimen urin hingga berat berupa cedera
ginjal akut. Sering ditemukan adalah gagal ginjal non oliguria dengan
hipokalemia ringan (41-45% kasus). Anuria total dengan hiperkalemia
merupakan tanda prognostik buruk. Gangguan kesadaran pada Leptospirosis
berat biasanya disebabkan oleh ensefalopati uremikum, pada kasus anikterik
biasanya disebabkan ensefalitis aseptik. Pada pasien penyakit Weil yang
berhasil bertahan, fungsi ginjal akan kembali normal.

Faktor utama penyebab cedera ginjal akut pada Leptospirosis adalah


nefrotoksisitas langsung dari Leptospira dan respon imun yang diinduksi
toksin. Adanya Leptospira di jaringan ginjal akan memicu proses nefritis
interstisial dan nekrosis tubular akut. Pada Leptospirosis berat akan dijumpai
perubahan status hemodinamik seperti sepsis. Akibat vasodilatasi sistemik,
15

kadar aldosteron dan hormon antidiuretik akan meningkat, sehingga terjadi


vasokonstriksi ginjal dan penurunan diuresis. Bilirubin yang tinggi juga
menurunkan filtrasi glomerulus dan kemampuan pemekatan urin.
Rabdomiolisis yang sering terjadi pada Leptospirosis juga dapat menyebabkan
cedera ginjal melalui vasokonstriksi ginjal, obstruksi tubulus dan toksisitas
langsung myoglobin.

Kematian akibat Leptospirosis terjadi pada 10-15% kasus, biasanya


akibat perdarahan paru, gagal ginjal atau gagal jantung dan aritmia akibat
miokarditis (Amin, 2016).
8. Diagnosis
Leptospira dapat diisolasi dari sampel darah dan cairan serebrospinal pada hari
ke 7-10 dan dari urin selama minggu kedua dan ketiga. Kultur dan isolasi masih
menjadi gold standard dapat mengidentifikasi serovar tetapi membutuhkan media
khusus dengan waktu inkubasi beberapa minggu dan membutuhkan mikroskop
lapangan gelap sehingga tidak sesuai untuk perawatan individual. Sejumlah
metode deteksi DNA Leptospira dengan reaksi rantai polimerase lebih sensitif
daripada kultur, dan dapat memberikan konfirmasi diagnosis lebih awal pada fase
akut, namun belum menjadi standar rutin (Amin, 2016).

Respon antibodi IgM yang kuat, muncul sekitar 5-7 hari setelah gejala, dapat
dideteksi menggunakan beberapa uji komersial berbasis ELISA, aglutinasi latex
dan teknologi uji cepat imunokromatografi. Uji serologi ini mendeteksi antibodi
IgM yang spesifik terhadap genus Leptospira. Tetapi uji ini sensitivitasnya rendah
(63-72%) pada sampel fase akut (penyakit kurang dari 7 hari). Antibiotik yang
diberikan sejak awal penyakit mungkin menyebabkan respon imun dan antibodi
tertunda. IgM positif menunjukkan Leptospirosis saat ini atau baru terjadi, namun
antibodi IgM dapat tetap terdeteksi selama beberapa tahun. Pada uji aglutinasi
mikroskopik, peningkatan titer empat kali lipat dari serum akut ke konvalesens
merupakan konfirmasi diagnosis. Akan tetapi metode ini kompleks, deteksi
antibodi terhadap suspensi antigen hidup dengan cara serum pasien diencerkan
lalu diletakkan pada panel Leptospira patogenik hidup. Hasilnya dilihat pada
16

mikroskop lapangan gelap dan diekspresikan sebagai persentase organisme yang


dibersihkan dari lapang pandang melalui aglutinasi (Amin, 2016).

B. Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis

1. Serologi
a. MAT (Microscopic Agglutination Test)
Pemeriksaan ini didasarkan pada gerakan Leptospira yang khas. Spesimen
pasien harus disesuaikan dengan fase infeksi Leptospira. Pada minggu pertama,
Leptospira dapat berada di dalam darah dan/atau cairan serebrospinal. Sedang
pada minggu kedua, kuman ini sudah berada di dalam tubulus konvulutus renal
dan dilepaskan dalam urin, sehingga dalam rentang waktu ini, Leptospira lebih
mungkin didapatkan dari sampel urin. Pemeriksaan ini dapat diperoleh hasilnya
dalam waktu satu jam. Keterbatasan dari metode ini adalah kemungkinan false
positive yang tinggi karena gerakan Brown dari fibril kolagen, extrusi
protoplasmik, membran eritrosit dan beberapa artifact dapat salah dibaca
sebagai gerakan Spirochaeta. Kesulitan lain adalah kuman harus dalam
keadaan masih hidup sedang Leptospira dalam urin sangat mudah mati. Serta
butuh ketrampilan tinggi dari pengamat untuk membedakan gerakan
Leptospira dengan gerakan flora normal. Pemeriksaan ini sifatnya hanya untuk
konfirmasi dan tidak dapat membedakan spesies Leptospira (Chirathaworn et
al., 2014).
b. Uji cepat serologis
1) Leptospira IgM-Dip-S-Tick test (PanBio) -> Dipstick test IgM dot enzyme-
linked immunosorbent assay
2) Leptospira IgG enzyme-linked immunosorbent assay (PanBio)
3) Indirect hemagglutination assay (IHA)
4) Microcapsule agglutination test
5) Dried latex agglutination test

Rapid test hanya memerlukan waktu kurang dari 1 jam namun IgM ELISA
dan IHA menunjukkan sensitivitas (>90%) dan spesifisitas (>90%) yang tinggi
17

dan memberikan hasil positif lebih awal di fase akut penyakit. Hal ini sangat
penting untuk keputusan pemberian terapi. Sampel pemeriksaan dapat berupa
serum, plasma (Goris et al., 2013).
c. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Teknik ini merupakan pendekatan yang paling baru dan masih terus
dikembangkan untuk menjadi alat diagnostik yang cepat dan dapat sejak awal
menegakkan diagnosis. Prinsip pemeriksaannya dengan amplifikasi fragmen
spesifik DNA (Deoxybribonucleic Acid) Leptosira dari sampel pasien suspek
Leptospirosis dengan PCR menggunakan 2 set primer (G1/G2 dan B64I
/B64II). Pemeriksaan ini bermakna sejak minggu pertama onset penyakit,
sehingga dapat bermanfaat untuk diagnosis awal Leptospirosis. Dan bila
dibandingkan dengan MAT sebagai gold standard, sensitivitas mencapai
95,2% dan spesifisitas 91,4%. Keterbatasan dari teknik ini adalah sensitifitas
dan spesifisitasnya tergantung strain yang digunakan sebagai primer dan biaya
lebih mahal (S.A. et al., 2012).

2. Hematologi
a. Hemoglobin
Hemoglobin adalah merupakan komponen penting dari sel darah merah
yang memiliki peran dalam tranportasi oksigen dan karbondioksida.
Hemoglobin memberikan pigmen alami pada sel darah merah zat besi yang
terdapat dihemoglobin ketika berikatan dengan oksigen akan tampak
kemerahan (Sherwood, 2012).

b. Hematokrit
Kadar hematokrit (packed red cell volume) adalah konsentrasi (dinyatakan
dalam persen) eritrosit dalam 100 ml darah lengkap (Gandasoebrata, 2008).
Peningkatan kadar hematokrit dengan masalah klinis, dimana keadaan
dehidrasi dan hipovelemia merupakan penyebab umum peningkatan kadar
hematokrit karena kedua kondisi ini menyebabkan hemokonsentrasi.
Sedangkan penurunan kadar hematokrit dengan masalah klinis penggunaan
18

obat. Kehilangan darah dan anemia merupakan penyebab paling umum kadar
hematokrit rendah (Kee, 2008).

c. Trombosit
Trombosit adalah sel darah yang berperan penting dalam proses
hemostatis. Trombosit melekat pada lapisan endotel pembuluh darah yang
robek (luka). Trombosit tidak mempunyai inti sel dan sitoplasmanya berwarna
biru dengan granula ungu kemerahan. Trombosit merupakan derivat dari
megatrosit, berasal dari fargmen-fragmen sitoplasma megakariosit. Jumlah
trombosit 150.000-350.000/mL darah. Granula trombosit mengandung faktor
pembekuan darah, adenosin difosat (ADP) dan adenosin trifosfar (ATP),
kalsium, serotonin serta katekolamin. Umur trombosit 10 hari (Kiswari, 2014).

d. Leukosit
Leukosit adalah sel yang membentuk komponen darah, sel darah putih
mempunyai satu inti sel dan berbentuk tidak tetap. Fungsi umum dari sel
darah putih adalah melindungi tubuh dari infeksi. Umur leukosit dalam sistem
peredaran darah adalah 12-13 hari. Berdasarkan granula yang dikandung
sitoplasma, sel darah putih dapat dibedakan menjadi sel darah putih
bergranula (granulosit) dan sel darah putih yang tidak bergranula
(agranulosit). Leukosit yang bergranula contohnya eusinofil (2-4%), basofil
(0,5-1%) dan neutrofil (60-70%). Sedangkan leukosit yang tidak bergranula
contohnya limfosit (20-25%) dan monosit (3-8%). Neutrofil dan monosit
melindungi tubuh dengan cara melakukan endositosis terhadap partikel asing
yang masuk ke dalam tubuh. Jumlah eusinofil akan meningkat jika tubuh
mengidap cacing-cacing parasit. Basofil berperan dalam reaksi alergi dengan
membentuk sel mast. Sedangkan limfosit, berperan dalam pembentukan
antibodi. Semua sel-sel darah putih dibuat dalam sum-sum tulang dan kelenjar
limfa. Jumlah sel darah putih di dalam tubuh kira-kira 5.000-10.000 sel setiap
mm3 darah. Jika terjadi infeksi, jumlah leukosit di dalam tubuh bisa meningkat
mencapai 30.000. Jumlah leukosit yang melebihi jumlah normal ini disebut
19

leukositosis. Sedangkan, jumlah leukosit yang kurang dari jumlah normal


disebut leukopenia (Andriyani dkk, 2015).

e. Eritrosit
Sel darah merah (Eritrosit) merupakan cairan bikonkaf dengan diameter
sekitar 7 mikron. Bikonkaf memungkinkan oksigen masuk dan keluar sel
secara cepat dengan jarak yang pendek antara membran dan inti sel. Karena di
dalamnya mengandung suatu zat yang disebut Hemoglobin. Eritrosit tidak
memiliki inti sel, mitokondria dan ribosom serta tidak dapat bergerak. Sel ini
tidak dapat melakukan mitosis, fosforilasi oksidatif sel atau pembentukan
protein. Jumlah sel darah merah kira-kira 5 juta per mm 3 dalam darah orang
dewasa dan berumur 120 hari (Handayani, dkk 2008).

f. Indeks eritrosit
Klasifikasi yang paling bermanfaat adalah klasifikasi berdasarkan indeks
eritrosit yang membagi anemia menjadi mikrositik, normositik, makrositik,
normokromik dan hipokromik. Selain mengarah pada sifat defek primernya,
pendekatan ini dapat juga menunjukkan kelainan yang mendasari sebelum
terjadi anemia yang jelas.
Menurut Gandasoebrata (2006:41), indeks eritrosit diperlukan untuk
mengevaluasi morfologi anemia. Nilai yang dipakai ialah :
1) Mean Corpuscular Volume (MCV) atau Volume Eritrosit Rata-rata (VER)
yaitu volume rata-rata sebuah eritrosit disebut dengan fermtoliter/ rata-rata
ukuran eritrosit.
HT x 10 fl
Perhitungan : MCV=
jumlah eritrosit (juta)
Nilai normal : 73 – 101 fl
2) Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) atau Hemoglobin Eritrosit Rata-
Rata (HER) yaitu banyaknya hemoglobin per eritrosit disebut dengan
pikogram.
HB x 10 pg
Perhitungan : MCH=
jumlah eritrosit (juta)
20

Nilai normal : 23 - 31 pg
3) Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) atau Konsentrasi
Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER) yaitu kadar hemoglobin yang
didapat per eritrosit, dinyatakan dengan gram hemoglobin per dL eritrosit.
HB
Perhitungan : MCHC= X100%
HT
Nilai normal : 26 – 34 g/dL

3. Kimia Darah

a. SGOT (AST)
SGOT atau Aspartate Transaminase (AST) merupakan enzim mitokondria
yang mengkatalisis konversi aspartat dan α-ketoglutarat menjadi glutamat dan
oksaloasetat (Sahputri, 2018). Enzim ini didistribusikan secara luas di dalam
tubuh, namun porsi terbesar dapat ditemukan di dalam sel jantung, hati, otot
rangka, otak, ginjal, pankreas, limpa dan paru-paru. Kadar tertingginya
terdapat di dalam sel jantung. Tingginya kadar enzim ini berhubungan
langsung dengan adanya kerusakan sel. Sebesar 70% enzim ini terdapat di
dalam mitokondria sel hati dan 30% terdapat di dalam sitoplasma sel hati
(Rosida, 2016).

Dalam keadaan normal, kadar SGOT (AST) ditemukan di dalam darah


sebanyak 5-40 IU/L (Pondaag, Moeis, & Waleleng, 2014). Selain itu,
peningkatan SGOT dapat disebabkan oleh kerusakan dinding sel hati dan
perubahan permeabilitas yang digunakan sebagai marker (penanda) adanya
gangguan integritas sel hati (hepatoseluler). Peningkatan SGOT mencapai 300
IU/L belumlah spesifik untuk mengindikasikan adanya kelainan hati. Akan
tetapi, apabila peningkatan SGOT mencapai 1000 IU/L, maka dapat
diindikasikan bahwa penyebabnya adalah penyakit hati akibat virus,
kerusakan hati akibat obat atau zat toksin dan iskemik hati yang disebabkan
adanya hipotensi lama atau gagal jantung akut (Rosida, 2016).
b. SGPT (ALT)
SGPT atau Alanine Transaminase (ALT) merupakan enzim yang
21

mengkatalisis transfer gugus amino dari alanin ke α-ketoglutarat yang


mengakibatkan pembentukan glutamat dan piruvat. Enzim ini secara langsung
berfungsi mensintesis glutamat. Dalam keadaan akut, SGPT lebih cepat
dibebaskan dari hepatosit ke dalam aliran darah (Sahputri, 2018). Enzim ini
dapat ditemukan di dalam sel hati, jantung, ginjal dan otot. Porsi besarnya
terdapat pada hati, terutama dalam sitoplasma sel hati (Rosida, 2016).

