Anda di halaman 1dari 213

UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN ASUHAN KEPERAWATAN


MODEL SELF CARE OREM PADA PASIEN DIABETES
MELITUS DENGAN ULKUS DI RSUPN CIPTO
MANGUNKUSUMO

KARYA ILMIAH AKHIR

WIDIA WATI
1206195810

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DEPOK, 2015

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN ASUHAN KEPERAWATAN


MODEL SELF CARE OREM PADA PASIEN DIABETES
MELITUS DENGAN ULKUS DI RSUPN CIPTO
MANGUNKUSUMO

KARYA ILMIAH AKHIR


Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah

WIDIA WATI
1206195810

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DEPOK, 2015

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
Karya Ilmiah Akhir ini saya susun tanpa tindakan plagiarism sesuai dengan
peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia

Jika dikemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indoensia kepada saya.

Depok, Juli 2015

(\J~
Widia Wati

.
l

ii

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015

I
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
..'
~

Karya Ilmiah Akhir ini adalah basil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama :WIDIA WATI

NPM : 1206195810

Tanda Tangan :~--


Tanggal : Juli 2015

iii

I
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
LEMBAR PERSETUJUAN

Karya Ilmiah ini telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan dihadapan Tim
Penguji Karya Ilmiah Akhir Program Magister Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia

Depok, Juni 2015

Pembimbing I

Prof. Dr. Ratna Sitorus, SKp., M. App. Sc

Pembimbing II

;;

Yulia, SKp., MA., PhD

iv

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015

I
HALAMANPENGESAHAN
r
Karya Ilmiah Akhir ini diajukan oleh:
Nama : Widia Wati
Npm : 1206195810
Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Judul Karya Ilmiah Akhir : Penerapan Asuhan Keperawatan Model Self Care
Orem pacta Pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus di RSUPN Cipto
Mangunkusumo

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai persyaratan memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan pada
Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bcdah, Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I ProfDr.Ratna Sitorus, SKp., M.App., Sc


(~
Pembimbing II Yulia, SKp., MA., PhD

Penguji Ns. Fitrian Rayasari., S.Kep. Sp. KMB

Penguji Emawati, M.Kep., Sp.KMB

Ditetapkan di Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok

Tanggal Juli 2015

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


KATAPENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada peneliti, sehingga Karya Ilmiah Akhir ini dapat diselesaikan
dengan judul "Penerapan Asuhan Keperawatan Model Self Care Orem pada ...J
~

Pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus di RSUPN Cipto Mangunkusumo". Karya


Ilmiah Akhir ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Spesialis
Keperawatan Medikal Bedah di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
I
Dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, penulis mendapatkan banyak
bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini peneliti
mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
pembimbing I, Prof. Dr. Ratna Sitorus, SKp., M.App.Sc dan pembimbing II,
Yulia, SKp., MN, PhD yang penuh kesabaran memberikan masukan, saran dan
bimbingan. Tidak pula penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Ibu Junaiti Sahar,


S.Kp., M.App.Sc., Ph.D
2. Ketua Program Studi Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia, Ibu Novy H. C. Daulima, SKp, MSc
3. Supervisor Klinik RSUPN Cipto Mangunkusumo, Ibu Yunisar Gultom,
MCINsg
4. Supervisor Akademik Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, ibu Lestari
Sukmarini, SKp., M.NS
5. Koordinator Praktik Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, Ibu Dr.
Debie Dahlia, SKp., MHSM
6. Direktur RSUPN. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan staf yang telah
memberikan ijin sekaligus memfasilitasi penulis dalam melakukan praktek
residensi.

vi

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


7. Pembimbing akademik, Bapak Agung Waluyo, SKp.,M.Sc, PhD, yang telah
banyak membimbing dan memotivasi dan membuka wawasan berfikir dalam
menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
8. Seluruh Dosen pengajar Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia dan civitas akademika yang telah banyak membantu
peneliti dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini
9. Anak-anakku tercinta, Reihan, Rafif, Rafa, Ruqaya yang selalu menjadi
inspirasi buat mama Kepada suami tercinta Erizal R, SE. yang selalu
mendampingi, memberikan dukungan moril dan materil, membantu
memfasilitasi kebutuhan, ikhlas kurang diperhatikan demi terselesaikannya
studi ini.
10. Keluarga besar H. Zulbaiyun dan H. Rusli Wahab yang selalu memberikan
dukungan dan doa yang tulus.
11. Sahabat-sahabat yang senantiasa setia memberikan masukan dan motivasi
dalam setiap langkahku.
12. Rekan-rekan Mahasiswa Ners Spesialis Keperawatan Medikal Brdah Program
Pasca sarjana Fakultas Imu Keperawatan Universitas Indonesia angkatan
2012, terima kasih telah memberi dukungan, semangat, kalian adalah yang
terbaik.
13. Ternan sejawat Perawat di RSCM, khususnya Supervisor lantai 7, Head
Officer dan Head Nurse zona A dan B beserta staf lantai 7 gedung A,
Perawat Poliklinik Endokrin, Perawat Instalasi Gawat Darurat.
14. Semua pasien kelolaan yang dirawat di RSCM, khususnya lantai 7 zona A dan
B gedung A, poliklinik endokrin, dan instalasi Gawat Darurat

Akhimya, semoga bantuan serta budi baik yang telah diberikan mendapatkan
balasan dari Allah SWT & Penulis berharap penelitian bermanfaat.

Depok, Juli 2015

Widia Wati
vii

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan


dibawah ini :
Nama : Widia Wati
NPM : 1206195810
Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Peminatan : Keperawatan Medikal Bedah r
!
Fakultas : Ilmu Keperawatan
JenisKaryaTulis : Karya Ilmiah Akhir

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non Exclusive
Royalty Free Right) atas Karya ilmiah Akhir saya yang beijudul:

"PENERAPAN ASUHAN KEPERWATAN MODEL SELF CARE OREM


PADA PASIEN DIABETES MELITUS DENGAN ULKUS DI RSUPN
CIPTO MANGUNKUSUMO "

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-
Eksklusif ini, Universitas Indoensia berhak menyimpan, mengalih media/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikianlah pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya


Dibuat di : Depok
Pada tanggal: Juli 2015

Yan(\1:~
WidiaWati
viii

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


ABSTRAK

Nama : WidiaWati
NPM : 1206195810
Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Judul : Penerapan Asuhan Keperawatan Model Self Care Orem pada
Pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus di RSUPN Cipto
Mangunkusumo.

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang terjadi karena kelainan


sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya, yang ditandai dengan Hiperglikemia.
Kondisi hiperglikemia yang tidak teratasi dapat menimbulkan berbagai
komplikasi, baik komplikasi akut maupun kronik. Salah satu komplikasi kronik
adalah ulkus diabetes. Seiring dengan meningkatnya jumlah kejadian DM, maka
prevalensi ulkus diabetes akan meningkat juga. Di Indonesia ulkus diabetes dan
ganggren merupakan komplikasi diabetes yang paling banyak dirawat di rumah
sakit. Penanganan ulkus diabetes yang tidak optimal menyebabkan meningkatnya
hari rawat inap. Kondisi luka menimbulkan gangguan pemenuhan kebutuhan
perawatan diri bagi pasien. Perawat berperan penting dalam membantu
pemenuhan Self Care pasien. Untuk itu penerapan asuhan keperawatan model Self
Care Orem berfokus pada kemampuan individu dalam melakukan tindakan
perawatan mandiri, mengenali dan mengatur kebutuhan perawatannya. Penerapan
Evidence Based Nursing adalah terapi Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan
latihan nafas merupakan latihan untuk meningkatkan kontrol glikemik dan
menurunkan tingkat stress pada pasien DM tipe 2. Sedangkan Inovasi
Keperawatan yang diberikan bertujuan meningkatkan Self Care dengan cara
meningkatkan kemampuan pasien dalam Self Health Assessment.

Kata kunci: Diabetes melitus, Ulkus diabetes, Model Self Care Orem.

ix

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


ABSTRACT

Name : WidiaWati
NPM : 1206195810
Study Program : Postgraduate of Nursing Science program
Title : Nursing care by Orem’s self care model application for
diabetes mellitus patient with diabetic ulcer in RSUPN Cipto
Mangunkusumo

Diabetes mellitus is metabolic disease because alter secretion, act of insulin or


both, showed by hyperglycemia. Hyperglycemia uncontrolled can cause
complication either acute or chronic. One of chronic complication is diabetic
ulcer. Increasing prevalence of diabetes could be assumed that could increase
prevalence of diabetic ulcer either. In Indonesia, diabetic ulcer and gangrene were
the most diabetes complication that was hospitalized. Care of diabetic ulcer that
was not optimal could cause length of stay (LOS) in hospital. Diabetic ulcer could
cause needs of self care demand disturbance for patient. Nurse had important role
in help self care demand for patient. For that reason, application of nursing care
with self care Orem model focused on individual ability to do self care, recognize,
and regulate care requirement. Evidence Based Nursing about Progressive Muscle
Relaxation (PMR) therapy and breathing exercise for enhance blood glucose
control and reduce stress level in diabetes type 2 patient, whereas nursing
innovation purposed to enhance self care through increasing patient ability for
Self Health Assessment.

Keywords: Diabetes mellitus, diabetic ulcer, Orem’s Self Care Model

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. iv
HALAMAN PENGESEHAN ............................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR SKEMA .............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5
1.3. Manfaat Penulisan ................................................................................ 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 8


2.1 Sistem Endokrin ................................................................................... 8
2.2 Diabetes Melitus ................................................................................... 16
2.3 Diabetes Melitus Tipe 2 ........................................................................ 17
2.4 Teori Keperawatan Model Self Care Deficit Orem .............................. 42
2.5 Tingkat Ketergantungan Pasien ............................................................ 52
2.6 Diagnosa yang Mungkin Muncul Pada Pasien dengan Ulkus Diabetes57

BAB 3 PROSES RESIDENSI .............................................................................. 61


3.1 Gambaran Kasus Kelolaan ................................................................... 61
3.2 Penerapan Evidence Based Nursing (EBN)........................................ . 87
3.3 Kegiatan Inovasi ................................................................................. 104

BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan Kasus Diabetes Melitus ................................................. 109
4.2 Pembahasan EBN ............................................................................... 129
4.3 Pembahasan Inovasi ........................................................................... 134

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 138
5.2 Saran ................................................................................................... 138

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 140


LAMPIRAN

xi

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perawatan Luka dengan Menggunakan Kompres atau Terapi Topikal 41

Tabel 2.2 Antibiotik Empiris yang Dianjurkan untuk Ulkus Diabetikum ............ 42

Tabel 2.3 Kategori Kalsifikasi Klien Berdasarkan Derajat Ketergantungan ........ 54

Tabel 2.4 Diagnosa Keperawatan yang Muncul pada Pasien Diabetes Melitus ... 57

Tabel 3.1 Karakteristik Usia Responden Pasien DMT 2 Pada Kelompok Intervensi
dan Kontrol di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)…96

Tabel 3.2 Karakteristik Pasien DMT2 Berdasarkan Jenis Kelamin, OHO/ insulin
yang Didapat, Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta Tahun 2015 (n=10) ...................................... ..97

Tabel 3.3 Kadar Glukosa Darah Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah Terapi
PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di
RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10).. ........................ ..98

Tabel 3.4 Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah Terapi PMR
dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di RSUPN
Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10) ........................................ 100

Tabel 3.5 Perbedaan Rata-rata Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan
Sesudah Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan
Kontrol di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10) .......... 101

Tabel 3.6 Distribusi Umur Responden Inovasi Keperawatan di Poliklinik


Endokrin RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (N=16) ......... 106

Tabel 3.7 Distribusi Responden Inovasi berdasarkan lama mengalami DM di


Poliklinik Endokrin RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (N=16)
.............................................................................................................. 107

Tabel 3.8 Distribusi Frekwensi berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat


Pendidikan Responden Inovasi Keperawatan di Poliklinik Endokrin
RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (N=16) ........................... 107

xii

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Grafik perjalanan penyakit resistensi insulin, berkembang dari


gangguan toleransi glukosa menjadi diabetes tipe 2 ..................... 21

Gambar 3.1 Gambaran Kadar Glukosa Darah Tn K ......................................... 65

Gambar 3.2 Kadar Glukosa Darah Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan
Kontrol di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10) .... ..99

Gambar 3.3 Gambaran Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan
Kontrol di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10) .... 100

Gambar 3.4 Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien DMT2 Terhadap Program


Inovasi Keperawatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015
(N=16) ............................................................................................ 108

xiii

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Interaksi Insulin dan Glukagon dalam Mengatur Kadar Glukosa Darah
............................................................................................................ 9

Skema 2.2 Patofisiologi Ulkus Diabetes ............................................................... 35

Skema 2.3 Sistem Dasar Keperawatan Menurut Orem ......................................... 49

Skema 3.1Alur Kerja Pelaksanaan EBN……………………………………….128

xiv

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Format Pengkajian Orem


Lampiran 2: Resume Kasus
Lampiran 3: Penjelasan Penelitian
Lampiran 4: Informed Consent
Lampiran 5: Lembar Observasi dan Pengumpulan Data Responden
Lampiran 6: Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 7: Tata Cara Pelaksanaan Intervensi Terapi
Lampiran 8: Instrumen Penelitian Tingkat Stress

xv

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ulkus diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik pada individu dengan
diabetes melitus (DM). Seiring dengan meningkatnya jumlah kejadian DM, maka
prevalensi ulkus kaki diabetes diperkirakan akan meningkat juga. Hasil prediksi
bahwa 15 % pasien dengan diabetes akan berkembang menjadi ulkus pada
ektremitas bawah selama perjalanan penyakitnya, dan 12-24% ulkus kaki
membutuhkan amputasi (Khardory, 2014). Beberapa studi berbasis populasi di
Amerika (Frykberg, et al. 2006) juga menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan terhadap angka kejadian ulkus diabetik dimana dari 0,3% meningkat
menjadi 3 % pertahun. Penelitian lain juga menjelaskan di Inggris kejadian ulkus
diabetes dalam satu tahun adalah sebanyak 7 % (Abbott, Vileikyte, Williamson,
Carrington, Boulton, et al. 1998 dalam Frykberg, et al. 2006). Prevalensi untuk
terjadinya kaki diabetes diberbagai populasi berkisar antara 2 % sampai 10%
(Reiber, et al. 1995; Moss, et al. 1992; Abbott, et al. 1998; Walters, Gatling,
Mullee, Hill, 1992 dalam Frykberg, et al. 2006). Waspadji dalam pelatihan kaki
tahun 2015 menyampaikan bahwa di negara berkembang 4-10% pasien dengan
diabetes akan mengalami masalah kaki.

PERKENI (2009) menyebutkan bahwa di Indonesia ulkus diabetik dan gangren


diabetik merupakan komplikasi diabetes yang paling banyak dirawat di rumah
sakit. Selanjutnya PERKENI (2009) juga mengemukakan angka kematian yang
disebabkan oleh besarnya masaalah yang ditimbulkan akibat ulkus diabetes ini
berkisar 17% sampai 23 % dan angka amputasi akibat ulkus diabetik sekitar 15
% sampai 30%. Senada dengan PERKENI (2009), Waspadji (2015) juga
mengemukakan bahwa tingkat mortalitas pasien dengan ulkus diabetikum
berikisar antara 15-23%, sedangkan tingkat amputasinya berkisar antara 20-32,%.
Sementara angka kematian satu tahun pasca amputasi adalah 14,8 % angka ini
meningkat menjadi 37% setelah tiga tahun amputasi. Rata-rata umur hidup orang
dengan amputasi karena ulkus diabetik berkisar 23,8 bulan pasca amputasi.
Selanjutnya angka pasien yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto
1 Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


2

Mangunkusumo pada tahun 2007 menunjukkan bahwa 111 dari 327 pasien
diabetes yang dirawat dengan diabetes mellitus mengalami masalah kaki diabetik,
angka amputasi mencapai 35%, terdiri atas 30% amputasi mayor dan 70%
amputasi minor. Jumlah angka kematian akibat amputasi tersebut sekitar 15%.
Serta data 2010-2011 memperlihatkan peningkatan angka amputasi menjadi 54%.
Sebagian besar merupakan amputasi minor, yakni bagian bawah pergelangan kaki
sebanyak 64,7%, dan amputasi mayor sejumlah 35,3%. Angka amputasi pada
diabetisi 15 kali lebih besar dibanding orang yang tidak menderita DM
(PERKENI, 2009)

Penanganan ulkus diabetes yang tidak optimal menyebabkan rawat inap bagi
penderitanya dan lamanya hari rawat inap. Sebuah studi tentang ulkus diabetes
bahwa ulkus diabetes penyebab terbanyak dilakukan rawat inap dibanding faktor
komplikasi lainnya dari diabetes (Khardory, 2014). Lama hari rawat inap juga
akan bertambah, sesuai dengan data nasional di rumah sakit di Inggris
menunjukkan bahwa rata-rata hari rawat inap pasien dengan ulkus diabetik
adalah 59% lebih lama dibandingkan dengan pasien tanpa ulkus (Reiber, et al.
1995 dalam Frykberg, et al. 2006). Menurut penelitian bahwa pasien ulkus
diabetik tidak menunjukkan kesembuhan setelah 20 minggu perawatan (Searle,
Campbell, Tallon, Fitzgerald, Vedhara, 2005).

Ulkus diabetes memberi dampak yang sangat luas baik dari segi fisik, psikologis,
sosial maupun ekonomi. Aguilar, et al (2011) mengemukakan infeksi kaki pada
penyandang diabetes akan menciptakan masalah sosial yang kompleks karena
beban keuangan yang dihasilkan dari tingginya biaya pengobatan dan
penyembuhan. Meningkatnya angka morbiditas akibat infeksi pada kaki akan
memberikan dampak perawatan dirumah sakit yang lama dan juga akan
memberikan dampak psikososial pada pasien dan keluarga. Selain itu ulkus
diabetik juga berdampak pada biaya yang tinggi dan hilangnya produktifitas pada
pasien (Ramsey, et al. 1999 dalam Aguillar, 2011)

Besarnya dampak dari ulkus diabetik memerlukan penatalaksanaan ulkus diabetik


dan kerjasama tim terdiri dari beberapa disiplin ilmu. Kerjasama antara dokter
Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


3

spesialis penyakit dalam, spesialis bedah (vaskuler dan plastik), spesialis


rehabilitasi medik, spesialis radiologi, perawat kaki, ahli gizi dan edukator, serta
peran aktif dari pasien DM. Penatalaksanaan holistik kaki diabetik menurut
PERKENI, 2009 meliputi 6 aspek kontrol yaitu kontrol mekanik, kontrol
metabolik, kontrol vaskular, kontrol luka, kontrol infeksi, dan kontrol edukasi.

Kondisi luka merupakan salahsatu menyebabkan ketergantungan pada pasien DM


yang dirawat di rumah sakit terhadap Self-Care, pasien yang dirawat juga
mempunyai tingkat ketergantungan yang berbeda. Perawat perlu memperhatikan
tingkat ketergantungan pasien bertujuan untuk pelayanan perawatan yang
diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan upaya memandirikan pasien
terhadap perawatan dirinya.

Dalam praktek residensi dari September 2014 sampai Mei 2015 didapatkan 20
dari 30 pasien yang dilakukan asuhan keperawatan mengalami ulkus kaki
diabetikum. Dimana jumlah hari rawat lebih dari 6 minggu. 90% mengalami ulkus
kaki diabetes stage 3 dan 4 dengan skala wagner, tingkat ketergantungan 40%
Wholly Compensatory System dan Partly Compensatory System 60% pulang
dengan luka sembuh 77%, pulang paksa 23%, meninggal tidak ada, dan amputasi
30%.

Kegiatan pelaksanaan praktek residensi keperawatan medikal bedah kekhususan


endokrin mempunyai 3 kegiatan. Kegiatan tersebut meliputi penerapan asuhan
keperawatan pada pasien dengan pendekatan teori keperawatan, penerapan EBN
dalam memberikan implementasi keperawatan dan membuat inovasi untuk
memperbaiki pelayanan keperawatan. Pelaksanaan pemberian asuhan
keperawatan yang dilakukan adalah Salah satu teori keperawatan yang banyak
digunakan dalam profesi keperawatan adalah Model Self-Care Orem. Penerapan
teori keperawatan ini dilakukan pada setiap kasus endokrin yang penulis temukan
selama praktik residensi dengan kasus terbesar adalah Diabetes Melitus dengan
komplikasinya seperti ulkus diabetes, KAD, hipoglikemi, nefropati, neuropati dan
retinopati.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


4

Pemberian pelayanan berbasis bukti atau evidence based-practice (EBN) yang


diterapkan pada pasien DM tipe 2 tentang terapi relaksasi Progressive Muscle
Relaxation (PMR) dan Latihan nafas di poli Endokrin Penyakit Dalam RSCM.
Tujuan pemberian terapi relaksasi Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan
Latihan nafas adalah untuk meningkatkan kontrol glikemik dan menurunkan
tingkat stress pada DMT2. Berdasarkan pengamatan residen selama praktek
residensi pada bulan Desember 2014 - Januari 2015 di Poli Endokrin Penyakit
Dalam RSCM didapatkan rata-rata pasien DM yang berkunjung masih
menunjukkan angka kontrol glikemik yang fluktuatif dan 40% mengalami stress
berat dan mengalami stress sedang 40% dan ringan 20%.

Kegiatan inovasi yang dilakukan di poli Endokrin Penyakit Dalam RSCM oleh
kelompok, merupakan upaya menjalankan peran sebagai innovator. Inovasi yang
dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan khususnya
dalam memberikan asuhan keperawatan dan meningkatkan kemampuan self-care
pada pasien DM. Inovasi yang lakukan bersama kelompok adalah membuat
Banner yang berisikan tentang self health assessment pasien dengan DM. Tujuan
pelaksanaan inovasi ini adalah, pasien dengan DM mampu mengenali keadaan
penyakitnya, mengambil keputusan serta melakukan tindakan yang tepat sesuai
dengan kebutuhan (self management). Upaya untuk meningkatkan pengetahuan
dan self-care pasien, kelompok menggunakan media booklet manajemen mandiri
DM. Booklet sebagai media dalam memberikan edukasi pada pasien dengan DM
yang berisikan tentang pengetahuan manajemen diabetes. Perawat harus terus
mencoba menemukan cara yang terbaik dalam mengedukasi pasien, sehingga
pasien menjadi lebih peduli untuk memperoleh pengetahuan, memahami
kesehatannya dan pada akhirnya terbentuk kemandirian pasien dalam mengelola
kesehatannya. Edukasi pada pasien diabetes bertujuan meningkatkan
pengetahuan, perubahan sikap dan keterampilan yang mengarah pada
pengontrolan yang baik terhadap penyakit yang merupakan bagian integral dari
perawatan diabetes komprehensif. Sebagai akhir, kegiatan ini merupakan kegiatan
terintegrasi dalam mencapai kesehatan yang optimal pada pasien dengan DM

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


5

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus Penerapan Asuhan Keperawatan
Tujuan Umum
Melakukan analisis pemberian asuhan keperawatan pada pasien ulkus diabetes
dengan menggunakan pendekatan teori keperawatan Model Self-Care Orem
Tujuan Khusus
a. Menggambarkan kasus pasien DM yang mengalami ulkus diabetes dengan
pendekatan Model Self-Care Orem
b. Menggambarkan intervensi untuk pasien DM yang mengalami ulkus diabetes
c. Menggambarkan implementasi peran sebagai ners spesialis endokrin dalam
upaya meningkatkan self care pasien DM yang mengalami ulkus diabetes
d. Mengevaluasi efektivitas asuhan keperawatan dengan Model Self-Care Orem

1.2.2. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus Evidence Based Nursing


Tujuan Umum
Melakukan implementasi asuhan keperawatan Ners Spesialis Endokrin sesuai
dengan bukti ilmiah terkini
Tujuan Khusus
a. Mengujicobakan Latihan nafas dan Progressive Muscle Relaxation (PMR)
pada DMT2
b. Mengevaluasi evektifias penerapan Latihan nafas dan Progressive Muscle
Relaxation (PMR) pada pasien DMT2.

1.2.3. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus Kegiatan Inovasi


Tujuan Umum
Mampu meningkatkan kemampuan self-care pasien DM.
Tujuan Khusus
a. Meningkatkan kemampuan pasien DM dalam melakukan pengkajian kesehatan
mandiri
b. Meningkatkan pengetahuan pasien untuk perawatan mandiri

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


6

1.3. Manfaat Penulisan


1.3.1 Manfaat penerapan asuhan keperawatan
a. Bagi pasien
Dapat menjadi acuan dalam memberikan asuhan keperawatan pasien dengan
masalah endokrin khususnya perawatan luka pada ulkus diabetikum dengan
menggunakan pendekatan teori keperawatan model Self-Care Orem.

b. Bagi pendidikan keperawatan


Laporan analisis ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan informasi bagi
pendidikan keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pasien dengan
masalah endokrin dengan menggunakan pendekatan teori keperawatan model
Self-Care Orem

1.3.2. Manfaat penerapan EBN


a. Bagi pasien
Hasil penerapan EBN dapat bermanfaat bagi pasien DM tipe 2 untuk
mengurangi tingkat stress, dan mengontrol glukosa darah. Meningkatnya kontrol
glikemik dapat mencegah terjadinya komplikasi akut dan kronis sehingga tercapai
kualitas hidup yang optimal.

b. Bagi pendidikan perawatan


Hasil penerapan EBN ini dapat menjadikan suatu intervensi keperawatan untuk
menurunkan tingkat stress dan meningkatkan kontrol glikemik.

c. Bagi pelayanan perawatan


Hasil penerapan EBN ini dapat menjadikan acuan untuk dipertimbangkan
dijadikan sebagai Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam memberikan
pelayanan terbaik bagi pasien sehingga diperoleh kepuasan terhadap pelayanan
rumah sakit.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


7

1.3.3 Manfaat penerapan Inovasi


a. Manfaat penerapan Inovasi bagi pasien
Penerapan inovasi dapat meningkatkan kemempuan pasien dalam pemeriksaan
mandiri terhadap risiko terjadinya komplikasi DM

b. Manfaat bagi pendidikan perawatan


Manfaat Inovasi ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan informasi bagi
pendidikan keperawatan dalam memberikan edukasi pada pasien dengan masalah
endokrin

c. Manfaat bagi pelayanan perawatan


Hasil penerapan Inovasi ini dapat dijadikan media edukasi keperawatan untuk
meningkatkan promosi kesehatan.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Endokrin


Sistem endokrin merupakan sistem yang terdiri dari kelenjar endokrin yang
tersebar diseluruh tubuh.Walaupun secara anatomis kelenjar-kelenjar tersebut
tidak berhubungan, namun secara fungsional kelenjar tersebut membentuk suatu
sistem. Kelenjar-kelenjar endokrin mensekresi hormon yang menjaga fungsi
fisiologis tubuh seperti respon terhadap stres dan cidera, pertumbuhan dan
perkembangan, reproduksi, homeostatis ion, metabolisme energi dan respon
kekebalan tubuh. Kelenjar endokrin didistribusikan keseluruh tubuh dan
mengeluarkan senyawa kimia (hormon) yang dibawa dalam aliran darah untuk
bekerja pada jaringan target yang memiliki reseptor hormon tertentu (Sherwood,
2012; Schteingart, 2006).

Kelenjar endokrin terdiri dari kelenjar pituitary, kelenjar adrenal, kelenjar tiroid,
kelenjar pankreas, kelenjar paratiroid, dan gonad. Kelenjar endokrin bekerja
dengan sistem syaraf untuk meregulasi seluruh fungsi tubuh yang dikenal sebagai
regulasi neuroendokrin. Banyak interaksi terjadi diantara sistem endokrin dan
seluruh sistem tubuh untuk memastikan bahwa setiap sistem terjaga
keseimbangannya secara konstan (homeostasis) sebagai respon dari perubahan
lingkungan (Workman, 2006). Fungsi sistem endokrin diantaranya mengatur
metabolisme organik serta keseimbangan H2O dan elektrolit, menginduksi
perubahan adaptif untuk membantu tubuh menghadapi situasi stress, mendorong
tumbuh kembang yang lancar dan berurutan, mengontrol reproduksi, mengatur
produksi sel darah merah. Selain itu, bersama dengan sistem otonom, kelenjar
endokrin juga mengontrol dan mengintegrasikan sirkulasi dan pencernaan serta
penyerapan makanan (Sherwood, 2012).

Selain itu juga hormon diklasifikasikan berdasarkan sifatnya yaitu hidrofilik


(hormon peptida dan katekolamin) dan lipofilik (hormon steroid dan tiroid).
Hormon hidrofilik beredar dalam darah dalam bentuk larut dalam plasma

8 Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


9

sedangkan lipofilik umumnya terikat ke protein plasma. Hormon peptida yaitu


hormon yang paling banyak yang merupakan rantai asam amino. Katekolamin
dihasilkan oleh medulla adrenal dan berasal dari asam amino tirosin. Hormon
steroid yang merupakan derivat dari kolesterol dan tidak larut dalam air dan
dihasilkan oleh korteks adrenal dan kelenjar reproduksi. Hormon tiroid diproduksi
oleh kelenjar tiroid dan turunan tirosin beriodium. (Sherwood, 2012)

2.1.1 Pengaturan kadar glukosa darah


Banyaknya glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati serta yang
dipergunakan oleh jaringan perifer tergantung pada keseimbangan fisiologis
insulin dan glucagon yang bekerjasama untuk mempertahankan kadar glukosa
darah tetap normal (Sherwood, 2011; Williams & Hopper, 2007; Smeltzer, Bare
2009)
Skema 2.1
Interaksi Insulin dan Glukagon dalam Mengatur Kadar Glukosa Darah

Hiperglikemia Hipoglikemia

selα Sel β selα Sel β

↓Glukagon ↑Insulin ↑Glukagon ↓Insulin

↓Glukosa darah ↑Glukosa darah

Sumber : Sherwood, 2011; Williams & Hopper, 2007; Smeltzer & Bare, 2008

Hiperglikemia merangsang sekresi insulin. Insulin menurukan glukosa darah


dengan cara meningkatkan transportasi glukosa ke sel, metabolisme glukosa
menjadi glikogen (glikogenolisis) sebagai cadangan energy yang disimpan di hati
dan otot, serta sintesis lipid dan protein dari asam lemak dan asam amino.
Sementara itu kondisi hipoglikemia merangsang sekresi glucagon. Glucagon
meningkatkan kadar glukosa darah dengan mengkatanolisme glikogen menjadi
glukosa (glikogenolisis) di hati dan merubah asam lemak dan asam amino
Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


10

menjadi glukosa (glukoneogenesis). Kedua hormon ini berkerja sama menjaga


kadar glukosa darah pada tingkat yang normal (Sherwood, 2011; Williams &
Hopper, 2007; Smeltzer & Bare 2008).

Kadar glukosa darah juga dipengaruhi oleh hormon epineprin, kortisol, dan
growth hormon yang sekresinya dikontrol oleh hipotalamus. Melalui aksis HPA
(hypotalmic-pituitary adrenal). Epineprin meningkatkan glukosa darah dengan
merangsang sekresi glukagon yang berfungsi pada proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis di hati, menghambat sekresi insulin dan meningkatkan kadar asam
lemak darah dengan mendorong lipolysis (Sherwood, 2011; Wilson & Price,
2009). Kortisol mempunyai efek metabolik meningkatkan konsentrasi glukosa
darah dengan merangsang glukoneogenesis, menghambat penyerapan dan
penggunaan glukosa oleh banyak jaringan (kecuali otak), merangsang penguraian
protein menjadi asam amino untuk glikoneogenesis serta meningkatkan lipolisis.

Glukosa adalah zat yang dibutuhkan tubuh sebagai sumber energi vital. Untuk
menjalankan fungsi metabolisme tubuh, agar sel-sel dapat menjalankan fungsi
metabolismenya, glukosa diserap dari permukaan sel sehingga masuk keruang
intra selular melalui membran protein. Membran protein tempat masuknya
glukosa yang dikenal dengan glukosa transporter (Effendi, 2012).

Glukosa transporter (GLUT) pada jaringan dibagi menjadi 5 menurut Chandar &
Viselli (2010), yaitu GLUT 1, GLUT 2, GLUT 3, GLUT 4, dan GLUT 5. GLUT 1
mentransport glukosa ke banyak jaringan dan berfungsi melakukan ambilan
glukosa basal. GLUT 2 terletak di hepar, ginjal, dan pancreas. GLUT 2 berfungsi
untuk menggunakan kelebihan glukosa peredaran darah. GLUT 3 terletak dan
berfungsi sama seperti GLUT 1. Sedangkan GLUT 4 terletak di otot skeletal dan
lemak. Fungsi GLUT 4 adalah utilisasi kelebihan glukoosa peredaran darah. Yang
terakhir adalah GLUT 5. GLUT 5 terletak di usus halus dan testis. GLUT 5
berfungsi untuk transportasi fruktosa.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


11

GLUT yang rentan insulin hanya terdapat pada otot skeletal dan jaringan adipose
yaitu GLUT 4 dan GLUT 2 pada sel beta. Sedangkan GLUT 1. GLUT 3, GLUT 5
tidak rentan insulin, terdapat pada jaringan otak, hepar, kornea, lensa mata,
leukosit dan eritrosit.

GLUT 4, ketika kadar insulin plasma rendah, GLUT 4 dalam vesikel intraselular
otot skeletal dan lemak akan dihancurkan. Sebaliknya ketika kadar insulin plasma
tinggi GLUT 4 akan ditranslokasikan dari vesikel ke membran plasma, dan
sejalan dengan translokasi GLUT 4 tertanam pada membran plasma, membuat
GLUT 4 siap untuk fungsi absorbs atau ambilan glukosa, GLUT 4 berperan dalam
disposal glukosa dalam sirkulasi dengan cara meningkatkan utilisasi glukosa otot
dan lemak, sehingga potensial memperbaiki resistensi insulin dan diabetes
(Effendi, 2012).

GLUT 2 merupakan protein karier transmembran yang memungkinkan


pergerakan pasif glukosa melewati membran sel hepar, sel beta, hipotalamus, dan
usus halus (Freitas, 2005). GLUT 2 berperan sebagai sensor glukosa pada sel beta
dan pengangkut glukosa serta glukosamin (Uldry, 2002). Gangguan pada GLUT 2
timbulnya penyakit penyimpanan glikogen yang dikenal dengan Sindrom
Fanconi-Bickel (Senter, 2002). GLUT 2 sebagai glukosensor turut berperan dalam
aktifitas mitokondria serta dalam pembentukan energi ATP, sehingga potensial
meningkatkan sekresi insulin

Sebelum siap digunakan oleh tubuh, karbohidrat, protein, dan lemak melalui
serangkaian proses metabolisme untuk dapat digunakan sebagai energi. Energi
berasal dari karbohidrat diubah menjadi glukosa, protein dirubah menjadi asam
amino, lemak dirubah menjadi asam lemak. Zat-zat makanan tersebut diserap oleh
usus. Dalam saluran pencernaan zat-zat tersebut masuk melalui pembuluh darah,
kemudian diedarkan keseluruh tubuhuntuk dipergunakan oleh organ-organ
didalam tubuh sebagai bahan bakar. Zat tersebut masuk dulu kedalam sel supaya
dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses
kimia dan hasil akhirnya timbul energi, inilah yang disebut dengan metabolisme.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


12

Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peran yang sangat penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan
bakar. Tanpa insulin, glukosa tidak bisa masuk sel sehingga sel tidak mempunyai
bahan bakar untuk melakukan metabolisme. Sebagai akibatnya, glukosa tetap
berada dalam pembuluh darah sehingga kadar glukosa dalam darah menjadi
meningkat hingga lebih dari 200mg/dL (hiperglikemia).

2.1.2 Faktor yang mempengaruhi Hiperglikemia


a. Usia
Bertambahnya usia dapat menurunkan sensitivitas reseptor insulin, penurunan
regulasi hormon glukagon dan epineprin yang mempengaruhi kadar glukosa
darah, penurunan berat badan, dan penurunan aktivitas fisik (Black & Hawks,
2005)

b. Jenis kelamin
Corwins, 2009 menyatakan wanita cendrung mengalami obesitas karena
peningkatan hormon estrogen yang bisa menyebabkan peningkatan lemak pada
sub kutis,sehingga wanita berisiko lebih besar terkena diabetes.

c. Stress
Menurut Kasl, 1992 dalam Potter dan Perry, 2009 menyatakan stress adalah suatu
bentuk umum yang menghubungkan antara tuntutan lingkungan dan kapasitas
orang untuk memenuhi tuntutan tersebut. Stress adalah suatu stimulus, respon,
faktor pencetus yang meningkatkan kepekaan individu terhadap penyakit atau
suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan yang diterima sebagai
suatu hal yang menantang, mengancam atau merusak terhadap keseimbangan atau
ekuilibrium dinamis seseorang, sebagai respon nonspesifik tubuh terhadap setiap
kebutuhan, tanpa memperhatikan sifatnya. Respon tersebut meliputi satu seri
reaksi fisiologis yang dinamainya Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation
Syndrome- GAS) (Lyon & Werner, 1987; Hans Selye, 1976; Rahe, 1975, dalam
Smeltzer & Bare, 2002).

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


13

Respon fisiologis terhadap stressor merupakan mekanisme protektif dan adaptif


untuk memelihara keseimbangan homeostasis dalam tubuh. Seperti yang
diterangkan oleh Mc Ewen dan Mendelson (1993), respon stress merupakan
rangkain peristiwa neural hormonal yang mengakibatkan konsekuensi jangka
pendek dan panjang bagi otak dan tubuh. Pada saat tubuh mengalami stress timbul
adanya koneksi antara pikiran dan tubuh melalui interaksi system endokrin,
syaraf, sistem kekebalan tubuh, sehingga penyakit juga menjadi bentuk stress
terhadap fisik dan psikologis (Song & Leonard, 2000 dalam Lorentz).

Hipotalamus merupakan pusat kontrol jalur neuralendokrin dalam respon stress,


stressor diterima oleh pancaindera dan diteruskan ke sistem limbik yang
merupakan pusat emosi dan regulasi stress yang terletak di sistem saraf pusat.
Tubuh waspada terhadap stress dan reaksi ini disimpan dalam memori, terutama
dihipocampus yang menyimpan memori jangka panjang berupa trauma dan stress.
Ketika terjadi ransangan yang sama sistem syaraf simpatik akan memproduksi
norepineprin. Norepineprin merupakan sebuah neurotransmitter yang memperkuat
memori stress dan mengaktifkan respon stress. (Walter Canon dalam Smeltzer &
Bare,2009) mengatakan adanya respon lari atau lawan (flight-or-flight response)
terhadap stress, yang menggerakan sisten syaraf simpatis. Sistem saraf sipatis
cepat dan singkat kerjanya. Norepineprin dikeluarkan pada ujung syaraf yang
berhubungan langsung dengan ujung organ yang dituju mengakibatkan
peningkatan fungsi organ vital dan merangsang tubuh secara umum. Frekwensi
jantung meningkat, terjadinya vasokonstriksi perifer, mengakibatkan kenaikan
tekanan darah. Darah juga dialirkan keluar dari organ abdomen. Tujuan dari
reaksi tersebut untuk memberikan perfusi yang lebih baik pada organ vital (otak,
jantung, otot skelet).

Selain reakasi stress pada jantung juga mempengaruhi kadar glikemik pada tubuh
yaitu terjadinya peningkatan glukosa darah untuk menyiapkan energi siap pakai
yang lebih banyak. Pupil akan berdilatasi, dan meningkatnya aktivitas mental,
rasa kesiagaan akan meningkat. Konstriksi pembuluh darah pada kulit akan
membatasi pendarahan apabila terjadi trauma. Secara subjektif kita akan merasa

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


14

kaki dingin, kulit tangan lembab, menggigil, berdebar, kejang pada perut, bahu
menegang, pernafasan dangkal dan cepat.

Selain saraf simpatis stress juga merangsang Simpatis-Adrenal-Meduler. Selain


efek terhadap organ mayor, saraf simpatis juga menstimulasi medulla kelenjer
adrenal untuk mengeluarkan hormone epineprin dan norepineprin ke aliran darah.
Hormon ini menstimulasi sistem syaraf yang berakibat efek metabolic yang
meningkatkan kadar glukosa darah dan meningkatkan laju metabolisme. Efek
respon simpatis dan adrenal-meduler disebut reaksi “flight or flight”. Kortisol dan
epineprin meningkat selama stress dan bertahan selama 72 jam, setelah itu kedua
hormon ini kembali ketingkat normal.

Stress juga mengakibatkan respon Hipotalamus-Pituitari. Fase ini merupakan


kerja terlama pada respon fisiologis, biasanya terjadi pada stress yang menetap.
Yang melibatkan jalur hipotalamus pituitary. Hipotalamus akan mensekresi
corticotrophin-releasing factoryang akan menstimulasi pituitari anterior untuk
memproduksi adrenocorticotropic hormone (ACTH). Kemudian ACTH akan
menstimulasi pituitary anterior untuk memproduksi glukokortikoid, terutama
kortisol. Kortisol akan merangsang katabolisme protein, melepaskan asam amino
akibat adanya stimulasi ambilan asam amino oleh hepar dan konversinya menjadi
glukosa (glukoneogenesis) dan menginhibisi ambilan glukosa (aksi anti-insulin)
oleh berbagai sel tubuh kecuali otak dan organ jantung. Efek metabolisme ini
untuk mempersiapkan energi selama stress.

Apabila terjadi stress pada pasien diabetes, seperti akibat infeksi, akan
membutuhkan insulin lebih banyak dari biasanya. Pasien mengalami stress (post
operasi, penyakit, stress psikologis berkepanjangan) tubuh akan mengkatabolisme
protein tubuh. Orang yang sedang sakit akan mempengaruhi adaptasi terhadap
perubahan fisik dan kesehatan (Harkreader, Hogan, Thobaben, 2007).

Aksi katekolamin (epineprin dan norepineprin) dan kortisol reaksi paling umum
pada saat terjadinya stress. Hormon yang lain dikeluarkan adalah anti diuretic

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


15

hormon (ADH) dari pituitary posterior dan aldosteron pada korteks adrenal. ADH
dan Aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air. Endorphin juga diproduksi
pada saat stress, merupakan opiate endogen juga meningkat dalam keadaan stress
dan meningkatkan ambang untuk menahan nyeri dan mempengaruhi suasana hati.
Glukokortikoid akan mendepresi sistem imun, apabila jumlahnya banyak akan
terjadi penurunan/ menghambat respons inflamasi terhadap injuri dan infeksi.
Limfosit akan dihancurkan dalam jaringan limpoid dan antibodi akan menurun.

2.1.3 Jenis pemeriksaan glukosa darah


Untuk mendiagnosis DM harus didasarkan pada atas pemeriksaan kadar glukosa
darah dan tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria saja. Untuk
diagnosis DM pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan
enzimatik dengan bahan darah plasma vena, yang diperiksa dilaboratorium klinik.
Untuk memantau hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Beberapa jenis pemeriksaan glukosa darah diantaranya yaitu kadar glukosa darah
puasa (nuchter), kadar glukosa 2 jam setelah makan (post prandial), Kadar
glukosa darah sewaktu (random), dan test toleransi glukosa oral (TTGO).

Kadar glukosa darah puasa (nuchter) adalah kadar glukosa darah puasa diukur
setelah puasa makan selama 8 jam. Kadar glukosa darah ini menggambarkan level
glukosa yang diproduksi oleh hati. Nilai normal berkisar antara 70mg/dl sampai
110mg/dl. Kadar glukosa 2 jam setelah makan (post prandial) merupakan kadar
glukosa 2 jam setelah makan. Hasilnya menggambarkan efektifitas insulin dan
transportasi glukosa ke sel. Nilai normal berkisar antara 100 sampai 140mg/dl.
Kadar glukosa darah sewaktu adalah mengukur kadar glukosa darah tanpa
memperhatikan waktu makan. Kadar glukosa dapat dipengaruhi oleh stress. hasil
pengukuran berkisar antara 70mg/dl sampai 125mg/dl.

Test ini dilakukan untuk mendeteksi terjadi prediabetes dan diabetes, test toleransi
glukosa oral merupakan serangkaian pengukuran glukosa darah puasa jika
hasilnya normal atau mendekati normal. Pengukuran ini dilakukan setelah minum

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


16

cairan manis yang mengandung glukosa. Hasil normalnya kurang dari 200mg/dl
(Soegondo & Subekti, 2009).

2.2 Diabetes Melitus


2.2.1 Pengertian
American Diabetic Assoiation (ADA),(2010), Medefinisikan diabetes melitus
sebagai sekelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Menurut
Black & Hawks, (2009) diabetes adalah suatu penyakit kronis yang progresif
ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk memetabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein yang menyebabkan hiperglikemia. Menurut Dunning (2009)
DM adalah suatu penyakit metabolik dimana kemampuan tubuh untuk
menggunakan glukosa, lemak dan protein terganggu oleh defisiensi insulin atau
resistensi insulin sehingga menyebabkan meningkatnya konsentrasi glukosa darah
dan glikosuria. Jadi dapat disimpulkan bahwa diabetes mellitus merupakan
penyakit kronik progresif di mana tubuh tidak mampu memetabolisme glukosa,
lemak dan protein, akibat gangguan sekresi insulin, atau resistensi insulin,
sehingga menimbulkan hiperglikemi, glikosuri.

ADA (2014) telah menetapkan empat kriteria diagnostik yang digunakan untuk
mendiagnosa seseorang dengan DM. Kriteria pertama adalah dengan mengukur
kadar HbA1c. Tes ini harus dilakukan dilaboratorium yang telah tersertifikasi oleh
National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan terstandarisasi
oleh Diabetes Control and Complications Trial (DCCT). Menurut kriteria ini,
seseorang terdiagnosis diabetes jika memiliki kadar HbA1C ≥ 6.5%. Kriteria ke
dua adalah terganggunya kadar gula darah puasa (tidak mendapatkan kalori
tambahan sedikitnya selama 8 jam), yaitu ≥ 126 mg/ dl (7,0 mmol/L). Kriteria ke
tiga adalah kadar glukosa 2 jam pada tes glukosa oral (TTGO) ≥ 200mg/ dL (11,1
mmol/L). TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan yang setara
dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air. Kriteria terakhir
adalah pasien dengan gejala klasik DM, yaitu Glukosa darah sewaktu ≥

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


17

200mg/dL(11,1 mmol/L). Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan


sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan makan terakhir.

2.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi DM menurut ADA (2015) DM diklasifikasikan menjadi beberapa tipe
yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe spesifik, dan DM gestasional. DM tipe 1
terjadi sebagai akibat hancurnya sel beta pankreas sehingga menyebabkan
defisiensi insulin menetap. DM tipe 2 terjadi karena kerusakan progresif sekresi
insulin yang melatar belakangi terjadinya resistensi insulin. Berbeda dengan DM
tipe 1 dan 2 yang disebabkan kerusakan lagsung pada sel beta pankreas dan
sekresi insulin, DMtipe spesifik terjadi karena penyebab lainnya seperti karena
cacat genetik pada fungsi sel beta, cacat genetik pada kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas (cystic fibrotic), karena obat dan bahan kimia seperti setelah
pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ. DM tipe lainnya adalah
DM gestasional yaitu DM yang terjadi pada masa kehamilan

2.3 Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2)


Lebih dari 90% DM yang ditemukan adalah DMT2 (Soegondo, Soewondo,
Subekti, 2015). DMT2 timbul makin sering setelah umur 40 tahun (Soegondo,
Soewondo, Subekti, 2015). DMT2 ditandai dengan adanya resistensi insulin
perifer, kemudian terjadi peningkatan sekresi insulin (hiperinsulinemia) untuk
mengkompensasi resistensi insulin agar kadar glukosa tetap normal. Peningkatan
sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari sel beta. Sekresi amylin
tersebutakan ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi jaringan amiloid.
Jaringan amiloid yang baru terbentuk ini akan mendesak sel beta hingga akhirnya
jumlah sel beta dalam pulau langerhans jadi berkurang. Pada DMT2 jumlah sel
beta berkurang sampai 50-60% dari normal (Suyono, 2015).

2.3.1 Penyebab dan faktor resiko DM Tipe 2(DMT2)


DM tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit degeneratif berbasis genetik bersifat
poligenik, yang artinya apabila komponen genetik tersebut distimulasi oleh gaya
hidup salah akibat modernisasi, seperti peningkatan asupan lemak dan kalori dan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


18

disertai dengan hipoaktivitas, berpotensi menimbulkan DMT2 (Baier, Hanson.


2004).Pada DMT2,terjadi kerusakan progresif di pankreas yang mengakibatkan
sekresi insulin menurun secara progresif. Pada DM tipe 2 terjadi penurunan
kemampuan hampir sebagian besar sel dalammerespon insulin (resistensi
insulin)(Ignatavicius, 2006). Resistensi insulin dipengaruhi oleh beberapa factor,
diantaranya obesitas terutama yang bersifat sentral, diet tinggi lemak dan rendah
karbohidrat, kurang gerak badan, faktor keturunan, serta dipengaruhi oleh faktor
dislipedemi, hiperglikemia, hipertensi dan rokok dan faktor TNF alfa, IL 1, 1L 6
NFkB, Adiponektin, CPR (Suyono, 2015).

Melakukan identifikasi resiko DMT2 merupakan tindakan pertama yang sangat


penting dalam rangka melakukan proses pencegahan serta perkembangan penyakit
ini. Faktor resiko DMT2 dapat dikategorikan menjadi faktor yang dapat dirubah
dan yang tidak dapat dirubah. Faktor yang tidak dapat dirubah yaitu etnisitas, usia,
jenis kelamin, genetik, riwayat diabetes gestasional, riwayat penyakit jantung dan
hipertensi, dislipedemia. Sedangkan faktor yang dapat dirubah adalah obesitas,
kurang aktivitas, merokok, dan konsumsi alkohol (Laakso, 2008; Chamany &
Tabaei, 2010).

Faktor etnisitas merupakan faktor resiko DMT2 yang tidak dapat dirubah.
Beberapa etnisitas seperti Afrika-Amerika, Mexican American, American Indian,
suku Hawai dan beberapa kelompok Asia Amerika berisiko tinggi mengalami
DMT2 dan jantung (Suyono, 2015). Sebuah studi kohort selama 20 tahun
dilakukan untuk mengetahui faktor resiko DMT2 pada 78.419 wanita dari
berbagai etnis Asia, Hispanik, dan kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih
(Shai et al, 2006)

Faktor umur merupakan salah faktor resiko DMT2. Dengan bertambah umur
maka risiko berkembangnya DMT2 juga akan meningkat. Sebuah studi yang
dilakukan menunjukkan bahwa seseorang dengan usia lebih 50 tahun beresiko
lima kali lebih besar terjadinya DMT2 dibandingkan dengan yang berumur 20-30
tahun (Valliyot, Sreedharan, Muttappallymyalil, 2013). Studi lain juga

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


19

membuktikan bahwa bertambahnya umur juga meningkatkan risiko DMT2,


disebabkan oleh gaya hidup kurang gerak yang lama, stress, obesitas, faktor
genetik dan pertambahan usia (Majgi et al., 2012).

Faktor resiko DMT2 lainnya adalah faktor genetik yang merupakan faktor yang
paling berpengaruh. Kelainan yang diturunkan dapat langsung mempengaruhi sel
beta dan mengubah kemampuannya dalam mensekresikan insulin. Keadaan ini
meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan
yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pangkreas (Prince & Wilson,
2006). Lebih lanjut dikemukakan penyebab resistensi insulin disebabkan oleh
mutasi gen dari enzim glukokinase serta adanya kelainan pada reseptor insulin
(Robbins & Cotran’s, 2009)

Perilaku merokok merupakan salah satu faktor yang meningkatkan risiko DMT2.
Sebuah Penelitian menyebutkan merokok dapat meningkatkan metabolisme
glukosa yang buruk, meningkatkan indeks masa tubuh, dan resiko diabetes. Selain
itu, asap tembakau bersifat toksik terhadap pangkreas yang menimbulkan
kerusakan pankreas (pancreatitis, kanker pankreas) (Sairenchi et al, 2004; Wili,
Bondenmann, Chali, Faris, & Cornuz, 2007).

Konsumsi alkohol yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko DMT2. Hasil
studi systematic review yang di lakukan di Jepang oleh Seike, Noda & Kadowaki,
(2008) menjelaskan bahwa kosumsi alkohol berlebihan akan meningkatkan risiko
DMT2. Hal ini disebabkan oleh efek toksisitas alkohol yang akan merusak sel
islet pankreas dan mempengaruhi kemampuan sekresi insulin
Jenis kelamin juga mempengaruhi risiko untuk terkena diabetes. Wanita lebih
berisiko untuk terkena diabetes dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita
memiliki hormon estrogen yang dapat menyebabkan peingkatan lemak pada
jarigan subkutis (Corwin, 2009). Sehingga wanita lebih rentan terkena obesitas,
dan karenanya lebih berisiko terkena diabetes terutama jika mempunyai gaya
hidup yang tidak sehat.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


20

2.3.2 Perjalanan Penyakit DMT2


DMT2 berlangsung dari tahap asimtomatik dengan resistensi insulin. Tiga
metabolisme dasar yang rusak yang menjadi karakteristik penyakit ini yakni
resistensi insulin, kerusakan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa
oleh hati. Penyebab kerusakan tersebut belum dapat diketahui tetapi secara umum
karena faktor genetik, oleh karena itu individu dengan anggota keluarga yang
memiliki DM lebih berisiko untuk terkena DM. Banyak faktor yang dapat
menyebabkan resistensi insulin diantaranya adalah obesitas, penuaan, dan gaya
hidup. Selain itu glukotoxicity kronis dan kadar asam lemak bebas yang tinggi
juga dapat menjadi penyebab resistensi insulin (Barbara, dkk., 2000).

Tahap awal dari diabetes tipe 2 yakni pradiabetes (toleransi glukosa darah puasa
dan gula darah harian terganggu) dimana kadar glukosa lebih tinggi dari
normalnya tetapi tidak dalam kisaran diabetes. Pradiabetes cenderung
berkembang menjadi diabetes. Secara progresif, hiperglikemia persisten
menyebabkan komplikasi yang merupakan sumber utama morbiditas dan
mortalitas. Perjalanan penyakit ini mencerminkan hilangnya fungsi sel β, sebagian
karena faktor-faktor seperti peningkatan kadar glukosa dan lipid, peradangan, dan
stress oksidatif dan reticulum endoplasma (Phillips, L.S., dkk., 2014).

Proses yang menyebabkan DMT2 diawali dengan terjadinya hiperglikemia


beberapa tahun hingga puluhan tahun. Proses ini diawali dengan gangguan
metabolik yaitu resistensi insulin dalam meningkatkan penyerapan glukosa oleh
sel-sel otot dan lemak rangka. Pada awalnya sel beta pankreas mengkompensasi
kondisi hiperglikemia akibat resistensi insulin ini dengan cara meningkatkan
tingkat insulin, yang menyebabkan hiperinsulinemia. Kompensasi ini mampu
menjaga kadar glukosa normal untuk jangka waktu sampai beberapa tahun, tetapi
Impaired Glucose Tolerance (IGT) berkembang menjadi hiperglikemia
postprandial ringan (Barbara, dkk., 2000).

Akibat dari resistensi insulin yang buruk, secara umum kerusakan sekresi insulin
tersebut menyebabkan peningkatan produksi glukosa hepatik dan lebih lanjut

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


21

terjadi peningkatan glukosa darah puasa. Perkembangan dari Impaired Glucose


Tolerance ke pre DMT2 ditandai dengan penurunan fungsi sel β sehingga terjadi
penurunan sekresi insulin. Kegagalan tersebut berkembang dari waktu ke waktu.
Selama sel β pankreas mampu mengimbangi resistensi insulin dengan cara
meningkatkan produksi dan sekresi insulin, kadar glukosa tetap normal atau
mendekati normal. Namun, akhirnya sel β pancreas mulai gagal dan sekresi
insulin turun sehingga mengakibatkan hiperglikemia (Barbara, dkk., 2000).

Gambar 2.1: Grafik perjalanan penyakit resistensi insulin, berkembang dari


gangguan toleransi glukosa menjadi diabetes tipe 2

Sumber: diadaptasi dari Holman, R. R (1995)

2.3.3 Patofisiologi
Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan stress
oksidatif, IL-Iß dan NF-kB dengan akibat peningkatan apoptosis sel beta (Suyono,
2015). Hiperglikemia dapat menimbulkan gangguan pada organ-organ vital
tubuh.Bila jumlah glukosa masuk ketubulus ginjal dalam filtrasi glomerulus
meningkat diatas 225mg/menit, maka glukosa akan dibuang melalui urin. Pada
kondisi ini akan terjadi glukosuria yang menimbulkan efek domino yaitu diuresis
Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


22

karena efek osmotik glukosa. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik, sehingga
pasien akan mengalami poliuria dan rasa haus (polidipsi). Keseluruhan efeknya
adalah terjadi dehidrasi. Gejala lain adalah karena ada gangguan metabolisme
protein dan lemak sehingga sel lapar, menyebabkan polipagia yang diikuti gejala
penurunan berat badan, kelelahan dan kelemahan (Smeltzer & Bare, 2009).

Disamping itu pemecahan lemak karena defisiensi insulin akan menghasilkan


asam lemak dan akan dikonfersi menjadi badan keton yang digunakan untuk
sumber energi cadangan. Karena badan keton bersifat asam maka terjadi
gangguan asam basa. Akumulasi ini akan menyebabkan asidosis metabolik, dan
serangkaian gejala lain secara keseluruhan disebabkan karena ketiadaan insulin
atau resistensi insulin (Ignatavicius, 2006).

Pada DM tipe 2 terjadi gangguan produksi insulin atau ketidakmampuan tubuh


untuk menggunakan insulin (resistensi insulin). Insulin adalah suatu zat atau
hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pangkreas Smeltzer & Bare (2009).
Suyono, (2015) mengemukakan kelenjar endokrin pada pankreas memiliki satu
juta kelenjar kecil, salah satunya adalah pulau langerhans, ada dua bentuk sel
dipulau ini yang sangat penting terhadap kontrol glukosa. Sel alpa memproduksi
glukagon sedangkan sel beta memproduksi insulin. Insulin memungkinkan
glukosa bergerak memasuki sel dan membentuk energi. Insulin dapat diibaratkan
sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel.

Hati adalah organ besar pertama yang dicapai oleh insulin dalam darah. Didalam
hati insulin meningkatkan produksi dan penyimpanan glukagon (glikogenesis)
pada saat yang sama glukagon akan dipecah menjadi glukosa (glikogenolisis).
Insulin mencegah kerusakan jaringan dengan menghambat glikogenolisis,
ketogenesis (konversi dari lemak ke asam lemak), dan glukoneogenesis (konversi
protein ke glukosa). Didalam otot insulin meningkatkan sintesa protein dan
glikogen, sedangkan didalam sel lemak insulin meningkatkan penyimpanan
trigliserida. Secara keseluruhan insulin menjaga kadar glukosa darah dan kadar
lipid darah dalam rentang normal.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


23

Pada DM tipe 2 jumlah insulin terkadang normal, tetapi jumlah reseptor insulin
yang terdapat pada permukaan sel yang kurang (resistensi insulin) sehingga akan
menyebabkan insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa jaringan. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya resistensi insulin
yaitu faktor genetik, usia, obesitas. Walaupun terjadi gangguan sekresi insulin
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis
tidak terjadi pada diabetes tipe 2. Meskipun demikian diabetes tipe 2 yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindroma
Hyperglikemic Hyperosmolar Non Ketotic [HHNK](Smeltzer dan Bare, 2009).

2.3.4 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada DM terdiri dari komplikasi yang terjadi secara akut
dan komplikasi kronis. Komplikasi akut merupakan komplikasi metabolik,
sedangkan komplikasi kronik merupakan komplikasi vaskuler (Price & Wilson,
2006). Kedua jenis komplikasi ini membutuhkan perhatian dan penanganan yang
berbeda.

2.3.4.1 Komplikasi akut


Komplikasi akut pada DM yaitu hipoglikemi dan diabetes ketoasidosis.
Hipoglikemi adalah keadaan gawat darurat dengan klinik gangguan saraf yang
disebabkan penurunan glukosa darah sampai 50-60mg/dl (2,7 hingga 3,3 mmol/L)
(Smeltzer &Bare dalam Ernawati, 2013; Subekti, Soewondo, Soegondo, 2007).
Gejala hipoglikemia yang dirasakan klien mulai dari yang ringan seperti tremor,
takikardi, palpitasi, pandangan kabur sampai dengan penurunan kesadaran, koma.
Penanganan pertama pada pasien yang mengalami hipoglikemi adalah pemberian
glukosa (misal: permen, gula tebu) secara oral untuk pasien yang kesadarannya
tidak terganggu. Sedangkan untuk pasien dengan penurunan kesadaran, tindakan
kolaborasi berupa pemberian dextrose.

Diabetes ketoasidosis terjadi apabila kadar glukosa darah 300mg/dL sampai


800mg/dL, ketosis dan asidosis menimbulkan gejala anoreksia, muntah, nyeri

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


24

abdomen, nafas berbau keton dan pernafasan kusmaul serta pada kondisi berat
dapat terjadi koma diabetikum 3) Hiperglikemik hiperosolar non ketotik (HHNK)
yaitu terjadi ketika hiperglikemi namun tidak terjadi pemecahan lemak karena
masih ada sejumlah kecil insulin sehingga tidak terjadi ketoasidosis, gejala yang
didapatkan seperti hipotensi, dehidrasi berat, takikardi dan gejala-gejala neurolgis
dari yang ringan sampai yang berat (Smeltzer dan Bare, 2009).

2.3.4.2 Komplikasi kronis


Meningkatnya komplikasi kronis maupun akut pada DMT2, mengakibatkan
peningkatan biaya kesehatan, kecacatan, penurunan kualitas hidup dan kematian
(Farshci et al 2014; IDF, 2014). Peningkatan biaya kesehatan diabetes dan
komplikasinya secara global pada tahun 2013 sejumlah 548 billion USD dan
diprediksi meningkat menjadi 678 billion USD pada tahun 2035. Senada dengan
penelitian di Iran yang menganalisa biaya diakibatkan oleh komplikasi kronis oleh
DMT2, menunjukkan biaya rata-rata yang dibutuhkan per individu untuk rawat
jalan adalah 393,6±47,8 USD, sedangkan rawat inap menghabiskan biaya
sejumlah 1520,7±104,5 USD (Farshchi et al, 2014). Besarnya biaya kesehatan
pada individu DMT2 serta komplikasinya disebabkan oleh bertambahnya biaya
pelayanan kesehatan, penurunan aktivitas, kecacatan, dan meningkatkan beban
keluarga dan masyarakat (IDF, 2014). Oleh karena itu pencegahan komplikasi
kronis harus diupayakan untuk mengurangi beban dan biaya kesehatan dengan
cara deteksi dini (Farshchi et al, 2014).

Komplikasi kronis merupakan komplikasi jangka panjang terdiri dari komplikasi


mikrovaskuler dan makrovaskuler.Komplikasi kronis DMT2 dibuktikan sebuah
Studi crossectional di beberapa negara. Penelitian dilakukan di Pakistan oleh
Shera, Jawad, Maqsood, Jamal, Azfar & Ahmed (2004) menjelaskan bahwa dari
500 sampel orang DMT2, 43% mengalami retinopati, 39,6% mengalami
neuropati, 4% mengalami ulkus kaki diabetic, 20,2% mengalami nefropati,
Komplikasi makroangiopati juga ditemukan dari 102 individu dengan diabetes,
terdiri dari 17% angina, 5% dengan serangan jantung, dan 2,6% mengalami
stroke. Studi lain juga dilakukan oleh Liu, Fu, Wang, dan Xu (2010) pada pasien

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


25

rawat jalan di rumah sakit di Cina, dengan jumlah sampel 1524. Hasinya
menunjukkann 52% mengalami komplikasi kronis, diamana tiap daerah didapat
nilai bervariasi tiap daerah dan meningkat secara signifikan sesuai dengan umur,
lama menderita DMT2. Dari kedua hasil studi diatas dijelaskan bahwa komplikasi
kronis disebabkan oleh kontrol glikemik buruk (nilai HbA1c diatas normal).

Komplikasi mikrovaskuler secara patogenetik disebabkan oleh meningkatnya


pembentukan AGES (advances glycosylated end products) akibat hiperglikemia
kronik, yang kemudian terakumulasi sehingga menyebabkan penebalan otot
kapiler membran basalis (MBT). Komplikasi mikrovaskuler meliputi 1)
retinopatiyang merupakan penyebab terbesar kebutaan pada klien dengan DM. 2)
Nefrophaty diabetic adalah salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal stage 5
yang dikenal dengan ESRD (ends stage renal disease). Sekitar 35% sampai 45%
klien diabetes tipe 1 ditemukan menderita nefrophaty 15 sampai 20 tahun setelah
terdiagnosis diabetes. Sekitar 20% klien DM tipe 2 ditemukan menderita
nefrophaty setelah didiagnosis diabetes. 3) Neuropati diabetik merupakan
komplikasi yag umum terjadi pada klien diabetes dengan prevalensi antara 25%
sampai 50%. Dinegara berkembang neuropati diabetes memberikan kontribusi
50% sampai 75% untuk terjadinya amputasi non traumatik karena ulkus diabetik
(Effendi & Waspadji, 2012).

Komplikasi makrovaskuler diartikan sebagai penebalan dinding pembuluh darah


sering terjadi akibat proses aterosklerotis yang disebabkan oleh proses inflamasi
ringan yang berlangsung secara menahun (Effendi & Waspadji, 2012).
Komplikasi ini bisa berupa penyakit arteri koronaria, penyakit serebrovaskuler,
dan penyakit vaskuler perifer. Penyakit makrovaskuler (penyakit arteri besar)
merupakan refleksi dari arterisklerosis akibat deposit lemak dilapisan terdalam
dinding pembuluh darah. Resiko komplikasi ini lebih tinggi pada diabetes tipe 1
dibandingkan dengan diabetes tipe 2 (Fain, 2009).

Penyebab kaki diabetik terjadi akibat gabungan berbagai kerusakan yang terjadi
pada tubuh individu dengan DMT2 seperti neuropati, penyakit arteri perifer dan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


26

deformitas bentuk kaki (Meeking, Holland & Land, 2005). Bila terdapat faktor
pencetus seperti luka kecil, cedera, infeksi jamur, penyakit kaki diabetik yang
memicu terjadinya ulkus kaki diabetik (Somroo, Hashmi, Iqbal & Ghori, 2011).
PERKENI, 2013 menjelaskan bahwa pengelolaan manajemen ulkus kaki diabetik
yang kurang tepat dan dapat meningkatkan risiko terjadinya amputasi baik minor
maupun mayor pada kasus ulkus kaki diabetik.

Neuropati diabetik terjadi akibat kerusakan saraf yang muncul disebabkan


kekacauan proses metabolik yang berhubungan dengan diabetes melitus, sekitar
60-70% terjadi neuropati baik pada DMT1 maupun DMT2 (semb, 2005).
Neuropati perifer menyebabkan kehilangan sensasi pada kaki membuat individu
dengan DM tidak bisa merasakan jika terjadi cidera pada kaki mereka.
Memungkinkan terjadinya deformitas (hammer toes, Claw toes) kaki dan
berkembangnya callus. Deformitas pada kaki akan meningkatkan tekanan pada
titik tertentu dan rentan berkembang menjadi ulkus (Semb, 2005; Somroo et al.,
2011; Chin & Huang, 2013)

Neuropati merupakan komplikasi yang umum terjadi pada klien diabetes dengan
prevalensi antara 25% sampai 50%. Dinegara berkembang neuropati diabetes
menjadi penyebab 50% sampai 75% terjadinya amputasi non traumatik sebagai
akibat dari ulkus diabetik. Mekanisme terjadinya disfungsi vaskuler dan sel saraf
pada kondisi hiperglikemi tidak diketahui dengan pasti. Namun ada beberapa
kondisi mekanisme biokimia yang memungkinkan menjadi pemicu yaitu
glikosilasi nonenzimatic, stres oksidatif yang meningkat, adanya inflamasi syaraf,
aktivasi dari polyol, dan aktivasi dari protein kinase C, pada serabut saraf yang
terus menerus terpajan oleh hyperglikemi dalam jangka waktu lama akan
meningkatkan regulasi biokimia. (Unger, 2007).

Kejadian DMT2 berhubungan erat dengan hiperglikemia kronis yang dapat


mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, neurologi dan vaskuler perifer, yang
mengakibatkan kerusakan pada syaraf (neuropati perifer) yang meningkatkan
risiko terjadinya infeksi (misalnya jamur) dibandingkan dengan pasien yang tidak

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


27

mengalami diabetes (Lipsky & Barendt, 2006). Kondisi ini yang meningkatkan
orang dengan DMT2 mengalami penyakit kaki diabetick Selain itu karena serabut
saraf tidak memiliki suplai darah sendiri dan bergantung pada proses difusi zat
nutrien dan oksigen yang melewati membran sehingga saat kondisi hiperglikemik
yang terjadi terus menerus akan mempengaruhi proses difusi dan ketika axon dan
dendrite tidak mendapatkan nutrisi maka impuls transmisi menjadi lambat,
disamping itu akumulasi sarbitol dalam jaringan sarafakan mengurangi fungsi
sensorik dan motorik yang pada akhirnya akan menyebabkan berkembang
masalah neurologik yang permanen (Fain, 2009). Kerusakan pada saraf sensori
akan menimbulkan gejala nyeri dan kehilangan sensasi, kerusakan pada serat saraf
motorik akan menyebabkan kelemahan pada otot dan kerusakan pada sistem saraf
autonomik akan menyebabkan kehilangan beberapa fungsi tubuh yang luas
(Mcleod, 2006).

Ulkus kaki diabetik juga dipengaruhi oleh faktor kerusakan sirkulasi perifer yaitu
Peripheral Artery Disease (PAD). Sebuah penelitian dilakukan oleh Norman,
Davis, Bruce (2006) menjelaskan kejadian PAD sebanyak 13,6% dari 1.294
sampel, dan juga menjelaskan angka PAD pada DM adalah 3,7% pertahun. Pasien
dengan DM berisiko empat kali lebih besar mengalami penyakit insufiensi arteri
perifer yang disebabkan oleh aterosklerosis (Shearman & Pal, 2013).
Aterosklerosis pada pasien DM lebih banyak mengandung kalsium dan
meningkatnya tanda inflamasi dan secara makroskopik kondisi ini akan
berdampak pada pembuluh darah distal, biasanya terjadi pada betis dan kaki.
Menurut (Shearman & Pal, 2013) menjelaskan pada pasien DM cendrung tidak
mampu membentuk kolateralisasi setelah terjadi oklusi pada pembuluh darah dan
penurunan perfusi akibat kondisi ini akan menghambat proses penyembuhan luka
dan respon terhadap infeksi.

Penurunan imunitas tubuh dalam proses terjadinya ulkus kaki pada penyakit kaki
diabetic berhubungan dengan penurunan respon sel T, fungsi neutrofil, serta
gangguan fungsi imunitas humoral. Kondisi ini mengakibatkan individu dengan
DMT2 rentan mengalami infeksi yang sulit diatasi (Alves, Casqueiro, 2012).

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


28

Lebih lanjut menjelaskan bahwa masalah infeksi pada kaki diabetik merupakan
faktor penyebab meningkatnya angka kejadian ulkus diabetik kronis,
osteomielitis, amputasi serta kematian pada individu dengan DMT2.

Komplikasi Makrovaskuler menyebabkan terjadinya penyakit kardiovaskuler


dimana pasien DM akan mempunyai 2 sampai 3 kali lipat resiko untuk
mengalami penyakit kardiovaskuler dibandingkan dengan pasien yang tidak DM.
Resiko ini meningkat pada DM tipe 1 maupun tipe 2 dimana prevalensinya pada
wanita lebih besar dari pada laki-laki (Spanheimer, 2002 dalam Mcleod, 2006).
Miokardial infark adalah penyebab utama kematian pada pasien DM. Kondisi ini
disebabkan oleh penyakit arteri koroner, cardiomiopati dan pembekuan darah
abnormal. Disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung umumnya terjadi pada
pasien DM setelah miokard infark (Tan & Yaoung, 2001 dalam Mcleod, 2006)
Komplikasi makrovaskuler juga menyebabkan terjadinya penyakitserebrovaskuler
seperti stroke yang disebabkan oleh kerusakan sirkulasi arteri pada
serebrovaskuler. Penyakit Makrovaskuler (penyakit arteri besar) merupakan
refleksi dari arterisklerosis akibat deposit lemak dilapisan terdalam dinding
pembuluh darah. Resiko komplikasi ini lebih tinggi pada diabetes tipe 1
dibandingkan dengan diabetes tipe 2 (Mcleod, 2006; Fain, 2009).

2.3.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Upaya penatalaksanaan DMT2 merupakan usaha yang komprehensif yang perlu
dilakukan oleh tenaga kesehatan dan pasien. Hal ini dikarenakan penatalaksanaan
DMT2 tidak hanya berfokus pada kendali glikemik (HbA1C < 6,6%) tetapi juga
upaya pencegahan untuk menghindari komplikasi dan upaya pemeliharaan sel-sel
beta pankreas dari cidera akibat stress oksidatif. Tujuan dari penatalaksanaan DM
ada 2 yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan
penatalaksanaan jangka pendek untuk DM bertujuan untuk menghilangkan
keluhan atau gejala, mempertahankan kenyamanan dan kesehatan serta
mengendalikan kadar gula darah. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah
untuk mencegah terjadinya komplikasi atau penyulit baik makroangiopati,

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


29

mikroangiopati, maupun neuropati dengan tujuan akhir menurunkan angka


morbiditas dan angka mortalitas DM.

Penatalaksanaan DM melibatkan beberapa disiplin ilmu terdiri dari diabetologist,


perawat spesialis diabetes/diabetes educator/perawat praktisi diabetes, dietisian,
podiatris, social worker, psikolog, dokter umum agar penatalaksanaan dapat
berhasil guna bagi diabetesi dan meminimalkan terjadinya komplikasi (Dunning
2009). Menurut Waspadji dalam Soegondo, Soewondo, Subekti, (2015) ada empat
pilar manajemen DM terdiri dari yaitu 1) Perencanaan makan 2) latihan
jasmani3) obat berkasiat hipoglikemik 4) penyuluhan. Sedangkan menurut
Smeltzer & Bare (2009) ada lima pilar penatalaksanaan DM adalah sebagai
berikut: 1) manajemen nutrisi, 2) latihan jasmani, 3) monitoring, 4) terapi
farmakologi, 5) edukasi.

Pilar manajemen nutrisi yang penting diperhatikan yakni nutrisi, diet, dan
pengendalian berat badan yang merupakan dasar manajemen diabetes melitus.
Perencanaan makan standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
seimbang dimana terdapat 45 – 60% karbohidrat, 10 – 20% protein, dan 20 – 25
% lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress
akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
idaman (Waspadji, 2015).

Untuk menentukan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa
Tubuh (IMT), dengan rumus IMT= BB (kg) / {TB (M)}². Klasifikasi IMT adalah
berat badan kurang jika nilai yang didapat <18,5, berat badan normal nilai 18,5-
24,9, berat badan lebih ≥25,0 (pre obesitas 25-29,9, obesitas satu 30-34,9, obesitas
dua 35-39,9, obesitas tiga ≥40). Sedangkan untuk menghitung kebutuhan kalori,
terlebih dahulu perlu dihitung berat badan ideal. Berat badan ideal: 90% X
(Tinggi badan – 100 cm). Setelah didapat berat badan ideal, untuk menghitung
kebutuhan kalori: Berat badan ideal dikalikan 30 (untuk laki-laki); atau berat
badan ideal dikalikan 25 (untuk perempuan). Kebutuhan kalori ini dapat naik atau
turun sesuai dengan kondisi tubuh individu. Hal yang mempengaruhi kebutuhan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


30

kalori individu diantaranya infeksi (meningkatkan kebutuhan kalori sebanyak


10%), berat badan berlebih, serta tingkat aktifitas atau pekerjaan individu.
Salah satu cara untuk mengendalikan kadar glukosa darah adalah dengan latihan
jasmani dan aktifitas fisik. Latihan jasmani dan aktifitas fisik merupakan salah
satu pilar yang telah sejak abad yang lalu oleh dokter dinasti Sui di Cina dan
manfaatnya terus diteliti sampai sekarang (Ernawati, 2013). Latihan fisik
disarankan dilakukan secara teratur (3 - 4 kali seminggu) selama 30 menit.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75 – 85% denyut nadi maksimal (220 –
umur) dan disesuaikan dengan kemampuan dan penyakit penyerta. Olahraga yang
dianjurkan seperti berjalan kaki, jogging, senam dan berenang (Waspadji, 2011).
Latihan jasmani menurunkan kadar glukosa darah secara langsung sampai selama
24 jam setelah latihan. Permeabilitas membran terhadap glukosa akan meningkat
pada otot-otot yang berkontraksi. Pada otot yang berkontraksi terjadi peningkatan
kebutuhan glukosa, sedangkan kadar insulin tidak meningkat. Hal ini disebabkan
karena peningkatan kepekaan reseptor insulin otot dan pertambahan insulin otot
pada saat melakukan kegiatan jasmani/ olahraga. Respon ini hanya terjadi pada
saat latihan fisik, tidak merupakan efek yang menetap atau berlangsung lama,
sehingga olahraga harus terus dilakukan secara teratur.

Terapi farmakologi diberikan jika pasien mengalami kegagalan mengendalikan


kadar glukosa darah setelah melakukan perubahan gaya hidup untuk mencegah
terjadinya komplikasi diabetes (Waspadji, 2015) atau pasien DM dipertimbangkan
jika kadar glukosa darah tidak dapat mencapai normal atau mendekati normal
dengan pengaturan diet dan latihan jasmani (Black & Hawks, 2009).Pemilihan
jenis farmakologi sangat tergantung pada diagnosis diabetes ditegakkan yaitu
sesuai dengan kelainan dasar yang terjadi bisa berupa resistensi insulin pada
jaringan lemak, otot dan hati,peningkatan produksi glukosa oleh hati, dan sekresi
insulin oleh pankreas yang berkurang. Terapi farmakologi dapat berupa obat
hipoglikemik oral (OHO) yang berupa penambah sensitivitas terhadap insulin
seperti biguanid dan tiazolidion, efek samping biguanid adalah menimbulkan rasa
mual dan efek samping Tiazolindion yaitu edema. Penghambat glukosidase alfa
dan incretin mimeticyang merupakan penghambat DPP-4nama obatnya Acarbose,

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


31

dan efek sampingnya timbul kembung.OHO untuk pemicu sekresi insulin seperti
sulfonilurea dan glinid.Sulfonylurea berefek samping terjadi hipoglikemia dan
naiknya berat badan. Glinid berefeksamping terjadi hipoglikemia. Pemakaian
obathipoglikemi oral diberikan berdasarkan interaksi obat dalam tubuh. misalnya
Metformin dari golongan buguanid diberikan 500 hingga 1700mg/hari, Metformin
berefek meningkatkan produksi glukosa dihepar, serta menurunkan absorbsi
glukosa usus dan meningkatkan kepekaan insulin khususnya dihati. Metformin
tidak menyebabkan peningkatan berat badan dapat dipakai oleh pasien obesitas.
Tiazolidinedion dapat menambah sensitivitas terhadap insulin perifer dan
menurunkan produksi glukosa hati. Dosisnya 4 hingga 8 mg/hari. Bila kadar gula
darah tidak dapat dikontrol dengan cara-cara diatas maka pasien DMT2 yang sel
beta masih berfungsi maka dapat menggunakan sulfonylurea. Obat-obat ini
merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan produksi insulin. Dosisnya adalah
glipizid 2,5 sampai 40 mg/hari dan gliburid 2,5 hingga 25 mg/hari. Gabungan
sulfonurea dan pensensitif insulin adalah terapi yang sering digunakan untuk
pasien dengan diabetes tipe 2 (Price dan Wilson, 2006).

Terapi insulin dapat diberikan kepada semua individu dengan DMT1 yang
memerlukan insulin eksogen, pada pasien DMT2 tertentu yang membutuhkan
insulin yaitu: infeksi berat, tindakan pembedahan, Infark Miokard akut dan
Stroke, DM gestasional, Ketoasidosis Diabetik, Hiperglikemik Hiperosmolar non
ketotik, gangguan fungsi ginjal dan hati berat, alergi terhadap OHO. Terdapat
beberapa jenis insulin yang dapat diberikan sesuai dengan kondisi pasien.
Berdasarkan kecepatan kerjanya, insulin dibagi menjadi insulin kerja singkat
(rapid-acting), insulin kerja pendek (short-acting), insulin kerja menengah
(intermediate-acting), insulin kerja panjang (long-acting), dan insulin infasik
(campuran). Jenis insulin ini memiliki onset kerja, masa puncak, dan durasi yang
berbeda-beda.

Insulin kerja singkat (rapid-acting) merupakan insulin yang memiliki durasi kerja
selama 3-5 jam. Jenis insulin ini bekerja dalam 5-15 menit setelah pemberian dan
mencapai puncak dalam 30-90 menit. Oleh karena itu, insulin kerja singkat

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


32

diberikan 5-10 menit sebelum makan untuk mencegah hiperglikemia post


prandial. Contoh insulin kerja pendek diantaranya glulisine, aspart, lispro. Insulin
ini diberikan dengan disuntikkan di jaringan sub kutan.
Insulin kerja pendek (short-acting) memiliki durasi kerja hingga delapan jam.
Waktu yang dibutuhkan dari pemberian hingga insulin bekerja yaitu 30 menit dan
mencapai puncak dalam 1-3 jam. Efek ini akan bertahan selama 8 jam. Insulin ini
dapat diberikan secara intravena, intramuscular, sub kutan maupun melalui drip
infus glukosa atau elektrolit. Contoh insulin kerja pendek yatu Insulin regular
(Cristal Zinc insulin/ CZI) contoh obat:Actrapid, Velosulin, Semilente, humulin
R.

Insulin kerja menengah (intermediate-acting) memiliki efek yang bertahan hingga


24 jam setelah pemberian. Insulin ini memiliki onset atau awal kerja 1,5-2,5 jam
dan mencapai puncak dalam 4-15 jam. Contoh insulin kerja menengah yaitu
Netral protamine hegedorn (NPH), monotard, insulatard, Humulin N. insulin ini
tidak dianjurkan untuk diberikan secara intravena karena berisiko menyebabkan
emboli.

Insulin kerja panjang (long-acting) merupakan jenis insulin yang diabsrobsi


secara lambat sehingga memiliki durasi kerja 24-36 jam. Contoh insulin kerja
panjang yatu protamine zinc insulin, dan ultratard. Sama seperti insulin kerja
pendek, insulin ini juga tidak disarankan diberikan secara intravena karena bahaya
emboli.

Yang terakhir adalah jenis insulin infasik (campuran), yang merupakan kombinasi
insulin jenis singkat dan menengah. Contohnya adalah mixtard 30/40. Insulin ini
diberikan secara sub-kutan (Soegodo, Soewondo & Subekti, 2015).

Penyuluhan/ edukasi merupakan pilar utama dalam penatalaksanaan diabetes


karena perannya sangat penting untuk merubah pola hidup dan pola pikir
diabetesi dalam mengelola kehidupan mereka setelah terdiagnosis DM. Waspadji
(2011) mengemukakan pendidikan kesehatan dilakukan dengan tujuan menunjang

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


33

perubahan perilaku klien diabetes untuk meningkatkan pemahaman klien akan


penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat optimal dan
penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang lebih baik. Pendidikan
kesehatan merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan klien diabetes.

2.3.6 Ulkus kaki Diabetes


Ulkus kaki diabetes adalah perubahan patologis pada kaki penderita diabetes
akibat infeksi, ulserasi, yang berhubungan dengan abnormalitas neurologis,
penyakit vaskuler perifer dengan derajat bervariasi (Fryberg, 2002)

2.3.7 Perjalanan Penyakit Ulkus kaki diabetes


Perjalanan penyakit kaki diabetes terdiri dari enam tahapan yakni:
a. Tahap 1: normal foot
Pada tahap ini, klien tidak memiliki faktor risiko neuropati, iskemik, deformitas,
kalus dan edema. Kaki klien bebas dari komplikasi diabetes tetapi kemungkinan
juga dapat mengakibatkan masalah patologis lainnya pada kaki.
b. Tahap 2: high risk foot
Tahap ini klien memiliki satu atau lebih faktor risiko terjadinya ulserasi kaki
seperti neuropati, iskemik, deformitas, kalus, dan edema. Faktor risiko yang
paling utama tersebut diantaranya neuropati dan iskemik. Ketika faktor-faktor
risiko tersebut ada, klien memiliki risiko besar mengalami ulserasi. Klien tanpa
mengalami active foot ulceration tetapi dengan riwayat ulserasi sebelumnya juga
memiliki risiko yang besar. Pada tahap 2 ini terdapat beberapa kondisi bukan
ulserasi tetapi perlu mendapatkan perawatan seperti iskemik kronik berat dan
iskemik akut. Selain itu juga terdapat komplikasi khusus neuropati yakni charcot’s
osteoarthropathy seperti fraktur neuropatik, serta painful neuropathy.
c. Tahap 3: ulcerated foot
Pada tahap ini kulit kaki klien mengalami kerusakan. Walaupun belum terjadi
ulser, penting untuk tidak meremehkan luka yang tampaknya kecil, seperti
melepuh, celah kulit/ skin fissures yang kesemuanya akan menjadi ulser jika
kondisi tersebut tidak dirawat secara benar. Ulserasi biasanya terjadi pada
permukaan plantar pada neuropathic foot dan pada batas neuroischemic foot.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


34

d. Tahap 4: Infected foot


Pada tahap ini kaki klien mengalami infeksi dimana dapat terjadi sebagai
komplikasi neuropatic foot dan neuroiskemik foot.
e. Tahap 5: necrotic foot
Pada tahap ini kaki telah mengalami nekrosis. Pada neuropathik foot infeksi
biasanya yang menjadi penyebabnya. Pada neuroischaemik foot, infeksi
merupakan penyebab utama kerusakan jaringan walaupun terjadi iskemik juga
berkontribusi menjadi penyebabnya.
f. Tahap 6: unsalvageable foot
Pada tahap ini kaki klien tidak dapat dipertahankan dan harus dilakukan amputasi.
Beberapa alasan utama dilakukannya amputasi yakni karena nekrosis yang sangat
luas yang merusak seluruh jaringan kulit, infeksi berat yang akan membahayakan
kehidupan klien, nyeri iskemik yang tidak hilang aatau diatasi, unstable foot dan
ankle

2.3.8 Faktor resiko tejadinya ulkus kaki diabetik


Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh neuropati atau penyakit pembuluh darah
perifer akibat diabetes melitus. Penyembuhan yang lambat menyebabkan
mobilitas pasien bekurang, kualitas hidup berkurang dan meningkatkan risiko
amputasi ekstremitas bawah.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


35
Skema 2.1 Patofisiologi Ulkus Diabetes

Faktor risiko kaki diabetik adalah neuropathy perifer, penyakit pembuluh darah
perifer, riwayat diabetes melitus lebih dari 10 tahun, kontrol glukosa yang jelek,
riwayat diabetes melitus komplikasi vaskuler (seperti cardiovaskuler, retinal atau
renal) dan jenis kelamin laki-laki. (Richman, Sharon & Adler, Amy P, 2010).

a. Ulkus kaki diabetik terjadi akibat neuropati perifer dan penyakit vaskuler.
1) Neuropati
Lebih dari 60 % ulkus kaki diabetik terjadi akibat neuropati. Status hiperglikemik
menyebabkan peningkatan aktivitas enzym aldose reduktase dan sorbitol
dehidrogenase. Hal ini mengakibatkan konversi glukosa intraseluler menjadi
sorbitol dan fruktosa, sehingga terjadi akumulasi yang akan menurunkan sintesis
myoinositol sel saraf yang dibutuhkan untuk konduksi neuron normal.
Selain itu, konversi glukosa menurunkan simpanan adenin nikotinamid
dinukleotida phosphate yang diperlukan untuk detoksifikasi oksigen reaktif dan
sintesis vasodilator nitric oxide. Stress oksidatif pada sel saraf yang meningkat
Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


36

dan vasokonstriksi menyebabkan iskemia yang dapat memicu cedera dan


kematian sel saraf. Hiperglikemia dan stress oksidatif juga berkontribusi terhadap
glikasi abnormal protein kinase C sehingga terjadi disfungsi saraf dan iskemia
lebih lanjut.

Meningkatnya resiko terjadinya ulkus diabetes disebabkan oleh beberapa hal


berikut (PERKENI, 2012)
a. Hilangnya sensibilitas yang memberikan perlindungan terhadap rasa nyeri,
tekanan dan suhu.
b. Neuropati motorik menyebabkan atrophi dan kelemahan otot-otot dan
kelemahan otot-otot intrinsik (interosseus, lumbrikal) yang menyebabkan
deformitas fleksi (claw toes) sehingga terjadi peningkatan tekanan pada daerah
metatarsal dan ujung jari kaki.
c. Neuropati otonom perifer menyebabkan produksi keringat berkurang, kulit
kering dan mudah pecah. Neuropati ini menyebabkan vasodilatasi perifer
sehingga terjadi peningkatan pintasan (shunt) arteri-vena yang menyebabkan
perubahan perfusi tulang pada ekstremitas bawah, terjadi peningkatan reasorpsi
tulang sehingga terjadi fraktur neuropati (char cot foot)
Gangguan neuropati perifer ditemukan gangguan sensasi yang dapat dibuktikan
dengan Semmes Weinstein Monofilament berukuran 5,07 yang setara dengan
tekanan 10 gram yang bertujuan mengetahui ambang rasa tekan.

2) Gangguan pembuluh darah


Pheripheral Arterial Disease (PAD) merupakan faktor yang berperan terjadinya
ulkus kaki diabetik hingga 50 % dari kasus. Umumnya mempengaruhi arteri tibial
dan arteri peroneal. Status hiperglikemik akan mempengaruhi sel endotel dan sel
halus pada arteri perifer. Penurunan endotelium vasodilator akan menyebabkan
kontriksi. Hiperglikemia pada diabetes melitus meningkatkan tromboksan A2,
suatu vasokonstriktor dan agregasi platelet agonis yang dapat meningkatkan risiko
hiperkoagulasi plasma. Faktor lain yang mempenagruhi adalah rokok, hipertensi
dan hiperlipidemia. Kondisi ini menyebabkan oklusi arteri mengakibatkan
iskemia pada ekstremitas bawah yang meningkatkan risiko ulkus pada pasien

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


37

diabetes melitus. (Clayton, Warren & Tom, A Elasy, 2009). Ateroskerosis pada
penderita DM akan 2,3 kali lebih tinggi pada populasi umumya yang menghambat
penyembuhan luka. Ganggren yang luas mengakibatkan amputasi kaki. Gangguan
pembuluh darah dapat dideteksi dengan angiografi, perabaan pulsasi denyut nadi,
alat ultrasound Doppler serta nilai Ankle Brachial Index yaitu perbandingan
tekanan darah sistolik kaki dan tangan.

3) Perubahan tekanan pada plantar kaki


Fernando dan Walewski membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan tekanan
pada bagian lateral kaki termasuk kaput metatarsal jari III, IV, dan V baik pada
orang normal maupun pada penderita diabetes neuropati. Namun pada diabetes
neuropati mempunyai tekanan lebih tinggi pada kaput metatarsal jari I. Sedangkan
pada orang yang sehat, tekanan lebih tinggi pada tumit. Hal ini disebabkan telah
terjadi perpindahan tekanan dari tumit ke bagian depan kaki pada awal neuropati.
Tidak terdapat tekanan pada sisi-sisi plantar kakin yang lain. Sedangkan Veves A,
Murray H dan Young MJ bahwa ulkus kaki pada diabetes sering pada kaput
metatarsal jari III, disusul metatarsal jari I. pemeriksaan perubahan tekanan kaki
dapat digunakan pemerisaan Harris Mat Print yang dapat melihat tekanan
berlebihan dengan warna tinggi densitasnya sehingga dapat diketahui daerah kaki
yang rentan luka dan berguna dalam pengaturan bentuk insole sepatu.

Deformitas kaki menyebabkan perubahan tekanan kaki yang akan meningkatkan


risiko ulkus seperti perubahan struktur tulang dan jaringan ikat, terbatasnya
mobilisasi sendi, pembentukan kallus. Deformitas kaki (claw toes) disebabkan
neuropati motorik sering mengalami ulserasi karena atrofi otot interosseus yang
menimbulkan deformitas fleksi dan meningkatkan tekanan pada daerah metatarsal
dan ujung kaki dengan risiko terbentuk kallus yang rentan infeksi.

Ulkus pada neuropati perifer disebabkan beberapa faktor seperti: tekanan terus
menerus (sepatu sempit), tekanan berulang (waktu berjalan), luka tusuk, home
surgery (memotong kuku, mengikis kallus), antiseptic dan trauma panas.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


38

2.3.9 Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetik


Ulkus diabetik harus dievaluasi agar dapat membantu dalam memilih rencana
pengelolaan yang tepat. Karakteristik ulkus dievaluasi termasuk ukuran,
kedalaman, penampilan dan lokasi. Berbagai sistem klasifikasi dapat digunakan
untuk menilai ulkus kaki diabetik. Klasifikasi yang paling sering digunakan
adalah Wagner, Pedis, Texas, dan CAD.

Klasifikasi ulkus kaki yang pertama adalah klasifikasi menurut Wagner. Wagner
membagi ulkus kaki diabetic menjadi 5 tingkat/grade berdasarkan kedalaman dan
komplikasi ulkus. Grade 1 merupakan ulkus superfisial. Ulkus kaki dikategorikan
sebagai grade 2 jika telah menyebar ke ligament, tendon, kapsula sendi atau fasia.
Ulkus yang disertai dengan infeksi atau osteomyelitis digolongkan sebagai grade
3. Sedangkan untuk ulkus yang sudah mengalami gangrene, dikategorikan sebagai
grade 4 jika ulkus disertai gangrene local, dan grade 5 jika disertai gangrene
ekstensif.

Klasifikasi Texas mengkategorikan ulkus berdasarkan kedalaman ulkus. Tingkat 0


jika ulkus tanpa tukak atau pasca tukak, kulit intak/ utuh. Tingkat 1 untuk luka
superfisial dan tidak melibatkan tendon, tulang dan kapsul sendi. Tingkat 2 jika
ulkus menembus tendon atau kapsul sendi, dan tingkat 3 jika ulkus menembus
tulang atau sendi.

Klasifikasi PEDIS mengklasifikasikan ulkus berdasarkan perfusi,


extent/size/ukuran ulkus, depth/kedalaman luka, infection/infeksi yang menyertai
luka, sensation/keutuhan sensasi yang dirasakan oleh pasien. SAD: Size (Ukuran
luka), AreDepth (Kedalaman luka), Sepsis, Arteriopathy, Denervation(White R &
Mcintosh C, 2008)

2.3.10 Manifestasi Klinik


Tanda dan gejala yang dialami oleh pasien dengan ulkus kaki diabetik dapat
berupa tanda dan gejala neuropathy, neuroiskemik, maupun akibat infeksi ulkus
kaki. Tanda dan gejala neuropati disebabkan menurunnya sensasi pada kaki yang

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


39

mengalami ulkus. Tanda dan gejala neuropati biasanya muncul pada area yang
mengalami tekanan mekanik yang tinggi seperti pada telapak kaki.Tanda dan
gejala ulkus kaki diabetik neuroiskemik muncul pada ulkus yang terjadi pada
daerah yang mengalami tekanan yang rendah untuk waktu yang lama. Bagian kaki
yang sering mengalami gejala neuroiskemik misalnya bagian samping kaki atau
jari kaki karena sepatu. Tanda dan gejala neuroiskemik dapat muncul disertai
dengan neuropati. Tanda dan gejala infeksi ulkus kaki diabetik : nyeri, edema,
kemerahan, tenderness, hangat, bau busuk dan keluar nanah.

2.3.11 Pendekatan diagnosis kaki diabetes


a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan vaskuler
- Pemeriksaan neuropati
- Pemeriksaan kulit
- Pemerisaan tulang dan otot
- Pemeriksaan sepatu atau alas kaki
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang berperan pada kejadian luka seperti faktor
metabolic (hematologi hemostasis, fungsi ginjal, fungsi hati, fungsi jantung,
fungsi paru-paru) faktor infeksi (kultur pus luka, foto polos pedis untuk melihat
tanda-tanda osteomielitis, MRI dan CT scan dapat menunjukkan osteomyelitis
akut atau kronis dan abses) maupun faktor vaskuler (ABI, USG dopler, dan
arteriografi)

2.3.12 Penatalaksanaan sistemik ulkus kaki diabetes


Penatalaksanaan holistik kaki diabetes meliputi 6 aspek kontrol yaitu
a. Kontrol Mekanik
Kontrol mekanik meliputi mengistirahatkan kaki, menghindari tekanan pada
daerah kaki yang luka (non weight bearing), menggunakan bantal pada kaki saat
berbaring untuk mencegah lecet pada luka dan bila perlu menggunakan kasur
dekubitus. Upaya off loading berdasarkan penelitianterbukti dapat

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


40

mempercepatkesembuhan ulkus. Metode off loading yang sering digunakan


adalah: mengurangi kecepatansaat berjalan kaki, istirahat (bed rest), kursi roda,
alas kaki, removable cast walker, total contact cast, walker, sepatu boot
ambulatory.Total contact cast merupakan metode off loading yang paling efektif
dibandingkan metode yang lain(Cahyono,2007)

b. Kontrol Metabolik
meliputi perencanaan asupan gizi yang memadai selama proses infeksi dan
penyembuhan luka, regulasi glukosa yang adekuat, mengendalikan komorbiditas
yang menyertai seperti hipertensi, dislipedemia, gangguan fungsi ginjal, gangguan
fungsi hati, gangguan elektrolit, anemia, hipoalbuminemia.

c. Kontrol Vaskular
meliputi pemeriksaan ABI, trans cutaneus oxygen tension, toe pressure bahkan
angiografi. Gangguan vaskuler dapat memperlama penyembuhan luka, sehingga
perlu dilakukan tatalaksana gangguan vaskkuler yang adekuat.

d. Kontrol Luka
Meliputi evakuasi jaringan nekrotik dan pus yang adekuat baik dengan
debridement atau nekrotomi. Ada beberapa pilihan dalam tindakan debridemen,
yaitudebridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik, debridementbedah.
Debridemen mekanik dilakukan menggunakan irigasiluka cairan
fisiolofis(Cahyono,2007). Tindakan bedah. Jenis tindakan bedah pada kaki
diabetika tergantung dari berat ringannya ulkus DM. Tindakan bedah dapat
berupa insisi dan drainage, debridemen, amputasi, bedah revaskularisasi, bedah
plastik atau bedah profilaktik.Intervensi bedah pada kaki diabetika dapat
digolongkan menjadi empat kelas I (elektif), kelas II (profilaktif), kelas III
(kuratif) dan kelas IV (emergensi).

Untuk pembalutan luka dengan pembalut yang basah atau lembab untuk sampai
dengan tindakan amputasi bila jaringan tidak dapat dipertahankan. Debridement
atau nekrotomi bertujuan untuk membuang jaringan nekrosis, drainase pus,

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


41

menggurangi tekanan pada luka, mengurangi bengkak, membuat lingkungan


menjadi aerob, mempermudah swab dan membuat luka kronik menjadi akut.
Amputasi adala keputusan akhir yang memerlukan penilaian komprehensif yang
bertujuan menyelamatkan jiwa pasien dan mempertahankan jaringan jaringan
sehat dengan membuang jaringan nekrotik.Bila memungkinkan, berikan anlgetik
30 menit sebelum prosedur atau tindakan yang mungkin menyakitkanIkuti
protokol pre dan postreatment jika pasien menjalani debridemen biologi,
tingkatkan pendidikan pre dan post treatment dan pastikan informed concent
tertulis.

Tabel 2.1
Perawatan Luka dengan Menggunakan Kompres atau Terapi Topikal

Kategori Indikasi Kontra-indikasi

Transparent film Luka yang kering, terutama untuk luka yang sulit Lesi dengan

dibungkus (plantar) infeksi


Lesi basah
Hydrogels Luka yang kering/nekrotik Lesi basah
Sediaan berupa gel dengan komposisi 95% air atau
gliserin
Foam Membersihkan luka dengan granulasi dan eksudat Lesi kering

Preparat mengandung plyurethane fooam yang


memiliki kemampuan mengabsorbpsi.
Hydrocolloids Digunakan untuk lesi kering/nekrotik/dengan Lesi basah dan
eksudah minimal dalam

Calcium alginates Preparat bersifat absorbent sehingga brmanfaat Lesi kering


pada les <Jasih/banyak eksudat
Antimiccrobial Preparat berisi silver/iodine Alergi terhadap
kollagenasedressing Lesi bersifat infeksi /untuk mencegah infeksi komponen obat

Preparat Preparat mengandung enzim,zat kimiawi (papain, Lesi basah


debridemen urea, collagenase)
Lesi nekrotik,sebagai alternatif debridemen bedah

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


42

e. Kontrol infeksi
meliputi pemberian antibiotik yang adekuat dari awal saat belum didapatkan hasil
kultur resistensi mikroorganisme, Monitor tanda-tanda vital,skala nyeri dan tanda-
tanda infeksi
Tabel 2.2
Antibiotik Empiris yang Dianjurkan untuk Ulkus Diabetikum

Derajat infeksi dan rute Antibiotika yang Antibiotika alternatif


pemberian direkomendasikan
Ringan/sedang (oral) Cephalexin 500mg/6jam Levofloxacin 750/2 u jam
Amoxicillin/clavulanate/12jam ±
Clindamycin 30 mg/8 jam Clindamycin 300mg/8jam
Trimetoprin
Sulfamethoxazole
960/12jaml
Berat/sedang intravena Ampicillin/sulbactam 3 Piperacillin/tazobactam
sampai stabil, ganti oral gram/6 jam 3,3gram/6jam
Clindamycin 450 mg/6jam + Clindamycin 600 mg/8jam
Ciprofloxacin 750 g/12jam + Ceftazidime 2gr/8 kam
Mengancam jiwa Imipenem/cilastatin 500 Vancomycin 15
(intravena lebih lama) mg/6jam mg/KgB/jam/12 jam
Clindamycin 900 mg/8jam +aztreonam 2 gram/8jam +
ditambah Tobramycin 5,1 metronidazole 7,5
mg/KgBB/24 jam+ampicillin mg/KgBB/6jam
50 mg/KgBB/6 jam.

Sumber: Cahyono (2007)


f. Kontrol Edukasi.
Meliputi memberikan edukasi pada pasien dan keluarga mengenai kondisi saat ini,
rencana diagnosis dan terapi selanjutnya serta bagaimana prognosis selanjutnya.
Pemberian edukasi penting mengingat kerjasama pasien dan kelurga penting
untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


43

2.4 Teori Keperawatan Model Self Care Deficit Orem


2.4.1 Latar Belakang Teori
Dorothea Elizabeth Orem merupakan salah satu ilmuwan yang terkenal dengan
teori keperawatannya. Menurut Orem (2001) keperawatan menjadi keluarga
pelayanan kesehatan yang memberikan perawatan langsung kepada orang yang
memiliki kebutuhan akibat status kesehatannya. Seperti pelayanan kesehatan
lainnya, keperawatan mempunyai fitur sosial dan interpersonal yang
dikarakteristikkan membantu hubungan antara orang yang membutuhkan
pelayanan dengan pemberi pelayanan kesehatan (Alligood & Tomay, 2014).

Sumber utama ide Orem yakni berdasarkan pengalaman dalam keperawatan.


Melalui refleksi situasi praktik keperawatan, Orem mampu mengidentifikasi objek
dan fokus keperawatan. Pertanyaan yang diarahkan pada pemikiran Orem tersebut
adalah “kondisi apa yang ada pada seseorang ketika mempertimbangkan bahwa
perawat seharusnya berada pada situasi itu?” Menurut Orem kondisi yang
mengindikasikan perlunya bantuan keperawatan yaitu ketidakmampuan seseorang
untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya sendiri secara terus menerus,
jumlah dan kualitas perawatan diri yang diperlukan karena situasi kesehatan
pribadinya (Orem, 2001). Hal ini adalah objek yang tepat yang menentukan
domain atau batas-batas keperawatan baik dalam bidang pengetahuan maupun
praktik. Spesifikasi dari objek keperawatan yang tepat tersebut menandai awal
bekerjanya teori Orem ini. Dari observasi yang dilakukan, Orem memulai proses
formalisasi pengetahuan tentang apa yang seseorang butuhkan untuk dilakukan
atau hal yang dapat dilakukannya sendiri untuk mempertahankan kesehatan dan
kesejahteraannya (Alligood & Tomay, 2014).

Teori Self Care Deficit dikembangkan oleh Orem sejak tahun 1956 dan telah
digunakan pada berbagai setting praktik keperawatan berdasarkan kondisi medis,
tingkat perkembangan dan kebutuhan dasar manusia. Model Self Care Orem
dikembangkan berdasarkan filosofi bahwa pasien memiliki keinginan untuk
mampu melakukan perawatan terhadap dirinya sendiri. Pencapaian kemandirian
pasien merupakan perhatian perawat, dimana perawat merupakan seseorang yang

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


44

melakukan tindakan untuk pemenuhan kebutuhan self care dan melakukan


pengelolaan secara berkelanjutan untuk menopang kehidupan dan kesehjateraan,
pemulihan dari penyakit atau cedera, serta menanggulangi efek yang ditimbulkan.
Tujuan keperawatan secara filosofi adalah mengatasi keterbatasan manusia
(Alligood & Tomay, 2014).

Asumsi dasar teori umum ini diformalisasikan pada awal tahun 1971 dan pertama
kali dipresentasikan di Marquette University School of Nursing pada tahun 1973.
Orem (2001) mengidentifikasikan lima premis yang mendasari teori umum
keperawatan. Pertama adalah manusia membutuhkan bantuan terus menerus yaitu
input yang sengaja dilakukan untuk dirinya sendiri dan lingkungannya agar tetap
hidup dan berfungsi sesuai dengan kodrat alami manusia. Kedua adalah tubuh
manusia, kekuatan untuk bertindak secara sadar yakni latihan dalam bentuk
perawatan untuk dirinya dan orang lain dalam mengidentifikasi kebutuhan dan
memberikan bantuan yang dibutuhkan. Ketiga adalah kematangan pengalaman
pribadi seseorang dalam bentuk keterbatasan tindakan perawatan untuk dirinya
dan yang melibatkan orang lain sehingga tercipta kehidupan yang
berkesinambungan dan fungsi yang teratur. Keempat adalah tubuh manusia yakni
latihan dalam menemukan, mengembangkan dan mengirimkan cara untuk
mengidentifikasi kebutuhan dan melakukan bantuan untuk dirinya dan lainnya.
Kelima adalah kelompok manusia dengan struktur hubungan tugas kelompok dan
menyediakan tanggung jawab untuk menyediakan perawatan untuk anggota
kelompok yang pengalaman pribadinya untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan
orang lain (Alligood & Tomay, 2014).

1. Perawatan diri (self care)


a. PengertianSelf care atau perawatan diri adalah kemampuan individu, keluarga
dan masyarakat untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit dan
mempertahankan kesehatan serta koping terhadap penyakit dan ketidakmampuan
dengan atau tampa dukungan dari penyedia layanan kesehatan (WHO, 2009).
Perawatan diri adalah aktifitas seseorang melakukan sesuatu secara keseluruhan
dalam hidupnya secara mandiri untuk mempertahankan atau meningkatkan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


45

kesehatannya (Tomey & Alligood, 2014). Penyakit DM merupakan penyakit


kronis, membutuhkan perawatan dan pengobatan jangka panjang dilakukan secara
teratur. Kegiatan perawatan dan pengobatan yang teratur dilkukan secara mandiri
dapat membantu individu dengan DMT2 dalam pengendalian glikemik dalam
batas normal, serta dapat mencegah berbagai komplikasi baik akut maupun kronis
(Saleh, Mumu, Ara, Begum, & Ali (2012). Sejalan dengan yang disampaikan oleh
Ayele et al, 2012 bahwa tujuan penatalaksanaan perawatan diri DM adalah
mencegah dan meminimalkan komplikasi akut dan kronik dengan melakukan
praktek perawatan diri secara teratur.

b. Aktifitas perawatan diri


Bentuk aktivitas perawatan diri pada individu dengan DM adalah: pengaturan
diet, pemantauan kadar glukosa darah, pengaturan obat, olahraga (exercise) dan
perawatan kaki (Sukkarieh, 2011) dan pengaturan diet

2.4.2 Gambaran Model Teori Keperawatan Defisit Perawatan Diri (Self Care
Deficit Nursing Theory)
Teori keperawatan defisit keperawatan diri Diri (Self Care Deficit Nursing
Theory) yang dikeluarkan oleh Orem disusun berdasarkan tiga teori sentral yang
saling berkaitan. Ketiga teori tersebut yakni teori sistem keperawatan (theory of
nursing system), teori deficit perawatan diri (theory of deficit self care), dan teori
perawatan diri (theory of self care). Selain itu ada teori tambahan yang juga
dinyatakan oleh Orem yakni teori dependent care. Teori ini dianggap sejalan
dengan teori self care dan berfungsi untuk menggambarkan pengembangan
berkelanjutan dari teori keperawatan defisit perawatan diri (SCDNT). Terdapat
sepuluh basic conditioning factor yang berpengaruh terhadap tuntutan terapi
perawatan diri dan/ atau agen perawatan diri seorang individu pada waktu dan
dalam keadaan tertentu, seperti usia, jenis kelamin, tahap perkembangan, status
kesehatan, pola hidup, faktor sistem pelayanan kesehatan, faktor sistem keluarga,
faktor sosial budaya, sumber pendapatan, serta faktor lingkungan luar (Alligood &
Tomay, 2014).

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


46

Keyakinan dan nilai-nilai


Keyakinan Orem tentang konsep utama keperawatan adalah: bahwa individu/
pasien: individu atau kelompok yang tidak mampu secara terus menerus
mempertahankan perawatan diri untuk mempertahankan hidupdan kesehatan,
dalam pemulihan penyakit atau trauma atau koping dan efeknya. Sedangkan
kesehatan: kemampuan individu atau kelompok untuk memenuhi tuntutan
perawatan diri yang menunjang pemeliharaan dan peningkatan integritas
structural, fungsi, dan perkembangan. Lingkungan :suatu faktor diamana pasien
tidak dapat memenuhi kebutuhan keperluan perawatan diri dan perawat masuk
kedalamnya tapi tidak spesifik. Keperawatan : pelayanan yang sengaja dilakukan
untuk membantu individu, keluarga dan kelompok dalam mempertahankan
perawatan diri yang mencakup integritas structural dan perkembangan.

Nursing system diberikan untuk individu, untuk orang yang dalam unit
ketergantungan, untuk kelompok yang anggotanya memiliki tuntutan terapi
perawatan diri dengan komponen yang sama atau memiliki keterbatasan yang
sama untuk terlibat dalam perawatan diri atau dependent care dan untuk keluarga
atau multipersonal. Teori sistem keperawatan (nursing system) memberikan
struktur untuk mengamati tindakan dan pengetahuan dasar yang dibutuhkan untuk
membantu seseorang. Teori ini juga mendeskripsikan situasi yang melibatkan
keluarga dan masyarakat (Alligood & Tomay, 2014).

Teori perawatan diri (self care) mendeskripsikan alasan dan cara seseorang
merawat dirinya sendiri. Self care adalah fungsi regulasi manusia pada setiap
individu dengan pertimbangan melakukan sendiri atau harus dilakukan seseorang
untuk mempertahankan kehidupannya, kesehatan, perkembangan, dan juga
kesejahteran. Self care merupakan sistem tindakan yang menguraikan konsep
perawatan diri, kebutuhan perawatan diri, dan agen perawatan diri sebagai dasar
untuk memahami tindakan yang dibutuhkan dan keterbatasan tindakan seseorang
yang mengambil manfaat dari keperawatan. Self care harus dipelajari dan
dilakukan sengaja dan terus menerus setiap waktu dan sesuai dengan kebutuhan
regulasi individu. Kebutuhan tersebut berhubungan dengan tahap perkembangan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


47

dan pertumbuhan seseorang, status kesehatan, ciri spesifik kesehatan dan tahap
perkembangan, tingkat energy yang dikeluarkan, serta faktor lingkungan
(Alligood & Tomay, 2014).

Self care deficit nursing theory (SCDNT) merupakan substansi keperawatan


bidang pengetahuan dan juga praktik. Orem mengidentifikasi dua ilmu
keperawatan spekulatif praktis diantaranya adalah ilmu praktik keperawatan
(practice nursing science) dan ilmu keperawatan dasar (basic nursing science).
Beberapa ilmu praktik keperawatan meliputi wholly compensatory, partly
compensatory, dan supportive development. Sementara itu ilmu keperawatan
dasar meliputi ilmu perawatan diri, ilmu pengembangan dan latihan agen
perawatan diri dalam ketiadaan atau adanya keterbatasan, dan ilmu bantuan
manusia untuk orang dengan defisit perawatan diri terkait kesehatannya (Alligood
& Tomay, 2014).

Wholly compensatory merupakan sistem penyeimbang keperawatan secara


menyeluruh dimana perawat menjadi peringan bagi seseorang yang mengalami
ketergantungan atau ketidakmampuan total terkait dengan kegiatan perawatan
untuk penyembuhan dan manipulasi. Perawat mengambil alih secara menyeluruh
pemenuhan kebutuhan self care pasien yang tidak mampu. Pada sistem partly
compensatory, perawat hanya mengambil alih beberapa aktifitas yang tidak dapat
dilakukan oleh pasien dalam memenuhi kebutuhan self care dirinya. Intervensi
dilakukan oleh perawat dan juga pasien.Supportif/ educatif yakni perawat
berperan memberikan pendidikan kesehatan atau penjelasan kepada pasien untuk
memotivasinya melakukan self care secara mandiri. Intervensi tersebut diperlukan
pada kondisi dimana pasien harus belajar untuk menjalankan ketentuan yang
dibutuhkannya secara eksternal dan internal dengan tujuan therapeutic self care.
Helping method dalam persepsi keperawatan merupakan rangkaian tindakan yang
dilakukan dalam mengatasi atau meningkatkan kesehatan berhubungan dengan
keterbatasan seseorang dalam melakukan tindakan untuk mengatur fungsinya
sendiri dan perkembangan ataupun ketergantungannya. Metode bantuan tersebut

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


48

diantaranya adalah guidance, teaching, support directing, danproviding the


developmental environment (Alligood & Tomay, 2014).

Teori nursing system merupakan tindakan perawatan pada manusia, sistem


tindakan yang didesain dan dihasilkan oleh perawat dengan perawat sebagai agen
untuk melatih seseorang dengan gangguan kesehatan terkait keterbatasannya
dalam melakukan self care atau dependent care. Agen keperawatan meliputi
konsep tindakan yang disengaja termasuk intensionalitas dan operasi diagnosis,
resep dan regulasi. Pada gambar 2.1 menunjukkan sistem keperawatan dasar yang
dikategorikan menurut hubungan antara tindakan perawat dan pasien.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


49

Skema 2.3 Nursing Sistem Keperawatan Menurut Orem

Sistem Dasar
Keperawatan

Wholly Compensatory Partly Compensatory Supportive-Education


System System System

Mendukung dan Membantu hal Menerima Mengerjakan


Melakukan Mengatur latihan
melindungi pasien yang diperlukan perawatan dan perawatan diri
beberapa dan
pasien bantuan dari
Mengkompensasi langkah- mengembangkan
perawat agen perawatan
ketidakmampuan pasien Mengkompensa langkah
untuk perawatan diri
si keterbatasan Mengatur
pasien dalam diri
Menyelesaikan terapi tindakan
perawatan diri pasien merawat diri perawatan diri

ikut serta dalam


perawatan diri

Melakukan
Keterangan:
beberapa
dilakukan perawat
tindakan
dilakukan pasien
perawatan diri
dilakukan pasien dan perawat
pasien Sumber: Alligood & Tomay (2014)

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
50

Teori defisit perawatan diri (self care deficit) yakni mendeskripsikan dan
menjelaskan alasan seseorang membutuhkan bantuan keperawatan. Ide utama
teori defisit perawatan diri yakni bahwa kebutuhan seseorang terhadap perawat
dihubungkan dengan kematangan subjektif dan kematangan seseorang terkait
kesehatan atau perawatan kesehatannya dengan keterbatasan tindakannya.
Keterbatasan tersebut membuat seseorang secara penuh atau sebagian tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan perawatan untuk dirinya sendiri atau
ketergantungannya. Selain itu orang tersebut juga terbatas kemampuannya untuk
terlibat terus menerus dalam melakukan langkah-langkah perawatan (Alligood &
Tomay, 2014).

Self care requisites merupakan hipotesa yang diperlukan sebagai aspek regulasi
dari fungsi manusia dan perkembangan yang berkelanjutan atau berada dalam
keadaan yang spesifik. Formula self care requisites terdiri dari dua elemen yakni
faktor yang dapat mengatur untuk menjaga fungsi manusia dan perkembangannya
dengan memperhatikan norma yang tepat, kesehatan, dan kesejahteraan seseorang
serta sifat dasar kebutuhan tindakan sebagai tujuan self care. Self care requisites
terdiri dari tiga tipe yang menentukan self care demand yakni universal self care
requisites, development self care requisites, dan health deviation self care
requisites (Alligood & Tomay, 2014).

Kebutuhan perawatan diri universal(Universal self care requisites) merupakan


kebutuhan perawatan diri yang umum pada semua manusia. Universal self care
requisitesbertujuan untuk mencapai perawatan diri atau kebebasan merawat diri
dimana harus memiliki kemampuan untuk mengenal, memvalidasi, mengenai
anatomi fisiologi manusia yang berintegrasi dalam proses kehidupan. Secara
umum terdiri dari delapan syarat diantaranya adalah pemenuhan kebutuhan udara,
pemeliharaan kecukupan intake cairan, proses eliminasi dan eksresi, aktivitas dan
istirahat, pencegahan bahaya pada kehidupan, fungsi dan kesejahteraan manusia,
serta peningkatan fungsi dan perkembangan berkaitan dengan kelompok sosial.
Development self care requisites merupakan tindakan yang dilakukan terkait
dengan proses perkembangan manusia, kondisi, atau keadaan yang memberikan
efek kurang baik terhadap perkembangan. Development self care requisites terdiri

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
51

dari tiga elemen yakni kondisi yang meningkatkan perkembangan, keterikatan


alam perkembangan diri, serta pencegahan atau penanggulangan efek yang
menimbulkan efek yang kurang baik pada perkembangan manusia. Health
deviation self care merupakan karakteristik kondisi sepnajang waktu yang
ditentukan untuk kebutuhan perawatan dimana pengalaman individu sepanjang
waktu sebagai dampak kehidupan dari kondisi patologis. Efek penyakit dan cedera
yang dialami seseorang tidak hanya berdampak secara spesifik pada struktur
manusia secara fisiologis dan psikologis, tetapi juga terintegrasi pada fungsi
manusia (Alligood & Tomay, 2014).

Kebutuhan pengembangan perawatan diri (Development Self Care Requites)


tujuan pengembangan perawatan diri berhubungan dengan tingkat perkembangan
individu dan lingkungan tempat tinggal yang berkaitan dengan siklus kehidupan
atau perubahannya. Beberapa hal yang berhubungan dengan kebutuhan
pengembangan perawatn diri adalah situasi yang mendukung, keterlibatan dalam
proses atau usaha yang dilakukan untuk mencegah atau mengatasi dampak dari
situasi yang mempengaruhi perkembangan manusia (Alligood & Tomay, 2014).

Kebutuhan perawatan diri yang menyimpang dari kesehatan (Health Deviation


Self Care Requisites) :tujuan perawatan diri dalam hal ini ditujukan pada orang
sakit yang sedang mengalami gangguan patologi, termasuk ketidakampuan dan
pasien yang sedang dirawat dan menjalani terapi. Kebutuhan perawatan bukan
hanya ditujukan pada penyakit/ trauma pada struktur tubuh, fisiologi dan psikologi
saja, tetapi konsep diri seutuhnya. Ketika konsep diri manusia mengalami
gangguan seperti retardasi mental atau alinnya maka perkembangan individu akan
memberikan dampak baik permanen maupun sementara (Alligood & Tomay,
2014).

Kebutuhan perawatan diri yang terapeutik (Therapeutic Self Care Demand) :


Merupakan terapi pemenuhan kebutuhan dasar, yang merupakan program
perawatan yang bertujuan dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien sesuai dengan
tanda gejala yang muncul pada pasien. Tujuan perawatan diri yang terapeutik
untuk meningkatkan kegiatan yang menunjang pemenuhan kebutuhan dasar

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
52

seperti promosi dan pencegahan yang mendukung pasien dalam memenuhi


kebutuhan dasar sesuai tingkat kemandiriannya. Perawat dalam hal ini harus
mampu melakukan pemilihan alat dan bahan yang dipakai untuk memenuhi
kebutuhan dasar pasien, serta memanfaatkan segala sumber daya yang ada
disekitar pasien untuk memberikan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar pasien
secara maksimal (Alligood & Tomay, 2014).

Self Care Agency ; pemenuhan kebutuhan dasar pasien secara holistic hanya dapat
dilakukan oleh seorang perawat yang mempunyai kemampuan yang komprehesif
dalam memenuhi konsep dasar manusia dan perkembangan manusia secara
holistic (Alligood & Tomay, 2014).

Teori dependent care menjelaskan bagaimana sistem perawatan diri dimodifikasi


dengan diarahkan menuju seseorang yang secara sosial mengalami
ketergantungan dan membutuhkan bantuan dapat memenuhi kebutuhan perawatan
dirinya sendiri (Taylor & Renpenning, 2011). Untuk seseorang yang secara sosial
mengalami ketergantungan dan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
perawatan dirinya, bantuan dari orang lain sangat diperlukan. Dalam banyak hal
self care dan dependent care sejalan, dengan perbedaan utama yang ketika
memberikan dependent care seseorang menemukan kebutuhan perawatan diri
orang lain. Kebutuhan akandependent care diharapkan tumbuh dengan
meningkatnya usia suatu populasi dan jumlah orang yang hidup dengan kondisi
kronis dan/ atau keterbatasan (Alligood & Tomay, 2014)

2.5 Tingkat Ketergantungan Pasien


Tingkat ketergantungan pasien di ruang rawat berbeda-beda antara satu dengan
lainnya. Berdasarkan tingkat perawatannya, standar waktu pelayanan pasien rawat
inap di rumah sakit dibagi menjadi tiga macam yakni perawatan minimal,
intermediet, dan maksimal/ total. Perawatan minimal memerlukan waktu antara 1-
2 jam/24 jam, perawatan intermediet memerlukan waktu antara 3-4 jam/24 jam,
dan perawatan maksimal/total memerlukan waktu antara 5-6 jam/24 jam
(Swansburg & Swansburg, 2002).

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
53

Pasien yang termasuk dalam minimal care diantaranya adalah pasien yang bias
mandiri atau hampir tidak memerlukan bantuan seperti mampu naik-turun tempat
tidur, ambulasi dan berjalan sendiri, makan dan minum, mandi sendiri/ mandi
mampu mandi sendiri/ mandi sebagian dengan bantuan, mampu membersihkan
mulut (sikat gigi sendiri), berpakaian dan berdandan dengan sedikit bantuan, BAB
dan BAK dengan sedikit bantuan, pasien dengan status psikologis stabil, pasien
yang dirawat untuk prosedur diagnostik dan pasien yang menjalani operasi ringan.
Pasien yang termasuk dalam partial care diantaranya adalah pasien yang
memerlukan bantuan perawat sebagian seperti bantuan satu orang untuk naik-
turun tempat tidur, ambulasi/berjalan, dalam menyiapkan makanan, makan
(disuapi), kebersihan mulut, berpakaian dan berdandan, BAB dan BAK, pasien
pascaoperasi minor (24 jam), pasien yang melewati fase akut dari pascaoperasi
mayor, fase awal penyembuhan, serta pasien yang memerlukan observasi tanda-
tanda vital setiap empat jam.

Pasien yang termasuk dalam total care adalah pasien yang memerlukan bantuan
perawat sepenuhnya dan memerlukan waktu perawat yang lebih lama seperti
membutuhkan dua orang atau lebih untuk mobilisasi dari tempat tidur ke kereta
dorong atau kursi roda, latihan pasif, kebutuhan nutrisi dan cairan dipenuhi
melalui terapi intravena (infus) atau NGT, membutuhkan bantuan untuk
kebersihan mulut, bantuan penuh untuk berpakaian dan berdandan, dimandikan
perawat, dan dalam keadaan inkontinensia. Selain itu pasien yang termasuk total
care adalah pasien yang menggunakan kateter, pasien yang tidak sadar atau
mengalami penurunan kesadaran, pasien yang tidak stabil, pasien yang
membutuhkan observasi TTV setiap kurang dari 8 jam, pasien dengan perawatan
luka bakar, perawatan kolostomi, menggunakan alat bantu pernapasan (respirator),
WSD, irigasi kandung kemih secara terus-menerus, menggunakan alat traksi
(skeletal traksi), fraktur atau pascaoperasi tulang belakang atau leher, serta pasien
dengan gangguan emosional berat, bingung dan disorientasi (Nursalam, 2008).
Berikut adalah beberapa kategori klasifikasi klien berdasarkan derajat
ketergantungannya.

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
54

Study aplikasi Model self care orem tidak banyak ditemui dalam literatur tapi ada
beberapa studi yang dilakukan oleh Wilson, G (2009) pada perawatan pasien luka
bakar, dimana pada studi ini membandingkan efektifitas apliksi teori adaptasi
Roy, Swanson dan Self Care Orem. Hasilnya bahwa aplikasi Self Care Orem lebih
efektif dalam perawatan pasien dengan luka bakar. Penelitian yang dilakukan oleh
Abrahim, M tahun 2011 dengan melakukan review jurnal dari 2004 sampai
dengan 2011 didapatkan hasil terdapat 31 jurnal yang sesuai inklusi yakni pasien
berusia 18 tahun ke atas, menderita DM, dan dapat berbahasa inggris. Kesimpulan
dari 31 jurnal tersebut yakni usia, dukungan sosial, tingkat pendapatan tinggi,
pendidikan, dan lamanya penyakit DM memiliki hubungan positif dalam faktor
yang berkontribusi terhadap kebersihan diri pasien DM.

Tabel 2.3
Kategori Klasifikasi Klien Berdasarkan Derajat Ketergantungan

Kategori I: Self Care


1) Aktivitas sehari-hari
- Makan: makan sendiri atau memerlukan sedikit bantuan
- Mandi: hampir seluruhnya mandiri
- Ekskresi: pergi ke kamar mandi sendiri atau hampir selalu sendiri, tidak
inkontinensia
- Ketergantungn: mandiri
2) Kesehatan umum: baik. Menyetujui untuk prosedur diagnostik, prosedur
sederhana atau operasi kecil atau minor.
3) Pengajaran dan dukungan emosional: mengajar rutin untuk prosedur
sederhana. Tidak ada yang tidak biasa atau reaksi emosional yang
merugikan. Klien mungkin memerlukan orientasi terhadap waktu, tempat
dan orang setiap shift.
4) Treatment dan pengobatan: tidak ada atau pengobatan dan perawatan yang
sederhana
Kategori II: Minimal care
1) Aktivitas sehari-hari
- Makan: butuh bantuan dalam menyiapkan makanan, posisi, atau

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
55

dorongan untuk makan. Dapat memberi makan diri sendiri


- Mandi: dapat melakukan sebagian perawatan tanpa bantuan atau dengan
bantuan minimal.
- Ekskresi: butuh bantuan ke kamar mandi atau menggunakan urinal. Tidak
inkontinensia atau sesekali mengalami inkontinensia stres
- Ketergantungan: mandiri atau bergantian dengan dorongan dan bantuan
minimal
2) Kesehatan umum: gejala ringan termasuk lebih dari satu penyakit ringan.
Memerlukan pemantauan tanda-tanda vital, diabetes urin, drainase yang
tidak rumit, atau infus.
3) Pengajaran dan dukungan emosional: membutuhkan 5-10 menit per shift
untuk pengajaran atau dukungan emosional. Pasien mungkin akan sedikit
bingung, agresif, atau gelisah, tetapi dikontrol dengan baik oleh obat,
orientasi yang sering atau pengekangan.
4) Treatment dan pengobatan: membutuhkan 20-3-menit per shift.
Membutuhkan evaluasi efektivitas obat atau pengobatan secara teratur.
Mungkin memerlukan observasi status mental.
Kategori III: Moderate care
1) Aktivitas sehari-hari
- Makan: perlu diberi makan, tetapi bisa mengunyah dan menelan.
- Mandi: tidak dapat berbuat banyak untuk diri sendiri
- Ekskresi: membutuhkan pispot atau urinal. Dapat hanya sebagian atau
mengangkat diri. Mengompol dua kali setiap shift.
- Ketergantungan: Sepenuhnya tergantung dan butuh bantuan, tetapi dapat
dibantu oleh satu orang.
2) Kesehatan umum: gejala akut dapat datang atau mereda. Membutuhkan
pemantauan dan evaluasi kondisi fisiologis atau emosional. Memiliki
drainase atau infus terus menerus yang membutuhkan pemantauan.
3) Pengajaran dan dukungan emosional: membutuhkan 10-30 menit per shift.
Sangat memprihatinkan atau sedikit resistif untuk diajarkan. Klien mungkin
bingung, atau gelisah tetapi cukup baik dikendalikan oleh obat-obatan,
orientasi yang sering, atau pengekangan.
4) Treatment dan pengobatan: membutuhkan 30-60 menit per shift.

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
56

Memerlukan observasi sering untuk efek samping atau reaksi alergi.


Mungkin memerlukan observasi status mental.
Kategori IV: Extensive care
1) Aktivitas sehari-hari
- Makan: tidak dapat memberi makan diri sendiri. Kesulitan mengunyah dan
menelan, mungkin diperlukan NGT.
- Mandi: mandi, perawatan rambut dan perawatan mulut secara
menyeluruh. Klien tidak dapat membantu sama sekali.
- Ekskresi: inkontinensia dari dua kali per shift.
- Ketergantungan: tidak bisa membantu diri sendiri dan mungkin
memerlukan dua orang untuk membantu.
2) Kesehatan umum: sakit yang serius. menunjukkan gejala akut seperti
perdarahan dan /atau kehilangan cairan, episode pernapasan akut, atau
episode lain yang memerlukan pemantauan dan evaluasi sering.
3) Pengajaran dan dukungan emosional: membutuhkan lebih dari 30 menit per
shift. Pengajaran pasien yang sangat resistif atau perawatan dan dukungan
pasien dengan reaksi emosional yang parah. Pasien mungkin bingung,
agresif, atau gelisah dan tidak dikendalikan oleh obat, orientasi sering, atau
pengekangan.
4) Treatment dan pengobatan: membutuhkan lebih dari 60 menit per shift.
Perawatan rumit dilakukan lebih dari sekali per shift atau membutuhkan dua
orang. Mungkin memerlukan pengamatan yang lebih sering untuk status
mental.
Kategori V: Intensive care
Membutuhkan satu-per-satu pengamatan atau pemantauan terus menerus setiap
shift

Sumber: Swansburg & Swansburg (2002)

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
57

2.6 Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan ulkus diabetes
Tabel 2.4 Diagnosa Keperawataan yang Muncul pada Pasien Ulkus Diabetes
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi (NIC)
(NANDA) Hasil (NOC)
Ketidakseimbangan nutrisi: Nutritional status: - Feeding
lebih/ kurang dari kebutuhan - Food and fluid - Nutritional
tubuh berhubungan dengan intake management
ketidakseimbangan asupan - Nutrient intake - Nutritional therapy
makanan; kurang - Weight control - Weigh gain assistance
pengetahuan; koping
individu tidak efektif;
asupan berlebihandalam
keluarga dengan kebutuhan
metabolik
Resiko kekurangan volume - Electrolyte and acid/ - Fluid management
cairan berhubungan dengan base balance - Fluid monitoring
perubahan cairan; kegagalan - Fluid balance
mekanisme regular; dieresis; - Hydration
hyperglikemic; poliuri;
muntah; diare; penurunan
asupan oral; dehidrasi
Risiko ketidakstabilan gula - Blood glucose - Monitor blood glucose
darah berhubungan dengan control level
resistensi insulin; - Blood glucose level - Provide simple
ketidakmampuan pancreas carbohydrate
mensekresi insulin - Hyperglycemia
management
- Hypoglycemia
management
Kerusakan membrane - Oral hygiene Oral health restoration
mukosa oral berhubungan - Tissue integrity;
dengan perubahan sirkulasi skin and mucous
mikrovaskuler; kadar glukosa membrane
darah yang tidak terkontrol;
dehidrasi; stress; trauma
Gangguan eliminasi urinarius - Urinary elimination - Urinary elimination
dan retensi urinarius - Kidney function management
berhubungan dengan - Urinary retention
nefropati diabetik management
Konstipasi berhubungan Bowel elimination Constipation/ impaction
dengan neuropati daibetik management
(gastropati diabetic)
Diare berhubungan dengan Bowel continence Diarehea management
neuropati diabetic
Risiko kerusakan integritas - Wound healing: - Wound care
kulit berhubungan dengan primary intention - Wound irrigation
penurunan sirkulasi ; - Wound healing:
peningkatan kadar glukosa secondary intention
darah

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
58

Nyeri akut/ kronik - Comfort level - Pain management


berhubungan dengan agen - Pain control - Analgesic
cedera (biologis, kimia, administration
fisik); kerusakan jaringan,
dan disfungsi saraf perifer
(diabetic neuropati)
Ketidakefektifan perfusi - Circulation status - Circulatory care:
jaringan berhubungan dengan - Fluid balance arterial insufficiency
kerusakan transport oksigen - Hydration - Fluid management
melalui membrane kapiler; - Fluid monitoring
asidosis metabolic; - Hemodinamic
hipovolemia; diabetes regulation
mellitus
Ketidakefektifan pola seksual - Sexual identity - Sexual function
berhubungan dengan - Psyhososial - Sexual counceling
autonomi neuropati, adjustment: life - Teaching sexuality
penurunan sirkulasi atau change
masalah psikologis
Harga diri rendah situasional - Self esteem - Motivation
berhubungan dengan - Self esteem
ketidakmampuan dalam enhancement
manajemen mandiri
pengobatan diabetes
Ansietas berhubungan - Anxiety level Anxiety reduction
dengan diagnose diabetes; - Anxiety self control
potensial komplikasi
diabetes; regimen perawatan
mandiri
Ketakutan berhubungan Fear level - Trust telling
dengan diagnose diabetes; - Journaling
potensial komplikasi
diabetes; regimen perawatan
mandiri
Ketidakefektifan koping dan Coping - Familiy coping
koping keluarga - Coping enhancement
berhubungan dengan
penyakit kronis, perawatan
mandiri, penurunan
dukungan sosial

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
59

Risiko infeksi berhubungan - Immune status - Infection control


dengan peningkatan kadar - Knowledge: - Infection protection
glukosa darah; penurunan infection
perfusi jaringan; tidak management
adekuatnya mekanisme - Risk control
pertahanan primer; efek dari - Risk detection
penyakit kronik
Risiko cedera berhubungan - Risk control: visual - Risk identification
dengan profil darah yang impaired - Vital sign monitoring
abnormal, disfungsi - Risk detection
imunoautoimun fisik - Blood glucose level
(integritas kulit tidak utuh,
gangguan mobiltas,
kerusakan persepsi sensori;
visual (retinopati)

Sumber: Modifikasi Smelter &Bare(2008);Black dan Hawk (2009); Ignatavisius dan Workman
(2010); Ackley dan Ladwig (2011); NANDA; NOC; NIC

Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan asuhan kolaboratif antara pasien dan


perawat (Orem, 2014). Perawat membuat berbagai strategi untuk meningkatkan
kemampuan pasien. Dalam implementasi rencana keperawatan, pasien dan
perawat secara bersam-sama melakukan aktifitas dalam pemenuhan kebutuhan
perawatan diri pasien. Pelaksanaan rencana keperawatan yang telah dibuat,
kemudian diberikan sesuai dengan 3 tingkat kemampuan pasien. Implementasi
rencana keperawatan dapat dilakukan dengan 6 cara yaitu melakukan tindakan
langsung, memberikan pedoman atau petunjuk , memberikan dukungan
psikologis, memberikan dukungan fisik, memberikan perkembangan lingkungan
yang supportif, serta memberikan edukasi/pendidikan kesehatan (Renpenning &
Taylor, 2014).

Evaluasi

Kegiatan evaluasi, dalam teori orem dikenal dengan control operation,merupakan


tindakanmenilai kemajuan pasien dalam melakukan perawatan diri, dan
tindakanpenilaian terhadap efektifitas terhadap intervensi keperawatan yang telah

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
60

diberikan. Evaluasi dapat dilihat salah satunya melalui tingkah laku pasien. Orem
mengemukakan bahwa pasien membutuhkan kemandirian dalam hal mengatasi
masalah kesehatan. Peran perawat mengkaji kembali perubahan internal dan
eksternal pasien dalam tercapainya tujuan dari rencana yang telah ditetapkan.
Evaluasi juga melihat efektifitas dari tindakan keperawatan, pencapaian tujuan
dan penyelesaian masalah. Membuat keputusan berdasarkan pertimbangan dari
hasil kajian ulang terhadap masalah keperawatan yang akan dilkukan (Hidayati
2013)

Universitas Indonesia
Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015
BAB 3
PROSES RESIDENSI

Pada bab ini akan menguraikan tentang tiga kegiatan yaitu menguraikan aplikasi
model self care orem dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan
ulkus diabetes, menguraikan hasil evidence based nursing, dan menguraikan hasil
kegiatan inovasi.

Penerapan Model Self Care Orem dalam asuhan keperawatan pada pasien
kelolaan dengan menggunakan landasan model Self Care Orem. Format
pengkajian dan asuhan keperawatan diambil dari buku Nursing Concept of
Practice (Orem, 2001), Self Care Theory in Nursing: Selected Papers of Dorothea
Orem (Renpenning & Tailor, 2003), dan Nursing Theorists and Their Work
Edition (Alligood & Tomay, 2014). Format pengkajian dapat dilihat pada
lampiran 1. Adapun asuhan keperawatan yang diberikan dengan pendekatan
Model Self Care Orem adalah pasien DMT2 dengan ulkus diabetes, hipoglikemia
sebagai kasus kelolaan. Pada BAB ini juga diuraikan 27 kasus lainnya yang
dikelola selama praktik residensi dengan menggunakan pendekatan model Self
Care Orem. Gambaran 27 kasus kelolaan dapat dilihat pada lampiran 2.

3.1 Gambaran Kasus Kelolaan


Data demografi: Tn W berusia 53 tahun, jenis kelamin laki-laki tinggal di
Tambora Jakarta Barat, pekerjaan tukang jahit, suku Jawa, agama islam, TB 160
cm, BB 45 kg, IMT 17,5 kg/m2, penanggung jawab pasien Ibu M (istri pasien).
Pasien masuk RSCM tanggal 13 Maret 2015 dengan keluhan kaki kanan tertusuk
paku yang tidak kunjung sembuh sejak 1 bulan yang lalu. Saat dilakukan
pengkajian tanggal 13 April 2015 dengan diagnosa medis Ulkus DM pedis dextra
dengan osteomyelitis metatarsal IV-V post debridement

Keluhan utama Tn. W luka pada kaki kanan yang tidak sembuh satu bulan
sebelum masuk Rumah Sakit (SMRS). Riwatyat penyakit dimulai 1 bulan SMRS
pasien tiba-tiba melihat telapak kaki kanan bengkak dan merah akibat tertusuk

61 Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


62

paku. Luka diobati dengan Propolis (obat herbal) namun luka tak kunjung
sembuh, luka melebar diikuti bengkak pada punggung kaki kemudian
mengeluarkan air. Empat minggu kemudian pasien masuk ke RSCM karena kaki
kanan bertambah bengkak, luka mengeluarkan nanah

Saat dilakukan pengkajian tanggal 13 April 2015 hari rawat ke 30. Pasien post
nekrotomi hari pertama. Data yang didapat adalah pasien merasa mual, muntah 1
kali, badan lemas, nafsu makan menurun sejak 1 minggu, makan dihabiskan 1/3
posrsi makan/tiap kali makan. Tn. W mengatakan adanya nyeri pada luka di
kakinya, kondisi ulkus stadium empat, terdapat luka pada dorsal pedis kanan
ukuran 8x3x2 terdapat jaringan granulasi, jaringan nekrotik, pus, dan luka
plantar pedis kanan ukuran 7x6x2 cm terdapat maserasi, Produksi pus berwarna
abu-abu,undermining/ goa dibagian distal. Pasien mengeluh kedua kaki
kesemutan dan baal sejak 10 tahun SMRS. Pasien mengalami penurunan
penglihatan (memakai kaca mata), gigi mudah tanggal, riwayat merokok satu
bungkus/ hari, tetapi tidak merokok sejak dirawat di RS, riwayat minum alkohol
tidak ada.

Pasien terdiagnosa DM sejak lima belas tahun lalu. Keluhan saat itu yakni BAK
terus menerus (> 15 kali/hari), sering haus dan diperikasa diklinik dekat rumah.
Saat diperiksa gula darah 350 mg/dl, mendapatkan obat yaitu Doanil. Pasien tidak
rutin kontrol dan minum obat diabetes karena pasien mengaku banyak pekerjaan
yang harus diselesaikan, namun pasien rutin minum Propolis. Tn W juga punya
riwayat mengalami luka pada telapak kaki kiri karena tertusuk paku dua tahun
yang lalu, 2 bulan kemudian sembuh menggunakan herbal.

Tn. W punya riwayat makan tidak teratur, biasanya bila lapar pasien minum teh
manis untuk mengurangi rasa lapar, sehari hingga 5 gelas sehari. Riwayat
kesehatan keluarga pasien W, dimana sepupu Tn W menderita DM. Pasien
mendapatkan diet DM 1700 kkal dengan protein 2,5 gr/kgBB/ hari. Hasil
laboratorium tanggal 8 April 2015 Albumin 3,07 mg/dl, Hb 10,4 g/dl, Ht 32,1%,
eritrosit 3,91 juta/𝜇l, GDS tanggal 13 April 2015 pada jam 06/11/16 adalah

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


63

114/138/187, leukosit 9,5 ribu/ul, hitung jenis: basofil 0,5%, eosinofil 1,8%,
netrofil 64,7%, limfosit 19,1%, monosit 13,9%. ABI kaki kanan tidak diperiksa,
dan ABI kaki kiri 1,2. Pemeriksaan tanda-tanda vital TD 110/70 mmHg, HR
92x/menit, RR 18x/menit, suhu tubuh 36,50C

Pasien mengatakan sejak sakit tidak dapat menjalankan perannya sebagai suami
dan ayah bagi anak-anaknya. Pasien ingin segera pulang karena ingin
memdapatkan uang untuk belanja hari raya. Pasien tidak dapat bekerja selama
sakit. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari dibantu oleh keluarga (anak)

3.1.1 Universal Self-Care Requisites (kebutuhan perawatan diri secara umum)


a. Kebutuhan Pernafasan dan Sirkulasi
Pasien tidak mengalami gangguan pemenuhan oksigen dengan data: tidak sesak,
nafas vesikuler, nafas 18 x/ menit, suhu tubuh 36,50C, sianosis (-), suara nafas
vesikuler, batuk (-) ronchi (-), wheezing (-). Pasien tidak keluhan nyeri dada,
Tekanan darah 110/70 mmHg, HR 92x/ menit, irama regular, bunyi jantung S1
dan S2 reguler, thorak foto CTR < 50%, hasil EKG tanggal 5 April 2015 sinus
rytme, capillary refill < 3detik, akral dingin. ABI kaki kanan tidak diperiksa dan
kiri adalah 1,2

b. Keseimbangan Nutrisi dan Cairan


Pasien mengalami masalah dengan pemasukan makanan dengan data sebagai
berikut: pasien mengatakan kepalanya pusing, badan lemas, mual sejak 1 minggu,
muntah satu kali pada saat pengkajian dengan jumlah ± 200cc (isi muntah
makanan dan air), porsi makan dihabiskan 1/3 porsi, tampak lemah, kongjungtiva
pucat, Berat badan 45 kg, TB = 160 cm, IMT 17,5 kg/m2, diet DM 1700 kkal
dibagi dalam 3 x makan besar (20% pagi, 30% siang, dan 25% malam) dan 2-3
porsi makan selingan (10-15%), mendapat protein 2,5 gr/kg BB/ hari. Balans
cairan + 300 cc/hari (minum oral 1200 cc/hari, parenteral (IVFD NaCL 0,9%)
1500cc/hari, muntah 1 x 200 cc, urine 1500.cc/hari. Intsensible water loss (IWL)
500cc/hari. Penurunan berat badan sudah sebelum sakit. sebelum sakit berat badan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


64

50 kg. pemenuhan kebutuhan nutrisi dan cairan sebagian dibantu oleh keluarga.
KGDH tanggal 13 April 2015 adalah jam 06/11/16 adalah 114/138/187

Hasil pemeriksaan penunjang (8 April 2015) yakni Hb 10,4 g/dl, hematortit


32,1%, trombosit 448 ribu/ul, eritrosit 3,91 juta/𝜇L, albumin 3,07g/dl, feritin
1068, HbA1c 10,4%, natrium133 mmol/l, kreatinin 0,5 mg/dl, kalium 3,99
mmol/l, klorida 94 mmol/l. Pasien tidak mengalami masalah pemasukan cairan
dengan data sebagai berikut: Turgor kulit elastis, mukosa oral lembab, oral
hygiene terjaga, kesadaran umum compos mentis, GCS 15, tidak ada kejang,
reflex fisiologis (+), dan reflex patologis (-). Hasil laboratorium (8 April 2015)
ureum 25 mg/dl.

Program terapi nutrisi, pasien disarankan mengkosumsi putih telur. Terapi


farmakologi: Metformin 3 x 500mg, Novorapid 3 x 8 unit, Mecobalamin 3 x
500mg

c. Eliminasi
Pola defekasi 1 kali/ hari, dan tidak ada perubahan pola defekasi, konsistensi,
warna, dan bau feses. Tidak ada nyeri tekan abdomen, tidak ada asites. Terpasang
poli kateter hari ke 2, dengan jumlah urine 1500cc/ hari. tidak ada distensi
kandung kemih. Ureum 25mg/dl, Kreatinin 0,5mg/dl, GFR 133,7
CCT hitung
(140 − 𝑢𝑚𝑢𝑟) 𝑥 𝐵𝐵 (140 − 52)𝑥 45
= = 110
72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 72 𝑥 0.5

d. Aktivitas dan istirahat


Pasien beraktivitas ditempat tidur karena keterbatasan gerak, keadaan umum
lemah, keterbatasan gerak pada extremitas kanan bawah. Semua kegiatan
dilakukan ditempat tidur. Semua pemenuhan ADL dilakukan pasien diatas tempat
tidur, dengan dibantu oleh istri pasien. frekwensi tidur malam dan siang pasien 6
jam/ hari, tidak ada keluhan istirahat dan tidur, kaki yang luka terasa lebih nyeri
pada malam hari. Sebelum dirawat pasien mengatakan bekerja sebagai tukang
jahit, istirahatnya kurang dan mudah merasa lelah. Pasien jarang berolahraga
Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


65

karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan hingga larut malam. Pola
istirahat pasien yakni tidur 6-8 jam pada malam hari, tidak pernah tidur siang.
Pada malam hari pasien sering terbangun karena rasa sakit pada luka kaki kanan
yang dialami. Saat bangun pasien sering merasa lemas dan tidak segar.

e. Psikososial dan Spiritual


Pasien selama dirawat sering ditemani oleh istri, pasien jarang meinisiasi
percakapan dengan perawat dan teman satu kamar rawat. Pasien kelihatan jarang
berkomunikasi dengan orang lain. Pasien mampu berinteraksi dan kooperatif
dalam perawatan. Pasien mengatakan ingin pulang dan segera beraktivitas dan
bekerja lagi. Sejak dirawat keuangan keluarga dibantu oleh anaknya. Keluarga
pasien selalu memberikan dukungan terhadap penatalaksanaan terapi. Fungsi
peran sebagai suami dan ayah terganggu selama sakit. Selama sakit ulkus pasien
mengeluh tidak bisa menjalankan ibadah sholat sesuai dengan agama yang dianut,
karena pasien merasa diri tidak suci.

f. Risiko Mengancam Kehidupan


Pasien mengatakan sudah mengalami DM sejak 15 tahun yang lalu, dan pasien
tidak rutin berkunjung kepelayanan kesehatan. Pasien mengalami penurunan
penglihatan, kedua kaki terasa baal, pasien tidak merasakan kakinya tertusuk
paku, luka diketahui setelah kaki bengkak beberapa hari kemudian. Hasil
pemeriksaan ABI: Dextra tidak bisa diukur dan Sinistra 1.2.

