Digital - 2016-7 - 20417250-SP-Widia Wati PDF
Digital - 2016-7 - 20417250-SP-Widia Wati PDF
WIDIA WATI
1206195810
WIDIA WATI
1206195810
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
Karya Ilmiah Akhir ini saya susun tanpa tindakan plagiarism sesuai dengan
peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia
Jika dikemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indoensia kepada saya.
(\J~
Widia Wati
.
l
ii
I
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
..'
~
NPM : 1206195810
iii
I
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya Ilmiah ini telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan dihadapan Tim
Penguji Karya Ilmiah Akhir Program Magister Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia
Pembimbing I
Pembimbing II
;;
iv
I
HALAMANPENGESAHAN
r
Karya Ilmiah Akhir ini diajukan oleh:
Nama : Widia Wati
Npm : 1206195810
Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Judul Karya Ilmiah Akhir : Penerapan Asuhan Keperawatan Model Self Care
Orem pacta Pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus di RSUPN Cipto
Mangunkusumo
DEWAN PENGUJI
Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada peneliti, sehingga Karya Ilmiah Akhir ini dapat diselesaikan
dengan judul "Penerapan Asuhan Keperawatan Model Self Care Orem pada ...J
~
vi
Akhimya, semoga bantuan serta budi baik yang telah diberikan mendapatkan
balasan dari Allah SWT & Penulis berharap penelitian bermanfaat.
Widia Wati
vii
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-
Eksklusif ini, Universitas Indoensia berhak menyimpan, mengalih media/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Yan(\1:~
WidiaWati
viii
Nama : WidiaWati
NPM : 1206195810
Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Judul : Penerapan Asuhan Keperawatan Model Self Care Orem pada
Pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus di RSUPN Cipto
Mangunkusumo.
Kata kunci: Diabetes melitus, Ulkus diabetes, Model Self Care Orem.
ix
Name : WidiaWati
NPM : 1206195810
Study Program : Postgraduate of Nursing Science program
Title : Nursing care by Orem’s self care model application for
diabetes mellitus patient with diabetic ulcer in RSUPN Cipto
Mangunkusumo
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. iv
HALAMAN PENGESEHAN ............................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR SKEMA .............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5
1.3. Manfaat Penulisan ................................................................................ 6
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan Kasus Diabetes Melitus ................................................. 109
4.2 Pembahasan EBN ............................................................................... 129
4.3 Pembahasan Inovasi ........................................................................... 134
xi
Tabel 2.1 Perawatan Luka dengan Menggunakan Kompres atau Terapi Topikal 41
Tabel 2.2 Antibiotik Empiris yang Dianjurkan untuk Ulkus Diabetikum ............ 42
Tabel 2.4 Diagnosa Keperawatan yang Muncul pada Pasien Diabetes Melitus ... 57
Tabel 3.1 Karakteristik Usia Responden Pasien DMT 2 Pada Kelompok Intervensi
dan Kontrol di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)…96
Tabel 3.2 Karakteristik Pasien DMT2 Berdasarkan Jenis Kelamin, OHO/ insulin
yang Didapat, Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta Tahun 2015 (n=10) ...................................... ..97
Tabel 3.3 Kadar Glukosa Darah Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah Terapi
PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di
RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10).. ........................ ..98
Tabel 3.4 Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah Terapi PMR
dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di RSUPN
Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10) ........................................ 100
Tabel 3.5 Perbedaan Rata-rata Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan
Sesudah Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan
Kontrol di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10) .......... 101
xii
Gambar 3.2 Kadar Glukosa Darah Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan
Kontrol di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10) .... ..99
Gambar 3.3 Gambaran Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan
Kontrol di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10) .... 100
xiii
Skema 2.1 Interaksi Insulin dan Glukagon dalam Mengatur Kadar Glukosa Darah
............................................................................................................ 9
xiv
xv
Mangunkusumo pada tahun 2007 menunjukkan bahwa 111 dari 327 pasien
diabetes yang dirawat dengan diabetes mellitus mengalami masalah kaki diabetik,
angka amputasi mencapai 35%, terdiri atas 30% amputasi mayor dan 70%
amputasi minor. Jumlah angka kematian akibat amputasi tersebut sekitar 15%.
Serta data 2010-2011 memperlihatkan peningkatan angka amputasi menjadi 54%.
Sebagian besar merupakan amputasi minor, yakni bagian bawah pergelangan kaki
sebanyak 64,7%, dan amputasi mayor sejumlah 35,3%. Angka amputasi pada
diabetisi 15 kali lebih besar dibanding orang yang tidak menderita DM
(PERKENI, 2009)
Penanganan ulkus diabetes yang tidak optimal menyebabkan rawat inap bagi
penderitanya dan lamanya hari rawat inap. Sebuah studi tentang ulkus diabetes
bahwa ulkus diabetes penyebab terbanyak dilakukan rawat inap dibanding faktor
komplikasi lainnya dari diabetes (Khardory, 2014). Lama hari rawat inap juga
akan bertambah, sesuai dengan data nasional di rumah sakit di Inggris
menunjukkan bahwa rata-rata hari rawat inap pasien dengan ulkus diabetik
adalah 59% lebih lama dibandingkan dengan pasien tanpa ulkus (Reiber, et al.
1995 dalam Frykberg, et al. 2006). Menurut penelitian bahwa pasien ulkus
diabetik tidak menunjukkan kesembuhan setelah 20 minggu perawatan (Searle,
Campbell, Tallon, Fitzgerald, Vedhara, 2005).
Ulkus diabetes memberi dampak yang sangat luas baik dari segi fisik, psikologis,
sosial maupun ekonomi. Aguilar, et al (2011) mengemukakan infeksi kaki pada
penyandang diabetes akan menciptakan masalah sosial yang kompleks karena
beban keuangan yang dihasilkan dari tingginya biaya pengobatan dan
penyembuhan. Meningkatnya angka morbiditas akibat infeksi pada kaki akan
memberikan dampak perawatan dirumah sakit yang lama dan juga akan
memberikan dampak psikososial pada pasien dan keluarga. Selain itu ulkus
diabetik juga berdampak pada biaya yang tinggi dan hilangnya produktifitas pada
pasien (Ramsey, et al. 1999 dalam Aguillar, 2011)
Dalam praktek residensi dari September 2014 sampai Mei 2015 didapatkan 20
dari 30 pasien yang dilakukan asuhan keperawatan mengalami ulkus kaki
diabetikum. Dimana jumlah hari rawat lebih dari 6 minggu. 90% mengalami ulkus
kaki diabetes stage 3 dan 4 dengan skala wagner, tingkat ketergantungan 40%
Wholly Compensatory System dan Partly Compensatory System 60% pulang
dengan luka sembuh 77%, pulang paksa 23%, meninggal tidak ada, dan amputasi
30%.
Universitas Indonesia
Kegiatan inovasi yang dilakukan di poli Endokrin Penyakit Dalam RSCM oleh
kelompok, merupakan upaya menjalankan peran sebagai innovator. Inovasi yang
dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan khususnya
dalam memberikan asuhan keperawatan dan meningkatkan kemampuan self-care
pada pasien DM. Inovasi yang lakukan bersama kelompok adalah membuat
Banner yang berisikan tentang self health assessment pasien dengan DM. Tujuan
pelaksanaan inovasi ini adalah, pasien dengan DM mampu mengenali keadaan
penyakitnya, mengambil keputusan serta melakukan tindakan yang tepat sesuai
dengan kebutuhan (self management). Upaya untuk meningkatkan pengetahuan
dan self-care pasien, kelompok menggunakan media booklet manajemen mandiri
DM. Booklet sebagai media dalam memberikan edukasi pada pasien dengan DM
yang berisikan tentang pengetahuan manajemen diabetes. Perawat harus terus
mencoba menemukan cara yang terbaik dalam mengedukasi pasien, sehingga
pasien menjadi lebih peduli untuk memperoleh pengetahuan, memahami
kesehatannya dan pada akhirnya terbentuk kemandirian pasien dalam mengelola
kesehatannya. Edukasi pada pasien diabetes bertujuan meningkatkan
pengetahuan, perubahan sikap dan keterampilan yang mengarah pada
pengontrolan yang baik terhadap penyakit yang merupakan bagian integral dari
perawatan diabetes komprehensif. Sebagai akhir, kegiatan ini merupakan kegiatan
terintegrasi dalam mencapai kesehatan yang optimal pada pasien dengan DM
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kelenjar endokrin terdiri dari kelenjar pituitary, kelenjar adrenal, kelenjar tiroid,
kelenjar pankreas, kelenjar paratiroid, dan gonad. Kelenjar endokrin bekerja
dengan sistem syaraf untuk meregulasi seluruh fungsi tubuh yang dikenal sebagai
regulasi neuroendokrin. Banyak interaksi terjadi diantara sistem endokrin dan
seluruh sistem tubuh untuk memastikan bahwa setiap sistem terjaga
keseimbangannya secara konstan (homeostasis) sebagai respon dari perubahan
lingkungan (Workman, 2006). Fungsi sistem endokrin diantaranya mengatur
metabolisme organik serta keseimbangan H2O dan elektrolit, menginduksi
perubahan adaptif untuk membantu tubuh menghadapi situasi stress, mendorong
tumbuh kembang yang lancar dan berurutan, mengontrol reproduksi, mengatur
produksi sel darah merah. Selain itu, bersama dengan sistem otonom, kelenjar
endokrin juga mengontrol dan mengintegrasikan sirkulasi dan pencernaan serta
penyerapan makanan (Sherwood, 2012).
8 Universitas Indonesia
Hiperglikemia Hipoglikemia
Sumber : Sherwood, 2011; Williams & Hopper, 2007; Smeltzer & Bare, 2008
Kadar glukosa darah juga dipengaruhi oleh hormon epineprin, kortisol, dan
growth hormon yang sekresinya dikontrol oleh hipotalamus. Melalui aksis HPA
(hypotalmic-pituitary adrenal). Epineprin meningkatkan glukosa darah dengan
merangsang sekresi glukagon yang berfungsi pada proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis di hati, menghambat sekresi insulin dan meningkatkan kadar asam
lemak darah dengan mendorong lipolysis (Sherwood, 2011; Wilson & Price,
2009). Kortisol mempunyai efek metabolik meningkatkan konsentrasi glukosa
darah dengan merangsang glukoneogenesis, menghambat penyerapan dan
penggunaan glukosa oleh banyak jaringan (kecuali otak), merangsang penguraian
protein menjadi asam amino untuk glikoneogenesis serta meningkatkan lipolisis.
Glukosa adalah zat yang dibutuhkan tubuh sebagai sumber energi vital. Untuk
menjalankan fungsi metabolisme tubuh, agar sel-sel dapat menjalankan fungsi
metabolismenya, glukosa diserap dari permukaan sel sehingga masuk keruang
intra selular melalui membran protein. Membran protein tempat masuknya
glukosa yang dikenal dengan glukosa transporter (Effendi, 2012).
Glukosa transporter (GLUT) pada jaringan dibagi menjadi 5 menurut Chandar &
Viselli (2010), yaitu GLUT 1, GLUT 2, GLUT 3, GLUT 4, dan GLUT 5. GLUT 1
mentransport glukosa ke banyak jaringan dan berfungsi melakukan ambilan
glukosa basal. GLUT 2 terletak di hepar, ginjal, dan pancreas. GLUT 2 berfungsi
untuk menggunakan kelebihan glukosa peredaran darah. GLUT 3 terletak dan
berfungsi sama seperti GLUT 1. Sedangkan GLUT 4 terletak di otot skeletal dan
lemak. Fungsi GLUT 4 adalah utilisasi kelebihan glukoosa peredaran darah. Yang
terakhir adalah GLUT 5. GLUT 5 terletak di usus halus dan testis. GLUT 5
berfungsi untuk transportasi fruktosa.
Universitas Indonesia
GLUT yang rentan insulin hanya terdapat pada otot skeletal dan jaringan adipose
yaitu GLUT 4 dan GLUT 2 pada sel beta. Sedangkan GLUT 1. GLUT 3, GLUT 5
tidak rentan insulin, terdapat pada jaringan otak, hepar, kornea, lensa mata,
leukosit dan eritrosit.
GLUT 4, ketika kadar insulin plasma rendah, GLUT 4 dalam vesikel intraselular
otot skeletal dan lemak akan dihancurkan. Sebaliknya ketika kadar insulin plasma
tinggi GLUT 4 akan ditranslokasikan dari vesikel ke membran plasma, dan
sejalan dengan translokasi GLUT 4 tertanam pada membran plasma, membuat
GLUT 4 siap untuk fungsi absorbs atau ambilan glukosa, GLUT 4 berperan dalam
disposal glukosa dalam sirkulasi dengan cara meningkatkan utilisasi glukosa otot
dan lemak, sehingga potensial memperbaiki resistensi insulin dan diabetes
(Effendi, 2012).
Sebelum siap digunakan oleh tubuh, karbohidrat, protein, dan lemak melalui
serangkaian proses metabolisme untuk dapat digunakan sebagai energi. Energi
berasal dari karbohidrat diubah menjadi glukosa, protein dirubah menjadi asam
amino, lemak dirubah menjadi asam lemak. Zat-zat makanan tersebut diserap oleh
usus. Dalam saluran pencernaan zat-zat tersebut masuk melalui pembuluh darah,
kemudian diedarkan keseluruh tubuhuntuk dipergunakan oleh organ-organ
didalam tubuh sebagai bahan bakar. Zat tersebut masuk dulu kedalam sel supaya
dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses
kimia dan hasil akhirnya timbul energi, inilah yang disebut dengan metabolisme.
Universitas Indonesia
Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peran yang sangat penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan
bakar. Tanpa insulin, glukosa tidak bisa masuk sel sehingga sel tidak mempunyai
bahan bakar untuk melakukan metabolisme. Sebagai akibatnya, glukosa tetap
berada dalam pembuluh darah sehingga kadar glukosa dalam darah menjadi
meningkat hingga lebih dari 200mg/dL (hiperglikemia).
b. Jenis kelamin
Corwins, 2009 menyatakan wanita cendrung mengalami obesitas karena
peningkatan hormon estrogen yang bisa menyebabkan peningkatan lemak pada
sub kutis,sehingga wanita berisiko lebih besar terkena diabetes.
c. Stress
Menurut Kasl, 1992 dalam Potter dan Perry, 2009 menyatakan stress adalah suatu
bentuk umum yang menghubungkan antara tuntutan lingkungan dan kapasitas
orang untuk memenuhi tuntutan tersebut. Stress adalah suatu stimulus, respon,
faktor pencetus yang meningkatkan kepekaan individu terhadap penyakit atau
suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan yang diterima sebagai
suatu hal yang menantang, mengancam atau merusak terhadap keseimbangan atau
ekuilibrium dinamis seseorang, sebagai respon nonspesifik tubuh terhadap setiap
kebutuhan, tanpa memperhatikan sifatnya. Respon tersebut meliputi satu seri
reaksi fisiologis yang dinamainya Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation
Syndrome- GAS) (Lyon & Werner, 1987; Hans Selye, 1976; Rahe, 1975, dalam
Smeltzer & Bare, 2002).
Universitas Indonesia
Selain reakasi stress pada jantung juga mempengaruhi kadar glikemik pada tubuh
yaitu terjadinya peningkatan glukosa darah untuk menyiapkan energi siap pakai
yang lebih banyak. Pupil akan berdilatasi, dan meningkatnya aktivitas mental,
rasa kesiagaan akan meningkat. Konstriksi pembuluh darah pada kulit akan
membatasi pendarahan apabila terjadi trauma. Secara subjektif kita akan merasa
Universitas Indonesia
kaki dingin, kulit tangan lembab, menggigil, berdebar, kejang pada perut, bahu
menegang, pernafasan dangkal dan cepat.
Apabila terjadi stress pada pasien diabetes, seperti akibat infeksi, akan
membutuhkan insulin lebih banyak dari biasanya. Pasien mengalami stress (post
operasi, penyakit, stress psikologis berkepanjangan) tubuh akan mengkatabolisme
protein tubuh. Orang yang sedang sakit akan mempengaruhi adaptasi terhadap
perubahan fisik dan kesehatan (Harkreader, Hogan, Thobaben, 2007).
Aksi katekolamin (epineprin dan norepineprin) dan kortisol reaksi paling umum
pada saat terjadinya stress. Hormon yang lain dikeluarkan adalah anti diuretic
Universitas Indonesia
hormon (ADH) dari pituitary posterior dan aldosteron pada korteks adrenal. ADH
dan Aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air. Endorphin juga diproduksi
pada saat stress, merupakan opiate endogen juga meningkat dalam keadaan stress
dan meningkatkan ambang untuk menahan nyeri dan mempengaruhi suasana hati.
Glukokortikoid akan mendepresi sistem imun, apabila jumlahnya banyak akan
terjadi penurunan/ menghambat respons inflamasi terhadap injuri dan infeksi.
Limfosit akan dihancurkan dalam jaringan limpoid dan antibodi akan menurun.
Kadar glukosa darah puasa (nuchter) adalah kadar glukosa darah puasa diukur
setelah puasa makan selama 8 jam. Kadar glukosa darah ini menggambarkan level
glukosa yang diproduksi oleh hati. Nilai normal berkisar antara 70mg/dl sampai
110mg/dl. Kadar glukosa 2 jam setelah makan (post prandial) merupakan kadar
glukosa 2 jam setelah makan. Hasilnya menggambarkan efektifitas insulin dan
transportasi glukosa ke sel. Nilai normal berkisar antara 100 sampai 140mg/dl.
Kadar glukosa darah sewaktu adalah mengukur kadar glukosa darah tanpa
memperhatikan waktu makan. Kadar glukosa dapat dipengaruhi oleh stress. hasil
pengukuran berkisar antara 70mg/dl sampai 125mg/dl.
Test ini dilakukan untuk mendeteksi terjadi prediabetes dan diabetes, test toleransi
glukosa oral merupakan serangkaian pengukuran glukosa darah puasa jika
hasilnya normal atau mendekati normal. Pengukuran ini dilakukan setelah minum
Universitas Indonesia
cairan manis yang mengandung glukosa. Hasil normalnya kurang dari 200mg/dl
(Soegondo & Subekti, 2009).
ADA (2014) telah menetapkan empat kriteria diagnostik yang digunakan untuk
mendiagnosa seseorang dengan DM. Kriteria pertama adalah dengan mengukur
kadar HbA1c. Tes ini harus dilakukan dilaboratorium yang telah tersertifikasi oleh
National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan terstandarisasi
oleh Diabetes Control and Complications Trial (DCCT). Menurut kriteria ini,
seseorang terdiagnosis diabetes jika memiliki kadar HbA1C ≥ 6.5%. Kriteria ke
dua adalah terganggunya kadar gula darah puasa (tidak mendapatkan kalori
tambahan sedikitnya selama 8 jam), yaitu ≥ 126 mg/ dl (7,0 mmol/L). Kriteria ke
tiga adalah kadar glukosa 2 jam pada tes glukosa oral (TTGO) ≥ 200mg/ dL (11,1
mmol/L). TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan yang setara
dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air. Kriteria terakhir
adalah pasien dengan gejala klasik DM, yaitu Glukosa darah sewaktu ≥
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Faktor etnisitas merupakan faktor resiko DMT2 yang tidak dapat dirubah.
Beberapa etnisitas seperti Afrika-Amerika, Mexican American, American Indian,
suku Hawai dan beberapa kelompok Asia Amerika berisiko tinggi mengalami
DMT2 dan jantung (Suyono, 2015). Sebuah studi kohort selama 20 tahun
dilakukan untuk mengetahui faktor resiko DMT2 pada 78.419 wanita dari
berbagai etnis Asia, Hispanik, dan kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih
(Shai et al, 2006)
Faktor umur merupakan salah faktor resiko DMT2. Dengan bertambah umur
maka risiko berkembangnya DMT2 juga akan meningkat. Sebuah studi yang
dilakukan menunjukkan bahwa seseorang dengan usia lebih 50 tahun beresiko
lima kali lebih besar terjadinya DMT2 dibandingkan dengan yang berumur 20-30
tahun (Valliyot, Sreedharan, Muttappallymyalil, 2013). Studi lain juga
Universitas Indonesia
Faktor resiko DMT2 lainnya adalah faktor genetik yang merupakan faktor yang
paling berpengaruh. Kelainan yang diturunkan dapat langsung mempengaruhi sel
beta dan mengubah kemampuannya dalam mensekresikan insulin. Keadaan ini
meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan
yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pangkreas (Prince & Wilson,
2006). Lebih lanjut dikemukakan penyebab resistensi insulin disebabkan oleh
mutasi gen dari enzim glukokinase serta adanya kelainan pada reseptor insulin
(Robbins & Cotran’s, 2009)
Perilaku merokok merupakan salah satu faktor yang meningkatkan risiko DMT2.
Sebuah Penelitian menyebutkan merokok dapat meningkatkan metabolisme
glukosa yang buruk, meningkatkan indeks masa tubuh, dan resiko diabetes. Selain
itu, asap tembakau bersifat toksik terhadap pangkreas yang menimbulkan
kerusakan pankreas (pancreatitis, kanker pankreas) (Sairenchi et al, 2004; Wili,
Bondenmann, Chali, Faris, & Cornuz, 2007).