Dalam keadaan normal, kadar SGPT (ALT) ditemukan di dalam darah


sebanyak 5-35 IU/L (Pondaag, Moeis, & Waleleng, 2014). Peningkatan SGPT
dapat disebabkan juga karena kerusakan dinding hati dan perubahan
permeabilitas yang digunakan sebagai marker (penanda) adanya gangguan
integritas sel hati (hepatoseluler). Peningkatan SGPT mencapai 300 IU/L
belum spesifik mengindikasikan adanya kelainan hati. Tetapi, jika
peningkatan SGPT mencapai 1000 IU/L, maka dapat diindikasikan bahwa
penyebabnya antara lain penyakit hati akibat virus, kerusakan hati akibat obat
atau zat toksin dan iskemik hati yang disebabkan adanya hipotensi lama atau
gagal jantung akut (Rosida, 2016).

c. Bilirubin

Bilirubin terbentuk akibat penguraian hemoglobin oleh sistem


retikuloendotelial dan dibawa di dalam plasma menuju hati untuk melakukan
proses konjugasi (secara langsung), untuk membentuk bilirubin dan
diekskresikan ke dalam empedu. Terdapat dua jenis bilirubin di dalam tubuh
yang terkonjugasi atau yang bereaksi langsung (dapat larut) dan yang tak
terkonjugasi atau memiliki reaksi tidak langsung (ikatan protein). Jika
bilirubin total berada dalam kisaran normal, kadar bilirubin langsung dan tak
langsung tidak perlu dianalisis. Jika hanya salah satu nilai bilirubin yang
dilaporkan nilai tersebut mewakili nilai bilirubin total (Kee, 2007).
Bilirubin langsung atau terkonjugasi kerap muncul akibat ikterik
obstruktif, baik yang bersifat ekstrahepatika (akibat pembentukkan batu atau
tumor) maupun intrahepatika. Bilirubin terkonjugasi tidak dapat keluar dari
empedu menuju usus sehingga akan masuk kembali dan terabsorpsi dalam
22

aliran darah. Sel hati yang rusak dapat menyebabkan hambatan sinusoid
empedu sehingga meningkatkan kadar serum bilirubin langsung pada kasus
Hepatitis dan sirosis terdekompensasi, baik kadar bilirubin langsung maupun
tak langsung dapat meningkat (Kee, 2007). Kadar nilai normal bilirubin
adalah 5-18 umol/l, pemeriksaan bilirubin ini tidaklah spesifik untuk penyakit
hati. Kadar bilirubin ini akan meningkat pada kasus obstruksi bilier dan
hemolisis (Amirudin, 2015).

d. Ureum

Sampah utama metabolisme protein adalah ureum atau urea. Ureum


merupakan senyawa nitrogen non protein yang ada di dalam darah (Sumardjo,
2008). Ureum adalah produk akhir katabolisme protein dan asam amino yang
diproduksi oleh hati dan didistribusikan melalui cairan intraseluler dan
ekstraseluler ke dalam darah untuk kemudian difiltrasi oleh glomerulus dan
sebagian direabsorbsi pada keadaan dimana urin terganggu (Verdiansah,
2016).

Jumlah ureum dalam darah ditentukan oleh diet protein dan kemampuan
ginjal mengekskresikan urea. Jika ginjal mengalami kerusakan, urea akan
terakumulasi dalam darah. Peningkatan urea plasma menunjukkan kegagalan
ginjal dalam melakukan fungsi filtrasinya (Indriani, dkk, 2017). Kondisi gagal
ginjal yang ditandai dengan kadar ureum plasma sangat tinggi dikenal dengan
istilah uremia. Keadaan ini dapat berbahaya dan memerlukan hemodialisa atau
tranplantasi ginjal (Verdiansah. 2016).

1) Pembentukan dan metabolisme ureum


Ureum adalah produk limbah dari pemecahan protein dalam tubuh.
Siklus urea (disebut juga siklus ornithine) adalah reaksi pengubahan
ammonia (NH3) menjadi urea (CO(NH2)2) (Weiner D, et. al. 2015 dalam
Loho, dkk., 2016). Keseimbangan nitrogen dalam keadaan mantap akan
diekskresikan ureum kira-kira 25 mg per hari (Hines, 2013).
Reaksi kimia ini sebagian besar terjadi di hati dan sedikit terjadi di
23

ginjal. Hati menjadi pusat pengubahan ammonia menjadi urea terkait


fungsi hati sebagai tempat menetralkan racun.

Urea bersifat racun sehingga dapat membahayakan tubuh apabila


menumpuk di dalam tubuh. Meningkatnya urea dalam darah dapat
menandakan adanya masalah pada ginjal (Loho, dkk., 2016).

2) Peningkatan Kadar Ureum


Peningkatan ureum dalam darah disebut azotemina. Kondisi gagal
ginjal yang ditandai dengan kadar ureum plasma sangat tinggi dikenal
dengan istilah uremia. Keadaan ini dapat berbahaya dan memerlukan
hemodialisa atau transplantasi ginjal. Peningkatan ureum dikelompokkan
dalam tiga kelompok, yaitu pra-renal, renal, dan pasca-renal (Verdiansah,
2016). Uremia pra-renal berarti peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN).
Akibat mekanisme yang bekerja sebelum filtrasi darah oleh glomerulus.
Mekanisme-mekanisme ini mencakup penurunan mencolok aliran darah ke
ginjal seperti pada syok, dehidrasi atau peningkatan katabolisme protein.
Uremia pasca-renal terjadi apabila terdapat obstruksi saluran kemih bagian
bawah di ureter, kandung kemih atau uretra yang mencegah ekskresi urin.
Urea yang tertahan dapat berdifusi kembali ke dalam aliran darah (Sacher
dan McPherson, 2012). Penurunan perbandingan ureum/kreatinin terjadi
pada kondisi penurunan produksi ureum seperti asupan protein rendah,
nekrosis tubuler dan penyakit hati berat. (Verdiansah, 2016).

Penyebab uremia dibagi menjadi tiga faktor, yaitu prarenal, renal dan
pascarenal.
a) Uremia prarenal terjadi karena gagalnya mekanisme yang bekerja
sebelum filtrasi oleh glomerulus. Mekanisme tersebut meliputi:
1)) Penurunan aliran darah ke ginjal seperti pada syok, kehilangan
darah, gaya hidup dan dehidrasi.
24

2)) Peningkatan katabolisme protein seperti pada perdarahan


gastrointestinal disertai pencernaan hemoglobin dan
penyerapannya sebagai protein dalam makanan, perdarahan ke
dalam jaringan lunak atau rongga tubuh, hemolisis, leukemia
(pelepasan protein leukosit), cedera fisik berat, luka bakar,
demam.
b) Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (penyebab tertinggi yang
menyebabkan gangguan ekskresi ureum. Gagal ginjal akut dapat
disebabkan oleh glomerulonefritis, hipertensi maligna, obat atau logam
nefrotoksik, nekrosis korteks ginjal. Gagal ginjal kronis disebabkan
oleh glomerulonefritis, pielonefritis, diabetes mellitus, arteriosklerosis,
amiloidosis, penyakit tubulus ginjal, penyakit kolagen-vaskular.
c) Uremia pascarenal terjadi akibat obstruksi saluran kemih di bagian
bawah ureter, kandung kemih, atau urethra yang menghambat ekskresi
urin. Obstruksi ureter bisa oleh batu, tumor, peradangan atau
kesalahan pembedahan. Obstruksi leher kandung kemih atau uretra
bisa oleh prostat, batu, tumor atau peradangan. Ureum yang tertahan di
urin dapat berdifusi masuk kembali ke dalam darah (Dadi et al., 2016).