3.1.2. Development Self-Care Requisite (kebutuhan perawatan diri dan


pengembangan)
Pasien mengeluh nyeri pada luka pada saat dan setelah dibersihkan, nyeri skala 7,
ekspresi wajah meringis, kerutan pada dahi dan mata tertutup, suara mengerang,
kedua tangan memegangi kaki paha kanan, tonus otot menegang, nyeri berkurang
setelah obat dimasukan melaui intra vena yaitu tramadol 1 ampul yang diencerkan
dalam Nacl 0,9%. Cara mengurangi nyeri adalah pasien diajarkan tehnik nafas
dalam dan mengucapkan kalimat istigfar. Kerusakan pada jaringan dengan ulkus
pedis dexra, post debridement, ulkus stadium tiga, terdapat luka pada dorsal pedis

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


66

kanan ukuran 8x3x2 terdapat jaringan granulasi, jaringan nekrotik, pus, dan luka
plantar pedis kanan ukuran 7x6x2 cm terdapat maserasi , slough minimal,
produksi pus berwarna abu-abu., undermining/ goa dibagian distal. ABI kaki
kanan tidak bisa diukur dan ABI kaki kiri 1,2. Hasil pemeriksaan laboratorium
leukosit 9,25 ribu/ul dan LED 113mm, hasil kultur luka 1 April 2015 ditemukan
Pseudomonas Aeroginosa. Program pengobatan yaitu Ciprofloxacin 2 x 400mg
(hari ke 5).

3.1.3 Gambaran Kadar Glukosa Darah Tn. W

400
350
300
250
200
150 JAM 06
100
JAM 11
50
0 JAM 16

3.1.3 Medical Problem and Plan

Gambar 3.1 Gambaran Kadar Glukosa Darah Tn W

Masalah medis yang dialami pasien adalah adanya ulkus diabetes berulang, ulkus
DM pedis dextra dengan osteomeilitis metatarsal 4 dan 5, gula darah belum
terkontrol, hipoalbumin, hasil kultur Pseudomonas Aeroginosa. Obat-obatan yang
didapat diantaranya adalah metformin 3x500 mg, novorapid 3x8 unit,
mecobalamin 3x500mg, domperidon 3x10 mg, captopril 2x6,25 gr, tramadol
3x100 mg, parasetamol 3x500 mg, ondansentron 3x8 mg, heparin 10 unit Sub
Kutan. Antibiotik yang didapatkan Ciprofloxacin 2 x 400 mg (sebelumnya klien
telah mendapatkan Cefriaxon, Cefotaxim)

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


67

3.1.4 Pemeriksaan Kaki Diabetik


Pengkajian keadaan kaki menggunakan pengkajian PEDIS adalah Perfusi : Ankle
Brachial Indeks: ABI kaki kanan tidak dipriksa dan ABI kaki kiri 1,2. Akral
teraba dingin. Extent (Ukuran Luka): dorsal pedis kanan ukuran 8x3x2 terdapat
jaringan granulasi, jaringan nekrotik, pus, dan luka plantar pedis kanan ukuran
7x6x2 cm terdapat maserasi , produksi pus berwarna abu-abu, undermining/ goa
dibagian distal. Dept (Kedalam Luka) menurut Wagner: dasar luka sampai semua
lapisan dari sub kutis, fasia, tendon sampai tulang (grade 4). Infeksi meliputi
sruktur jaringan luka sampai ketulang. Tanpa disertai Tanda-tanda infeksi
sistemik yaitu demam suhu 36,50C dan leukosit 9,25 ribu/ul. Sensitivitas
menurunnya ditandai dengan pasien mengatakan rasa berkurang pada kaki kanan
pasien.
Pengkajian kaki
Pemeriksaan Kaki Kanan Kaki Kiri
Ya Tidak Ya Tidak
Kallus √ √
Corns / Mata Ikan √ √
Bunions √ √
Hammer toes √ √
Amputasi
 Minor ( jari/ pedis ) v √
 Mayor ( below knee/ above knee ) √ √
Kaki charchot √ √
Kuku
 Penebalan √ √
 Infeksi jamur √ √
 Tumbuh ke dalam √ √
Kulit
 Perabaan kaki dingin √ √
 Kulit berkilap √ √
 Kulit kering √ √
 Atrofi lemak sub kutan √ √
 Rubor √ √
 Pucat pada elevasi √ √
 Bulu rambut menipis √ √

Terapi yang didapat saat pengkajian tanggal 13 April 2015 metformin 3x500 mg,
novorapid 3x8 unit, mecobalamin 3x500mg, domperidon 3x10 mg, captopril

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


68

2x6,25 gr, tramadol 3x100 mg, parasetamol 3x500 mg, ondansentron 3x8 mg,
sucralfat 3x500 mg, heparin 10 unit secara sub cutan.

3.1.5 Diagnosa keperawatan


Berdasarkan pengkajian pada kasus diatas dengan Self Care Orem terdapat
didapatkan diagnosa adalah:
1. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan adanya luka terbuka,
mekanikal debridement, infeksi
2. Ketidakstabilan kadar glukosa dalam darah berhubungan dengan faktor
resiko resistensi insulin, defisiensi insulin, ketidakpatuhan diet
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anemia, intake tidak adekuat
4. Nyeri akut berhubungan dengan luka terbuka, mekanikal debridement
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan ketahanan tubuh,
proses penyakit

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


67

3.1.5 Diagnosa keperawatan Tn. W


Design Anda Plan
No Tanggal Diagnosa keperawatan Nursing Outcome Nursing Intervention Regulate and Control
(NOC)
1 13/04/ 015 Kerusakan integritas jaring- Wound healing: Mehod of helping guidance : Setelah 14 hari perawatan
an berhubungan dengan  Monitor integritas kulit, catat
secondary intention perkembangan pasien :
adanya luka terbuka, warna, vaskularisasi, granulasi S :-
mekanikal debridement, Pasien akan dan epitelialisasi luka O:
menunjukkan  Ulkus
infeksi  Monitor tanda-tanda infeksi DM pedis
penyembuhan luka
dengan indikator :  Bersihkan luka dengan normal dextra
Data subjektif
- Pertumbuhan saline dengan teknik steril  Telah dilakukan
Pasien mengeluh luka pada jaringan  Hindari penekanan pada luka osteotomi 27 April
kaki kanan sejak 1 bulan granulasi  Kaji keadaan dan bentuk kaki, 2015 pada metatarsal
SMRS akibat tertusuk paku. - Penutupan luka serta adanya kalus 4 dan 5
- Ukuran luka  Kaji status sirkulasi vaskuler  Jumlah eksudat sedikit
Data objektif : yang kaki dengan palpasi, pulsasi sekali
 suhu 36,50C mengecil/berkur  Kaji adanya edema  Ukuran luka dorsal
PEDIS: ang
 Kaji sensasi kaki pedis 8 x 2 x 1,
Perfusi granulasi 80%, slough
Support :
ABI kaki kiri 1,2 dan kaki minimal, pus tidak ada
 Anjurkan pasien menjaga
kanan tidak dikaji (N: 0,9-
kebersihan kaki  Kedalaman luka
1,3) parsial
Extent  Anjurkan pasien menjaga
kelembapan kaki  Jaringan nekrotik
Terdapat ulkus diabetic post tidak ada
debridement  Anjurkan pasien melakukan
latihan senam kaki  Tipe jaringan
 Ulkus DM dorsal pedis granulasi merah tua
kanan ukuran 8x3x2  Anjurkan pasien selalu
menggunakan alas kaki  Tepian luka >50% ada
terdapat jaringan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


68

granulasi warna merah  Ilustrasikan pasien untuk kemajuan epitelisasi


tua, jaringan nekrotik menghindari trauma  ABI kanan : -
pada bagian distal, pus  ABI kiri : 1,2
20 cc Direcing :  KGDH: 27/4/2015
 Ulkus pada metatarsal 3  Berikan pemberian antibiotik jam 06/11/16 adalah
dan 4 luas 5x2x2cm sesuai program 120/167/130
 luka plantar pedis kanan A : masalah sebagian
luas 7x6x2 cm terdapat Theaching teratasi
maserasi , produksi pus  Ajarkan pentingnya hygiene P:
berwarna abu-abu, kaki dan perawatan kaki yang  Monitor integritas
Slough kuning, benar kulit,catat
undermining/ goa warna,vaskularisasi,
dibagian distal. granulasi dan
Depth epitelialisasi luka
 (Kedalam Luka) menurut  Monitor tanda-tanda
Wagner: dasar luka infeksi
sampai semua lapisan  Bersihkan luka
dari sub kutis, fasia, dengan normal saline
tendon sampai tulang dengan teknik steril
(grade 4)  Hindari penekanan
Infeksi pada luka
 Kemerahan sekitar luka  Kaji status sirkulasi
1cm dari tepi luka,pus vaskuler kaki dengan
20cm, pemeriksaan palpasi,pulsasi
kultur pseudomonas  Kaji sensasi kaki
aeruginosa (1/4/2015)  Anjurkan pasien
 meliputi sruktur jaringan menjaga kebersihan
luka sampai ketulang. kaki

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


69

 Jaga kelembapan kaki


 Kultur mikroba : ada pasien
Pseudomonas  Berikan Antibiotik
Aeroginosa Vankomycin 2 x 1 gr
 Luka bau (odor +) iv
 Berikan analgetik iv
Sensasi drip sebelum
 Penurunan sensasi perawatan luka
berkurang pada kaki kiri
dan kanan, neuropati

Laboratorium (8 April
2015)
Hb: 10,5 gr/dl: leukosit
925.000/ µL, LED 113, CRP
(-), Prokalsitonin (-), KGDH
13/4/15 jam 06/11/16 adalah
114/138/187
2 14/4/2015 Ketidakstabilan gula darah Selama dilakukan Menajemen hiperglikemia Setelah 24 hari perawatan
berhubungan dengan perawatan (6-5-2015),
ketidakmampuan sel beta diharapkan kadar Method of helping guidance : perkembangan pasien :
glukosa darah  Monitor kadar glukosa darah S :-
pankreas untuk
terkontrol, dengan  Monitor tanda dan gejala O:
memproduksi hormon kriteria; hiperglikemia  KGDH tanggal 6 Mei
insulin atau defisiensi - GDPP < 110-  Monitor tanda vital 2015 adalah
insulin 144 mg/dl  Monitor keton urin Jam06.00 = 110 mg/dl
- GDP 80 – 109  Monitor gas darah arteri,dan Jam 11.00 =127 mg/dl
mg/dl elektrolit jam 16.00 = 135mg/dl

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


70

Data Subjectif : - Glukosa urin (-)  Monitor intake dan output  Novorapid 3 x 6 unit
 Pasien menderita DM Glukosa urine cairan
sejak 15 tahun yang lalu negatif A : masalah sebagian
 Dirawat dengan ulkus Support : teratasi,
berulang  Anjurkan pasien mematuhi P : pertahankan intervensi
menajemen piñatalaksanakan  Monitor kadar glukosa
Data objectif : diabetes. darah
 KGDH:14/4/2015 jam  Monior tanda dan
06/11/16 adalah Teaching : gejala hiperglikemia
121/335/293 mg/dl  Ajarkan pasien dan keluarga dan hipoglikemi
 HbA 1c 10,4 %(<7%) tentang pengentrolan gula darah  Monitor keton urin
tanggal 15 Maret 2015 sendiri dan menajemen  Monitor gas darah
 Terdapat ulkus pedis hiperglikemia arteri,dan elektrolit
dextra post debridement  Monitor intake dan
Directing : output cairan
Terapi; Novorapid 3 x 8  Berikan cairan peroral
unit, Metformin 2 x 500mg  Batasi aktifitas ketika gula darah
>250mg/dl,terutama jika keton
urin positif

Kolaborasi :
 Berikan cairan intravena
Berikan insulin sesuai program
3 13/4/2015 Kebutuhan nurisi Method of helping guidance : Setelah pasien menjalani
Gangguan keseimbangan terpenuhi :  Evaluasi status nutrisi pasien 7 hari perawatan
nutrisi: kurang dari  Pasien setiap hari ditemukan
kebutuhan tubuh mengunkapkan  Kaji pola makan perkembangan :
berhubungan intake yang tidak ada mual  Pantau adanya respon mual dan S:

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


71

kurang dan nafsu muntah  pasien mengatakan


Data Subjektif makan baik  Lakukan oral hygiene sebelum tidak mual dan
 Pasien mengeluh mual  Intake makan makan muntah lagi
sejak 1 minggu. dan sesuai  Kaji pengetahuan pasien dan  porsi makanan habis
muntah 1 kali ± 200cc kebutuhan keluarga tentang diet diabetik. O:
(berisi makanan dan tubuh  Sajikan makanan/ minuman  diet 1700kkal
cairan lambung)  Berat badan dalam kondisi hanagat  porsi makan yang
 Mengeluh lemas dalam rentang  Monitoring nilai laboratorium disajikan dihabiskan
- Pasien mengatakan tidak ideal yang terkait status nutrisi seperti  pasien tampak segar
menghabiskan porsi  Tidak ada albulium, Hb, elekrolit.  KGDH tanggal
makanan karena tidak tanda-tanda  monitor kadar serum lipid 20/4/15 jam 06/11/16
nafsu makan dengan malnutrisi seperti kolesterol adalah 147/123/154
menu makan yang  Nilai HB dalam total,LDL,HDL dan trigliserida A : masalah teratasi
diberikan yaitu makan batas normal  monitoring kadar glukosa darah sebagian
biasa.  Kadar glukosa tiap 6 jam P:
tubuh dalam  pantau tanda-tanda hipoglikemia  intervensi
Data Objektif rentang normal dipertahankan
 Tampak lemah  Kelemahan support :  kaji pola makan
 Estimasi BB=45 kg, tidak ada  libatkan pasien dan keluarga pasien
TB=160cm, IMT= dalam merencanakan kebutuhan  monitoring nilai
17,5kg/m2 nutrisi laboratorium yang
 Riwayat penurunan Berat  berikan dukungan positif jika terkait status nutrisi
badan sebelum masuk RS pasien mampu melaksanakan  Berikan dukungan
BB 50Kg. program nutrisi dengan benar positif jika pasien
 Kebutuhan kalori pasien mampu melaksanakan
 BBI = 54 teaching : program nutrisi
 Kebutuhan kalori basal:  berikan pendidikan kesehatan dengan benar.
54x30=1620kkal tentang diet DM, obat-obatan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


72

 Umur >40 tahun: dan resiko tidak mentaati  Lanjutkan terapi


-5%=1539 program terapi Omeprazole 1 x 40mg
 Aktivitas ringan : (+) 10% iv
=1692kkal kolaborasi :  Domperidon 3x10gr
 Infeksi (+) 10%=  laksanakan program terapi  Inpepsa 3 x C1
1800kkal pemberian anti diabetic  Ondansetron 3 x 8 mg
 Porsi makan yang  konsultasikan dengan ahli gizi
disajikan habis 1/3 porsi untuk mengidentifikasi dan
(jumlah kalori, sdh berapa merencanakan kebutuhan nutrisi
lama) pasien
 Konjungtiva anemis  kolaborasi dengan tim medis
 Kulit pucat dan kering dalam pemberian nutrisi
 Mukosa mulut lembab, parenteral
oral hygiene terjaga
 Kebutuhan kalori pasien

Pemeriksaan Penunjang
 Hb 10, 4 gr/dl (N:12-
16g/dl)
 Globulin 2,3 (N:2,3-
3,2g%)
 Albumin 3,07 gr/dl
(↓)(3.4- 4.8)
 KGDH (13-4-2015)=jam
06/11/16/ adalah
114/138/187130 mg/dl
 Protein total 5,3 (N: 6,1-

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


73

8,2). hitung jenis


limposit 19,1%, LDL
32mg/dl (N:60-160),
HDL 12mg/dL (N; 48,9-
73,5), kolesterol total: 76
mg/dl (<200). feritin 169
(N:100gr/dl pada laki-
laki dewasa)

4 15/4/2015 Nyeri akut berhubungan Nyeri terkontrol Menagemen nyeri Setelah 24 hari
dengan luka terbuka,  Melaporkan perawaan, perkembangan
mekanikal debridement perubahan Method of helping guidance : pasien :
gejala nyeri  Kaji secara komprehensif nyeri, S:
Data Subjectif : berkurang lokasi, karakteristik, awal  Pasien melaporkan
 Pasien mengeluh nyeri  Melaporkan kejadian, durasi, frekuensi, nyeri berkurang
pada luka pada saat dan penyebab nyeri kualitas, faktor penyebab nyeri O:
setelah dibersihkan  Melakukan  Monitor tanda dan gejaia yang Pada saat dibersihkan
 VAS 7 langkah- terkaait rasa sakit seperti luka ditemukan :
Data objectif : langkah tekanan darah, deyut jantung,  Nyeri skala 2
Pada saat dibersihkan luka : pencegahan dan suhu, warna dan kelembapan  Ekspresi wajah
 Tanda vital TD 130/70 non analgesic kulit, gelisah, dan kemampuan meringis
mmHg, HR 92x/menit focus  Tonus otot rileks
 Ekspresi wajah meringis,  Evaluasi efektifitas efek A :masalah sebagian
kerutan yang dalam pemberian obat teratasi
dahi, mata tertutup P:
 Tonus otot tegang Support :  Kaji secara
 Berbaring dengan  Anjurkan penggunaan teknik komprehensif
gerakan kepala dari sisi nonfarmakologis seperti nyeri,lokasi,karakteris

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


74

ke sisi relaksasi, nafas dalam. tik, awal kejadian,


Terapi Tramadol 100 mg  Anjurkan pasien untuk durasi, frekwensi,
dalam NaCl 0,9% 100cc mengevaluasi dan melaporkan kualitas nyeri
efektifitas kebijakan yang  Monitor tanda dan
digunakan. gejala yang terkait
rasa sakit seperti tanda
Teaching : vital
 Ajarkan penggunaan teknik  Ajarkan tehnik
Nonfarmakologis seperi relaksasi
relaksasi, nafas dalam.  Berikan medikasi
analgesik sesuai resep
Tindakan kolaborasi :  Evaluasi efektifitas
 Berikan medikasi analgesic efek pemberian obat
sesuai resep
5 15/4/2015 Intoleransi aktivitas  Energi Energi Management : Setelah 24 hari
berhubungan dengan Conservation perawatan,
penurunan ketahanan tubuh,  Self care: Method of helping guidance : perkembangan pasien :
proses penyakit Activity Daily  Observasi adanya pembatasan S :-
Living (ADL) pasien dalam melakukan O:
Data subjektif aktifitas  Hb 11 gr/dl
 Pasien mengeluh lemas Kriteria Hasil:  Kaji adanya faktor yang  Ulkus DM pedis
 Pasien mengatakan sejak  Berpatisipasi menyebabkan kelelahan dextra
sakit semua aktivitas dalam aktifias  Monitor nutrisi dan sumber  Ulkus DM pedis
dilakukan di tempat tidur fisik tanpa energi dextra
disertai  Monitor pasien akan adanya  Telah dilakukan
Data Objektif peningkatan kelelahan fisik dan emosi osteotomi 28 April
 Keadaan umum lemah tekanan Darah secara berlebihan 2015 pada metatarsal
 Hb 10,4 g/dl nadi dan RR  Monitor respon kardivaskuler 4 dan 5

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


75

 Ulkus DM pedis dextra  Mampu terhadap aktifitas seperti  Eksudat serosanginosa


 Ukuran melakukan tekanan di dada,nadi meningkat,  Jumlah eksudat sedikit
luka>10,1cm2(30x15x0, aktifitas palpitasi,pusing, kelemahan, sekali
5) sehari- kelelahan yang extrim, sesak  Ukuran luka dorsal
 Keadaan umum lemah hari(ADL)  Observasi adanya nyeri sebelum pedis 8 x 2 x 1,
secara mandiri aktifias granulasi 80%, slough
minimal, pus tidak ada
Support :  Kedalaman luka
 Tingkatkan aktifias bertahap parsial
sehingga pasien memungkinkan  Jaringan nekrotik
untuk merubah posisi, tidak ada
mentransfer, dan perawatan diri  Tipe jaringan
sedini mungkin granulasi merah tua
 Tepian luka >50% ada
Directing : kemajuan epithelium
 Pastikan pasien melakukan  Pasien mampu duduk
perubahan posisi perlahan-lahan
 Lakukan gerakan latihan pasif A: masalah sebagian
jika pasien tidak mentolerir teratasi
aktifitas P:
 Lakukan istirahat diantara  Kaji adanya faktor
periode aktifitas yang menyebabkan
kelelahan
 Monitor nutrisi dan
sumber energi tenaga
edekuat
 Monitor pasien akan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


76

adanya kelelahan fisik


dan emosi secara
berlebihan
 Monitor respon
kardivaskuler
terhadap aktifitas
 Tingkatkan aktifitas
bertahap untuk
merubah posisi,
mentransfer,dan
perawatan diri sedini
mungkin
 Pastikan pasien
melakukan perubahan
posisi perlahan-lahan
 Lakukan gerakan
latihan pasif
 Kolaborasi dengan
rehabilitasi medik

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


77

3.1.6 Evaluasi
Masalah kerusakan integritas kulit pada hari ke 3 pasien dirawat belum
menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang berarti ulkus terlihat rembes kebalutan
luka, luka banyak jaringan nekrotik, eksudat banyak dan purulen, ulkus
menimbulkan bau. Selanjutnya dilakukan debridement ke 3 di kamar operasi
pada tanggal 29 April 2015. Hasil lab tanggal 20 April 2015 Hb 10,5 gr%, leuko
9,25 ribu, neutrofil 64,7%, limfosit 19,1%. Hasil kolaborasi dengan dokter PPDS
klien bersedia menggunakan modern dressing dengan cutimet sorbak dan
duoderm gel. Setelah hari ke tiga (hari ke 8 perawatan luka) penggunaan modern
dressing luka mulai memperlihatkan tanda-tanda perbaikan, dimana dasar luka
berwarna merah pada sebagian area, sebagian masih kecoklatan, slough minimal,
jaringan nekrotik mudah terlepas, luka tidak berbau, tendon berwarna coklat
dankering. Pergantian dressing dengan menggunaan cutimet sorbak dan duaderm
gel dilakukan 3 hari sekali. Pada hari ke 11 perawatan granulasi jaringan masih
sedikit terlihat, warna dasar luka merah pada beberapa area, slough putih, tendon
berwarna putih kecoklatan, luka terlihat moist, pada hari ke 13 granulasi mulai
terlihat, dasar luka berwarna merah hampir disetiap area, tendon masih putih
kecoklatan, slough minimal, jaringan granulasi. Tanggal 18 Mei 2015 pasien
telah dilakukan STSG (split thickness skin graft)

Masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi mulai memperlihatkan tanda-


tanda perbaikan setelah dilakukan intervensi selama tiga hari dimana dari data
subjektif diperoleh dari pernyataan pasien dimana pasien mengatakan sudah mulai
ada selera makan walaupun belum bisa menghabiskan porsi yang dihidangkan
respon ini terlihat dari makan yang disajikan habis ½ porsi pada pagi hari, siang
hari habis dan malam hari 4-5 sendok namun lauk ikan laut tidak dihabiskan,
dengan alasan jika mengkosumsi ikan menyebabkan pasien bertambah mual dan
gatal-gatal. klien masih terlihat lemah. Untuk meningkatkan asupan protein pasien
diupayakan dengan peningkatan pemberian putih telur 6 butir sehari dan extract
ikan gabus. Pemberian ini diberikan dengan pertimbangan rendahnya nilai
albumin dari normal. Masalah nutrisi baru teratasi sebagian pada hari ke tujuh, hal
ini terlihat dari data subjektif dimana klien mengatakan sudah mau makan dan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


78

porsi yang dihidangkan habis, nilai Hb belum ada peningkatan dari 10,4 gr%.
Namun intake nutrisi yang adequat juga menjadi indikator untuk mempertahankan
nilai Hb dalam rentang normal. Penurunan nilai Hb tidak hanya diindikasikan
dengan pemasukan nutrisi yang kurang namun ada masalah-masalah lain yang
terkait yang dapat mempengaruhi nilai Hb seperti gangguan pada fungsi ginjal
yang biasanya terdapat pada diabetesi yang telah mengalami komplikasi nefropati.
Namun sejauh ini fungis ginjal Tn. W masih dalam batas normal, ini terlihat dari
nilai ureum 25 mg/dl (Normal 10-50) dan kreatinin 0,5 (Normal 0,5 – 1,5).

Kasus 2
Diagnosis and Presciption
Basic conditioning Faktor : Ny S berusia 60 tahun, menikah dengan tiga orang
anak, pendidikan SD, pekerjaan ibu rumah tangga, TB 157 cm, BB 51 kg, IMT
20,69 kg/m2 (normoweight). Penanggung jawab Tn R (suami klien). Klien masuk
RSCM tanggal 9 September 2014 dengan keluhan nyeri pada kaki kanan sejak
tiga hari SMRS dan adanya luka pada tukak kaki kanan. Nyeri sudah dirasakan
sejak tiga minggu yang lalu saat terbentuk luka pada punggung kaki seperti
melepuh. Lepuhannya tersebut kemudian dipecahkan oleh klien dan akhirnya
lukanya semakin melebar dan sukar menutup, beberapa hari keluar darah dan
nanah dari luka serta disertai nyeri. Sebelumnya klien berobat ke PKM karena
mengeluh mual dan muntah. Hasil gula darah klien di PKM yakni > 500 sehingga
dirujuk ke RSCM. Saat dilakukam pengkajian tanggal 22 September 2014 (hari
rawat ke-13), klien mengeluh nyeri pada kaki kanan, terdapat luka yakni ulkus di
plantar derajat 3 dengan luas 6x5x1 cm, dan luka dipunggung kaki ukuran 5x3 cm
derajat 3 serta terdapat undermaining diantarajari kaki kanan dengan jari telunjuk
menembus plantar. Luka klien berbau dan terdapat pus berwarna kuning, dengan
kondisi jaringan sekitar luka hyperemia. Klien terdiagnosa DM sejak sembilan
tahun yang lalu saat klien dirawat di RS Auri pada April 2013 karena ulkus pada
kaki kanan dan telah dilakukan amputasi pada jari telunjuk. Klien tidak memiliki
riwayat hipertensi dan melahirkan anak > 4 kg. Sementara itu orang tua klien
meninggal dengan stroke sedangkan pamannya juga menderita DM. Berat badan
klien sebelum terdiagnosa DM yakni 73 kg dan sekarang 51 kg. Klien

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


79

mendapatkan diet DM 1700 kkal dengan protein 2,5 gr/kgBB/ hari. Hasil
laboratorium yakni albumin 3.10 gr/dL (↓), Hb 10,5 g/dl, eritrosit 3,89 juta/𝜇l,
KGDH (22 September 2014 jam 12) 170 mg/dL, Ht 34%, Leukosit 5700/µL,
hitung jenis: basofil 1%, eosinofil 2%, netrofil 57%, limfosit 29%, monosit 7%.
ABI kaki kanan 1,1 dan ABI kaki kiri 1. Pemeriksaan tanda-tanda vital TD 130/80
mmHg, HR 70x/menit, RR 20x/menit, suhu tubuh 36,50C. Kesimpulan: ulkus DM
pedis dextra , selulitis pedis dextra, osteomielitis distal os phalang proximal digiti
II. Terapi sucralfat 4x1, Lantus 1x8 unit, Novorapid 3x8 unit, Simvastatin
1x20mg, Co-amoxiclave 3x1tab, Paracetamol k/p bila demam, Metrodinazole
3x500mg, Ranitidin 2x50mg, Cefriaxone 2x2 gr, Gentamisin 3x80 gr, cairan Nacl
0,9% 8 jam /kolf.

Diagnosa keperawatan yang dialami Ny. S: 1) Kerusakan integritas kulit dan


jaringan berhubungan dengan terputusnya kontinuitas kulit dan jaringan sekitar,
gangguan sirkulasi, mekanika debridement, 2) Resiko ketidakstabilan glukosa
darah berhubungan dengan resistensi insulin, defisiensi insulin, 3)
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anemia, intake tidak adekuat, 4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
dengan penurunan ketahanan tubuh.
Pasien mengatakan sejak sakit tidak dapat menjalankan perannya sebagai ibu dan
istri bagi anak-anaknya. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari dibantu oleh keluarga.
Klien minum kurang lebih enam gelas dalam sehari, tidak mengeluh sering haus
sekarang ini. Klien tidak memiliki masalah dengan kebiasaan BAK dan BAB.
Sejak klien sakit aktivitasnya lebih banyak dilakukan di tempat tidur seperti
makan, solat kecuali BAK, BAB, dan mandi dilakukan di kamar mandi dengan
bantuan suami ataupun anaknya.

Theraupetic Self Care Demand :


1. Kebutuhan udara/ oksigenasi
Klien tidak mengalami gangguan pemenuhan oksigen dengan data: tidak sesak
TD 130/80 mmHg, HR 70x/menit, RR 20x/menit, suhu tubuh 36,50C, sianosis (-),
suara nafas vesikuler, batuk (-) ronchi (-), wheezing (-), bunyi jantung S1 dan S2

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


80

reguler, irama jantung teratur.

2. Kebutuhan cairan dan elektrolit


Klien tidak mengalami masalah pemasukan cairan dengan data sebagai berikut:
Turgor kulit tidak elastis, kulit pecah pecah dan kering, intake rata-rata 6 (enam)
gelas sehari, Mukosa oral lembab, oral hygiene terjaga. pasien sekarang tidak
mengeluh sering haus (karna gula darah terkontrol dengan menggunakan
Novorapid 3X7 unit), diuretic (-), HT 34%, kesadaran umum compos mentis,
GCS 15, tidak ada kejang, reflex fisiologis (+), dan reflex patologis (-)

3. Kebutuhan Nutrisi
Klien mengalami masalah dengan pemasukan makanan dengan data sebagai
berikut: klien mengatakan badan terasa lemas, porsi makan tidak dihabiskan,
tampak lemah, kongjungtiva pucat, BB 51 kg, TB = 157 cm, IMT= 20,69 kg/m2,
riiwayat penurunan BB, alergi makanan (-), diet DM 1700 kkal, protein 2,5
gr/kgBB/hari. Hasil pemeriksaan penunjang (20 September 2014) yakni albumin
3.10 gr/dL, HB 10,5 g/dl, Eritrosit 3,89juta/𝜇l dan KGDH (22 September 2014
jam 12) 170 mg/dL.

4. Kebutuhan eliminasi dan ekresi


Klien tidak mengalami masalah dengan kebutuhan eliminasi dengan data: Klien
mengatakan BAB dan BAK klien lancar, urine berwarna kuning, tidak ada
distensi kandung kemih, nyeri tekan abdomen tidak ada, diare (-), acites (-), bising
usus 5x/menit. Hasil pemeriksaan laboratorium yakni ureum 21mg/dl dan
kreatinin 0,60mg/dl.

5. Kebutuhan aktivitas dan istirahat tidak adekuat


Klien mengalami masalah dalam aktivitas dengan data sebagai berikut: Klien
mengatakan sejak sakit lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur seperti
makan minum dan sholat dilakukan di atas tempat tidur, kecuali BAK, BAB dan
mandi dilakukan di kamar mandi, anak dan suaminya selalu membantu klien
dalam beraktivitas. Klien memiliki luka DM plantar pedis dextra dengan ukuran

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


81

plantar 10x6x1 cm, plantar lateral kanan 10x7x3 cm, TD 130/80 mmHg, HR
70x/menit, RR 20x/menit, suhu tubuh 36,50C.

Perkembangan keluarga saat ini terganggu karena klien tidak dapat menjalankan
tugasnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Pasien juga harus beradaptasi
dengan kakinya karena belum menapakkan kakinya saat berjalan. Klien tidak
mengalami hambatan terkait hubungan seksual. Perubahan fisik pada klien yakni
adanya ulkus yang belum sembuh. Klien tidak merasa malu dengan kondisi
penyakit dan dampak ditubuhnya dan dapat menerima kondisi penyakitnya. Klien
telah ikhlas menerima kondisi sakitnya dan menyerahkannya kepada Tuhan.
Selama sakit klien tetap menjalankan ibadah dengan berdzikir dan sholat
tayamum.

Health Deviation Self Care Requisites : Ketergantungan dalam penanganan medis


dan perawatan.

Medical Problem and Plan :


Masalah medis yang dialami klien adalah adanya ulkus DM pedis dextra, selulitis
pedis dextra, osteomielitis distal os phalang proximal digiti II. Obat-obatan yang
didapat diantaranya adalah sucralfat 4x1, Lantus 1x8 unit, Novorapid 3x8 unit,
Simvastatin 1x20mg, Co- amoxiclave 3x1tab, Paracetamol k/p bila demam,
Metrodinazole 3x500mg, Ranitidin 2x50 mg, Cefriaxone 2x2 gr, Gentamisin 3 x
80 gr, cairan Nacl 0,9% 8 jam /kolf

Diagnosa Keperawatan : Diagnosa keperawatan yang dialami Tn HA: 1)


Ketidakstabilan glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin, defisiensi
insulin, 2) Kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan
terputusnya kontinuitas kulit dan jaringan sekitar, gangguan sirkulasi, mekanika
debridement, 3) Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
4) Kurang pengetahuan berhunbungan dengan proses perawatan penyakitnya

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


82

Pemeriksaan Kaki Diabetik:


Pemeriksaan Kaki Kanan Kaki Kiri
Ya Tidak Ya Tidak
Kallus √ √
Corns / Mata Ikan √ √
Bunions √ √
Hammer toes √ √
Amputasi
 Minor ( jari/ pedis ) v √
 Mayor ( below knee/ above √ √
knee )
Kaki charchot √ √
Kuku
 Penebalan √ √
 Infeksi jamur √ √
 Tumbuh ke dalam √ √
Kulit
 Perabaan kaki dingin √ √
 Kulit berkilap √ √
 Kulit kering √ √
 Atrofi lemak sub kutan √ √
 Rubor √ √
 Pucat pada elevasi √ √
 Bulu rambut menipis √ √
Nursing system

Kasus 3
Diagnosis and Presciption
Basic conditioning Faktor : Tn HA berusia 42 tahun. Klien masuk RSCM pada
27 November 2014 dengan keluhan kaki membengkak sejak lima hari sebelum
masuk RS (SMRS). Satu bulan SMRS klien memakai sandal yang kekecilan
dan punggung kakinya membengkak, berwarna kemerahan, dan terasa nyeri
bila digerakkan kemudian kakinya diolesi dengan minyak tawon terus menerus.
Klien kemudian berobat ke dokter umum dan didiagnosa mengalami asam urat.
Klien mengatakan kakinya semakin lama semakin bengkak dan membuat klien
sulit berjalan. Lima hari SMRS, benjolan yang ada di kaki kanan klien pecah
serta mengeluarkan cairan berwarna putih dan klien merasa demam. Tiga hari

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


83

SMRS klien memeriksakannya ke puskesmas dan hasil gula darahnya (GDS)


yakni sekitar 300 kemudian klien dirujuk ke RSCM. Klien menjalani
debridement di IGD RSCM pada tanggal 28 November 2014. Klien
mengatakan baru mengetahui memilki riwayat DM sejak 3 hari SMRS. Klien
tidak memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal, dan hipertensi. Klien tidak
memiliki riwayat sering buang air kecil, haus, dan lapar, tetapi klien mengeluh
sering mengalami kesemutan. Klien memiliki riwayat merokok satu bungkus
per hari. Klien mengatakan ayahnya (alm) memiliki riwayat DM. Klien
mendapatkan diet DM 1900 kkal dengan protein 1,2 gr/kgBB/ hari. Hasil
laboratorium yakni Hb 11,5 gr%, Ht 33,1%, leukosit 96,2 ribu/ µl, albumin 3,3
g/dl.
Theraupetic Self Care Demand :
1. Kebutuhan udara :
Klien tidak mengalami gangguan pemenuhan oksigen dengan data: tidak sesak
dan batuk, TD 120/70 mmHg, HR 92x/menit, RR 20x/menit, suhu tubuh
35,6°C, sianosis (-), suara nafas vesikuler, batuk (-) ronchi (-), wheezing (-),
bunyi jantung S1 dan S2 reguler, irama jantung teratur, Hasil AGD (8
Desember 2014) pH 7,403 mmHg, PCO2 35,2 mmHg, HCO3 22,2 mmHg, PO2
100 mmHg, dan saturasi oksigen 97,8%.

2. Kebutuhan cairan dan elektrolit


Klien tidak mengalami masalah pemasukan cairan dengan data: Klien
mendapatkan restriksi cairan 2000 ml/ hari. Hasil pemeriksaan elektrolit (8
Desember 2014) natrium 135 mmol/ L, kalium 4,02 mmol/ L, klorida 96,3
mmol/ L, kalsium 8,7 mg/dl, magnesium 1,79 mg/dl, fosfat inorganic 3,9 mg/
dl. Selain itu turgor kulit klien elastis dan tidak ada tanda-tanda dehidrasi.

3. Kebutuhan Nutrisi
Klien mengatakan menghabiskan porsi makanan yang diberikan. Hasil
pemeriksaan status nutrisi yakni tinggi badan klien 156 cm, berat badan 59 kg,
BBI 50,4 kg, dan IMT 24,27 kg/ m2. Dari hasil IMT klien dikategorikan status
gizi lebih. Jumlah kebutuhan nutrisi klien atau diet DD dilihat dari nilai BBI

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


84

dan faktor yang mempengaruhinya yakni sebesar 1900 kkal dengan protein 60
gram (1,2 gr/ kg BB), lemak 53 gram (25%), serta karbohidrat 295 gram (62%).
Hasil pemerikasaan laboratorium pada 8 Desember 2014 menunjukkan kadar
hemoglobin 11,5 g/dl, hematokrit 33,1%, leukosit 9,62 ribu/ µl, trombosit 367
ribu/ µl, eritrosit 3,75 juta/ µl, SGOT 16 U/l, SGPT 31 U/l, dan albumin 3,30
g/dl

4. Kebutuhan eliminasi dan ekresi


Klien tidak mengalami masalah dengan kebutuhan eliminasi dengan data: Klien
mengatakan tidak mengalami gangguan buang air besar dan buang air kecil.
Klien buang air besar satu kali sehari dengan konsistensi lembek dan buang air
kecil kurang lebih lima sampai enam kali dalam sehari. Hasil pengkajian
menunjukkan tidak adanya nyeri tekan abdomen dan asites. Hasil pemeriksaan
laboratorium pada 8 Desember 2014 yakni kadar ureum klien 35 g/dl, kreatinin
0,70 g/dl, serta GFR 118,9. Hasil CCT hitung yaitu 114,7

5. Kebutuhan aktivitas dan istirahat tidak adekuat


Klien mengalami tidak memiliki masalah dalam aktivitas dengan data sebagai
berikut: Klien dapat melakukan aktivitas secara mandiri walaupun sesekali
dibantu, klien memiliki luka DM pada punggung kakinya, TD 120/70 mmHg,
HR 92x/menit, RR 20x/menit, suhu tubuh 35,60C.
Peningkatan Fungsi dan Perkembangan Hidup : Klien belum menikah, Fungsi
peran terganggu karna klien tulang punggung keluarga menafkahi orang tua,
Kebutuhan klien selama di RS dibantu oleh keluarganya.

Health Deviation Self Care Requisites : Ketergantungan dalam penanganan


medis dan perawatan.
Medical Problem and Plan : Masalah medis yang dialami pasien adalah adanya
ulkus diabetes, ulkus DM pedis dextra post debridement ulkus dibalut elastis
verban dengan rembesan >>, gula darah tanggal 8 Desember 2014 jam 06.00
wib, 16.00 wib yaitu 182 dan 115 mg/dl dan albumin 2.31gr/dl, HbA1c = 9%
Obat-obatan yang didapat diantaranya adalah metformin 3x500 mg, novorapid

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


85

3x12 unit, ranitidine 2 x 50mg, tramadol 3x100 mg, parasetamol 3x500 mg k/p,
ampicilin sulbactam 4x1,5 gr IV

Diagnosa Keperawatan : Diagnosa keperawatan yang dialami Tn HA: 1)


Ketidakstabilan glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin, defisiensi
insulin, 2) Kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan
terputusnya kontinuitas kulit dan jaringan sekitar, gangguan sirkulasi, mekanika
debridement, 3) Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan 4) Kurang pengetahuan berhunbungan dengan proses perawatan
penyakitnya

Pemeriksaan Kaki Diabetik:


Pengkajian keadaan kaki menggunakan pengkajian PEDIS adalah Perfusi :
Ankle Brachial Indeks: ABI kaki kanan 1.1 dan ABI kaki kiri 1,2. Akral teraba
dingin. Extent (Ukuran Luka): ulkus lateral pedis dextra ukuran 5 x 4 x 2 cm
terdapat, jaringan nekrotik, produksi pus berwarna abu-abu, undermining/ goa
dibagian distal. Dept (Kedalam Luka) menurut Wagner: dasar luka sampai
semua lapisan dari sub kutis (grade 2). Infeksi meliputi sruktur jaringan
subkutis. Tanpa disertai Tanda-tanda infeksi insistemik yaitu demam suhu
36,70C dan leukosit 9,62 ribu/ul. Sensitivitas menurunnya ditandai dengan
pasien mengatakan rasa berkurang pada kaki kanan pasien.
Nursing system
1. Ketidakstabilan glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin,
defisiensi insulin, the wholly compensatory nursing system; NOC (kadar
glukoa darah dalam batas normal); NIC (diabetes management, manajemen
hiperglikemia, manajemen hipoglikemia, edukasi kesehatan).
2. Kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan terputusnya
kontinuitas kulit dan jaringan sekitar, gangguan sirkulasi, mekanika
debridement; the partially compensatory nursing system NOC (terjadi
penyembuhan luka); NIC (kontrol infeksi, cegah infeksi, perawatan luka)
3. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan; the
partially compensatory nursing system; NOC (level nyeri menurun dan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


86

control nyeri dapat dillihat tanda-tanda vital dalam batas normal); NIC (
manajemen nyeri)
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses perawatan penyakitnya;
the partially compensatory nursing system; NOC (pasien mampu
menyebutkan tentang penyakit DM); NIC (manajemen nyeri).
5. Hambatan mobilitas fisik; the partially compensatory nursing system; NOC
(dapat melakukan aktivitas sehari-hari); NIC (Ambulation)

Evaluasi
1. Ketidakstabilan glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin,
defisiensi insulin, selama 21 hari glukosa dalam batas normal
2. Kerusakan integritas jaringan selama 21 hari perawatan terjadi penurunan
luas luka, bau pada luka tidak ada, jaringan granulasi 100%.
3. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan selama 21
hari perawatan level nyeri menurun dan pasien dapat melakukan kontrol
nyeri secara mandiri.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses perawatan penyakitnya;
selama 21 hari pasien mampu menyebutkan tentang penyakit DM); NIC
(manajemen nyeri).
5. Hambatan mobilitas fisik; selama 21 hari perawatan pasien dapat melakukan
aktivitas secara mandiri

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


87

3.2 Penerapan Evidence Based Nursing (EBN)


3.2.1 Tahap Persiapan
Meningkatnya prevalensi DM diseluruh dunia, termasuk Indonesia, sudah menjadi
perhatian dari berbagai pihak terutama pemberi pelayanan kesehatan termasuk
perawat. Penyakit DM merupakan penyakit menahun/ kronik yang akan
berdampak seumur hidup terhadap penderita DM. DM dapat menyebabkan stress
fisik dan psikologis. Sebaliknya, stress dapat menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah pada pasien DM. Oleh karena itu, penting bagi perawat untuk
memutus siklus ini. Intervensi keperawatan mandiri merupakan hal yang terus
digali dengan berbagai pendekatan agar terapi tersebut dapat diterima oleh
masyarakat. EBN ini dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta.

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo merupakan rumah sakit rujukan nasional


dengan kunjungan pasien yang tinggi. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan
selama 2 minggu (1 Desember 2014 sampai 15 Desember 2015) di Poliklinik
Endokrin RSCM didapatkan data bahwa (40%) 04 dari 10 orang pasien DM Tipe
2 yang dirawat mengalami stress berat dan stress sedang 40% dan ringan 20%

Dari data-data diatas maka peran perawat sangatlah penting untuk memberikan
manajemen stress kepada pasien dengan mengajarkan terapi relaxasi. Terapi yang
dilakukan harus berdasarkan landasan penelitian sebelumnya atau riset-riset
terkini sehingga kita mendapatkan pembuktian-pembuktian dalam keperawatan
yang di sebut dengan Evidence Based Nursing (EBN).

EBN yang diterapkan adalah pengaruh manajemen stress pada pasien DM dengan
menggunakan Relaxation Breathing Exercise dan Progressive Muscle Relaxation
(PMR) terhadap kadar glukosa darah. Berdasarkan jurnal “Implementation of a
stress management program in outpatients with type 2 diabetes mellitus: a
Randomized Controlled Trial”

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


88

3.2.2 Penelurusan Literatur


Penelusuran literatur dilakukan melalui EBSCO data bases; CINAHL, Proquest
dan MEDLINE dan PUBMED. Kata kunci yang digunakan yaitu: management
stress, diabetes melitus tipe 2, kemudian ditemukan hasil pencarian 411, cari
article types pilih Randomized controlled Trial hasil pencarian 32, dibatasi tahun
dengan 10 tahun terakhir ditemukan hasil pencarian 23. Setelah dilakukan analisis
literatur didapatkan jurnal dengan judul
Validitas
Desain yang digunakan pada penerapan EBN ini adalah Quasi experimental
design dengan satu kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol yang
sampelnya diambil secara random. Pengukuran stress menggunakan DASS
(depression and stress scale) dilakukan sebelum dan setelah inervensi,
pengukuran kadar glukosa darah diukur sebelum dan setelah 2 minggu perlakuan.

a. Reabilitas
Kuesioner depression anxiety and stress scale (DASS)
Depression anxiety and stress scale (DASS) adalah suatu kuisioner yang berisi 42
item untuk mengukur keadaan emosional yang negatif dari depresi, kecemasan
dan stress. Setiap skala ini berisi 14 item, setiap item berisi sekitar 2-5 pertanyaan.
Pada penelitian ini pertanyaan yang akan dikaji adalah tingkat stress, maka
kuisioner yang digunakan adalah yang mengukur skala stress saja. Skala stress ini
mengkaji kesulitan untuk bersantai, semangat, mudah marah. Gelisah, mudah
tersinggung, over reaktif, dan tidak sabar yang dialami seseorang dalam satu
minggu terakhir. Menurut Lovibond dan Lovibond (1995), uji validitas
depression anxiety and stress scale (DASS) adalah 0,48 - 0,68 dan skor uji
reliabilitas pada item depresi 0,91 ansietas 0,86 dan stress 0,90

a. Important
Pelletier (2002) dalam Lorentz (2006) menyatakan bahwa perasaan negatif,
seperti rasa takut, putus asa dan depresi berpengaruh secara signifikan pada kimia
tubuh. Hal ini merupakan konsep Mind-Body therapy, dimana pikiran

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


89

mempengaruhi penyembuhan. Penelitian oleh DiNardo (2009) menyatakan dalam


manajemen DM ditambah dengan relaksasi dengan konsep self healing dapat
menurunkan HbA1C, dapat menurunkan tekanan darah dan menurunkan kadar
glukosa darah.

b. Applicability
Penelitian-penelitian yang digunakan dalam proposal ini menunjukan bahwa
dengan manajemen stress dapat menurunkan tingkat stress dan meningkatkan
kontrol glikemik pada pasien DM tipe 2.

3.2.3 Critical Apraisal Jurnal Pendukung


1. Judul jurnal; Implementation of a stress management program in
outpatients with type 2 diabetes mellitus: a Randomized Controlled Trial
Penelitian oleh : Koloverou Efi, Tentolouris, Bakoula Chryssa, Darviri Christina,
Chrousos George. Tahun 2014 Tujuan peneltian: Untuk mengetahui efektifitas
terapi PMR dan latihan nafas dalam pada pasien DM tipe 2 terhadap stress dan
kontrol glikemik antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Metode : Pasien dibagi secara random yang terdiri dari dua kelompok. Kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Pasien pada kelompok eksperimen diberikan
efektifitas terapi PMR dan latihan nafas dalam pada pasien DM tipe 2, sedangkan
pasien pada kelompok kontrol hanya mendapatkan terapi konvensional (diet, olah
raga, obat hipoglikemi oral dan insulin).
Hasil yang diukur:
Skor skala stress menggunakan Social Readjustment Rating Scale (SRRS) untuk
mengetahui persepsi tentang stress yang dialami. Serta menggunakan Locus of
Control (HLC) untuk mengetahui kemampuan responden dalam mengontrol diri
sendiri, kontrol glikemik (HbA1c),dan kadar kortisol
Sampel: Sampel di dalam penelitian ini adalah 53 pasien DM tipe 2 yang diambil
secara acak yang terbagi dalam 25 orang pada kelompok eksperimen dan 28 orang
pada kelompok kontrol. Terapi yang diberikan pada kelompok intervensi
sebanyak 2 kali sehari selama 12 minggu, kemudian tingkat stress, HbA1c dan
kortisol diperiksa sebelum dan sesudah perlakuan.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


90

Hasil: pada kelompok intervensi didapatkan penurunan skor skala stress dan
menurunnya HbA1c secara signifikan (P<0,05) pada akhir program.
Kesimpulan: hasil penelitian menunjukkan effek yang menguntungkan dari
manajemen stress pada pasien DM tipe 2, baik dalam tingkat stress maupun
kontrol glikemik. Penelitian ini menyarankan untuk penelitian dengan sampel
yang lebih besar, durasi yang lebih lama.

2. Judul jurnal: Stress Management Improves Long-Term Glycemic Control in


Type 2 Diabetes.
Penelitian oleh : Richard, S. S, Christopher. L, Miranda, Nancy. Z., Cynthia, C.,
Parekh. P. Tahun 2002. Tujuan penelitian: Untuk melihat apakah efek terapi
manajemen stress yang berbasis kelompok efektif dilakukan.
Metode: Sampelnya pasien DM tipe 2 yang diambil secara random (n=108)
kelompok kontrol sampel sebanyak 48 dan kelompok intervensi 60
Pengumpulan data dengan mengisi kuesioner skala stress, kecemasan, dan
kesehatan psikologis. Kriteria inklusi adalah pasien DM tipe 2 dengan glukosa
belum terkontrol, telah terkontrol diet, olahraga, dan OHO. Kriteria eksklusi telah
mengikuti pelatihan manajemen stress sebelumnya, menggunakan obat psikoaktif,
sedang menjalani perawatan psikiatri, menggunakan insulin. Penelitian dilakukan
selama satu tahun, dua bulan pertama diberikan kelas edukasi diabetes sebanyak
lima sesi (30 meit/ sesi) untuk kelompok control sedangakan pada kelompok
perlakuan diberikan edukasi diabetes dan manajemen stress dengan PMR dan
nafas dalam yang dilakukan 2 x/ hari.
Hasil yang diukur: Evaluasi dilakukan pada bulan 2, 4, 6 dan bulan 12 untuk
dilihat HbA1c, skala stress, diet dan berat badan.
Hasil: Pada akhir didapatkan pada kelompok intervensi menunjukkan signifikan
menurukan HbA1c dibandingkan dengan kelompok kontrol
Kesimpulan: Manajemen stress dengan Progressive Muscle Relaxation (PMR)
secara berkelompok terbukti sangat efektif dalam pengobatan gangguan dengan
komponen psiko-fisiologis pada DM tipe 2

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


91

3. Judul jurnal: Effects of massage and progressive muscle relaxion on


gycosylated hemoglobin in diabetic children
Penelitian oleh : Ghazavi Z, Talakoob S (University kedokteran, Isfahan Iran),
Abdeazdan Z (Assosiasi Professor, Perawatan dan Fakultas Midwifer) tahun
2008
Tujuan penelitian: untuk menentukan dampak dari terapi massage dan terapi
PMR terhadap HbA1c pada anak dengan diabetes.
Metode: menggunakan kuasi eksperimental, yang dibagi dalam tiga kelompok
yaitu dua kelompok intervensi (satu kelompok massage dan satu kelompok PMR)
dan kelompok ketiga adalah kelompok kontrol.
Sampel: sampel di dalam penelitian ini adalah 75 anak diabetes. HbA1c diukur
pada awal dan akhir penelitian. Inklusi usia 7-15 tahun, memiliki orang tua
kandung, berobat keklinik pediatric setiap 1-3 bulan, tidak memiliki penyakit
kronis lainnya, telah mendapat insulin, olahraga, dan diet selama penelitian.
Eksklusi bila telah/ sedang melakukan terapi pijat, buta, retardasi mental, tuli,
riwayat ketoasidosis, asupan menurun.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
penurunan HbA1c dibanding sebelum intervensi. Dan tidak ada perbedaaan yang
signifikan untuk lamanya menderita diabetes dan dosis insulin.
Kesimpulan: hasil penelitian menunjukan bahwa kedua tehnik massage dan PMR
efektif menurunkan kadar glukosa darah pada anak-anak diabetes.

4. Judul jurnal: Effects of progressive muscle relaxion on state anxiety and


subjective well-being in people with schizophrenia: a randomized controlled trial
Penelitian oleh: Vancampfort. D., Hertl. M. D., Knapen. J., Maurissen. K.,
Raepsaet., Deckx. S., Remans. S., Probst. M.tahun 2011
Tujuan penelitian: untuk menguji efektifitas terapi PMR dibandingkan dengan
pengontrolan kecemasan, stress psikologis, kelelahan pada pasien skizofrenia.
Desain : Randommize Controlled Trial
Metode: sampel diambil dari sebuah Rumah Sakit Rawat Inap di Universitas
Psychiatric Centre.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


92

Sampel: sampel di dalam penelitian ini adalah 64 pasien skizofrenia. Pasien


diambil secara acak, masing-masing kelompok terdiri dari 32 orang. Kelompok
intervensi diikutkan dikelas terapi PMR selama 25 menit, kelompok Kontrol
dikondisikan beristirahat sambal membaca dengan waktu yang sama 25 menit.
Karakteristik partisipan terdiri dari usia, jenis kelamin, IMT, simtomatologi.
Hasil: kelompok intervensi signifikan menurunkan kecemasan dan stress
psikologis, kelelahan meningkat dibandingkan dengan kelompok kontrol
Kesimpulan: hasil penelitian menunjukan bahwa terapi PMR efektif menurunkan
stress akut dan kecemasan pada pasien Skizofrenia

3.2.4 Analisis Proses Penerapan EBN


Analisis literatur mengenai penerapan manajemen stress pada pasien DM tipe 2
merupakan hal yang penting yang dilakukan oleh perawat sebagai intervensi
dalam mengurangi komplikasi. Manajemen stress ini berdampak terhadap
beberapa efek fisiologis dan psikologis dari pasien DM tipe 2. Dampak secara
tidak langsung mengurangi komplikasi.
.
a. Kekuatan (Strength)
Kekuatan yang dimiliki oleh RSCM dalam penerapan latihan PMR dan latihan
nafas adalah: Rumah Sakit rujukan tingkat nasional dan mempunyai visi untuk
menjadikan rujukan se Asia pada tahun 2015 serta menjadikan rumah sakit
pendidikan. Faktor lain sebagai kekuatan adalah banyaknya kunjungan pasien
DMT2 setiap hari, tersedianya laboratorium, RSCM sebagai pusat pendidikan
tenaga kesehatan yang meliputi dokter, perawat dan ahli gizi dan farmasi serta
tenaga kesehatan lainnya.

b. Kelemahan (Weaknes)
Kelemahan yang ditemui dalam pelaksanaan EBN ini adalah tingginya beban
kerja perawat.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


93

c. Opportunity (Peluang)
Peluang yang dapat dilihat adalah tingginya angka jumlah pasien rawat inap di
RSCM, belum adanya terapi manajemen stress atau terapi relaksasi lainnya untuk
menurunkan tingkat stress pada pasien DM Tipe 2 dan pengendalian kontrol
glikemik. latihan ini Pemberian terapi bisa diajarkan dengan berkelompok, dan
dipoliklinik tersedianya ruang edukasi yang dapat digunakan untuk latihan.

3.2.5 Pelaksanaan Evidence Based Nursing


1. Pasien
Pasien dalam pelaksanaan EBN diidentifikasi sesuai kriteria, yaitu semua
pasien DMT2 yang berobat kepoliklinik RSCM, dan dibagi dalam dua
kelompok yaitu satu kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol.
Kriteria inklusi EBNP ini adalah bersedia menjadi responden, semua pasien
DMT2 yang mempunyai alat pemeriksaan gula darah, kadar glukosa darah
diatas 200mg/dl, responden telah mendapatkan manajemen DM (diet, aktifitas
fisik, obat anti diabetes dan insulin, telah mendapatkan edukasi), pasien yang
mempunyai telepon aktif, dan pasien memiliki alat pemutar Video. Kriteria
ekslusi: mengalami Ketoasidosis dan hipoglikemi.

2. Tempat & Waktu


Tempat pengambilan sampel EBN adalah Poliklinik Endokrin RSCM. Waktu
pelaksanaan mulai minggu ketiga April sampai minggu pertama Juni 2015.
3. Prosedur pelaksanaan
Mengajukan proposal EBN dan mendapat persetujuan dari pembimbing
akademik dan pembimbing klinik RSCM, setelah itu melaporkan rencana
kegiatan EBN ke dokter penanggung jawab pasien, melakukan sosialisasi
kegiatan EBNP ke Kepala Ruangan beserta perawat di Poliklinik Endokrin
RSCM Jakarta

4. Alur pelaksanaan
Semua pasien DMT2 yang telah ditetapkan sebagai responden, kemudian
dijelaskan rencana pemberian terapi PMR dan latihan nafas kepada calon

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


94

responden, setelah itu responden ditetapkan sebagai kelompok kontrol atau


intervensi sesuai dengan kunjungan pasien (dibagi menurut urutan kedatangan
apabila datang dengan nomor ganjil ditetapkan sebagai kelompok intervensi,
sedangakan urutan genap ditetapkan sebagai kelompok kontrol). Responden
mengisi informed consent dan dilanjutkan dengan melakukan pengisian kuesioner
skala stress (DASS). Responden dibagi dalam dua kelompok yang terdiri
darikelompok perlakuan yang diberikan terapi PMR dan latihan pernafasan,
sedangkan kelompok kontrol hanya menjalankan terapi konvensional. Kelompok
intervensi dilatih terapi PMR dan latihan nafas dengan menggunakan video terapi
relaksasi PMR dan latihan nafas. Latihan dilakukan sampai responden bisa
melakukan dengan benar. Video yang telah disediakan diberikan kepada
responden sebagai panduan dalam pelaksanaan terapi. Semua responden baik
kelompok intervensi maupun kelompok kontrol diminta untuk melakukan
pemeriksaan kadar glukosa puasa dan sewaktu pada pukul 06.00 wib, dan 16.00
wib (hari 0, hari 5, hari 10, hari 15 ) sesuai dengan lembaran jadwal terapi serta
lembar observasi yang diberikan kepada responden. Lembaran jadwal terapi
berisikan tentang tanggal dan waktu terapi yang dilakukan, sedangkan lembaran
observasi terdiri dari jadwal pemeriksaan glukosa darah, kolom hasil
pemeriksaan, dan kolom keterangan untuk laporan keluhan pasien tanggal
tersebut.

Pada hari pertama intervensi kelompok intervensi melakukan terapi PMR dan
latihan pernafasan dua kali/ hari pada pagi dan sore (ditetapkan jam pelaksanaan
dengan responden) dengan durasi 25 menit setiap terapi, dengan panduan video
yang telah dibagikan. Intervensi dilakukan selama 14 hari berturut-turut. Evaluasi
dilakukan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah pada hari ke lima, hari
sepuluh dan hari kelima belas jam 06.00 wib, dan jam 16.00 wib. Evaluasi tingkat
stress menggunakan DASS akan dilakukan pada hari kelima belas. Setelah data
terkumpul, selanutnya dilakukan pengolahan data.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


95

Skema 3.1 Alur Kerja Pelaksanaan EBN

Identifikasi calon responden

Tidak bersedia Bersedia

Inform consent

Pengisian data pasien dan kuesioner


skala stress DASS

Kelompok intervensi Kelompok kontrol


(dilatih terapi PMR dan RB)

Pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu


sebelum terapi PMR dan RB dilaksanakan pada
pukul 06.00 dan jam 16.00 wib (hari 0)

Pelaksanaan Terapi PMR dan RB dua Pelaksanaan terapi


kali/hari durasi 25 menit selama empat sesuai manajemen
belas hari berturut-turut, sesuai dengan DM
video yang telah dibagikan

Evaluasi dilakukan pada hari kelima, hari ke 10


dan kelima belas dengan pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu jam 06.00 wib, jam dan
16.00 wib. Pengisian kuesiner skala stress
(DASS) dilakukan pada hari kelima belas

Analisa data

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


96

3.2.6 Hasil pelaksanaan Evidence Based Nursing


Sampel yang digunakan dalam praktek EBN ini berjumlah 10 orang yang terbagi
dalam dua kelompok yaitu kelompok intervensi dan kontrol. Kelompok intervensi
berjumlah 5 orang pasien DMT2 mendapatkan terapi PMR dan latihan nafas,
sedangkan kelompok kontrol berjumlah 5 orang pasien DMT2 yang tidak
diberikan terapi PMR dan latihan nafas. Pengukuran kadar glukosa darah
dilakukan 1 kali sebelum intervensi pada jam 06.00 dan jam 16.00 wib dan 3 kali
sesudah intervensi yaitu pada hari kelima, sepuluh, dan hari ke lima belas yang
dilakukan pada pukul 06.00 dan pukul 16.00 wib. Serta pemeriksaan skor skala
stress dilakukan sebelum intervensi dan sesudah intervensi (hari 15). Pemaparan
hasil penelitian meliputi karakteristik responden pada kedua kelompok.

a. Karakteristik Responden
Sub bab ini menjelaskan tentang karakteristik responden yaitu usia, jenis kelamin,
obat oho/ insulin yang didapat, dan tingkat stres, pada kelompok intervensi dan
kontrol. Sub bab ini juga menjelaskan uji kesetaraan karakteristik responden
antara kedua kelompok. Kesetaraan karakteristik, menunjukkan bahwa perbedaan
nilai post test antara kedua kelompok tidak dipengaruhi oleh perbedaan
karakteristik antar kelompok. Berikut ini karakteristik responden berdasarkan usia
pada kelompok intervensi dan kontrol:

Tabel 3.1
Karakteristik Usia Responden Pasien DMT2 Pada Kelompok
Intervensi dan Kontrol di RSUPN Cipto Mangunkusumo
Tahun 2015 (n=10)

Variabel
Mean SD Min-Mak 95%CI
Usia
- Kelompok Intervensi (n=5) 50.80 8.139 37-57 40.47-61.13

- Kelompok Kontrol (n=5) 55 11.02 43-70 41.31-68.69

Tabel 3.1 menunjukkan rerata usia responden pada kelompok intervensi yaitu
50,80 tahun (SD 8,139) berbeda dengan kelompok kontrol yaitu 55 (SD 11,02).

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


97

Tabel berikut ini menjelaskan tentang karakteristik responden berdasarkan jenis


kelamin, terapi farmakologi yang didapat.

Tabel 3.2
Karakteristik Pasien DMT2 Berdasarkan Jenis Kelamin, OHO/ insulin
Yang Didapat, Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2015 (n=10)

Kelompok
Variabel Intervensi Kontrol
N % N %
Jenis kelamin:
- Laki-laki 4 80 2 40
- Perempuan 1 20 3 60
Terapi farmakologis:
- Insulin 2 40 3 60
- Insulin + OHO 2 40 1 20
- OHO 1 20 1 20

Tabel 3.2 menunjukkan distribusi responden berdasarkan jenis kelamin pada


kelompok intervensi terbanyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 80%, sedangkan
pada kelompok kontrol terbanyak adalah perempuan yaitu sebanyak 60%.
Berdasarkan terapi farmakologi yang didapat responden, pada kelompok
intervensi yang mendapatkan insulin dan kombinasi insulin dan OHO masing-
masing 40%. Sedangkan pada kelompok kontrol terbanyak adalah yang
mendapatkan terapi insulin 60%, dan kombinasi insulin dan OHO 20%.
Responden yang mendapatkan OHO pada kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol masing-masing 20%.

b. Gambaran Kadar Glukosa Darah Sebelum dan Sesudah Terapi PMR dan
Latihan Nafas pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Kadar glukosa darah yang diukur dalam penerapan EBN ini adalah meliputi kadar
glukosa darah jam 06.00 dan jam 16.00 wib sebelum intervensi dan pemeriksaan
kadar glukosa darah hari kelima, hari kesepuluh dan hari ke lima belas saat
dilakukan intervensi.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


98

Tabel berikut menjelaskan kadar glukosa darah pada pasien DMT2 Sebelum dan n
sesudah terapi PMR dan latihan nafas pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi.

Tabel 3.3
Kadar Glukosa Darah Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)

Kelompok Pengukuran Mean SD (Min-Max) 95% CI


Hari 0
187.6 36,78 140 - 242 141,93 - 233,37
Jam 06.00 wib
225.60 56,93 160 - 310 154,91 - 296,29
Jam 16.00 wib
Hari ke-5 intervensi
181,2 30,33 140 - 211 143.54- 218,86
Jam 06.00 wib
247,60 65,95 160 - 324 165,71-329,49
Jam 16.00 wib
Intervensi
Hari ke-10 intervensi
160,40 26,92 128 - 180 126,97-193,83
Jam 06.00 wib
187 19,55 160 - 205 162,72-211,28
Jam 16.00 wib
Hari 15 Setelah intervensi
139,60 36,66 82 - 176 94,58-185,62
Jam 06.00 wib
186,40 19,36 160 - 210 162,36-210,44
Jam 16.00 wib
Hari 0
205,80 20,35 180 - 225 180,53-231,07
Jam 06.00 wib
221,20 47,91 177 - 299 161,71-280,69
Jam 16.00 wib
Hari ke-5 intervensi
196,40 18,83 172 - 220 173,01-219,79
Jam 06.00 wib
178 17,88 150 - 200 155,79-200,21
Jam 16.00 wib
Kontrol Hari ke-10 intervensi
189,20 37,27 135 - 240 142,92-235,48
Jam 06.00 wib
211,80 62,32 175 - 322 134,42-289,18
Jam 16.00 wib
Hari ke-15 post intervensi
Jam 06.00 wib 187,40
24,97 160 - 210 156,39-218,41
Jam 16.00 wib 202,80
67,67 120 - 307 118,77-286,83

Tabel 3.3 menunjukkan adanya penurunan berturut-turut rerata kadar glukosa


darah puasa jam 06 wib sebelum dan sesudah terapi PMR dan latihan nafas yaitu
dari 187,6 mg/dl sampai 139,60 mg/dl pada kelompok intervensi. Pada
pemeriksaan kadar glukosa jam 16.00 wib, kelompok intervensi didapatkan
sedikit peningkatan rerata kadar glukosa darah pada hari sebelum intervensi yaitu
dari 225,60 mg/dl meningkat menjadi 247,60 mg/dl pada hari kelima, namun pada
hari ke-10 dan ke-15 terjadi penurunan berturut-turut, yaitu 187 mg/dl pada hari
ke 10 dan 186,40 mg/dl pada hari ke-15 setelah intervensi.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


99

Kadar glukosa darah pada kelompok kontroll, menunjukkan adanya penurunan


berturut-turut rerata kadar glukosa darah puasa jam 06 wib sebelum dan sesudah
terapi PMR dan latihan nafas yaitu dari 205,80 mg/dl sampai 187,40 mg/dl pada
akhir program. Namun pada pemeriksaan kadar glukosa darah jam 16.00 wib
menunjukkan angka yang fluktuatif. Rerata kadar glukosa darah tertinggi terjadi
pada pengukuran sebelum intervensi yaitu 221,20 mg/dl, kemudian sesudah
intervensi menurun menjadi 178 pada hari kelima dan 211,80 mg/dl pada hari
kesepuluh, kemudian kembali menurun pada hari ke-15 yaitu 202,80 mg/dl.
Untuk lebih jelas bisa kita lihat pada grafik dibawah ini

300
280
260
240
kontrol pukul 06
Axis Title

220
200 kontrol pukul 16
180 intervensi pukul 06
160
intervensi pukul 16
140
120
100
hari 0 hari 5 hari 10 hari 15

Gambar 3.2
Kadar Glukosa Darah Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)

c. Gambaran skor tingkat stress Sebelum dan Sesudah Terapi PMR dan Latihan
Nafas pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Skor tingkat stress yang diukur dalam penerapan EBN ini adalah meliputi tingkat
stress sebelum dilakukan dan sesudah dilakukan intervensi .
Tabel berikut menjelaskan skor skala stress pada pasien DMT2 Sebelum dan n
sesudah terapi PMR dan latihan nafas pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


100

Tabel 3.4
Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)

Variabel
Mean SD Min-Mak 95%CI
Kelompok Intervensi
- Pre intervensi 26,80 2,38 24-30 23.84-29.76
- Post intervensi 19 2 17-22 16.52-21.48

Kelompok Kontrol
23.60 2.61 19-25 20.36-26.84
- Pre intervensi
20.80 3.11 18-25 16.93-24.67
- Post intervensi

30

25

20

15 sblm
ssdh
10

0
intervensi kontrol

Gambar 3.3
Gambaran Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)

Gambar 3.3 menunjukkan skor skala stress mengalami penurunan pada akhir
program pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Rerata penurunan
yang terbanyak adalah pada kelompok intervensi, yaitu skor skala sress 26,80
menjadi 19 pada hari 15 setelah intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol
juga terjadi penurunan dari skor skala stress 23,60 menjadi 20,80 pada hari ke-15
setelah intervensi

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


101

d. Perbedaan rata-rata tingkat stress Sebelum dan Sesudah Terapi PMR dan
Latihan Nafas pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Skor tingkat stress yang diukur dalam penerapan EBN ini adalah meliputi tingkat
stress sebelum dilakukan dan sesudah dilakukan intervensi .
Tabel berikut menjelaskan perbedaan rata-rat skala stress pada pasien DMT2
Sebelum dan sesudah terapi PMR dan latihan nafas pada kelompok kontrol dan
kelompok intervensi.

Tabel 3.5
Perbedaan Rata-rata Tingkat Stress Pada Pasien DMT2 Sebelum dan Sesudah
Terapi PMR dan Latihan nafas Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di RSUPN
Cipto Mangunkusumo Tahun 2015 (n=10)

Variabel P value
Mean SD 95%CI
(α = 0,05 )
Tingkat stress
- Pre intervensi 25,20 2,89 23.84-29.76
0,004
- Post intervensi 19,90 2,64 16.52-21.48

Tabel 3.9 Efektifitas terapi PMR dan Latihan nafas terhadap tingkat stress dan
ditentukan dengan cara membandingkan tingkat stress sebelum dan sesudah terapi
terapi PMR dan Latihan nafas pada kelompok intervensi dan kontrol. Analisis
yang digunakan untuk menentukan perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan
sesudah terapi terapi PMR dan Latihan nafas antara kedua kelompok dilakukan
dengan paired t test menunjukkan p value 0,004. Dapat disimpulkan terdapat
perbedaan signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah
dilakukan terapi PMR dan latihan nafas.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


102

3.3 Penerapan Inovasi


3.3.1 Analisis Situasi
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo sebagai pusat
rujukan nasional. Memiliki jumlah kunjungan pasien yang sangat besar,
diantaranya untuk pasien rawat jalan penyakit dalam. Jumlah kunjungan pasien
rawat jalan di poliklinik penyakit dalam RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
berjulah 24.178 pasien dari bulan Januari sampai Maret 2015. Jumlah kunjungan
pasien DM pada periode yang sama berjumlah 4.853 pasien dengan rata-rata
kunungan perhari sebanyak 80 orang. Hasil studi pendahuluan pada minggu IV
Maret 2015 di poliklinik Metabolik Endokrin RSUP Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa angka kunjunggan pasien DM rata-
rata 70 pasien dengan jumlah perawat sebanyak 3 orang dan dokter 3-4 orang
setiap harinya. Jika dilihat dari jumlah dokter dan kungjungan pasien per hari,
maka perbandingan dokter dan pasien adalah 1:16. Sedangkan untuk perawat, satu
orang perawat bertugas di klinik kaki diabetes dan 2 orang di meja perawat
endokrin untuk mengurus proses administrasi dan melakukan pengkajian,
memberikan informasi dan edukasi, mengatur alur periksa pasien, serta
melakukan verifikasi.

Dari observasi, jumlah perawat tidak sebanding dengan jumlah pasien. Hal ini
menyebabkan perawat terfokus pada kegiatan pengkajian pasien dan urusan
administratif. Akibatnya, waktu untuk memberikan promosi kesehatan terbatas
sehingga edukasi yang dilakukan bersifat oportunistik. Sementara dari segi pasien,
banyak waktu luang yaitu 1-3 jam hingga pasien masuk ke ruan periksa. Hal yang
mempengaruhi lamanya waktu tunggu yaitu waktu kedatangan dokter, rekam
medis pasien yang belum datang, serta waktu tunggu antrian masuk ke kamar
periksa. Dari segi kepuasan pasien, hal yang ditemukan adalah pasien menyatakan
kurang puas karena waktu tunggu yang lama.

Di ruang tunggu terdapat beberapa fasilitas. Di bagian depan ruang tunggu


terdapat media edukasi berupa standing banner sebanyak empat buah yang berisi
tentang alur pasien rujuk balik, informasi tentang risiko jatuh, dan dua banner

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


103

tentang retinopati diabetic. Luas ruang tunggu poliklinik metabolic endokrin


adalah 8x15 meter dengan tersedia kursi tunggu dan fasilitas satu unit televisi dan
satu unit DVD player. Televisi menayangkan informasi umum oleh program
stasiun televisi yang ada, tidak berkaitan dengan promosi kesehatan. Padahal,
waktu tunggu pasien sejak melakukan proses pendaftaran hingga mendapatkan
pelayanan juga tergolong lama, yaitu 2-3 jam. Sebagian besar pasien
menghabiskan waktu tunggu dengan mengobrol atau tidur. Hal ini sangat
disayangkan mengingat dengan begitu lamanya waktu tunggu dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan promosi kesehatan pasien.

Program promosi kesehatan berupa edukasi telah dilakukan tetapi belum


maksimal. Program edukasi kelompok dilakukan setiap dua kali per bulan dengan
durasi 1-2 jam yang dipelopori oleh PERSADIA. Edukasi diberikan oleh dokter,
perawat, dan dietisien dengan materi yang berbeda. Proses edukasi dilakukan di
ruang edukasi dengan kapasitas sekitar tiga puluh orang. Pasien yang
berpartisipasi dalam edukasi setiap sesi sekitar 20 orang. Selain itu, terdapat
media edukasi berupa leaflet tentang cara penyuntikan insulin dan senam kaki.

Kegiatan promosi kesehatan penting karena mayoritas pasien memiliki kadar


glukosa darah yang masih fluktuatif. Masalah lainnya adalah masih rendahnya
tingkat pengetahuan tentang diabetes melitus dan perilaku perawatan diri pasien
DM yang kurang. Hal itu tergambar dari data bahwa 91,7% dari pasien memiliki
tingkat pengetahuan yang kurang. Tidak hanya itu, 91,7% pasien juga memiliki
perilaku perawatan diri yang kurang.

Perbandingan antara sumber daya manusia dan jumlah pasien yang tidak
seimbang, belum optimalnya upaya pemanfaatan waktu tunggu, serta tingginya
kebutuhan edukasi menjadi tantangan tersendiri untuk memaksimalkan waktu
tunggu sebagai bagian dari pelayanan untuk meningkatkan status kesehatan
pasien. Berdasarkan fenomena di atas, mahasiswa program Ners Spesialis KMB
Endokrin menjalankan program inovasi. Promosi kesehatan ini merupakan
kegiatan yang selain bermanfaat untuk meningkatkan status kesehatan pasien,

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


104

juga diharapkan dapat meningkatkan angka kepuasan pasien karena memiliki


kegiatan yang bermanfaat selama menunggu. Selain itu, metode edukasi inovasi
ini diharapkan dapat membawa hal positif baru terutama bagi pasien yang sudah
sering mengikuti kegiatan edukasi kelompok dari waktu ke waktu. Program
inovasi yang dilakukan bertema peningkatan promosi kesehatan melalui
pemeriksaan dan pemantauan kesehatan mandiri pada pasien diabetes melitus di
poliklinik Penyakit Dalam Divisi Metabolik Endokrin RSUPN dr.Cipto
Mangunkusumo Jakarta.

3.3.2 Kegiatan Inovasi


Kegiatan inovasi promosi kesehatan ini menggunakan media standing banner dan
booklet. Untuk meningkatkan pengkajian mandiri pada pasien dengan diabetes
melitus. Untuk menambah efektiivitas promosi kesehatan ini, pasien diberikan
flyer yang berisi informasi dan catatan pemantauan untuk kendali diabetes yang
dilakukan dirumah, sehingga pasien dapat mengenali kebutuhan self care dan
dapat mencari informasi pada tenaga kesehatan. Sehingga self care pasien dapat
meningkat dan pada akhirnya komplikasi bisa dihindari dan kualitas hidup
meningkat.

3.3.3 Persiapan
Dalam kegiatan inovasi ini, banyak hal yang disiapkan. Yang pertama adalah
materi edukasi yang akan digunakan dalam program promosi kesehatan. Selain
itu, kelompok juga membuat quick quiz untuk mengkaji tingkat pemahaman
sekaligus mengkaji kebutuhan edukasi pasien. Hal ke tiga yang disiapkan adalah
banner sebagai media quick quiz. Setelah itu kelompok mengkaji kebutuhan
edukasi pasien, dan memberiakan edukasi sesuai kebutuhan pasien dengan
menggunakan media lembar balik dan pembagian logbook. Kemudian kelompok
melakukan evaluasi kognitif, afektif, psikomotor untuk mengkaji tingkat
keberhasilan edukasi. Selain itu, kelompok juga mengadakan rapat koordinasi
pelaksanaan kegiatan bersama dengan staf poliklinik tempat kegiatan akan
diadakan.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


105

Alur Pasien berobat di poli

Pasien datang ke bagian UPPJ RSCM

Waktu:
Pasien mendapat surat eligibilitas peserta (SEP) 2-3 jam

Pasien menuju unit pelayanan rawat jalan yang dituju, di


mana salah satunya adalah polilinik penyakit dalam

Pasien mendaftar di loket poliklinik penyakit dalam


Waktu: 10-
Pasien meletakan surat rujukan dan jaminan di eja 15 menit
perawat poliklinik endokrin dan mendapat nomor antrian
Waktu: 30-
Pasien dilakukan pengkajian dan edukasi di meja perawat 60 Menit

Waktu: 1-3
Pasien dipanggil dan masuk ke ruang periksa dokter jam

Waktu: 15-
Pasien selesai melakukan 30 menit
pemeriksaan dari ruang dokter

Pasien mendapatkan resep Pasien baru dan pasien lama (bila


dan form lab, kemudian diperlukan) mendapatkan resep obat
kembali ke meja perawat dan rujukan ke klinik kaki diabetes
untuk mendapat verifikasi (skrining kaki diabetes) dan foto retina

Pasien Jika masih dalam


Jika sudah selesai jam rentang waktu
menuju
pelayanan, pasie akan pelayanan, pasien
apotik untuk
diminta untuk datang akan dilakukan
menebus
kembali di hari lain srining kaki dan
resep
foto retina

Pasien selesai skrining kaki dan foto retina

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


106

3.3.4 Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan inovasi terdiri dari beberapa langkah. Yang pertama adalah
mensosialisasikan rencana kegiatan kepada kepala poliklinik, perawat poli
endokrin, dan dokter penanggungjawab pasien. Pada minggu kedua April 2015,
perawat bersama mahasiswa memulai kegiatan dengan mendistribusikan standing
banner dipoliklinik, dan membagikan flyer terkait self health assessment kepada
pasien DM, serta tindak lanjut setelah mengisi flyer tersebut. Setelah itu,
responden atau pasien yang membutuhkan tindak lanjut datang menemui perawat.
Perawat/mahasiswa kemudian mengkaji kebutuhan edukasi pasien sebelum
memberikan edukasi sesuai kebutuhan pasien. Setelah sesi edukasi selesai,
perawat mengevaluasi tingkat pemahaman pasien terkait edukasi yang telah
diberikan. Di akhir sesi, perawat memberikan buku panduan pemeriksaan dan
pemantauan kesehatan mandiri pada pasien diabetes melitus sebagai panduan
untuk melakukan self health assessment di rumah.

3.3.5. Hasil Pelaksanaan Kegiatan Inovasi Kelompok


Hasil pengkajian awal terhadap responden inovasi keperawatan terkait demografi
pasien diantaranya umur, lama mengalami diabetes melitus, jenis kelamin, tingkat
pendidikan disajikan pada tabel-tabel dibawah ini.

Tabel 3.6
Distribusi umur responden Inovasi Keperawatan di Poliklinik Endokrin
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (N=16)

Variabel Mean±SD Min-Max Median 95 % CI


Umur 54,31±7,507 40 - 68 54,50 50,31 – 58,31

Tabel menunjukkan rata-rata umur responden adalah 54,31 tahun. Umur termuda
adalah 40 tahun dan tertua adalah 68 tahun. Hasil estimasi interval menunjukkan
bahwa rata-rata umur responden diabetes melitus yang berpartisipasi dalam
kegiatan inovasi keperawatan berada pada rentang usia 50,31 – 58,31 tahun.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


107

Tabel 3.7
Distribusi Responden Berdasarkan lama mengalami DM di Poliklinik
Endokrin RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (N=16)

Variabel Mean±SD Min-Max Median 95 % CI


Lama 8,88±6,81 1 - 25 10 5,25 – 12,5
mengalami
DM

Tabel menunjukkan rata-rata lama mengalami DM responden peserta inovasi


keperawatan adalah 8,88 tahun dengan rentang waktu terendah adalah 1 tahun dan
terlama dalah 25 tahun. Hasil estimasi interval menunjukkan bahwa rata-rata lama
mengalami DM yang berpartisipasi dalam kegiatan inovasi keperawatan berada
pada rentang usia 5,25 – 12,5 tahun.

Tabel 3.8
Distiribusi frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat
Pendidikan di Poliklinik Endokrin RSUP Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo (N=16)

Data Jumlah Persentase (%)


Jenis Kelamin
Laki- laki 8 50
Perempuan 8 50
Tingkat Pendidikan
Rendah (SD, SMP) 2 12,4
Menengah (SMA/SMK) 8 50
Tinggi (Akademi, PT) 6 37,4

Tabel menunjukkan distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dan tingkat


pendidikan. Hasil analisa data menunjukkan 50% responden (8 responden) yang
berpartisipasi dalam inovasi keperawatan berjenis kelamin perempuan dan 50%
responden (8 responden) berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan tingkat
pendidikan menunjukkan sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan
menengah (SMA/SMK) sebanyak 8 responden (50%), selanjutnya 6 responden
(37,4%) memiliki tingkat pendidikan tinggi (akademi, PT), dan sisanya memiliki
tingkat pendidikan rendah (SD, SMP) sebanyak 2 orang (12,4%).

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


108

Ada 4 (empat) flyer berisi quick quiz yang dibagikan pada pasien yang sedang
menunggu antrian untuk masuk ruang pemeriksaan dokter. Keempat topic tersebut
adalah ;1). pengetahuan umum tentang DM, didapatkan 2 orang pasien (12,50%),
dengan nilai kurang pengetahuan tentang DM secara umu m. 2). Pengetahuan
tentang perawatan harian di rumah, didapatkan 7 orang (43,75%) dengan
pengetahuan kurang. 3). Pengetahuan tentang risiko komplikasi kaki, didapatkan
5 orang (31,25%) dengaan pengtahuan kurang. 4). Pengetahuan tentang gejala
dan pencegahan hipoglikemi, didapatkan pengetahuan kurang pada 2 orang
(12,50 %).

3.3.6. Evaluasi
Hasil pengkajian tingkat kepuasan terhadap program promosi kesehatan pada
pasien diabetes melitus dengan metode self health assessment dan edukasi
pengelolaan diabetes melitus.

Gambar 3.4
Gambaran Tingkat Kepuasan pasien terhadap program Inovasi Keperawatan

16 14
14
12
10 Puas
8
Kurang Puas
6
4 2
2
0
Tingkat Kepuasan

Gambar diagram menunjukkan bahwa 14 pasien (87,5%) yang berpartisipasi


dalam program inovasi keperawatan puas sedangkan 2 pasien (12,5%) kurang
puas terhadap program promosi kesehatan pada pasien diabetes melitus dengan
self-health assessment dan booklet edukasi pengelolaan DM.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


BAB 4
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan menganalisis tiga kegiatan meliputi: pertama, menganalisis
tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan Ulkus diabetes dengan
pendekatan model Nursing sistem Orem. Kedua menganalisis pemberian terapi
Progressive Muscle Relaxation dan latihan pernafasan dan ketiga menganalisis
kegiatan proyek Inovasi tentang self health assessment pada pasien DMT2 di
Poliklinik Endokrin Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo

4.1 Pembahasan Kasus Diabetes Melitus


Pada sub bab ini akan dibahas tentang asuhan keperawatan pada Tn. W dengan
ulkus diabetik dengan menggunakan model Nursing sistem Orem. Pembahasan
yang akan diuraikan adalah analisi terkait masalah keperawatan yang muncul,
justifikasi intervensi yang dilakukan dengan menggunakan teori dan konsep yang
mendasari fenomena yang terjadi serta penelitian lain yang mendukung sebagai
bukti ilmiah.

4.1.1 Pemeliharaan Asupan Udara dan Kondisi Sirkulasi yang Memadai


Kebutuhan udara dan sirkulasi tubuh yang memadai penting untuk kelangsungan
mahluk hidup. Pada ketiga kasus diatas tidak ditemukan bahwa nyeri dada,
palpitasi, sesak nafas, edema, dan vertigo. Misalnya data pada Tn. W dengan data
yang mendukung adalah pengisian kapiler < 3 detik dan tanda-tanda vital pasien
menunjukkan data dalam rentang normal yaitu tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
92x/menit, pernafasan 18x/menit, dan suhu tubuh 36,50C. berdasarkan hasil
pemeriksaan tekanan darah pasien dapat dinilai Mean Arterial Pressure (MAP).
MAP adalah perfusi organ tubuh yang menunjukkan kecukupan aliran darah pada
organ. Tekanan darah 110/70 mmHg menunjukkan MAP 80 mmHg berdasarkan
rumus sebagai berikut: 1/3 Sistolic Blood Pressure (SBP) + 2/3 Diastolic Blood
Pressure (DBP), dengan nilai normal MAP adalah 70 – 110 mmHg. Nilai MAP
80 mmHg mendukung kondisi pasien yang memadai dalam kebutuhan sirkulasi
dan oksigenasi tubuh dengan mandiri tanpa bantuan pengobatan dan perawatan

109 Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


110

4.1.2 Pemeliharaan Asupan Air yang Memadai


Kasus Tn. W Balans cairan + 300 cc/hari dengan intake minum (oral)1200 cc/hari,
asupan cairan parenteral dari infus NaCl 1500 cc/hari, output urine 1500 cc/hari,
IWL 500 cc/hari dan muntah 200 cc. Data yang mendukung memadainya asupan
cairan juga didukung dengan data laboratorium tentang cairan yaitu hematokrit
32,1%, natrium 133 mmol/L, kalium 3,99 mmol/L, klorida 94 mmol/L, ureum
25mmol/L

Berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah dan elektrolit darah berupa natrium,
dapat diperoleh osmolaritas plasma (mOsm/L) sebesar 282,2 dengan
penghitungan beradasarkan : 2Na + glukosa mg/dl + Blood Urea Nitrogen mg/dl
. 18 2,8
Nilai Tonisitas (mOsm/L) diperoleh sebesar 282,2 mOsm/L (normal 280-300
mOsm/L), jadi Tn. W menunjukkan bahwa osmolaritas serum dalam batas
normal,
Menurut NANDA (2012) bahwa ketidakseimbangan elektrolit adalah kondisi
tubuh yang mengalami perubahan kadar elektrolit serum yang dapat mengganggu
kesehatan. Sedangkan ketidakseimbangan volume cairan adalah terjadinya
penurunan, peningkatan, atau pergeseran cepat cairan intravena, interstisial,
dan/atau intraseluler lain yang mengacu pada kehilangan, penambahan cairan
tubuh, atau keduanya.

4.1.3 Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh


Menurut NANDA (2012-1014) diagnosa ini didefinisikan sebagai asupan nutrisi
yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik. adapun faktor yang
mempengaruhi terjadinya perubahan dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri
yang menjadi penyebab timbulnya masalah, pada data terlihat bahwa faktor yang
mempengaruhi adalah penurunan nutrisi sel karena penurunan kemampuan
metabolisme akibat asupan menurun. Tanda yang dapat diobsevasi adalah mual,
muntah 1 kali, tidak ada nafsu makan, makan hanya habis 1/3 porsi (600 kalori).
Hasil lab: Hb 10, 4 gr/dl (N:12-16g/dl), Globulin 2,3 (N:2,3-3,2g%), Albumin
3,07 gr/dl (↓)(N: 3.4- 4.8), KGDH (13-4-2015) = jam 06/11/16/ adalah

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


111

114/138/187130 mg/dl, Protein total 5,3 (N: 6,1-8,2), IMT 17,5, hitung jenis
limposit 19,1%, LDL 32mg/dl (N:60-160), HDL 12mg/dL (N; 48,9-73,5),
kolesterol total: 76 mg/dl (<200). feritin 169 (N:100gr/dl pada laki-laki dewasa)

Dari data diatas terlihat bahwa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh merupakan masalah yang menjadi prioritas untuk segera diatasi, karena
kondisi ini akan memberi dampak pada kondisi metabolik pasien dan juga
berperan pada proses penyembuhan luka. Asupan nutrisi yang kurang juga
memberi dampak secara langsung terhadap penurunan Hb dan albumin, Globulin
dan protein total.

Penurunan Hb atau anemia adalah menurunnya konsentrasi hemoglobin dan


massa eritrosit. Anemia pada ulkus diabetes sering ditemui dalam praktek sehari-
hari. Penyebab tersering adalah asupan yang kurang atau pendarahan. Bakheit et
al, 2012 menyatakan bahwa eritropoitin adalah hormon utama dalam produksi
eritrosit yang diproduksi oleh sel peritubular ginjal. Erirosit normal akan bertahan
selama 120 hari. Sedangkan faktor-faktor yang menjadi pemicu penurunan serum
albumin pada pasien DM. Albumin merupakan berfungsi sebagai pengikat
komponen darah. sehingga plasma darah tidak bocor kejaringan tubuh. Menurut
Tatti dan Barber (2011) yaitu 1) tubuh dengan diabetes terus menerus akan
mengalami keadaan katabolik karena defisiensi insulin dan fenomena
glukoneogenesis dari asam amino dan lemak. Proses ini terjadi setiap hari pada
diabetes yang tidak terkontrol sehinga kadar glukosa darah menjadi tidak
proporsional 2) terjadinya microalbuminuria yang menyebabkan kehilangan
sumber protein 3) adanya luka juga menyebabkan kehilangan protein dan kondisi
ini diperberat oleh luas dan kedalam luka 4) kerusakan ginjal membuat pasien
menurunkan jumlah asupan protein dalam dietnya sehingga menyebabkan
penipisan protein. Selain itu dengan adanya luka cenderung untuk merubah
lingkungan metabolik menjadi katabolik karena pengeluaran agen proinflamatori
sitokinin pada luka, pada kondisi resistensi insulin dan atau ketiadaan insulin
menyebabkan kekacauan metabolisme glukosa sehingga menyebabkan tubuh
mengubah ke kondisi katabolik. Kondisi ini diperberat dengan peningkatan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


112

kortisol sebagai bagian respon stres dari luka yang menambah terjadinya
katabolisme: sedikitnya energi yang diperoleh dari lemak menyebabkan
katabolisme protein meningkat. Pada akhirnya terjadi pelepasan asam amino yang
didorong oleh glukoneogenesis di hati.

Ketidakseimbangan nutrisi pada Tn. W disebabkan karena menurunnya nafsu


makan yang ditandai dengan mual dan muntah akibat pasien dirawat hari pertama
post debridement di kamar operasi. Sebelum tindakan debridement dilakukan
pasien puasa lebih dari 15 jam. Mual juga kemungkinan dipengaruhi oleh efek
samping penggunaan OHO yang didapatkan pasien yaitu Metformin. Sugondo
(2013) mengatakan bahwa efek samping mengkosumsi metformin menimbulkan
rasa mual. Tn W juga mendapat analgetik yang didapat yaitu Tramadol 3 x
500mg intravena. tramadol merupakan obat analgetik juga mempunyai efek
samping mual dan muntah. Walaupun demikian kemungkinan terjadinya
gastropati diabetik pada sistem gastrointestinal sangat mungkin mengingat pasien
sudah cukup lama menyandang diabetes. Kondisi ini juga menimbulkan gejala
mual, anoreksia, vomiting, nyeri epigastrium dan kembung. Menurut Vinik,
Freeman, Erbas (2003) kondisi gastrointestinal autonomik neuropati dapat
merusak sekresi asam lambung dan juga motilitas gastrointestinal yang
disebabkan oleh gastroparesis diabetikum yang terdeteksi pada 50% pasien
dengan diabetes. Bahkan gejala yang ringanpun dari gastroparesis dapat
menyebabkan gangguan dalam pengiriman nutrisi pada intestinal yang akan
mengganggu hubungan antara pemberian insulin dengan penyerapan sehingga
kondisi ini dapat menyebabkan episode hipoglikemik postprandial yang tidak
terduga dan tampak nyata pada diabetes yang tak terkontrol. Namun pada
pengkajian lebih lanjut pada Tn. W tidak terlihat tanda-tanda terjadinya gastropati
diabetik, tanda-tanda yang ditemukan berdasarkan pengkajian perilaku dan
stimulus lebih disebabkan karena penurunan nutrisi sel akibat kondisi
meningkatnya asam lambung akibat dari Intervensi yang dilakukan. Untuk
mengatasi masalah nutrisi pada Tn.W adalah mengkaji kebutuhan nutrisi pasien
karena pemberian nutrisi yang tepat sesuai dengan kebutuhan kalori sangat
membantu dalam pengendalian kadar gula darah pasien diabetes dari memenuhi

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


113

kebutuhan nutrisi yang adequat.

Kondisi sakit membuat kebutuhan metabolisme tubuh meningkat, asupan nutrisi


yang tidak adequat dapat memperburuk kondisi pasien. Menurut Biswas (2006)
setiap penyandang diabetes mendapat terapi gizi medis sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada
penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi pada masing-masing individu. Selain itu Perkeni (2011) menyatakan pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

Intervensi selanjutnya yang dilakukan pada Tn. W adalah monitor masukan


makanan dan cairan serta hitung intake kalori harian. Pada Tn. W makan hanya
dihabiskan 1/3 dari porsi yang diberikan, makan yang dihabiskan sekitar 400-
600kkal, diet yang didapatkan 1700kkal. Intervensi ini juga sangat diperlukan
untuk menilai kepatuhan pasien dalam menjalani diet DM, kepatuhan pasien
dalam menjalani diet DM akan sangat berpengaruh pada nilai kadar glukosa darah
dan juga asupan nutrisi yang diterima oleh tubuh selama pasien dirawat untuk
menghindari komplikasi akut yang terjadi seperti hipoglikemi atau hiperglikemi
yang berhubungan secara langsung dengan asupan makanan sehari-hari.

Nilai feritin dan globulin yang ditemukan pada kasus Tn. W adalah diatas nilai
normal mengindikasikan adanya masalah pada hati sebagai tempat metabolisme
protein. Selain itu peningkatan nilai feritin dalam darah terjadi akibat adanya
penumpukan zat besi yang berlebihan dan mengakibatkan toksik dalam darah
akibat gangguan metabolisme dihati, yang seharusnya feritin berfungsi dalam
menyimpan zat besi dalam bentuk terlarut dan nontoksik, karena feritin yang
tinggi tanda penyimpanan zat besi yang berlebihan dalam satu organ seperti pada
hatu, limpa dan jantung. Apabila dalam satu organ maka dapat merusak organ
tersebut secara permanen. (Ignatius & Workman, 2007).

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


114

Perawat dan tim kesehatan harus mampu menyesuaikan kondisi pasien dengan
program diet yang telah ditetapkan. Berbagai alternatif jenis diet perlu diberikan
secara jelas dan mudah agar pasien dapat mengerti serta tidak kesulitan dalam
menerapkannya. Faktor budaya seringkali menjadi tantangan tersediri bagi tim
kesehatan dalam memodifikasi pola makan pasien dan keluarganya (Biswas,
2006).

Monitor permintaan makanan untuk melihat kebutuhan makanan harian juga


salah, satu intevensi yang sangat penting dilakukan untuk menilai apakah
makanan yang direncanakan telah sesuai dengan kebutuhan pasien. Asupan yang
kurang dapat berakibat pada penurunan berat badan secara signifikan dan kondisi
ini juga harus terus dipantau untuk melihat apakah perlu dilakukan penghitungan
ulang terhadap diet yang diberikan. Menurut Schteingart (2006) rencana diet pada
pasien DM diharapkan untuk mengatur jumlah kalori yang masuk dan karbohidrat
yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi tergantung
kepada kebutuhan. Intervensi yang tak kala pentingnya yang dilakukan pada Tn.
W adalah perawatan mulut sebelum makan. Perawatan mulut sangat penting
dilakukan sebelum pemberian makanan karena mulut yang kotor dan tidak terawat
akan mempengaruhi keinginan pasien untuk makan. Intervensi selanjutnya adalah
monitor nilai laboratorium.

Intervensi selanjutnya pada Tn. W adalah mengajarkan masalah diet dan rencana
makanan pada pasien dan keluarga. Pemberian edukasi ini menghindari terjadinya
ketidakpatuhan terhadap diet seperti membawa makanan dari luar RS yang tidak
dihitung kalorinya. Banyak pasien yang dirawat tidak mempunyai selera terhadap
hidangan yang disajikan RS, hal ini akan membuat pasien dan keluarga mencari
alternatif lain agar asupan makanan tetap terpenuhi. Jika hal ini dibiarkan akan
mengakibatkan tidak adequatnya pengobatan yang diberikan. Menurut American
Association of Diabetes Educator (2009) Pemberian informasi atau edukasi pada
pasien DM dan keluarga terkait diet yang harus dijalani diharapkan agar pasien
dan keluarga mengetahui pentingnya diet sebagai salah satu terapi untuk
mengendalikan kadar gluokosa darah. Untuk mencapai keberhasilan perubahan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


115

perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif untuk meningkatkan


pengetahuan pasien dan keluarga tentang diabetes dan upaya peningkatan
motivasi. Edukasi bagi pasien dan keluarga juga diperlukan untuk menjaga
motivasi. Hal tersebut dapat terlaksana dengan baik melalui dukungan tim
penyuluh yang terdiri dari dokter, ahli diet, perawat, dan tenaga kesehatan lain.

4.1.5 Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah


Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah merupakan keadaan pasien beresiko
terhadap variasi kadar glukosa darah dari rentang normal. Beberapa faktor
penyebab berhubungan dengan insulin, kurang kurang kepatuhan pada
manajemen diabetes, manajemen medikasi, status kesehatan fisik, stress dan
infeksi (NANDA, 2010). Pada masalah keperawatan ini, proses keperawatan
berfokus untuk mempertahankan kecukupan nutrisi, mencegah terhadap risiko
yang mengancam kehidupan, serta meningkatkan fungsi dan perkembangan
hidup. Berdasarkan Self Care Orem nursing system, pada awal pengkajian pasien
Tn. W berada pada partly compensatory system, dimana sebagian kebutuhan self
care dibantu oleh perawat dan keluarga. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa
pasien telah terdiagnosa diabetes melitus sejak15 tahun yang lalu saat dirawat di
rumah sakit akibat luka di kaki kanan yang sulit sembuh dengan hasil kuva Gula
Darah Harian (KGDH) menunjukkan bahwa pasien cenderung mengalami
hipoglikemia pada pagi hari. Peran perawat pada kondisi ini akan meningkatkan
kebutuhan pasien ke tahap educative suportif , dalam hal ini, perawat berusaha
meningkatkan self care agency pada pasien dengan mengajarkan melakukan
monitoring gula darah secara mandiri dan edukasi untuk mengenali dan
menangani gejala hipoglikemia.

Selama dirawat KGDH pasien berfluktuatif. Hal ini dipengaruhi oleh asupan
nutrisi yang tidak adekuat dan stress akibat kondisi penyakit dan infeksi pada kaki
kanan pasien. Faktor stress dipicu oleh kondisi penyakit kronis yang dialami. Pada
kondisi stress terjadi aktivasi system syaraf simpatis dan corticotropin releasing
hormone (CRH) yang menyebabkan pelepasan katekolamin yang dapat
mempengaruhi glikogenolisis dean gluconeogenesis dalam hati yang

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


116

meningkatkan pelepasan glukosa ke dalam sirkulasi, menghambat pemakaian


glukosa di jaringan perifer, dan menghambat sekresi insulin. Stimulus CRH
mengaktivasi aksis hipofisis adrenal untuk melepaskan kortisol. Akibatnya terjadi
gluconeogenesis 6-10 kali lipat yang berdampak pada peningkatan kadar gula
dalam darah (Greenstein & Wood, 2009; Hol, Cocram, Flyvbjerg, & Goldstein,
2010). Faktor infeksi disebabkan penurunan imunitas pada pasien diabetes
melitus berhubungan dengan penurunan respon sel T, fungsi neutrofil, dan
gangguan imunitas humoral. Hal ini mengakibatkan pasien diabetes melitus rentan
mengalami infeksi yang berkembang dan meluas sehingga sulit diatasi (Alves,
Casqueiro, & Casqueiro, 2012). Faktor selanjutnya yang melatarbelakangi
ketidakstabilan glukosa darah pada pasien Tn. W adalah asupan makanan yang
tidak sesuai dengan program, dimana pasien tidak menghabiskanporsi makan, dan
pasien sering makan makanan dari luar yang tidak sesuai dengan kebutuhan kalori
yang telah ditetapkan. Hal ini menyebabkan pada beberapa pemeriksaan kadar
glukosa darah hasilnya fluktuatif.

Intervensi keperawatan yang diberikan adalah manajemen hipoglikemi dilakukan


dengan pemberian karbohidrat sederhana seperti air gula dan perhitungan kembali
dosis insulin, edukasi tentang gejala dan penanganan hipoglikemia deengan
menyediakan sumber karbohidaratsederhana di tempat yang terjangkau oleh
pasien. Pada orang normal, jumlah insulin yang disekresi oleh sel beta (insulin
endogen) terutama dipengaruhi oleh keadaan puasa dan makan. Pada keadaan
puasa atau sebelum makan, sel beta mensekresi insulin pada kadar tertentu yang
hamper sama sepanjang waktu puasa dan sebelum makan (insulin basal). Insulin
basal bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah puasa atau sebelum
makan dalam batas normal (<100 mg/dL). Pada saat makan, glukosa darah akan
meningkat sehingga dibutuhkan sejumlah insulin yang disekresikan oleh sel beta
secara cepat dalam kadar yang lebih tinggi untuk menekan kadar glukosa darah
setelah makan dalam batas normal (<140 mg/dL) (insulin prandial) yang bertujuan
untuk mempertahankan kadar glukosa darah setelah makan dalam batas normal.

Peran perawat adalah memonitor kadar glukosa darah pasien saat dalam proses

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


117

perawatan. Hasil pemantuan kadar glukosa darah hendaknya sesuai dengan target
pengobatan dan terhindar dari hipoglikemi. Sasaran glukosa darah pasien diabetes
melitus yang dirawat adalah 140-180 mg/dl pada pasien dengan penyakit kritis,
dan pada pasien dengan penyakit non-kritis yaitu < 140 mg/dl untuk glukosa
darah puasa, dan < 180 mg/dl untuk glukosa darah random. Pasien DM yang
dirawat penting untuk dilakukan pemantauan kadar glukosa darah secara
berkala.Untuk pasien yang puasa, pemantauan glukosa darah direkomendasikan
dilakukan setiap 4 sampai 6 jam. Selanjutnya untuk pasien yang mendapatkan
drip insulin IV membutuhkan frekuensi pemantauan glukosa darah lebih sering
yaitu setiap 30 menit sampai 2 jam (Kubacka, 2014). Selain itu pemantauan
glukosa darah juga dapat dilakukan sebelum pemberian terapi insulin. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan saat melakukan pemantauan glukosa darah
berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer adalah cara
melakukan pemeriksaan yang tepat. Selama proses perawatan, pemantauan
glukosa darah pada pasien Tn. W dilakukan berdasarkan kurva gula darah harian
yaitu sebelum makan pagi, sebelum makan siang, dan sebelum makan malam.

Selama perawatan pasien mendapatkan terapi insulin prandial (Novorapid) 3x8


unit yang diberikan 0-15 menit atau segera sebelum makan dan Tn W tidak
mendapatkan insulin basal. Pemberian terapi ini dievaluasi setiap hari dengan
pertimbangan gula darah yang fluktuatif akibat intake yang tidak adekuat.
Pemberian insulin prandial untuk memenuhi kebutuhan terhadap berbagai bentuk
intake kalori (peningkatan glukosa darah prandial) (Barnard, Batch, & Lien,
2011). Sedangkan insulin basal menyediakan kadar insulin selama 24 jam tanpa
puncak yang konstan untuk menekan pelepasan glukosa hepar selama fase puasa
dan di sela waktu makan.
Menurut Perkeni, 2011 kriteria pengendalian DM yang baik adalah glukosa darah
puasa 80-<100mg/dl, sedang 100-125mg/dl, dan buruk > 126. Glukosa darah 2
jam yang (baik; 80-144mg/dl), (sedang; 145-179mg/dl), (buruk; >180).nilai
HbA1C (baik; <6,5%), (sedang; 6,5-8%), (buruk; >8). Kolesterol total (baik;
<200), (sedang;200-239mg/dl), (buruk; >240mg/dl). kolesterol LDL (baik; <100)
(sedang;100-129), (buruk >130). Kolesterol HDL (pria > 40), wanita (> 50).

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


118

Trigliserida (baik; < 150), (sedang; 150-199), (buruk ; > 200). IMT (baik; 18,5-
<23), (sedang; 23-25), (buruk >25). Tekanan Darah (baik; < 130/80) (sedang; >
130/80), (buruk; > 140/90).

Pemberian terapi insulin, hal-hal yang harus diperhatikan perawat adalah daerah
dan teknik injeksi insulin untuk menghindari komplikasi seperti hipoglikemi dan
lipodistrofi.Tempat injeksi insulin yang dianjurkan yaitu abdomen, bokong, paha,
dan lengan. Hasil studi yang dilakukan oleh Frid, Hirsch, Hicks, Kreugel, Liersch,
Letondeur, Sauvanel, Tubiana-Rufi, & Strauss (2010) menyebutkan bahwa lapisan
jaringan subkutan yang terdapat pada abdomen dan bokong lebih tebal
dibandingkan daerah yang lain, dan indeks massa tubuh. Insulin dengan kerja
cepat atau singkat lebih baik diinjeksikan pada daerah abdomen, karena proses
penyerapannya akan lebih cepat (Diggle, 2015). Rotasi daerah injeksi insulin
dilakukan untuk menghindari terjadinya lipodistrofi. Pada daerah abdomen
injeksi sebaiknya digunakan selama 1 minggu dengan mengikuti arah rotasi.
Tempat injeksi sebaiknya diberi jarak 1 cm dari tempat injeksi sebelumnya untuk
menghindari trauma jaringan berulang pada tempat yang sama (Diggle, 2015).
Penggunaan jarum yang dianjurkan dengan panjang yang bervariasi disesuaikan
dengan kondisi pasien.

Risiko perubahan kesadaran pada hipoglikemia dapat terjadi karena gangguan


metabolisme di otak. Sehingga kadar glukosa darah harus dipertahankan dalam
batas normal. Hipoglikemia yang dialami pasien kemungkinan disebabkan oleh
asupan nutrisi yang tidak adekuat, efek samping kelebihan dosis insulin, dan
sekresi insulin basal yang masih berfungsi baik. Tindakan keperawatan yang
dilakukan untuk mengatasi hipogklikemia adalah mengkaji ulang pendapat pasien
terkait makanan yang disukai ( makan biasa  makanan lunak), berkolaborasi
dengan dokter untuk mengurangi dosis insulin (prandial 8 unit  6 unit),
melakukan kolaborasi dengan ahli gizi untuk menghitung jumlah kebutuhan kalori
pasien Tn. W dan perencanaan makan (pasien dianjurkan minum susu diabetasol
1 gelas bila makanan yang disajikan tidak dimakan) serta pemberian edukasi, dan
pemantauan KGDH dilakukan setiap hari. Pemantauan gula darah dilakukan
untuk memantau terjadinya penurunan gula darah yang terlalu rendah yang dapat
Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


119

menimbulkan gejala shock hipogklikemia yang ditandai iritabilitas progresif yang


menyebabkan pingsan, kejang dan koma.

Evaluasi 19 April 2015, kadar glukosa darah pasien cederung fluktuatif dan
masih tidak stabil. Data subjektif menunjukkan klien menghabiskan porsi makan
yang diberikan di rumah sakit. Hasil pemeriksaan kurva gula darah harian (19-4-
2015) jam 06.00: 130 mg/dl, jam 11.00: 130 mg/dl, jam 16.00: 125 mg/dl. Setelah
diberikan edukasi cara penyuntikan insulin, pasien mulai belajar melakukan
injeksi insulin secara mandiri yang didampingi oleh residen atau perawat ruangan.
Keluarga pasien dalam hal ini istri Tn.W juga telah belajar cara penyuntikan
insulin dan secara bergantian menyuntikan insulin kepada pasien Tn. W yang
tetap didampingi oleh perawat atau perawat ruangan. Pasien mendapatkan terapi
insulin prandial Novorapid 3x8 unit SC.

4.1.6 Kerusakan Integritas Kulit


Masalah keperawatan ini muncul terkait dengan adanya komplikasi mikrovaskuler
yang dialami kasus- kasus diatas yaitu neuropati yang menjadi faktor penyebab
terjadinya ulkus diabetik, kerusakan integritas kulit menurut NANDA (2012-
2014) adalah perubahan/gangguan epidermis dan atau dermis yang disebabkan
oleh berbagai faktor baik ekternal maupun internal. Masalah kerusakan integritas
kulit pada Tn. W ditegakkan berdasarkan data-datayang didapat selama
pengkajian yaitu Suhu: 36.50C, kulit teraba hangat disekitar luka, hasil lab :
leukosit 9.5 ribu/ul, kulit tampak kering dan kusam. Terdapat Ulkus pada plantar:
plantar sinistra terdapat deformitas pada kaki dan terdapat bekas ulkus yang sudah
sembuh, kulit kering. Pada plantar kanan terdapat ulkus dengan jaringan nekrotik
berwarna hitam, pus (+), ukuran 7cm x 6cm x 2cm dan dorsalis pedis dengan luas
8cm x 3cm x2cm, derajat ulkus menurut skala Wagner 4. Hasil rontgen kaki
menunjukkan hasil osteomilitis falang proximal digiti III, dan IV pedis dextra.
Banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan faktor risiko yang berkontribusi
terhadap terjadinya ulkus diabetik. Faktor yang berkontribusi untuk terjadinya
ulkus diabetik diantaranya adalah neuropati, penurunan perfusi pada vascular,
deformitas kaki, tekanan yang terus menerus pada kaki terutama telapak kaki,

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


120

kondisi diabetes yang lama dan tidak terkontrol, dan komplikasi lainnya dari
diabetes. Pada orang yang mengalami neuropati diabetes akan memiliki resiko 1,7
kali untuk terjadinya ulkus diabetic (Bakheit et al, 2012). Dengan adanya
deformitas pada kaki seperti terbatasnya pergerakan ibu jari kaki, bunion, dan
deformitas jari kaki akan memiliki resiko 12,1 kali untuk mengalami ulkus
diabetik. Jika pada orang diabetes yang pernah mengalami amputasi pada
ekstremitas bawah maka resiko untuk terjadinya ulkus pada tungkai sebelahnya
akan meningkat menjadi 36,4 kali (Inzucchi et al, 2005).

Dalam penelitian lain Abbot et al. (2002); Armstrong dan Lavery (1998); Lavery
et al. (1998) dalam Driver, Landowski, dan Madse (2007) mengemukakan bahwa
faktor resiko untuk terjadinya ulkus diabetik adalah kehilangan sensasi protektif
yang disebabkan oleh adanya neuropati perifer, insufisiensi vaskuler, deformitas
dan adanya kalus akibat tekanan yang terus menerus pada telapak kaki, autonomik
neurophaty yang menyebabkan menurunnya kelembaban dan terjadinya
kekeringan pada kaki, terbatasnya pergerakan sendi, penyakit diabetes yang lama,
riwayat merokok, kontrol gula darah yang buruk, obesitas, kerusakan penglihatan,
adanya riwayat luka dan amputasi, gender (insiden lebih sering pada laki-laki),
peningkatan usia, latar belakang budaya, penggunaan alas kaki yang salah. Namun
menurut Reiber GE, (1991) dalam Frykberg, et.al. (2006) bahwa neuropati
merupakan penyebab terjadinya ulkus diabetik sekitar 45% sampai 60%,
sementara hingga 45% memiliki komponen neuropati dan iskemik. Neuropati dan
PAD merupakan dua komplikasi kronik diabetes yang menjadi faktor resiko
utama terjadinya ulkus kaki diabetik. Pasien diabetes melitus beresiko empat kali
lebih besar mengalami PAD dan lima kali beresiko mengalami iskemik tungkai
sehingga meningkatkan resiko terjadinya ulkus kaki diabetik (Andrews, 2011).

Intervensi yang dilakukan pada Tn. W terkait dengan masalah kerusakan integritas
kulit adalah melakukan perawatan luka, melakukan perawatan luka pada Tn. W
berpedoman pada The European Wound Management Association (EWMA)
dimana manajemen perawatan luka ulkus diabetik mengacu pada TIME yaitu 1)
Tissue debridement 2) Inflamation and Infection control 3) Moisture balance

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


121

(pemilihan dressing yang tepat) 4) Ephitelia edge edvancement (Chadwick,


Edmonds, McCardle, Armstrong, 2013).

Tissue debridement, debridemen adalah salah satu tindakan yang harus terus
menerus dilakukan untuk menjaga dasar luka dan memastikan adanya perubahan
pada setiap dressing. Keuntungan dari dilakukannya debridement adalah
menghilangkan jaringan nekrotik/kalus dan slough, mengurangi tekanan,
mengangkat seluruh infeksi dipermukaan jaringan, membantu pengeluaran
drainase luka/pus, membantu efektifitas penggunaan preparat topikal serta
merangsang pertumbuhan jaringan. Menurut Brem, Sheehan dan Boulton (2004).
Debridement harus dilakukan karena luka tidak akan sembuh pada jaringan yang
rapuh, debris atau adanya kolonisasi demikian juga dengan ulkus diabetik. Pada
gangren yang luas debridemen dilakukan diruang operasi karena bedah
debridemen dapat menghapus semua bagian yang buruk dari luka sehingga infeksi
tidak ada lagi dan telah terbukti aman sebagai terapi. Pada Tn. W debridement
dilakukan diruang operasi mengingat kondisi luka yang banyak jaringan
nekrotiknya sebanyak tiga kali tindakan selama pasien dirawat.

Kontrol infeksi, dalam kontrol infeksi pemberian antibiotic yang diberikan pada
Tn. W berdasarkan hasil kultur dimana didapatkan hasil gram negatif batang pada
luka, dan pada Tn. W diberikan terapi antibiotic sistemik yaitu Ciprofloxacin 2 x
400mg dan metronidazole, sebelumnya pasien telah mendapatkan cefriaxon,
cefotaxim. Pada tanggal 28 April pasien mendapatkan antibiotik ceptazidin dan
amikasin, tanggal 6 mei 2015 antibiotik pasien diganti dengan Vancomycin.
Menurut Chadwick, Edmonds, McCardle, Armstrong (2013) dalam pengontrolan
infeksi pada manajemen ulkus diabetik, pada infeksi yang berat direkomendasikan
untuk diberikan terapi antibiotik namun untuk luka yang tidak terinfeksi tidak
diajurkan diberikan terapi antibiotik. Untuk infeksi yang ringan pemberian
antibiotik dimulai dengan antibiotik oral. Pemberian antibiotik sebaiknya
berdasarkan hasil pemeriksaan kultur pada luka.

Perawatan luka untuk menjaga lingkungan luka tetap lembab, karena menjaga

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


122

lingkungan luka menjadi lembab adalah hal yang terpenting dalam perawatan
luka, kondisi ini akan mempercepat proses penyembuhan. Pemilihan dressing
yang tepat sangat penting untuk menjaga kondisi luka tidak terlalu lembab atau
terlalu kering. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan
dressing yaitu penyebab luka, ada tidaknya infeksi, tahapan penyembuhan luka,
biaya, penerimaan pasien. Pada Tn. W dalam menjaga kelembapan luka
digunakan modern dressing adalah absorbent Dressing pada luka plantar dan
lateral karena daya serapnya maksimal, ulkus terdapat banyak eksudat. Untuk
ulkus yang tidak banyak eksudat dan kedalamannya sedang-dalam maka
digunakan Hydrogel. Hidrogel mampu memberikan kelembaban, mengurangi
nyeri, mengurangi inflamasi, hidrogel juga dapat melunakkan dan melepaskan
jaringan nekrotik. Pemilihan dressing ini juga mempertimbangkan karateristik
luka Tn. W dimana jumlah eksudat yang banyak (purulent), warna dasar luka
yang merah tua, slough (+) tendon berwarna merah tua dan terdapatnya jaringan
nekrotik yang minimal. Fungsi utama balutan luka adalah memberikan lingkungan
yang optimal untuk proses penyembuhan luka. karakteristik balutan luka yang
ideal adalah yaitu: memberikan proteksi mekanik dan melawan bacterial infeksi,
mempertahankan kelembaban luka, memungkinkan pertukaran gas dan
penyerapan cairan, tidak melekat (lengket) pada luka, aman dalam penggunaan,
tidak menimbulkan alergi, menyerap eksudat, mehilangkan dan menyerap bau,
steril, mudah digunakan, biaya efektif.

Kontrol luka, penting sekali diperhatikan tepi luka untuk menghilangkan potensi
hambatan fisik pada dasar luka, garis batas pemisah antara jaringan nekrotik atau
gangren dengan jaringan yang sehat mungkin akan menjadi tempat infeksi.
Masalah serupa dapat terlihat ketika jari kaki yang gangren menyentuh jari kaki
yang sehat sebaliknya sharp-debridement yang terlalu progresif dapat
menyebabkan nekrotik pada tepi luka dan akan meluas pada jaringan yang sehat.

Dalam melakukan perawatan luka pada Tn. W yang harus diperhatikan adalah
teknik steril karena penggunaa tehnik steril sangat penting dalam perawatan luka,
untuk pengontrolan infeksi, tehnik yang tidak setril dapat meningkatkan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


123

kontaminasi bakteri. Ganti balutan minimal 1 x sehari jika terlalu banyak exudates
penggantian balutan disesuaikan dengan kondisi luka, jika exudat terlalu banyak
maka dianjurkan untuk melakukan dressing 2 kali sehari. Selanjutnya posisikan
kaki dengan menghindari tekanan langsung pada luka dengan member bantal pada
bagian tubuh yang tertekan misalnya tumit.

Setiap luka berisiko terjadinya infeksi. Keterampilan perawatan luka yang baik
dapat membantu proses penyembuhan luka dan memperpendek masa sakit
maupun masa perawatan. Penatalaksanaan yang adekuat untuk penyembuhan luka
sebaiknya dilakukan waktu window period (6 minggu pertama). Kontrol luka
meliputi evakuasi jaringan nekrotik dan pus yang adekuat baik dengan
debridement atau nekrotomi, pembalutan luka (basah atau lembab), sampai
amputasi. Serta tidak mengabaikan kontrol-kontrol lainnya. Indikasi rawat inap
pada pasien dengan ulkus diabetik jika luka mencapai lapisan subkutan dan
disertai gejala systemic inflammatory respons syndrome (SIRS) (PERKENI,
2009).

Kontrol mekanik meliputi mengistirahatkan kaki atau mencegah stres mekanikal


akibat tekanan pada luka. Tujuan dari kontrol mekanik adalah mencegah
penekanan pada ulkus dan meredistribusikan tekanan dari ulkus ke area yang lebih
luas (Keast, 2008). Tekanan yang berlebihan pada ulkus akan menyebabkan
terhambatnya fase penyembuhan ulkus sehingga ulkus sulit sembuh dan
berkembang menjadi gangren (Frykberg, 2006). Intervensi yang dilakukan pada
Tn. W adalah mengistirahatkan kaki yang sakit, menggunakan bantal pada kaki
saat berbaring untuk mencegah lecet pada luka.

Kontrol metabolik adalah upaya yang dilakukan adalah kolaborasi dalam


perencanaan asupan gizi yang memadai selama proses infeksi dan penyembuhan
luka, asupan gizi seperti protein sangat diperlukan untuk mempercepat proses
penyembuhan luka namun dalam pemberian protein pada pasien DM harus
diperhatikan fungsi ginjal, jika telah terjadi komplikasi nefropati penting sekali
untuk memperhatikan asupan protein. Pada Tn. W pemberian diet protein dengan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


124

pemberian putih telur sebanyak 6 butir/hari karena untuk pemenuhan kebutuhan


albumin.

4.1.8 Analisis Penerapan Model Self Care Orem pada 27 kasus kelolaan
Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai 27 kasus kelolaan dengan
menggunakan Model Self Care Orem. Selama praktikan melakukan praktek
residensi kasus terbsesar yang dikelola adalah DM tipe 2, dan untuk kasus
endokrin yang lain seperti kasus tiroid yang ditemukan kasus ini pada praktek
residensi di RSPAD Gatot Subroto di Poliklinik radionuklir, namun sifatnya
hanya observasi terhadap tindakan ablasi dan Ct Scan tiroid. Pada kasus kelolaan
ditemukan bahwa pasien dengan DM tipe 2 telah mengalami berbagai komplikasi
diantaranya komplikasi akut yaitu: ketoasidosis (KAD), dan hipoglikemi
sedangkan komplikasi kronik yaitu chronic heart failure (CHF), chronic kidney
disease (CKD) dan ulkus diabetik. Resume 27 kasus kelolaan dapat dilihat pada
lampiran 2. Dalam mengelola 27 kasus kelolaan ada beberapa fenomena masalah
keperawatan yang ditemukan dalam mengelola pasien rawat inap yaitu
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, kerusakan integritas
kulit, ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan dan ketidakpatuhan terhadap
manajemen regimen terapeutik. Masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi
terjadi dikarenakan rata-rata pasien masuk yang dirawat mengalami komplikasi
ketoasidosis diabetik (KAD) yang menimbulkan gejala, mual, muntah, tidak ada
nafsu makan dan dimungkinkan juga terjadinya komplikasi neuropati autonomic
pada sistem gastrointestinal, selain itu komplikasi nefropati diabetik yang
menyebabkan gagal ginjal kronik pada sejumlah pasien kelolaan juga
menimbulkan rasa mual dan muntah karena efek uremia. Pasien gagal ginjal
kronik sering merasa tidak enak dimulut, dikarenakan kurangnya higiene dan
pembentukan amoniak dari saliva yang mengandung urea (Smeltzer & Bare,
2008).

Masalah kerusakan integritas kulit hampir terjadi pada sebagian besar pasien
DMT2 yang dirawat di Gedung A Lantai 7 RSCM demikian pula pasien yang
masuk ke instalasi gawat darurat perburukan kondisi hiperglikemi disebabkan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


125

oleh adalanya infeksi akibat ulkus diabetik. Selain itu ada beberapa pasien
mengalami ulkus berulang dan pernah mengalami amputasi. Fenomena ini terjadi
akibat pasien tidak menyadari bahwa luka yang awal mulanya kecil dan dianggap
biasa dapat dengan cepat berkembang menjadi luka yang besar dan mengalami
infeksi. Rata-rata pasien tidak segera mendatangi pelayanan kesehatan untuk
memperoleh perawatan luka dan baru berobat ketika ulkus mengalami
perburukan. Rendahnya pengetahuan pasien tentang perawatan kaki tidak terlepas
dari sedikitnya sumber informasi yang dapat mereka akses. Penelitian yang
dilakukan oleh Desalu, Salawu, Jimoh, Odekoya (2011) tentang pengetahuan
pasien DM mengenai perawatan kaki di Nigeria didapatkan data bahwa proporsi
pasien yang melakukan perawatan kaki dengan baik hanya sebanyak 10,2%
sedangkan hampir separuh responden (49,9%) tidak melakukan perawatan kaki
dengan baik. Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa pengetahuan responden
terhadap perawatan kaki sangat buruk dimana sebanyak 78,4% responden tidak
mengetahui tentang perawatan kaki dan 33% responden menyatakan
ketidaktahuan mereka tentang perawatan kaki sehingga menjadi hambatan bagi
pasien DMT2 untuk melakukan perawatan kaki. Kondisi ini seharusnya menjadi
perhatian tenaga pelayanan kesehatan termasuk perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan. Meningkatnya pengetahuan pasien dalam perawatan kaki
mereka sehingga kejadian ulkus diabetik dapat dicegah dan ulkus berulang tidak
terjadi.

Penelitian senada yang dilakukan Parera, De Silva, dan Parera (2013) tentang
pengetahuan pasien DM di Srilanka didapatkan data bahwa rata-rata pasien
memiliki pengetahuan yang baik tentang DM (70%), namun demikian hamper
separuh pasien (44%) meyakini bahwa DM merupakan penyakit yang bisa diobati.
Selain itu hampir 90% memilki pengetahuan yang buruk tentang gejala hipogliemi
dan hiperglikemi, serta 40% responden memilki pengetahuan yang tidak baik
tentang kisaran gula darah puasa normal, gula darah harus dikontrol secara
berkala, olahraga teratur dapat mengontrol gula darah, diet penting dilakukan
selain minum obat dalam mengelola diabetes. Hanya 68% partisipan yang
mengetahui bahwa luka pada kaki harus dikontrol secara berkala dan hanya 50%

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


126

yang mengetahui penting memeriksakan mata setiap tahunnya.

Pasien yang masuk ke RS Masalah keperawatan yang sering muncul diinstalasi


gawat darurat adalah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan
keseimbangan asam basa, penurunan perfusi jaringan, gangguan pertukaran gas,
dan kekurangan volume cairan. Masaalah keperawatan ini muncul dikarenakan
rata-rata pasien kelolaan yang masuk ke IGD mengalami komplikasi akut DM
yaitu ketoasidosi diabetik (KAD). KAD merupakan kondisi kegawat daruratan
yang memerlukan penanganan yang cepat dan tepat untuk menghindari terjadinya
kematian. Pendekatan dalam manajemen KAD adalah pemulihan terhadap defisit
volume cairan akibat diuresis osmotik, perbaikan terhadap hiperglikemia dan
ketosis/asidosis, koreksi terhadap nilai elektrolit yang abnormal (kadar kalium
harus mencapai >3,3 mmol/liter sebelum pemberian insulin karena pemberian
insulin pada pasien dapat menyebabkan kondisi hipokalemia yang dapat berakibat
fatal bagi pasien karena dapat mengakibatkan paralisis sistem pernafasan, aritmia
dan kematian. Pada pasien kelolaan yang mengalami KAD intervensi yang
dilakukan adalah monitoring rehidrasi cairan, monitoring elektrolit dan nilai asam
basa dengan memantau setiap perubahan kondisi yang terjadi. Pemantauan yang
ketat terhadap kondisi pasien dapat mengurangi kematian karena keterlambatan
dalam melakukan tindakan maupun kesalahan dalam menginterpretasikan hasil
labor akan berakibat buruk bagi pasien. Selanjutnya masalah keperawatan yang
ditemukan pada pasien rawat jalan poliklinik kaki endokrin adalah kerusakan
integritas kulit, ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan dan diagnosa
keperawatan yaitu kesiapan meningkatkan manajemen kesehatan diri.

Menurut Peimani, Tabatabaei-Malazi dan Pajouhi (2010) perawat spesialis


sebagai administrator, pemimpin, manajer dan kolaborator diharapkan dapat
memberikan pelayanan kepada penderita diabetes dan keluarga dengan
memberikan dukungan psikologi dan sosial yang diperlukan untuk membantu
pasien mengelola penyakitnya. Peran penting perawat spesialis inilah dapat
meningkatakan pemberdayaan pasien untuk lebih baik mengelola penyakit mereka
secara mandiri dan meningkatkan kualitas hidup mereka melalui penyediaan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


127

informasi dan konsultasi. Sehingga diharapkan pasien dan keluarga mampu


meningkatkan mekanisme adaptasi mereka terhadap pengobatan, perubahan pola
dan gaya hidup agar diperoleh kontrol gula darah yang adequat dan pada akhirnya
dapat mengurangi terjadinya komplikasi dan kecacatan.

4.1.9 Kelebihan dan Keterbatasan Pelaksanaan Model Self Care Orem


Model Self Care Orem dapat dilakukan pada semua kasus penyakit termasuk pada
kasus sistem endokrin. Aplikasi model Self Care Orem cukup sesuai untuk pasien
dengan penyakit kronis yang membutuhkan perawatan diri secara mandiri
sehingga tujuan dari perawatan pasien dengan DM dapat tercapai. Kemampuan
dari pasien adalah mampu melakukan pengendalian kontrol glikemik melalui:
pasien mampu menerapkan pemenuhan makan yang seimbang, aktifitas fisik,
penggunaan insulin/ OHO, dan pemenuhan kebutuhan edukasi. Melalui aplikasi
model Self Care Orem perawat dan pasien serta keluarga bersinergi untuk
meningkatkan kemampuan dan kekuatan pasien dalam perawatan diri. Selain
perawat dalam memberikan perawatan, pasien harus dilibatkan dan berpartisipasi
aktif dalam perawatan. Menurut Funnell & Anderson (2004), untuk menangani
diabetes dengan baik, pasien harus mampu menentukan tujuan dan membuat
keputusan harian yang efektif dan sesuai dengan nilai dan gaya hidup mereka
sambil mempertimbangkan berbagai factor psikososial, personal dan fisiologis.
Strategi intervensi yang memungkinkan pasien membuat keputusan mengenai
tujuan, pilihan terapeutik dan perilaku self care dan untuk memikul tanggung
jawab untuk perawatan diabetes sehari-hari efektif dalam membantu pasien
merawat dirinya sendiri.

Pendekatan manajemen diabetes di mana pasien hanya “mengikuti” instruksi


tenaga kesehatan tidak efektif. Oleh karena itu, disusunlah pendekatan baru yang
berdasarkan tiga aspek fundamental perawatan penyakit kronis yaitu: pilihan
(choices), pengendalian (control), dan konsekuensi (consequences).
Pilihan/keputusan yang dibuat oleh pasien memiliki dampak yang lebih besar bagi
kesehatan mereka dibanding keputusan yang dibuat oleh petugas kesehatan.
Setelah mereka meninggalkan pusat pelayanan kesehatan, pasienlah yang
mengendalikan tindakan mereka sendiri. Untuk mengikuti atau tidak mengikuti
Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


128

saran dari petugas kesehatan. Konsekuensi dari keputusan dan tindakan yang
dibuat oleh pasien berdampak langsung kepada pasien, mereka memiliki hak dan
tanggungjawab untuk menangani diabetes dengan cara yang paling sesuai dengan
mereka.

Empowerment atau pemberdayaan merupakan pendekatan kolaboratif yang


berfokus pada pasien. Pendekatan in membantu pasien menemukan dan
mengembangkan kapasitas dalam diri mereka untuk bertanggungjawab untuk
dirinya sendiri. Pemberdayaan bukan teknik atau strategi tapi lebih merupakan
suatu visi yang memandu setiap pertemuan dengan pasien dan mengharuskan
petugas kesehatan dan pasien menjalankan peran baru sebagai partner. Peran
petugas kesehatan adalah untuk membantu pasien membuat keputusan setelah
mendapat keterangan yang lengkap untuk mencapai tujuan mereka. Langkah
pertama adalah menentukan tujuan perawatan. Menentukan tujuan terdiri dari
lima langkah. Dua langkah pertama adalah untuk mendefinisikan masalah dan
menentukan kekuatan (factor pendukung dan penhambat) pikiran dan perasaan
pasien yang mungkin dapat mendukung atau menghambat usaha perawatan
mereka. Langkah ketiga adalah untuk mengidentifikasi tujuan jangka panjang
yang menurut pasien akan berhasil. Pasien kemudian memilih dan berkomitmen
untuk mengubah perilaku yang akan membantu mereka untuk mencapai tujuan
jangka panjang mereka. Langah terakhir adalah mengevaluasi usaha dan
mengidentifikasi hal yang telah pasien pelajari dalam proses tersebut. Dalam
proses ini tidak ada konsep sukses dan gagal, namun dipandang sebagai
kesempatan untuk belajar lebih banyak mengenai masalah, perasaan, rintangan,
dan strategi yang efektif.

Haas et al. (2012), standar untuk manajemen edukasi dan dukungan diabetes
terdiri atas struktur internal, input eksternal, akses, kordinasi program, staf
instruksional, kurikulum, individualisasi, dukungan berkelanjutan, progress
pasien, dan peningkatan mutu. Peran perawat diabetes dalam edukasi diabetes
adalah pencegahan kaki dibetes, perawatan kaki dan mencegah cedera kaki (Aalaa
et al. 2012,). Dalam dimensi perawatan, perawat bertanggungjawab untuk deteksi
dini terhadap perubahan pada kulit dan neuropati, perawatan kaki, penggantian
Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


129

balutan, dan mengaplikasikan teknologi terbaru.

Keterbatasan dalam penerapan model Self Care Orem adalah dalam


mengaplikasikan model ini, dimana perawat dituntut untuk mempunyai
kemampuan tentang fisiologi dari tubuh manusia sehingga dapat mengenali
kondisi yang mengidentifikasikan perlunya bantuan keperawatan yaitu
ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya sendiri
secara terus menerus serta kualitas perawatan diri yang diperlukan karena kondisi
kesehatannya. Dalam penerapan model Self Care Orem ini juga dituntut peran
aktif dan motivasi pasien dalam perawatan diri. kurangnya motivasi pasien
disebabkan beberapa faktor diataranya keterbatasan kognitif dan kurangnya
dukungan orang terdekat. Faktor keterbatasan kognitif berkaitan sedikitnya
kemampuan pasien dan keluarga untuk mencari informasi. Sedangkan dukungan
keluarga atau orang terdekat adanya pengaruh budaya dimana dalam kewenangan
pengambilan keputusan terhadap perawatan pasien. hal ini akan mempengaruhi
motivasi dan percaya diri terhadap perawatan mandiri. Perawat harus mampu
berkomunikasi efektif dan menumbuhkan rasa percaya diri kepada pasien dan
keluarga.

4.2 Pembahasan Evidence Based Nursing (EBN)


Perawatan berbasis bukti atau Evidence Based Nursing (EBN) merupakan suatu
pendekatan dalam mengaplikasikan bukti-bukti terbaik yang diperoleh dari
literature keperawatan kedalam praktik klinis sehingga tercapai penanganan
terbaik bagi pasien. pendekatan EBN lahir karena pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan, yang diiringi dengan semakin
meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang efektif dan
lebih baik

4.2.1 Manfaat PMR dan Relaksasi pernafasan terhadap skala stress


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien DMT2 yang diberi latihan PMR
selama 14 hari berturut-turut dengan frekuensi latihan dua kali sehari dan durasi
masing-masing sesi 25 menit. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


130

sebelum intervensi dan hari ke 5, hari ke 10 dan hari ke 15 setelah intervensi


dilkukan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan skala stress menggunakan skala
DASS yang dilakukan sebelum dan setelah intervensi pada kedua kelompok.
Hasil memperlihatkan penurunan yang signifikan pada skor stress pada kelompok
intervensi dibanding kelompok kontrol. Hasil penerapan EBN ini sesuai dengan
Koloverou et al (2014) bahwa PMR dan latihan pernafasan efektif menurunkan
tingkat stress pada pasien DMT2 dibandingkan kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Penelitian senada juga Yildrim & Fadiloglu (2006) bahwa
PMR telah menunjukkan manfaat dalam mengurangi ansietas atau kecemasan
sesuai dengan studi Yildrim & Fadiloglu (2006) dari hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa PMR dapat menurunkan kecemasan dan meningkatkan
kualitas hidup pasien yang menjalani dialysis. Senada dengan studi yang
dilakukan Gazavi et al (2007) menyebutkan bahwa PMR dan masase menurunkan
HbA1C pada diabetes tipe 1. Maryani (2008), menyebutkan PMR menurunkan
kecemasan yang berimplikasi pada penurunan rasa mual dan muntah pada pasien
yang menjalani kemoterapi. Selsanjutnya PMR efektif menurunkan tekanan darah
pada pasien Hipertensi primer di kota Malang (Hamarno, 2010)

Hipotalamus merupakan pusat kontrol jalur neuralendokrin dalam respon stress,


stressor diterima oleh pancaindera dan diteruskan ke sistem limbik yang
merupakan pusat emosi dan regulasi stress yang terletak di sistem saraf pusat.
Tubuh waspada terhadap stress dan reaksi ini disimpan dalam memori, terutama
dihipocampus yang menyimpan memori jangka panjang berupa trauma dan stress.
Ketika terjadi ransangan yang sama sistem syaraf simpatik akan memproduksi
norepineprin. Norepineprin merupakan sebuah neurotransmitter yang memperkuat
memori stress dan mengaktifkan respon stress. (Walter Canon dalam Smeltzer &
Bare,2009) mengatakan adanya respon lari atau lawan (flight-or-flight response)
terhadap stress, yang menggerakan sisten syaraf simpatis. Sistem saraf sipatis
cepat dan singkat kerjanya. Norepineprin dikeluarkan pada ujung syaraf yang
berhubungan langsung dengan ujung organ yang dituju mengakibatkan
peningkatan fungsi organ vital dan merangsang tubuh secara umum. Frekwensi
jantung meningkat, terjadinya vasokonstriksi perifer, mengakibatkan kenaikan

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


131

tekanan darah. Darah juga dialirkan keluar dari organ abdomen. Tujuan dari reaksi
tersebut untuk memberikan perfusi yang lebih baik pada organ vital (otak,
jantung, otot skelet).

Selain reakasi stress pada jantung juga mempengaruhi kadar glikemik pada tubuh
yaitu terjadinya peningkatan glukosa darah untuk menyiapkan energi siap pakai
yang lebih banyak. Pupil akan berdilatasi, dan meningkatnya aktivitas mental, rasa
kesiagaan akan meningkat. Konstriksi pembuluh darah pada kulit akan membatasi
pendarahan apabila terjadi trauma. Secara subjektif kita akan merasa kaki dingin,
kulit tangan lembab, menggigil, berdebar, kejang pada perut, bahu menegang,
pernafasan dangkal dan cepat.

Selain saraf simpatis stress juga merangsang Simpatis-Adrenal-Meduler. Selain


efek terhadap organ mayor, saraf simpatis juga menstimulasi medulla kelenjer
adrenal untuk mengeluarkan hormone epineprin dan norepineprin ke aliran darah.
Hormon ini menstimulasi sistem syaraf yang berakibat efek metabolic yang
meningkatkan kadar glukosa darah dan meningkatkan laju metabolisme..

Stress juga mengakibatkan respon Hipotalamus-Pituitari. Fase ini merupakan


kerja terlama pada respon fisiologis, biasanya terjadi pada stress yang menetap.
Yang melibatkan jalur hipotalamus pituitary. Hipotalamus akan mensekresi
corticotrophin-releasing factor yang akan menstimulasi pituitari anterior untuk
memproduksi adrenocorticotropic hormone (ACTH). Kemudian ACTH akan
menstimulasi pituitary anterior untuk memproduksi glukokortikoid, terutama
kortisol. Kortisol akan merangsang katabolisme protein, melepaskan asam amino
akibat adanya stimulasi ambilan asam amino oleh hepar dan konversinya menjadi
glukosa (glukoneogenesis) dan menginhibisi ambilan glukosa (aksi anti-insulin)
oleh berbagai sel tubuh kecuali otak dan organ jantung. Efek metabolisme ini
untuk mempersiapkan energi selama stress.

Apabila terjadi stress pada pasien diabetes, seperti akibat infeksi, akan
membutuhkan insulin lebih banyak dari biasanya. Pasien mengalami stress (post

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


132

operasi, penyakit, stress psikologis berkepanjangan) tubuh akan mengkatabolisme


protein tubuh. Orang yang sedang sakit akan mempengaruhi adaptasi terhadap
perubahan fisik dan kesehatan (Harkreader, Hogan, Thobaben, 2007).

Aksi katekolamin (epineprin dan norepineprin) dan kortisol reaksi paling umum
pada saat terjadinya stress. Hormon yang lain dikeluarkan adalah anti diuretic
hormone (ADH) dari pituitary posterior dan aldosteron pada korteks adrenal.
ADH dan Aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air. Endorphin juga
diproduksi pada saat stress, merupakan opiate endogen juga meningkat dalam
keadaan stress dan meningkatkan ambang untuk menahan nyeri dan
mempengaruhi suasana hati.

Stress dapat diatasi dengan relaksasi, relaksasi merupakan terapi komplementer


dan alternatif (Complementary and Alternative Therapy [CAM]). Saat stress dapat
mencetuskan beberapa sensasi dan perubahan fisik, meliputi peningkatan aliran
darah menuju otot, keteganggan otot, mempercepat pernafasan, meningkatkan
denyut jantung, dan menurunkan fungsi digestif (Ankrom, 2008).

Relaksasi adalah kondisi bebas secara relatif dari kecemasan dan ketegangan otot
skeletal yang dimanifestasikan dengan ketenangan, kedamaian dan perasaan
ringan. Pada saat tubuh dan pikiran rileks, secara otomatis ketegangan yang
seringkali membuat otot-otot mengencang akan diabaikan (Zalaquet & mcCraw,
2000; Conrad & Roth, 2007). Salah satu tehnik relaksasi adalah Progressive
Muscle Relaxation (PMR)

Progressive muscle relaxation (PMR) adalah terapi relaksasi dengan gerakan


mengencangkan dan melemaskan otot – otot pada satu bagian tubuh pada satu
waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan
mengencangkan dan melemaskan secara progresif kelompok otot ini dilakukan
secara berturut-turut (Synder & Lindquist, 2002). Pada saat melakukan PMR
perhatian klien diarahkan untuk membedakan perasaan yang dialami saat
kelompok otot dilemaskan dan dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


133

tegang. Fritz, 2005 bahwa beberapa hal yang menjadi kontra indikasi latihan PMR
antara lain adalah cidera akut atau ketidaknyamanan muskuloskeletal, dan
penyakit jantung berat/ akut. Untuk hasil maksimal dianjurkan untuk melakukan
PMR dua kali sehari. Latihan bisa dilakukan pagi dan sore hari, dilakukan selama
25-30 menit. Latihan bisa dilakukan pagi dan sore hari, dilakukan 2 jam setelah
makan mencegah rasa mengantuk setelah makan (Charleswarth & Nathan, 1996)

4.2.2 Pengaruh PMR terhadap Kadar Glukosa Darah


Hasil penelitian menunjukkan pada gambar 3.2 bahwa pasien DMT2 yang diberi
latihan PMR dan relaksasi pernafasan selama dua minggu dengan frekuensi
latihan dua kali sehari dan durasi 25 menit, menunjukkan adanya penurunan
berturut-turut rerata kadar glukosa darah puasa jam 06 wib sebelum dan sesudah
terapi PMR dan latihan nafas yaitu dari 187,6 mg/dl sampai 139,60 mg/dl pada
kelompok intervensi. Untuk jam 16.00 wib kelompok intervensi didapatkan
sedikit peningkatan rerata kadar glukosa darah pada hari sebelum intervensi yaitu
dari 225,60 mg/dl meningkat menjadi 247,60 mg/dl pada hari kelima, namun pada
hari ke-10 dan ke-15 terjadi penurunan berturut-turut, yaitu 187 mg/dl pada hari
ke 10 dan 186,40 mg/dl pada hari ke-15 setelah intervensi. Namun pada kelompok
kontrol terlihat angka yang masih fluktuatif.

Hasil penerapan EBNP diatas dapat disimpulkan bahwa efek dari terapi PMR dal
latihan pernafasan dapat menurunkan kadar glukosa darah secara konstan
dibanding dengan kelompok kontrol dengan hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah yang fluktuatif pada akhir program. Dari data juga dapat dilihat bahwa
penurunan kadar glukosa darah terdapat pada hari Ke 10.

Hasil penerapan EBN ini sesuai dengan penelitian oleh Koloverou et al (2014)
dengan PMR dapat menurunkan kadar HbA1C pada pasien DMT2 yang
berkunjung dirawat jalan, serta menurnkan hasil pemeriksaan kortisol setelah 12
minggu intervensi yang dilakukan terapi PMR dan latihan pernafasan dua kali
sehari. Penelitian senada juga disampaikan oleh Ghazavi dan Abdeazdan (2008)

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


134

dengan hasil bahwa massage dan terapi PMR dapat menurunkan HbA1C pada
anak dengan DMT1 yang berkunjung di poliklinik rawat jalan.

4.2.3 Keterbatasan Praktek EBN


Keterbatasa yang ditemukan selama melakukan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Tidak dilakukan pemantauan lebih lanjut terhadap penyakit penyerta yang
kemungkinan besar dapat mempengaruhi kadar glukosa pasien
b. Keterbatasan waktu yang sesuai dengan jurnal utama, yang dilakukan selam a
3 bulan.
c. Pemeriksaan HbA1C, dan kortisol Pada penerapan EBN ini tidak dilakukan,
hanya dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah, yang mana hasilnya bisa
bias oleh banyak faktor yang mempengaruhi.

4.2.4 Implikasi dan Tindak Lanjut Hasil Praktek EBN


Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa intervensi keperawatan mandiri
melalui terapi PMR dan latihan pernafasan pada DMT2 mempunyai pengaruh
yang signifikan dalam menurunkan tingkat stress. Serta penurunan terhadap kadar
glukosa darah tidak menunjukkan efek yang signifikan, tetapi dilihat pada gambar
3.2 pada kelompok intervensi terdapat penurunan kadar glukosa darah secara
konstan. Hal ini di asumsikan karena jumlah sampel yang sedikit dan lama hari
pelaksanaan terapi PMR dan relaksasi pernafasan yang terbatas.

4.3 Pembahasan Inovasi


Kebutuhan memberikan informasi yang benar tentang penyakit pasien sesegera
mungkin sangat ditekankan dalam kualitas edukasi yang diberikan. Perawat harus
terus mencoba menemukan cara yang terbaik dalam mengedukasi pasien,
sehingga pasien menjadi lebih peduli untuk memperoleh pengetahuan, memahami
kesehatannya dan pada akhirnya terbentuk kemandirian pasien dalam mengelola
kesehatannya. Edukasi pada pasien diabetes mempunyai konsekuensi dalam
meningkatkan pengetahuan, perubahan sikap dan keterampilan yang mengarah
pada pengontrolan yang baik terhadap penyakit yang merupakan bagian integral

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


135

dari perawatan diabetes komprehensif (Abdo & Muhamed, 2010). Pengetahuan-


pengetahuan tersebut antara lain, pmeriksaan glukosa darah secara mandiri dan
memahami apa tindak lanjut yang harus dilakukan saat itu sesuai dengan hasil
pemantauan kadar glukosa darah, memahami gejala-gejala komplikasi baik akut
maupun kronis, pengobatan OHO diminum dengan jadwal pengaturannya,
penyuntikan insulin basal maupun prandial, pengaturan jadwal dan jenis makanan
yang benar, berolahraga, dan lain sebagainya

Salah satu peran dan fungsi perawat dalam melakukan intervensi keperawatan
pada individu dan masyarakat adalah sebagai edukator. Dalam konteks perawatan
bagi individu DM memberikan edukasi adalah hal yang sangat penting dan
menjadi salah satu pilar berhasilnya mencapai kendali diabetes yang baik.
Kegiatan inovasi kelompok yang telah dilakukan merupakan salah satu bentuk
upaya perawat untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas individu DM agar
memiliki kemampuan self-care yang baik.

