Oleh :
1010191115
JAKARTA
2022
LEMBAR PERSETUJUAN
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui :
Ketua
Program Studi Diploma III Analis Kesehatan
Fakultas Kesehatan Universitas MH Thamrin Jakarta
Penguji I
Penguji II
Penguji III
Pembimbing I
Drh. Sahat Ompusunggu, M.Sc
Pembimbing II
Sumiati Bedah, SKM., MKM
Mengetahui
NIM : 1010191115
Program studi : D-III Analis Kesehatan
Fakultas : Kesehatan
Jenis karya : Karya Tulis Ilmiah
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada prodi Analis Kesehatan Fakultas Kesehatan Universitas MH
Thamrin Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive Royalty – Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
“ANGKA FASIOLIASIS PADA SAPI YANG DIPELIHARA DI
KECAMATAN RAJEG, KABUPATEN TANGERANG, BANTEN”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini prodi D III Analis Kesehatan Fakultas Kesehatan
Universitas MH Thamrin berhak menyimpan, mengalih media / format-kan,
mengolah dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama masih tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal :
Yang menyatakan
Karya Tulis Ilmiah ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan
benar.
NIM : 1010191115
Tanda tangan :
Tanggal :
ABSTRAK
Sapi adalah salah satu sumber protein hewani bagi manusia. Salah satu
penyakit pada sapi yang endemis di Indonesia dan bersifat zoonotik adalah
fasioliasis yang disebabkan oleh cacing Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica.
Di peternakan sapi Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten ini belum
pernah dilakukan penelitian tentang angka fasioliasis pada sapi-sapi yang
dipelihara. Penelitian bertujuan untuk mengetahui angka fasioliosis di pertenakan
tersebut.
Kepustakaan : 17
Tahun : 2008-2021
Kata Kunci : Sapi, Fasciola hepatica, Fasciola gigantica, Metode Flotasi.
ABSTRACT
Cattle is one of source of animal protein for humans. One of the endemic
zoonotic diseases in cattle in Indonesia is fascioliasis caused by Fasciola
hepatica and Fasciola gigantica. In this cattle farm, Rajeg District, Tangerang
Regency, Banten, no research has been conducted on the fascioliasis rate in
cattles that are kept. This study aims to determine the prevalence of fascioliasis in
the farm.
The results showed that the fascioliasis rate in cattle kept in Rajeg District,
Tangerang Regency, Banten was 0 % (0/250). It also found another parasite
species infect the cattles, namely Oesophagostomum sp. 2.8 % (7/250),
Bunostomum sp. 6,4 % (16/250), and Eimeria sp 2.8 % (7/250).
Literature : 17
Year : 2008-2021
Keywords : Cattle, Fasciola hepatica, Fasciola gigantica, flotation method.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI)
yang berjudul “ANGKA FASIOLIASIS PADA SAPI YANG DIPELIHARA
DI KECAMATAN RAJEG, KABUPATEN TANGERANG, BANTEN”
sebagai tugas untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Ahli Madya Analis
Kesehatan Program Studi Diploma III Analis Kesehatan Fakultas Kesehatan
Universitas Mohammad Husni Thamrin ini tepat pada waktunya.
Sholawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada baginda agung Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa ajaran islam dari zaman kegelapan ke
zaman terang benderang seperti sekarang ini. Dan semoga kita di hari akhir nanti
mendapat safaat dari beliau. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan, pengarahan, bimbingan serta dukungan berupa semangat
dan do’a baik secara langsung dan tidak langsung dalam penyusunan Karya Tulis
Ilmiah ini, sehingga ini Karya Tulis Ilmiah dapat diselesaikan dengan sebaik-
baiknya. Adapun pihak-pihak terserbut adalah:
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Suniyadi dan Ibu Sujilah yang selalu
memberikan do’a, dukungan, motivasi serta kasih sayang sepanjang masa
kepada penulis sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat terselesaikan. Serta
kepada kakak saya, Sonya Nila Mayrara dan keluarga yang tak lupa selalu
mendoakan dan memotivasi penulis.
2. Ibu Imas Latifah, SKM.,M.KKK selaku Ketua Program Studi Diploma III
Analis Kesehatan Universitas Mohammad Husni Thamrin.
3. Drh. Sahat Ompusunggu, M.Sc selaku pembimbing materi yang telah
meluangkan waktu di antara kesibukannya untuk membimbing penulis
dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
4. Sumiati Bedah, SKM, MKM selaku pembimbing teknis yang telah
membantu dalam pembuatan penelitian dan penyusunan Karya Tulis
Ilmiah ini.
5. Para dosen dan staff sekretariat Program Studi Diploma III Analis
Kesehatan Fakultas Kesehatan Universitas Mohammad Husni Thamrin.
6. Kepala Sekolah, para guru dan staf pengajar SMKN 9 yang sudah
memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian disana.
7. Sahabat penulis, Nurul Hidayati. Yang senantiasa memberikan dorongan
dan motivasi selama masa pengerjaan Karya Tulis Ilmiah ini.
8. Seluruh rekan-rekan jurusan Analis Kesehatan angkatan 2019 yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu. Tanpa mengurangi rasa hormat penulis,
terima kasih karena telah menjadi bagian kehidupan perkuliahan penulis.
9. Seluruh pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu disini, yang
selalu memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan do’a.
Penulis menyadari Karya Tulis Ilmiah ini masih terdapat banyak kekurangan,
oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
membuat Karya Tulis Ilmiah ini menjadi lebih baik. Akhirnya penulis berharap
semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................................i
ABSTRACT..............................................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................v
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.......................................................................................2
C. Perumusan Masalah.........................................................................................3
D. Pembatasan Masalah.......................................................................................3
E. Tujuan Penelitian.............................................................................................3
F. Manfaat Penelitian...........................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................5
A. Fasciola hepatica.........................................................................................5
2. Morfologi..................................................................................................5
3. Siklus Hidup..............................................................................................8
4. Patogenensis............................................................................................10
5. Patologi....................................................................................................11
6. Diagnosis.................................................................................................11
7. Kemoterapi..............................................................................................12
8. Epidemiologi...........................................................................................13
BAB III..................................................................................................................15
METODE PENELITIAN.......................................................................................15
F. Analisis Data..............................................................................................22
BAB IV..................................................................................................................23
A. Hasil Penelitian..........................................................................................23
B. Pembahasan................................................................................................27
BAB V...................................................................................................................29
A. Kesimpulan................................................................................................29
B. Saran...........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sapi adalah salah satu sumber protein hewani bagi manusia. Dalam rangka
pemenuhan protein hewani bagi penduduk Indonesia, pemerintah menggalakkan
peternakan sapi agar dapat meningkatkan hasil produksinya, serta untuk menutupi
kekurangan ketersediaan daging sapi dalam negeri yakni dengan cara mengimpor
daging sapi yang berasal dari negara lain.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa
masalah yaitu sebagai berikut :
1. Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi
dalam pengembangan peternakan. Salah satu penyakit parasit yang sangat
merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola
hepatica dan Fasciola gigantica.
2. Di Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten, terdapat suatu
peternakan sapi yang belum diketahui seberapa besar angka infeksi fasioliasis
di peternakan tersebut.
3. Sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui besarnya angka infeksi
fasioliasis di peternakan tersebut.
C. Perumusan Masalah
D. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi hanya
menentukan besarnya angka fasioliasis pada sapi yang dipelihara di kandang sapi
Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten.
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
Untuk menentukan besarnya angka fasioliasis pada sapi yang dipelihara di
peternakan Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menentukan besarnya angka fasioliasis menurut spesies cacing
Fasciola sp. di peternakan Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang,
Banten.
b. Untuk menentukan besarnya angka fasioliasis pada sapi menurut umur
sapi di peternakan Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten.
c. Untuk menentukan besarnya angka fasioliasis pada sapi menurut jenis sapi
di peternakan Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten.
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis menambah pengetahuan bagi penulis tentang identifikasi telur
cacing Fasciola hepatica pada feses sapi di Kandang Sapi Daerah Rajeg,
Kabupaten Tangerang, dan menambah keterampilan dalam melakukan
pemeriksaan laboratorium sesuai dengan ilmu yang dipelajari.
2. Bagi akademi menambah kepustakaan tentang identifikasi telur cacing
Fasciola hepatica pada feses sapi bagi pembaca dan mahasiswa Univeritas
Mohammad Husni Thamrin.
3. Bagi masyarakat memberikan informasi kepada masyarakat tentang
identifikasi telur cacing Fasciola hepatica pada feses sapi serta diharapkan
dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan
lingkungan dan memberi pengetahuan akan bahaya infeksi cacing parasit pada
ternak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fasciola hepatica
2. Morfologi
Cacing dewasa berbentuk gepeng menyerupai daun dengan bentuk kerucut
di anterior. Bentuk seperti kerucut ini merupakan satu di antara karakteristik
cacing ini. Ukurannya 2-4 cm panjang dan 1 cm lebar. Batil isap mulut terletak
paling anterior dan batil isap perut terletak di sekitar ujung posterior struktur
kerucut tadi. Glandula vitelina berwarna coklat terlihat jelas pada kedua sisi
tubuh. Usus memiliki percabangan yang kompleks yang tersebar hampir di
seluruh bagian tubuh dan semua ujungnya buntu. Ovarium bercabang-cabang
di daerah sempit di sisi kanan tubuh. (Ompusunggu, 2018)
Gambar 2.1 Morfologi cacing dewasa Fasciola hepatica
Sumber : Ompusunggu 2018
Testis terletak di sebelah posterior ovarium, yang terdiri dari dua lobus
dengan posisi anterior-posterior dan keduanya juga bercabang-cabang. Oviduk
dan kanalis Laurer lengkap, tetapi reseptakulum seminalis tidak ada. Agak ke
posterior terdapat duktus vitelina dan ootip serta uterus. Uterus yang
membentang pendek di sisi anterior testis atau di sisi posterior batil isap perut
dapat melebar ke kedua sisi tubuh apabila berisi banyak telur.
Porus genitalis alat reproduksi jantan dan reproduksi betina bermuara di
lubang yang terpisah, tetapi berdekatan, persis di sisi anterior batil isap perut.
Vas deferens datang dari setiap testis dan bergabung dengan vesikula
seminalis, lalu dari gabungan ini keluar duktus ejakulatorius. Duktus
ejakulatorius bersama-sama dengan glandula prostata yang mengelilinginya
membentuk sirus. Sirus mempunyai duri-duri kecil yang tersusun melingkar
pada permukaannya, kecuali pada ujungnya.
Telur Fasciola hepatica adalah yang terbesar di antara semua telur
trematoda. Bentuknya lonjong, berwarna kuning terang kecokelatan dengan
dinding telur tipis, dan pada satu ujungnya terdapat operkulum. Ukuran telur
130-150 x 63-90 μm. Di dalam telur terdapat satu sel telur dan banyak sel
kuning telur. Pada telur yang sudah berumur beberapa jam, sel telur yang sudah
membelah dapat terlihat di dalam telur. Produksi telur dapat mencapai 19.000-
25.000 butir per ekor cacing per hari. Apabila telur jatuh ke dalam air, dalam
dua minggu telur akan menetas dengan cara membukanya, operkulum dan
mirasidium akan keluar melalui lubang yang terbentuk. (Ompusunggu, 2018)
3. Siklus Hidup
Bagan siklus hidup F.hepatica dapat dilihat pada Gambar 2.3. Telur yang
dikeluarkan hospes definitif jatuh ke dalam air, lalu sel telur memulai proses
pembelahan. Pada musim panas, mirasidium terbentuk sempurna dalam waktu
dua minggu. Selanjutnya, mirasidium membuka operkulum telur, keluar dari
telur, dan mulai berenang di dalam air. Lamanya masa hidup mirasidium hanya
8 jam. Mirasidium menginvasi hospes keong sambil melepaskan ekornya. Di
dalam tubuh keong, mirasidium berkembang dan berubah menjadi sporokista.
Tiap sporokista menghasilkan sekitar 5-8 redia. Apabila redia sudah terbentuk
dan berkembang sempurna, redia akan keluar dan melepaskan diri dari tubuh
sporokista. (Ompusunggu, 2018)
Dengan menggunakan mulut yang sederhana, redia makan dan aktif
bergerak di dalam jaringan keong. Beberapa redia bereproduksi secara aseksual
(membelah menjadi dua), menghasilkkan dua redia anak sehingga jumlah redia
menjadi bertambah di tubuh keong. Setiap redia juga mengandung jaringan
germinal dan berkembang serta menghasilkan banyak keturunan yang disebut
serkaria. Setelah terbentuk dan berkembang, serkaria keluar dari tubuh keong
dalam waktu 30-40 jam pada temperatur 24 ºC. Dalam kondisi yang optimum,
lamanya fase perkembangan larva dalam tubuh keong sekitar 3-7 minggu.
Selama musim panas, lamanya fase di tubuh keong ini dapat memanjang, dan
serkaria dapat bertahan di tubuh keong selama beberapa bulan. (Ompusunggu,
2018)
Serkaria aktif berenang dengan menggunakan ekornya yang menyerupai
ekor anak katak dan menempelkan dirinya pada tanaman air di permukaan air
atau pada batang padi. Serkaria melepaskan ekornya dan mengeluarkan sekret
kista sirkular (berbentuk lingkaran), menjadi berbentuk pipih berdiameter 0,25
mm dan berubah menjadi metaserkaria. Metaserkaria mampu hidup selama 6-
10 bulan. Dari satu mirasidium, dapat dihasilkan lebih dari 600 metaserkaria
yang infektif. Apabila metaserkaria yang berbentuk kista ini tertelan oleh
hospes definitif, di dalam duodenum kista akan pecah, dan larva metaserkaria
akan bermigrasi melalui dinding usus memasuki rongga peritoneum. Larva
akan mencapai saluran empedu setelah merusak parenkim hati dalam
perjalanannya melalui permukaan hati. Metaserkaria akan menjadi dewasa
dalam waktu 3-4 bulan. Jadi, dalam siklus hidup cacing ini, tidak dibutuhkan
hospes perantara kedua. Sebagai penggantinya adalah tanaman air untuk
pelekatan metaserkaria. (Ompusunggu, 2018)
Selain invasi langsung ke parenkim hati melalui peritoneum setelah
menembus dinding usus, larva bisa juga mencapai hati melalui pembuluh darah
atau pembuluh limfe dinding usus. Jadi, walaupun tempat berparasit
F.hepatica sama dengan Clonorcis sinensis dan Opistorchis viverrini, tetapi
jalur migrasinya berbeda dengan kedua spesies tersebut. Kadang-kadang, larva
dapat mencapai habitat abnormal seperti paru-paru, uterus atau jaringan
subkutan. Masa prepaten F.hepatica pada sapi adalah sekitar 8-10 minggu.
(Ompusunggu, 2018)
Serkaria mampu menginfeksi hospes definitif mamalia, termasuk manusia,
secara pasif ketika hospes meminum air yang terkontaminasi serkaria atau
serkaria mengkista pada dedaunan. Hospes mamalia menjadi terinfeksi apabila
menelan tanaman air yang mengandung metaserkaria. (Ompusunggu, 2018)
Gambar 2.3 Siklus hidup Fasciola hepatica.
Sumber : El-Beshbishi dalam Ompusunggu 2018
4. Patogenensis
Fasioliasis pada sapi, kerbau, domba dan kambing dapat berlangsung akut
maupun kronik. Yang akut biasanya terjadi karena invasi cacing muda
berlangsung secara masif dalam waktu pendek, dan merusak parenkim hati,
hingga fungsi hati sangat terganggu, serta terjadinya perdarahan ke dalam
rongga peritoneum. Meskipun cacing muda hidup dari jaringan hati, tidak
mustahil juga menghisap darah, seperti yang dewasa, dan menyebabkan
anemia pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Fasioliasis
kronik berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktifitas cacing dewasa di
dalam saluran empedu, baik di hati maupun luar hati. Akibat yang timbul
berupa kolangitis, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai
fibrosis, dan anemia. Kejadian anemia ditimbulkan karena cacing dewasa
menghisap darah serta hilangnya persediaan zat besi. (Subronto dalam Karlina,
2018)
Lesi yang disebabkan oleh infeksi Fasciola sp. pada semua ternak hampir
sama tergantung pada tingkat infeksinya. Kerusakan hati paling banyak terjadi
antara minggu ke 12-15 pasca infeksi. Kerusakan jaringan mulai terjadi ketika
cacing muda mulai menembus dinding usus tetapi kerusakan parah dan
peradangan dimulai ketika cacing bergerak melalui parenkim hati dan saluran
empedu dan kantong empedu.
5. Patologi
Kerusakan yang disebabkan oleh cacing tergantung pada lokasi hospes dan
tergantung pada aktivitas stimulan dan toksin. Efek pada seluruh tubuh
disebabkan oleh penyerapan zat beracun yang menghasilkan reaksi alergi dan
menyebabkan kerusakan pada organ vital. Tingkat keparahan infeksi tidak
hanya tergantung pada jumlah cacing yang ada, tetapi juga pada invasi jaringan
dengan telur, larva dan cacing dewasa. Cacing yang berada dalam saluran usus
biasanya kurang berbahaya dari pada serangan pada jaringan yang
menyebabkan kerusakan, perlukaan lebih pada infeksi berat. (Irianto dalam
Karlina, 2018)
Pada pemeriksaan darah akibat fasioliasis akut ditemukan perubahan
berupa anemia normokromik, eosinophilia, dan hipoalbuminemia. Pada
penyakit yang berlangsung akut, daur hidup cacing belum sempurna dan telur
cacing belum dihasilkan sehingga dalam pemeriksaan feses tidak terlihat
adanya telur Fasciola sp. Pada fasioliasis sub akut dan kronis anemia yang
ditemukan bersifat hipokromik, makrositik dan hipoproteinemia. Pada penyakit
yang berlangsung sub akut maupun kronis, feses selalu mengandung telur
Fasciola sp. Penemuan telur cacing tidak selalu dapat dikaitkan pada beratnya
kerusakan hati. (Subronto dalam Situmorang, 2021 )
6. Diagnosis
Diagnosis fasioliasis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni diagnosis klinis
dan diagnosis laboratorium. Diagnosis klinis berdasarkan gejala klinis sulit
dilakukan, maka sebagai penunjang diagnosis dapat digunakan pemeriksaan
ultrasonografi (USG), sedangkan diagnosis laboratorium dilakukan dengan
pemeriksaan feses, biopsi hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen
serta western blotting (Anonimus dalam Situmorang, 2021).
Penentuan diagnosis Fasioliasis seekor hewan atau sekelompok hewan
dapat dibuktikan, salah satunya dengan melakukan pemeriksaan feses, yaitu
menemukan telur Fasciola sp. dalam feses dengan menggunakan metode
sedimentasi maupun flotasi. Pada hewan yang berkelompok, diagnosis juga
perlu diperkuat dengan kerusakan hati salah satu hewan yang mati dengan
melalui pemeriksaan postmortem. Kendala yang ditemukan pada pemeriksaan
feses untuk mendeteksi telur cacing adalah durasi infeksi Fasciola gigantica
karena telur baru dapat ditemukan 15 minggu setelah hewan terinfeksi,
sedangkan untuk infeksi Fasciola hepatica, telur baru dapat ditemukan 10
minggu setelah hewan terinfeksi. Telur yang keluar secara intermitten
bergantung pada pengosongan kantung empedu.
Telur Fasciola sp. sangat mirip dengan telur Paramphistomum sp. Telur
Fasciola sp. berwarna kekuningan, sedangkan telur Paramphistomum sp.
berwarna keabu-abuan. Untuk membedakan keduanya, dapat diamati dari
karakteristik telur, yakni ukuran telur Fasciola sp. lebih kecil dari
Paramphistomum sp., dinding telur Paramphistomum sp. lebih tipis sehingga
mudah menyerap zat warna empedu, yodium atau methylene blue. Selain itu,
telur Paramphistomum sp. memiliki sel-sel embrional yang lebih jelas terlihat
dibandingkan dengan telur Fasciola sp. (Subronto dalam Situmorang, 2021).
7. Kemoterapi
Untuk kemoterapi yang baik dipergunakan Emetin hidroklorida untuk
manusia dengan pemberian intravena. Pengobatan dilakukan dalam waktu yang
lama (berbulan-bulan atau bertahun-tahun atau berulang-ulang) sampai yakin
bahwa semua parasit benar-benar sudah mati. Selain itu dianjurkan pemakaian
Resochinr. Terhadap hewan, obat hetol dapat bekerja dengan baik, tetapi tidak
dapat digunakan untuk manusia karena toksisitasnya yang terlalu tinggi. Selain
itu, sekarang dianjurkan untuk memberikan obat bithionol yang
menghancurkan stadium invasi muda dan sudah membunuhnya dalam jaringan
hati. (Irianto dalam Karlina, 2018).
8. Epidemiologi
Fasciola sp. tersebar di seluruh dunia, dengan daerah penyebaran yang
berbeda, yaitu Fasciola hepatica terutama di wilayah beriklim sedang dan
iklim dingin, sedangkan Fasciola gigantica mendominasi wilayah penyebaran
di daerah beriklim tropis (Suweta dalam Fitriani, 2015). Kasus fasioliasis
secara epidemiologi merupakan penyakit ternak yang bersifat kosmopolitan
dalam distribusinya di negara-negara yang memelihara hewan ruminansia
(Lubis dkk dalam Fitriani, 2015). Prevalensi fasioliasis banyak terjadi pada
bagian dunia dengan curah hujan yang tinggi dan padang rumput yang basah
(Dunn dalam Fitriani, 2015). Faktor penting yang mendukung siklus hidup
Fasciola sp. dalam penyebarannya adalah jumlah temak atau hewan herbivora
yang terinfeksi, keberadaan siput sebagai inang antara, iklim, suhu,
kelembaban, komposisi kimia tanah, flora air, dan suplai air yang cukup
(Malek dalam Fitriani, 2015).
Di Indonesia, fasioliasis merupakan salah satu penyakit ternak yang telah
lama dikenal dan tersebar secara luas. Keadaan alam Indonesia dengan curah
hujan dan kelembaban yang tinggi memungkinkan parasit seperti cacing
berkembang dengan baik. Sifat hermaprodit Fasciola sp. juga akan
mempercepat perkembangbiakan cacing hati tersebut. Cacing ini banyak
menyerang ruminansia yang biasanya memakan rumput yang tercemar
metaserkaria, tetapi dapat juga menyerang manusia (Mohammed dalam
Fitriani, 2015). Fasioliasis di Indonesia merupakan penyakit yang berbahaya
dengan kerugian ekonomi yang cukup tinggi. Spesies Fasciola gigantica dan
Fasciola hepatica tersebar di seluruh dunia dan penyebaran Fasciola hepatica
lebih luas dibandingkan dengan Fasciola gigantica. (Ditjennak dalam Fitriani,
2015).
B. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori di atas, maka kerangka konsep pada penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut :
Metode pemeriksaan
Umur Sapi feses sapi
Angka fasioliasis
pada sapi di
Kecamatan Rajeg,
Kabupaten
Tangerang, Banten
Jenis sapi
BAB III
METODE PENELITIAN
Variabel
No Definisi Variabel Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala ukur
Penelitian
1 Infeksi fasioliasis Infeksi yang disebabkan Mikroskop Pemeriksaan feses Positif : ditemukan Nominal
oleh Fasciola hepatica dengan teknik telur Fasciola
atau Fasciola gigantica flotasi hepatica atau telur
yang dibuktikan dengan Fasciola gigantica
penemuan telur parasit Negatif : tidak
itu pada tinja sapi yang ditemukan telur
diperiksa Fasciola hepatica
atau telur Fasciola
gigantica
2 Telur Fasciola Berbentuk lonjong, Pemeriksaan Teknik flotasi Positif : ditemukan Nominal
hepatica berwarna kuning terang mikroskopis telur Fasciola
kecokelatan dengan hepatica
dinding telur tipis, dan Negatif : tidak
pada satu ujungnya ditemukannya telur
terdapat operkulum. Fasciola hepatica
Dengan ukuran telur
130-150 x 63-90 μm.
3 Telur Fasciola Berbentuk lonjong, Pemeriksaan Teknik flotasi Positif : ditemukan Nominal
gigantica berwarna kuning terang mikroskopis telur Fasciola
kecokelatan dengan gigantica
dinding telur tipis, dan Negatif : tidak
pada satu ujungnya ditemukannya telur
terdapat operkulum Fasciola gigantica
dengan ukuran 156-197
x 90-104 μm, serta
berwarna cokelat.
4 Angka infeksi Jumlah sapi yang positif Pemeriksaan Hasil perhitungan Angka Rasio
fasioliasis dibagi dengan jumlah laboratoris
sapi yang diperiksa,
dikali seratus persen
5 Umur sapi Rentang waktu dalam Observasi Mengurangi tahun 1. 1 tahun Rasio
satuan tahun dihitung dan/atau saat pemeriksaan 2. 1,5 tahun
sejak sapi lahir hingga Wawancara dengan tahun 3. 2 tahun
saat fesesnya diambil kelahiran 4. 2,5 tahun
5. 3 tahun
6 Jenis sapi Golongan atau ras Wawancara Hasil pengamatan 1. PO (Peranakan Nominal
keturunan sapi sesuai dari sapi itu sendiri Ongole)
sifat genetiknya yang dan penjelasan dari 2. Pegon
ditentukan berdasarkan responden 3. Limosin
keterangan pemilik sapi
dan atau tampilan luar
fisik sapi.
E. Cara Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan dua cara,
yakni : pemeriksaan feses dan wawancara
1. Pemeriksaan Feses
a. Pengambilan feses
Feses yang diperiksa berasal dari tiga jenis sapi yaitu: PO
(Peranakan Ongole), Pegon, dan Limosin. Pengambilan sampel dari
dua kandang sapi yang terletek di Kecamatan Rajeg, Kabupaten
Tangerang, Banten dilakukan dengan cara mengambil sampel feses
sebanyak sekitar 50 gram dan dimasukkan ke dalam pot sampel yang
sudah diberi kode untuk masing-masing jenis sapi. Pengambilan
sampel dilakukan pagi dan/atau sore hari dimana kedua waktu tersebut
merupakan waktu sapi untuk mengeluarkan feses.
Pada Tabel 3.1 dapat dilihat kode masing-masing jenis sapi yang
dipelihara. Untuk sapi yang berjenis PO (Peranakan Ongole) diberi
kode PO, sedangkan untuk sapi yang berjenis Pegon diberi kode PG,
dan untuk sapi yang berjenis Limosin diberi kode LM.
Tabel 3.1
Pemberian kode (Coding)
A. Hasil Penelitian
Tabel 4.1
Jumlah Sampel Menurut Jenis Sapi
Jenis sapi Jumlah (ekor)
PO (Peranakan Ongole) 95
Pegon 123
Limosin 32
Jumlah 250
Tabel 4.2
Jumlah Sampel Menurut Umur Sapi
2 117
2,5 104
3 25
3,5 4
Jumlah 250
3. Angka Fasioliasis
Hasil pemeriksaan feses menurut jenis sapi (Tabel 4.3) dan menurut
umur sapi (Tabel 4.4) menunjukkan bahwa di antara 250 sampel yang
diperiksa tidak ditemukan telur cacing Fasciola hepatica dan/atau Fasciola
gigantica. Dengan kata lain, besarnya angka fasioliasis di peternakan sapi
Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten adalah 0 % (0/250)
Tabel 4.3
Jumlah Sapi Yang Positif Telur Fasciola sp. Menurut Jenis Sapi
Jenis sapi Jumlah yang Jumlah yang Persentase
diperiksa positif positif
PO (Peranakan Ongole) 95 0 0
Pegon 123 0 0
Limosin 32 0 0
Jumlah 250 0 0
Tabel 4.4
Jumlah Sapi Yang Positif Telur Fasciola sp. Menurut Umur Sapi
Umur sapi Jumlah yang Jumlah yang Persentase positif
(tahun) diperiksa positif
2 117 0 0
2,5 104 0 0
3 25 0 0
3,5 4 0 0
Jumlah 250 0 0
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa dari 250 sampel feses sapi yang
diperiksa dari sapi yang dipelihara di Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang,
Banten, angka infeksi fasioliasis adalah 0 % (0/250).
Angka fasioliasis pada penelitian ini yang besarnya 0 % (0/250) jauh lebih
rendah dibanding dengan beberapa hasil penelitian lain, antara lain oleh Fitriani
tahun 2015 yang menunujukkan hasil bahwa prevalensi fasioliasis pada sapi
potong di Kecamatan Malusettasi, Kabupaten Barru terdapat 5 (5 %) sampel yang
terinfeksi Fasciola sp. dari 100 sampel feses yang diperiksa (Fitriani, 2015).
Demikian juga dengan hasil penelitian Majawati dan Matatula tahun 2018 yang
menunjukkan hasil bahwa di peternakan sapi daerah Tangerang terdapat 6 (8,8 %)
sampel yang terinfeksi Fasciola hepatica dari 68 sampel feses sapi yang diperiksa
(Majawati dan Matatula, 2018).
Adapun hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ambarisa, dkk pada feses sapi yang diambil dari rumah potong hewan di Mabar,
Medan tahun 2013 yang menunjukkan hasil bahwa dari 12 sampel feses sapi
yang diperiksa tidak terdapat telur Fasciola hepatica (Ambarisa dkk, 2013)
Demikian juga pada penelitian yang dilakukan oleh Apriyani tahun 2019 pada
feses sapi di peternakan sapi perah Brastagi, dari 23 sampel yang diperiksa tidak
ditemukan telur Fasciola hepatica (Apriyani, 2019). Adapun faktor yang
menyebabkan hasil angka infeksi fasioliasis sebesar 0 % yaitu pengelolaan
kandang sapi yang dibersihkan setiap 2 kali sehari dan pemberian obat cacing
secara rutin 3 bulan sekali.
Indonesia merupakan negara beriklim tropis basah yang sangat coock untuk
perkembangbiakan cacing hati sehingga di Indonesia banyak hewan ternak
khususnya hewan ruminansia yang terinfeksi cacing tersebut. Penyebaran
fasioliasis di Indonesia merupakan penyakit yang penting dengan kerugian
ekonimi yang cukup tinggi. Prevalensi penyakit ini pada sapi di Jawa Barat
mencapai 90 % dan di Daerah Istimewa Yogyakarta antara 40-90 % (Pudjiatmoko
dkk, 2014).
Namun pada penelitian ini, dari total 250 sampel yang diperiksa terdapat 30
sampel yang teridentifikasi telur spesies lain yaitu, Oesophagostomum sp. 2,8 %
(7/250), Bunostomum sp. 6,4 % (16/250), dan Eimeria sp 2,8 % (7/250). Adapun
ketiga spesies yang ditemukan tersebut merupakan parasit yang menyerang
gastrointestinal atau pencernaan pada hewan ternak yang dapat mengakibatkan
bobot sapi menurun, kelemahan, sapi mengalami diare, depresi dan anemia.
Penelitian yang dilakukan oleh Paramitha, dkk tahun 2017 tentang Prevalensi
Helminthiasis Saluran Pencernaan melalui Pemeriksaan Feses pada sapi di Lokasi
Pembuangan Akhir (LPA) Kecamatan Benowo, Surabaya menunjukkan bahwa
prevalensi helmintiasis saluran pencernaan sebesar 73 % dimana jenis telur
Oesophagostomum sp. sebesar 51 % (21/41), Bunostomum sp. sebesar 2,5 %
(1/41) dan campuran telur Oesophagostomum sp. dan Bunostomum sp. sebesar 5
% (2/41). Penemuan kelas Nematoda pada feses sapi disebabkan siklus hidup
cacing kelas Nematoda ini tidak memerlukan inang perantara untuk menempel
pada rumput sehingga memudahkan sapi terinfeksi larva cacing ketika memakan
rumput yang terkontaminasi larva cacing tersebut.
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 250 feses sapi yang dipelihara di
Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten menunjukkan bahwa angka
fasioliasis adalah 0 % (0/250). Namun pada penelitian ini juga ditemukan 30 ekor
sapi yang terinfeksi spesies parasit lain, yaitu : Oesophagostomum sp. 2,8 %
(7/250), Bunostomum sp. 6,4 % (16/250), dan Eimeria sp 2,8 % (7/250).
B. Saran
1. Bagi Masyarakat
Diharapkan kepada masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam membeli
dan memilih daging sapi terutama bagian hati sapi untuk dikonsumsi,
kemudian saat mengolah atau memasak hati sapi diharuskan sampai benar-
benar matang, hal ini berguna untuk membunuh cacing-cacing atau parasit
lain yang mungkin terdapat pada hati sapi tersebut.
Ambarisa, I., Irnawati, M., Wirsal, H. (2013). Analisis Cacing Hati (Fasciola
Hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Diambil Dari Rumah Potong
Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013, Departemen Kesehatan Lingkungan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Sumatera Utara. Diakses dari :
https://www.neliti.com/id/publications/14464/none (Diakses tanggal 14 Mei
2022, Jam 13.11 WIB)
Djuardi, Y., Ismid. (2008). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Edisi ke-4,
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Karnila. (2018). Identifikasi Cacing Fasciola hepatica Pada Hati Sapi Di Rumah
Potong Hewan Anggoeya Kecamatan Poasia Kota Kendari: Politeknik
Kesehatan Kendari. Diakses dari : http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/479/
(Diakses tanggal 15 Mei 2022, Jam 10.56 WIB)
Muhamad, N., Aan, A., Yudhi R.N. (2021). Koksidiosis Pada Sapi Perah Di
Kabupaten Jember, Jawa Timur-Indonesia. Jurnal Ilmu Peternakan Terapan.
Jember: Politeknik Negeri Jember. Doakses dari :
https://publikasi.polije.ac.id/index.php/jipt/article/view/2501 (Diakses
tanggal 13 Agustus 2022, Jam 12.28 WIB)
Ompusunggu, S. M., (2018). Filum Plathyhelminthes : Kelas Trematoda. Dalam :
Ompusunggu, S. M., Mardella, E. A. (Editor). Parasitologi : Teknologi
Laboratorium Medik. Jakarta: EGC.
Prasetyo, R.H. (2013). Parasit Usus. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
Sagung Seto.
Susilo, H., Asep, A. N., Rizki, A. K. (2020). Identifikasi Telur Cacing Parasit
Pada Feses Hewan Ternak Di Propinsi Banten. Biodidaktika: Jurnal Biologi
Dan Pembelajarannya: Universitas Tirtayasa. Diakses dari :
https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/biodidaktika/article/view/8719 (Diakses
tanggal 15 Mei, Jam 11.02 WIB)
Tantri, N., Rima, S. T., Khotimah, S. (2013). Prevalensi dan Intensitas Telur
Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH)
Kota Pontianak Kalimantan Barat. Protobiont: Universitas Tanjunpura.
Diakses dari : https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jprb/article/view/2753
(Diakses tanggal 15 Mei 2022, Jam 11.12 WIB)
Tolistiawaty, I., Widjaja, J. (2021). Infeksi Telur Cacing Pada Sapi Di Rumah
Potong Hewan (Rph) Di Kab. Sigi Propinsi Sulawesi Tengah. Prosiding
SNPBS (Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek) ke VI:
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses dari :
https://proceedings.ums.ac.id/index.php/snpbs/article/view/49/49 (Diakses
tanggal 15 Mei 2022, Jam 12.10 WIB)