3) Metode Pemeriksaan Ureum


Pengukuran ureum serum dapat dipergunakan untuk mengevaluasi
fungsi ginjal, status hidrasi, menilai keseimbangan nitrogen, menilai
progresivitas penyakit ginjal dan menilai hasil hemodialisis. Beberapa
metode telah dikembangkan untuk mengukur kadar ureum serum, namun
yang sering dipilih/digunakan adalah metode enzimatik. Enzim urease
menghidrolisis ureum dalam sampel menghasilkan ion ammonium yang
kemudian diukur. Ada metode yang menggunakan dua enzim, yaitu enzim
urease dan glutamate dehidrogenase. Jumlah nicotinamide adenine
dinucleotide (NADH) yang berkurang akan diukur pada panjang
gelombang 340 nm. Ureum dapat diukur dari bahan pemeriksaan plasma,
serum, ataupun urin. Jika bahan plasma harus menghindari penggunaan
antikoagulan natrium sitrat dan natrium fluorida, hal ini disebabkan karena
25

sitrat dan fluorida menghambat urease. Ureum urin dapat dengan mudah
terkontaminasi bakteri. Hal ini dapat diatasi dengan menyimpan sampel di
dalam refrigerator sebelum diperiksa (Verdiansah, 2016).

e. Kreatinin
1) Definisi
Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatin
sebagian besar dijumpai di otot rangka tempat zat ini terlibat dalam
penyimpanan energi sebagai Creatine Phospate (CP). Jumlah kreatinin
yang dihasilkan tergantung dengan masa otot. Kreatin fosfat diubah
menjadi kreatinin dengan katalisasi enzim Creatinine Kinase (CK) dalam
sintesis Adenosine Triphoshpate (ATP) dari Adenosine Diphosphate
(ADP). Sejumlah kecil kreatin diubah secara irreversibel menjadi
kreatinin, yang akan dikeluarkan oleh ginjal (Sacher dan McPherson,
2004).

Kreatinin serum dianggap lebih sensitif dan menjadi indikator khusus


pada penyakit ginjal daripada uji dengan kadar nitrogen urea darah.
Kenaikan kadar kreatinin tidak dipengaruhi oleh makanan atau minuman.
Kreatinin serum sangat berguna untuk mengevaluasi fungsi glomerulus.
Jika kadar BUN meningkat namun kadar kreatinin normal, kemungkinan
terjadi dehidrasi (hipovolemia). Namun, jika keduanya mengalami
kenaikan, dicurigai terjadi gangguan ginjal (Kee, 2008). Petunjuk adanya
penurunan fungsi ginjal dapat terindikasi dari peningkatan kadar kreatinin
sebanyak 50% (Corwin, 2000). Kreatinin serum merupakan indeks GFR
(Gromerular Filtration Rate) yang lebih cermat dari pada BUN karena
kecepatan produksinya terutama merupakan fungsi dari massa otot yang
sedikit mengalami perubahan. Sedangkan BUN dipengaruhi oleh jumlah
protein dalam diet dan katabolisme protein tubuh (Price dan Wilson,
2005). Terjadinya penurunan fungsi ginjal disertai dengan penurunan
massa otot, konsentrasi kreatinin akan cenderung stabil, tetapi angka
26

bersihan kreatin 24 jam akan mengalami penurunan. Kejadian ini sering


terjadi pada pasien yang mengalami penuaan (Sacher dan McPherson,
2004). The National Kidney Disease Education Program
merekomendasikan penggunaan serum kreatinin untuk mengukur
kemampuan filtrasi glomerulus yang digunakan untuk memantau
perjalanan penyakit ginjal. Diagnosis ginjal dapat ditegakkan saat nilai
kreatinin serum meningkat. Sedangkan pada kondisi gagal ginjal dan
uremia, ekskresi kreatinin oleh glomerulus dan tubulus ginjal akan
menurun. Selain itu, penurunan kadar kreatinin dapat disebabkan pada
keadaan glomerulonefritis, nekrosis tubuler akut, polystic kidney disease,
syok dan dehidrasi (Verdianyah, 2016).

2) Metabolisme Kreatinin
Kreatinin merupakan produk penguraian kreatin, dimana kreatin
disintesis di hati dan terdapat dalam hampir semua otot rangka yang
berikatan dalam bentuk kreatin fosfat yang selanjutnya akan diubah
menjadi kreatin kinase. Seiring dengan pemakaian energi, sejumlah kecil
diubah secara irreversibel menjadi kreatinin, yang selanjutnya difiltrasi
oleh glomerulus dan dieksresikan dalam urin. Kreatinin diekskresikan oleh
ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi, konsentrasinya relatif konstan
dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang lebih besar dari nilai normal
mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal (Indriani dkk, 2017).

3) Metode pemeriksaan Kreatinin


a) Metode Jaffe pertama kali ditemukan oleh M. Jaffe pada tahun
1886. Metode ini dilakukan dengan cara mereaksikan kreatinin
dalam serum dengan asam pikrat dalam suasana basa sehingga
menghasilkan kompleks pikrat-kreatinin yang berwarna orange.
Kompleks pikrat-kreatinin ini kemudian dianalisis dengan cara
spektrofotometri pada panjang gelombang 485 nm. Bahan
pemeriksaan berupa serum yang mengalami lipemik, ikterik dan
hemolisis tidak boleh digunakan untuk pemeriksaan kreatinin
27

metode Jaffe dikarenakan dapat mengganggu perubahan warna yang


terjadi saat reaksi berlangsung. Kandungan bilirubin yang tinggi
dalam serum ikterik dapat menurunkan kadar kreatinin pada metode
Jaffe maupun metode enzimatik. Kreatinin + Asam pikrat
Kreatinin pikrat.
b) Metode Enzimatik Menurut Drion, dkk., (2011) melaporkan bahwa
teknik enzimatik memberikan hasil yang lebih akurat daripada
metode Jaffe sehingga teknik enzimatik lebih spesifik dan lebih
dipilih untuk praktek klinis. Metode enzimatik memiliki kelemahan
yaitu biaya pemeriksaan metode enzimatik mahal dan masa pakai
dari sensor enzimatik terbatas, bergantung pada aktivitas enzim
tersebut.

C. Gambaran Ureum dan Kreatinin Pada Pasien Leptospirosis

Interstisial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk


lesi pada Leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal.
Gagal ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya pernan nefrotoksin,
reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung
mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal. Keterlibatan
organ ginjal pada penderita Leptospirosis berat dapat dilihat dari peningkatan
kadar ureum 41 (57,7%), peningkatan kadar kreatinin 34 (47,9%) (Putra, 2008).

Komplikasi berat pada penderita Leptospirosis berat dapat berupa syok,


perdarahan masif dan ARDS yang merupakan penyebab utama kematian
Leptospirosis berat. Syok terjadi akibat perubahan homeostasis tubuh yang
berperan pada timbulnya kerusakan jaringan. Gagal ginjal, kerusakan hati,
perdarahan paru, vaskulitis dan ganguan jantung berupa miokarditis, perikarditis
dan aritmia jarang ditemukan walaupun umumnya sebagai penyebab kematian
(Rampengan, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian (Depo dan Kusnanto, 2018) rata-rata hasil


pemeriksaan kadar kreatinin (84,38%) dan ureum (91,67%) mengalami kenaikan
dari nilai rujukan menandakan keterlibatan pada organ ginjal. Diagnosis gagal
28

ginjal akut ditetapkan bila kadar kreatinin darah meningkat hingga 1,5 mg/dl atau
lebih, hal ini dapat menunjukkan terjadinya gangguan ginjal di penderita
Leptospirosis. Penelitian Markum di Jakarta tahun 1997 juga menemukan hampir
90% penderita menunjukkan kadar kreatinin yang tinggi (Amin dkk, 2018).
29

D. Kerangka Berfikir

Faktor lingkungan Leptospirosis Faktor Karakteristik

- Biotik - usia
- Abiotik - Jenis
- Sosial Kelamin
Manifestasi Klinis
- demam tinggi,
- nyeri kepala,
- myalgia,
- nyeri perut,
- mual,
- muntah,
- conjuctiva suffusion

Pemeriksaan Laboratorium

serologi Kimia Darah Hematologi

RDT SGOT SGPT

MAT Ureum Kreatinin


Bilirubin

Analisa data
Keterangan :

Tidak diteliti
Kesimpulan
Diteliti
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Definisi Operasional Variabel

1. Pasien Leptospirosis adalah pasien yang didiagnosis terinfeksi Leptospirosis


bedasarkan pemeriksaan dokter dan data rekam medik di RSUD Cengkareng
dengan pemeriksaan ureum dan kreatinin.

2. Kadar ureum adalah hasil pemeriksaan ureum dalam darah pasien


Leptospirosis yang diperiksan dengan menggunakan alat Architect Ci4100
metode photometric dengan sampel serum. Nilai normal ureum 19,0-44,1
mg/dL.

3. Kadar kreatinin adalah hasil pemeriksaan kreatinin dalam darah pada pasien
Leptospirosis yang diperiksa dengan menggunakan alat Architect Ci4100
metode Photometric dengan sampel serum. Nilai normal Kreatinin 0,6-1,2
mg/dL.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium RSUD Cengkareng pada bulan


Maret-Mei tahun 2021.
C. Populasi dan Sampel penelitian
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah pasien Leptospirosis yang dirawat di
RSUD Cengkareng.
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah data hasil pemeriksaan ureum dan kreatinin pada
pasien Leptospirosis tahun 2018-2020 sebanyak 53 pasien di RSUD Cengkareng.

29
30

D. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data hasil pemeriksaan kadar


ureum dan kreatinin pada pasien Leptospirosis di RSUD Cengkareng, meliputi :
1. Membuat surat permohonan izin pengambilan data dari pemeriksaan Kadar
ureum dan kreatinin pada pasien Leptospirosis di RSUD Cengkareng.
2. Memberi surat permohonan izin pengambilan data pemeriksaan kadar ureum
dan kreatinin pada pasien Leptospirosis di RSUD Cengkareng.
3. Melakukan pembayaran pengambilan data di RSUD Cengkareng.
4. Menerima surat balasan permohonan izin yang telah disetujui oleh pihak
Rumah Sakit.
5. Memilih data pasien Leptospirosis yang melakukan pemeriksaan ureum dan
kreatinin dibagian Laboratorium berdasarkan catatan klinis dari dokter
pengantar yang ditulis pada formulir pemeriksaan Laboratorium.
6. Mencatat nama, usia, jenis kelamin pasien Leptospirosis yang melakukan
pemeriksaan ureum dan kreatinin.

E. Teknik Analisa Data

Data yang telah terkumpul, disajikan secara deskriptif dan ditabulasikan dalam
tabel dalam berupa persentase dan kemudian data dikelompokan berdasarkan
variabel jenis kelamin dan usia. Adapun pengolahan data dengan menggunakan
rumus persentase.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

Penelitian yang dilakukan terhadap 53 sampel pasien Leptospirosis di RSUD


Cengkareng yang merupakan hasil pemeriksaan ureum dan kreatinin pada tahun
2018-2020. Pasien Leptospirosis ditentukan berdasarkan data Rekam Medis. Hasil
penelitian terhadap kadar ureum dan kreatinin pada pasien Leptospirosis di RSUD
Cengkareng dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.
Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Ureum Dan Kreatinin Pada Pasien
Leptospirosis Di RSUD Cengkareng Tahun 2018-2020

NO Pemeriksaan Hasil Jumlah


Normal Abnormal
1 Ureum 17 (32%) 36 (68%) 53 (100%)
2 Kreatinin 13 (25%) 40 (75%) 53 (100%)

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada pasien Leptospirosis yang


memiliki kadar ureum normal sebanyak 17 pasien (32%), ureum abnormal
sebanyak 36 pasien (68%). Sementara kadar kreatinin normal sebanyak 13 pasien
(25%) dan kreatinin abnormal sebanyak 40 pasien (75%).

Selanjutnya, distribusi frekuensi hasil pemeriksaan ureum dan kreatinin


pada pasien Leptospirosis berdasarkan jenis kelamin di RSUD Cengkareng dapat
dilihat pada Tabel 2.

31
32

Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Ureum Dan Kreatinin Pada Pasien
Leptospirosis Berdasarkan Jenis Kelamin Di RSUD Cengkareng
NO Jenis Ureum Kreatinin
Kelamin Jumlah Jumlah
Normal Abnormal Normal Abnormal
1 Laki-Laki 9 30 39 10 29 39
(23%) (77%) (100%) (26%) (74%) (100%)
2 Perempuan 4 10 14 3 11 14
(29%) (71%) (100%) (21%) (79%) (100%)

Hasil yang terdapat pada tabel 2, pada hasil pemeriksaan ureum


berdasarkan jenis kelamin laki-laki didapatkan sebanyak 9 pasien (23%) normal,
sebanyak 30 pasien (77%) abnormal, jenis kelamin perempuan sebanyak 4 pasien
(29%) normal dan sebanyak 10 pasien (71%) abnormal. Kemudian pemeriksaan
kreatinin pada jenis kelamin laki-laki didapatkan sebanyak 10 pasien (26%)
normal, sebanyak 29 pasien (74)% abnormal. Pada perempuan didapat sebanyak 3
pasien (21%) normal, sebanyak 11 pasien (79%) abnormal.

Kemudian, distribusi frekuensi hasil pemeriksaan ureum dan kreatinin


pada pasien Leptospirosis berdasarkan kelompok usia di RSUD Cengkareng
dapat diamati pada Tabel 3.
Tabel 3.
Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Ureum Dan Kreatinin Pasien
Leptospirosis Berdasarkan Kelompok Usia Di RSUD Cengkareng
NO Kelompok Usia Ureum Kreatinin
Normal Abnormal Normal Abnormal
1 0-5 tahun 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
2 5-11 tahun 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
3 12-16 tahun 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
4 17-25tahun 2 (4%) 4 (8%) 2 (4%) 4 (8%)
5 26-35tahun 1 (2%) 9 (17%) 1 (2%) 9 (17%)
6 36-45 tahun 4 (8%) 9 (17%) 3 (6%) 10 (19%)
7 46-55 tahun 2 (4%) 13 (24%) 6 (11%) 9 (17%)
8 56-65 tahun 1 (2%) 5 (9%) 1 (2%) 5 (9%)
9 > 65 0 (0%) 3 (5%) 0 (0%) 3 (5%)
Sumber penggolongan usia : Depkes RI (2009).
33

Berdasarkan fakor usia pada tabel 3, didapatkan pasien Leptospirosis di


RSUD Cengkareng persentase tertinggi didapat pada kelompok usia 46-55 tahun
sebanyak 15 pasien (28,30%) dengan kadar ureum normal sebanyak 2 pasien
(4%), abnormal sebanyak 13 pasien (24%). Kemudian kadar kreatinin normal
sebanyak 6 pasien (11%), abnormal sebanyak 9 pasien (17%).

B. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 53 sampel pasien


Leptospirosis di RSUD Cengkareng yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ureum
dan kreatinin. Hasil Tabel 1, dapat dilihat bahwa kadar ureum normal sebesar
32%, kadar ureum abnormal sebesar 68% sedangkan untuk kadar kreatinin normal
sebesar 25% dan kadar kreatinin abnormal didapatkan sebesar 75%. Kenaikan
kadar ureum dan kreatinin dalam darah, dapat menunjukan fungsi ginjal
terganggu, hal ini dapat disebabkan oleh bakteri Leptospira yang menginfeksi
ginjal pasien. Hasil ini sejalan dengan penelitian (Depo dan Kusnanto, 2018)
dengan hasil pemeriksaan kadar kreatinin (84,38%) dan ureum (91,67%)
mengalami kenaikan dari nilai rujukan yang menandakan keterlibatan pada organ
ginjal. Gagal ginjal akut pada Leptospirosis disebut juga Sindroma
Pseudohepatorenal. Di dalam ginjal, akan meyebabkan nefritis intersisialis dan
nekrosis tubuler. Intersisial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan
bentuk lesi pada Leptospirosis (Putra, 2008).