Proses yang dijalankan dalam kegiatan inovasi kelompok adalah, residen


menyebarkan flyer tentang satu tema tertentu untuk di isi oleh pasien. Jika ada
pasien yang bertanya atau membutuhkan pendampingan dalam mengisi quick
quiz, maka perawat ada untuk membantu sesui kondisi pasien. Setelah pasien
menjawab seluruh pertanyaan, flyer kembali dikumpulkan dan dinilai untuk
menentukan tingkat pengetahuan pasien terkait topik tersebut.

Sebanyak 16 orang ikut berpartisipasi dalam program inovasi. Rata-rata umur


responden adalah 54,31 tahun dengan usia termuda 40 tahun dan tertua 68 tahun.
Hasil estimasi interval menunjukkan bahwa rata-rata umur responden diabetes
melitus yang berpartisipasi dalam kegiatan inovasi keperawatan berada pada
rentang usia 50,31-58,31 tahun. Hasil ini sesuai dengan hasil disurvei yang
dilakukan oleh International Diabetes Federation tahun 2014 yakni, rata-rata usia
orang dengan diabetes di dunia adalah 40-59 tahun (IDF, 2014 ).

Hasil pengkajian pengetahuan pasien DM di poli endokrin yang memiliki


pengetahuan yang kurang dengan rincian sebagai berikut, pengetahuan umum
tentang DM, didapatkan 2 orang pasien (12,50%); pengetahuan tentang
Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


136

perawatan harian di rumah, didapatkan 7 orang (43,75%); pengetahuan tentang


risiko komplikasi kaki, didapatkan 5 orang (31,25%)’ pengetahuan tentang gejala
dan pencegahan hipoglikemi, didapatkan 2 orang (12,50 %). Setelah diketahui
pasien yang dinilai harus diberikan edukasi karena pengetahuan kurang, kemudian
pasien ditawarkan untuk mengikuti pendidikan kesehatan secara pribadi di ruang
edukasi. Setelah mengisi flyer pasien sendiri dapat menilai apakah
pengetahuannya cukup atau kurang melalui informasi yang tertera pada flyer.
Informasi dan pengetahuan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan masing-
masing sesuai penilaian dari quick quiz. Akan tetapi, saat sesi Tanya jawab dan
diskusi adakalanya pasien menanyakan tentang apapun yang terkait dengan
perawatan DM dirumah. Setelah proses edukasi selesai yang berlangsung rata-rata
120 menit/orang. Pasien diberikan booklet “sahabat diabetes” sebagai panduan
untuk melakukan perawatan diri dan pemantauan kendali diabetes di rumah.
Seluruh partisipan diminta mengisi formulir evaluasi lembar kepuasan dengan
kegiatan yang sudah berjalan.

Hasil tingkat kepuasan dengan menggunakan quesioner menunjukkan bahwa


sebanyak 14 pasien DMT 2 (87,5%) dikatakan puas, sedangkan 2 pasien (12,5%)
kurang puas terhadap program promosi kesehatan pada pasien diabetes melitus
dengan self-health assessment dan booklet edukasi pengelolaan diabetes mellitus.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepuasan terhadap adanya program
signifikan. Hasil ini menggambarkan bahwa perlu adanya evaluasi dari poli
endokrin untuk mempertimbangkan keberlanjutan dari program tersebut. Adapun
ketidakpusan pasien dapat dimungkinkan diakibatkan oleh beberapa faktor antara
lain, tingkat pendidikan yakni, sebanyak 12,4% berpendidikan rendah dan
sebanyak 50% berpendidikan menengah serta sebanyak 37% berpendidikan
tinggi; program inovasi ini program yang baru diperkenalkan kepada pasien di
poli endokrin sehingga, masih belum dirasakan kemanfaataannya karena
mengingat untuk merubah perilaku harus membutuhkan cukup waktu.

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat pemahaman dan kepuasan


Informed consent dan quesioner dari sebuah program inovasi ini yang terdiri dari
pemantauan dan deteksi kesehatan diri serta edukasi. Hal ini didukung oleh

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


137

penelitian pada 100 orang menunjukkan bahwa tingkat pemahaman terhadap


Informed consent dan questioner lebih tinggi pada orang dengan pendidikan tinggi
dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah (p < 0.0001). kemudian,
tingkat kepuasan terhadap informed consent dan questioner lebih tinggi pada
orang dengan pendidikan tinggi dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah
(p= 0.001) (Breese, Burman, Goldberg, & Weis, 2007).

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
5.1.1 Pendekatan Model Self Care Orem pada pasien dengan Ulkus Diabetes sangat
memungkinkan untuk diterapkan dalam pemberian asuhan keperawatan, dimana
pasien dengan ulkus diabetes akan distimulasi untuk berpartisipasi aktif dalam
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya, mengenali kebutuhannya dalam
mencapai perawatan diri yang optimal. Dengan Model Self Care Orem pasien ulkus
diabetes dapat untuk mengenali dan mengatasi kondisi untuk memperpendek hari
rawat dan asuhan yang diberikan efekif.

5.1.2 Penerapan Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan latihan pernafasan dalam
praktik berbasis bukti cukup bermanfaat bagi pasein DMT2, yang digunakan untuk
menurunkan skala stress pada DMT2 dan glukosa darah.

5.1.3 Inovasi tentang Self Health Assesment dan pemberian booklet dapat
meningkatkan kepuasan pasien dalam meningkatkan pengetahuan dan perawatan
dirinya sebesar 87,5% (14 orang), dan kurang puas sebanyak 12,5% (2 orang)
kemungkinan disebabkan oleh pasien mengalami fungsi penglihatan sehingga
bantuan orang lain untuk membaca dan mengisi angket.

5.2 Saran
5.2.1 Pelayanan Keperawatan
Penerapan asuhan keperawatan dengan pendekatan Model Self Care Orem pada
pasien dengan lkus diabetes sangat bermanfaat dan memudahkan perawat dalam
memberikan intervensi keperawatan secara mandiri, akan tetapi dibutuhkan
kemampuan komunikasi terapeutik yang lebih baik untuk menstimulasi partisipasi
aktif pasien dan keluarga.

138 Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


139

5.2.2 Pengembangan Ilmu Keperawatan


Perlu dikaji lebih mendalam tentang aplikasi Model Self Care Orem sebagai salah
satu upaya untuk meningkatkan kemampuan pasien dan keluarga dengan
mengembangkan strategi edukasi dan format proses keperawatan menggunakan
model Nursing System Orem ini melalui penerapan intervensi keperawatan berbasis
bukti.

5.2.3 Pendidikan Keperawatan


Perlu pendekatan latihan penerapan dengan pendekatan aplikasi Model Self Care
Orem pada proses keperawatan pada jenjang pendidikan ners spesialis yang
berdasarkan kepada tindakan-tindakan keperwatan terkini berbasis pembuktian ilmiah

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


140

DAFTAR PUSTAKA

Abrahim, M. (2011). Self care in type 2 diabetes: A Systematic literature review on


factors contributing to self care among type 2 diabetes mellitus patients. (Tesis
tidak dipublikasikan). Linnaeus University. Retrieved from http://Inu.diva-
portal.org/smash/get/diva2:504528/FULLTEXT01.pdf

Ackley, J.B., Ladwig, B.G., Swan, B.A., & Tucker, S.J. (2006). Evidence Based
Nursing Guidline Medical Surgical Intervention. St Louis : Mosby Elsevier.

Aguilar, F., Teran, J.M., De La Pena, J.E. (2011). “The Pathogenesis of the Diabetic
Foot Ulcer: Prevention and Management” Global Perspective on Diabetic Foot
Ulcerations: 156-182

Alligood, M.R., & Tomey, A.M. (2014). Nursing Theory and Their Works 8rdedition.
Louis : Mosby Elsevier.

American Diabetes Association, (2010). Diagnosis and classification of diabetes


melitus: Diabetes Care. Diunduh dari http://www.care.diabetes journal.

American Diabetes Association, (2014). Executive summary: Standars of medical


care in diabetes-2014. Diunduh dari http://www.care.diabetes journal.

Ankrom, S. (2008). Progressive Muscle Relaxation can help you reduce anxiety and
prevent panic : What is progressive muscle relaxation?
http://panicdisorder.about.com/od/livingwithpd/a/PMR.htm

Ayele, E.K., Tesfa, B., Abebe, L., Tilahun, T., Girma. (2012). Self care behavior
among patients with diabetes in Harari. Eastren Ethiophia; the health belief
model perspective. Plos One 7 (4).
http://www.plosone.org/info%Adoi%F10,1371%2

Baier, L.J., & Hanson, R.L., (2004). Genetic Studies of the Etiology Type 2 Diabetes
in Pima Indians. Diabetes; 53 (5): 1181-6

Black, J.M., & Hawks, J.H., (2009). Medical Surgical Nursing: Clinical Management
for Positive Outcomes (8𝑡ℎ .ed.). Vol.1. St. Louis: Elsevier.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


141

Chamany, S., Tabaei, B.P., (2010). Epidemiology. In L. Poretsky (Ed), Principles of


diabetes mellitus (2nd Ed). Diunduh dari http://en.bookfi.org.

Chin, Y. F., & Huang, T. T. (2013). Development and Validation of a Diabetes Foot
Self Care Behavior Scale. The Journal of Nursing Research, 21 (1), 19-25.
Retrieved from http://www3.med.unipmn.it/papers/2013/LWW_Journals/2013-
04-15_lww/Development_and_Validation_of_a_Diabetes_foot.5.pdf

Corwin, E., (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Desalu., Salawu., Jimoh., & Odekoya., (2011). Diabetic foot care: Self reported
knowledge and practice among patients attending three tertiary hospital in
Nigeria. Ghana medical journal, 45(2). Retrieved from
http;//www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3158533/pdf/GMJ4502-
0060.pdf

Dunning, T., (2009). Care of people of diabetes: a manual of nursing practice (3th
ed.). United Kingdom: Wiley-Blackwell.

Dinardo, M.M., (2009). Mind body therapy in diabetes management. Diabetes


spectrum, 22(1). Diunduh dari http://proquest.com/pqdweb?index=
8&did=16662109331&SrchMode=2&sid=14&Fmt=6&VInst=PROD&VType=
PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1265259132&CLIENTid=72174

Driver, V.R., Landowski, M.A., Madsen, J.L. (2007). Neuropathic Wound : The
Diabetic Wound, dalam Bryant, R.A. Nix, D.P. (3th Eds), Acute & Chronic
ounds : Current Management Concepts. Philadelpia: Mosby Elsevier.

Effendi, A.F & Warpadji, S., (2012). Aspek biomolekuler diabetes melitus tipe 2.
Jakarta: Badan penerbit FK-UI

Ernawati., (2013). Penatalaksanaan Keperawatan Diabetes Melitus Terpadu dengan


Pendekatan Teori Self Care Orem. Jakarta: MitraWacana Media.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


142

Fain, J.A., (2009). Management of client with diabetes mellitus dalam Black, J.M &
Hawk, J.H. Medical surgical nursing: clinical management for positive
outcome (8thed.). Singapore: Sauders Elsevier.

Freitas, H.S., (2005). Acute and Short-term Insulin Induced Molecular Adaptations of
GLUT2 Gene Expression in the Renal Cortex of Diabetic Rats. Mol Cell
Endocrinol.

Fryberg. (2002). Basic & Clinical Endocrinology 5th edition, Prentice hall
International Inc, New Jersey

Frykberg, R. G., Zgonis, T., Armstrong, D.G., Driver, V.R., Giurini, J.M., Kravitz,
S.R, et al. (2006). "Diabetic Foot Disorders: A Clinical Practice Guideline
(2006 Revision)." The Journal of Foot and Ankle Surgery 45(5, Supplement):
S1-S66.

Funnell, M.M., & Anderson, R.M., (2004). From DSME to DSMS; Developing
Empowerment-Based Diabetes Self Management Support. Diabetes Spectrum:
20 (4). 221-226

Ghazavi, Z,. Talakoob, S,. Abdeazdan, Z,.(2008). Effects of massage and progressive
muscle relaxion on gycosylated hemoglobin in diabetic children. Shiraz E-
Medical Journal, Vol. 9, No. 1, January 2008

Harkreader, H., Hogan, M.N., Thobaben, M., (2007). Fundamental of nursing:


caring and clinical judgment (3th ed.). St. Louis Missouri: Saunders Elsevier.

Harris, M., (2009) The Effects Of Slow-Stroke Back Massage On The Sleep Of
Persons With Dementia In The Nursing Home: A Pilot Study
http://gradworks.umi.com/3357546.pdf B.S.N., Excelsior College, M.S.N.,
Concordia University of Wisconsin.

International Diabetes Federation. (2014). IDF Diabetes Atlas. Brussels: IDF

Ignatavicius, D.D., & Workman, M.L., (2006). Medical Surgical Nursing; critical
thinking for collaborative care (5thed.). St Louis Missouri: Saunders Elsevier

Inzucchi, S., Porte, Sherwin, Baron (2005). The Diabetes Mellitus Manual: a primary
care companion to Ellenberg and Rifkin’s (6th eds). Singapore.
Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


143

Khardory, R., (2014). Diabetic Ulcer Treatment & Management. http://emedicine.


medscape.com/article/460282-overview

Kibler, Virginia, E,.Rider, Mark,. (1983). Effects of progressive muscle relaxation


and music on stress as measured by finger temperature response.Journal of
Clinical Psychology, March, 1983, Vol. 39, No. 2

Kim, S. D., & Kim, H. S. (2005). Effects of a relaxation breathing exescise on


anxiety, depression, and leukocyte in hemopoietic stem cell transplantation
patients. Cancer Nursing, 28(1), 79-83

Koloverou,Efi., Tentolouris, Bakoula, Chryssa., Darviri, Christina., Chrousos George.


(Tahun 2014). Implementation of a stress management program in outpatients
with type 2 diabetes mellitus: a Randomized Controlled Trial; Ekoloverou Et
al.Hormones 2014, 13(4):509-518DOI:10.14310/horm.202.1492

Liu., Tai., Hung., Hsieh., & Wang. (2010). Relationships Between Emotional
Distress, Empowerment Perception and Self care Behavior and Quality of Life
Pasien in Patients with Type 2 Diabetes. Hu Li Za Zi. 57(2). 49-60.

Lorentz, M.M., (2006). Stress and Psychoneuroimmunology Revisited: Using Mind


Body Interventions to Reduce Stress. Alternative Journal of Nursing. 11. 1-11.

Lovibond, S.H., &Lovibond, P.F., (1995). Manual for the Depression Anxiety Stress
Scale (2nd Ed). Sydney; Psychology Foundation.

Majgi, S. M., Soudarssanane, B. M., Roy, G., & Das, A. K. (2012). Risk factor of
diabetes Mellitus in rural puducherry. Online J Health Allied Scs 11(1):4.
Diunduh dari http://cogprints.org/8867/1/2014-1-4.pdf.

McLeod, M. E. (2010). Care of patients with diabetes and foot disease. In D. D.


Ignatavicius & M .L.Workman (Eds), Medical Surgical Nursing: Patients-
centered collaboration care (6th Ed). Missouri. Saunders Elseiver

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


144

Meeking, Holland, & Land. (2005). Diabetes and foot disease. In K. M. Shaw & M.
H. Cummings (Eds). Diabetes chronic complications (3rd Ed). Retrieved from
http://libgen.org

NANDA International. (2012). Nursing Diagnoses: Definitions & Classifications


2012-2014. St. Louis: Mosby.

Norman, P. E., Davis,W. A., Bruce. D. G., (2006). Peripheral arterial disease and risk
of cardiac death in type 2 diabetes the fremantle diabetes study. Diabetes care,
293 (3) from http;//care.diabetesjournals.org/contents/29/3/575

Orem, D.E., (2001). Nursing Concepts of Practice (6th Ed). Toronto, Mosby
Company

Perkeni (2011) Konsensus pencegahan dan pengolahan diabetes di Indonesia tahun


2011 http://www.scribd.com/doc/73323977/Konsensus-DM-Tipe-2- Indonesia-
2011 diperoleh pada tanggal 04 Juli 2012.

Potter, P.A., Perry, A.G. (2009) Fundamental Of Nursing seven edition.

Price, S.A., & Willson, L.M. (2006) Patofisiologi; KonsepKlinis Proses-Proses


Penyakit (Edisi 6). Jakarta: EGC.

Richard, S. S, Christopher. L, Miranda, Nancy. Z., Cynthia, C., Parekh. P. (2002).


Stress Management Improves Long-Term Glycemic Control in Type 2
Diabetes.

Romito, K., & Winstock, L.S. (2010). Stress management: Breathing exercise for
relaxation

Saleh, f., Mumu, S.J., Ara, F., Begum, H.A., & Ali, L. (2012). Knowledge and Self
Care practice regarding diabetes among newly dignosed type 2 diabetics in
bangladesh: a cross-sectional study. BMC public health.
http://www.biomedcentral.com/1471-2458/12/1112.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


145

Senter. R., Groth, S., et al (2002). The Mutation Spectrum of the Facilitative Glucose
Transporer Gene SLCA2 (GLUT2) in Patients With Fanconi-Bickel Syndrome.
Hum Genet

Shai, I., Jiang, R., Manson, J. E., Stampfer, M. J. (2006). Ethnicity, Obesity, and Risk
of type 2 Diabetes in Woman A 20-year Follow up study. Diabetes care.
http://care.diabetesjournals.org/content/29/7/1585.

Shearman, C & Pal, N. (2013). Foot complications in patients with diabetes. Surgery
(Oxford), 31(5). Diunduh dari http://ac.els-cdn.com/S0263931913000781/1-
S2.0-S0263931913000781-main.

Shera, A. S., Jawad, F., Magsood, A., Jamal, S., Azfar, M. (2004). Prevalence of
cronich complications and associated factors in type 2 diabetes. JPMA. The
Journal Of the Pakistan Medical Association.
http://www.jpma.org.pk/pdfDownload/337.pdf

Sherwood., (2012). Fisiologi manusia. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C.,& Bare, B.G., (2009). Texbook of Medical Surgical


𝑡ℎ
Nursing.(10 .ed.). Vol.2. Philadeiphia: Lippincott William & Wilkins.

Snyder, M., & Lindquist, R. (2002). Complementary/ Alternative Therapies in


Nursing (4th ed). New York: Springer Publishing Company.

Soegondo., Sidartawan., Soewondo., Pradana., & Subekti, Imam. (2015).


Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Edisi 2. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Somroo, J., Hashmi, A., Iqbal, Z & Ghori, A. (2011). Diabetic Foot Care-A Public
Health Problem. Journal of medicine, 12(2), 109-
114.doi:10.3329/jom.v12i2.7604

Sukkarieh, O. (2011) Disertasi: The relatationship among diabetes self are,


psicological adjustment, social support and glicemic control in the Lebanese
populations with type 2 diabetes melitus. By ProQuest LLC.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


146

Suyono, S. (2015). Patofisiologi Diabetes Mellitus dalam Soegondo, S., Soewondo,


P., Subekti, I. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Uldry., (2002). GLUT2 is a High Affinity Glucosamine Transporer. FEBS let; 254 (1-
3): 199-203

Valliyot, B., Sreedharan, J., Muttappallymyalil, J., & Valiyot, S. B. (2013). Risk
factor of type 2 diabetes melitus in the rural population of North kerala, India:
a case control study. Diabetologia Croatica, 42(1), 33-40. Diunduh dari
http://www.idb.hr/diabetologia/13no1-3.pdf.

Vinik,A.I., Freeman, R., Erbas, T., (2003). Diabetic Autonomic Neuropathy, Semin
Neurol. 2003;23(4)

Waspadji, S. (2015).Diabetes Melitus: Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya yang


Rasional dalam Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I., Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta:BadanPenerbit FKUI.

White, Lois. (2012). Medical-Surgical Nursing an Integrated Approach Third edition:


Delmar Cengage Learning, California.

WHO (2009) Definition And Diagnosis Of Diabetes Mellitus And Intermediate


Hyperglycemia. Report of a WHo/IDf ConsultatIon: the WHO Document
Production Services. Geneva: Switzerland.

Williams, L.S., & Hopper, P.D. (2007). Understanding Medical Surgical Nursing.
(3th.ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company

Workman, M.L. (2006) Assesment of the Endokrine System dalam Ignatavicius,


D.D., Workman, M.L. Medical surgical nursing critical thingking for
collaborative care. St.Louis, Missouri. Elsevier Saunders.

Yildrim, Y. K., dan Fadiloglu. (2006). The effect of progressive muscle relaxation
training on anxiety levels and quality of life in dialysis patients. EDNA/ERCA
Journal.

Universitas Indonesia

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Lampiran 1

PENGKAJIAN KEPERAWATAN DENGAN PENDEKATAN


TEORI SELF CARE OREM

Identitas Pasien
Nama :
Alamat :
No RM :
Diagnosa Medis :
Tanggal Masuk RS :
Tanggal Pengkajian :

FAKTOR KONDISI DASAR


Usia Jenis Kelamin: □ Laki-laki □ Perempuan
Status Kesehatan: Pola Hidup:
- Keluhan Utama : - Diet :

- Aktivitas :

- Gaya hidup yang negative terhadao kesehatan :


- Riwayat Penyakit Sekarang:

Sistem Keluarga :
- Tinggal bersama:

- Riwayat Penyakit Dahulu: - Penunggu selama sakit:

Sosial Budaya:
- Pendidikan:
- Suku :
- Riwayat Penyakit Keluarga: - Agama:
- Pekerjaan:

Sistem Pelayanan Kesehatan Ketersediaan Sumber Daya:


- Pelayanan kesehatan terdekat: Saat ada masalah yang membantu:

- Kebiasaan saat sakit:

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Status Perkembangan: Lingkungan
- Penyakit menyebabkan gangguan - Kondisi rumah:
perkembangan:
- Kondisi lingkungan sekitar rumah:

KEBUTUHAN PERAWATAN DIRI SECARA UMUM


Udara
- Keluhan: - Pemeriksaan Laboratorium
 Batuk:  Produktif Non-produktif Tanggal pemeriksaan:
 Nyeri dada:  Dyspnea Lain-lain
- Nadi:…… x/menit Pemeriksaan
Hematologi
Hasil Satuan Nilai Referensi

- TD:…./…..mmHg  Suhu:….°C Hb g/dl 12,8-16,8


- RR:…. x/menit Analisa Gas Darah
pH 7,37-7,440
 Reguler  Ireguler  Takipnea  Hiperneu HCO3 mmol/L 21-24
- Pengembangan paru pO2 mmHg 83-108
pCO2 mmHg 35-45
 Simetris  Asimetris  Retraksi otot BP mmHg
aksesoris O2 saturasi % 95-99
Total Co2 mmol/L 19-24
- Suara nafas BE mmol/L -2,5-2,5
 Vesikuler  Snoring  Gurgling
- Suara paru - Pemeriksaan Diagnostik:
Kanan  vesikuler  wheezing  ronchi  Jenis pemeriksaan:
Crackles Tanggal pemeriksaan:
Kiri  vesikuler  wheezing  ronchi  Hasil pemeriksaan:
Crackles
- Bunyi jantung
 S1 S2  S3  S4  Murmur  Gallop - Terapi Medis:
- Capillary Refill
 < 2 detik  > 2 detik
- Alat bantu: ………..
- Kemampuan pemenuhan kebutuhan
 Mandiri  Partial  Tergantung

Cairan
- Keluhan - Pemeriksaan Laboratorium
Perdarahan Dehidrasi Edema Mual Tanggal pemeriksaan
Muntah
- Turgor kulit  Baik  Menurun
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Referensi
Hematologi
- Edema  +1  +2  +3  +4  +5 Ht % 33-45
Trombosit ribu/ul 150-440
- Intake-Output Eritrosit Juta/ul 4,4-5,9
Intake Output
Peroral Urin VER fl 80-100
ml/…jam ml/…jam HER pg 26-34
Parenteral IWL KHR g/ul 32-36
ml/…jam ml/…jam
RDW % 11,5-14,5

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Feses Homeostasis
ml/…jam APTT Detik 27,4-39,3
…… Kontrol
Jumlah Jumlah APTT
ml/…jam ml/…jam PT Detik 11,3-14,7
Selisih Kontrol PT
ml/…jam INR
Fibrinogen mg/ml 212-433
Kontrol
- Alat bantu:…….. fibrinogen
- Kemampuan pemenuhan kebutuhan D-Dimer <300
Elektrolit
 Mandiri  Partial  Tergantung Natrium mmol/l 135-147
Kalium mmol/l 3,1-5,1
Clorida mmol/l 95-108

- Terapi Medis

Nutrisi
- Keluhan: - Pemeriksaan Laboratorium
 Mual  Muntah  Tidak nafsu makan Tanggal pemeriksaan
 Lain-lain
- BB:…. Kg TB:…..cm Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Referensi
- Kuantitas diet:…… x/hari GDS
Kimia Klinik
mg/dl 70-140
- Kualitas diet:……… Albumin g/dl 3,4-4,8
- Bising usus:……..x/menit
- Alat bantu:………. - Pemeriksaan Diagnostik:
- Kemampuan pemenuhan kebutuhan Jenis pemeriksaan:
 Mandiri  Partial  Tergantung Tanggal pemeriksaan:
Hasil pemeriksaan:

- Terapi medis:

Eliminasi
Fekal/ BAB
- Keluhan: - Pemeriksaan Laboratorium
 Inkontinensia  Konstipasi  Diare  Tanggal pemeriksaan
Nyeri
 Lain-lain:... Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Referensi
Fungsi Ginjal
- Bab terakhir:…….. Ureum mg/dl 20-40
- Frekuensi:……/…..hari Kreatinin mg/dl 0,6-1,5
- Warna:……. Bau:……… Konsistensi:……..
- Alat bantu:…….. - Pemeriksaan Diagnostik:
- Kemampuan pemenuhan kebutuhan eliminasi Jenis pemeriksaan:
fekal: Tanggal pemeriksaan:

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


 Mandiri  Partial  Tergantung Hasil pemeriksaan:

Urin/BAK - Terapi medis:


- Keluhan:
 Inkontinensia  Retensi  Dribling 
Disuria
 Lain-lain:...
- Jumlah:…….ml/…jam Warna:……..
Bau:……
- Alat bantu:……..
- Kemampuan pemenuhan kebutuhan eliminasi
urin:
 Mandiri  Partial  Tergantung

Aktivitas dan Istirahat


- Keluhan: - Kemampuan ekstremitas:
 susah tidur  Keterbatasan pergerakan  Ekstremitas
Atas
Ekstremitas
Bawah
Bedrest Kanan Kiri Kanan Kiri
 Lain-lain:... Kesemutan
Edema
- Tidur:……jam/hari  Gangguan:…… Baal
- Kemampuan aktivitas: Pucat
Deformitas
Aktivitas Skor Aktivitas Skor
Kekuatan otot
Feeding Bladder
0= tidak mampu 0= inkontinensia Keseimbangan
5= dibantu dengan 5= tidak mampu Koordinasi
dipotong-potong, mengontrol Keterbatasan
dihaluskan, 10= mampu rentang gerak
dimodifikasi mengontrol sendi
10=mandiri Sensori
Bathing Toilet use Reflek
0= dibantu 0= dibantu Nyeri
5= mandiri 5= dibantu tapi Geli
sebagian dapat
dilakukan secara
mandiri - Pemeriksaan Diagnostik:
10= mandiri Jenis pemeriksaan:
Grooming Transfers
0= dibantu 0= tidak mampu, Tanggal pemeriksaan:
5= mandiri (cuci muka, tidak memiliki Hasil pemeriksaan:
gogok gigi, keramas) keseimbangan untuk
duduk
5= membutuhkan
bantuan 1-2 orang
10= membutuhkan - Terapi medis:
bantuan berupa
instruksi
15= mandiri
Dressing Mobility
0= dibantu 0= tidak mampu
5= dibantu, tapi mobilisasi atau
sebagian dapat mobilisasi ,50 yard
dilakukan secara 5= menggunakan
mandiri kursi roda >50 yard
10= mandiri 10= berjalan dengan

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


bantuan 1 orang atau
instruksi >50 yard
15= mandiri tetapi
dapat juga
menggunakan alat
bantu >50 yard
Bowels Stairs
0= inkontinensia 0= tidak mampu
(butuh enema) 5= butuh bantuan
5= tidak mampu 10= mandiri
mengontrol
10= mampu
mengontrol
1-20= dependen total Nilai total
21-40= dependen berat
41-60= dependen
sedang
61-90= dependen
ringan
91-100= independen/
mandiri
Functional evaluation: the bartel index total skor indeks bartel=
…………

- Alat bantu:……..
- Kemampuan pemenuhan kebutuhan:
 Mandiri  Partial  Tergantung

Pencegahan Terhadap Bahaya


- Keluhan: - Risiko jatuh
 Nyeri  Luka  Panas No
1
Pengkajian
Riwayat jatuh 3 bulan
Skala
Tidak
Skor
0
Nilai

- Suhu:…..°C terakhir Ya 25
- Nyeri pada area…… 2 Mempunyai diagnose Tidak 0
sekunder Ya 15
P: nyeri bertambah saat………………….., 3 Kemampuan ambulasi:
nyeri berkurang saat………… Bedrest/dibantu perawat Ya 0
Menggunakan Ya 15
Q: nyeri seperti…………………….., kruk/walker/tongkat
intensitas nyeri………………. Menggunakan furnitur Ya 20
4 Terpasang kateter IV Tidak 0
R: nyeri pada area………………….., nyeri  Ya 20
tidak menyebar  menyebar pada 5 Gaya berjalan/ berpindah
Normal/bedrest/immobilisasi Ya 0
area…………….. Lemah Ya 10
S: nyeri skala:  1  2  3  4  5  6  7  8 6
Keterbatasan
Status mental
Ya 20

 9  10 Orientasi baik Ya 0
T: nyeri pada waktu:  pagi  siang  sore  Disorientasi
Skor Total
Ya 15

malam  sepanjang hari Interpretasi


- Luka pada area……… Tidak berisiko
Risiko rendah
0-24
25-50
 Ukuran:……cmx……cmx……cm Risiko tinggi >50
 Warna luka:……
 merah…%  merah muda….%  - Pemeriksaan Laboratorium
kuning….% Tanggal pemeriksaan
 hijau….%  hitam….% Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Referensi
Hematologi
 Eksudat: Leukosit Ribu/ul 4,5-13

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


 Ya  Tidak  putih  kuning  hijau  SGOT
Kimia klinik
U/l 0-34
merah SGPT U/l 0-40
 Jumlah:…… ml
 Drain:  Tidak  ya  Jumlah: …… - Pemeriksaan Diagnostik:
ml/…jam Jenis pemeriksaan:
- Alat bantu:…….. Tanggal pemeriksaan:
- Kemampuan pemenuhan kebutuhan Hasil pemeriksaan:
pencegahan terhadap bahaya:
 Mandiri  Partial  Tergantung
- Terapi medis:

Promosi kearah normal Fungsi Sosial


- Keluhan:……………. - Keluhan:

- Upaya peningkatan kemampuan kearah - Interaksi terhadap orang lain:


normal:………………  Baik  Kurang
- Sikap terhadap tenaga kesehatan:
- Alat bantu:……..  kooperatif  kurang kooperatif
- Kemampuan pemenuhan promosi kearah - Alat bantu:…………
normal: - Kemampuan fungsi sosial:
 Mandiri  Partial  Tergantung  Mandiri  Partial  Tergantung
PERKEMBANGAN KEBUTUHAN PERAWATAN DIRI
Pemeliharaan Kebutuhan Perkembangan Pencegahan/ Manajemen Kondisi yang
Mengancam Perkembangan
- Perkembangan melakukan perawatan diri: - Perasaan saat sakit sekarang:

- Kemampuan memenuhi kebutuhan perawatan


diri: - Cara mengatasi perasaan sekarang:

- Kondisi lingkungan sekitar:

KEBUTUHAN PERAWATAN DIRI AKIBAT MASALAH KESEHATAN


Kepatuhan dalam pengobatan Modifikasi gambaran diri dalam
perubahan status kesehatan
- Kepatuhan dalam memberikan informasi status - Gambaran diri:
kesehatan:

- Kemampuan adaptasi dengan gambaran


- Kepatuhan dalam menjalani pengobatan dan diri:
perawatan:

Kesadaran tentang masalah kesehatan Penyesuaian gaya hidup untuk


mengakomodasi perubahan status

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


kesehatan dan pengobatan
- Pengetahuan tentang kondisinya: - Gaya hidup:

- Pengetahuan tentang perawatan penyakitnya: - Kemampuan adaptasi gaya hidup dengan


kondisi saat ini:

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


1

Gambaran 25 Kasus Resume Dengan Menggunakan Pendekatan Model Self Care Orem

No Identitas pasien Basic Conditioning Factor Therapeutic Self Care Nursing System
Demand
1 Ny. E (45 th), Alasan masuk RS badan Hasil pemeriksaan fisik. Masalah keperawatan yang muncul:
Agama: Islam, terasa sangat lemas, mual dengan data: Ketidakseimbangan nutrisi kurang
Status: menikah, dan tidak ada nafsu makan, TD: 130/70mmHg, suhu dari kebutuhan tubuh.
Pendidikan: SMK, pasien tidak ada nafsu tubuh 38,8°C. Kerusakan integritas kulit.
Pekerjaan: jualan makan, setiap makan pasien Terdapat pada luka dikaki Gangguan istirahat dan tidur
Jaminan BPJS merasa mual, makanan yang tidak sembuh-sembuh, Masalah keperawatan intoleransi
Dx Medis: DMT2 dihidang kan hanya habis 2- kondisi ulkus terdapat banyak aktifitas
dengan ulkus 3 sendok makan, selama slought, warna luka kuning
diabetes dan anemia dirumah pasien hanya dan berongga, nilai ABI Intervensi keperawatan yang
makan kentang karena kanan/kiri 0,85/0,71 dilakukan manajemen nutrisi,
takut gula darah naik. TB: peningkatan kualitas tidur,
150 BB: 37, IMT: 17 Pemeriksaan laboratorium: perawatan luka dan kaki, edukasi
riwayat DMT2 sejak 10 HbA1C: 5,4 hasil penatalaksanaan DM, peningkatan
tahun, riwayat keluarga laboratorium Hb; 7,48 kemampuan perawatan mandiri
dari Ibu dan paman, obat gram/dl, Albumin 2,7, ureum
DM yang digunakan 32 kreatinin 1,2; pemeriksaan Kategori bantuan: partially
glimepiride, glikosid dan pus ulkus hasil gram negative compensatory nursing system
metformin, rutin minum batang ditemukan. Ketergantungan sebagian terhadap
obat dan jarang kontrol, orang lain, perlu bantuan dalam
kesulitan dalam tidur, tidur memenuhi kebutuhan sehari-hari
< 4 jam/hari, sering BAB, BAK, personal hygiene karna
terbangun saat tidur pada kelemahan fisik dan anemia serta

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


2

malam hari, sulit tidur adanya luka pada kaki


kembali setelah terbangun,
mata mengantuk namun Evaluasi: Setelah dilakukan
tidak bisa tidur, wajah tindakan keperawatan selama 8 hari,
terlihat lelah dan mengantuk, terlihat perbaikan asupan nutrisi
sering menguap dan sering dengan data makan yang disajikan
tertidur pada pagi hari, habis, nilai Hb 10,0 gr/dl, kualitas
riwayat neuropati 4 tahun tidur meningkat dan luka
memperlihatkan tanda-tanda
perbaikan dasar luka merah, terdapat
granulasi dan epitelisasi serta
pengurangan ukuran luka.
2 Alasan masuk RS mual, Hasil pemeriksaan fisik. masalah keperawatan yang muncul:
muntah, kepala terasa dengan data: Gangguan integritas kulit
pusing, ulkus pada kaki terdapat ulkus ditelapak kaki Gangguan citra tubuh
Ny. T (43 th)
kiri.karena tertusuk duri 3 kiri, jari kai digiti 3,4 dan 5 Ketidakpatuhan terhadap regimen
Agama: islam,
minggu sebelum masuk RS, berwarna hitam, slought terapeutik
Status: Menikah,
luka bernanah dan maximal, terdapat
pendidikan: SMA,
menimbulkan bau, riwayat undermining, dasar luka Intervensi:
pekerjaan: IRT,
DM 8 tahun yang lalu, berwarna kecoklatan, ulkus Intervensi keperawatan yang
jaminan: BPJS,
menyangkal ada riwayat berbau tidak sedap. Kulit dilakukan manajemen
Dx Medis: KAD +
keluarga DM, riwayat sekitar luka teraba hangat. perawatan luka, peningkatan self
ulkus diabetik,
obesitas, riwayat tidak terdapat ulkus diabetes yang esteem, pembelajaran proses
Anemia
teratur minum obat. Pasien tidak diobati selama 3 penyakit, pembelajaran proses
mengatakan merasa malu minggu, penurunansensasi pengobatan
dan tidak nyaman dengan karena neuropati dan

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


3

adanya ulkus terutama bau vaskulopati, ABI kanan/kiri Kategori bantuan: partially
yang ditimbulkan 0,91/0,89 compensatory nursing system
Ketergantungan terhadap orang
pemeriksaan laboratorium: lain, hal ini dikarenakan adanya
HbAIC 12,9, GDS masuk RS ulkus membuat aktifitas pasien
435 basil kultur pus terbatas dan segala aktifitas dibantu
ditemukan klebsella oleh perawat dan keluarga
pneumonia, Hb 6,8 gram/dl,
albumin 2,30 ureum 45 Evaluasi:
kreatinin 1,0 Setelah dilakukan intervensi
keperawatan selama 6 hari, pasien
sudah melihatkan perbaikan dalam
hal menerima kondisi ulkus dan
pasien bersedia dilakukan amputasi
pada jari kaki digiti 3,4 dan 5.
Pasien mulai memahami secara
bertahap manajemen diabetes.
Kondisi luka belum menunjukkan
perbaikan yang berarti
3 Ny Y (58 th) Alasan masuk RS mual, Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, muntah, demam, tidak mau ditemukan:
Status: menikah, makan, terdapat ulkus pada Pemeriksaan Laboratorium Ketidakseimbangan nutrisi kurang
Pekerjaan: IRT pedis sinistra, ulkus Hb AIC 15,0, GDS masuk dari kebutuhan tubuh
Pembayaran bernanah , riwayat DM > 447, Hb 7,9 leuko 9.300 Gangguan integritas kulit
Umum, 10 th, riwayat konsumsi albumin 2,70, ureum 26 Resiko infeksi
Pendidikan: SD obat DM glibenklamid 2 x kreatinin 1,0 menolak Kurangnya pengetahuan tentang

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


4

Dx Medis: sehari dan glucopag 1x dilakukan dressing. perawatan kaki.


Ketosis DM + sehari, riwayat keluarga Nyeri akut
Ulkus diabetes, DM, riwayat tidak rutin
Nefropathy dan minum obat. Data yang Intervensi keperawatan:
gastropaty anemia ditemui terdapat ulkus, manajemen nutrisi, perawatan
mikrositik Menolak dilakukan ganti luka, pencegahan infeksi,
hipokrom balutan setiap dilakukan manajemen nyeri, pendekatan
ganti balutan pasien spiritual dan peningkatan support
menolak karna rasa sakit keluarga
yang tak hebat dengan
skala nyeri 7-8 sehingga Kategori bantuan: partially
pasien tidak ingin compensatory nursing system
dilakukan dressing lagi. Ketergantungan terhadap orang
lain, hal ini dikarenakan adanya
ulkus membuat aktifitas pasien
terbatas dan segala aktifitas dibantu
oleh perawat dan keluarga

Setelah dilakukan intervensi 3 hari,


pasien tidak menunjukkan
perbaikan yang berarti, pasien
tetap menolak dirawat dan tetap
meminta pulang, pasien pulang
paksa
4 Ny S (62 th) Alasan masuk RS sesak Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, memberat sejak 3 hari TD: 150/80 N: 92X/I P: 18x/i ditemuan:

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


5

Status: Janda sebelum masuk RS, sesak Hb A1C 7,6 profil lipid Intoleransi aktifitas
dengan 1 orang saat beraktifitas edema trigleserida 75 kolesterol 143 kurang pengetahuan tentang
anak, Pekerjaan: anasarka, batuk berdahak, HDL 39 LDL 89, enzim perawatan kaki
IRT, Jaminan : demam, mual, muntah, jntung CK 140 CK MB 25 resiko kerusakan integritas kulit
BPJS, Pendidikan: tidak ada nafsu makan, LDH 550 , perawatan hari ke resiko ketidakefektifan
SMA Dx intake kurang, riwayat DM 15 setelah perawatan di pemeliharaan kesehatan dan
Medis: DM tipe 2, 10 th, riwayat ulkus boarding UGD ketidakpatuhan
CHF, CAD, post diabetes, terdapat halux
acute lung edema, vagus (bunion), claw toes, Kategori bantuan: partially
anemia riwayat amputasi ibu jari compensatory nursing system
kiri, riwayat obesitas, BAB dan BAK ditempat tidur,
riwayat keluarga DM, aktifitas masih dibantu oleh
jarang kontrol, riwayat perawat dan keluarga
dirawat berulang
Intervensi yang dilakukan:
pembelajaran tentang prosese
penyakit dan prosedur pengoban,
peningkatan aktifitas secara
bertahap, discharge planning:
penatalaksanaan DM, peningkatan
pengetahuan perawatan CHF
dirumah.
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
selama 7 hari pasien menunjukkan
perbaikan, edema berkurang,

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


6

peningkatan pengetahuan tentang


penatalaksanaan DM terutama
perawatan kaki. Mampu
beraktifitas secara bertahap,
mampu menghemat energi selama
beraktifitas
5 Tn. A (53 th) Alasan masuk RS badan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: Islam, terasa lemas,kepala pusing Terdapat kalus pada kaki kiri ditemukan:
Status: Menikah muntah-muntah dan dan kanan, kaki kering dan resiko kerusakan integritas kulit
dengan 2 orang pingsan. Riwayat DM 8 mengkilap, ABI kanan/kiri kurang pengetahuan tentang
anak, tahun, riwayat gastritis, 0,90/0,91 perawatan diri
Pendidikan: SMP, riwayat ulkus diabetic,
Pekerjaan: buruh, riwayat pengobatan dengan pemeriksaan laboratorium Hb Intervensi:
jaminan BPJS. glibenklamid dan 10, 3 gr/dl, leukosit 11.000, Intervensi keperawatan: perawatan
Dx Medis: DM metformin, rutin minum HbA1C 8,7 kaki, edukasi tentang
tipe 2, Dispepsia obat, riwayat orang tua penatalasanaan DM, edukasi
dengan DMT2 proses penyakit dan edukasi
prosedur pengobatan

Tingkat ketergantungan: partially


compensatory nursing system

Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
selama 3 hari terdapat peningkatan
pengetahuan tentang perawatan

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


7

kaki, follow up ke poli edukasi


untuk pentalaksanaan DM
6 Tn. HA (51 Alasan masuk RS ulkus Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
th) diabetes pedis dan plantar TD;120/80 mmHg, nadi 90x/I ditemukan:
Agama: Islam, sinistra yang tidak sembuh- suhu 36,70C, RR 21x/I sering Kerusakan integritas jaringan
Pendidikan: SD, sembuh dan semakin merasa pusing, konjungtiva Resiko ketidak stabilan glukosa
Pekerjaan: buruh memburuk, hari ke 10 pucat, kapiler refill > 3 detik, darah
bangunan ojek, perawatan dasar luka masalah keperawatan: resiko Resiko pendarahan
Status: menikah, berwarna merah, terdapat penurunan perfusi jaringan Nyeri akut
Jaminan:BPJS slought diluka bagian Hambatan mobilitas fisik
Dx Medis: Ulkus plantar, kulit kaki kering Hasil laboratorium Hb 10,8
pedis sinistra, DM dan mengkilap, terdapat leukosit 9.400, albumin 2,20 Intervensi:
tipe 2, Anemia, kalus, riwayat DM 5 tahun, Edukasi penatalaksanaan DM,
CHF riwayat menggunakan obat edukasi proses penyakit dan
glukopag namun tidak prosedur pengobatan, perawatan
teratur, hanya minum obat kaki dan perawatan luka.
jika badan terasa tidak
enak , tidak ad'a riwayat Tingkat ketergantungan: partially
keluarga DM. compensatory nursing system

Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
keperawatan selama 12 hari
terdapat perbaikan yang berarti
dari kondisi luka dasar luka
berwarna merah, slouhgt

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


8

berkurang, terlihat epitelisasi dan


rencana skin graft. pengetahuan
pasien secara bertahap meningkat,
follow up ke poliklinik kaki
7 Ny S (52 th) Alasan masuk RS, luka Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: Islam, dikaki tidak sembuh- TD;140/70 mmHg, nadi 90x/I ditemukan:
Pendidikan: SD, sembuh dan menimbulkan suhu 36,70C, RR 21x/I . luka Nyeri akut
Pekerjaan: IRT, nyeri, luka semakin lama pada kaki post debridement Ganguan pemenuhan kebutuhan
Status: menikah, semakin membengkak dan hari ke 10, luas luka 1 m x 10 nutrisi
Jaminan: BPJS jempol kaki berwarna cm, dasar luka berwarna Kerusakan integritas jaringan
Dx Medis:DM Tipe hitam, riwayat DM 8 th merah, slought maximal, Resiko ketidakstabilan glukosa
2 dengan ulkus yang lalu, riwayat jarang nyeri berat skala 9- 10, setiap darah
pedis sinistra Grade kontrol, punya riwayat dressing pasien menangis, Intoleransi aktivitas
4 dengan sering buang air kecil, diet makanan cair. kepala
gangrene digiti 1 sering haus dan selalu pusing jika duduk, kaki yang Intervensi keperawatan :
dan osteomelitis, minum es manis jika haus, luka tidak bisa ditekuk dan manajemen nutrisi, bed rest care,
CAP dd TB Paru, riwayat obesitas hari 25 terasa sakit bila digerakkan, self assistance, positioning,
Anemia perawatan, tidak mau badan terasa lemas, segala perawatanluka, manajemen nyeri
makan, mual, TB 150 cm aktifitas dibantu oleh perawat dengan imageri terpimpin dan
BB : 35 kg, IMT 16 dan keluarga. farmakologi, edukasi proses
penyakit, edukasi prosedur
Pemeriksaan laboratorium: pengobatan, edukasi manajemen
Hb 9,5 leukosit 11.000, DM, hope inspiration
trombosit 763.000, Hb AIC
15,3 albumin 2,30 Tingkat ketergantungan: partially
compensatory nursing system

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


9

Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi:
pasien sudah mulai mau makan dan
konsumsi protein dengan makan
putih telur 6 butir per/hari dan
ekstrak ikan gabus, luka
menunjukkan adanya perbaikan,
dilakukan skin graft, nyeri masih
berat terutama jika dilakukan
dressing dengan skala 6-7, pasien
bisa melakukan tehnik relaksasi.
Peningkatan pengetahuan tentang
pilar DM secara bertahap
8 Tn. S (50 th) Alasan masuk RS badan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: Islam, terasa lemas, gemetar lalu TD 120 / 70 mmHg, Nadi 90 ditemukan:
Pendidikan: SMP, pingsan, ulkus diabetic x/menit, suhu 36,7°C, RR 21 Kerusakan integritas jaringan
Pekerjaan: jualan pedis sinistra, kulit sekitar x/menit Resiko ketidakstabilan glukosa
Status menikah, ulkus teraba hangat, ulkus diabetic pedis sinistra, darah
Jaminan: BPJS bengkak pada kaki yang kulit sekitar ulkus teraba Nyeri akut
Dx Medis terdapat ulkus, infeksi hangat, bengkak pada kaki Hambatan mobilitas fisik
Hipoglikemi, Ulkus fasia, nyeri berat jika yang terdapat ulkus, infeksi
diabetic Pedis dilakukan dressing skala 8- fasia, nyeri berat jika Intervensi keperawatan :
sinistra grade 3 9, dekubitus pada dilakukan dressing skala 8-9, manajemen nutrisi, bed rest care,
punggung dan bokong, luka dekubitus pada punggung dan self assistance, positioning,
lecet sekitar vagina, bokong, luka lecet sekitar perawatan luka, manajemen nyeri
kesulitan melakukan vagina, segala aktifitas dengan imageri terpimpin dan

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


10

pergerakan karena kaki sehari-hari dibantu oleh farmakologi, edukasi proses


sebelah kiri bengkak, keluarga, pemenuhan penyakit, edukasi prosedur
riwayat obesitas, riwayat aktifitas dilakukan ditempat pengobatan, edukasi manajemen
DM 10 th, riwayat tidak tidur DM
rutin minum obat.
Hasil laboratorium: Hb 7,1 Tingkat ketergantungan: partially
gr/dl leukosit 13.800, compensatory nursing system
albumin 2,30, ureum 30
kreatinin 0,4, HbA1C 4,0 Evaluasi:
pemeriksaan pus Setelah dilakukan intervensi
pseudomonas aerogenosa. selama 7 hari belum menunjukkan
perbaikan luka terlihat masih
banyak slought, luka kering, nyeri
masih terasa saat dilakukan
dressing, kaki masih bengkak,
rencana debridement. Peningkatan
secara bertahap tentang
manajemen diabetes.
9 Tn. RC (53 Alasan masuk RS sesak, Pemeriksaan fisik: Kerusakan integritas jaringan
th) badan terasa lemas, nafsu TD 150 / 80 mmHg, Nadi Resiko ketidakstabilan glukosa
Agama; Islam, makan berkurang, sering 93x/menit, suhu 37,i°C, RR 21 darah
Pendidikan: SMA, merasa mual, menu makan x/menit Nyeri akut
Status: menikah, yang di sediakan hanya terdapat ulkus, slought >>>, Hambatan mobilitas fisik
Pekerjaan: PNS, habis setengah porsi, lila jaringan nekrotik +, ulkus
jaminan BPJS. pasien 26 cm (lengan berwarna hitam, terdapat Intervensi keperawatan :
Dx Medis: post kanan dan kiri edema) kalus yang berisi jaringan manajemen nutrisi, bed rest care,

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


11

KAD + ulkus dengan tinggi badan 165 fibrotic, kulit kaki kering dan self assistance, positioning,
diabetes cm, BB terakhir menurut mengkilat, Hasil rontgen kaki perawatan luka, manajemen nyeri
pasien 60 kg, Hb terakhir menunjukkan basil : dengan imageri terpimpin dan
11, 0 gr/dl., tidak bisa osteomilitis falang proximal farmakologi, edukasi proses
tidur, luka tidak sembuh- digiti I, II, dan IV pedis penyakit, edukasi prosedur
sembuh dan menunjukkan sinistra. Osteomilitis falangs pengobatan, edukasi manajemen
perburukan. Riwayat DM distal digiti I, falang media DM
17 Th, riwayat obesitas, II, IV pedis. osteomilitis
riwayat keluarga DM, distal metatarsal digiti pedis Tingkat ketergantungan: the
riwayat penggunaan sinistra. Lesi amputasi digiti partially compensatory nursing
insulin, 3 bulan terakhir V pedis. Pasien mengatakan system
menghentikan pengobatan badan masih terasa lemas,
dan berobat alternative. semua kebutuhan sehari-hari Evaluasi:
dan kebutuhan dasar dibantu Setelah dilakukan intervensi
sepenuhnya oleh keluarga selama 14 hari luka sudah
dan perawat menunjukkan perbaikan dasar luka
berwarna merah, granulasi
Pemeriksaan laboratorium: jaringan (+), epitelisasi (+), segala
HbA I C > 12,8 Hb 8,8 kebutuhan sehari-hari terpenuhi,
leukosit 13.000, albumin 2,60 pasien mulai mobilisasi disekitar
ureum 10 kreatinin 0,3 tempat tidur dengan bantuan,
pasien sudah mulai menerima
kondisinya, pasien memperlihatkan
koping yang adaptif.
10 Tn. ST (51 th) Alasan masuk RS luka Pemeriksaan fisik: Kerusakan integritas jaringan
agama: kristen, yang tidak sembuh-sembuh RO pedis: osteomelitis pada Resiko ketidakstabilan glukosa

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


12

status: menikah, dan semakin lama- semakin digiti 3,4,5 dattos calcaneus darah
pendidikan: Sarjana memburuk, luka dibalut Nyeri akut
pekerjaan guru. elastic verband, kaki Pemeriksaan laboratorium: Hambatan mobilitas fisik
Dx Medis: ulkus bengkak, post debridement HBAIC 12,5 gr%, Hb 10,4
diabetes grade hari ke 2. Riwayat DM 8 gr/dl leukosit 13.800. Intervensi keperawatan :
,DMT2 tahun, riwayat tidak rutin albumin 2,70, ureum/ kreatini manajemen nutrisi, bed rest care,
berobat, sering 23/ 0,8 self assistance, positioning,
menggunakan obat-obat perawatan luka, manajemen nyeri
alternative. Tidak ada dengan SEFT dan farmakologi,
riwayat keluarga dengan edukasi proses penyakit, edukasi
DM. prosedur pengobatan, edukasi
manajemen DM

Tingkat ketergantungan: the wholly


compensatory nursing system
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
selama 10 hari. Pasien mulai
menunjukan koping yang efektif,
mau mendengarkan pendapat
petugas kesehatan terkait penyakit,
mulai membuka diri walaupun
belum bisa menerima amputasi.
Luka tidak menunjukkan
perbaikan.