Konsumsi alkohol yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko DMT2. Hasil
studi systematic review yang di lakukan di Jepang oleh Seike, Noda & Kadowaki,
(2008) menjelaskan bahwa kosumsi alkohol berlebihan akan meningkatkan risiko
DMT2. Hal ini disebabkan oleh efek toksisitas alkohol yang akan merusak sel
islet pankreas dan mempengaruhi kemampuan sekresi insulin
Jenis kelamin juga mempengaruhi risiko untuk terkena diabetes. Wanita lebih
berisiko untuk terkena diabetes dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita
memiliki hormon estrogen yang dapat menyebabkan peingkatan lemak pada
jarigan subkutis (Corwin, 2009). Sehingga wanita lebih rentan terkena obesitas,
dan karenanya lebih berisiko terkena diabetes terutama jika mempunyai gaya
hidup yang tidak sehat.
Universitas Indonesia
Tahap awal dari diabetes tipe 2 yakni pradiabetes (toleransi glukosa darah puasa
dan gula darah harian terganggu) dimana kadar glukosa lebih tinggi dari
normalnya tetapi tidak dalam kisaran diabetes. Pradiabetes cenderung
berkembang menjadi diabetes. Secara progresif, hiperglikemia persisten
menyebabkan komplikasi yang merupakan sumber utama morbiditas dan
mortalitas. Perjalanan penyakit ini mencerminkan hilangnya fungsi sel β, sebagian
karena faktor-faktor seperti peningkatan kadar glukosa dan lipid, peradangan, dan
stress oksidatif dan reticulum endoplasma (Phillips, L.S., dkk., 2014).
Akibat dari resistensi insulin yang buruk, secara umum kerusakan sekresi insulin
tersebut menyebabkan peningkatan produksi glukosa hepatik dan lebih lanjut
Universitas Indonesia
2.3.3 Patofisiologi
Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan stress
oksidatif, IL-Iß dan NF-kB dengan akibat peningkatan apoptosis sel beta (Suyono,
2015). Hiperglikemia dapat menimbulkan gangguan pada organ-organ vital
tubuh.Bila jumlah glukosa masuk ketubulus ginjal dalam filtrasi glomerulus
meningkat diatas 225mg/menit, maka glukosa akan dibuang melalui urin. Pada
kondisi ini akan terjadi glukosuria yang menimbulkan efek domino yaitu diuresis
Universitas Indonesia
karena efek osmotik glukosa. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik, sehingga
pasien akan mengalami poliuria dan rasa haus (polidipsi). Keseluruhan efeknya
adalah terjadi dehidrasi. Gejala lain adalah karena ada gangguan metabolisme
protein dan lemak sehingga sel lapar, menyebabkan polipagia yang diikuti gejala
penurunan berat badan, kelelahan dan kelemahan (Smeltzer & Bare, 2009).
Hati adalah organ besar pertama yang dicapai oleh insulin dalam darah. Didalam
hati insulin meningkatkan produksi dan penyimpanan glukagon (glikogenesis)
pada saat yang sama glukagon akan dipecah menjadi glukosa (glikogenolisis).
Insulin mencegah kerusakan jaringan dengan menghambat glikogenolisis,
ketogenesis (konversi dari lemak ke asam lemak), dan glukoneogenesis (konversi
protein ke glukosa). Didalam otot insulin meningkatkan sintesa protein dan
glikogen, sedangkan didalam sel lemak insulin meningkatkan penyimpanan
trigliserida. Secara keseluruhan insulin menjaga kadar glukosa darah dan kadar
lipid darah dalam rentang normal.
Universitas Indonesia
Pada DM tipe 2 jumlah insulin terkadang normal, tetapi jumlah reseptor insulin
yang terdapat pada permukaan sel yang kurang (resistensi insulin) sehingga akan
menyebabkan insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa jaringan. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya resistensi insulin
yaitu faktor genetik, usia, obesitas. Walaupun terjadi gangguan sekresi insulin
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis
tidak terjadi pada diabetes tipe 2. Meskipun demikian diabetes tipe 2 yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindroma
Hyperglikemic Hyperosmolar Non Ketotic [HHNK](Smeltzer dan Bare, 2009).
2.3.4 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada DM terdiri dari komplikasi yang terjadi secara akut
dan komplikasi kronis. Komplikasi akut merupakan komplikasi metabolik,
sedangkan komplikasi kronik merupakan komplikasi vaskuler (Price & Wilson,
2006). Kedua jenis komplikasi ini membutuhkan perhatian dan penanganan yang
berbeda.
Universitas Indonesia
abdomen, nafas berbau keton dan pernafasan kusmaul serta pada kondisi berat
dapat terjadi koma diabetikum 3) Hiperglikemik hiperosolar non ketotik (HHNK)
yaitu terjadi ketika hiperglikemi namun tidak terjadi pemecahan lemak karena
masih ada sejumlah kecil insulin sehingga tidak terjadi ketoasidosis, gejala yang
didapatkan seperti hipotensi, dehidrasi berat, takikardi dan gejala-gejala neurolgis
dari yang ringan sampai yang berat (Smeltzer dan Bare, 2009).
Universitas Indonesia
rawat jalan di rumah sakit di Cina, dengan jumlah sampel 1524. Hasinya
menunjukkann 52% mengalami komplikasi kronis, diamana tiap daerah didapat
nilai bervariasi tiap daerah dan meningkat secara signifikan sesuai dengan umur,
lama menderita DMT2. Dari kedua hasil studi diatas dijelaskan bahwa komplikasi
kronis disebabkan oleh kontrol glikemik buruk (nilai HbA1c diatas normal).
Penyebab kaki diabetik terjadi akibat gabungan berbagai kerusakan yang terjadi
pada tubuh individu dengan DMT2 seperti neuropati, penyakit arteri perifer dan
Universitas Indonesia
deformitas bentuk kaki (Meeking, Holland & Land, 2005). Bila terdapat faktor
pencetus seperti luka kecil, cedera, infeksi jamur, penyakit kaki diabetik yang
memicu terjadinya ulkus kaki diabetik (Somroo, Hashmi, Iqbal & Ghori, 2011).
PERKENI, 2013 menjelaskan bahwa pengelolaan manajemen ulkus kaki diabetik
yang kurang tepat dan dapat meningkatkan risiko terjadinya amputasi baik minor
maupun mayor pada kasus ulkus kaki diabetik.
Neuropati merupakan komplikasi yang umum terjadi pada klien diabetes dengan
prevalensi antara 25% sampai 50%. Dinegara berkembang neuropati diabetes
menjadi penyebab 50% sampai 75% terjadinya amputasi non traumatik sebagai
akibat dari ulkus diabetik. Mekanisme terjadinya disfungsi vaskuler dan sel saraf
pada kondisi hiperglikemi tidak diketahui dengan pasti. Namun ada beberapa
kondisi mekanisme biokimia yang memungkinkan menjadi pemicu yaitu
glikosilasi nonenzimatic, stres oksidatif yang meningkat, adanya inflamasi syaraf,
aktivasi dari polyol, dan aktivasi dari protein kinase C, pada serabut saraf yang
terus menerus terpajan oleh hyperglikemi dalam jangka waktu lama akan
meningkatkan regulasi biokimia. (Unger, 2007).
Universitas Indonesia
mengalami diabetes (Lipsky & Barendt, 2006). Kondisi ini yang meningkatkan
orang dengan DMT2 mengalami penyakit kaki diabetick Selain itu karena serabut
saraf tidak memiliki suplai darah sendiri dan bergantung pada proses difusi zat
nutrien dan oksigen yang melewati membran sehingga saat kondisi hiperglikemik
yang terjadi terus menerus akan mempengaruhi proses difusi dan ketika axon dan
dendrite tidak mendapatkan nutrisi maka impuls transmisi menjadi lambat,
disamping itu akumulasi sarbitol dalam jaringan sarafakan mengurangi fungsi
sensorik dan motorik yang pada akhirnya akan menyebabkan berkembang
masalah neurologik yang permanen (Fain, 2009). Kerusakan pada saraf sensori
akan menimbulkan gejala nyeri dan kehilangan sensasi, kerusakan pada serat saraf
motorik akan menyebabkan kelemahan pada otot dan kerusakan pada sistem saraf
autonomik akan menyebabkan kehilangan beberapa fungsi tubuh yang luas
(Mcleod, 2006).
Ulkus kaki diabetik juga dipengaruhi oleh faktor kerusakan sirkulasi perifer yaitu
Peripheral Artery Disease (PAD). Sebuah penelitian dilakukan oleh Norman,
Davis, Bruce (2006) menjelaskan kejadian PAD sebanyak 13,6% dari 1.294
sampel, dan juga menjelaskan angka PAD pada DM adalah 3,7% pertahun. Pasien
dengan DM berisiko empat kali lebih besar mengalami penyakit insufiensi arteri
perifer yang disebabkan oleh aterosklerosis (Shearman & Pal, 2013).
Aterosklerosis pada pasien DM lebih banyak mengandung kalsium dan
meningkatnya tanda inflamasi dan secara makroskopik kondisi ini akan
berdampak pada pembuluh darah distal, biasanya terjadi pada betis dan kaki.
Menurut (Shearman & Pal, 2013) menjelaskan pada pasien DM cendrung tidak
mampu membentuk kolateralisasi setelah terjadi oklusi pada pembuluh darah dan
penurunan perfusi akibat kondisi ini akan menghambat proses penyembuhan luka
dan respon terhadap infeksi.
Penurunan imunitas tubuh dalam proses terjadinya ulkus kaki pada penyakit kaki
diabetic berhubungan dengan penurunan respon sel T, fungsi neutrofil, serta
gangguan fungsi imunitas humoral. Kondisi ini mengakibatkan individu dengan
DMT2 rentan mengalami infeksi yang sulit diatasi (Alves, Casqueiro, 2012).
Universitas Indonesia
Lebih lanjut menjelaskan bahwa masalah infeksi pada kaki diabetik merupakan
faktor penyebab meningkatnya angka kejadian ulkus diabetik kronis,
osteomielitis, amputasi serta kematian pada individu dengan DMT2.
Universitas Indonesia
Pilar manajemen nutrisi yang penting diperhatikan yakni nutrisi, diet, dan
pengendalian berat badan yang merupakan dasar manajemen diabetes melitus.
Perencanaan makan standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
seimbang dimana terdapat 45 – 60% karbohidrat, 10 – 20% protein, dan 20 – 25
% lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress
akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
idaman (Waspadji, 2015).
Untuk menentukan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa
Tubuh (IMT), dengan rumus IMT= BB (kg) / {TB (M)}². Klasifikasi IMT adalah
berat badan kurang jika nilai yang didapat <18,5, berat badan normal nilai 18,5-
24,9, berat badan lebih ≥25,0 (pre obesitas 25-29,9, obesitas satu 30-34,9, obesitas
dua 35-39,9, obesitas tiga ≥40). Sedangkan untuk menghitung kebutuhan kalori,
terlebih dahulu perlu dihitung berat badan ideal. Berat badan ideal: 90% X
(Tinggi badan – 100 cm). Setelah didapat berat badan ideal, untuk menghitung
kebutuhan kalori: Berat badan ideal dikalikan 30 (untuk laki-laki); atau berat
badan ideal dikalikan 25 (untuk perempuan). Kebutuhan kalori ini dapat naik atau
turun sesuai dengan kondisi tubuh individu. Hal yang mempengaruhi kebutuhan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dan efek sampingnya timbul kembung.OHO untuk pemicu sekresi insulin seperti
sulfonilurea dan glinid.Sulfonylurea berefek samping terjadi hipoglikemia dan
naiknya berat badan. Glinid berefeksamping terjadi hipoglikemia. Pemakaian
obathipoglikemi oral diberikan berdasarkan interaksi obat dalam tubuh. misalnya
Metformin dari golongan buguanid diberikan 500 hingga 1700mg/hari, Metformin
berefek meningkatkan produksi glukosa dihepar, serta menurunkan absorbsi
glukosa usus dan meningkatkan kepekaan insulin khususnya dihati. Metformin
tidak menyebabkan peningkatan berat badan dapat dipakai oleh pasien obesitas.
Tiazolidinedion dapat menambah sensitivitas terhadap insulin perifer dan
menurunkan produksi glukosa hati. Dosisnya 4 hingga 8 mg/hari. Bila kadar gula
darah tidak dapat dikontrol dengan cara-cara diatas maka pasien DMT2 yang sel
beta masih berfungsi maka dapat menggunakan sulfonylurea. Obat-obat ini
merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan produksi insulin. Dosisnya adalah
glipizid 2,5 sampai 40 mg/hari dan gliburid 2,5 hingga 25 mg/hari. Gabungan
sulfonurea dan pensensitif insulin adalah terapi yang sering digunakan untuk
pasien dengan diabetes tipe 2 (Price dan Wilson, 2006).
Terapi insulin dapat diberikan kepada semua individu dengan DMT1 yang
memerlukan insulin eksogen, pada pasien DMT2 tertentu yang membutuhkan
insulin yaitu: infeksi berat, tindakan pembedahan, Infark Miokard akut dan
Stroke, DM gestasional, Ketoasidosis Diabetik, Hiperglikemik Hiperosmolar non
ketotik, gangguan fungsi ginjal dan hati berat, alergi terhadap OHO. Terdapat
beberapa jenis insulin yang dapat diberikan sesuai dengan kondisi pasien.
Berdasarkan kecepatan kerjanya, insulin dibagi menjadi insulin kerja singkat
(rapid-acting), insulin kerja pendek (short-acting), insulin kerja menengah
(intermediate-acting), insulin kerja panjang (long-acting), dan insulin infasik
(campuran). Jenis insulin ini memiliki onset kerja, masa puncak, dan durasi yang
berbeda-beda.
Insulin kerja singkat (rapid-acting) merupakan insulin yang memiliki durasi kerja
selama 3-5 jam. Jenis insulin ini bekerja dalam 5-15 menit setelah pemberian dan
mencapai puncak dalam 30-90 menit. Oleh karena itu, insulin kerja singkat
Universitas Indonesia
Yang terakhir adalah jenis insulin infasik (campuran), yang merupakan kombinasi
insulin jenis singkat dan menengah. Contohnya adalah mixtard 30/40. Insulin ini
diberikan secara sub-kutan (Soegodo, Soewondo & Subekti, 2015).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Faktor risiko kaki diabetik adalah neuropathy perifer, penyakit pembuluh darah
perifer, riwayat diabetes melitus lebih dari 10 tahun, kontrol glukosa yang jelek,
riwayat diabetes melitus komplikasi vaskuler (seperti cardiovaskuler, retinal atau
renal) dan jenis kelamin laki-laki. (Richman, Sharon & Adler, Amy P, 2010).
a. Ulkus kaki diabetik terjadi akibat neuropati perifer dan penyakit vaskuler.
1) Neuropati
Lebih dari 60 % ulkus kaki diabetik terjadi akibat neuropati. Status hiperglikemik
menyebabkan peningkatan aktivitas enzym aldose reduktase dan sorbitol
dehidrogenase. Hal ini mengakibatkan konversi glukosa intraseluler menjadi
sorbitol dan fruktosa, sehingga terjadi akumulasi yang akan menurunkan sintesis
myoinositol sel saraf yang dibutuhkan untuk konduksi neuron normal.
Selain itu, konversi glukosa menurunkan simpanan adenin nikotinamid
dinukleotida phosphate yang diperlukan untuk detoksifikasi oksigen reaktif dan
sintesis vasodilator nitric oxide. Stress oksidatif pada sel saraf yang meningkat
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
diabetes melitus. (Clayton, Warren & Tom, A Elasy, 2009). Ateroskerosis pada
penderita DM akan 2,3 kali lebih tinggi pada populasi umumya yang menghambat
penyembuhan luka. Ganggren yang luas mengakibatkan amputasi kaki. Gangguan
pembuluh darah dapat dideteksi dengan angiografi, perabaan pulsasi denyut nadi,
alat ultrasound Doppler serta nilai Ankle Brachial Index yaitu perbandingan
tekanan darah sistolik kaki dan tangan.
Ulkus pada neuropati perifer disebabkan beberapa faktor seperti: tekanan terus
menerus (sepatu sempit), tekanan berulang (waktu berjalan), luka tusuk, home
surgery (memotong kuku, mengikis kallus), antiseptic dan trauma panas.
Universitas Indonesia
Klasifikasi ulkus kaki yang pertama adalah klasifikasi menurut Wagner. Wagner
membagi ulkus kaki diabetic menjadi 5 tingkat/grade berdasarkan kedalaman dan
komplikasi ulkus. Grade 1 merupakan ulkus superfisial. Ulkus kaki dikategorikan
sebagai grade 2 jika telah menyebar ke ligament, tendon, kapsula sendi atau fasia.
Ulkus yang disertai dengan infeksi atau osteomyelitis digolongkan sebagai grade
3. Sedangkan untuk ulkus yang sudah mengalami gangrene, dikategorikan sebagai
grade 4 jika ulkus disertai gangrene local, dan grade 5 jika disertai gangrene
ekstensif.
Universitas Indonesia
mengalami ulkus. Tanda dan gejala neuropati biasanya muncul pada area yang
mengalami tekanan mekanik yang tinggi seperti pada telapak kaki.Tanda dan
gejala ulkus kaki diabetik neuroiskemik muncul pada ulkus yang terjadi pada
daerah yang mengalami tekanan yang rendah untuk waktu yang lama. Bagian kaki
yang sering mengalami gejala neuroiskemik misalnya bagian samping kaki atau
jari kaki karena sepatu. Tanda dan gejala neuroiskemik dapat muncul disertai
dengan neuropati. Tanda dan gejala infeksi ulkus kaki diabetik : nyeri, edema,
kemerahan, tenderness, hangat, bau busuk dan keluar nanah.
Universitas Indonesia
b. Kontrol Metabolik
meliputi perencanaan asupan gizi yang memadai selama proses infeksi dan
penyembuhan luka, regulasi glukosa yang adekuat, mengendalikan komorbiditas
yang menyertai seperti hipertensi, dislipedemia, gangguan fungsi ginjal, gangguan
fungsi hati, gangguan elektrolit, anemia, hipoalbuminemia.
c. Kontrol Vaskular
meliputi pemeriksaan ABI, trans cutaneus oxygen tension, toe pressure bahkan
angiografi. Gangguan vaskuler dapat memperlama penyembuhan luka, sehingga
perlu dilakukan tatalaksana gangguan vaskkuler yang adekuat.
d. Kontrol Luka
Meliputi evakuasi jaringan nekrotik dan pus yang adekuat baik dengan
debridement atau nekrotomi. Ada beberapa pilihan dalam tindakan debridemen,
yaitudebridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik, debridementbedah.
Debridemen mekanik dilakukan menggunakan irigasiluka cairan
fisiolofis(Cahyono,2007). Tindakan bedah. Jenis tindakan bedah pada kaki
diabetika tergantung dari berat ringannya ulkus DM. Tindakan bedah dapat
berupa insisi dan drainage, debridemen, amputasi, bedah revaskularisasi, bedah
plastik atau bedah profilaktik.Intervensi bedah pada kaki diabetika dapat
digolongkan menjadi empat kelas I (elektif), kelas II (profilaktif), kelas III
(kuratif) dan kelas IV (emergensi).
Untuk pembalutan luka dengan pembalut yang basah atau lembab untuk sampai
dengan tindakan amputasi bila jaringan tidak dapat dipertahankan. Debridement
atau nekrotomi bertujuan untuk membuang jaringan nekrosis, drainase pus,
Universitas Indonesia
Tabel 2.1
Perawatan Luka dengan Menggunakan Kompres atau Terapi Topikal
Transparent film Luka yang kering, terutama untuk luka yang sulit Lesi dengan
Universitas Indonesia
e. Kontrol infeksi
meliputi pemberian antibiotik yang adekuat dari awal saat belum didapatkan hasil
kultur resistensi mikroorganisme, Monitor tanda-tanda vital,skala nyeri dan tanda-
tanda infeksi
Tabel 2.2
Antibiotik Empiris yang Dianjurkan untuk Ulkus Diabetikum
Universitas Indonesia
Teori Self Care Deficit dikembangkan oleh Orem sejak tahun 1956 dan telah
digunakan pada berbagai setting praktik keperawatan berdasarkan kondisi medis,
tingkat perkembangan dan kebutuhan dasar manusia. Model Self Care Orem
dikembangkan berdasarkan filosofi bahwa pasien memiliki keinginan untuk
mampu melakukan perawatan terhadap dirinya sendiri. Pencapaian kemandirian
pasien merupakan perhatian perawat, dimana perawat merupakan seseorang yang
Universitas Indonesia
Asumsi dasar teori umum ini diformalisasikan pada awal tahun 1971 dan pertama
kali dipresentasikan di Marquette University School of Nursing pada tahun 1973.
Orem (2001) mengidentifikasikan lima premis yang mendasari teori umum
keperawatan. Pertama adalah manusia membutuhkan bantuan terus menerus yaitu
input yang sengaja dilakukan untuk dirinya sendiri dan lingkungannya agar tetap
hidup dan berfungsi sesuai dengan kodrat alami manusia. Kedua adalah tubuh
manusia, kekuatan untuk bertindak secara sadar yakni latihan dalam bentuk
perawatan untuk dirinya dan orang lain dalam mengidentifikasi kebutuhan dan
memberikan bantuan yang dibutuhkan. Ketiga adalah kematangan pengalaman
pribadi seseorang dalam bentuk keterbatasan tindakan perawatan untuk dirinya
dan yang melibatkan orang lain sehingga tercipta kehidupan yang
berkesinambungan dan fungsi yang teratur. Keempat adalah tubuh manusia yakni
latihan dalam menemukan, mengembangkan dan mengirimkan cara untuk
mengidentifikasi kebutuhan dan melakukan bantuan untuk dirinya dan lainnya.
Kelima adalah kelompok manusia dengan struktur hubungan tugas kelompok dan
menyediakan tanggung jawab untuk menyediakan perawatan untuk anggota
kelompok yang pengalaman pribadinya untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan
orang lain (Alligood & Tomay, 2014).
Universitas Indonesia
2.4.2 Gambaran Model Teori Keperawatan Defisit Perawatan Diri (Self Care
Deficit Nursing Theory)
Teori keperawatan defisit keperawatan diri Diri (Self Care Deficit Nursing
Theory) yang dikeluarkan oleh Orem disusun berdasarkan tiga teori sentral yang
saling berkaitan. Ketiga teori tersebut yakni teori sistem keperawatan (theory of
nursing system), teori deficit perawatan diri (theory of deficit self care), dan teori
perawatan diri (theory of self care). Selain itu ada teori tambahan yang juga
dinyatakan oleh Orem yakni teori dependent care. Teori ini dianggap sejalan
dengan teori self care dan berfungsi untuk menggambarkan pengembangan
berkelanjutan dari teori keperawatan defisit perawatan diri (SCDNT). Terdapat
sepuluh basic conditioning factor yang berpengaruh terhadap tuntutan terapi
perawatan diri dan/ atau agen perawatan diri seorang individu pada waktu dan
dalam keadaan tertentu, seperti usia, jenis kelamin, tahap perkembangan, status
kesehatan, pola hidup, faktor sistem pelayanan kesehatan, faktor sistem keluarga,
faktor sosial budaya, sumber pendapatan, serta faktor lingkungan luar (Alligood &
Tomay, 2014).
Universitas Indonesia
Nursing system diberikan untuk individu, untuk orang yang dalam unit
ketergantungan, untuk kelompok yang anggotanya memiliki tuntutan terapi
perawatan diri dengan komponen yang sama atau memiliki keterbatasan yang
sama untuk terlibat dalam perawatan diri atau dependent care dan untuk keluarga
atau multipersonal. Teori sistem keperawatan (nursing system) memberikan
struktur untuk mengamati tindakan dan pengetahuan dasar yang dibutuhkan untuk
membantu seseorang. Teori ini juga mendeskripsikan situasi yang melibatkan
keluarga dan masyarakat (Alligood & Tomay, 2014).
Teori perawatan diri (self care) mendeskripsikan alasan dan cara seseorang
merawat dirinya sendiri. Self care adalah fungsi regulasi manusia pada setiap
individu dengan pertimbangan melakukan sendiri atau harus dilakukan seseorang
untuk mempertahankan kehidupannya, kesehatan, perkembangan, dan juga
kesejahteran. Self care merupakan sistem tindakan yang menguraikan konsep
perawatan diri, kebutuhan perawatan diri, dan agen perawatan diri sebagai dasar
untuk memahami tindakan yang dibutuhkan dan keterbatasan tindakan seseorang
yang mengambil manfaat dari keperawatan. Self care harus dipelajari dan
dilakukan sengaja dan terus menerus setiap waktu dan sesuai dengan kebutuhan
regulasi individu. Kebutuhan tersebut berhubungan dengan tahap perkembangan
Universitas Indonesia
dan pertumbuhan seseorang, status kesehatan, ciri spesifik kesehatan dan tahap
perkembangan, tingkat energy yang dikeluarkan, serta faktor lingkungan
(Alligood & Tomay, 2014).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sistem Dasar
Keperawatan
Melakukan
Keterangan:
beberapa
dilakukan perawat
tindakan
dilakukan pasien
perawatan diri
dilakukan pasien dan perawat
pasien Sumber: Alligood & Tomay (2014)
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
50
Teori defisit perawatan diri (self care deficit) yakni mendeskripsikan dan
menjelaskan alasan seseorang membutuhkan bantuan keperawatan. Ide utama
teori defisit perawatan diri yakni bahwa kebutuhan seseorang terhadap perawat
dihubungkan dengan kematangan subjektif dan kematangan seseorang terkait
kesehatan atau perawatan kesehatannya dengan keterbatasan tindakannya.
Keterbatasan tersebut membuat seseorang secara penuh atau sebagian tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan perawatan untuk dirinya sendiri atau
ketergantungannya. Selain itu orang tersebut juga terbatas kemampuannya untuk
terlibat terus menerus dalam melakukan langkah-langkah perawatan (Alligood &
Tomay, 2014).
Self care requisites merupakan hipotesa yang diperlukan sebagai aspek regulasi
dari fungsi manusia dan perkembangan yang berkelanjutan atau berada dalam
keadaan yang spesifik. Formula self care requisites terdiri dari dua elemen yakni
faktor yang dapat mengatur untuk menjaga fungsi manusia dan perkembangannya
dengan memperhatikan norma yang tepat, kesehatan, dan kesejahteraan seseorang
serta sifat dasar kebutuhan tindakan sebagai tujuan self care. Self care requisites
terdiri dari tiga tipe yang menentukan self care demand yakni universal self care
requisites, development self care requisites, dan health deviation self care
requisites (Alligood & Tomay, 2014).
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
51
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
52
Self Care Agency ; pemenuhan kebutuhan dasar pasien secara holistic hanya dapat
dilakukan oleh seorang perawat yang mempunyai kemampuan yang komprehesif
dalam memenuhi konsep dasar manusia dan perkembangan manusia secara
holistic (Alligood & Tomay, 2014).
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
53
Pasien yang termasuk dalam minimal care diantaranya adalah pasien yang bias
mandiri atau hampir tidak memerlukan bantuan seperti mampu naik-turun tempat
tidur, ambulasi dan berjalan sendiri, makan dan minum, mandi sendiri/ mandi
mampu mandi sendiri/ mandi sebagian dengan bantuan, mampu membersihkan
mulut (sikat gigi sendiri), berpakaian dan berdandan dengan sedikit bantuan, BAB
dan BAK dengan sedikit bantuan, pasien dengan status psikologis stabil, pasien
yang dirawat untuk prosedur diagnostik dan pasien yang menjalani operasi ringan.
Pasien yang termasuk dalam partial care diantaranya adalah pasien yang
memerlukan bantuan perawat sebagian seperti bantuan satu orang untuk naik-
turun tempat tidur, ambulasi/berjalan, dalam menyiapkan makanan, makan
(disuapi), kebersihan mulut, berpakaian dan berdandan, BAB dan BAK, pasien
pascaoperasi minor (24 jam), pasien yang melewati fase akut dari pascaoperasi
mayor, fase awal penyembuhan, serta pasien yang memerlukan observasi tanda-
tanda vital setiap empat jam.
Pasien yang termasuk dalam total care adalah pasien yang memerlukan bantuan
perawat sepenuhnya dan memerlukan waktu perawat yang lebih lama seperti
membutuhkan dua orang atau lebih untuk mobilisasi dari tempat tidur ke kereta
dorong atau kursi roda, latihan pasif, kebutuhan nutrisi dan cairan dipenuhi
melalui terapi intravena (infus) atau NGT, membutuhkan bantuan untuk
kebersihan mulut, bantuan penuh untuk berpakaian dan berdandan, dimandikan
perawat, dan dalam keadaan inkontinensia. Selain itu pasien yang termasuk total
care adalah pasien yang menggunakan kateter, pasien yang tidak sadar atau
mengalami penurunan kesadaran, pasien yang tidak stabil, pasien yang
membutuhkan observasi TTV setiap kurang dari 8 jam, pasien dengan perawatan
luka bakar, perawatan kolostomi, menggunakan alat bantu pernapasan (respirator),
WSD, irigasi kandung kemih secara terus-menerus, menggunakan alat traksi
(skeletal traksi), fraktur atau pascaoperasi tulang belakang atau leher, serta pasien
dengan gangguan emosional berat, bingung dan disorientasi (Nursalam, 2008).
Berikut adalah beberapa kategori klasifikasi klien berdasarkan derajat
ketergantungannya.
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
54
Study aplikasi Model self care orem tidak banyak ditemui dalam literatur tapi ada
beberapa studi yang dilakukan oleh Wilson, G (2009) pada perawatan pasien luka
bakar, dimana pada studi ini membandingkan efektifitas apliksi teori adaptasi
Roy, Swanson dan Self Care Orem. Hasilnya bahwa aplikasi Self Care Orem lebih
efektif dalam perawatan pasien dengan luka bakar. Penelitian yang dilakukan oleh
Abrahim, M tahun 2011 dengan melakukan review jurnal dari 2004 sampai
dengan 2011 didapatkan hasil terdapat 31 jurnal yang sesuai inklusi yakni pasien
berusia 18 tahun ke atas, menderita DM, dan dapat berbahasa inggris. Kesimpulan
dari 31 jurnal tersebut yakni usia, dukungan sosial, tingkat pendapatan tinggi,
pendidikan, dan lamanya penyakit DM memiliki hubungan positif dalam faktor
yang berkontribusi terhadap kebersihan diri pasien DM.
Tabel 2.3
Kategori Klasifikasi Klien Berdasarkan Derajat Ketergantungan
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
55
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
56
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
57
2.6 Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan ulkus diabetes
Tabel 2.4 Diagnosa Keperawataan yang Muncul pada Pasien Ulkus Diabetes
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi (NIC)
(NANDA) Hasil (NOC)
Ketidakseimbangan nutrisi: Nutritional status: - Feeding
lebih/ kurang dari kebutuhan - Food and fluid - Nutritional
tubuh berhubungan dengan intake management
ketidakseimbangan asupan - Nutrient intake - Nutritional therapy
makanan; kurang - Weight control - Weigh gain assistance
pengetahuan; koping
individu tidak efektif;
asupan berlebihandalam
keluarga dengan kebutuhan
metabolik
Resiko kekurangan volume - Electrolyte and acid/ - Fluid management
cairan berhubungan dengan base balance - Fluid monitoring
perubahan cairan; kegagalan - Fluid balance
mekanisme regular; dieresis; - Hydration
hyperglikemic; poliuri;
muntah; diare; penurunan
asupan oral; dehidrasi
Risiko ketidakstabilan gula - Blood glucose - Monitor blood glucose
darah berhubungan dengan control level
resistensi insulin; - Blood glucose level - Provide simple
ketidakmampuan pancreas carbohydrate
mensekresi insulin - Hyperglycemia
management
- Hypoglycemia
management
Kerusakan membrane - Oral hygiene Oral health restoration
mukosa oral berhubungan - Tissue integrity;
dengan perubahan sirkulasi skin and mucous
mikrovaskuler; kadar glukosa membrane
darah yang tidak terkontrol;
dehidrasi; stress; trauma
Gangguan eliminasi urinarius - Urinary elimination - Urinary elimination
dan retensi urinarius - Kidney function management
berhubungan dengan - Urinary retention
nefropati diabetik management
Konstipasi berhubungan Bowel elimination Constipation/ impaction
dengan neuropati daibetik management
(gastropati diabetic)
Diare berhubungan dengan Bowel continence Diarehea management
neuropati diabetic
Risiko kerusakan integritas - Wound healing: - Wound care
kulit berhubungan dengan primary intention - Wound irrigation
penurunan sirkulasi ; - Wound healing:
peningkatan kadar glukosa secondary intention
darah
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
58
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
59
Sumber: Modifikasi Smelter &Bare(2008);Black dan Hawk (2009); Ignatavisius dan Workman
(2010); Ackley dan Ladwig (2011); NANDA; NOC; NIC
Implementasi
Evaluasi
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
60
diberikan. Evaluasi dapat dilihat salah satunya melalui tingkah laku pasien. Orem
mengemukakan bahwa pasien membutuhkan kemandirian dalam hal mengatasi
masalah kesehatan. Peran perawat mengkaji kembali perubahan internal dan
eksternal pasien dalam tercapainya tujuan dari rencana yang telah ditetapkan.
Evaluasi juga melihat efektifitas dari tindakan keperawatan, pencapaian tujuan
dan penyelesaian masalah. Membuat keputusan berdasarkan pertimbangan dari
hasil kajian ulang terhadap masalah keperawatan yang akan dilkukan (Hidayati
2013)
Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
BAB 3
PROSES RESIDENSI
Pada bab ini akan menguraikan tentang tiga kegiatan yaitu menguraikan aplikasi
model self care orem dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan
ulkus diabetes, menguraikan hasil evidence based nursing, dan menguraikan hasil
kegiatan inovasi.
Penerapan Model Self Care Orem dalam asuhan keperawatan pada pasien
kelolaan dengan menggunakan landasan model Self Care Orem. Format
pengkajian dan asuhan keperawatan diambil dari buku Nursing Concept of
Practice (Orem, 2001), Self Care Theory in Nursing: Selected Papers of Dorothea
Orem (Renpenning & Tailor, 2003), dan Nursing Theorists and Their Work
Edition (Alligood & Tomay, 2014). Format pengkajian dapat dilihat pada
lampiran 1. Adapun asuhan keperawatan yang diberikan dengan pendekatan
Model Self Care Orem adalah pasien DMT2 dengan ulkus diabetes, hipoglikemia
sebagai kasus kelolaan. Pada BAB ini juga diuraikan 27 kasus lainnya yang
dikelola selama praktik residensi dengan menggunakan pendekatan model Self
Care Orem. Gambaran 27 kasus kelolaan dapat dilihat pada lampiran 2.
Keluhan utama Tn. W luka pada kaki kanan yang tidak sembuh satu bulan
sebelum masuk Rumah Sakit (SMRS). Riwatyat penyakit dimulai 1 bulan SMRS
pasien tiba-tiba melihat telapak kaki kanan bengkak dan merah akibat tertusuk
61 Universitas Indonesia
paku. Luka diobati dengan Propolis (obat herbal) namun luka tak kunjung
sembuh, luka melebar diikuti bengkak pada punggung kaki kemudian
mengeluarkan air. Empat minggu kemudian pasien masuk ke RSCM karena kaki
kanan bertambah bengkak, luka mengeluarkan nanah
Saat dilakukan pengkajian tanggal 13 April 2015 hari rawat ke 30. Pasien post
nekrotomi hari pertama. Data yang didapat adalah pasien merasa mual, muntah 1
kali, badan lemas, nafsu makan menurun sejak 1 minggu, makan dihabiskan 1/3
posrsi makan/tiap kali makan. Tn. W mengatakan adanya nyeri pada luka di
kakinya, kondisi ulkus stadium empat, terdapat luka pada dorsal pedis kanan
ukuran 8x3x2 terdapat jaringan granulasi, jaringan nekrotik, pus, dan luka
plantar pedis kanan ukuran 7x6x2 cm terdapat maserasi, Produksi pus berwarna
abu-abu,undermining/ goa dibagian distal. Pasien mengeluh kedua kaki
kesemutan dan baal sejak 10 tahun SMRS. Pasien mengalami penurunan
penglihatan (memakai kaca mata), gigi mudah tanggal, riwayat merokok satu
bungkus/ hari, tetapi tidak merokok sejak dirawat di RS, riwayat minum alkohol
tidak ada.
Pasien terdiagnosa DM sejak lima belas tahun lalu. Keluhan saat itu yakni BAK
terus menerus (> 15 kali/hari), sering haus dan diperikasa diklinik dekat rumah.
Saat diperiksa gula darah 350 mg/dl, mendapatkan obat yaitu Doanil. Pasien tidak
rutin kontrol dan minum obat diabetes karena pasien mengaku banyak pekerjaan
yang harus diselesaikan, namun pasien rutin minum Propolis. Tn W juga punya
riwayat mengalami luka pada telapak kaki kiri karena tertusuk paku dua tahun
yang lalu, 2 bulan kemudian sembuh menggunakan herbal.
Tn. W punya riwayat makan tidak teratur, biasanya bila lapar pasien minum teh
manis untuk mengurangi rasa lapar, sehari hingga 5 gelas sehari. Riwayat
kesehatan keluarga pasien W, dimana sepupu Tn W menderita DM. Pasien
mendapatkan diet DM 1700 kkal dengan protein 2,5 gr/kgBB/ hari. Hasil
laboratorium tanggal 8 April 2015 Albumin 3,07 mg/dl, Hb 10,4 g/dl, Ht 32,1%,
eritrosit 3,91 juta/𝜇l, GDS tanggal 13 April 2015 pada jam 06/11/16 adalah
Universitas Indonesia
114/138/187, leukosit 9,5 ribu/ul, hitung jenis: basofil 0,5%, eosinofil 1,8%,
netrofil 64,7%, limfosit 19,1%, monosit 13,9%. ABI kaki kanan tidak diperiksa,
dan ABI kaki kiri 1,2. Pemeriksaan tanda-tanda vital TD 110/70 mmHg, HR
92x/menit, RR 18x/menit, suhu tubuh 36,50C
Pasien mengatakan sejak sakit tidak dapat menjalankan perannya sebagai suami
dan ayah bagi anak-anaknya. Pasien ingin segera pulang karena ingin
memdapatkan uang untuk belanja hari raya. Pasien tidak dapat bekerja selama
sakit. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari dibantu oleh keluarga (anak)
Universitas Indonesia
50 kg. pemenuhan kebutuhan nutrisi dan cairan sebagian dibantu oleh keluarga.
KGDH tanggal 13 April 2015 adalah jam 06/11/16 adalah 114/138/187
c. Eliminasi
Pola defekasi 1 kali/ hari, dan tidak ada perubahan pola defekasi, konsistensi,
warna, dan bau feses. Tidak ada nyeri tekan abdomen, tidak ada asites. Terpasang
poli kateter hari ke 2, dengan jumlah urine 1500cc/ hari. tidak ada distensi
kandung kemih. Ureum 25mg/dl, Kreatinin 0,5mg/dl, GFR 133,7
CCT hitung
(140 − 𝑢𝑚𝑢𝑟) 𝑥 𝐵𝐵 (140 − 52)𝑥 45
= = 110
72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 72 𝑥 0.5
karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan hingga larut malam. Pola
istirahat pasien yakni tidur 6-8 jam pada malam hari, tidak pernah tidur siang.
Pada malam hari pasien sering terbangun karena rasa sakit pada luka kaki kanan
yang dialami. Saat bangun pasien sering merasa lemas dan tidak segar.
Universitas Indonesia
kanan ukuran 8x3x2 terdapat jaringan granulasi, jaringan nekrotik, pus, dan luka
plantar pedis kanan ukuran 7x6x2 cm terdapat maserasi , slough minimal,
produksi pus berwarna abu-abu., undermining/ goa dibagian distal. ABI kaki
kanan tidak bisa diukur dan ABI kaki kiri 1,2. Hasil pemeriksaan laboratorium
leukosit 9,25 ribu/ul dan LED 113mm, hasil kultur luka 1 April 2015 ditemukan
Pseudomonas Aeroginosa. Program pengobatan yaitu Ciprofloxacin 2 x 400mg
(hari ke 5).
400
350
300
250
200
150 JAM 06
100
JAM 11
50
0 JAM 16
Masalah medis yang dialami pasien adalah adanya ulkus diabetes berulang, ulkus
DM pedis dextra dengan osteomeilitis metatarsal 4 dan 5, gula darah belum
terkontrol, hipoalbumin, hasil kultur Pseudomonas Aeroginosa. Obat-obatan yang
didapat diantaranya adalah metformin 3x500 mg, novorapid 3x8 unit,
mecobalamin 3x500mg, domperidon 3x10 mg, captopril 2x6,25 gr, tramadol
3x100 mg, parasetamol 3x500 mg, ondansentron 3x8 mg, heparin 10 unit Sub
Kutan. Antibiotik yang didapatkan Ciprofloxacin 2 x 400 mg (sebelumnya klien
telah mendapatkan Cefriaxon, Cefotaxim)
Universitas Indonesia
Terapi yang didapat saat pengkajian tanggal 13 April 2015 metformin 3x500 mg,
novorapid 3x8 unit, mecobalamin 3x500mg, domperidon 3x10 mg, captopril
Universitas Indonesia
2x6,25 gr, tramadol 3x100 mg, parasetamol 3x500 mg, ondansentron 3x8 mg,
sucralfat 3x500 mg, heparin 10 unit secara sub cutan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Laboratorium (8 April
2015)
Hb: 10,5 gr/dl: leukosit
925.000/ µL, LED 113, CRP
(-), Prokalsitonin (-), KGDH
13/4/15 jam 06/11/16 adalah
114/138/187
2 14/4/2015 Ketidakstabilan gula darah Selama dilakukan Menajemen hiperglikemia Setelah 24 hari perawatan
berhubungan dengan perawatan (6-5-2015),
ketidakmampuan sel beta diharapkan kadar Method of helping guidance : perkembangan pasien :
glukosa darah Monitor kadar glukosa darah S :-
pankreas untuk
terkontrol, dengan Monitor tanda dan gejala O:
memproduksi hormon kriteria; hiperglikemia KGDH tanggal 6 Mei
insulin atau defisiensi - GDPP < 110- Monitor tanda vital 2015 adalah
insulin 144 mg/dl Monitor keton urin Jam06.00 = 110 mg/dl
- GDP 80 – 109 Monitor gas darah arteri,dan Jam 11.00 =127 mg/dl
mg/dl elektrolit jam 16.00 = 135mg/dl
Universitas Indonesia
Data Subjectif : - Glukosa urin (-) Monitor intake dan output Novorapid 3 x 6 unit
Pasien menderita DM Glukosa urine cairan
sejak 15 tahun yang lalu negatif A : masalah sebagian
Dirawat dengan ulkus Support : teratasi,
berulang Anjurkan pasien mematuhi P : pertahankan intervensi
menajemen piñatalaksanakan Monitor kadar glukosa
Data objectif : diabetes. darah
KGDH:14/4/2015 jam Monior tanda dan
06/11/16 adalah Teaching : gejala hiperglikemia
121/335/293 mg/dl Ajarkan pasien dan keluarga dan hipoglikemi
HbA 1c 10,4 %(<7%) tentang pengentrolan gula darah Monitor keton urin
tanggal 15 Maret 2015 sendiri dan menajemen Monitor gas darah
Terdapat ulkus pedis hiperglikemia arteri,dan elektrolit
dextra post debridement Monitor intake dan
Directing : output cairan
Terapi; Novorapid 3 x 8 Berikan cairan peroral
unit, Metformin 2 x 500mg Batasi aktifitas ketika gula darah
>250mg/dl,terutama jika keton
urin positif
Kolaborasi :
Berikan cairan intravena
Berikan insulin sesuai program
3 13/4/2015 Kebutuhan nurisi Method of helping guidance : Setelah pasien menjalani
Gangguan keseimbangan terpenuhi : Evaluasi status nutrisi pasien 7 hari perawatan
nutrisi: kurang dari Pasien setiap hari ditemukan
kebutuhan tubuh mengunkapkan Kaji pola makan perkembangan :
berhubungan intake yang tidak ada mual Pantau adanya respon mual dan S:
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pemeriksaan Penunjang
Hb 10, 4 gr/dl (N:12-
16g/dl)
Globulin 2,3 (N:2,3-
3,2g%)
Albumin 3,07 gr/dl
(↓)(3.4- 4.8)
KGDH (13-4-2015)=jam
06/11/16/ adalah
114/138/187130 mg/dl
Protein total 5,3 (N: 6,1-
Universitas Indonesia
4 15/4/2015 Nyeri akut berhubungan Nyeri terkontrol Menagemen nyeri Setelah 24 hari
dengan luka terbuka, Melaporkan perawaan, perkembangan
mekanikal debridement perubahan Method of helping guidance : pasien :
gejala nyeri Kaji secara komprehensif nyeri, S:
Data Subjectif : berkurang lokasi, karakteristik, awal Pasien melaporkan
Pasien mengeluh nyeri Melaporkan kejadian, durasi, frekuensi, nyeri berkurang
pada luka pada saat dan penyebab nyeri kualitas, faktor penyebab nyeri O:
setelah dibersihkan Melakukan Monitor tanda dan gejaia yang Pada saat dibersihkan
VAS 7 langkah- terkaait rasa sakit seperti luka ditemukan :
Data objectif : langkah tekanan darah, deyut jantung, Nyeri skala 2
Pada saat dibersihkan luka : pencegahan dan suhu, warna dan kelembapan Ekspresi wajah
Tanda vital TD 130/70 non analgesic kulit, gelisah, dan kemampuan meringis
mmHg, HR 92x/menit focus Tonus otot rileks
Ekspresi wajah meringis, Evaluasi efektifitas efek A :masalah sebagian
kerutan yang dalam pemberian obat teratasi
dahi, mata tertutup P:
Tonus otot tegang Support : Kaji secara
Berbaring dengan Anjurkan penggunaan teknik komprehensif
gerakan kepala dari sisi nonfarmakologis seperti nyeri,lokasi,karakteris
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.1.6 Evaluasi
Masalah kerusakan integritas kulit pada hari ke 3 pasien dirawat belum
menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang berarti ulkus terlihat rembes kebalutan
luka, luka banyak jaringan nekrotik, eksudat banyak dan purulen, ulkus
menimbulkan bau. Selanjutnya dilakukan debridement ke 3 di kamar operasi
pada tanggal 29 April 2015. Hasil lab tanggal 20 April 2015 Hb 10,5 gr%, leuko
9,25 ribu, neutrofil 64,7%, limfosit 19,1%. Hasil kolaborasi dengan dokter PPDS
klien bersedia menggunakan modern dressing dengan cutimet sorbak dan
duoderm gel. Setelah hari ke tiga (hari ke 8 perawatan luka) penggunaan modern
dressing luka mulai memperlihatkan tanda-tanda perbaikan, dimana dasar luka
berwarna merah pada sebagian area, sebagian masih kecoklatan, slough minimal,
jaringan nekrotik mudah terlepas, luka tidak berbau, tendon berwarna coklat
dankering. Pergantian dressing dengan menggunaan cutimet sorbak dan duaderm
gel dilakukan 3 hari sekali. Pada hari ke 11 perawatan granulasi jaringan masih
sedikit terlihat, warna dasar luka merah pada beberapa area, slough putih, tendon
berwarna putih kecoklatan, luka terlihat moist, pada hari ke 13 granulasi mulai
terlihat, dasar luka berwarna merah hampir disetiap area, tendon masih putih
kecoklatan, slough minimal, jaringan granulasi. Tanggal 18 Mei 2015 pasien
telah dilakukan STSG (split thickness skin graft)
Universitas Indonesia
porsi yang dihidangkan habis, nilai Hb belum ada peningkatan dari 10,4 gr%.
Namun intake nutrisi yang adequat juga menjadi indikator untuk mempertahankan
nilai Hb dalam rentang normal. Penurunan nilai Hb tidak hanya diindikasikan
dengan pemasukan nutrisi yang kurang namun ada masalah-masalah lain yang
terkait yang dapat mempengaruhi nilai Hb seperti gangguan pada fungsi ginjal
yang biasanya terdapat pada diabetesi yang telah mengalami komplikasi nefropati.
Namun sejauh ini fungis ginjal Tn. W masih dalam batas normal, ini terlihat dari
nilai ureum 25 mg/dl (Normal 10-50) dan kreatinin 0,5 (Normal 0,5 – 1,5).
Kasus 2
Diagnosis and Presciption
Basic conditioning Faktor : Ny S berusia 60 tahun, menikah dengan tiga orang
anak, pendidikan SD, pekerjaan ibu rumah tangga, TB 157 cm, BB 51 kg, IMT
20,69 kg/m2 (normoweight). Penanggung jawab Tn R (suami klien). Klien masuk
RSCM tanggal 9 September 2014 dengan keluhan nyeri pada kaki kanan sejak
tiga hari SMRS dan adanya luka pada tukak kaki kanan. Nyeri sudah dirasakan
sejak tiga minggu yang lalu saat terbentuk luka pada punggung kaki seperti
melepuh. Lepuhannya tersebut kemudian dipecahkan oleh klien dan akhirnya
lukanya semakin melebar dan sukar menutup, beberapa hari keluar darah dan
nanah dari luka serta disertai nyeri. Sebelumnya klien berobat ke PKM karena
mengeluh mual dan muntah. Hasil gula darah klien di PKM yakni > 500 sehingga
dirujuk ke RSCM. Saat dilakukam pengkajian tanggal 22 September 2014 (hari
rawat ke-13), klien mengeluh nyeri pada kaki kanan, terdapat luka yakni ulkus di
plantar derajat 3 dengan luas 6x5x1 cm, dan luka dipunggung kaki ukuran 5x3 cm
derajat 3 serta terdapat undermaining diantarajari kaki kanan dengan jari telunjuk
menembus plantar. Luka klien berbau dan terdapat pus berwarna kuning, dengan
kondisi jaringan sekitar luka hyperemia. Klien terdiagnosa DM sejak sembilan
tahun yang lalu saat klien dirawat di RS Auri pada April 2013 karena ulkus pada
kaki kanan dan telah dilakukan amputasi pada jari telunjuk. Klien tidak memiliki
riwayat hipertensi dan melahirkan anak > 4 kg. Sementara itu orang tua klien
meninggal dengan stroke sedangkan pamannya juga menderita DM. Berat badan
klien sebelum terdiagnosa DM yakni 73 kg dan sekarang 51 kg. Klien
Universitas Indonesia
mendapatkan diet DM 1700 kkal dengan protein 2,5 gr/kgBB/ hari. Hasil
laboratorium yakni albumin 3.10 gr/dL (↓), Hb 10,5 g/dl, eritrosit 3,89 juta/𝜇l,
KGDH (22 September 2014 jam 12) 170 mg/dL, Ht 34%, Leukosit 5700/µL,
hitung jenis: basofil 1%, eosinofil 2%, netrofil 57%, limfosit 29%, monosit 7%.
ABI kaki kanan 1,1 dan ABI kaki kiri 1. Pemeriksaan tanda-tanda vital TD 130/80
mmHg, HR 70x/menit, RR 20x/menit, suhu tubuh 36,50C. Kesimpulan: ulkus DM
pedis dextra , selulitis pedis dextra, osteomielitis distal os phalang proximal digiti
II. Terapi sucralfat 4x1, Lantus 1x8 unit, Novorapid 3x8 unit, Simvastatin
1x20mg, Co-amoxiclave 3x1tab, Paracetamol k/p bila demam, Metrodinazole
3x500mg, Ranitidin 2x50mg, Cefriaxone 2x2 gr, Gentamisin 3x80 gr, cairan Nacl
0,9% 8 jam /kolf.
Universitas Indonesia
3. Kebutuhan Nutrisi
Klien mengalami masalah dengan pemasukan makanan dengan data sebagai
berikut: klien mengatakan badan terasa lemas, porsi makan tidak dihabiskan,
tampak lemah, kongjungtiva pucat, BB 51 kg, TB = 157 cm, IMT= 20,69 kg/m2,
riiwayat penurunan BB, alergi makanan (-), diet DM 1700 kkal, protein 2,5
gr/kgBB/hari. Hasil pemeriksaan penunjang (20 September 2014) yakni albumin
3.10 gr/dL, HB 10,5 g/dl, Eritrosit 3,89juta/𝜇l dan KGDH (22 September 2014
jam 12) 170 mg/dL.
Universitas Indonesia
plantar 10x6x1 cm, plantar lateral kanan 10x7x3 cm, TD 130/80 mmHg, HR
70x/menit, RR 20x/menit, suhu tubuh 36,50C.
Perkembangan keluarga saat ini terganggu karena klien tidak dapat menjalankan
tugasnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Pasien juga harus beradaptasi
dengan kakinya karena belum menapakkan kakinya saat berjalan. Klien tidak
mengalami hambatan terkait hubungan seksual. Perubahan fisik pada klien yakni
adanya ulkus yang belum sembuh. Klien tidak merasa malu dengan kondisi
penyakit dan dampak ditubuhnya dan dapat menerima kondisi penyakitnya. Klien
telah ikhlas menerima kondisi sakitnya dan menyerahkannya kepada Tuhan.
Selama sakit klien tetap menjalankan ibadah dengan berdzikir dan sholat
tayamum.
Universitas Indonesia
Kasus 3
Diagnosis and Presciption
Basic conditioning Faktor : Tn HA berusia 42 tahun. Klien masuk RSCM pada
27 November 2014 dengan keluhan kaki membengkak sejak lima hari sebelum
masuk RS (SMRS). Satu bulan SMRS klien memakai sandal yang kekecilan
dan punggung kakinya membengkak, berwarna kemerahan, dan terasa nyeri
bila digerakkan kemudian kakinya diolesi dengan minyak tawon terus menerus.
Klien kemudian berobat ke dokter umum dan didiagnosa mengalami asam urat.
Klien mengatakan kakinya semakin lama semakin bengkak dan membuat klien
sulit berjalan. Lima hari SMRS, benjolan yang ada di kaki kanan klien pecah
serta mengeluarkan cairan berwarna putih dan klien merasa demam. Tiga hari
Universitas Indonesia
3. Kebutuhan Nutrisi
Klien mengatakan menghabiskan porsi makanan yang diberikan. Hasil
pemeriksaan status nutrisi yakni tinggi badan klien 156 cm, berat badan 59 kg,
BBI 50,4 kg, dan IMT 24,27 kg/ m2. Dari hasil IMT klien dikategorikan status
gizi lebih. Jumlah kebutuhan nutrisi klien atau diet DD dilihat dari nilai BBI
Universitas Indonesia
dan faktor yang mempengaruhinya yakni sebesar 1900 kkal dengan protein 60
gram (1,2 gr/ kg BB), lemak 53 gram (25%), serta karbohidrat 295 gram (62%).
Hasil pemerikasaan laboratorium pada 8 Desember 2014 menunjukkan kadar
hemoglobin 11,5 g/dl, hematokrit 33,1%, leukosit 9,62 ribu/ µl, trombosit 367
ribu/ µl, eritrosit 3,75 juta/ µl, SGOT 16 U/l, SGPT 31 U/l, dan albumin 3,30
g/dl
Universitas Indonesia
3x12 unit, ranitidine 2 x 50mg, tramadol 3x100 mg, parasetamol 3x500 mg k/p,
ampicilin sulbactam 4x1,5 gr IV
Universitas Indonesia
control nyeri dapat dillihat tanda-tanda vital dalam batas normal); NIC (
manajemen nyeri)
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses perawatan penyakitnya;
the partially compensatory nursing system; NOC (pasien mampu
menyebutkan tentang penyakit DM); NIC (manajemen nyeri).
5. Hambatan mobilitas fisik; the partially compensatory nursing system; NOC
(dapat melakukan aktivitas sehari-hari); NIC (Ambulation)
Evaluasi
1. Ketidakstabilan glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin,
defisiensi insulin, selama 21 hari glukosa dalam batas normal
2. Kerusakan integritas jaringan selama 21 hari perawatan terjadi penurunan
luas luka, bau pada luka tidak ada, jaringan granulasi 100%.
3. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan selama 21
hari perawatan level nyeri menurun dan pasien dapat melakukan kontrol
nyeri secara mandiri.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses perawatan penyakitnya;
selama 21 hari pasien mampu menyebutkan tentang penyakit DM); NIC
(manajemen nyeri).
5. Hambatan mobilitas fisik; selama 21 hari perawatan pasien dapat melakukan
aktivitas secara mandiri
Universitas Indonesia
Dari data-data diatas maka peran perawat sangatlah penting untuk memberikan
manajemen stress kepada pasien dengan mengajarkan terapi relaxasi. Terapi yang
dilakukan harus berdasarkan landasan penelitian sebelumnya atau riset-riset
terkini sehingga kita mendapatkan pembuktian-pembuktian dalam keperawatan
yang di sebut dengan Evidence Based Nursing (EBN).
EBN yang diterapkan adalah pengaruh manajemen stress pada pasien DM dengan
menggunakan Relaxation Breathing Exercise dan Progressive Muscle Relaxation
(PMR) terhadap kadar glukosa darah. Berdasarkan jurnal “Implementation of a
stress management program in outpatients with type 2 diabetes mellitus: a
Randomized Controlled Trial”
Universitas Indonesia
a. Reabilitas
Kuesioner depression anxiety and stress scale (DASS)
Depression anxiety and stress scale (DASS) adalah suatu kuisioner yang berisi 42
item untuk mengukur keadaan emosional yang negatif dari depresi, kecemasan
dan stress. Setiap skala ini berisi 14 item, setiap item berisi sekitar 2-5 pertanyaan.
Pada penelitian ini pertanyaan yang akan dikaji adalah tingkat stress, maka
kuisioner yang digunakan adalah yang mengukur skala stress saja. Skala stress ini
mengkaji kesulitan untuk bersantai, semangat, mudah marah. Gelisah, mudah
tersinggung, over reaktif, dan tidak sabar yang dialami seseorang dalam satu
minggu terakhir. Menurut Lovibond dan Lovibond (1995), uji validitas
depression anxiety and stress scale (DASS) adalah 0,48 - 0,68 dan skor uji
reliabilitas pada item depresi 0,91 ansietas 0,86 dan stress 0,90
a. Important
Pelletier (2002) dalam Lorentz (2006) menyatakan bahwa perasaan negatif,
seperti rasa takut, putus asa dan depresi berpengaruh secara signifikan pada kimia
tubuh. Hal ini merupakan konsep Mind-Body therapy, dimana pikiran
Universitas Indonesia
b. Applicability
Penelitian-penelitian yang digunakan dalam proposal ini menunjukan bahwa
dengan manajemen stress dapat menurunkan tingkat stress dan meningkatkan
kontrol glikemik pada pasien DM tipe 2.
Universitas Indonesia
Hasil: pada kelompok intervensi didapatkan penurunan skor skala stress dan
menurunnya HbA1c secara signifikan (P<0,05) pada akhir program.
Kesimpulan: hasil penelitian menunjukkan effek yang menguntungkan dari
manajemen stress pada pasien DM tipe 2, baik dalam tingkat stress maupun
kontrol glikemik. Penelitian ini menyarankan untuk penelitian dengan sampel
yang lebih besar, durasi yang lebih lama.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
b. Kelemahan (Weaknes)
Kelemahan yang ditemui dalam pelaksanaan EBN ini adalah tingginya beban
kerja perawat.
Universitas Indonesia
c. Opportunity (Peluang)
Peluang yang dapat dilihat adalah tingginya angka jumlah pasien rawat inap di
RSCM, belum adanya terapi manajemen stress atau terapi relaksasi lainnya untuk
menurunkan tingkat stress pada pasien DM Tipe 2 dan pengendalian kontrol
glikemik. latihan ini Pemberian terapi bisa diajarkan dengan berkelompok, dan
dipoliklinik tersedianya ruang edukasi yang dapat digunakan untuk latihan.
4. Alur pelaksanaan
Semua pasien DMT2 yang telah ditetapkan sebagai responden, kemudian
dijelaskan rencana pemberian terapi PMR dan latihan nafas kepada calon
Universitas Indonesia
Pada hari pertama intervensi kelompok intervensi melakukan terapi PMR dan
latihan pernafasan dua kali/ hari pada pagi dan sore (ditetapkan jam pelaksanaan
dengan responden) dengan durasi 25 menit setiap terapi, dengan panduan video
yang telah dibagikan. Intervensi dilakukan selama 14 hari berturut-turut. Evaluasi
dilakukan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah pada hari ke lima, hari
sepuluh dan hari kelima belas jam 06.00 wib, dan jam 16.00 wib. Evaluasi tingkat
stress menggunakan DASS akan dilakukan pada hari kelima belas. Setelah data
terkumpul, selanutnya dilakukan pengolahan data.
Universitas Indonesia
Inform consent
Analisa data
Universitas Indonesia
a. Karakteristik Responden
Sub bab ini menjelaskan tentang karakteristik responden yaitu usia, jenis kelamin,
obat oho/ insulin yang didapat, dan tingkat stres, pada kelompok intervensi dan
kontrol. Sub bab ini juga menjelaskan uji kesetaraan karakteristik responden
antara kedua kelompok. Kesetaraan karakteristik, menunjukkan bahwa perbedaan
nilai post test antara kedua kelompok tidak dipengaruhi oleh perbedaan
karakteristik antar kelompok. Berikut ini karakteristik responden berdasarkan usia
pada kelompok intervensi dan kontrol:
Tabel 3.1
Karakteristik Usia Responden Pasien DMT2 Pada Kelompok
Intervensi dan Kontrol di RSUPN Cipto Mangunkusumo
Tahun 2015 (n=10)
Variabel
Mean SD Min-Mak 95%CI
Usia
- Kelompok Intervensi (n=5) 50.80 8.139 37-57 40.47-61.13
Tabel 3.1 menunjukkan rerata usia responden pada kelompok intervensi yaitu
50,80 tahun (SD 8,139) berbeda dengan kelompok kontrol yaitu 55 (SD 11,02).
Universitas Indonesia
Tabel 3.2
Karakteristik Pasien DMT2 Berdasarkan Jenis Kelamin, OHO/ insulin
Yang Didapat, Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2015 (n=10)
Kelompok
Variabel Intervensi Kontrol
N % N %
Jenis kelamin:
- Laki-laki 4 80 2 40
- Perempuan 1 20 3 60
Terapi farmakologis:
- Insulin 2 40 3 60
- Insulin + OHO 2 40 1 20
- OHO 1 20 1 20
b. Gambaran Kadar Glukosa Darah Sebelum dan Sesudah Terapi PMR dan
Latihan Nafas pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Kadar glukosa darah yang diukur dalam penerapan EBN ini adalah meliputi kadar
glukosa darah jam 06.00 dan jam 16.00 wib sebelum intervensi dan pemeriksaan
kadar glukosa darah hari kelima, hari kesepuluh dan hari ke lima belas saat
dilakukan intervensi.
Universitas Indonesia
Tabel berikut menjelaskan kadar glukosa darah pada pasien DMT2 Sebelum dan n
sesudah terapi PMR dan latihan nafas pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi.
Tabel 3.3
Kadar Glukosa Darah Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)
Universitas Indonesia
300
280
260
240
kontrol pukul 06
Axis Title
220
200 kontrol pukul 16
180 intervensi pukul 06
160
intervensi pukul 16
140
120
100
hari 0 hari 5 hari 10 hari 15
Gambar 3.2
Kadar Glukosa Darah Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)
c. Gambaran skor tingkat stress Sebelum dan Sesudah Terapi PMR dan Latihan
Nafas pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Skor tingkat stress yang diukur dalam penerapan EBN ini adalah meliputi tingkat
stress sebelum dilakukan dan sesudah dilakukan intervensi .
Tabel berikut menjelaskan skor skala stress pada pasien DMT2 Sebelum dan n
sesudah terapi PMR dan latihan nafas pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi.
Universitas Indonesia
Tabel 3.4
Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)
Variabel
Mean SD Min-Mak 95%CI
Kelompok Intervensi
- Pre intervensi 26,80 2,38 24-30 23.84-29.76
- Post intervensi 19 2 17-22 16.52-21.48
Kelompok Kontrol
23.60 2.61 19-25 20.36-26.84
- Pre intervensi
20.80 3.11 18-25 16.93-24.67
- Post intervensi
30
25
20
15 sblm
ssdh
10
0
intervensi kontrol
Gambar 3.3
Gambaran Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)
Gambar 3.3 menunjukkan skor skala stress mengalami penurunan pada akhir
program pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Rerata penurunan
yang terbanyak adalah pada kelompok intervensi, yaitu skor skala sress 26,80
menjadi 19 pada hari 15 setelah intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol
juga terjadi penurunan dari skor skala stress 23,60 menjadi 20,80 pada hari ke-15
setelah intervensi
Universitas Indonesia
d. Perbedaan rata-rata tingkat stress Sebelum dan Sesudah Terapi PMR dan
Latihan Nafas pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Skor tingkat stress yang diukur dalam penerapan EBN ini adalah meliputi tingkat
stress sebelum dilakukan dan sesudah dilakukan intervensi .
Tabel berikut menjelaskan perbedaan rata-rat skala stress pada pasien DMT2
Sebelum dan sesudah terapi PMR dan latihan nafas pada kelompok kontrol dan
kelompok intervensi.
Tabel 3.5
Perbedaan Rata-rata Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di RSUPN
Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)
Variabel P value
Mean SD 95%CI
(α = 0,05 )
Tingkat stress
- Pre intervensi 25,20 2,89 23.84-29.76
0,004
- Post intervensi 19,90 2,64 16.52-21.48
Tabel 3.9 Efektifitas terapi PMR dan Latihan nafas terhadap tingkat stress dan
ditentukan dengan cara membandingkan tingkat stress sebelum dan sesudah terapi
terapi PMR dan Latihan nafas pada kelompok intervensi dan kontrol. Analisis
yang digunakan untuk menentukan perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan
sesudah terapi terapi PMR dan Latihan nafas antara kedua kelompok dilakukan
dengan paired t test menunjukkan p value 0,004. Dapat disimpulkan terdapat
perbedaan signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah
dilakukan terapi PMR dan latihan nafas.
Universitas Indonesia
Dari observasi, jumlah perawat tidak sebanding dengan jumlah pasien. Hal ini
menyebabkan perawat terfokus pada kegiatan pengkajian pasien dan urusan
administratif. Akibatnya, waktu untuk memberikan promosi kesehatan terbatas
sehingga edukasi yang dilakukan bersifat oportunistik. Sementara dari segi pasien,
banyak waktu luang yaitu 1-3 jam hingga pasien masuk ke ruan periksa. Hal yang
mempengaruhi lamanya waktu tunggu yaitu waktu kedatangan dokter, rekam
medis pasien yang belum datang, serta waktu tunggu antrian masuk ke kamar
periksa. Dari segi kepuasan pasien, hal yang ditemukan adalah pasien menyatakan
kurang puas karena waktu tunggu yang lama.
Universitas Indonesia
Perbandingan antara sumber daya manusia dan jumlah pasien yang tidak
seimbang, belum optimalnya upaya pemanfaatan waktu tunggu, serta tingginya
kebutuhan edukasi menjadi tantangan tersendiri untuk memaksimalkan waktu
tunggu sebagai bagian dari pelayanan untuk meningkatkan status kesehatan
pasien. Berdasarkan fenomena di atas, mahasiswa program Ners Spesialis KMB
Endokrin menjalankan program inovasi. Promosi kesehatan ini merupakan
kegiatan yang selain bermanfaat untuk meningkatkan status kesehatan pasien,
Universitas Indonesia
3.3.3 Persiapan
Dalam kegiatan inovasi ini, banyak hal yang disiapkan. Yang pertama adalah
materi edukasi yang akan digunakan dalam program promosi kesehatan. Selain
itu, kelompok juga membuat quick quiz untuk mengkaji tingkat pemahaman
sekaligus mengkaji kebutuhan edukasi pasien. Hal ke tiga yang disiapkan adalah
banner sebagai media quick quiz. Setelah itu kelompok mengkaji kebutuhan
edukasi pasien, dan memberiakan edukasi sesuai kebutuhan pasien dengan
menggunakan media lembar balik dan pembagian logbook. Kemudian kelompok
melakukan evaluasi kognitif, afektif, psikomotor untuk mengkaji tingkat
keberhasilan edukasi. Selain itu, kelompok juga mengadakan rapat koordinasi
pelaksanaan kegiatan bersama dengan staf poliklinik tempat kegiatan akan
diadakan.
Universitas Indonesia
Waktu:
Pasien mendapat surat eligibilitas peserta (SEP) 2-3 jam
Waktu: 1-3
Pasien dipanggil dan masuk ke ruang periksa dokter jam
Waktu: 15-
Pasien selesai melakukan 30 menit
pemeriksaan dari ruang dokter
Universitas Indonesia
3.3.4 Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan inovasi terdiri dari beberapa langkah. Yang pertama adalah
mensosialisasikan rencana kegiatan kepada kepala poliklinik, perawat poli
endokrin, dan dokter penanggungjawab pasien. Pada minggu kedua April 2015,
perawat bersama mahasiswa memulai kegiatan dengan mendistribusikan standing
banner dipoliklinik, dan membagikan flyer terkait self health assessment kepada
pasien DM, serta tindak lanjut setelah mengisi flyer tersebut. Setelah itu,
responden atau pasien yang membutuhkan tindak lanjut datang menemui perawat.
Perawat/mahasiswa kemudian mengkaji kebutuhan edukasi pasien sebelum
memberikan edukasi sesuai kebutuhan pasien. Setelah sesi edukasi selesai,
perawat mengevaluasi tingkat pemahaman pasien terkait edukasi yang telah
diberikan. Di akhir sesi, perawat memberikan buku panduan pemeriksaan dan
pemantauan kesehatan mandiri pada pasien diabetes melitus sebagai panduan
untuk melakukan self health assessment di rumah.
Tabel 3.6
Distribusi umur responden Inovasi Keperawatan di Poliklinik Endokrin
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (N=16)
Tabel menunjukkan rata-rata umur responden adalah 54,31 tahun. Umur termuda
adalah 40 tahun dan tertua adalah 68 tahun. Hasil estimasi interval menunjukkan
bahwa rata-rata umur responden diabetes melitus yang berpartisipasi dalam
kegiatan inovasi keperawatan berada pada rentang usia 50,31 – 58,31 tahun.
Universitas Indonesia
Tabel 3.7
Distribusi Responden Berdasarkan lama mengalami DM di Poliklinik
Endokrin RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (N=16)
Tabel 3.8
Distiribusi frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat
Pendidikan di Poliklinik Endokrin RSUP Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo (N=16)
Universitas Indonesia
Ada 4 (empat) flyer berisi quick quiz yang dibagikan pada pasien yang sedang
menunggu antrian untuk masuk ruang pemeriksaan dokter. Keempat topic tersebut
adalah ;1). pengetahuan umum tentang DM, didapatkan 2 orang pasien (12,50%),
dengan nilai kurang pengetahuan tentang DM secara umu m. 2). Pengetahuan
tentang perawatan harian di rumah, didapatkan 7 orang (43,75%) dengan
pengetahuan kurang. 3). Pengetahuan tentang risiko komplikasi kaki, didapatkan
5 orang (31,25%) dengaan pengtahuan kurang. 4). Pengetahuan tentang gejala
dan pencegahan hipoglikemi, didapatkan pengetahuan kurang pada 2 orang
(12,50 %).
3.3.6. Evaluasi
Hasil pengkajian tingkat kepuasan terhadap program promosi kesehatan pada
pasien diabetes melitus dengan metode self health assessment dan edukasi
pengelolaan diabetes melitus.
Gambar 3.4
Gambaran Tingkat Kepuasan pasien terhadap program Inovasi Keperawatan
16 14
14
12
10 Puas
8
Kurang Puas
6
4 2
2
0
Tingkat Kepuasan
Universitas Indonesia
Pada bab ini akan menganalisis tiga kegiatan meliputi: pertama, menganalisis
tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan Ulkus diabetes dengan
pendekatan model Nursing sistem Orem. Kedua menganalisis pemberian terapi
Progressive Muscle Relaxation dan latihan pernafasan dan ketiga menganalisis
kegiatan proyek Inovasi tentang self health assessment pada pasien DMT2 di
Poliklinik Endokrin Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo
Berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah dan elektrolit darah berupa natrium,
dapat diperoleh osmolaritas plasma (mOsm/L) sebesar 282,2 dengan
penghitungan beradasarkan : 2Na + glukosa mg/dl + Blood Urea Nitrogen mg/dl
. 18 2,8
Nilai Tonisitas (mOsm/L) diperoleh sebesar 282,2 mOsm/L (normal 280-300
mOsm/L), jadi Tn. W menunjukkan bahwa osmolaritas serum dalam batas
normal,
Menurut NANDA (2012) bahwa ketidakseimbangan elektrolit adalah kondisi
tubuh yang mengalami perubahan kadar elektrolit serum yang dapat mengganggu
kesehatan. Sedangkan ketidakseimbangan volume cairan adalah terjadinya
penurunan, peningkatan, atau pergeseran cepat cairan intravena, interstisial,
dan/atau intraseluler lain yang mengacu pada kehilangan, penambahan cairan
tubuh, atau keduanya.
Universitas Indonesia
114/138/187130 mg/dl, Protein total 5,3 (N: 6,1-8,2), IMT 17,5, hitung jenis
limposit 19,1%, LDL 32mg/dl (N:60-160), HDL 12mg/dL (N; 48,9-73,5),
kolesterol total: 76 mg/dl (<200). feritin 169 (N:100gr/dl pada laki-laki dewasa)
Dari data diatas terlihat bahwa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh merupakan masalah yang menjadi prioritas untuk segera diatasi, karena
kondisi ini akan memberi dampak pada kondisi metabolik pasien dan juga
berperan pada proses penyembuhan luka. Asupan nutrisi yang kurang juga
memberi dampak secara langsung terhadap penurunan Hb dan albumin, Globulin
dan protein total.
Universitas Indonesia
kortisol sebagai bagian respon stres dari luka yang menambah terjadinya
katabolisme: sedikitnya energi yang diperoleh dari lemak menyebabkan
katabolisme protein meningkat. Pada akhirnya terjadi pelepasan asam amino yang
didorong oleh glukoneogenesis di hati.
Universitas Indonesia
Nilai feritin dan globulin yang ditemukan pada kasus Tn. W adalah diatas nilai
normal mengindikasikan adanya masalah pada hati sebagai tempat metabolisme
protein. Selain itu peningkatan nilai feritin dalam darah terjadi akibat adanya
penumpukan zat besi yang berlebihan dan mengakibatkan toksik dalam darah
akibat gangguan metabolisme dihati, yang seharusnya feritin berfungsi dalam
menyimpan zat besi dalam bentuk terlarut dan nontoksik, karena feritin yang
tinggi tanda penyimpanan zat besi yang berlebihan dalam satu organ seperti pada
hatu, limpa dan jantung. Apabila dalam satu organ maka dapat merusak organ
tersebut secara permanen. (Ignatius & Workman, 2007).
Universitas Indonesia
Perawat dan tim kesehatan harus mampu menyesuaikan kondisi pasien dengan
program diet yang telah ditetapkan. Berbagai alternatif jenis diet perlu diberikan
secara jelas dan mudah agar pasien dapat mengerti serta tidak kesulitan dalam
menerapkannya. Faktor budaya seringkali menjadi tantangan tersediri bagi tim
kesehatan dalam memodifikasi pola makan pasien dan keluarganya (Biswas,
2006).
Intervensi selanjutnya pada Tn. W adalah mengajarkan masalah diet dan rencana
makanan pada pasien dan keluarga. Pemberian edukasi ini menghindari terjadinya
ketidakpatuhan terhadap diet seperti membawa makanan dari luar RS yang tidak
dihitung kalorinya. Banyak pasien yang dirawat tidak mempunyai selera terhadap
hidangan yang disajikan RS, hal ini akan membuat pasien dan keluarga mencari
alternatif lain agar asupan makanan tetap terpenuhi. Jika hal ini dibiarkan akan
mengakibatkan tidak adequatnya pengobatan yang diberikan. Menurut American
Association of Diabetes Educator (2009) Pemberian informasi atau edukasi pada
pasien DM dan keluarga terkait diet yang harus dijalani diharapkan agar pasien
dan keluarga mengetahui pentingnya diet sebagai salah satu terapi untuk
mengendalikan kadar gluokosa darah. Untuk mencapai keberhasilan perubahan
Universitas Indonesia
Selama dirawat KGDH pasien berfluktuatif. Hal ini dipengaruhi oleh asupan
nutrisi yang tidak adekuat dan stress akibat kondisi penyakit dan infeksi pada kaki
kanan pasien. Faktor stress dipicu oleh kondisi penyakit kronis yang dialami. Pada
kondisi stress terjadi aktivasi system syaraf simpatis dan corticotropin releasing
hormone (CRH) yang menyebabkan pelepasan katekolamin yang dapat
mempengaruhi glikogenolisis dean gluconeogenesis dalam hati yang
Universitas Indonesia
Peran perawat adalah memonitor kadar glukosa darah pasien saat dalam proses
Universitas Indonesia
perawatan. Hasil pemantuan kadar glukosa darah hendaknya sesuai dengan target
pengobatan dan terhindar dari hipoglikemi. Sasaran glukosa darah pasien diabetes
melitus yang dirawat adalah 140-180 mg/dl pada pasien dengan penyakit kritis,
dan pada pasien dengan penyakit non-kritis yaitu < 140 mg/dl untuk glukosa
darah puasa, dan < 180 mg/dl untuk glukosa darah random. Pasien DM yang
dirawat penting untuk dilakukan pemantauan kadar glukosa darah secara
berkala.Untuk pasien yang puasa, pemantauan glukosa darah direkomendasikan
dilakukan setiap 4 sampai 6 jam. Selanjutnya untuk pasien yang mendapatkan
drip insulin IV membutuhkan frekuensi pemantauan glukosa darah lebih sering
yaitu setiap 30 menit sampai 2 jam (Kubacka, 2014). Selain itu pemantauan
glukosa darah juga dapat dilakukan sebelum pemberian terapi insulin. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan saat melakukan pemantauan glukosa darah
berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer adalah cara
melakukan pemeriksaan yang tepat. Selama proses perawatan, pemantauan
glukosa darah pada pasien Tn. W dilakukan berdasarkan kurva gula darah harian
yaitu sebelum makan pagi, sebelum makan siang, dan sebelum makan malam.
Universitas Indonesia
Trigliserida (baik; < 150), (sedang; 150-199), (buruk ; > 200). IMT (baik; 18,5-
<23), (sedang; 23-25), (buruk >25). Tekanan Darah (baik; < 130/80) (sedang; >
130/80), (buruk; > 140/90).
Pemberian terapi insulin, hal-hal yang harus diperhatikan perawat adalah daerah
dan teknik injeksi insulin untuk menghindari komplikasi seperti hipoglikemi dan
lipodistrofi.Tempat injeksi insulin yang dianjurkan yaitu abdomen, bokong, paha,
dan lengan. Hasil studi yang dilakukan oleh Frid, Hirsch, Hicks, Kreugel, Liersch,
Letondeur, Sauvanel, Tubiana-Rufi, & Strauss (2010) menyebutkan bahwa lapisan
jaringan subkutan yang terdapat pada abdomen dan bokong lebih tebal
dibandingkan daerah yang lain, dan indeks massa tubuh. Insulin dengan kerja
cepat atau singkat lebih baik diinjeksikan pada daerah abdomen, karena proses
penyerapannya akan lebih cepat (Diggle, 2015). Rotasi daerah injeksi insulin
dilakukan untuk menghindari terjadinya lipodistrofi. Pada daerah abdomen
injeksi sebaiknya digunakan selama 1 minggu dengan mengikuti arah rotasi.
Tempat injeksi sebaiknya diberi jarak 1 cm dari tempat injeksi sebelumnya untuk
menghindari trauma jaringan berulang pada tempat yang sama (Diggle, 2015).
Penggunaan jarum yang dianjurkan dengan panjang yang bervariasi disesuaikan
dengan kondisi pasien.
Evaluasi 19 April 2015, kadar glukosa darah pasien cederung fluktuatif dan
masih tidak stabil. Data subjektif menunjukkan klien menghabiskan porsi makan
yang diberikan di rumah sakit. Hasil pemeriksaan kurva gula darah harian (19-4-
2015) jam 06.00: 130 mg/dl, jam 11.00: 130 mg/dl, jam 16.00: 125 mg/dl. Setelah
diberikan edukasi cara penyuntikan insulin, pasien mulai belajar melakukan
injeksi insulin secara mandiri yang didampingi oleh residen atau perawat ruangan.
Keluarga pasien dalam hal ini istri Tn.W juga telah belajar cara penyuntikan
insulin dan secara bergantian menyuntikan insulin kepada pasien Tn. W yang
tetap didampingi oleh perawat atau perawat ruangan. Pasien mendapatkan terapi
insulin prandial Novorapid 3x8 unit SC.
Universitas Indonesia
kondisi diabetes yang lama dan tidak terkontrol, dan komplikasi lainnya dari
diabetes. Pada orang yang mengalami neuropati diabetes akan memiliki resiko 1,7
kali untuk terjadinya ulkus diabetic (Bakheit et al, 2012). Dengan adanya
deformitas pada kaki seperti terbatasnya pergerakan ibu jari kaki, bunion, dan
deformitas jari kaki akan memiliki resiko 12,1 kali untuk mengalami ulkus
diabetik. Jika pada orang diabetes yang pernah mengalami amputasi pada
ekstremitas bawah maka resiko untuk terjadinya ulkus pada tungkai sebelahnya
akan meningkat menjadi 36,4 kali (Inzucchi et al, 2005).
Dalam penelitian lain Abbot et al. (2002); Armstrong dan Lavery (1998); Lavery
et al. (1998) dalam Driver, Landowski, dan Madse (2007) mengemukakan bahwa
faktor resiko untuk terjadinya ulkus diabetik adalah kehilangan sensasi protektif
yang disebabkan oleh adanya neuropati perifer, insufisiensi vaskuler, deformitas
dan adanya kalus akibat tekanan yang terus menerus pada telapak kaki, autonomik
neurophaty yang menyebabkan menurunnya kelembaban dan terjadinya
kekeringan pada kaki, terbatasnya pergerakan sendi, penyakit diabetes yang lama,
riwayat merokok, kontrol gula darah yang buruk, obesitas, kerusakan penglihatan,
adanya riwayat luka dan amputasi, gender (insiden lebih sering pada laki-laki),
peningkatan usia, latar belakang budaya, penggunaan alas kaki yang salah. Namun
menurut Reiber GE, (1991) dalam Frykberg, et.al. (2006) bahwa neuropati
merupakan penyebab terjadinya ulkus diabetik sekitar 45% sampai 60%,
sementara hingga 45% memiliki komponen neuropati dan iskemik. Neuropati dan
PAD merupakan dua komplikasi kronik diabetes yang menjadi faktor resiko
utama terjadinya ulkus kaki diabetik. Pasien diabetes melitus beresiko empat kali
lebih besar mengalami PAD dan lima kali beresiko mengalami iskemik tungkai
sehingga meningkatkan resiko terjadinya ulkus kaki diabetik (Andrews, 2011).
Intervensi yang dilakukan pada Tn. W terkait dengan masalah kerusakan integritas
kulit adalah melakukan perawatan luka, melakukan perawatan luka pada Tn. W
berpedoman pada The European Wound Management Association (EWMA)
dimana manajemen perawatan luka ulkus diabetik mengacu pada TIME yaitu 1)
Tissue debridement 2) Inflamation and Infection control 3) Moisture balance
Universitas Indonesia
Tissue debridement, debridemen adalah salah satu tindakan yang harus terus
menerus dilakukan untuk menjaga dasar luka dan memastikan adanya perubahan
pada setiap dressing. Keuntungan dari dilakukannya debridement adalah
menghilangkan jaringan nekrotik/kalus dan slough, mengurangi tekanan,
mengangkat seluruh infeksi dipermukaan jaringan, membantu pengeluaran
drainase luka/pus, membantu efektifitas penggunaan preparat topikal serta
merangsang pertumbuhan jaringan. Menurut Brem, Sheehan dan Boulton (2004).
Debridement harus dilakukan karena luka tidak akan sembuh pada jaringan yang
rapuh, debris atau adanya kolonisasi demikian juga dengan ulkus diabetik. Pada
gangren yang luas debridemen dilakukan diruang operasi karena bedah
debridemen dapat menghapus semua bagian yang buruk dari luka sehingga infeksi
tidak ada lagi dan telah terbukti aman sebagai terapi. Pada Tn. W debridement
dilakukan diruang operasi mengingat kondisi luka yang banyak jaringan
nekrotiknya sebanyak tiga kali tindakan selama pasien dirawat.
Kontrol infeksi, dalam kontrol infeksi pemberian antibiotic yang diberikan pada
Tn. W berdasarkan hasil kultur dimana didapatkan hasil gram negatif batang pada
luka, dan pada Tn. W diberikan terapi antibiotic sistemik yaitu Ciprofloxacin 2 x
400mg dan metronidazole, sebelumnya pasien telah mendapatkan cefriaxon,
cefotaxim. Pada tanggal 28 April pasien mendapatkan antibiotik ceptazidin dan
amikasin, tanggal 6 mei 2015 antibiotik pasien diganti dengan Vancomycin.
Menurut Chadwick, Edmonds, McCardle, Armstrong (2013) dalam pengontrolan
infeksi pada manajemen ulkus diabetik, pada infeksi yang berat direkomendasikan
untuk diberikan terapi antibiotik namun untuk luka yang tidak terinfeksi tidak
diajurkan diberikan terapi antibiotik. Untuk infeksi yang ringan pemberian
antibiotik dimulai dengan antibiotik oral. Pemberian antibiotik sebaiknya
berdasarkan hasil pemeriksaan kultur pada luka.
Perawatan luka untuk menjaga lingkungan luka tetap lembab, karena menjaga
Universitas Indonesia
lingkungan luka menjadi lembab adalah hal yang terpenting dalam perawatan
luka, kondisi ini akan mempercepat proses penyembuhan. Pemilihan dressing
yang tepat sangat penting untuk menjaga kondisi luka tidak terlalu lembab atau
terlalu kering. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan
dressing yaitu penyebab luka, ada tidaknya infeksi, tahapan penyembuhan luka,
biaya, penerimaan pasien. Pada Tn. W dalam menjaga kelembapan luka
digunakan modern dressing adalah absorbent Dressing pada luka plantar dan
lateral karena daya serapnya maksimal, ulkus terdapat banyak eksudat. Untuk
ulkus yang tidak banyak eksudat dan kedalamannya sedang-dalam maka
digunakan Hydrogel. Hidrogel mampu memberikan kelembaban, mengurangi
nyeri, mengurangi inflamasi, hidrogel juga dapat melunakkan dan melepaskan
jaringan nekrotik. Pemilihan dressing ini juga mempertimbangkan karateristik
luka Tn. W dimana jumlah eksudat yang banyak (purulent), warna dasar luka
yang merah tua, slough (+) tendon berwarna merah tua dan terdapatnya jaringan
nekrotik yang minimal. Fungsi utama balutan luka adalah memberikan lingkungan
yang optimal untuk proses penyembuhan luka. karakteristik balutan luka yang
ideal adalah yaitu: memberikan proteksi mekanik dan melawan bacterial infeksi,
mempertahankan kelembaban luka, memungkinkan pertukaran gas dan
penyerapan cairan, tidak melekat (lengket) pada luka, aman dalam penggunaan,
tidak menimbulkan alergi, menyerap eksudat, mehilangkan dan menyerap bau,
steril, mudah digunakan, biaya efektif.
Kontrol luka, penting sekali diperhatikan tepi luka untuk menghilangkan potensi
hambatan fisik pada dasar luka, garis batas pemisah antara jaringan nekrotik atau
gangren dengan jaringan yang sehat mungkin akan menjadi tempat infeksi.
Masalah serupa dapat terlihat ketika jari kaki yang gangren menyentuh jari kaki
yang sehat sebaliknya sharp-debridement yang terlalu progresif dapat
menyebabkan nekrotik pada tepi luka dan akan meluas pada jaringan yang sehat.
Dalam melakukan perawatan luka pada Tn. W yang harus diperhatikan adalah
teknik steril karena penggunaa tehnik steril sangat penting dalam perawatan luka,
untuk pengontrolan infeksi, tehnik yang tidak setril dapat meningkatkan
Universitas Indonesia
kontaminasi bakteri. Ganti balutan minimal 1 x sehari jika terlalu banyak exudates
penggantian balutan disesuaikan dengan kondisi luka, jika exudat terlalu banyak
maka dianjurkan untuk melakukan dressing 2 kali sehari. Selanjutnya posisikan
kaki dengan menghindari tekanan langsung pada luka dengan member bantal pada
bagian tubuh yang tertekan misalnya tumit.
Setiap luka berisiko terjadinya infeksi. Keterampilan perawatan luka yang baik
dapat membantu proses penyembuhan luka dan memperpendek masa sakit
maupun masa perawatan. Penatalaksanaan yang adekuat untuk penyembuhan luka
sebaiknya dilakukan waktu window period (6 minggu pertama). Kontrol luka
meliputi evakuasi jaringan nekrotik dan pus yang adekuat baik dengan
debridement atau nekrotomi, pembalutan luka (basah atau lembab), sampai
amputasi. Serta tidak mengabaikan kontrol-kontrol lainnya. Indikasi rawat inap
pada pasien dengan ulkus diabetik jika luka mencapai lapisan subkutan dan
disertai gejala systemic inflammatory respons syndrome (SIRS) (PERKENI,
2009).
Universitas Indonesia
4.1.8 Analisis Penerapan Model Self Care Orem pada 27 kasus kelolaan
Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai 27 kasus kelolaan dengan
menggunakan Model Self Care Orem. Selama praktikan melakukan praktek
residensi kasus terbsesar yang dikelola adalah DM tipe 2, dan untuk kasus
endokrin yang lain seperti kasus tiroid yang ditemukan kasus ini pada praktek
residensi di RSPAD Gatot Subroto di Poliklinik radionuklir, namun sifatnya
hanya observasi terhadap tindakan ablasi dan Ct Scan tiroid. Pada kasus kelolaan
ditemukan bahwa pasien dengan DM tipe 2 telah mengalami berbagai komplikasi
diantaranya komplikasi akut yaitu: ketoasidosis (KAD), dan hipoglikemi
sedangkan komplikasi kronik yaitu chronic heart failure (CHF), chronic kidney
disease (CKD) dan ulkus diabetik. Resume 27 kasus kelolaan dapat dilihat pada
lampiran 2. Dalam mengelola 27 kasus kelolaan ada beberapa fenomena masalah
keperawatan yang ditemukan dalam mengelola pasien rawat inap yaitu
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, kerusakan integritas
kulit, ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan dan ketidakpatuhan terhadap
manajemen regimen terapeutik. Masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi
terjadi dikarenakan rata-rata pasien masuk yang dirawat mengalami komplikasi
ketoasidosis diabetik (KAD) yang menimbulkan gejala, mual, muntah, tidak ada
nafsu makan dan dimungkinkan juga terjadinya komplikasi neuropati autonomic
pada sistem gastrointestinal, selain itu komplikasi nefropati diabetik yang
menyebabkan gagal ginjal kronik pada sejumlah pasien kelolaan juga
menimbulkan rasa mual dan muntah karena efek uremia. Pasien gagal ginjal
kronik sering merasa tidak enak dimulut, dikarenakan kurangnya higiene dan
pembentukan amoniak dari saliva yang mengandung urea (Smeltzer & Bare,
2008).
Masalah kerusakan integritas kulit hampir terjadi pada sebagian besar pasien
DMT2 yang dirawat di Gedung A Lantai 7 RSCM demikian pula pasien yang
masuk ke instalasi gawat darurat perburukan kondisi hiperglikemi disebabkan
Universitas Indonesia
oleh adalanya infeksi akibat ulkus diabetik. Selain itu ada beberapa pasien
mengalami ulkus berulang dan pernah mengalami amputasi. Fenomena ini terjadi
akibat pasien tidak menyadari bahwa luka yang awal mulanya kecil dan dianggap
biasa dapat dengan cepat berkembang menjadi luka yang besar dan mengalami
infeksi. Rata-rata pasien tidak segera mendatangi pelayanan kesehatan untuk
memperoleh perawatan luka dan baru berobat ketika ulkus mengalami
perburukan. Rendahnya pengetahuan pasien tentang perawatan kaki tidak terlepas
dari sedikitnya sumber informasi yang dapat mereka akses. Penelitian yang
dilakukan oleh Desalu, Salawu, Jimoh, Odekoya (2011) tentang pengetahuan
pasien DM mengenai perawatan kaki di Nigeria didapatkan data bahwa proporsi
pasien yang melakukan perawatan kaki dengan baik hanya sebanyak 10,2%
sedangkan hampir separuh responden (49,9%) tidak melakukan perawatan kaki
dengan baik. Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa pengetahuan responden
terhadap perawatan kaki sangat buruk dimana sebanyak 78,4% responden tidak
mengetahui tentang perawatan kaki dan 33% responden menyatakan
ketidaktahuan mereka tentang perawatan kaki sehingga menjadi hambatan bagi
pasien DMT2 untuk melakukan perawatan kaki. Kondisi ini seharusnya menjadi
perhatian tenaga pelayanan kesehatan termasuk perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan. Meningkatnya pengetahuan pasien dalam perawatan kaki
mereka sehingga kejadian ulkus diabetik dapat dicegah dan ulkus berulang tidak
terjadi.
Penelitian senada yang dilakukan Parera, De Silva, dan Parera (2013) tentang
pengetahuan pasien DM di Srilanka didapatkan data bahwa rata-rata pasien
memiliki pengetahuan yang baik tentang DM (70%), namun demikian hamper
separuh pasien (44%) meyakini bahwa DM merupakan penyakit yang bisa diobati.
Selain itu hampir 90% memilki pengetahuan yang buruk tentang gejala hipogliemi
dan hiperglikemi, serta 40% responden memilki pengetahuan yang tidak baik
tentang kisaran gula darah puasa normal, gula darah harus dikontrol secara
berkala, olahraga teratur dapat mengontrol gula darah, diet penting dilakukan
selain minum obat dalam mengelola diabetes. Hanya 68% partisipan yang
mengetahui bahwa luka pada kaki harus dikontrol secara berkala dan hanya 50%
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
saran dari petugas kesehatan. Konsekuensi dari keputusan dan tindakan yang
dibuat oleh pasien berdampak langsung kepada pasien, mereka memiliki hak dan
tanggungjawab untuk menangani diabetes dengan cara yang paling sesuai dengan
mereka.
Haas et al. (2012), standar untuk manajemen edukasi dan dukungan diabetes
terdiri atas struktur internal, input eksternal, akses, kordinasi program, staf
instruksional, kurikulum, individualisasi, dukungan berkelanjutan, progress
pasien, dan peningkatan mutu. Peran perawat diabetes dalam edukasi diabetes
adalah pencegahan kaki dibetes, perawatan kaki dan mencegah cedera kaki (Aalaa
et al. 2012,). Dalam dimensi perawatan, perawat bertanggungjawab untuk deteksi
dini terhadap perubahan pada kulit dan neuropati, perawatan kaki, penggantian
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
tekanan darah. Darah juga dialirkan keluar dari organ abdomen. Tujuan dari reaksi
tersebut untuk memberikan perfusi yang lebih baik pada organ vital (otak,
jantung, otot skelet).
Selain reakasi stress pada jantung juga mempengaruhi kadar glikemik pada tubuh
yaitu terjadinya peningkatan glukosa darah untuk menyiapkan energi siap pakai
yang lebih banyak. Pupil akan berdilatasi, dan meningkatnya aktivitas mental, rasa
kesiagaan akan meningkat. Konstriksi pembuluh darah pada kulit akan membatasi
pendarahan apabila terjadi trauma. Secara subjektif kita akan merasa kaki dingin,
kulit tangan lembab, menggigil, berdebar, kejang pada perut, bahu menegang,
pernafasan dangkal dan cepat.
Apabila terjadi stress pada pasien diabetes, seperti akibat infeksi, akan
membutuhkan insulin lebih banyak dari biasanya. Pasien mengalami stress (post
Universitas Indonesia
Aksi katekolamin (epineprin dan norepineprin) dan kortisol reaksi paling umum
pada saat terjadinya stress. Hormon yang lain dikeluarkan adalah anti diuretic
hormone (ADH) dari pituitary posterior dan aldosteron pada korteks adrenal.
ADH dan Aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air. Endorphin juga
diproduksi pada saat stress, merupakan opiate endogen juga meningkat dalam
keadaan stress dan meningkatkan ambang untuk menahan nyeri dan
mempengaruhi suasana hati.
Relaksasi adalah kondisi bebas secara relatif dari kecemasan dan ketegangan otot
skeletal yang dimanifestasikan dengan ketenangan, kedamaian dan perasaan
ringan. Pada saat tubuh dan pikiran rileks, secara otomatis ketegangan yang
seringkali membuat otot-otot mengencang akan diabaikan (Zalaquet & mcCraw,
2000; Conrad & Roth, 2007). Salah satu tehnik relaksasi adalah Progressive
Muscle Relaxation (PMR)
Universitas Indonesia
tegang. Fritz, 2005 bahwa beberapa hal yang menjadi kontra indikasi latihan PMR
antara lain adalah cidera akut atau ketidaknyamanan muskuloskeletal, dan
penyakit jantung berat/ akut. Untuk hasil maksimal dianjurkan untuk melakukan
PMR dua kali sehari. Latihan bisa dilakukan pagi dan sore hari, dilakukan selama
25-30 menit. Latihan bisa dilakukan pagi dan sore hari, dilakukan 2 jam setelah
makan mencegah rasa mengantuk setelah makan (Charleswarth & Nathan, 1996)
Hasil penerapan EBNP diatas dapat disimpulkan bahwa efek dari terapi PMR dal
latihan pernafasan dapat menurunkan kadar glukosa darah secara konstan
dibanding dengan kelompok kontrol dengan hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah yang fluktuatif pada akhir program. Dari data juga dapat dilihat bahwa
penurunan kadar glukosa darah terdapat pada hari Ke 10.
Hasil penerapan EBN ini sesuai dengan penelitian oleh Koloverou et al (2014)
dengan PMR dapat menurunkan kadar HbA1C pada pasien DMT2 yang
berkunjung dirawat jalan, serta menurnkan hasil pemeriksaan kortisol setelah 12
minggu intervensi yang dilakukan terapi PMR dan latihan pernafasan dua kali
sehari. Penelitian senada juga disampaikan oleh Ghazavi dan Abdeazdan (2008)
Universitas Indonesia
dengan hasil bahwa massage dan terapi PMR dapat menurunkan HbA1C pada
anak dengan DMT1 yang berkunjung di poliklinik rawat jalan.
Universitas Indonesia
Salah satu peran dan fungsi perawat dalam melakukan intervensi keperawatan
pada individu dan masyarakat adalah sebagai edukator. Dalam konteks perawatan
bagi individu DM memberikan edukasi adalah hal yang sangat penting dan
menjadi salah satu pilar berhasilnya mencapai kendali diabetes yang baik.
Kegiatan inovasi kelompok yang telah dilakukan merupakan salah satu bentuk
upaya perawat untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas individu DM agar
memiliki kemampuan self-care yang baik.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Pendekatan Model Self Care Orem pada pasien dengan Ulkus Diabetes sangat
memungkinkan untuk diterapkan dalam pemberian asuhan keperawatan, dimana
pasien dengan ulkus diabetes akan distimulasi untuk berpartisipasi aktif dalam
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya, mengenali kebutuhannya dalam
mencapai perawatan diri yang optimal. Dengan Model Self Care Orem pasien ulkus
diabetes dapat untuk mengenali dan mengatasi kondisi untuk memperpendek hari
rawat dan asuhan yang diberikan efekif.
5.1.2 Penerapan Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan latihan pernafasan dalam
praktik berbasis bukti cukup bermanfaat bagi pasein DMT2, yang digunakan untuk
menurunkan skala stress pada DMT2 dan glukosa darah.
5.1.3 Inovasi tentang Self Health Assesment dan pemberian booklet dapat
meningkatkan kepuasan pasien dalam meningkatkan pengetahuan dan perawatan
dirinya sebesar 87,5% (14 orang), dan kurang puas sebanyak 12,5% (2 orang)
kemungkinan disebabkan oleh pasien mengalami fungsi penglihatan sehingga
bantuan orang lain untuk membaca dan mengisi angket.
5.2 Saran
5.2.1 Pelayanan Keperawatan
Penerapan asuhan keperawatan dengan pendekatan Model Self Care Orem pada
pasien dengan lkus diabetes sangat bermanfaat dan memudahkan perawat dalam
memberikan intervensi keperawatan secara mandiri, akan tetapi dibutuhkan
kemampuan komunikasi terapeutik yang lebih baik untuk menstimulasi partisipasi
aktif pasien dan keluarga.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Ackley, J.B., Ladwig, B.G., Swan, B.A., & Tucker, S.J. (2006). Evidence Based
Nursing Guidline Medical Surgical Intervention. St Louis : Mosby Elsevier.
Aguilar, F., Teran, J.M., De La Pena, J.E. (2011). “The Pathogenesis of the Diabetic
Foot Ulcer: Prevention and Management” Global Perspective on Diabetic Foot
Ulcerations: 156-182
Alligood, M.R., & Tomey, A.M. (2014). Nursing Theory and Their Works 8rdedition.
Louis : Mosby Elsevier.
Ankrom, S. (2008). Progressive Muscle Relaxation can help you reduce anxiety and
prevent panic : What is progressive muscle relaxation?
http://panicdisorder.about.com/od/livingwithpd/a/PMR.htm
Ayele, E.K., Tesfa, B., Abebe, L., Tilahun, T., Girma. (2012). Self care behavior
among patients with diabetes in Harari. Eastren Ethiophia; the health belief
model perspective. Plos One 7 (4).
http://www.plosone.org/info%Adoi%F10,1371%2
Baier, L.J., & Hanson, R.L., (2004). Genetic Studies of the Etiology Type 2 Diabetes
in Pima Indians. Diabetes; 53 (5): 1181-6
Black, J.M., & Hawks, J.H., (2009). Medical Surgical Nursing: Clinical Management
for Positive Outcomes (8𝑡ℎ .ed.). Vol.1. St. Louis: Elsevier.
Universitas Indonesia
Chin, Y. F., & Huang, T. T. (2013). Development and Validation of a Diabetes Foot
Self Care Behavior Scale. The Journal of Nursing Research, 21 (1), 19-25.
Retrieved from http://www3.med.unipmn.it/papers/2013/LWW_Journals/2013-
04-15_lww/Development_and_Validation_of_a_Diabetes_foot.5.pdf
Desalu., Salawu., Jimoh., & Odekoya., (2011). Diabetic foot care: Self reported
knowledge and practice among patients attending three tertiary hospital in
Nigeria. Ghana medical journal, 45(2). Retrieved from
http;//www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3158533/pdf/GMJ4502-
0060.pdf
Dunning, T., (2009). Care of people of diabetes: a manual of nursing practice (3th
ed.). United Kingdom: Wiley-Blackwell.
Driver, V.R., Landowski, M.A., Madsen, J.L. (2007). Neuropathic Wound : The
Diabetic Wound, dalam Bryant, R.A. Nix, D.P. (3th Eds), Acute & Chronic
ounds : Current Management Concepts. Philadelpia: Mosby Elsevier.
Effendi, A.F & Warpadji, S., (2012). Aspek biomolekuler diabetes melitus tipe 2.
Jakarta: Badan penerbit FK-UI
Universitas Indonesia
Fain, J.A., (2009). Management of client with diabetes mellitus dalam Black, J.M &
Hawk, J.H. Medical surgical nursing: clinical management for positive
outcome (8thed.). Singapore: Sauders Elsevier.
Freitas, H.S., (2005). Acute and Short-term Insulin Induced Molecular Adaptations of
GLUT2 Gene Expression in the Renal Cortex of Diabetic Rats. Mol Cell
Endocrinol.
Fryberg. (2002). Basic & Clinical Endocrinology 5th edition, Prentice hall
International Inc, New Jersey
Frykberg, R. G., Zgonis, T., Armstrong, D.G., Driver, V.R., Giurini, J.M., Kravitz,
S.R, et al. (2006). "Diabetic Foot Disorders: A Clinical Practice Guideline
(2006 Revision)." The Journal of Foot and Ankle Surgery 45(5, Supplement):
S1-S66.
Funnell, M.M., & Anderson, R.M., (2004). From DSME to DSMS; Developing
Empowerment-Based Diabetes Self Management Support. Diabetes Spectrum:
20 (4). 221-226
Ghazavi, Z,. Talakoob, S,. Abdeazdan, Z,.(2008). Effects of massage and progressive
muscle relaxion on gycosylated hemoglobin in diabetic children. Shiraz E-
Medical Journal, Vol. 9, No. 1, January 2008
Harris, M., (2009) The Effects Of Slow-Stroke Back Massage On The Sleep Of
Persons With Dementia In The Nursing Home: A Pilot Study
http://gradworks.umi.com/3357546.pdf B.S.N., Excelsior College, M.S.N.,
Concordia University of Wisconsin.
Ignatavicius, D.D., & Workman, M.L., (2006). Medical Surgical Nursing; critical
thinking for collaborative care (5thed.). St Louis Missouri: Saunders Elsevier
Inzucchi, S., Porte, Sherwin, Baron (2005). The Diabetes Mellitus Manual: a primary
care companion to Ellenberg and Rifkin’s (6th eds). Singapore.
Universitas Indonesia
Liu., Tai., Hung., Hsieh., & Wang. (2010). Relationships Between Emotional
Distress, Empowerment Perception and Self care Behavior and Quality of Life
Pasien in Patients with Type 2 Diabetes. Hu Li Za Zi. 57(2). 49-60.
Lovibond, S.H., &Lovibond, P.F., (1995). Manual for the Depression Anxiety Stress
Scale (2nd Ed). Sydney; Psychology Foundation.
Majgi, S. M., Soudarssanane, B. M., Roy, G., & Das, A. K. (2012). Risk factor of
diabetes Mellitus in rural puducherry. Online J Health Allied Scs 11(1):4.
Diunduh dari http://cogprints.org/8867/1/2014-1-4.pdf.
Universitas Indonesia
Meeking, Holland, & Land. (2005). Diabetes and foot disease. In K. M. Shaw & M.
H. Cummings (Eds). Diabetes chronic complications (3rd Ed). Retrieved from
http://libgen.org
Norman, P. E., Davis,W. A., Bruce. D. G., (2006). Peripheral arterial disease and risk
of cardiac death in type 2 diabetes the fremantle diabetes study. Diabetes care,
293 (3) from http;//care.diabetesjournals.org/contents/29/3/575
Orem, D.E., (2001). Nursing Concepts of Practice (6th Ed). Toronto, Mosby
Company
Romito, K., & Winstock, L.S. (2010). Stress management: Breathing exercise for
relaxation
Saleh, f., Mumu, S.J., Ara, F., Begum, H.A., & Ali, L. (2012). Knowledge and Self
Care practice regarding diabetes among newly dignosed type 2 diabetics in
bangladesh: a cross-sectional study. BMC public health.
http://www.biomedcentral.com/1471-2458/12/1112.
Universitas Indonesia
Senter. R., Groth, S., et al (2002). The Mutation Spectrum of the Facilitative Glucose
Transporer Gene SLCA2 (GLUT2) in Patients With Fanconi-Bickel Syndrome.
Hum Genet
Shai, I., Jiang, R., Manson, J. E., Stampfer, M. J. (2006). Ethnicity, Obesity, and Risk
of type 2 Diabetes in Woman A 20-year Follow up study. Diabetes care.
http://care.diabetesjournals.org/content/29/7/1585.
Shearman, C & Pal, N. (2013). Foot complications in patients with diabetes. Surgery
(Oxford), 31(5). Diunduh dari http://ac.els-cdn.com/S0263931913000781/1-
S2.0-S0263931913000781-main.
Shera, A. S., Jawad, F., Magsood, A., Jamal, S., Azfar, M. (2004). Prevalence of
cronich complications and associated factors in type 2 diabetes. JPMA. The
Journal Of the Pakistan Medical Association.
http://www.jpma.org.pk/pdfDownload/337.pdf
Somroo, J., Hashmi, A., Iqbal, Z & Ghori, A. (2011). Diabetic Foot Care-A Public
Health Problem. Journal of medicine, 12(2), 109-
114.doi:10.3329/jom.v12i2.7604
Universitas Indonesia
Uldry., (2002). GLUT2 is a High Affinity Glucosamine Transporer. FEBS let; 254 (1-
3): 199-203
Valliyot, B., Sreedharan, J., Muttappallymyalil, J., & Valiyot, S. B. (2013). Risk
factor of type 2 diabetes melitus in the rural population of North kerala, India:
a case control study. Diabetologia Croatica, 42(1), 33-40. Diunduh dari
http://www.idb.hr/diabetologia/13no1-3.pdf.
Vinik,A.I., Freeman, R., Erbas, T., (2003). Diabetic Autonomic Neuropathy, Semin
Neurol. 2003;23(4)
Williams, L.S., & Hopper, P.D. (2007). Understanding Medical Surgical Nursing.
(3th.ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company
Yildrim, Y. K., dan Fadiloglu. (2006). The effect of progressive muscle relaxation
training on anxiety levels and quality of life in dialysis patients. EDNA/ERCA
Journal.
Universitas Indonesia
Identitas Pasien
Nama :
Alamat :
No RM :
Diagnosa Medis :
Tanggal Masuk RS :
Tanggal Pengkajian :
- Aktivitas :
Sistem Keluarga :
- Tinggal bersama:
Sosial Budaya:
- Pendidikan:
- Suku :
- Riwayat Penyakit Keluarga: - Agama:
- Pekerjaan:
Cairan
- Keluhan - Pemeriksaan Laboratorium
Perdarahan Dehidrasi Edema Mual Tanggal pemeriksaan
Muntah
- Turgor kulit Baik Menurun
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Referensi
Hematologi
- Edema +1 +2 +3 +4 +5 Ht % 33-45
Trombosit ribu/ul 150-440
- Intake-Output Eritrosit Juta/ul 4,4-5,9
Intake Output
Peroral Urin VER fl 80-100
ml/…jam ml/…jam HER pg 26-34
Parenteral IWL KHR g/ul 32-36
ml/…jam ml/…jam
RDW % 11,5-14,5
- Terapi Medis
Nutrisi
- Keluhan: - Pemeriksaan Laboratorium
Mual Muntah Tidak nafsu makan Tanggal pemeriksaan
Lain-lain
- BB:…. Kg TB:…..cm Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Referensi
- Kuantitas diet:…… x/hari GDS
Kimia Klinik
mg/dl 70-140
- Kualitas diet:……… Albumin g/dl 3,4-4,8
- Bising usus:……..x/menit
- Alat bantu:………. - Pemeriksaan Diagnostik:
- Kemampuan pemenuhan kebutuhan Jenis pemeriksaan:
Mandiri Partial Tergantung Tanggal pemeriksaan:
Hasil pemeriksaan:
- Terapi medis:
Eliminasi
Fekal/ BAB
- Keluhan: - Pemeriksaan Laboratorium
Inkontinensia Konstipasi Diare Tanggal pemeriksaan
Nyeri
Lain-lain:... Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Referensi
Fungsi Ginjal
- Bab terakhir:…….. Ureum mg/dl 20-40
- Frekuensi:……/…..hari Kreatinin mg/dl 0,6-1,5
- Warna:……. Bau:……… Konsistensi:……..
- Alat bantu:…….. - Pemeriksaan Diagnostik:
- Kemampuan pemenuhan kebutuhan eliminasi Jenis pemeriksaan:
fekal: Tanggal pemeriksaan:
- Alat bantu:……..
- Kemampuan pemenuhan kebutuhan:
Mandiri Partial Tergantung
- Suhu:…..°C terakhir Ya 25
- Nyeri pada area…… 2 Mempunyai diagnose Tidak 0
sekunder Ya 15
P: nyeri bertambah saat………………….., 3 Kemampuan ambulasi:
nyeri berkurang saat………… Bedrest/dibantu perawat Ya 0
Menggunakan Ya 15
Q: nyeri seperti…………………….., kruk/walker/tongkat
intensitas nyeri………………. Menggunakan furnitur Ya 20
4 Terpasang kateter IV Tidak 0
R: nyeri pada area………………….., nyeri Ya 20
tidak menyebar menyebar pada 5 Gaya berjalan/ berpindah
Normal/bedrest/immobilisasi Ya 0
area…………….. Lemah Ya 10
S: nyeri skala: 1 2 3 4 5 6 7 8 6
Keterbatasan
Status mental
Ya 20
9 10 Orientasi baik Ya 0
T: nyeri pada waktu: pagi siang sore Disorientasi
Skor Total
Ya 15
Gambaran 25 Kasus Resume Dengan Menggunakan Pendekatan Model Self Care Orem
No Identitas pasien Basic Conditioning Factor Therapeutic Self Care Nursing System
Demand
1 Ny. E (45 th), Alasan masuk RS badan Hasil pemeriksaan fisik. Masalah keperawatan yang muncul:
Agama: Islam, terasa sangat lemas, mual dengan data: Ketidakseimbangan nutrisi kurang
Status: menikah, dan tidak ada nafsu makan, TD: 130/70mmHg, suhu dari kebutuhan tubuh.
Pendidikan: SMK, pasien tidak ada nafsu tubuh 38,8°C. Kerusakan integritas kulit.
Pekerjaan: jualan makan, setiap makan pasien Terdapat pada luka dikaki Gangguan istirahat dan tidur
Jaminan BPJS merasa mual, makanan yang tidak sembuh-sembuh, Masalah keperawatan intoleransi
Dx Medis: DMT2 dihidang kan hanya habis 2- kondisi ulkus terdapat banyak aktifitas
dengan ulkus 3 sendok makan, selama slought, warna luka kuning
diabetes dan anemia dirumah pasien hanya dan berongga, nilai ABI Intervensi keperawatan yang
makan kentang karena kanan/kiri 0,85/0,71 dilakukan manajemen nutrisi,
takut gula darah naik. TB: peningkatan kualitas tidur,
150 BB: 37, IMT: 17 Pemeriksaan laboratorium: perawatan luka dan kaki, edukasi
riwayat DMT2 sejak 10 HbA1C: 5,4 hasil penatalaksanaan DM, peningkatan
tahun, riwayat keluarga laboratorium Hb; 7,48 kemampuan perawatan mandiri
dari Ibu dan paman, obat gram/dl, Albumin 2,7, ureum
DM yang digunakan 32 kreatinin 1,2; pemeriksaan Kategori bantuan: partially
glimepiride, glikosid dan pus ulkus hasil gram negative compensatory nursing system
metformin, rutin minum batang ditemukan. Ketergantungan sebagian terhadap
obat dan jarang kontrol, orang lain, perlu bantuan dalam
kesulitan dalam tidur, tidur memenuhi kebutuhan sehari-hari
< 4 jam/hari, sering BAB, BAK, personal hygiene karna
terbangun saat tidur pada kelemahan fisik dan anemia serta
adanya ulkus terutama bau vaskulopati, ABI kanan/kiri Kategori bantuan: partially
yang ditimbulkan 0,91/0,89 compensatory nursing system
Ketergantungan terhadap orang
pemeriksaan laboratorium: lain, hal ini dikarenakan adanya
HbAIC 12,9, GDS masuk RS ulkus membuat aktifitas pasien
435 basil kultur pus terbatas dan segala aktifitas dibantu
ditemukan klebsella oleh perawat dan keluarga
pneumonia, Hb 6,8 gram/dl,
albumin 2,30 ureum 45 Evaluasi:
kreatinin 1,0 Setelah dilakukan intervensi
keperawatan selama 6 hari, pasien
sudah melihatkan perbaikan dalam
hal menerima kondisi ulkus dan
pasien bersedia dilakukan amputasi
pada jari kaki digiti 3,4 dan 5.
Pasien mulai memahami secara
bertahap manajemen diabetes.
Kondisi luka belum menunjukkan
perbaikan yang berarti
3 Ny Y (58 th) Alasan masuk RS mual, Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, muntah, demam, tidak mau ditemukan:
Status: menikah, makan, terdapat ulkus pada Pemeriksaan Laboratorium Ketidakseimbangan nutrisi kurang
Pekerjaan: IRT pedis sinistra, ulkus Hb AIC 15,0, GDS masuk dari kebutuhan tubuh
Pembayaran bernanah , riwayat DM > 447, Hb 7,9 leuko 9.300 Gangguan integritas kulit
Umum, 10 th, riwayat konsumsi albumin 2,70, ureum 26 Resiko infeksi
Pendidikan: SD obat DM glibenklamid 2 x kreatinin 1,0 menolak Kurangnya pengetahuan tentang
Status: Janda sebelum masuk RS, sesak Hb A1C 7,6 profil lipid Intoleransi aktifitas
dengan 1 orang saat beraktifitas edema trigleserida 75 kolesterol 143 kurang pengetahuan tentang
anak, Pekerjaan: anasarka, batuk berdahak, HDL 39 LDL 89, enzim perawatan kaki
IRT, Jaminan : demam, mual, muntah, jntung CK 140 CK MB 25 resiko kerusakan integritas kulit
BPJS, Pendidikan: tidak ada nafsu makan, LDH 550 , perawatan hari ke resiko ketidakefektifan
SMA Dx intake kurang, riwayat DM 15 setelah perawatan di pemeliharaan kesehatan dan
Medis: DM tipe 2, 10 th, riwayat ulkus boarding UGD ketidakpatuhan
CHF, CAD, post diabetes, terdapat halux
acute lung edema, vagus (bunion), claw toes, Kategori bantuan: partially
anemia riwayat amputasi ibu jari compensatory nursing system
kiri, riwayat obesitas, BAB dan BAK ditempat tidur,
riwayat keluarga DM, aktifitas masih dibantu oleh
jarang kontrol, riwayat perawat dan keluarga
dirawat berulang
Intervensi yang dilakukan:
pembelajaran tentang prosese
penyakit dan prosedur pengoban,
peningkatan aktifitas secara
bertahap, discharge planning:
penatalaksanaan DM, peningkatan
pengetahuan perawatan CHF
dirumah.
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
selama 7 hari pasien menunjukkan
perbaikan, edema berkurang,
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
selama 3 hari terdapat peningkatan
pengetahuan tentang perawatan
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
keperawatan selama 12 hari
terdapat perbaikan yang berarti
dari kondisi luka dasar luka
berwarna merah, slouhgt
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi:
pasien sudah mulai mau makan dan
konsumsi protein dengan makan
putih telur 6 butir per/hari dan
ekstrak ikan gabus, luka
menunjukkan adanya perbaikan,
dilakukan skin graft, nyeri masih
berat terutama jika dilakukan
dressing dengan skala 6-7, pasien
bisa melakukan tehnik relaksasi.
Peningkatan pengetahuan tentang
pilar DM secara bertahap
8 Tn. S (50 th) Alasan masuk RS badan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: Islam, terasa lemas, gemetar lalu TD 120 / 70 mmHg, Nadi 90 ditemukan:
Pendidikan: SMP, pingsan, ulkus diabetic x/menit, suhu 36,7°C, RR 21 Kerusakan integritas jaringan
Pekerjaan: jualan pedis sinistra, kulit sekitar x/menit Resiko ketidakstabilan glukosa
Status menikah, ulkus teraba hangat, ulkus diabetic pedis sinistra, darah
Jaminan: BPJS bengkak pada kaki yang kulit sekitar ulkus teraba Nyeri akut
Dx Medis terdapat ulkus, infeksi hangat, bengkak pada kaki Hambatan mobilitas fisik
Hipoglikemi, Ulkus fasia, nyeri berat jika yang terdapat ulkus, infeksi
diabetic Pedis dilakukan dressing skala 8- fasia, nyeri berat jika Intervensi keperawatan :
sinistra grade 3 9, dekubitus pada dilakukan dressing skala 8-9, manajemen nutrisi, bed rest care,
punggung dan bokong, luka dekubitus pada punggung dan self assistance, positioning,
lecet sekitar vagina, bokong, luka lecet sekitar perawatan luka, manajemen nyeri
kesulitan melakukan vagina, segala aktifitas dengan imageri terpimpin dan
KAD + ulkus dengan tinggi badan 165 fibrotic, kulit kaki kering dan self assistance, positioning,
diabetes cm, BB terakhir menurut mengkilat, Hasil rontgen kaki perawatan luka, manajemen nyeri
pasien 60 kg, Hb terakhir menunjukkan basil : dengan imageri terpimpin dan
11, 0 gr/dl., tidak bisa osteomilitis falang proximal farmakologi, edukasi proses
tidur, luka tidak sembuh- digiti I, II, dan IV pedis penyakit, edukasi prosedur
sembuh dan menunjukkan sinistra. Osteomilitis falangs pengobatan, edukasi manajemen
perburukan. Riwayat DM distal digiti I, falang media DM
17 Th, riwayat obesitas, II, IV pedis. osteomilitis
riwayat keluarga DM, distal metatarsal digiti pedis Tingkat ketergantungan: the
riwayat penggunaan sinistra. Lesi amputasi digiti partially compensatory nursing
insulin, 3 bulan terakhir V pedis. Pasien mengatakan system
menghentikan pengobatan badan masih terasa lemas,
dan berobat alternative. semua kebutuhan sehari-hari Evaluasi:
dan kebutuhan dasar dibantu Setelah dilakukan intervensi
sepenuhnya oleh keluarga selama 14 hari luka sudah
dan perawat menunjukkan perbaikan dasar luka
berwarna merah, granulasi
Pemeriksaan laboratorium: jaringan (+), epitelisasi (+), segala
HbA I C > 12,8 Hb 8,8 kebutuhan sehari-hari terpenuhi,
leukosit 13.000, albumin 2,60 pasien mulai mobilisasi disekitar
ureum 10 kreatinin 0,3 tempat tidur dengan bantuan,
pasien sudah mulai menerima
kondisinya, pasien memperlihatkan
koping yang adaptif.
10 Tn. ST (51 th) Alasan masuk RS luka Pemeriksaan fisik: Kerusakan integritas jaringan
agama: kristen, yang tidak sembuh-sembuh RO pedis: osteomelitis pada Resiko ketidakstabilan glukosa
status: menikah, dan semakin lama- semakin digiti 3,4,5 dattos calcaneus darah
pendidikan: Sarjana memburuk, luka dibalut Nyeri akut
pekerjaan guru. elastic verband, kaki Pemeriksaan laboratorium: Hambatan mobilitas fisik
Dx Medis: ulkus bengkak, post debridement HBAIC 12,5 gr%, Hb 10,4
diabetes grade hari ke 2. Riwayat DM 8 gr/dl leukosit 13.800. Intervensi keperawatan :
,DMT2 tahun, riwayat tidak rutin albumin 2,70, ureum/ kreatini manajemen nutrisi, bed rest care,
berobat, sering 23/ 0,8 self assistance, positioning,
menggunakan obat-obat perawatan luka, manajemen nyeri
alternative. Tidak ada dengan SEFT dan farmakologi,
riwayat keluarga dengan edukasi proses penyakit, edukasi
DM. prosedur pengobatan, edukasi
manajemen DM
menebal.
12 Ny A (60 th) Alasan masuk RS karena Pemeriksaan fisik Masalah keperawatan yang
Agama: islam, luka dikaki tidak sembuh TD: 165/90 N:89x/I P: 20x/I ditemukan:
Status: menikah, sembuh sudah tiga bulan, suhu 36,90C Kerusakan integritas kulit
Pekerjaan: IRT, dirumah luka dirawat oleh terdapat luka pada dorsalis Nyeri akut
Pendidikan: SD bidan dan anak pasien, pedis sinistra uluran 2x2cm, Ketidakstabilan glukosa darah
Dx Medis: ulkus namun luka makin meluas dasar luka merah, luka pada Perluasan infeksi
Diabetes Pedis kedaerah plantar dan plantar sinistra ukuran 3x3 Kurang pengetahuan tentang
sinistra Digiti 3 dan membengkak, pasien cm, dasar luka kuning, regimen pengobatan
V, DMT2 memiliki riwayat hipertensi exudat ada, daerah sekitar Hambatan mobilitas fisik
normoweight, namun tidak terkontrol luka tampak pucat, kulit kaki
hipertensi tak pasien tidak mengkonsumsi kering dan mengkilap, kuku Intervensi keperawatan: wound
terkontrol. obat anti hipertensi, terdapat pengerasan pada care, pain management, role
tekanan darah tidak stabil. kuku kaki. nyeri saat ganti enhancement, family support
Pasien didiagnosa DM balutan, skala nyeri 6.
sejak 3 tahun yang lalu Pasien mengatakan merasa Tingkat ketergantungan: partially
namun tidak teratur minum sedih karna dirawat d RS compensatory nursing system
obat. Riwayat keluarga DM karena mengkhawatirkan
(-). Tidak ada riwayat kondisi anaknya yang Evaluasi:
obesitas. sedangi sakit dirumah, pasien Setelah dilakukan intervensi
adalah ibu dengan 3 orang keperawatan selama 9 hari
anak dan suami pasien sudah didapatkan tanda-tanda perbaikan
meninggal. Pasien tampak pada luka, dasar luka pada plantar
murung bila menceritakan merah, terdapat granulasi jaringan
kondisi anaknya yang juga walaupun belum terlihat
lagi sakit. pasien tidak dapat epitelisasi, nyeri berkurang dengan
injuri (AKI) DM 20 tahun yll, tidak yang semakin meluas dari Hambatan mobilitas fisik
terkontrol, tidak minum dorsalis pedis sampai 2/3
obat DM, riwayat keluhan femur, dasar luka pada Intervensi keperawatan: wound
polidipsi, polipagi dan daerah dorsalis pedis kuning, care, pain management, role
polidipsi, riwayat coklat, dan merah dibeberapa enhamcement, family support,
penurunan BB. GDS masuk bagian, exudat >>>, pada counseling
527 gr/dl, daerah fibula (betis) dasar
luka berwarna merah Tingkat ketergantungan: the wholly
sebagian, kuning sebagian, compensatory nursing system
daerah femur: kuning
sebagian dan merah sebagian. Evaluasi:
Hasil kultur: gram batang Setelah dilakukan intervensi
negative, leukosit 24 ribu, selama satu bulan luka sudah mulai
pasien sering demam menunjukkan tanda-tanda
terutama setelah dilakukan perbaikan namun ketika dilakukan
dressing nyeri tak STSG mengalami kegagalan
tertahankan pada luka dibeberapa bagian yaitu pada
terutama saat dilakukan bagian dorsalis pedis terjadi
dressing, skala nyeri 9, rembesan pada daerah 1/3 femur.
pasien berteriak kesakitan Luka jahitan tidak menyatu.
saat dilakukan dressing, Namun ada beberapa daerah
wajah terlihat meringis mengalami perbaikan, gula darah
masih berfluktuasi, hasil
Pemeriksaan laboratorium: laboratorium menunjukkan
HbA1C 10,2%: Hb 7,5 Ht 23, perbaikan kondisi. Namun dalam
leukosit 16 ribu, trombosit hal pembelajaran pasien selalu
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
selama 10 hari didapatkan
perbaikan pada luka, luka
dilakukan debridement di OK,
dasar luka berwarna merah
sebagian dan berwarna kuning.
Perbaikan dalam pengetahuan
tentang manajemen DM.
15 Tn AD (58 th) Pasien masuk RS dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
agama: Islam, keluhan sesak sejak I mggu TD 120/80 mmHg, frekuensi ditemukan:
Status: menikah, sebelum masuk RS, sesak nafas 24x/menit, HR: Gangguan pemenuhan nutrisi
Pekerjaan: Swasta, semakin memberat 92x/mnt, JVP: 5+2cmH2O kurang dari kebutuhan tubuh.
Jaminan: BPJS terutama waktu tidur, ulkus diabetik plantar Kerusakan integritas kulit
Pendidikan: SMA edema pada tungkai bawah, sinistra, ukuran luka Nyeri akut
Dx medis: DM tipe saat dikaji sesak sudah 2x3x2cm, warna luka kuning, Ketidakstabilan glukosa darah
2, ulkus diabetic tidak dirasakan lagi, merah dibeberapa bagian, Risiko perluasan infeksi
pedis sinistra, CHF riwayat DM 10 th yang eksudat: minimal, kulit Kurang pengetahuan tentang
grade IV ec lalu, obat yang diminum sekitar luka pucat. Riwayat regimen pengobatan
cardiomiopati dd metformin 2 x 1, riwayat amputasi jempol dan Hambatan mobilitas fisik
HHD dd Cor amputasi jempol kaki kelingking.
pulmonal, TB paru 2'tahun yang lalu, kemudia Intervensi: Intervensi yang
infeksi skunder, kelingking kaki 6 bulan dilakukan hemodinamis regulation,
Hipertensi yang lalu, 2 minggu Pemeriksaan penunjang: wound care, foot care
terkontrol sebelum masuk RS timbul Hasil lab: HbAIC: 9,4. Profil
luka ditelapak kaki kiri dan lipid Trigliserida: 168, HDL Tingkat ketergantungan: the
dirawat dirumah dengan 64, LDL 77, Hb 10,1, Ht 32, partially compensatory nursing
anaknya. Leukosit: 12,2 Trombosit system
535, ureum 51 kreatinin 1,4
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
selama 3 hari pasien memperlihat
tanda-tanda hemodinamik yang
stabil, kondisi luka dan kontrol
glikemik belum mengalami
perbaikan yang berarti
16 Ny. SB (51Th), Pasien masuk RS dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: Islam, keluhan luka diplantar TD 140/80 mmHg, frekuensi ditemukan:
Status: Menikah, sejak 3 minggu SMRS, nafas 18x/menit, HR: Kerusakan integritas kulit
Pekerjaan: IRT, luka disebabkan karena 92x/mnt, suhu 36,7 0C Nyeri akut
Jaminan: umum kecelakaan motor, riwayat Ketidakstabilan glukosa darah
Dx Medis: ulkus DM 5 tahun yang lalu, Pemeriksaan penunjang: Kurang pengetahuan tentang
diabetes + DMT2, riwayat tidak rutin minum Hasil Lab: GDS 470 gr/dl, regimen pengobatan
anemia obat, riwayat penurunan Hb 9,3 Ht 29, leukosit 12,4 Hambatan mobilitas fisik
BB, riwayat melahirkan ribu, trombosit 342, eritrosit
anak dengan BB > 4 kg, 3,32 juta. Protein total: 5,80 Intervensi: Intervensi yang
riwayat DM dalam albumin 3,20 RO pedis dilakukan hemodinamis regulation,
keluarga tidak ada. dextra tidak terdapat fraktur, wound care, foot care
fasiatiis plantar.
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi 10
hari, luka sudah mulai terlihat
mengalami perbaikan, slough
minimal, warna luka mulai
kemerahan walaupun masih ada
jaringan nekrotik, kecemasan
teratasi dan peningkatan
pengetahuan tentang manajemen
DM
17 Tn. K (48 Th) Pasien masuk dengan Pemeriksaan fisik Masalah keperawatan yang
Agama: islam, keluhan sesak nafas, TD 130/80 mmHg, frekuensi ditemukan:
Status: Menikah, terutama jika tidur nafas 28x/menit, HR: Kelebihan volume cairan
pekerjaan: tukang terlentang, kaki dan tangan 92x/mnt. Gangguan pertukaran gas
jahit, bengkak, perut ascites, luka sesak nafas (+), RR Kerusakan integritas kulit
jaminan: BPJS di lateral dextra, riwayat 28x/menit, irama regular, Nyeri akut
pendidikan: SMA DM 13 tahun yang lalu, suara nafas: ronchi basah, Ketidakstabilan glukosa darah
Dx medis: DMT2 kontrol teratur, minum obat penggunaan otot bantu Kurang pengetahuan tentang
dengan ulkus teratur namun tidak pernafasan, konjungtiva regimen pengobatan
diabetic, CKD mengikuti diet sesuai anemis, edema pada Hambatan mobilitas fisik
stage IV, CAP dd program. Tidak ada nafsu anasarka, kapiler refill > 3
TB paru dengan makan, mual, muntah (-) detik.
Pendidikan: SMP teratur minum obat. eksudat>>>, warna luka regimen pengobatan
Dx medis: ulkus HbA1C: 12%, GDS 489 kuning, kemerahan pada kulit Hambatan mobilitas fisik
diabetic dengan gr/dl, Hb: 9,2 gr%, Ht sekitar luka, terdapat kalus,
osteomilitis 30%, leukosit: 15 ribu, kulit kering dan mengkilap lntervensi yang dilakukan: wound
phalang proximal trombosit 748 ribu, RO Pemeriksaa penunjang; care, foot care, edukasi 5 pilar
digiti 3, KAD Thorax: cord an pulmo HbA1C: 12%, GDS 489 manajemen DM
dalam batas normal RO gr/dl, Hb: 9,2 gr%, Ht 30%,
pedis: gambaran leukosit: 15 ribu, trombosit Tingkat ketergantungan: the wholly
osteomelitis pada phalang 748 ribu, RO Thorax: cord an compensatory nursing system
proximal digiti II pulmo dalam batas normal Evaluasi:
RO pedis: gambaran
osteomelitis pada phalang Setelah dilakukan intervensi
proximal digiti II selama 8 hari, luka mulai
menunjukkan perbaikan, gula
darah terkontrol, peningkatan
pengetahuan tentang manajemen
DM
19 Tn. B (43 th) Alasan masuk RS pasien Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, masuk IGD dengan keluhan TD;130/70 S: 38 0C ditemukan:
Status: menikah, mual, muntah, badan terasa RR:24x/I HR: 98 Kelebihan volume cairan
pekerjaan: 1RT, lemas, terdapat ulkus pada ulkus pada daerah pedis Gangguan pertukaran gas
jaminan: umum daerah pedis dextra, kulit dextra grade 2 , kulit sekitar Kerusakan integritas kulit
pendidikan SMP sekitar luka teraba hangat, luka teraba hangat dan edema Nyeri akut
Dx Medis: KAD + daerah sekitar luka dan berbau Ketidakstabilan glukosa darah
ulkus diabetic + membengkak, edema tidak Kurang pengetahuan tentang
CKD ada, luka berbau, badan Pemeriksaan penunjang: regimen pengobatan
terasa meriang, demam leucosit 17.000 trombosit 510 Hambatan mobilitas fisik
suhu 38°C, riwayat DM 5 ribu
tahun, riwayat obesitas, mual, muntah, edema Intervensi keperawatan:
riwayat menggunakan anasarka, natrium 134, manajemen cairan dan elektrolit,
insulin, riwayat tidak kalium 3,13 dan klorida 80, penatalaksanaan KAD, perawatan
kontrol, 3 bulan terakhir GDS 552. luka dan irigasi luka, pemantauan
tidak menggunakan insulin hemodinamik.
atau obat diabetes sama
sekali karena ketiadaan Tingkat ketergantungan: the wholly
biaya. HbA I C 12,2, compensatory nursing system
albumin 2, GDS masuk
552, natrium 134, kalium Evaluasi:
3,13, klorida 80 Setelah dilakukan tindakan 1 x 24
jam pasien tidak memperlihatkan
tanda-tanda kekurangan volume
cairan hasil eletrolit menunjukkan
perbaikan, suhu tubuh stabil
20 Tn. LB (53 th) Alasan masuk IGD kejang Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: Islam, sehari sebelum masuk RS, Penurunan kesadaran, ditemukan:
Status: menikah, tidak sadarkan diri, diare TD;170/100 S: 38 0C Defisit volume cairan
Pendidikan: SMP, selama 3 hari, riwayat RR:28x/I HR: 112x/i Gangguan pertukaran gas
Pekerjaaan: IRT. hipertensi 10 tahun tidak penggunaan otot bantu Kerusakan integritas kulit
Dx Medis: KAD + terkontrol dan tidak pernafasan, ronchi basah Nyeri akut
DM tipe 2, Akut on mengkonsumsi obat anti kasar, HR: 92x mnt. CTR Ketidakstabilan glukosa darah
CKD, GE akut, hipertensi, baru diketahui 70%. turgor kulit menurun, Kurang pengetahuan tentang
Hipertensi, CAP dd DM dengan gula darah membrane mukosa mulut regimen pengobatan
TB paru infiltrate. 423, ada riwayat luka tidak kering, Hambatan mobilitas fisik
sembuh-sembuh, ada
riwayat obesitas, turgor Pemeriksaan penunjang: Intervensi keperawatan:
kulit menurun, kesadaran Pemeriksaan labor; PH 7,20 manajemen cairan dan elektrolit,
koma, hasil lab: Hb 11,9 PCO2 12,7 HCO3 5,4, BE - penatalaksanaan KAD, perawatan
leukosit 31.200 trombosit: 18,7, nafas cepat dan dangkal luka dan irigasi luka, pemantauan
110.000, ureum kreatinin RR: 30 x/mnt, Na 131, hemodinamik.
233/6,1 analisa gas darah: kalium 3,59, klorida 85,
PH: 7,20, PCO2 12,7, PO2 keton darah 1,30 Tingkat ketergantungan: the wholly
162,3, HCO3 5,4 BE -18,7 compensatory nursing system
elektrolit Na 131, kalium
3,59, Klorida 85, keton Evaluasi:
darah 1,30, RO Thorax Cor Setelah dilakukan tindakan
menunjukkan cardiomegali, keperawatan selama 1 x24 jam
CTR 70%, pulmo: corakan kesadaran coma, hasil AGD dan
broncovaskuler kasar di elektrolit menunjukkan perbaikan,
kedua paru. gula darah masih berfluktuasi,
rencana brain scan untuk diagnosa
stroke karena riwayat hipertensi
dan kejang.
21 Ny. M (52 th) Pasien masuk IGD dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, penurunan kesadaran, Penurunan kesadaran, TD ditemukan:
Status: menikah, muntah, terdapat ulkus tidak terukur, nadi lemah dan Defisit volume cairan
Pendidikan: SD, pedis sinistra, pasang NGT kecil. Gangguan pertukaran gas
Pekerjaan: IRT, dialirkan (produksi penurunan kesadaran, nadi Kerusakan integritas kulit
Jaminan: BPJS berwarna kecoklatan) cepat dan lemah HR Nyeri akut
Dx Medis: ulkus konsistensi encer. Riwayat 137x/mnt, nafas cepat dan Ketidakstabilan glukosa darah
diabetes grade 3, DM 10 tahun, riwayat dangkal. akrall dingin Kurang pengetahuan tentang
acute on CKD, DM menggunakan obat DM terpasang Vaskon TD 100/60, regimen pengobatan
Tipe 2 oral, pernah dirawat BAB berwarna hitam RR: Hambatan mobilitas fisik
sebelumnya dengan ulkus 35x/mnt PH: 7,20, PCO2
pedis sinistra. 12,7, PO2 162,3, HCO3 5,4 Intervensi keperawatan, airway
BE -18,7, Muntah ±500 cc management, oksigen therapy
manajemen asam basa, manajemen
Pemeriksaan penunjang: cairan dan elektrolit, manajemen
Hasil lab Hb 11,2 leukosit KAD
12.300 ureum/kreatinin
169/5,2 GDS 341, elektrolit Tingkat ketergantungan: the wholly
Na 132 kalium 4,29 klorida compensatory nursing system
97, AGD PH 7,247 PCO2
15,1 HCO3 6,4 BE - 18,0 Evaluasi: .
Setelah dilakukan intervensi
selama 1 x 24 jam belum
menunjukkan perbaikani yang
berarti kesadaran masih menurun,
nilai AGD dan elektrolit tidak
banyak mengalami perubahan
22 Tn RD (58 th) Masuk IGD karena Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, hipoglikemi, dengan GDS ulkus plantar dan pedis ditemukan:
Status: menikah, masuk 48, ulkus diabetic dexra, ukuran 15 x 10 x 2 Kurang pengetahuan tentang
pekerjaan: buruh, pedis dan plantar dextra, cm, luka berwarna hitam regimen pengobatan
pendidikan: SMA, riwayat DM 1 tahun, rutin Pemeriksaan penunjang: Ketidakstabilan kadar glukosa
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi 1 x 24
jam, keadaan umum membaik GDS
167, TD 110/60 Nadi 82x/mnt,
pasien memahami komplikasi akut
DM, ulkus direncanakn
debridement, pasien pindah ruang
rawat inap
23 Tn MS (63 th) Masuk IGD dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, keluhan mual, muntah, Penurunan kesadaran, TD ditemukan:
status: menikah, penurunan kesadaran GDS 100/80, HR 89 x/mnt, RR 32 Defisit volume cairan
Pekerjaan: 531. luka berwarna hitam, x/mnt, terdapat luka didaerah Gangguan pertukaran gas
pensiunan PNS, kulit sekitar luka berwarna pedis sinistra Kerusakan integritas kulit
pendidikan sarjana, merah dan membengkak. Nyeri akut
jaminan BPJS Riwayat DM 10 th. Hasil Pemeriksaan penunjang: Ketidakstabilan glukosa darah
Dx medis: post lab Hb 12,6 leukosit Hasil lab Hb 12,6 leukosit Kurang pengetahuan tentang
KAD + selulitis 25.100, elektrolit Na 138 25.100, elektrolit Na 138 regimen pengobatan
pedis+ DM tipe 2 Kalium 3,66, klorida 91. Kalium 3,66, klorida 91. Hambatan mobilitas fisik
AGD PH 6,90 PCO2 17,5 AGD PH 6,90 PCO2 17,5
P02 129,1 HCO3 3,2 BE P02 129,1 HCO3 3,2 BE 28,4 Intervensi keperawatan: airway
28,4 management, oksigen therapy,
manajemen asam basa, manajemen
cairan dan elektrolit. Manajemen
KAD, perawatan luka.
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi 1 x 24
jam, belum ada perubahan yang
berarti, kesadaran apatis, basil
AGD dan elektrolit belum
menunjukkan perubahan berarti,
pasien dirawat di ruang resusitasi
dan rencana pindah ICU.
24 Ny F (50 th) Masuk IGD dengan mual, Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam muntah, badan terasa Kesadaran Compos mentis, muncul:
Status: menikah, lemas, nyeri ulu hati, luka GDS 648. Defisit volume cairan
Pekerjaan :IRT; tidak sembuh-sembuh. Gangguan pertukaran gas
Jaminan: BPJS Kesadaran compos mentis, Pemeriksaan penunjang: Kerusakan integritas kulit
Dx Medis : Ulkus GDS masuk 648. Riwayat Hasil lab: Hb 9,4 leukosit Nyeri akut
diabetic CAP, DM 2 tahun, riwayat 23.900 trombosit 553, Ketidakstabilan glukosa darah
Ketoasidosis melahirkan anak > 4000 ureum/kreatinin 81/1,6 Kurang pengetahuan tentang
diabetikum, AKI, gram 20 tahun yang lalu. elektrolit natrium 121, regimen pengobatan
hiponatremi, Riwayat ulkus 1 tahun kalium 4,10, klorida 100, Hambatan mobilitas fisik
anemia dyspepsia yang lalu. keton darah 1,00. AGD PH
7,443 PCO2 26,6 P02 151,6 Intervensi keperawatan: airway
HCO3 17,5 BE -4,8 management, oksigen therapy,
manajemen asam basa, manajemen
cairan dan elektrolit. Manajemen
KAD, perawatan luka.
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi 1x24
jam pasien menunjukkan tanda-
tanda perbaikan. Hasil AGD dan
eletrolit menunjukkan perbaikan.
Pasien rencana pindah ke ruang
rawat inap.
25 25 Ny KS (53 th) Masuk IGD dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam keluhan sesak, sesak tidak kesadaran koma, nafas cepat ditemukan:
Status: menikah berkurang walaupun dan dangkal RR 35 x/mnt, Ganggguan perfusi jaringan
Pekerjaan: IRT dengan istitahat, edema akral dingin, nadi tidak ketidakseimbangan cairan dan
Pendiidkan: SD, pada kedua tungkai teraba, TD 70/palpasi. capiler elektrolit, kekurangan volume
jaminan: BPJS refill < 3 detik, akral dingin cairan.
Dx Medis: DM
Tipe 2, CHF Pemeriksaan penunjang: Intervensi keperawatan:
setelah dirawat di IGD 1 hari. manajemen cairan dan elektrolit,
hasil lab: Hb: 7,4 gr/dl, manajemen asam basa, air way
leukosit: 11.000, AGD PH: management, Oksigen therapy.
7,12 PCO2 12,3 P02 129,2
HCO3 9,4 BE -16 Elektrolit : Tingkat ketergantungan: the wholly
Natrium 129 kalium 3,0 compensatory nursing system
klorida 80.
Evaluasi:
Setelah 1x 24 jam, dilakukan
tindakan tidak ada perubahan yang
berarti, kondisi semakin
memburuk, selanjutnya dilakukan
tindakan keperawatan pada pasien
terminal
Peneliti menjamin bahwa pelaksanaan EBN ini tidak akan berdampak negatif bagi
Bapak/Ibu. Apabila selama berpartisipasi dalam pelaksanaan terapi ini Bapak/Ibu
mengalami ketidaknyamanan, maka Bapak/Ibu mempunyai hak untuk berhenti atau
keluar dari pelaksanaan terapi ini. Keputusan Bapak/Ibu untuk ikut dalam
pelaksanaan EBN ini tidak akan berpengaruh pada pelayanan Bapak/Ibu di RSCM
Jakarta.
Peneliti akan menjaga kerahasiaan data Bapak/Ibu dalam pelaksanaan EBN ini.
Apabila hasil pelaksanaan EBN ini dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi yang
berkaitan dengan Bapak/Ibu akan di tampilkan dalam publikasi tersebut.
Apabila setelah terlibat dalam pelaksanaan EBN ini Bapak/Ibu masih memiliki
pertanyaan, dapat menghubungi saya di nomor telpon 085274448787.
Demikianlah penjelasan ini dibuat, atas kerjasama dan partisipasi Bapak/Ibu kami
ucapkan terimakasih.
Peneliti
(Widia Wati)
Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam pelaksanaan EBN ini bersifat sukarela dan tanpa
paksaan. Peneliti akan menjaga kerahasiaan data Bapak/Ibu dalam pelaksanaan EBN
ini. Apabila hasil pelaksanaan EBN ini dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi
yang berkaitan dengan Bapak/Ibu akan di tampilkan dalam publikasi tersebut. Peneliti
menjamin bahwa pelaksanaan EBN tidak menimbulkan kerugian bagi Bapak/Ibu
Apabila setelah terlibat dalam pelaksanaan EBN ini Bapak/Ibu masih memiliki
pertanyaan, dapat menghubungi saya di nomor telpon 085274448787.
Demikianlah penjelasan ini dibuat, atas kerjasama dan partisipasi Bapak/Ibu kami
ucapkan terimakasih.
Peneliti
(Widia Wati)
Setelah membaca penjelasan diatas, saya sudah mengerti dan memahami tujuan,
manfaat serta akibat yang mungkin terjadi dari pelaksanaan EBN yang akan
dilaksanakan tersebut. Pelaksanaan EBN ini juga akan menghormati hak-hak saya
sebagai responden.
Saya secara sukarela dan penuh kesadaran bersedia berpartisipasi dalam pelaksanaan
EBN ini dan tidak dipaksa oleh pihak manapun.
Responden
………………………………………………
Tanda tangan
Kode Partisipan :
Tanggal : ………/……/2015 Jam : …...WIB
Umur : ………Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan
Pengumpul data
-------------------------------------------------
I. DATA UMUM
III.PEKERJAAN
(Widia Wati)
3. Materi
a. Pengertian teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing Exercise
b. Manfaat teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing Exercise
c. Langkah-langkah teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing
Exercise
6. Evaluasi
Tujuan tercapai bila pasien dapat:
a. Menjelaskan pengertian teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan
Breathing Exercise
Keterangan:
: Tidak melakukan terapi PMR dan BE dan tidak melakukan
pemeriksaan kadar glukosa darah.
: Melakukan terapi PMR dan BE 2 kali/ hari
: Pemeriksaan kadar glukosa darah 2 kali/ hari
Keterangan:
: Tidak melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah.
: Pemeriksaan kadar glukosa darah 2 kali/ hari
0 : Tidak pernah
1 : Kadang-kadang
2 : Sering
3 : Selalu