Pada penelitian ini, masih ditemukan 32% kadar ureum normal dan 25% kadar
kreatinin normal. Pada fase leptospiremia dengan gejala ditandai nyeri kepala
daerah frontal, nyeri otot betis, paha, pinggang terutama saat ditekan. Gejala ini
diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan
kesadaran. Gejala ini terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani secara baik,
suhu tubuh akan kembali normal dan organ-organ yang terlibat akan membaik
(Rampengan, 2016). Hal ini yang mungkin dapat menyebabkan kadar ureum dan
kreatinin pasien Leptospirosis masih berada dalam batas normal.
34

Penurunan kadar ureum dapat disebabkan oleh malnutrisi atau diet asupan
protein. Nekrosis hepatik akut menyebabkan kadar ureum menurun, karena asam-
asam amino tidak dimetabolisme lebih lanjut ke hati. Urea plasma rendah juga
terjadi pada sirosis hati yang disebabkan oleh pengurangan sintesa karena retensi
air dan kecepatan anabolisme protein yang tinggi, keadaan ini timbul selama
pengobatan dengan androgen yang intensif misalnya pada karsinoma payudara
dan malnutrisi protein jangka panjang (Verdiansah, 2016).

 Kadar kreatinin dalam darah lebih sensitif dalam mendeteksi adanya


kerusakan organ ginjal dibandingkan dengan kadar urea nitrogen darah, karena
kreatinin tidak mengalami reabsorbsi dan diekresikan melalui tubulus ginjal (Kerr,
2002).

Perempuan biasanya memiliki kadar kreatinin lebih rendah dibandingkan laki-


laki karena perempuan memiliki jaringan otot yang lebih sedikit. Kadar kreatinin
bisa kurang dari nilai normal pada orang yang sudah lanjut usia, orang yang
kekurangan gizi atau vegetarian (Yanti, 2016).

Pada Tabel 2, didapatkan hasil pemeriksaan pada pasien Leptospirosis


berdasarkan jenis kelamin yaitu pada laki-laki sebanyak 39 pasien (74%) dengan
hasil ureum normal sebanyak 9 pasien (23%), abnormal sebanyak 30 pasien
(77%) dan kreatinin normal sebanyak 10 pasien (26%), abnormal sebanyak 29
pasien (74%). Kemudian pada perempuan sebanyak 14 pasien (26%) dengan hasil
ureum normal sebanyak 4 pasien (29%), abnormal sebanyak 10 pasien (71%) dan
kreatinin normal sebanyak 3 pasien (21%), abnormal sebanyak 11 pasien (79%).
Hasil yang didapatkan dengan jumlah kenaikan kadar ureum dan kreatinin
terbanyak didapatkan pada jenis kelamin laki-laki. Hal ini dapat disebabkan
karena banyaknya aktifitas yang dilakukan diluar rumah oleh laki-laki sehingga
lebih rentan terhadap penularan infeksi Leptospirosis. Hal ini juga bisa dikaitkan
dengan berdasarkan kepatuhan mengenai kebersihan diri dan lingkungan dimana
perempuan lebih peduli terhadap kesehatan dan kebersihan lingkungan
dibandingankan dengan laki-laki. Hasil ini sejalan dengan penelitian (Putra,
2008) bahwa didapatkan laki-laki lebih banyak dibanding perempuan yaitu untuk
35

laki-laki 37 pasien (52,1%) dan perempuan sebanyak 34 pasien (47,9%).


Penelitian (Prihantoro dan Siwiendrayanti, 2017) juga menyebutkan bahwa laki-
laki lebih banyak dibanding perempuan yaitu untuk Laki-laki 8 pasien (80%) dan
perempuan 2 pasien (20%). Sebenarnya, laki-laki dan perempuan memiliki risiko
tertular leptospirosis yang sama, akan tetapi laki-laki cenderung kurang peduli
apabila terjadi luka yang bisa menjadi tempat masuk bakteri Leptospira.

Perbedaan perilaku dan gaya hidup antara laki-laki dan perempuan sebagai
contoh penularannya yaitu menyerang orang-orang dengan kegiatan yang
melibatkan air atau tanah seperti kerja bakti, pertanian, peternakan, pekerja kebun,
pekerja tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan, pemburu dan tentara
dimana pekerjaan tersebut didominasi oleh laki-laki.

Pada Tabel 3, persentase tertinggi Leptospirosis berdasarkan kelompok usia


yang beresiko tinggi terinfeksi Leptospirosis yaitu 46-55 tahun sebanyak 15
pasien (24,52%) dengan ureum normal sebanyak 2 pasien (4%) abnormal
sebanyak 13 pasien (24%). Kemudian hasil kreatinin normal sebanyak 6 pasien
(11%), abnormal sebanyak 9 pasien (17%). Pada kelompok usia 0-16 tahun tidak
terdapat kasus Leptospirosis hal ini bisa disebabkan karena sedikitinya aktivitas
anak-anak yang berada diluar rumah pada saat hujan dan banjir, serta masih
mendapat pengawasan dari orangtua mengenai kebersihan diri dan lingkungan.
Anak-anak juga menjadi prioritas evakuasi pada saat banjir. Prihantoro dan
Siwiendrayanti (2017) mengatakan pada kelompok usia mulai dari 15-24 tahun
hingga 55-64 tahun masuk ke dalam kategori masyarakat dengan usia produktif,
dimana hal tersebut dapat dikaitkan dengan faktor resiko penularan Leptospirosis
melalui luka, kontak dengan hewan, pekerjaan, kebersihan lingkungan,
pengetahuan yang dapat menyebabkan terinfeksi bakteri Leptospira. Sehingga
semua umur harus mengantisipasi agar tidak terkena kontak dengan tikus atau
urinnya dan hewan lain yang dapat menularkan Leptospirosis. Dengan cara
melakukan pola perilaku hidup bersih dan sehat, serta menggunakan alat
pelindung diri ketika akan kontak dengan hewan terinfeksi dan genangan banjir.
36
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian terhadap 53 pasien Leptospirosis di RSUD Cengkareng pada


tahun 2018-2020, mengenai gambaran ureum dan kreatinin pada pasien
Leptospirosis dapat disimpulkan :

1. Berdasarkan pemeriksaan ureum dan kreatinin pasien Leptospirosis yang


memiliki kadar ureum abnormal sebanyak 36 pasien (68%) dan kreatinin
abnormal sebanyak 40 pasien (75%). Sementara kadar ureum normal
sebanyak 17 pasien (32%) dan kreatinin normal sebanyak 13 pasien (25%).
2. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki didapat 39 pasien mengalami peningkatan
sebesar 74% dan pada perempuan sebanyak 14 pasien sebesar 26%. Dengan
kadar ureum Abnormal pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 30 pasien (77%)
dan kreatinin abnormal sebanyak 29 pasien (54%).
3. Pasien Leptospirosis berdasarkan kelompok usia, pada kelompok usia 46-55
tahun sebanyak 15 pasien sebesar 28,30% mengalami peningkatan dengan
kadar ureum sebanyak 13 pasien sebesar (24%) dan kreatinin sebanyak 9
pasien sebesar 17%.

36
37

B. Saran

1. Bagi instansi terkait, sebaiknya dilakukan promosi kesehatan terkait


Leptospirosis dengan memasang media promosi seperti poster tentang
Leptospirosis guna menambah pengetahuan terkait penyakit Leptospirosis
serta menghimbau masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan terhadap
Leptospirosis.
2. Bagi peneliti selanjutnya untuk ditambah parameter uji laboratorium lainnya
untuk mendukung prognosis Leptospirosis.
3. Penelitian ini sebaiknya dilakukan lebih lanjut lagi dengan jumlah sampel
yang lebih besar dan menganalisis keterlibatan organ tubuh yang lain,
misalnya otot, gaster dan mata.
4. Kepada peneliti dan masyarakat agar tetap selalu menjaga kebersihan diri dan
lingkungan guna mencegah penularan Leptospirosis.
38
DAFTAR PUSTAKA

Amin, I., Rusli, B. and Hardjoeno (2007) ‘Creatinine and Creatinine Clearance
Value of Leptospirosis Patients’, Indonesian Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory.
Amin, L. Z. (2016) ‘Leptospirosis’. CDK-243/ vol. 43 no. 8, dari Universitas
Indonesia.
Amirudin, (2015). Permenkes 91 tahun 2015 Standar Pelayanan Tranfusi Darah.
Menteri Kesehatan Indonesia. Jakarta
Andriyani Rika SST., M.Kes., Ani Triana, SST., M.Kes., Widya Juliarti, SKM.,
M.Kes., (2015). Biologi Reproduksi dan Perkembangan. Yogyakarta:
Deepublish Publisher
BeZhare. (2011). Available at : http://bezhare.blogspot.com/2011/04/bezhare-
what-is-leptospirosis.html. Diakses Pada Juni 2021
Chirathaworn Chintana, Ajada Inwattana, Duangjai Suwancharoen. (2014)
‘Interpretation of microscopic agglutination test for leptospirosis
diagnosis and seroprevalence’, Asian Pacific Journal of Tropical
Biomedicine, 23 Feb 2021
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4025277/
Corwin, E.J. (2000). Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U. Pendit.:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Dadi Puguh Dwi, Pantara (2016). ‘Hubungan antara kadar ureum dengan kadar
hemoglobin pada pasien gagal ginjal kronik’. Fakultas Ilmu Kesehatan
UMP. Purwokerto. http://repository.ump.ac.id/1589/
Depo, M. and Kusnanto, H. (2018) ‘Risiko Kematian pada Kasus-kasus
Leptospirosis: Data dari Kabupaten Bantul 2012-2017’, Berita Kedokteran
Masyarakat, 34(6), pp. 236–241.
Drion I, Joosten H, Santing L, Logtenberg SJJ, Groenier KH, Lieverse AG, et al.
(2011). The Cockcroft-Gault: a better predictor of renal function in an

38
39

overweight and obese diabetic population. The European Journal of


Obesity [Internet]. 4(5):393–9.
Fineartamerican. (2021). Available at:
https://fineartamerica.com/featured/leptospira-interrogans-bacteriumcnri.
html?product=art-print-Diakses Pada Maret 2021
Gandasoebrata, R, (2006). Penuntun Laboratorium Klinik, Dian Rakyat, Jakarta.
Goris, M. G. A, Mariska M. G. Leeflang, Martin Loden, Jiri F. P. Wagenaar, Paul
R. Klatser, Rudy A. Hartskeerl, Kimberly R. Boer. (2013) ‘Prospective
Evaluation of Three Rapid Diagnostic Tests for Diagnosis of Human
Leptospirosis’, PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(7). doi:
10.1371/journal.pntd.0002290
Handayani F, Pratamawati D, Widjajanti W, Muhidin M, Yuliadi B, Safitri A,
Hidayati N, Mulyono A, Ristiyanto R. (2019) ‘Penguatan Kebijakan One
Health dan Jejaring Laboratorium Dalam Deteksi Dini Leptospirosis di
Indonesia’, pp. 253–266, Vol 47 No 4. Desember
Handayani, W., Haribowo, A.S, (2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi, Salemba Medika, Jakarta
Hines, R., (2013). Chronic Kidney Disease in your Pet Rat- What it is, and What
You can do About it (online) (www.2ndchance.info/ratkidney.htm) diakses
tanggal 13 Maret 2021)
Indriani, V., Siswandari, W., Lestari, T. (2017). Hubungan Antara Kadar Ureum,
Kreatinin dan Klirens Kreatinin dengan Proteinuria pada Penderita
Diabetes Mellitus. Prosiding Seminar Nasionaldan Call for Paper
Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan
VII : 758-765. Purwokerto, 17-18 November 2017 :Purwokerto
Kee, Joyce LeFever. (2007). Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik
Edisi 6. Jakarta: EGC. Pp: 232
Kee JL., (2008). Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Cetakan I Edisi 6, Jakarta.
40

Kementerian Kesehatan RI (2017) Petunjuk Teknik Pengendalian Leptospirosis.


3rd edn. Edited by S. drg. R Vensya Sitohang, M.Epid,drh. Endang Burni
P, M.Kes,Prof. dr. Muhammad Hussein,drs. Ristiyanto, M. Kes,drh Ima
Nurisa Ibrahim, MSc, drh. Sugianto, M.Si, Arifah Dwi Harini, SKM, dra.
Ikaningsih, DMM, M. Biommed , Ari Yuliandi, SH, dr. Chita Septiawat.
DKI Jakarta: 30 Desember 2014.
Kerr MG. (2002). Veterinary Laboratory Medicine, Clinical Biochemistry and
Hematology. 2nd Ed. Blackwell Science.
Kirtane, A. J., Leder, D. M., Waikar, S. S., Chertow, G. M., Ray K. K., Pinto, D.
S., Karmpaliotis, D., Burger, A. J., Murphy, S. A., Cannon, C. P.,
Braunwald, E. and Gibson, C. M. (2005). Serum Blood Urea Nitrogen as
an Independent Marker of Subsequent Mortality Among Patients With
Acute Coronary Syndromes and Normal to Mildly Reduced Glomerular
Filtration Rates. J. Am Coll Cardiol, 45:1781-1786.
Kiswari, Rukman, (2014). Hematologi dan Transfusi. Erlangga, Jakarta
Lippa, richard A. (2010): Gender Differences in Personality and Interests: When,
Where, and Why. Chalifornia, blackwell Publishing
Loho, I. K. A. Rambert. G. I. Wowor, M. F. (2016) ‘Gambaran Kadar Ureum pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 Non Dialisis’. Jurnal e-Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado (eBm), 2(4) : 5
Mulyono, Arief, Ristiyanto, Esti Rahardianingtyas, Dimas Bagus Wicaksono
Putro, Arum Sih Joharina (2016) ‘Prevalensi dan Identifikasi Leptospira
Patogenik Pada Tikus Komensal Di Kota Maumere, Flores’, Vektora, 8(1),
pp. 31–40.
Pemayun, I. G. A. G. P. (2002). Mengkaji Nefrotomi. J.Vet Vol 3(2).
Price, S.A dan Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi volume 2. Alih bahasa : dr.
Brahm U. Pendit, dr. Huriawati Hartanto, dr. Pita Wulansari, dr. Dewi Asih
Mahanani. : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Putra, A. M. (2008) ‘Keterlibatan Multiorgan pada Penderita Leptospirosis Berat’,
41

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.


Rampengan, N. H. (2016) ‘Leptospirosis’, jurnal Biomedik (JBM), 8, pp. 143–
150.
Rosida, A. (2016). Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. Berkala Kedokteran,
12(1), 123-131.
Siti Aminah Ahmed, Doblin Anak Sandai, Suzana Musa, Chee Hock Hoe, Mehdi
Riadzi, Kwok Leong Lau, Thean Hock Tang (2012) ‘Rapid Diagnosis of
Leptospirosis by Multiplex PCR’, Malaysian Journal of Medical Sciences,
19(3), pp. 9–16..
Sacher, R. A., and McPherson, R. A., (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium, 519, EGC, Jakarta
Sacher, R.A dan McPherson, R.A. (2012). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium Edisi 11. Jakarta: EGC.
Sawut, M. and Ablet, E. (2019) ‘Leptospirosis.1 1,2’, 45(12), pp. 1859–1867.
Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC; 2012.
Sucipto, M. P. G, Ronald Martua Nababan, Ryan Falamy. (2017) ‘Ikterus yang
Disebabkan oleh Suspek Leptospirosis Jaundice caused by Suspect
Leptospirosis’, Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 7(November),
pp. 20–25.
Teguh Prihantoro and Siwiendrayanti, A. (2017) ‘Jurnal of Health Education’,
Journal of Health Education, 2(2), pp. 185–191
Thorp, M. L.2005.An Approach To The Evaluation Of An Elevated Serum
Creatinine. J. Int. Med.Vol. 5(2).
Verdiansyah. 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. CDK-237/ Volume 43 Nomor. 2.
Bandung : Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Rumah
Sakit Hasan Sadikin. Bandung
Yanti Nova Dewi M. (2016) ‘Makalah Kimia Klinik Kreatinin’. Politeknik
Kesehatan Kementrian Kesehatan Mataram’.
WHO (2009) ‘Reducing the Global Burden of Leptospirosis What can you do to
support the global action against leptospirosis , its prevention and control’
31 March 2009 https://www.who.int/zoonoses/diseases/Lerg_brochure.pd.
42

Diakses 13 Maret 2021.

WHO. 2010. Report of the First Meeting of the Leptospirosis Burden


Epidemiology Reference Group. Geneva.
https://apps.who.int/iris/handle/10665/44382. Diakses Maret 2021
WHO (2014) ‘WHO recommended standards and strategies for surveillance,
prevention and control of communicable diseases’, -, pp. 1–4. UNAIDS
Indonesia.
World Health Organisation (2019) ‘Leptospirosis prevention and control in
Indonesia. https://www.who.int/indonesia/news/detail/24-08-2020-
leptospirosis-prevention-and-control-in-indonesia Diakes pada April 2021.
43

Lampiran 1.

Data Penelitian.
Tabel 1.
Data Hasil Pemeriksaan Ureum dan Kreatinin
di RSUD Cengkareng

MR Jenis Hasil
No Umur
pasien Kelamin ureum kreatinin
1 69-4 32th L 164 5,3
2 78-6 54th P 107 4,6
3 33-3 29th P 302 7,2
4 35-3 35th L 7 1,9
5 93-5 59th P 193 3,0
6 09-9 38th L 26 1,0
7 67-9 24th L 279 8,1
8 27-3 28th L 187 7,0
9 20-3 54th P 320 7,8
10 16-1 40th L 183 7,0
11 21-1 49th P 17 0,5
12 92-7 22th L 30 1,1
13 99-6 51th P 28 1,0
14 85-5 45th L 242 6,1
15 52-5 53th L 131 9,3
16 10-5 54th L 58 1,2
17 69-5 60th P 32 0,7
18 96-4 46th L 19 1,1
19 21-5 52th L 360 9,0
44

MR Jenis Hasil
No Umur
pasien Kelamin ureum kreatinin
20 77-4 33th L 176 10,3
21 70-8 65th P 246 2,0
22 74-4 64th L 41 1,0
23 52-7 17th L 18 1,0
24 63-4 47th P 120 7,7
25 34-4 43th L 26 1,3
26 82-4 40th L 26 1,0
27 88-8 32th L 21 1,6
28 46-8 67th L 154 6,4
29 03-4 60th P 84 1,9
30 02-2 22th P 15 0,6
31 53-6 62th L 233 5,3
32 64-6 58th P 158 6,2
33 20-6 28th L 17 0,9
34 38-7 55th L 36 1,5
35 22-1 36th L 45 1,6
36 36-0 25th L 15 0,7
37 69-0 37th L 39 1,0
38 49-9 49th P 54 1,1
39 52-4 41th L 62 2,6
40 22-5 44th L 250 6,1
41 02-4 62th L 154 3,3
42 68-0 34th L 169 6,8
43 12-0 31th L 137 6,0
44 62-0 72th P 152 3,2
45 43-0 39th L 180 6,8
45

MR Jenis Hasil
No Umur
pasien Kelamin ureum kreatinin

46 23-0 68th L 253 5,9


47 20-0 47th L 184 5,7
48 68-9 39th L 56 2,4
49 80-9 22th L 103 1,9
50 11-9 37th L 58 2,0
51 46-1 49th L 86 3,3
52 18-7 29th L 109 4,4
53 15-9 48th L 47 0,6

Lampiran 2.
46

Instrument Penelitian

Gambar 5.
Alat Architect ci4100.

1. Pemeriksaan ureum dan kreatinin

a. Metode :
Photometric, Potentiometric, Turbidimetri
b. Tujuan :
Untuk membantu menganalisis hasil klinik kimia darah di
Laboratorium
c. Bahan :
Serum, plasma, Whole Blood, cairan tubuh, dan urine
d. Cara Kerja :
1) Persiapan sampel :
a) Sampel didiamkan selama 30 menit.
b) Sampel dicentrifuge dengan kecepatan 3500 rpm selama 10
menit, serum yang didapat tidak boleh lisis.

2) Program sampel :
47

a) Dimasukkan 100 μl sampel serum atau plasma ke dalam cup.


b) Dipilih menu “ORDER”, kemudian “PATIENT ORDER”,
dimasukkan nomor carrier, posisi dan sampel ID.
c) Dipilih pemeriksaan yang diinginkan, tekan “ADD ORDER”.
d) Ditekan F1 (Exit) kembali ke menu awal .
e) Ditekan F8 (Run).
e. Nilai Normal

1) Ureum : 19,0-44,1 mg/dL


2) Kreatinin : 0,7-1,2 mg/dL
48

Lampiran 3.

Surat Izin Penelitian

Gambar 6.
Surat Izin Penelitian Pengambilan Data Rekam Medik.
49
50

Surat Persetujuan Penelitian


Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
51

Gambar 7.
Surat Persetujuan Penelitian Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.
52

Surat Rekomendasi Penelitian


Unit Pelayanan Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)

Gambar 8.
Surat Rekomendasi Penelitian
Unit Pelayanan Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
53

Lampiran 4.

Kartu Konsultasi Perbaikan


54

Lampiran 5.

Kartu konsultasi bimbingan


55

BIODATA

Nama : Kurnia Sari

Nim : 1010181126

Institusi : Universitas Mh Thamrin

Tempat/Tgl Lahir : Subang/10 Oktober 1999

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Dukuh V rt/rw 007/05 no.16A Dukuh, Kramat Jati- Jakarta
Timur

Agama : Islam

Email : kurniasari322@gmail.com

No. Hp : 082114622215

Judul Kti : Gambaran Kadar Ureum Dan Kreatinin Pada Pasien


Leptospirosis Di RSUD Cengkareng Tahun 2018-2020

Pesan : Mulailah dari tempat kamu berada, gunakan yang kau punya dan
lakukan yang kau bisa. Bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah di usahakannya.

Anda mungkin juga menyukai