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


13

11 Tn PJ (62th) Alasan masuk RS tidak Pemeriksaan fisik: Masala


Agama: islam, penurunan kesadaran sejak (TD 140 / 80 mmHg, Nadi 97 h keperawatan yang ditemukan:
Status:Menikah: jam 14.00 sebelum dibawa x/menit, suhu 36,7°C, RR 20 Kerusakan integritas kulit
Pekerjaan: tidak ke RS, pasien diketahui x/menit). Kurang pengetahuan tentang
bekerja, menderita DM 2 bulan Pemeriksaan pada kaki: kaki regimen pengobatan
Pendidikan: SMP yang lalu, dan membengkak dan memerah Hambatan mobilitas fisik
Dx Medis: DM menggunakan obat DM didaerah betis sampai
Tipe 2 + glibenklamid 2 x 1, dorsalis pedis, kulit bersisik Intervensi keperawatan: foot care
Hypoglikemi metformin 500 gr 2 x 1, dan kering, gatal-gatal pada management, edukasi perawatan
berulang rutin minum obat namun kulit kaki sejak 2 bulan. kaki, edukasi manajemen diabetes.
tidak beraturan, pasien
minum glibenklamit Tingkat ketergantungan: partially
bersamaan dengan minum Pemeriksaan laboratorium: compensatory nursing system
metformin, sering merasa Hb 10,3 Ht: 34 Trombosit:
gemetaran dan pusing 652 ribu, ureum/kreatinin Evaluasi:
namun dianggap hanya 28/0,9 GDS 19, saat Setelah dilakukan intervensi
masuk angin. Kaki dilakukan pengkajian GDS selama 7 hari bengkak dan
membengkak dan memerah 140. Hasil Ro thorax: cor kemerahan pada kaki berkurang,
didaerah betis sampai ke terlihat cardiomegali, pulmo : kulit mulai memperlihatkan
dorsalis pedis, kulit infiltrate perihiler bilateral perbaikan, pasien mulai memahami
bersisik dan kering, gatal- dan efusi pleura kiri perawatan kaki, mengetahui
gatal sejak 2 bulan yang manajemen penggunaan obat DM,
lalu dan diberi minyak mengetahui komplikasi akut DM
tawon untuk dan cara mengatasinya.
menghilangkan gatal-gatal,
namun kulit semakin

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


14

menebal.
12 Ny A (60 th) Alasan masuk RS karena Pemeriksaan fisik Masalah keperawatan yang
Agama: islam, luka dikaki tidak sembuh TD: 165/90 N:89x/I P: 20x/I ditemukan:
Status: menikah, sembuh sudah tiga bulan, suhu 36,90C Kerusakan integritas kulit
Pekerjaan: IRT, dirumah luka dirawat oleh terdapat luka pada dorsalis Nyeri akut
Pendidikan: SD bidan dan anak pasien, pedis sinistra uluran 2x2cm, Ketidakstabilan glukosa darah
Dx Medis: ulkus namun luka makin meluas dasar luka merah, luka pada Perluasan infeksi
Diabetes Pedis kedaerah plantar dan plantar sinistra ukuran 3x3 Kurang pengetahuan tentang
sinistra Digiti 3 dan membengkak, pasien cm, dasar luka kuning, regimen pengobatan
V, DMT2 memiliki riwayat hipertensi exudat ada, daerah sekitar Hambatan mobilitas fisik
normoweight, namun tidak terkontrol luka tampak pucat, kulit kaki
hipertensi tak pasien tidak mengkonsumsi kering dan mengkilap, kuku Intervensi keperawatan: wound
terkontrol. obat anti hipertensi, terdapat pengerasan pada care, pain management, role
tekanan darah tidak stabil. kuku kaki. nyeri saat ganti enhancement, family support
Pasien didiagnosa DM balutan, skala nyeri 6.
sejak 3 tahun yang lalu Pasien mengatakan merasa Tingkat ketergantungan: partially
namun tidak teratur minum sedih karna dirawat d RS compensatory nursing system
obat. Riwayat keluarga DM karena mengkhawatirkan
(-). Tidak ada riwayat kondisi anaknya yang Evaluasi:
obesitas. sedangi sakit dirumah, pasien Setelah dilakukan intervensi
adalah ibu dengan 3 orang keperawatan selama 9 hari
anak dan suami pasien sudah didapatkan tanda-tanda perbaikan
meninggal. Pasien tampak pada luka, dasar luka pada plantar
murung bila menceritakan merah, terdapat granulasi jaringan
kondisi anaknya yang juga walaupun belum terlihat
lagi sakit. pasien tidak dapat epitelisasi, nyeri berkurang dengan

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


15

melakukan fungsi perannya modern dressing, dalam perubahan


sebagai orang tua dalam fungsi peran pasien mendapat
merawat anaknya. support dari keluarga terutama dari
anak-anaknya. Pasien banyak
Pemeriksaan laboratorium: dikunjungi tetangga dan grup
Hasill lab: Hb 8;6 gr/dl, Ht pengajian. pada hari ke 9 pasien
23, leuosit 12.000, eritrosit diperbolehkan pulang dan rawat
3,6 juta, trombosit 657 ribu. jalan untuk penyembuhan luka.
Ureum kreatinin 45/0,8,
albumin 3,4 RO thorax : Cor
— cardiomegali, CTR >
60%, pulmo: terdapat
gambaran infiltrate pada paru
kiri. RO pedis: gambaran
osteomilitis pada digiti III,
dan IV
13 Tn. YA (59th) Pasien masuk RS dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, keluhan demam sejak 4 TD: 120/80 N:89x/I P: 18x/i ditemukan:
status: menikah, hari sebelum masuk RS, suhu 36,60C , pasien mual, Gangguan pemenuhan nutrisi
tidak bekerja, demam semakin meningkat tidak ada nafsu makan, kurang dari kebutuhan tubuh.
Jaminan: BPJS, disertai dengan mual makanan yang disajikan Kerusakan integritas kulit
pendidikan: SMA namun tidak muntah, tidak hanya habis ½ porsi, Hb 7,5 Nyeri akut
Dx Medis: ulkus ada nafsu makan, terdapat gr/dl, albumin 2,0 TB: 165 Ketidakstabilan glukosa darah
diabetes digiti IV luka dikaki kanan yang cm BB 50 kg, 1MT 18,5 Risiko perluasan infeksi
palang dextra, semakin memburuk dan (dalam batas normal). GDS Kurang pengetahuan tentang
KAD, akut kidney menimbulkan bau, riwayat masuk 527. terdapat luka regimen pengobatan

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


16

injuri (AKI) DM 20 tahun yll, tidak yang semakin meluas dari Hambatan mobilitas fisik
terkontrol, tidak minum dorsalis pedis sampai 2/3
obat DM, riwayat keluhan femur, dasar luka pada Intervensi keperawatan: wound
polidipsi, polipagi dan daerah dorsalis pedis kuning, care, pain management, role
polidipsi, riwayat coklat, dan merah dibeberapa enhamcement, family support,
penurunan BB. GDS masuk bagian, exudat >>>, pada counseling
527 gr/dl, daerah fibula (betis) dasar
luka berwarna merah Tingkat ketergantungan: the wholly
sebagian, kuning sebagian, compensatory nursing system
daerah femur: kuning
sebagian dan merah sebagian. Evaluasi:
Hasil kultur: gram batang Setelah dilakukan intervensi
negative, leukosit 24 ribu, selama satu bulan luka sudah mulai
pasien sering demam menunjukkan tanda-tanda
terutama setelah dilakukan perbaikan namun ketika dilakukan
dressing nyeri tak STSG mengalami kegagalan
tertahankan pada luka dibeberapa bagian yaitu pada
terutama saat dilakukan bagian dorsalis pedis terjadi
dressing, skala nyeri 9, rembesan pada daerah 1/3 femur.
pasien berteriak kesakitan Luka jahitan tidak menyatu.
saat dilakukan dressing, Namun ada beberapa daerah
wajah terlihat meringis mengalami perbaikan, gula darah
masih berfluktuasi, hasil
Pemeriksaan laboratorium: laboratorium menunjukkan
HbA1C 10,2%: Hb 7,5 Ht 23, perbaikan kondisi. Namun dalam
leukosit 16 ribu, trombosit hal pembelajaran pasien selalu

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


17

450, albumin 2,7 ureum 146 menolak untuk belajar tentang


kreatinin 2,7. manajemen DM untuk itu
Hasil kultur: ditemukan. ram praktikan melibatkan istri pasien
negatif batang yang selalumemberikan dukungan
RO thorax: cor da pulmo pada suaminya. Pasien
dalam batas normal. diperbolehkan pulang dan rawat
RO pedis: gambaran jalan untuk perawatan luka
osteomelitis pada digiti III
dan IV
14 Ny. R (50 th) Pasien masuk Rumah Sakit Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: Islam, dengan keluhan luka pada terdapat ulkus regio digiti V ditemukan:
Status: menikah, kaki yang tidak sembuh- dan plantar pedis sinistra, Gangguan pemenuhan nutrisi
Pekerjaan: IRT, sembuh, luka disebabkan luka berwarna hitam, kuning kurang dari kebutuhan tubuh.
Jaminan; BPJS karena sandal kekecilan, dan merah dibeberapa Kerusakan integritas kulit
Pendidikan: SMA. pasien tidak tahu bagian. Eksudat », kulit Nyeri akut
Dx Medis:Ulkus mempunyai penyakit DM, sekitar luka tampak Ketidakstabilan glukosa darah
diabetic pedis dan baru 2 mggu yang lalu kemerahan,ABI kiri 1,07. Risiko perluasan infeksi
sinistra, didiagnosa DM karena luka ABI kanan 0,8. Kaki Kurang pengetahuan tentang
hiperglikemi, yang tidak sembuh- mengkilap dan regimen pengobatan
hipertensi grade 2 sembuh. Riwayat hipertensi kering.emeriksaan Hambatan mobilitas fisik
terkontrol. GDS masuk RS laboratorium:
560 gr/dl. HbAIC: 10,2%. Hb: 10,1 Intervensi keperawatan: wound
mg/dl, Ht: 21, leukosit: 13 care, Health education, teaching:
ribu, trombosit: 380 ribu, disease process, teaching foot care
Albumin: 2,90
Tingkat ketergantungan: the

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


18

partially compensatory nursing


system

Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
selama 10 hari didapatkan
perbaikan pada luka, luka
dilakukan debridement di OK,
dasar luka berwarna merah
sebagian dan berwarna kuning.
Perbaikan dalam pengetahuan
tentang manajemen DM.
15 Tn AD (58 th) Pasien masuk RS dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
agama: Islam, keluhan sesak sejak I mggu TD 120/80 mmHg, frekuensi ditemukan:
Status: menikah, sebelum masuk RS, sesak nafas 24x/menit, HR: Gangguan pemenuhan nutrisi
Pekerjaan: Swasta, semakin memberat 92x/mnt, JVP: 5+2cmH2O kurang dari kebutuhan tubuh.
Jaminan: BPJS terutama waktu tidur, ulkus diabetik plantar Kerusakan integritas kulit
Pendidikan: SMA edema pada tungkai bawah, sinistra, ukuran luka Nyeri akut
Dx medis: DM tipe saat dikaji sesak sudah 2x3x2cm, warna luka kuning, Ketidakstabilan glukosa darah
2, ulkus diabetic tidak dirasakan lagi, merah dibeberapa bagian, Risiko perluasan infeksi
pedis sinistra, CHF riwayat DM 10 th yang eksudat: minimal, kulit Kurang pengetahuan tentang
grade IV ec lalu, obat yang diminum sekitar luka pucat. Riwayat regimen pengobatan
cardiomiopati dd metformin 2 x 1, riwayat amputasi jempol dan Hambatan mobilitas fisik
HHD dd Cor amputasi jempol kaki kelingking.
pulmonal, TB paru 2'tahun yang lalu, kemudia Intervensi: Intervensi yang
infeksi skunder, kelingking kaki 6 bulan dilakukan hemodinamis regulation,

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


19

Hipertensi yang lalu, 2 minggu Pemeriksaan penunjang: wound care, foot care
terkontrol sebelum masuk RS timbul Hasil lab: HbAIC: 9,4. Profil
luka ditelapak kaki kiri dan lipid Trigliserida: 168, HDL Tingkat ketergantungan: the
dirawat dirumah dengan 64, LDL 77, Hb 10,1, Ht 32, partially compensatory nursing
anaknya. Leukosit: 12,2 Trombosit system
535, ureum 51 kreatinin 1,4
Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
selama 3 hari pasien memperlihat
tanda-tanda hemodinamik yang
stabil, kondisi luka dan kontrol
glikemik belum mengalami
perbaikan yang berarti
16 Ny. SB (51Th), Pasien masuk RS dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: Islam, keluhan luka diplantar TD 140/80 mmHg, frekuensi ditemukan:
Status: Menikah, sejak 3 minggu SMRS, nafas 18x/menit, HR: Kerusakan integritas kulit
Pekerjaan: IRT, luka disebabkan karena 92x/mnt, suhu 36,7 0C Nyeri akut
Jaminan: umum kecelakaan motor, riwayat Ketidakstabilan glukosa darah
Dx Medis: ulkus DM 5 tahun yang lalu, Pemeriksaan penunjang: Kurang pengetahuan tentang
diabetes + DMT2, riwayat tidak rutin minum Hasil Lab: GDS 470 gr/dl, regimen pengobatan
anemia obat, riwayat penurunan Hb 9,3 Ht 29, leukosit 12,4 Hambatan mobilitas fisik
BB, riwayat melahirkan ribu, trombosit 342, eritrosit
anak dengan BB > 4 kg, 3,32 juta. Protein total: 5,80 Intervensi: Intervensi yang
riwayat DM dalam albumin 3,20 RO pedis dilakukan hemodinamis regulation,
keluarga tidak ada. dextra tidak terdapat fraktur, wound care, foot care
fasiatiis plantar.

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


20

Tingkat ketergantungan: the


partially compensatory nursing
system

Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi 10
hari, luka sudah mulai terlihat
mengalami perbaikan, slough
minimal, warna luka mulai
kemerahan walaupun masih ada
jaringan nekrotik, kecemasan
teratasi dan peningkatan
pengetahuan tentang manajemen
DM
17 Tn. K (48 Th) Pasien masuk dengan Pemeriksaan fisik Masalah keperawatan yang
Agama: islam, keluhan sesak nafas, TD 130/80 mmHg, frekuensi ditemukan:
Status: Menikah, terutama jika tidur nafas 28x/menit, HR: Kelebihan volume cairan
pekerjaan: tukang terlentang, kaki dan tangan 92x/mnt. Gangguan pertukaran gas
jahit, bengkak, perut ascites, luka sesak nafas (+), RR Kerusakan integritas kulit
jaminan: BPJS di lateral dextra, riwayat 28x/menit, irama regular, Nyeri akut
pendidikan: SMA DM 13 tahun yang lalu, suara nafas: ronchi basah, Ketidakstabilan glukosa darah
Dx medis: DMT2 kontrol teratur, minum obat penggunaan otot bantu Kurang pengetahuan tentang
dengan ulkus teratur namun tidak pernafasan, konjungtiva regimen pengobatan
diabetic, CKD mengikuti diet sesuai anemis, edema pada Hambatan mobilitas fisik
stage IV, CAP dd program. Tidak ada nafsu anasarka, kapiler refill > 3
TB paru dengan makan, mual, muntah (-) detik.

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


21

efusi pleura Intervensi keperawatan:


Pemeriksaan penunjang: manajemen oksigenasi, manajemen
Hasil lab: Hb,8,2 mg%, Ht nutrisi, manajemen cairan dan
24, trombosit: 658, eritrosit elektrolit, manajemen asam basa,
2,88 juta, leukosit 10,6 ribu. wound care, coping enhancement,
Ureum/kreatinin 116/3,0, family support
creatinin clearance 20,2,
albumin 2,20. RO Thorax: Tingkat ketergantungan: the
cor CTR < 50% Pulmo: efusi partially compensatory nursing
pleura kanan. USG ginjal: system
kronik renal disease derajat
1-11 Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi
selama 3 minggu pasien melihat
perbaikan, edema berkurang, asites
(+), intake dan out put balance,
koping adaptif, dukungan keluarga
(istri) sangat maksimal. Pasien
diperbolehkan pulang dan kontrol
perawatan luka
18 Ny. KB (51Th), Pasien masuk RS dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, keluhan luka dikaki sejak 2 TD 130/80 mmHg, frekuensi ditemukan:
Status: menikah, mingu SMRS, mual, nafas 24x/menit, HR: Kerusakan integritas kulit
Pekerjaan: penjual rnuntah, demam dan badan 92x/mnt. Nyeri akut
nasi uduk, meriang, riwayat DM 9 terdapat luka pada plantar Ketidakstabilan glukosa darah
Jaminan: BPJS, tahun yang lalu, tidak sinistra, luka berbau, Kurang pengetahuan tentang

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


22

Pendidikan: SMP teratur minum obat. eksudat>>>, warna luka regimen pengobatan
Dx medis: ulkus HbA1C: 12%, GDS 489 kuning, kemerahan pada kulit Hambatan mobilitas fisik
diabetic dengan gr/dl, Hb: 9,2 gr%, Ht sekitar luka, terdapat kalus,
osteomilitis 30%, leukosit: 15 ribu, kulit kering dan mengkilap lntervensi yang dilakukan: wound
phalang proximal trombosit 748 ribu, RO Pemeriksaa penunjang; care, foot care, edukasi 5 pilar
digiti 3, KAD Thorax: cord an pulmo HbA1C: 12%, GDS 489 manajemen DM
dalam batas normal RO gr/dl, Hb: 9,2 gr%, Ht 30%,
pedis: gambaran leukosit: 15 ribu, trombosit Tingkat ketergantungan: the wholly
osteomelitis pada phalang 748 ribu, RO Thorax: cord an compensatory nursing system
proximal digiti II pulmo dalam batas normal Evaluasi:
RO pedis: gambaran
osteomelitis pada phalang Setelah dilakukan intervensi
proximal digiti II selama 8 hari, luka mulai
menunjukkan perbaikan, gula
darah terkontrol, peningkatan
pengetahuan tentang manajemen
DM
19 Tn. B (43 th) Alasan masuk RS pasien Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, masuk IGD dengan keluhan TD;130/70 S: 38 0C ditemukan:
Status: menikah, mual, muntah, badan terasa RR:24x/I HR: 98 Kelebihan volume cairan
pekerjaan: 1RT, lemas, terdapat ulkus pada ulkus pada daerah pedis Gangguan pertukaran gas
jaminan: umum daerah pedis dextra, kulit dextra grade 2 , kulit sekitar Kerusakan integritas kulit
pendidikan SMP sekitar luka teraba hangat, luka teraba hangat dan edema Nyeri akut
Dx Medis: KAD + daerah sekitar luka dan berbau Ketidakstabilan glukosa darah
ulkus diabetic + membengkak, edema tidak Kurang pengetahuan tentang
CKD ada, luka berbau, badan Pemeriksaan penunjang: regimen pengobatan

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


23

terasa meriang, demam leucosit 17.000 trombosit 510 Hambatan mobilitas fisik
suhu 38°C, riwayat DM 5 ribu
tahun, riwayat obesitas, mual, muntah, edema Intervensi keperawatan:
riwayat menggunakan anasarka, natrium 134, manajemen cairan dan elektrolit,
insulin, riwayat tidak kalium 3,13 dan klorida 80, penatalaksanaan KAD, perawatan
kontrol, 3 bulan terakhir GDS 552. luka dan irigasi luka, pemantauan
tidak menggunakan insulin hemodinamik.
atau obat diabetes sama
sekali karena ketiadaan Tingkat ketergantungan: the wholly
biaya. HbA I C 12,2, compensatory nursing system
albumin 2, GDS masuk
552, natrium 134, kalium Evaluasi:
3,13, klorida 80 Setelah dilakukan tindakan 1 x 24
jam pasien tidak memperlihatkan
tanda-tanda kekurangan volume
cairan hasil eletrolit menunjukkan
perbaikan, suhu tubuh stabil
20 Tn. LB (53 th) Alasan masuk IGD kejang Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: Islam, sehari sebelum masuk RS, Penurunan kesadaran, ditemukan:
Status: menikah, tidak sadarkan diri, diare TD;170/100 S: 38 0C Defisit volume cairan
Pendidikan: SMP, selama 3 hari, riwayat RR:28x/I HR: 112x/i Gangguan pertukaran gas
Pekerjaaan: IRT. hipertensi 10 tahun tidak penggunaan otot bantu Kerusakan integritas kulit
Dx Medis: KAD + terkontrol dan tidak pernafasan, ronchi basah Nyeri akut
DM tipe 2, Akut on mengkonsumsi obat anti kasar, HR: 92x mnt. CTR Ketidakstabilan glukosa darah
CKD, GE akut, hipertensi, baru diketahui 70%. turgor kulit menurun, Kurang pengetahuan tentang
Hipertensi, CAP dd DM dengan gula darah membrane mukosa mulut regimen pengobatan

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


24

TB paru infiltrate. 423, ada riwayat luka tidak kering, Hambatan mobilitas fisik
sembuh-sembuh, ada
riwayat obesitas, turgor Pemeriksaan penunjang: Intervensi keperawatan:
kulit menurun, kesadaran Pemeriksaan labor; PH 7,20 manajemen cairan dan elektrolit,
koma, hasil lab: Hb 11,9 PCO2 12,7 HCO3 5,4, BE - penatalaksanaan KAD, perawatan
leukosit 31.200 trombosit: 18,7, nafas cepat dan dangkal luka dan irigasi luka, pemantauan
110.000, ureum kreatinin RR: 30 x/mnt, Na 131, hemodinamik.
233/6,1 analisa gas darah: kalium 3,59, klorida 85,
PH: 7,20, PCO2 12,7, PO2 keton darah 1,30 Tingkat ketergantungan: the wholly
162,3, HCO3 5,4 BE -18,7 compensatory nursing system
elektrolit Na 131, kalium
3,59, Klorida 85, keton Evaluasi:
darah 1,30, RO Thorax Cor Setelah dilakukan tindakan
menunjukkan cardiomegali, keperawatan selama 1 x24 jam
CTR 70%, pulmo: corakan kesadaran coma, hasil AGD dan
broncovaskuler kasar di elektrolit menunjukkan perbaikan,
kedua paru. gula darah masih berfluktuasi,
rencana brain scan untuk diagnosa
stroke karena riwayat hipertensi
dan kejang.
21 Ny. M (52 th) Pasien masuk IGD dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, penurunan kesadaran, Penurunan kesadaran, TD ditemukan:
Status: menikah, muntah, terdapat ulkus tidak terukur, nadi lemah dan Defisit volume cairan
Pendidikan: SD, pedis sinistra, pasang NGT kecil. Gangguan pertukaran gas
Pekerjaan: IRT, dialirkan (produksi penurunan kesadaran, nadi Kerusakan integritas kulit
Jaminan: BPJS berwarna kecoklatan) cepat dan lemah HR Nyeri akut

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


25

Dx Medis: ulkus konsistensi encer. Riwayat 137x/mnt, nafas cepat dan Ketidakstabilan glukosa darah
diabetes grade 3, DM 10 tahun, riwayat dangkal. akrall dingin Kurang pengetahuan tentang
acute on CKD, DM menggunakan obat DM terpasang Vaskon TD 100/60, regimen pengobatan
Tipe 2 oral, pernah dirawat BAB berwarna hitam RR: Hambatan mobilitas fisik
sebelumnya dengan ulkus 35x/mnt PH: 7,20, PCO2
pedis sinistra. 12,7, PO2 162,3, HCO3 5,4 Intervensi keperawatan, airway
BE -18,7, Muntah ±500 cc management, oksigen therapy
manajemen asam basa, manajemen
Pemeriksaan penunjang: cairan dan elektrolit, manajemen
Hasil lab Hb 11,2 leukosit KAD
12.300 ureum/kreatinin
169/5,2 GDS 341, elektrolit Tingkat ketergantungan: the wholly
Na 132 kalium 4,29 klorida compensatory nursing system
97, AGD PH 7,247 PCO2
15,1 HCO3 6,4 BE - 18,0 Evaluasi: .
Setelah dilakukan intervensi
selama 1 x 24 jam belum
menunjukkan perbaikani yang
berarti kesadaran masih menurun,
nilai AGD dan elektrolit tidak
banyak mengalami perubahan
22 Tn RD (58 th) Masuk IGD karena Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, hipoglikemi, dengan GDS ulkus plantar dan pedis ditemukan:
Status: menikah, masuk 48, ulkus diabetic dexra, ukuran 15 x 10 x 2 Kurang pengetahuan tentang
pekerjaan: buruh, pedis dan plantar dextra, cm, luka berwarna hitam regimen pengobatan
pendidikan: SMA, riwayat DM 1 tahun, rutin Pemeriksaan penunjang: Ketidakstabilan kadar glukosa

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


26

jaminan: Umum minum obat, 2 hari Laboratorium Hb 11,6 darah


Dx Medis: Ulkus sebelum masuk RS, pasien leukosit 15.000. RO pedis
Diabetik + DM tidak ada nafsu makan, tidakada gambaran Intervensi keperawatan: manjemen
Tipe 2 + makan hanya 2 - sendok, osteomilitis hipoglikemi, perawatan luka,
Hypoglikemi tetap minum OHO edukasi tentang kesehatan, edukasi
walaupun tidak mau makan manajemen hipoglikemi, edukasi
. proses penyakit.

Tingkat ketergantungan: the wholly


compensatory nursing system

Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi 1 x 24
jam, keadaan umum membaik GDS
167, TD 110/60 Nadi 82x/mnt,
pasien memahami komplikasi akut
DM, ulkus direncanakn
debridement, pasien pindah ruang
rawat inap
23 Tn MS (63 th) Masuk IGD dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam, keluhan mual, muntah, Penurunan kesadaran, TD ditemukan:
status: menikah, penurunan kesadaran GDS 100/80, HR 89 x/mnt, RR 32 Defisit volume cairan
Pekerjaan: 531. luka berwarna hitam, x/mnt, terdapat luka didaerah Gangguan pertukaran gas
pensiunan PNS, kulit sekitar luka berwarna pedis sinistra Kerusakan integritas kulit
pendidikan sarjana, merah dan membengkak. Nyeri akut
jaminan BPJS Riwayat DM 10 th. Hasil Pemeriksaan penunjang: Ketidakstabilan glukosa darah

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


27

Dx medis: post lab Hb 12,6 leukosit Hasil lab Hb 12,6 leukosit Kurang pengetahuan tentang
KAD + selulitis 25.100, elektrolit Na 138 25.100, elektrolit Na 138 regimen pengobatan
pedis+ DM tipe 2 Kalium 3,66, klorida 91. Kalium 3,66, klorida 91. Hambatan mobilitas fisik
AGD PH 6,90 PCO2 17,5 AGD PH 6,90 PCO2 17,5
P02 129,1 HCO3 3,2 BE P02 129,1 HCO3 3,2 BE 28,4 Intervensi keperawatan: airway
28,4 management, oksigen therapy,
manajemen asam basa, manajemen
cairan dan elektrolit. Manajemen
KAD, perawatan luka.

Tingkat ketergantungan: the wholly


compensatory nursing system

Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi 1 x 24
jam, belum ada perubahan yang
berarti, kesadaran apatis, basil
AGD dan elektrolit belum
menunjukkan perubahan berarti,
pasien dirawat di ruang resusitasi
dan rencana pindah ICU.
24 Ny F (50 th) Masuk IGD dengan mual, Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam muntah, badan terasa Kesadaran Compos mentis, muncul:
Status: menikah, lemas, nyeri ulu hati, luka GDS 648. Defisit volume cairan
Pekerjaan :IRT; tidak sembuh-sembuh. Gangguan pertukaran gas
Jaminan: BPJS Kesadaran compos mentis, Pemeriksaan penunjang: Kerusakan integritas kulit

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


28

Dx Medis : Ulkus GDS masuk 648. Riwayat Hasil lab: Hb 9,4 leukosit Nyeri akut
diabetic CAP, DM 2 tahun, riwayat 23.900 trombosit 553, Ketidakstabilan glukosa darah
Ketoasidosis melahirkan anak > 4000 ureum/kreatinin 81/1,6 Kurang pengetahuan tentang
diabetikum, AKI, gram 20 tahun yang lalu. elektrolit natrium 121, regimen pengobatan
hiponatremi, Riwayat ulkus 1 tahun kalium 4,10, klorida 100, Hambatan mobilitas fisik
anemia dyspepsia yang lalu. keton darah 1,00. AGD PH
7,443 PCO2 26,6 P02 151,6 Intervensi keperawatan: airway
HCO3 17,5 BE -4,8 management, oksigen therapy,
manajemen asam basa, manajemen
cairan dan elektrolit. Manajemen
KAD, perawatan luka.

Tingkat ketergantungan: the wholly


compensatory nursing system

Evaluasi:
Setelah dilakukan intervensi 1x24
jam pasien menunjukkan tanda-
tanda perbaikan. Hasil AGD dan
eletrolit menunjukkan perbaikan.
Pasien rencana pindah ke ruang
rawat inap.

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


29

25 25 Ny KS (53 th) Masuk IGD dengan Pemeriksaan fisik: Masalah keperawatan yang
Agama: islam keluhan sesak, sesak tidak kesadaran koma, nafas cepat ditemukan:
Status: menikah berkurang walaupun dan dangkal RR 35 x/mnt, Ganggguan perfusi jaringan
Pekerjaan: IRT dengan istitahat, edema akral dingin, nadi tidak ketidakseimbangan cairan dan
Pendiidkan: SD, pada kedua tungkai teraba, TD 70/palpasi. capiler elektrolit, kekurangan volume
jaminan: BPJS refill < 3 detik, akral dingin cairan.
Dx Medis: DM
Tipe 2, CHF Pemeriksaan penunjang: Intervensi keperawatan:
setelah dirawat di IGD 1 hari. manajemen cairan dan elektrolit,
hasil lab: Hb: 7,4 gr/dl, manajemen asam basa, air way
leukosit: 11.000, AGD PH: management, Oksigen therapy.
7,12 PCO2 12,3 P02 129,2
HCO3 9,4 BE -16 Elektrolit : Tingkat ketergantungan: the wholly
Natrium 129 kalium 3,0 compensatory nursing system
klorida 80.
Evaluasi:
Setelah 1x 24 jam, dilakukan
tindakan tidak ada perubahan yang
berarti, kondisi semakin
memburuk, selanjutnya dilakukan
tindakan keperawatan pada pasien
terminal

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Lampiran 3

SURAT PERMOHONAN UNTUK BERPARTISIPASI MENJADI


RESPONDEN PELAKSANAAN EBN UNTUK KELOMPOK PERLAKUAN

Judul Proposal EBN : Pengaruh Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan


Breathing Exercise pada pasien DM tipe 2 di RSCM Jakarta
Peneliti : Widia Wati
NPM : 1206195810
Alamat : Jl. H. Sinda no 13 RT/RW 10/04 Beji Depok

Saya Mahasiswa Program Pascasarjana Keperawatan Medikal Bedah Universitas


Indonesia, akan melaksanakan EBN yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
terapi PMR dan latihan pernafasan terhadap kontrol glikemik pada pasien diabetes
melitus tipe 2.
Bapak/ Ibu yang berpartisipasi akan dijelaskan terlebih dahulu tentang terapi PMR
dan Latihan nafas. Terapi ini akan dilaksanakan dua kali dalam sehari yaitu jam 06.00
wib dan jam 16.00 selama 2 minggu, dengan durasi 25 menit. Selama dua minggu
Bapak/ Ibu tetap menjalankan terapi yang diprogramkan oleh dokter, ahli gizi dan
perawat (diet, olahraga, insulin/ OHO). Sebelum pelaksanaan intervensi Bapak/ Ibu
akan dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah dan mengisi kuesioner skala stress,
Bapak/ Ibu akan dijelaskan tentang PMR dan dilatih cara melakukan terapi PMR dan
latihan nafas serta Bapak/ ibu sampai bisa melakukan dengan benar. Untuk panduan
dirumah akan diberikan video terapi PMR dan Latihan Nafas. Pada hari berikutnya
(pre intervensi) Bapak/Ibu akan melakukan pemeriksaan gula darah puasa jam 06.00
wib dan jam 16.00 wib. Pada hari berikutnya (hari intervensi 1) Bapak/ Ibu akan
memulai terapi PMR dan latihan nafas dua kali sehari dengan durasi 25 menit, akan
dilaksanakan selama 2 minggu (empat belas hari). Evaluasi dilakukan dengan
pemeriksaan kadar glukosa darah jam 06.00 Wib dan jam 16.00 Wib pada hari

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


kelima, kesepuluh, dan kelima belas. Pada hari kelima belas dilakukan kembali
pengisian kuesioner skala stress.

Peneliti menjamin bahwa pelaksanaan EBN ini tidak akan berdampak negatif bagi
Bapak/Ibu. Apabila selama berpartisipasi dalam pelaksanaan terapi ini Bapak/Ibu
mengalami ketidaknyamanan, maka Bapak/Ibu mempunyai hak untuk berhenti atau
keluar dari pelaksanaan terapi ini. Keputusan Bapak/Ibu untuk ikut dalam
pelaksanaan EBN ini tidak akan berpengaruh pada pelayanan Bapak/Ibu di RSCM
Jakarta.
Peneliti akan menjaga kerahasiaan data Bapak/Ibu dalam pelaksanaan EBN ini.
Apabila hasil pelaksanaan EBN ini dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi yang
berkaitan dengan Bapak/Ibu akan di tampilkan dalam publikasi tersebut.

Keterlibatan bapak/Ibu dalam pelaksanaan EBN ini akan memberikan keuntungan


langsung pada Bapak/Ibu yaitu mendapatkan pengalaman dalam pengontrolan kadar
glukosa darah, sekaligus pelaksanaan EBN ini bisa menjadi intervensi alternatif bagi
perawat dalam meningkatan asuhan keperawatan pada pasien DM.

Apabila setelah terlibat dalam pelaksanaan EBN ini Bapak/Ibu masih memiliki
pertanyaan, dapat menghubungi saya di nomor telpon 085274448787.

Demikianlah penjelasan ini dibuat, atas kerjasama dan partisipasi Bapak/Ibu kami
ucapkan terimakasih.

Jakarta, April 2015

Peneliti

(Widia Wati)

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Lampiran 4

SURAT PERMOHONAN UNTUK BERPARTISIPASI MENJADI


RESPONDEN PELAKSANAAN EBN UNTUK KELOMPOK KONTROL

Judul Proposal EBN : Pengaruh Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan


Breathing Exercise pada pasien DM tipe 2 di RSCM Jakarta
Peneliti : Widia Wati
NPM : 1206195810
Alamat : Jl. H. Sinda no 13 RT/RW 10/04 Beji Depok

Saya Mahasiswa Program Pascasarjana Keperawatan Medikal Bedah Universitas


Indonesia, akan melaksanakan EBN yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
terapi PMR dan latihan nafas terhadap kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus
tipe 2.
Dengan ini mengajukan permohonan kepada Bapak/ Ibu yang berpartisipasi sebagai
kelompok kontrol. Bapak/Ibu tetap akan melaksanakan terapi yang telah diberikan
dan dijelaskan oleh dokter, ahli gizi dan perawat (diet, olahraga dan terapi
insulin/OHO). Kadar glukosa Bapak/Ibu diperiksa pada hari berikutnya pada jam
06.00wib dan jam 16.00wib (hari 0, hari 5, hari 10 dan hari 15), pada hari 0 dan 15
bapak/ibu akan melakukan pengisian kuesioner skala stress. pada hari ke 15
Bapak/Ibu akan diajarkan tehnik relaksasi PMR dan latihan Nafas serta diberikan
video tehnik relaksasi PMR dan latihan nafas agar dapat dimanfaatkan dalam
kehidupan sehari-hari.

Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam pelaksanaan EBN ini bersifat sukarela dan tanpa
paksaan. Peneliti akan menjaga kerahasiaan data Bapak/Ibu dalam pelaksanaan EBN
ini. Apabila hasil pelaksanaan EBN ini dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi
yang berkaitan dengan Bapak/Ibu akan di tampilkan dalam publikasi tersebut. Peneliti
menjamin bahwa pelaksanaan EBN tidak menimbulkan kerugian bagi Bapak/Ibu

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


sebagai responden. Jika selama pelaksanaan EBN ini Bapak/Ibu mengalami
ketidaknyamanan, maka Bapak/Ibu dapat mengundurkan diri tanpa ada konsekwensi
apapun.

Apabila setelah terlibat dalam pelaksanaan EBN ini Bapak/Ibu masih memiliki
pertanyaan, dapat menghubungi saya di nomor telpon 085274448787.

Demikianlah penjelasan ini dibuat, atas kerjasama dan partisipasi Bapak/Ibu kami
ucapkan terimakasih.

Jakarta, April 2015

Peneliti

(Widia Wati)

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Lampiran 5

SURAT PERNYATAAN BERSEDIA MENJADI RESPONDEN


PELAKSANAAN EBN / INFORMED CONSENT
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Umur :
Alamat :

Menyatakan setuju untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan EBN ini, setelah


mendapatkan penjelasan dari peneliti tentang proses penelitian yang akan dilakukan
oleh Saudari Widia Wati, Mahasiswa Progran Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
yang berjudul ”Pengaruh terapi PMR dan latihan Nafas terhadap kadar glukosa
darah pasien diabetes melitus tipe 2”

Setelah membaca penjelasan diatas, saya sudah mengerti dan memahami tujuan,
manfaat serta akibat yang mungkin terjadi dari pelaksanaan EBN yang akan
dilaksanakan tersebut. Pelaksanaan EBN ini juga akan menghormati hak-hak saya
sebagai responden.

Saya secara sukarela dan penuh kesadaran bersedia berpartisipasi dalam pelaksanaan
EBN ini dan tidak dipaksa oleh pihak manapun.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, April 2015

Responden

………………………………………………
Tanda tangan

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Lampiran 6
LEMBAR OBSERVASI DAN PENGUMPULAN DATA RESPONDEN

Kode Partisipan :
Tanggal : ………/……/2015 Jam : …...WIB
Umur : ………Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan

Jenis insulin : 1. 1nsulin kerja singkat


2. Insulin kerja panjang
3. Mendapatkan insulin dan OHO
4. Mendapatkan OHO
Skor skala Stress (Dass) sebelum _______
Skor skala Stress (Dass) sesudah _______

No Hasil Pemeriksaan Hari 0 Hari 5 Hari 10 Hari 15


Glukosa Darah
1 Jam 06.00 wib
2 Jam 16.00 wib

Pengumpul data

-------------------------------------------------

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Lampiran 7

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA UMUM

Nama : Widia Wati


Tempat/ Tanggal lahir : Sumanik/ 07September 1975
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa Pasca Sarjana Program Magister
Keperawatan
Alamat : Jn Wisma Ibunda No 8 B kalumbuk Kuranji
Padang Sumatera Barat.

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1982 - 1988 : SD Impres Sumanik


1988 - 1991 : SMPN Sungai Tarab
1991 - 1994 : SMAN Sungai Tarab
1994 - 1997 : Akademi Keperawatan YPBH Batusangkar
2005 - 2008 : PSIK universitas Andalas
2012 - sekarang : Program Magister Keperawatan Medikal
Bedah FIK UI

III.PEKERJAAN

1998 - 1999 : RS. DR. Achmad Mohctar Bukit-Tinggi.


1999 - sekarang : RSUP Dr. M. Djamil Padang

Depok, April 2015

(Widia Wati)

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Lampiran 8

SATUAN ACARA PEMBELAJARAN

Pokok Bahasan : Teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing


Exercise
Sub Pokok Bahasan : Cara Melakukan Teknik Progressive Muscle Relaxation
(PMR) dan Breathing Exercise Hari/ Tanggal :-
Waktu : 30 menit
Tempat : Ruang Poli Penyakit Dalam RSCM Jakarta.

1. Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mendapatkan pembelajaran pasien diabetes dapat melakukan teknik
Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing Exercise

2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)


Setelah mendapatkan pembelajaran pasien diabetes mampu:
a. Menjelaskan teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing
Exercise
b. Menjelaskan manfaat Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing
Exercise
c. Menjelaskan langkah-langkah Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan
Breathing Exercise
d. Mendemonstrasikan cara teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan
Breathing Exercise

3. Materi
a. Pengertian teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing Exercise
b. Manfaat teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing Exercise
c. Langkah-langkah teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing
Exercise

4. Metode dan Media


a. Metode : Ceramah dan demonstrasi
b. Media : Video

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


5. Kegiatan Pembelajaran
No Tahap Waktu kegiatan
Perawat Pasien
1 Pendahuluan 5 menit - Mengucapkan salam - Menjawab
- Kontrak waktu dan tempat salam
- Menjelaskan tuuan dan - Memperhatikan
pembelajaran - Memperhatikan
2 Penyajian 25 menit - Menjelaskan pengertian teknik - Memperhatikan
Progressive Muscle Relaxation
(PMR) dan Breathing Exercise
- Menjelaskan manfaat terapi - Memperhatikan
Progressive Muscle Relaxation
(PMR) dan Breathing Exercise
- Menjelaskan langkah teknik - Memperhatikan
Progressive Muscle Relaxation
(PMR) dan Breathing Exercise
- Memberikan kesempatan - Bertanya
responden bertanya
- Mendemonstrasikan teknik - Memperhatikan
Progressive Muscle Relaxation
(PMR) dan Breathing Exercise
- Meminta responden - Mendemonstrasi
mendemonstrasikan teknik kan
Progressive Muscle Relaxation
(PMR) dan Breathing Exercise
- Memberi pujian - Memperhatikan
- Memberikan kesempatan - Bertanya
responden untuk bertanya
3 Penutup 5 menit - Memberikan pertanyaan tentang - Menjawab
materi yang telah dijelaskan
- Menyimpulkan materi yang telah - Memperhatikan
dijelaskan
- Membuat kontrak dengan pasien - Menjawab
untuk pertemuan berikutnya
- Mengucapkan salam - Menjawab
salam

6. Evaluasi
Tujuan tercapai bila pasien dapat:
a. Menjelaskan pengertian teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan
Breathing Exercise

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


b. Menjelaskan manfaat teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing
Exercise
c. Menjelaskan langkah-langkah teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan
Breathing Exercise
d. Mendemonstrasikan teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Breathing
Exercise

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Lampiran 9
JADWAL LATIHAN DAN HASIL PEMERIKSAAN KADAR GLUKOSA
DARAH UNTUK KELOMPOK INTERVENSI
Nama :
No Tanggal Latihan PMR/BE Pemeriksan Glukosa keterangan
darah
Pagi Sore 06.00 16.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Keterangan:
: Tidak melakukan terapi PMR dan BE dan tidak melakukan
pemeriksaan kadar glukosa darah.
: Melakukan terapi PMR dan BE 2 kali/ hari
: Pemeriksaan kadar glukosa darah 2 kali/ hari

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Lampiran 10

JADWAL PEMERIKSAAN KADAR GLUKOSA DARAH UNTUK


KELOMPOK KONTROL
Nama :
No Tanggal Pemeriksaan Glukosa darah keterangan
06.00 16.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Keterangan:
: Tidak melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah.
: Pemeriksaan kadar glukosa darah 2 kali/ hari

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015


Lampiran 11
Kode Responden

INSTRUMEN PENELITIAN TINGKAT STRESS


Depression Anxiety and Stress Scale (DASS)
Petunjuk pengisian:Bacalah setiap pernyataan dan lingkari salah satu angka (0, 1, 2,
atau 3) pada masing-masing item sesuai dengan yang andarasakan atau alami selama
seminggu terakhir dengan Skala Penilaian sebagai berikut:

0 : Tidak pernah
1 : Kadang-kadang
2 : Sering
3 : Selalu

NoNO Pertanyaan Nilai


1 Saya merasa kecewa akan hal yang sepele 0 1 2 3
2 Saya cenderung bereaksi berlebihan terhadap situasi 0 1 2 3
3 Saya merasa sulit untuk bersantai 0 1 2 3
4 Saya merasa diri saya mudah kesal 0 1 2 3
5 Saya merasa diri saya sering merasa takut 0 1 2 3
6 Saya merasa tidak sabar ketika saya tertunda dalam suatu 0 1 2 3
acara (seperti dilift, lampu lalu lintas, dan terlalu lama
menunggu)
7 Saya merasa bahwa saya agak sensitif 0 1 2 3
8 Saya merasa sulit untuk tenang 0 1 2 3
9 Saya merasa bahwa saya sangat mudah tersinggung 0 1 2 3
10 Saya merasa sulit untuk tenang setelah saya marah 0 1 2 3
11 Saya merasa sulit untuk mentoleransi gangguan / 0 1 2 3
interupsi/ peringatan atas apa yang telah saya lakukan.
12 Saya merasakan situasi yang tegang 0 1 2 3
13 Saya tidak terima/toleran terhadap apa pun yang 0 1 2 3
membuat saya tidak bisa mendapatkan hasil atas apa
yang saya lakukan
14 Saya merasa diri saya semakin gelisah 0 1 2 3

Penerapan asuhan …, Widia Wati , FIK UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai