Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

HEMIPLAGIA

I. KONDEP DASAR MEDIK


A. DEFINISI

Paraplegia merupakan paralysis permanen dari tubuh yang


disebabkan oleh luka atau penyakit yang dipengaruhi oleh medulla spinalis.
Paraplegia adalah kondisi di mana bagian bawah tubuh (ekstermitas bawah)
mengalami kelumpuhan atau paralysis yang disebabkan karena lesi
transversal pada medulla spinalis. (Bimaariotejo.2015).
Paraplegia merupakan kehilangan gerak dan sensasi pada ekstermitas
bawah dan semua atau sebagian badan sebagai akibat cedera pada torakal atau
medulla. Spinalis lumbal atau radiks sakral.
Paraplegia merupakan kondisi paralis pada anggota tubuh di bagian
bawah, terutama pinggang ke bawah (tungkai dan organ panggul). Paralisis
merujuk pada hilangnya kemampuan tubuh atau anggota tubuh untuk bergerak
dan/atau merasakan sensasi. Sebagian besar kasus paraplegia disebabkan oleh
kerusakan dari otak, sumsum tulang belakang, atau bisa juga keduanya.

B. E TILOGI
Seringnya paraplegia disebabkan oleh masalah pada otak atau sumsum
tulang belakang, yang berfungsi untuk bekerjasama dalam menerima impuls
sensorik dan mengirimkan impuls motorik. Oleh karena itu, jika salah satunya
tidak berfungsi dengan seharusnya, sinyal yang seharusnya diterima dan
dikirim dapat menjadi lemah atau bahkan tidak ada. Cedera sumsum tulang
belakang merupakan penyebab utama paraplegia.
Walaupun kebanyakan kerusakan otak dan sumsum tulang belakang
bersifat traumatik, kondisi-kondisi medis lain juga dapat menyebabkan
kerusakan organ-organ pada sistem saraf pusat tersebut. Kondisi-kondisi
tersebut antara lain:
 Penyakit genetik seperti genetic spastic paraplegia.
 Kekurangan oksigen karena tersedak, komplikasi kelahiran dan cedera
lainnya.
 Penyakit autoimun.
 Infeksi otak atau sumsum tulang belakang.
 Kelainan sumsum tulang belakang seperti syrinx.
 Tumor atau penyebarannya yang menyebabkan kompresi pada tulang
belakang.

C. MANIFESTASI KLINIS

Seseorang yang mengalami paraplegia bisa merasakan gejala yang cukup


bervariasi, bisa berubah dari hari ke hari. Hal ini disebabkan oleh banyak
faktor, antara lain proses regenerasi dan penyembuhan, pengobatan, dan
penyakit yang mendasari. Gejala penyerta yang paling sering dikeluhkan pada
individu paraplegia adalah:

 Hilangnya kemampuan motorik dari pinggang ke bawah.

 Hilangnya kemampuan sensorik (tidak dapat merasakan sensasi) pada


daerah di bawah lesi.

 Sensasi fantom atau sensasi aneh yang tidak dapat dijelaskan, sensasi
setruman listrik, atau sensasi lainnya pada tubuh bagian bawah.

 Penurunan libido.

 Gangguan BAK dan BAB.

 Perubahan mood, pada umumnya depresi.

 Kenaikan berat badan, terutama jika asupan kalori tidak sesuai dengan
aktivitas fisik yang berkurang.

 Infeksi sekunder pada bagian tubuh yang mengalami paralisis, umumnya


luka decubitusatau penyakit kulit.

 Nyeri kronis.

