Pembimbing Akademik :
Laily Hidayati, S.Kep.Ns., M.Kep.
Pembimbing Klinik:
M. Mariadi, S.Kep.Ns.
Kelompok 14
Rifki Fauzi Maulida, S.Kep.
Dyah Puddya Haningtyas, S.Kep.
Unza Noor Ramadhanti, S.Kep.
Dyah Rohmatussolichah, S.Kep.
Prisdamayanti Ayuningsih, S.Kep.
Asti Pratiwi., S.Kep.
I. TUJUAN UMUM
Setelah dilakukan penyuluhan tentang Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis (PGK)
diharapkan pasien dan keluarga pasien mengerti dan memahami hal-hal mengenai Anemia
pada PGK dan pengobatannya.
II. TUJUAN KHUSUS
1. Mengerti dan memahami pengertian anemia
2. Mengerti dan memahami penyebab anemia pada PGK
3. Mengerti dan memahami tanda dan gejala anemia pada PGK
4. Mengerti dan memahami pemeriksaan penunjang anemia pada PGK
5. Mengerti dan memahami penatalaksanaan anemia pada PGK
6. Mengerti dan memahami pengobatan anemia pada PGK
III. MATERI
(Terlampir)
1. Pengertian anemia
2. Penyebab anemia pada PGK
3. Tanda dan gejala anemia pada PGK
4. Pemeriksaan penunjang anemia pada PGK
5. Penatalaksanaan anemia pada PGK
6. Pengobatan anemia pada PGK
IV. METODE
1. Ceramah
2. Tanya jawab
V. PENGORGANISASIAN
1. Moderator : Dyah Rohmatussolichah
2. Penyaji : Prisdamayanti Ayuningsih
3. Notulensi : Dyah Puddya Haningtyas
4. Observer : Rifki Fauzi Maulida
5. Dokumentasi : Unza Noor Ramadhanti
6. Fasilitator : Asti Pratiwi
VI. MEDIA
1. Presentasi power point
2. Leaflet
VII.SETTING TEMPAT
Ruang Hemodialisa
Penyaji Notulen
Audiens Audiens
Fasilitator
Observer
VIII. KEGIATAN
Tahap Kegiatan Waktu Kegiatan Perawat Kegiatan Audiens Media
Pendahuluan 5 menit Memperkenalkan diri Mendengarkan Kalimat dari
Merpersiapkan diri Bertanya moderator dan
dan materi mengenai pemateri
Menyatakan tujuan perkenalan
kegiatan dan tujuan jika
kurang jelas
Penyajian 15 menit Menyajikan materi Mendengarkan dan Presentasi
tentang : memperhatikan power point dan
Pengertian anemia materi dengan leaflet
Penyebab anemia seksama
pada PGK
Tanda dan gejala
anemia pada PGK
Pemeriksaan
penunjang anemia
pada PGK
Penatalaksanaan
anemia pada PGK
Pengobatan anemia
pada PGK
Penutupan 10 menit Melakukan evaluasi Audiens dapat Kalimat dari
dengan memberikan bertanya dan moderator dan
pertanyaan kepada menjawab pemateri
audiens pertanyaan dari
Audiens dapat pemateri
bertanya apabila ada
yang kurang jelas
dalam penyampaian
materi
Menyampaikan
ringkasan materi
Menyampaikan hasil
evaluasi
Mengakhiri
pertemuan dan
mengucapkan
terimakasih atas
perhatian audiens
A. Definisi
Anemia adalah suatu keadaan yang menggambarkan kadar hemoglobin atau jumlah
eritrosit dalam darah kurang dari nilai normal. Beberapa faktor yang menyebabkan anemia
adalah a) penurunan produksi sel darah merah sehat, b) meningkatnya kerusakan sel darah
merah, dan c) kehilangan darah (Black and Hawks, 2005).
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan komsentrasi
hemoglobin < 13,0 gr/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada wanita
lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada pasien-
pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah 11,5
gr/dl pada wanita dan 13,5 gr/dl pada laki-laki ≤ 70 tahun dan 12,0 gr/dl pada laki-laki > 70
tahun. The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin
< 11,0 gr/dl (hematocrit < 33%) pada wanita premonopause dan pasien prepubertas, dan < 37%)
pada laki-laki dewasa dan wanita postmeopause. Sedangkan menurut Pernefri 2011, dikatakan
anemia pada penyakit ginjal jika Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30%.2
Menurut World Health Oeganization (WHO), anemia didefinisikan sebagai konsentrasi
hemoglobin (Hb) yang lebih rendah dari 13.0 g/dL pada pria dan wanita postmenopause dan
lebih rendah dari 12.0 g/dL pada wanita premenopause. Sedangkan anemia pada pasien dengan
CKD didefinisikan sebagai konsentrasi Hb di bawah 11.5 g/dL pada wanita, 13.5 g/dL pada pria
≤70 tahun, dan 12.0 g/dL pada pria lebih dari 70 tahun (The European Best Practice Guidelines).
B. Etiologi
Penyebab terjadinya anemia pada pasien dengan CKD antara lain: kehilangan darah,
pemendekan masa hidup sel darah merah, uremic milieu, defisiensi erythropoietin (EPO),
defisiensi zat besi, dan inflamasi (Nurko, 2006).
1) Kehilangan darah
Pasien dengan CKD memiliki risiko kehilangan darah karena disfungsi platelet.
Penyebab utama kehilangan darah pada pasien CKD yaitu dialysis, terutama hemodialisis, dan
kehilangan darah ini menyebabkan defisiensi zat besi yang berat. Pasien dengan hemodialisis
mungkin mengalami penurunan 3 sampai 5 gram zat besi per tahun. Secara normal, setiap
orang mengalami penurunan zat besi sebesar 1 sampai 2 mg per hari, jadi pada pasien dengan
dialysis terjadi penurunan zat besi 10 sampai 20 kali lipat lebih besar dibanding individu
normal.
2) Pemendekan masa hidup sel darah merah
Masa hidup sel darah merah mengalami penurunan kurang lebih sebesar 1/3 pada pasien
hemodialisis.Menurut Smeltzer (2005) mengatakan bahwa orang yang mengalami gagal ginjal
kronik usia sel darah merah setengah lebih pendek dari usia sel darah merah orang normal.
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi pada
berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma. Apabila
konsentrasi plasma melebihi kapasitas plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas)
untuk mengikat semuanya. (Apabila jumlahnya lebih dari sekitar 100 mg/dl, sel darah merah
akan terdifusi dalam glomerulus ginjal dan keadaan urin (hemoglobinuria).
3) Uremic milieu
Uremic milieu merupakan istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan adanya
disfungsi organ multiple pada CKD. Penelitian pada pasien yang mendapatkan terapi
hemodialisis menunjukkan adanya peningkatan hematokrit ketika terjadi peningkatan
intensitas hemodialisis. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menurunkan uremia dapat
mengembalikan atau meningkatkan fungsi sumsum tulang belakang.
4) Defisiensi EPO
Erythropoietin (EPO) adalah hormon peptida yang terlibat dalam kontrol produksi
erythrocyte oleh sumsum tulang. Sumber utama dari erythropoietin adalah ginjal, walaupun
disekresikan juga dalam jumlah sedikit oleh hati. Sel ginjal yang mensekresi adalah
sekumpulan sel di interstitium. Stimulus dari pengsekresian erythropoietin adalah
berkurangnya tekanan parsial oksigen pada ginjal, seperti pada anemia, hipoksia arterial, dan
tidak adekuatnya aliran darah ginjal. Erythropoietin menstimulasi sumsum tulang untuk
meningkatkan produksi eritrosit.
Defisiensi EPO diduga merupakan penyebab utama terjadinya anemia pada pasien
CKD. Sel-sel yang memproduksi erythropoietin mengalami deplesi atau kerusakan seiring
dengan perkembangan CKD, sehingga produksi EPO menjadi lebih rendah. Defisiensi EPO
pada CKD mungkin merupakan respon fungsional terhadap penurunan GFR. Mekanisme
yang mendasari mungkin sel-sel yang memproduksi EPO pada ginjal tidak mengalami
hypoxia. Jika GFR rendah, maka reabsorbsi natrium juga mengalami penurunan. Reabsorbsi
natrium merupakan determinan utama konsumsi oksigen di ginjal, sehingga pada ginjal
mungkin terdapat oksigen yang berlebih yang dapat menyebabkan down regulasi produksi
EPO (Donnelly, 2001). Selain itu, pasien yang mendapatkan terapi dialysis dapat
mempertahankan kemampuan untuk meningkatkan produksi EPO.
5) Defisiensi zat besi
Homeostasis zat besi dalam tubuh tergantung pada jumlah zat besi yang diabsorbsi
dalam duodenum dan dari sel darah merah yang telah mati. Sebagian besar zat besi terikat
pada hemoglobin dan disimpan dalam hepatosit dan makrofag pada sistem reticuloendothelial.
Zat besi ditransport ke eritrosit yang matur oleh protein yang disebut transferrin, yang
mengangkut zat besi yang diserap dan dilepas makrofag. Pada pasien dengan CKD terjadi
gangguan pada homeostasis zat besi. Transferrin pada pasien dengan CKD hanya terdapat
sebesar 1/3 sampai ½ dari jumlah normal, yang menunjukkan kapasitas sistem transport zat
besi dalam tubuh. Hal ini diduga disebabkan oleh ketidakmampuan untuk melepas zat besi
yang disimpan dalam makrofag dan hepatosit.
C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala anemia pada gagal ginjal yang biasa ditemukan adalah :
- Kelemahan umum/malaise, mudah lelah
- Nyeri seluruh tubuh/mialgia
- Gejala ortostatik (misalnya pusing, dll)
- Sinkop atau hampir sincope
- Penurunan toleransi latihan
- Dada terasa tidak nyaman
- Palpitasi
- Intoleransi dingin
- Gangguan tidur
- Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi
- Kehilangan nafsu makan
Temuan fisik:
- Kulit (pucat)
- Neurovaskular (penurunan kemampuan kognitif)
- Mata (konjungtiva pucat)
- Kardiovaskular (hipotensi ortostatik, takiaritmia)
- Pulmonary (takipnea)
- Abdomen (asites, hepatosplenomegali)
(Lerma et al, 2013).
D. Pemeriksaan Penunjang
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya berkaitan
dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat dijadikan diagnosis setelah
mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan eritrosit lainnya. Evaluasi terhadap anemia
dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10% atau hematokrit ≤ 30%. Beberapa hal yang harus diperiksa
dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi penambah eritrosit, yaitu:
Darah lengkap
Pemeriksaan darah tepi
Hitung retikulosit
Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin, serum
feritin)
Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
Kadar vitamin B12
Hormon paratiroid
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%,
baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi konservatif, target
Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO. Dampak anemia pada gagal ginjal
terhadap kemampuan fisik dan mental dianggap dan menggambarkan halangan yang besar
terhadap rehabilitasi pasien dengan gagal ginjal.
Walaupun demikian efek anemia pada oksigenasi jaringan mungkin seimbang pada
pasien uremia dengan penurunan afinitas oksigen dan peningkatan cardiac output saat hematokrit
dibawah 25 %. Walaupun demikian banyak pasien uremia memiliki hipertensi dan
miokardiopati. Karena tubuh memiliki kemampuan untuk mengkompensasi turunnya kadar
hemoglobine dengan meningkatnya cardiac output. Selain itu banyak pasien memiliki penyakit
jantung koroner yang berat dan walaupun anemia dalam derajat sedang dapat disertai dengan
miokardial iskemik dan angina.
Terapi anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan simptomatik melalui transfusi
sel darah merah sampai ke penyembuhan dengan transplantasi ginjal. Transfusi darah hanya
memberikan keuntungan sementara dan beresiko terhadap infeksi (virus hepatitis dan HIV) dan
hemokromatosis sekunder. Peran dari transfusi sebagai pengobatan anemi primer pada pasien
gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis dan penelitian serologic telah menjadi lebih
canggih. Transplantasi ginjal pada banyak kasus, harus menunggu dalam waktu yang tidak
tertentu dan tidak setiap pasien dialisis memenuhi syarat (MacGinley RJ et al, 2013).
Variasi terapi anemia pada penyakit ginjal kronik adalah sebagai berukut:
1. Suplementasi eritropoetin
2. Pembuangan eritropoesis inhibitor endogen dan toksin hemolitik endogen dengan terapi
transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis.
3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine
4. Mengkoreksi hiperparatiroid
5. Terapi Androgen
6. Mengurangi iatrogenic blood loss
7. Suplementasi besi
8. Suplementasi asam folat
9. Transfuse darah
Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah
disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%
Tidak ada infeksi yang berat
Kontraindikasi:
1) Hipersensitivitas terhadap EPO
2) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:
Hipertensi tidak terkendali
Hiperkoagulasi
Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup. Terdapat beberapa
kriteria pengkajian status besi pada Gagal ginjal Kronis:
b. Kejang:
o Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi
o Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang tidak terkontrol.
Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekuat. Respon EPO tidak
adekuat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah pemberian EPO
selama 4-8 minggu. Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang tidak adekuat yaitu:
Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi penunjang yang berupa
pemberian (Locatelli et al, 2009) :
a. Asam folat : 5 mg/hari
b. Vitamin B6 : 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat
terapi EPO
e. Vitamin D : mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E : 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi
intravena
g. Preparat androgen (2-3 x/minggu)
o Dapat mengurangi kebutuhan EPO
o Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati
o Tidak dianjurkan pada wanita
4. Mengkoreksi Hiperparatiroidisme
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan
merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar paratiroid dengan
1,25-dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan dengan peningkatan anemia. (Singh et al,
2006)
5. Terapi Androgen
Sejak tahun 1970 an androgen telah digunakan untuk terapi gagal ginjal. Efek yang
positif yaitu meningkatkan produksi eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin
yang sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester (testosteron propionat, enanthane,
cypionate), derivat 17-metil androstanes (fluoxymesterone, oxymetholone, methyltestosterone),
dan komponen 19 norterstosteron (nandrolone dekanoat, nandrolone phenpropionate) telah
sukses digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Responnya lambat dan efek dari obat
ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis
100-200 mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus dibatasi karena efek
sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki ratio anabolik: androgenik yang
paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan hirsutisme serta paling aman untuk pasien
wanita. Fluoksimesterone dapat menyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit
Hepatoseluler kolestatik dapat menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih
sering pada 17 methylated steroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase darah yang
progesif dan bilirubin serum yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun, komponen 17-
methylated steroid ini memiliki ratio anabolik/ androgen yang baik dan dapat diberikan secara
oral. Terapi dengan androgen dapat menimbulkan gejala prostatisme atau pertumbuhan yang
cepat dari Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah
efek samping lainnya pada terapi ini (Singh et al, 2006)
7. Suplementasi besi
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi absorpsi besi pada usus. Monitoring
penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau dua kali pertahun
merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi oral
lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi
besi, penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron dextran
atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding injeksi intra muskular. Syok
anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang menerima terapi besi parenteral. Untuk
mengurangi kejadian komplikasi yang berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit pertama
dengan dosis kecil dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replenish penyimpanan besi
dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500 mg dalam 5-10 menit setiap harinya atau dosis
tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dextran dan diinfuskan perlahan
dalam beberapa jam (Singh et al, 2006).
9. Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah adalah:
o Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
o Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g /dL
o Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
o Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah mendapat
EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat
diberikan transfusi darah dengan hati-hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah: 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb
pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi,
hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian
transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan
tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut jantung.
Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah
sedapat mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki resiko penularan Hepatitis virus B dan C,
infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi transfuse (Singh et al, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Black, MJ & Hawk. HJ. 2005. Medical Surgical Nursing Clinical Management For Positive
Outcomes. 7th Edition. St. Louis: Elsevier Saunders
Nurko, Saul. 2006. Anemia in chronic kidney disease: Causes, diagnosis, treatment. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 73(3): 289-97
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L & Cheever, K.H. 2008. Text Book of Surgical Medical
Nursing. Ed 12. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins.
National Kidney Foundation. 2012. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis 39: suppl 1
Locatelli F, Covic A, Eckardt KU, Wiecek A, Vanholder R. Anemia management in patients
with chronic kidney disease: a potion statement by the anemia working group of
European renal best practice (ERBP). Nephrol Dial Transplant 2009; 24: 348-354.
Singh AK, Szczech L, Tang KL, Barnhart H, Sapp S, Wolfson M, et al. Correction of anemia
with epoetin alfa in chronic kidney disease. N Engl J Med 2006; 355: 2085-98.
ABSENSI PESERTA PKRS ANEMIA PADA PGK