 Abnormalitas pada sistem saraf otonom yang ditemukan dalam bentuk


ketidaknormalan denyut nadi dan tekanan darah.
D. PATOFISIOLOGI
Akibat lesi di medulla spinalis dapat terjadi manifestasi :
1. Gangguan fungsi motorik
a. Gangguan fungsi motorik di tingkat lesi. Karena lesi total juga merusk
komu anterior medulla spinalis dapat terjadi kelumpuhan LMN pada otot-
otot yang dipersyarafi oleh kelompok motoneutron yang terkena lesi dan
menyebabkan nyeri punggung yang terjadi secara tiba- tiba.
b. Gangguan motorik di bawah lesi : dapat terjadi kelumpuhan UMN
karena jaras kortikospinal lateral segmen thorakal terputus. Gerakan reflex
tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan
meningkat. Contohnya : reflex lutut tetap ada dan bahkan meningkat.
Meningkatnya refleks ini menyebabkan kejang tungkai. Refleks yang tetap
dipertahankan menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek,
sehingga terjadi kelumpuhan jenis spastic. Otot yang spastik teraba
kencang dan keras dan sering mengalami kedutan.
2. Gangguan fungsi sensorik : karena lesi total juga merusak otak komu
posterior medula spinalis maka akan terjadi penurunan atau hilang fungsi
sensibilitas di bawah lesi. Sehingga klien tidak dapat merasakan adanya
rangsang taktil, rangsang nyeri, rangsang nyeri, rangsang thermal,
rangsang discrim dan rangsang lokalis.
3. Gangguan fungsi autonom : karena terputusnya jaras ascenden
spinothalamicus maka klien akan terjadi kehilangan perasaan akan
kencing.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Hematology
Hemoglobin dapat menurun karena destruksi sumsum tulang vertebra
atau perdarahan. Peningkatan leukosit
menandakan selain adanya infeksi juga stress fisik ataupun terjadi
kematian jaringan.
b. Kimia klinik
PT / PTT untuk melihat fungsi pembekuan darah sebelum pemberian
terapi anti koagulan. Dapat terjadi gangguan elektrolit karena terjadi
gangguan dalam fungsi perkemihan, dan fungsi gastrointestinal.
2. Radiodiagnostik
a. CT Scan untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemi dan infark
b. MRI : menunjukan daerah yang mengalami fraktur, infark, hemoragik
c. Rontgen : menunjukan daerah yang mengalami fraktur, dan kelainan
tulang, gambaran infeksi TB paru. Telah terjadi kerusakan jaras
ascenden spinotalamikus dimana klien sudah tidak bisa merasakan
sensasi ingin kencing dan BAB.
d. Nyeri yang dirasakan dapat dilakukan dengan teknik masase atau
dengan distraksi.

F. PENALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis
a. Obat
 Metyl prednisolon 30 mg/kb BB, 45 menit setelah bolus selama 23
jam. Hasil optimal bila pemberian dilakukan <8jam onset.
 Tambahkan profilaksis stress ukus : antacid/antagonis H2, jika
pemulihan sempurna, pengobatan tidak diperlukan
 Berikan Antibiotik, biasanya untuk menyembuhkan. Jika terjadi
infeksi
b. Operasi
Dengan menggunakan teknik Harrison roda stabilization (instrument
Harrison) yaitu menggunakan batang distraksi baja tahan karat untuk
mengoreksi dan stabilisasi deformitas vertebra.

2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Memberikan alat bantu
b. Pemanasan dengan air hangat atau sinar
c. Latihan disebut dengan Range of Motion (ROM) untuk mengetahui
luas gerak sendi.
d. Refleksi ganda, penekukan maksimal pada jari kaki keempat.
e. Refleksi Bing memberikan rangsangan tusuk pada kulit untuk
menutupi metatarsal kelima.

II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, diagnose medis.
2. Keluhan Utama
Biasanya didapatkan laporan kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas,
inkontinensia defekasi dan berkemih.
3. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya terjadi riwayat trauma, pengkajian yang didapat meliputi
hilangnya sensibilitas, paralisis, ileus paralitik, retensi urin, hilangnya
refleks.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit infeksi, tumor, cedera tulang belakang, DM,
jantung, anemia, obat antikoagulan, alcohol.
5. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya generasi dahulu yang menderita hipertensi atau DM.
6. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Aktivitas/istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi.
Kelemahan umum/kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi
saraf).
b. Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas
dingin dan pucat.
c. Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltic usus hilang, melena,
emisis, berwarna seperti kopi tanah/hematemesis.
d. Integritas Ego
Takut, cemas, gelisah, menarik diri
e. Makanan/cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltic usus hilang (ileus paralitik)
f. Hygiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
g. Neurosensori Kesadaran GCS
Fungsi motorik : kelumpuhan, kelemahan Fungsi sensorik : kehilangan
sensasi/sensibilitas
Refleks fisiologis : kehilangan refleks/refleks asimetris termasuk
tendon dalam. Kehilangan tonus otot/vasomotor,
Refleks patologis : munculnya refleks patologis, perubahan reaksi
pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena
pengaruh trauma spinal.
h. Nyeri/kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
i. Pernapasan
Pernapasan dangkal, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki,
pucat, sianosis.
j. Keamanan
Suhu yang berfluktasi, jatuh.

B. DIAGNSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut
2. Hambatan mobilitas fisik
3. Defisit perawatan diri
4. Resiko gangguan integritas kulit
5. Pola nafas tidak efektif
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ( D.0077)
Intervensi: Manajemen nyeri ( I.08238 )
a. Observasi:
• Identifikasi lokasi, karasteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan
identitas nyeri.
• Identifikasi skala nyeri
• Identifikasi respon nyeri non verbal
• Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
• Monitor efek samping penggunaan analgetik
b. Terapeutik
• Berikan terhnik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis.hypnosis, terapi musik, terapi pijat, aromaterapi, kompres
hangat/dingin)
• Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
• Fasilitasi istrahat dan tidur
c. Edukasi
• Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
• Ajarkan tehnik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan massa otot.
(D.0054)
Intervensi : dukungan mobilisasi ( I.05173)
a. Observasi
• Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik dan lainnya.
• Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan.
• Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi.
• Monitor kondisi umum selama melalukan mobilisasi.
b. Terapeutik
• Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (misalnya pagar
tempat tidur).
• Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan.
c. Edukasi
• Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi.
• Anjurkan melakukan mobilisasi dini.
• Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (misalnya duduk
di tempat tidur)
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
(D.0109)
Intervensi : dukungan perawatan diri, ( I.11348 )
a. Observasi
• Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
• Mnitor tingkat kemandirian
• Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, berhias,
dan makan
b. Terapeutik
• Sediakan lingkungan yang terapeutik ( mis. Suasana hangat, rileks,
privasi)
• Siapkan keperluan pribadi (mis. Parfum, sikat gigi, dan sabun mandi)
• Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
• Fasilitasi untuk menerima keadaan ketergantungan
• Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu melakukan perawatan
diri
• Jadwalkan rutinitas perawatan diri
c. Edukasi
• Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan
4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas
(D. 0139)
Intervensi: pengaturan posisi, ( I.01019)
a. Observasi
• Monitori status oksigenasi sebelum dan sesudah mengubah posisi
• Monitor alat traksi agar selalu tepar
b. Terapeutik
• Tempatkan pada matras/tempat tidur terapeutik yang tepat
• Tempatkan pada posisi terapeutik
• Tempelkan objek yang sering digunakan dalam jangkauan
• Tempelkan bel atau lampu panggilan dalam jangkauan
• Sediahkan matras yang kokoh/ padat
• Atur posisi tidur yang disukai, jika tidak kontraindikasi
• Atur posisi untuk mengurangi sesak
• Tinggikan tempat tidur bagian kepala
• Motivasi terlibat dalam perubahan posisi, sesuai kebutuhan
• Ubah posisi setiap 2 jam
c. Edukasi
• Informasikan saat akan dilakukan perubahan posisi
• Ajarkan cara menggunakan postur yang baik dan mekanika tubuh
yang baik selama melakukan perubahan posisi
d. Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian premedikasi sebelum mengubah posisi, jika
perlu
5. Pola nafas tidak efektif behubungan dengan hambatan upaya nafas, ( D.0005 )
Intervensi : Manajemen Jalan Nafas (I.01011)
a. Observasi :
• Monitor pola napas ( frekuensi, kedalaman, usaha bernafas)
• Monitori bunyi napas tambahan ( mis, gurling, mengi, wheezing,ronkhi
kering)
• Monitori adanya produksi sputum (jumlah, warna, aroma)
b. Terapeutik,
• Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilf dan chin lift (jaw-
thraust jika curiga tarauma servikal)
• Posisikan semi- Fowler atau Fowler
• Berikan minuman hangat
• Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
• Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
• Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endrotrakeal
• Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
• Berikan oksigen, jika perlu
c. Edukasi,
• Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
• Anjarkan tehnik batuk efektif
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth .2017. Patofisiologis. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta : EGC

Kementrian Kesehatan RI.2017 . Riset Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI

Lumbantobing, S.M.,2016. Sroke Bencana Peredaran Darah. Jakarta : Badan Penerbit


FKUI
Mardjono. 2007. Neurologis Klinis Dasar. Dian rakyat: Jakarta
Nugroho. 2015. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam dan Bedah. Yokyakarta : Nuha
Medika.
PPNI (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan indikator diagnostik,

Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan

kepeawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: definisi dan Kriteria Hasil

Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Wijaya & Putri.2017. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai