Anda di halaman 1dari 78

PENDAHULUAN

Skenario 4

" Poor handsome"

Julian a famous actor suddenly reported coma, unconsciousness. According


tohis personal assistant, had been Julian often complained of headaches
sinceapproximately 2 weeks ago. Quality, Headache feels increasingly in
quality,frequency, and duration. According to his personal assistant Julian has
freelifestyle habits. During unconsciousness, seizures experienced 3x. In 1x
seizureduration is between 10 minutes. Seizures occur in the entire body. Before
andafter seizures unconscious. Spasms throughout the body.The results of physical
examination found:

GCS: E2V2M3, BP: 150/90 mmHg, N: 100x / min, S: 40C, RR: 26x / min.

Physiological reflex increased (+). Patellar (+), Achilles (+), biceps (+), triceps (+).

Pathological reflexes (+). Babinski (+), chaddok (+).

Inspection of neck stiffness (+), Brudzinski I and II (+)

What actually happened to the handsome Julian?

1
BAB I

Klarifikasi Istilah

1.1 Koma
Gangguan kesadaran yang berat, pasien tampak tidur dalam tanpa
dapat dibangunkan dan tidak ada reaksi terhadap berbagai rangsangan
(Ropper, 2009)

1.2 Kejang
Kejang merupakan suatu kondisi dimana otot tubuh berkontraksi dan
relaksasi secara cepat dan berulang, oleh karena abnormalitas sementara dari
aktivitas elektrik di otak, dapat karena kelainan intrakranial, ekstrakranial,
atau metabolik (Nelson, 2000).

2
BAB II

Klarifikasi Masalah

2.1 Mengapa pasien mengalami koma?


2.2 Mengapa pasien mgengeluh sakit kepala sejak 2 minggu yang lalu?
2.3 Bagaimana hubungan gaya hidup pasien dengan keluhan sekarang?
2.4 Mengapa pasien pernah mengalami kejang 3x dengan tiap kejang berdurasi
10 menit?
2.5 Bagaimana intepretasi hasil pemeriksaan fisik?
2.6 Apa kemungkinan yang terjadi pada pasien?
2.7 Pemeriksaan penunjang apa yang diperlukan?

3
BAB III

Brainstorming

3.1. Mengapa Julian koma dan hilang kesadaran?


Kesadaran memilki dua aspek yakni aspek neurologis dan psikiatrik.
Sebutan gangguan kesadaran mengarah pada aspek psikiatrik sedangkan pada
aspek neurologis disebut penurunan kesadaran. Koma merupakan keadaan
kesadaran terendah dimana seseorang tidak mampu memberikan reaksi yang
diberikan walau sudah diberi rangsanagan juga hilangnya respon subjektif
pasien. Koma merupakan kegawatdaruratan medik yang paling sering
dijumpai. Berdasar gambaran klinik, koma terbagi atas:

a. Koma dengan Defisit Neurologik Fokal


Defisit neurologik fokal dapat berupa hemiplegia, paralisis
nervi kraniales, pupil anisokoria, afasia, reflek fisiologik atau
patologik asimetri, rigiditas dekortikasi atau deserebrasi. Faktor
penyebabnya antara lain GPDO, tumor otak, ensefalitis, abses
otak, kontusio serebri, pendarahan epidura dan subdura.
b. Koma dengan Tanda Rangsangan Meningeal
Adanya tanda kaku kuduk, kernig, brudzinki. Faktor
penyebabnya antara lain meningitis, meningoensefalitis,
pendarahan subaraknoid, tumor di fosa posterior.
c. Koma tanpa Defisit Neurologik Fokal atau Rangsangan Meningeal
Faktor penyebabnya antara lain intoksikasi, gangguan
metabolik, sinkop, renjatan, komosio serebri, hipertermia,
hipotermia, sepsis, malaria otak, ensefalopati hipertensi, eklamsia
dan epilepsi umum. Berdasarkan anatomi-patofisiologi, koma
dibagi dalam:

4
a. Koma kortikal-bihemisferik, yaitu koma yang terjadi karena
neuron pengemban kewaspadaan terganggu fungsinya.
b. Koma diensefalik, terbagi atas koma supratentorial, infratentorial,
kombinasi supratentorial dan infratentorial; dalam hal ini neuron
penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan
neuron pengemban kewaspadaan (Brust, 2007).

Pasien pada skenario kali ini bisa koma dan hilang kesadaran
kemungkinan karena adanya infeksi yang mengenai meningens, karena
dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda meningeal dan reflek
patologis yang positif. Infeksi yang mengenai meningens bisa
menyebabkan keluarnya metabolit toksik yang dihasilkan oleh
mikroorganisme yang masuk. Metabolit toksik tersebutlah yang dapat
menyebabkan kejang dan berbagai manifestasi lainnya. Semua keadaan
tersebut dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan dapat menyebabkan
hilangnya kesadaran. (Mardjono, 2010)

3.2. Mengapa pasien mgengeluh sakit kepala sejak 2 minggu yang


lalu?
Nyeri kepala dapat muncul dalam interval beberapa waktu. Bila nyeri
kepala bersifat kronis, maka dapat dirasakan setiap hari dengan sifat yang
konstan. Nyeri kepala yang mendadak dapat disebabkan oleh infeksi
intrakranial, infeksi sistemik, hipertensi berat, perdarahan otak, keracunan,
neurosis, trauma kapitis, glaukoma, migren klasik dan cluster headache. Nyeri
kepala yang bersifat kronis dapat disebabkan oleh tumor otak, hipertensi,
trauma kapitis, uremi, migren umum, keganasan, serta penyakit kronis
lainnya. Nyeri kepala yang mendadak dan disertai demam dapat disebabkan
oleh meningitis, otitis media akut, malaria, serta infeksi lainnya. (Harsono,
2015)

5
3.3. Bagaimana hubungan gaya hidup pasien dengan keluhan
sekarang ?
Hubungan gaya hidup pasien dengan keluhan sekarang yaitu mungkin
dikarenakan gaya hidup bebas pasien bebas, seperti mengkonsumsi makanan
sembarangan, tidak mengontrol kebersihan makanan, sex bebas dan
mengkonsumsi alkohol. Alkohol menyebabkan kerusakan sel imun
meningkat, akibatnya menghambat regenerasi sel, lalu menyebabkan stress
oksidatif sehingga timbul keluhan. Profesi julian yang sebagai aktor membuat
julian mengalami penurunan sistem imun sehingga mudah terkena penyakit.
(Harsono, 2015)

3.4. Mengapa pasien pernah mengalami kejang 3x dengan tiap kejang


berdurasi 10 menit?

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari


sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang tergangu akibat suatu
keadaan patologik, aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan kotreks
sereblum kemungkinan besar bersifat epilogenetik, sedangkan lesi di
serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Ditingkat mermbran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:
a. Instabilitas mermbran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan            menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
secara berlebihan.
c. Ketidakseimbngan ion yang mengubah keseimbngan asam- basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini

6
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurototransmitter inhibiotorik.
d. Kelainan polarisasi ( polarisasi berlebihan hipopolarisasi atau selang
waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetikolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat ( GABA). (Price & Wilson, 2006)

3.5. Bagaimana intepretasi hasil pemeriksaan fisik?

Pemeriksaan fisik:

GCS E2V2M3 : soporocoma

Tekanan darah 150/90 : Hipertensi grade II

Nadi 100x/min : Normal

Temperatur 40oC : Febris

Respiration Rate 26x/min : Takipneu

3.6. Apa kemungkinan yang terjadi pada pasien?

Anamnesis:
Keluhan Umum : Koma
Onset, kronologi : Sering mengalami nyeri kepala sejak 2 minggu yang
lalu, saat tidak sadar terjadi kejang 3 kali, setiap kejang
selama 10 menit, kejang diseluruh badan
Kualitas : meningkat
Kebiasaan : Pola hidup bebas

Pemeriksaan Fisik:
GCS: E2V2M3, BP: 150/90 mmHg, N: 100x / min, S: 40C, RR: 26x / min.
Reflek fisiologi meningkat (+). Patellar (+), Achilles (+), biceps (+), triceps
(+).
Reflek patologis (+). Babinski (+), chaddok (+).
Inspeksi pada kaku di leher (+), Brudzinski I and II (+)

7
Diagnosis Banding:
a. Meningitis
b. Ensefalitis
c. Meningoensefalitis
d. Tumor Otak
e. Abses Otak

3.7. Pemeriksaan penunjang apa yang diperlukan?


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel
dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan
adanya peningkatan tekanan intrakranial.
b. Pemeriksaan Darah
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED),
kadar glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
c. Pemeriksaan Electroencephalogram (EEG)
Dapat mengkonfirmasi komponen ensefalitis. EEG adalah tes
definitif dan menunjukkan aktivitas gelombang lambat, walaupun
perubahan fokal mungkin ada. Studi neuroimaging mungkin
normal atau mungkin menunjukkan pembengkakan otak difus
parenkim atau kelainan fokal.
d. Kultur
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan
lumbal pungsi atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu
sebab seperti adanya hernia otak.
e. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto
kepala, CT-Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya
infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan
tuberkulosis, foto kepala kemungkinan adanya penyakit pada

8
mastoid dan sinus paranasal. Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak
dapat dijadikan pemeriksaan diagnosis pasti meningitis. Beberapa
pasien dapat ditemukan adanya enhancemen meningeal, namun
jika tidak ditemukan bukan berarti meningitis dapat disingkirkan
(Hasbu, 2013).

9
BAB IV

Kerangka Teori

10
BAB V

Sasaran Belajar

5.1. Bagaimana anatomi lapisan meningeal?


5.2. Bagaimana patofisiologi serta klasifikasi kejang?
5.3. Jelaskan tentang meningitis!
5.4. Jelaskan tentang encephalitis!
5.5. Jelaskan tentang meningoencephalitis!
5.6. Bagaimana perbedaan meningitis, encephalitis dan
meningoencephalitis?

11
BAB VI

Belajar Mandiri

12
BAB VII

Hasil Belajar

7.1. Bagaimana anatomi lapisan meningeal?


Lapisan meningeal merupakan lapisan atau selaput pembungkus
encephalon dan medulla spinalis. Otak dan sumsum otak belakang diselimuti
meningea yang melindungi struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh
darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan serebrospinal.

(Snell, 2006)

Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:


a. Duramater
Pada duramater kranialis terdiri atas 2 lapisan meningealis :
Lamina endostealis dan lamina meningealis.
Lapisan meningealis terdiri atas :
- Falx cerebri merupakan lapisan yang memisahkan antara
hemisphere dextra dan hemisphere cerebrum.

13
- Falx cerebelli merupakan lapisan yang memisahkan antara
hemisphere cerebellum.
- Tetorium cerebelli merupakan lapisan yang memisahkan
cerebrum dan cerebellum.
- Diaphragma sellae merupakan lapisan yang melapisi sella
tursica tempat dari glandula hipofisis
Ruangan yang berada dibawah duramater di sebut spatium
subdural.
b. Aracnoideamater
Merupakan membran avaskuler yang menempel pada permukaan
dural. Ruangan diantara arachnoidea mater dan piamater di sebut
spatium subarachnoid. Dan mengandung CSF ( Cerebrospinalis
Fluid) yang berperan melindungi otak.
c. Piamater
Jaringan ikat yang melapisi encephalon dan spinal cord. Jaringan
ikat tersebut menempel langsung pada organ tersebut. (Snell,
2006)

7.2. Bagaimana patofisiologi serta klasifikasi kejang?


Kejang merupakan Suatu kejadian paroksismal yang disebabkan oleh
lepas muatan hipersinkron abnormal dari suatu kumpulan neuron sistem saraf
pusat (Price, 2005). Manifestasi kejang adalah kombinasi beragam dari
perubahan tingkat kesadaran, serta gangguan fungsi motorik, sensorik, atau
autonom, bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini. Sedangkan
menurut Sampson (2007), kejang merupakan perubahan aktivitas motorik
abnormal yang tanpa atau disertai dengan perubahan perilaku yang sifatnya
sementara yang disebabkan akibat perubahan aktivitas elektrik di otak.
Menurut Price (2005), Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal
yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang
terganggu akibat suatu keadaan patologik. Akitvitas kejang sebagian

14
bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak
tengah, thalamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang.
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
 Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
 Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara
berlebihan.
 Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
 Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik. (Price, 2005)
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama
aktivitas kejang. Klasifikasi kejang:

15
(Price, 2005)

7.3 Jelaskan tentang meningitis!


a. Definisi
Inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan medula spinalis. Hal
ini paling sering disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, atau jamur) tetapi
dapat juga terjadi karena iritasi kimia, perdarahan subarachnoid, kanker
atau kondisi lainnya (WHO, 2013).

16
b. Etiologi (Hasbu, 2013)
1) Bakteri:
a) Pneumococcus
b) Meningococcus
c) Haemophilus influenza
d) Staphylococcus
e) Escherichia coli
f) Salmonella
g) Mycobacterium tuberculosis
2) Virus :
a) Enterovirus
b) Mumps
c) Herpes virus
d) Arbovirus
e) Kasus yang sangat jarang: LMCV (lymphocytic choriomeningitis
virus)
3) Jamur :
a) Cryptococcus neoformans
b) Coccidioides immitris
c) Candida (jarang)

c. Faktor Risiko (Hasbu, 2013)


1) Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun
2) Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh
3) Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal
4) Infeksi HIV
5) Anemia sel sabit dan splenektomi
6) Alkoholisme, sirosis hepatis
7) Talasemia mayor

17
8) Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis
9) Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi
10) Ventriculoperitoneal shunt
d. Patofisiologi (Hasbu, 2013)

Cerebrovascular
Accident/ stroke

18
e. Manifestasi Klinis (Hasbu, 2013)
1) Trias meningitis tersebut sebagai berikut :
a) Demam
b) Nyeri kepala
c) Kaku kuduk.
2) Panas mendadak
3) Letargi
4) Mual muntah
5) Penurunan nafsu makan
6) Nyeri otot
7) Fotofobia
8) Mudah mengantuk
9) Bingung, gelisah
10) Parese nervus kranialis
11) Kejang

f. Penegakkan Diagnosis (Lumbantobing, 2004)


1) Anamnesis
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti
demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual
muntah, penurunan nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia,
gelisah, kejang dan penurunan kesadaran. Anamnesa dapat dilakukan
pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan
untuk autoanamnesa.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis
biasanya dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai
berikut :
a) Pemeriksaan tanda vital
b) Pemeriksaan Kaku Kuduk

19
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif
berupa fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila
didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala
disertai rasa nyeri dan spasme otot.
c) Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi
panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut
sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila
ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat
di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya
diikuti rasa nyeri.
d) Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring ,
tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada pasien
untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien
difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif
(+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di
sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.
e) Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha
pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda
Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.
f) Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)
Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua
ibu jari pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda
Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas
superior.
g) Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)

20
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu
jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+)
bila terjadi flexi involunter extremitas inferior.
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah
sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak
ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
 Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi,
cairan jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan
protein normal, kultur negatif.
 Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat,
cairan keruh, jumlah sel darah putih meningkat (pleositosis
lebih dari 1000 mm3), protein meningkat, glukosa menurun,
kultur (+) beberapa jenis bakteri.

Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen


infeksi pada cairan serebrospinal, yaitu :

21
kondisi Tekanan Leukosit Protein Glukosa keterangan
(/μL) (mg/dL) (mg/dL)
Normal 50-180 <4; 60-70% 20-45 >50 atau
mm H2O limfosit, 75%
30-40% glukosa
monosit, darah
1-3% neutrofil
Meningit Biasanya 100-60,000 +; 100-500 Terdepresi Organisme
is meningk biasanya apabila dapat dilihat
bakterial at beberapa ribu; dibandingka pada Gram
akut PMNs ndengan stain dan
mendominasi glukosa kultur
darah;
biasanya
<40
Meningit Normal 1-10,000; >100 Terdepresi Organisme
is atau didominasi atau normal normal dapat
bakterial meningk PMNs tetapi dilihat;
yang at mononuklear pretreatment
sedang sel biasa dapat
menjalan mungkin menyebabka
i mendominasi n CSF steril
pengobat Apabila
an pengobatan
sebelumnya
telah lama
dilakukan
Tubercul Biasanya 10-500; PMNs 100-500; <50 usual; Bakteri
ous meningk mendominasi lebih menurun tahan asam
meningiti at: dapat pada awalnya tinggi khususnya mungkin
s sedikit namun khususn apabila dapat terlihat
meningk kemudian ya saat pengobatan pada
at karena limfosit dan terjadi tidak pemeriksaan
bendung monosit blok adekuat usap CSF;
an cairan mendominasi cairan
serebrosp pada akhirnya serebros 22
inal pada pinal
tahap
a) Pemeriksaan Darah
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah
(LED), kadar glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati,
elektrolit.

1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB


2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap
glukosa pada cairan serebrospinal.
5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai
fungsi organ dan penyesuaian dosis terapi.
6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.

a) Kultur
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan
lumbal pungsi atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu
sebab seperti adanya hernia otak. Sampel kultur dapat diambil
dari :
1) Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H.
Influenzae, S. Pneumoniae, N. Meningitidis.
2) Nasofaring
3) Sputum
4) Urin
5) Lesi kulit

a) Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto
kepala, CT-Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya
infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia

23
dan tuberkulosis, foto kepala kemungkinan adanya penyakit pada
mastoid dan sinus paranasal.
Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan
pemeriksaan diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat
ditemukan adanya enhancemen meningeal, namun jika tidak
ditemukan bukan berarti meningitis dapat disingkirkan.
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus,
enhancement kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat
pula ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans.

CT-Scan pada Meningitis Bakteri. Didapatkan ependimal


enhancement dan ventrikulitis

24
MRI pada meningitis bakterial akut. Contrast-enhanced, didapatkan
leptomeningeal enhancement

g. Tatalaksana (Quagliarello, 2007).


1) Meningitis Virus
Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri.
Penatalaksanaan umum meningitis virus adalah terapi suportif seperti
pemberian analgesik, antpiretik, nutrisi yang adekuat dan hidrasi.
Meningitis enteroviral dapat sembuh sendiri dan tidak ada obat yang
spesifik, kecuali jika terdapat hipogamaglobulinemia dapat diberikan
imunoglonbulin. Pemberian asiklovir masih kontroversial, namun
dapat diberikan sesegera mungkin jika kemungkinan besar meningitis
disebabkan oleh virus herpes. Beberapa ahli tidak menganjurkan
pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika terdapat ensefalitis.
Dosis asiklovir intravena adalah (10mg/kgBB/8jam).
Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun
karena toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat dengan kultur

25
CMV positif atau pada pasien dengan imunokompromise. Dosis
induksi selama 3 minggu 5 mg/kgBB IV/ 12 jam, dilanjutkan dosis
maintenans 5 mg/kgBB IV/24 jam.
1) Meningitis Bakteri
Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang
neurologi karena dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Oleh karena itu pemberian antibiotik empirik yang segera
dapat memberikan hasil yang baik.

Age or Predisposing Antibiotics


Feature
Age 0-4 wk Amoxicillin or ampicillin plus either
cefotaxime or an aminoglycoside
Age 1 mo-50 y Vancomycin plus cefotaxime or
ceftriaxone*
Age >50 y Vancomycin plus ampicillin plus
ceftriaxone or cefotaxime plus
vancomycin*
Impaired cellular immunity Vancomycin plus ampicillin plus either
cefepime or meropenem
Recurrent meningitis Vancomycin plus cefotaxime or
ceftriaxone
Basilar skull fracture Vancomycin plus cefotaxime or
ceftriaxone
Head trauma, Vancomycin plus ceftazidime, cefepime,
neurosurgery, or CSF shunt or meropenem
CSF = cerebrospinal fluid.
*Add amoxicillin or ampicillin if Listeria monocytogenes is a
suspected pathogen.

26
Tabel 2. Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek
Bakteri

a) Neonatus-1 bulan
1) Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau
dengan tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
2) Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan
tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
b) Bayi usia 1-3 bulan
1) Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam)
Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)
Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral
atau IV/ 12 jam) ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or
IM / 8 hours).
c) Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun
1) Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12
jam, maksimal 4 g/hari)
d) Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
1) Dosis anak
Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)

Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12


jam, maksimal 4 g/hari)

Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam

2) Dosis dewasa
Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam

27
Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam

Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15


mg/kgBB IV/ 12 jam

Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak,


20 mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika
dicurigai infeksi listeria ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/
6 jam).

e) Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun


1) Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
2) Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin – 750-1000 mg
IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin
(50 mg/kgBB IV/ 6 jam). Jika dicurigai basil gram negatif
diberikan ceftazidime (2 g IV/ 8 jam).
Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan
kortikosteroid (biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/
6 jam selama 2-4 hari). meskipun pemberian kortikosteroid masih
kontroversial, namun telah terbukti dapat meningkatkan hasil
keseluruhan pengobatan pada meningitis akibat H. Influenzae,
tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus. Dalam suatu
penelitian yang dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian
kortikosteroid dapat mengurangi gejala gangguan pendengaran
dan gejala neurologis sisa tetapi secara umum tidak dapat
mengurangi mortalitas.

1) Meningitis Fungal
Pada meningitis akibat kandida dapat diberikan terapi inisial
amphotericin B (0.7 mg/kgBB/hari), biasanya ditambahkan
Flucytosine (25 mg/kgBB/ 6 jam) untuk mempertahankan kadar

28
dalam serum (40-60 µg/ml) selama 4 minggu. Setelah terjadi
resolusi, sebaiknya terapi dilanjutkan selama minimal 4 minggu.
Dapat pula diberikan sebagai follow-up golongan azol seperti
flukonazol dan itrakonazol.
4) Meningitis Tuberkulosa
Pengobatan meningitis tuberkulosa dengan obat anti tuberkulosis
sama dengan tuberkulosis paru-paru. Dosis pemberian adalah sebagai
berikut :

a) Isoniazid 300 mg/hari


b) Rifampin 600 mg/hari
c) Pyrazinamide 15-30 mg/kgBB/hari
d) Ethambutol 15-25 mg/kgBB/hari
e) Streptomycin 7.5 mg/kgBB/ 12 jam
Atau dapat menggunakan acuan dosis sebagai berikut :

29
Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis

5) Meningitis Parasitik
Meningitis karena cacing ditatalaksana dengan terapi suportif
seperti analgesia yang adekuat, terapi aspirasi cairan serebrospinal
dan antiinflamasi seperti kortikosteroid. Pemberian obat
antihelmintic dapat menjadi kontraindikasi karena dapat
memperparah gejala klinis dan bahkan menyebabkan kematian
sebagai akibat dari peradangan hebat yang merupakan respon
terhadap proses penghancuran cacing.
Meningitis amuba yang diakibatkan oleh Naegleria fowleri adalah
fatal. Diagnosis dini dan pemberian dosis tinggi IV amfoterisin B
atau mikonazol dan rifampisin dapat memberikan manfaat terapi.

h. Komplikasi
Komplikasi meningitis pada onset akut dapat berupa perubahan status
mental, edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang,
empiema atau efusi subdural, parese nervus kranialis, hidrosefalus, defisit
sensorineural, hemiparesis atau quadriparesis, kebutaan. Pada onset lanjut
dapat terjadi epilepsi, ataxia, abnormalitas serebrovaskular, intelektual
yang menurun dan lain sebagainya. Komplikasi sistemik dari meningitis
adalah syok septik, disseminated intravascular coagulaton (DIC),
gangguan fungsi hipotalamus atau disfungsi endokrin, kolaps vasomotor
dan bahkan dapat menyebabkan kematian (Quagliarello, 2007).

30
i. Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme
spesifik yang menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam
selaput otak, jenis meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan
antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai
prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan
kematian (Quagliarello, 2007).

7.4. Jelaskan tentang encephalitis!

Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak. Dari perspektif


epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis, meskipun
pada evaluasi klinis, keduanya mempunyai tanda dan gejala inflamasi
meningeal, seperti photophobia, sakit kepala, atau leher kaku. (Lazoff M,
2010)

Cerebritis menunjukkan tahap pembentukan abses dan infeksi bakteri


yang sangat merusak jaringan otak, sedangkan ensefalitis akut umumnya
infeksi virus dengan kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai dengan
sangat berat.

Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk
sekunder. Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan
sumsum tulang belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus
pertama terjadi di tempat lain di tubuh dan kemudian ke otak.

Ensefalitis yang mengakibatkan kerusakan otak, dapat menyebabkan


atau memperburuk gejala gangguan perkembangan atau penyakit mental.
Disebut ensefalitis lethargica, yang membentuk berbagai gejala penyakit
Parkinson seperti parkinsonianism postencephalitik. Dalam beberapa kasus
ensefalitis menyebabkan kematian. Pengobatan ensefalitis harus dimulai

31
sedini mungkin untuk menghindari dampak serius dan efek seumur hidup.
Terapi tergantung pada penyebab peradangan, mungkin termasuk antibiotik,
obat anti-virus, dan obat-obatan anti-inflamasi. Jika hasil kerusakan otak dari
ensefalitis, terapi (seperti terapi fisik atau terapi restorasi kognitif) dapat
membantu pasien setelah kehilangan fungsi. (James D.C, 2004)

A. Etiologi
Penyebab ensefalitis biasanya bersifat infektif tetapi bisa juga yang non-
infektif seperti pada proses dimielinisasi pada Acute disseminated
encephalitis. Ensefalitis bisa disebabkan oleh virus, bakteria, parasit, fungus
dan riketsia. Agen virus, seperti virus HSV tipe 1 dan 2 (hampir secara
eksklusif pada neonatus), EBV, virus campak (PIE dan SSPE), virus gondok,
dan virus rubella, yang menyebar melalui kontak orang-ke-orang. Virus
herpes manusia juga dapat menjadi agen penyebab. CDC telah
mengkonfirmasi bahwa virus West Nile dapat ditularkan melalui transplantasi
organ dan melalui transfusi darah. Vektor hewan penting termasuk nyamuk,
kutu (arbovirus), dan mamalia seperti rabies. (James D.C, 2004

B. Klasifikasi

1. Ensefalitis Supurativa

Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus,


streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa. Patogenesis: Peradangan dapat
menjalar ke jaringan otak dari otitis media,mastoiditis,sinusitis,atau dari
piema yang berasal dari radang, abses di dalam paru, bronchiektasis,
empiema, osteomeylitis cranium, fraktur terbuka, trauma yang menembus ke
dalam otak dan tromboflebitis. Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang
bersarang adalah edema, kongesti yang disusul dengan pelunakan dan
pembentukan abses. Disekeliling daerah yang meradang berproliferasi
jaringan ikat dan astrosit yang membentuk kapsula. Bila kapsula pecah

32
terbentuklah abses yang masuk ventrikel. Secara umum gejala berupa trias
ensefalitis :

1) Demam
2) Kejang
3) Kesadaran menurun : Bila berkembang menjadi abses serebri akan
timbul gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan
intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif,muntah,
penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan mungkin
terdapat edema papil.Tanda-tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi
dan luas abses.

2. Ensefalitis Sifilis
Patogenesis: Disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi
melalui permukaan tubuh umumnya sewaktu kontak seksual. Setelah penetrasi
melalui epithelium yang terluka, kuman tiba di sistim limfatik, melalui
kelenjar limfe kuman diserap darah sehingga terjadi spiroketemia. Hal ini
berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunan saraf pusat.
Treponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagian-
bagian lain susunan saraf pusat. Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua
bagian:
1) Gejala-gejala neurologis :
Kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan, afasia, apraksia,
hemianopsia, kesadaran mungkin menurun,sering dijumpai pupil Argryll-
Robertson,nervus opticus dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir timbul
gangguanan-gangguan motorik yang progresif. (Mardjono, 2003)

3. Ensefalitis Virus
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :
i. Virus RNA
oParamikso virus : virus parotitis, virus morbili

33
oRabdovirus : virus rabies
oTogavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virus
dengue)
oPicornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A,B,echovirus)
oArenavirus : virus koriomeningitis limfositoria
ii. Virus DNA
oHerpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks,
sitomegalivirus,
ovirus Epstein-barr
oPoxvirus : variola, vaksinia
oRetrovirus : AIDS
Manifestasi klinis dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri
badan, nausea, kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku
kuduk, hemiparesis dan paralysis bulbaris. Biasanya ensefalitis virus dibagi
dalam 3 kelompok :
1. Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus
kelompok herpes simpleks, virus influensa, ECHO, Coxsackie dan virus arbo
2. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya
3. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul
sebagai komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal seperti rubeola,
varisela, herpes zoster, parotitis epidemika, mononucleosis infeksiosa dan
vaksinasi.

Menurut statistik dari 214 ensefalitis,54% (115 orang) dari penderitanya


ialah anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus herpes
simpleks (31%) yang disusul oleh virus ECHO (17%). Statistik lain
mengungkapkan bahwa ensefalitis primer yang disebabkan oleh virus yang
dikenal mencakup 19%. Ensefalitis primer dengan penyebab yang tidak
diketahui dan ensefalitis para- infeksiosa masing-masing mencakup 40% dan
41% dari semua kasus ensefalitis yang telah diselidiki. (Behrman RE, 2000)

34
Ensefalitis primer : ensefalitis viral herpes simpleks

Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus


varisela, dan sitomegalovirus. Secara serologik memang dapat dibedakan
dengan tegas. Neonatus masih mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah
umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis
virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada
perbatasan mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi tersebut
jinak sekali. Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal
terhadap virus herpes simpleks atau apabila pada partus neonatus ketularan
virus herpes simpleks dari ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka
infeksi dapat berkembang menjadi viremia. Ensefalitis merupakan sebagian
dari manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan dan nekrosis di
hepar dan glandula adrenalis.

Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks


merupakan manifestasi reaktivitasi dari infeksi yang laten. Dalam hal tersebut
virus herpes simpleks berdiam didalam jaringan otak secara endosimbiotik,
mungkin digangglion Gasseri dan hanya ensefalitis saja yang bangkit.

Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan


grisea serta infark iskemik dengan infiltrasi limfositer sekitar pembuluh darah
intraserebral. Di dalam nukleus sel saraf terdapat “inclusion body” yang khas
bagi virus herpes simpleks.

Gambaran penyakit ensefalitis virus herpes simpleks tidak banyak


berbeda dengan ensefalitis primer lainnya. Tetapi yang menjadi ciri khas bagi
ensefalitis virus herpes simpleks ialah progresivitas perjalanan penyakitnya.
Mulai dengan sakit kepala, demam dan muntah-muntah. Kemudian timbul
“acute organic brain syndrome’ yang cepat memburuk sampai koma. Sebelum
koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptik dapat

35
timbul sejak permulaan penyakit. Pada pungsi lumbal ditemukan pleiositosis
limpositer dengan eritrosit.

Arbovirus atau lengkapnya “arthropod-borne virus” merupakan


penyebab penyakit demam dan adakalanya ensefalitis primer. Virus tersebut
tersebar diseluruh dunia. Kutu dan nyamuk dimana virus itu “berbiak”
menjadi penyebarannya.

Ciri khas ensefalitis primer arbo-virus ialah perjalanan penyakit yang


bifasik. Pada gelombang pertama gambaran penyakitnya menyerupai
influensa yang dapat berlangsung 4-5 hari. Sesudahnya penderita mereka
sudah sembuh. Pada minggu ketiga demam dapat timbul kembali. Dan demam
ini merupakan gejala pendahulu bangkitnya manifestasi neurologik, seperti
sakit kepala, nistagmus, diplopia, konvulsi dan “acute organic brain
syndrome”

Gejala-gejala prodromalnya terdiri dari lesu dan letih badan, anoreksia,


demam, cepat marah-marah dan nyeri pada tempat yang telah digigit anjing.
Suara berisik dan sinar terang sangat mengganggu penderita. Dalam 48 jam
dapat bangkit gejala-gejala hipereksitasi. Penderita menjadi gelisah,
mengacau, berhalusinasi meronta-ronta, kejang opistotonus dan hidrofobia.
Tiap kali ia melihat air, otot-otot pernafasan dan laring kejang, sehingga ia
menjadi sianotik dan apnoe. Air liur tertimbun didalam mulut oleh karena
penderita tidak dapat menelan. Pada umumnya penderita meninggal karena
status epileptikus. Masa penyakit dari mula-timbulnya prodromal sampai mati
adalah 3 sampai 4 hari saja.

Untuk Indonesia perlu dipikirkan virus Rabies, Mumps (penyebab


parotitis) dan mungkin Herpes Simpleks. Penyebab dari ensefalitis adalah
paling sering infeksi virus beberapa contoh termasuk virus herpes; arbovirus
diperantarai oleh nyamuk, dan serangga lain dan rabies.

36
4. Ensefalitis Karena Parasit

Malaria serebral: Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria


serebral. Gangguan utama terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit.
Sel darah merah yang terinfeksi plasmodium falsifarum akan melekat satu
sama lainnya sehingga menimbulkan penyumbatan-penyumbatan.
Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal yang tersebar secara difus
ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak. Gejala-gejala yang timbul :
demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma. Kelainan neurologik
tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan.(Mardjono, 2003)

5. Ensefalitis Karena Fungus

Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : Candida albicans,


Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor
mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat
ialah meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya
infeksi adalah daya imunitas yang menurun. (Markam, 2003)

6. Riketsiosis Serebri

Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat
menyebabkan Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli
yang terdiri atas sebukan sel-sel mononuclear, yang terdapat pula disekitar
pembuluh darah di dalam jaringan otak. Didalam pembuluh darah yang
terkena akan terjadi trombositosis. Gejala gejalanya ialah nyeri kepala,
demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin kesadaranturun. (Markam,
2003)

C. Patofisiologi

37
Patogenesis dari encephalitis mirip dengan pathogenesis dari viral
meningitis, yaitu virus mencapai Central Nervous System melalui darah
(hematogen) dan melalui saraf (neuronal spread). Penyebaran hematogen
terjadi karena penyebaran ke otak secara langsung melalui arteri intraserebral.
Penyebaran hematogen tak langsung dapat juga dijumpai, misalnya arteri
meningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteri tersebut itu kuman dapat
tiba di likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui penerobosan dari
pia mater. (Behrman, 2000)
Selain penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran
melalui neuron, misalnya pada encephalitis karena herpes simpleks dan rabies.
Pada dua penyakit tersebut, virus dapat masuk ke neuron sensoris yang
menginnervasi port d’entry dan bergerak secara retrograd mengikuti axon-
axon menuju ke nukleus dari ganglion sensoris. Akhirnya saraf-saraf tepi
dapat digunakan sebagai jembatan bagi kuman untuk tiba di susunan saraf
pusat. (James D.C, 2004)

Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel tuan rumah, kapsel virus
dihancurkan. Dalam hal tersebut virus merangsang sitoplasma tuan rumah
untuk membuat protein yang menghancurkan kapsel virus. Setelah itu nucleic
acid virus berkontak langsung dengan sitoplasma sel tuan rumah. Karena
kontak ini sitoplasma dan nukleus sel tuan rumah membuat nucleic acid yang
sejenis dengan nucleic acid virus. Proses ini dinamakan replikasi (James D.C,
2004).
Karena proses replikasi berjalan terus, maka sel tuan rumah dapat
dihancurkan. Dengan demikian partikel-partikel viral tersebar ekstraselular.
Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbullah
manifestasi-manifestasi toksemia yang kemudian disususl oleh manifestasli
lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia terdiri dari sakit kepala, demam, dan
lemas-letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi lokalisatorik akibat kerusakan
susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan motorik (gangguan

38
penglihatan, gangguan berbicara,gannguan pendengaran dan kelemahan
anggota gerak), serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang
mengakibatkan nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi penurunan
berat badan.(James D.C, 2004)

D. Diagnosis

Anamnesa

Penegakan diagnosa ensefalitis dimulai dengan proses anamnesa secara


lengkap mengenai adanya riwayat terpapar dengan sumber infeksi, status
immunisasi gejala klinis yang diderita, riwayat menderita gejala yang sama
sebelumnya serta ada tidak nya faktor resiko yang menyertai. (Lazoff, 2010)

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dilihat tanda-tanda penyakit sistemik seperti


dijumpai adanya rash, limfeadenopati, meningismus, penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intracranial yang ditandai dengan adanya papil edema,
tanda- tanda neurologis fokal seperti kelemahan, gangguan berbicara,
peningkatan tonus otot, dan hiperrefleks ekstensor plantaris. (Lazoff, 2010)

Pemeriksaan penunjang

1. Lumbal pungsi

Lumbal pungsi adalah prosedur sering dilakukan di departemen gawat


darurat untuk mendapatkan informasi tentang cairan cerebrospinal (CSF).
Meskipun biasanya digunakan untuk tujuan diagnostik untuk menyingkirkan
potensi kondisi yang mengancam jiwa seperti meningitis bakteri atau
perdarahan subarachnoid, pungsi lumbal juga kadang-kadang dilakukan untuk
alasan terapeutik, seperti pengobatan pseudotumor cerebri. Analisis cairan
CSF juga dapat membantu dalam diagnosis berbagai kondisi lain, seperti

39
penyakit demielinasi dan meningitis carcinomatous. Pungsi lumbal harus
dilakukan hanya setelah pemeriksaan neurologis namun tidak pernah menunda
intervensi berpotensi menyelamatkan nyawa seperti antibiotik dan steroid
untuk pasien dengan dicurigai meningitis bakteri.

Pungsi lumbal harus dilakukan untuk indikasi berikut:


 Kecurigaan diduga meningitis
 kecurigaan subarachnoid hemorrhage
 penyakit sistem saraf pusat seperti sindrom Guillain-Barré dan terapi
carcinomatous meningitis
 pseudotumor cerebri

Kontraindikasi mutlak untuk pungsi lumbal adalah adanya kulit yang


terinfeksi atas situs entri jarum dan adanya tekanan yang tidak sama antara
kompartemen supratentorial dan infratentorial. Yang terakhir ini biasanya
diringkas oleh temuan karakteristik berikut pada otak tomografi (CT):
 Kehilangan pergeseran garis tengah posterior
 hilangnya suprakiasmatik dan basilar
 massa fossa posterior
 kehilangan superior cerebellar cistern
 kehilangan quadrigeminal plate cistern
Kontraindikasi relatif terhadap pungsi lumbal meliputi:
 peningkatan tekanan intrakranial ICP
 Koagulopati
 Abses otak

Pemeriksaan rutin dari CSF mencakup pengamatan visual warna dan


kejelasan dan tes untuk glukosa, protein, laktat, laktat dehidrogenase, jumlah
sel darah merah, jumlah sel darah putih dengan diferensial, serologi sifilis (tes

40
antibodi menunjukkan sifilis), Gram stain dan bakteri budaya. Pemeriksaan
lebih lanjut mungkin diperlukan tergantung pada hasil tes awal dan diagnosis
dicurigai.

Nilai normal:

 Tekanan: 70 - 180 mm H20


 Tampilan: Jernih, tidak berwarna
 CSF total protein: 15 - 60 mg/100 mL
 Gamma globulin: 3 - 12% of the total protein

 CSF glucose: 50 - 80 mg/100 mL (atau lebih besar dari 2/3 kadar gula
dalam darah)
 CSF cell count: 0 - 5 sel darah putih (semua mononuclear), dan tiada
sel darah merah

 Chloride: 110 - 125 mEq/L

LCS pada Berbagai Infeksi:

Penyakit Tekanan Protein Hitung sel Glukosa


LCS

Meningitis   sedang- > 50 PMN Rendah


bakteri tinggi

Meningitis N sedikit sd limfosit Normal


virus normal

Meningitis N  sedang Pleositosis Rendah


tuberkulosis atau
limfositosis

Ensefalitis / N sedikit sd limfositosis normal


normal 41
Glukosa: CSF glukosa biasanya sekitar dua-pertiga dari glukosa plasma
puasa. Sebuah tingkat glukosa di bawah 40 mg / dL adalah signifikan dan
terjadi pada meningitis bakteri dan jamur dan keganasan.

Protein: Tingkat total protein dalam CSF biasanya sangat rendah, dan
albumin membuat sampai sekitar twothirds dari total. Tinggi tingkat yang
terlihat dalam berbagai kondisi termasuk meningitis bakteri dan jamur,
multiple sclerosis, tumor, perdarahan subarachnoid, dan tap traumatis.

Laktat: CSF laktat digunakan terutama untuk membantu membedakan


meningitis bakteri dan jamur, yang menyebabkan laktat yang lebih besar,
meningitis virus, tidak ada.

Laktat dehidrogenase: Enzim ini meningkat pada meningitis bakteri dan


jamur, keganasan, dan perdarahan subarachnoid.

Sel darah putih (WBC count): Jumlah sel darah putih dalam CSF sangat
rendah, biasanya memerlukan jumlah pengguna WBC. Peningkatan leukosit
dapat terjadi dalam berbagai kondisi termasuk infeksi (virus, bakteri, jamur,
dan parasit), alergi, leukemia, multiple sclerosis, perdarahan, tekan traumatis,
ensefalitis, dan sindrom Guillain-Barré. Perbedaan WBC membantu untuk
membedakan banyak penyebab. Misalnya, infeksi virus biasanya berhubungan
dengan limfosit meningkat, sementara infeksi bakteri dan jamur terkait dengan
peningkatan leukosit polimorfonuklear (neutrofil). Diferensial juga dapat
mengungkapkan eosinofil berhubungan dengan alergi dan shunt ventrikel;
makrofag dengan bakteri yang tertelan (menunjukkan meningitis), sel darah
merah (menunjukkan perdarahan), atau lipid (menandakan infark serebral
mungkin); blasts (sel belum matang) yang mengindikasikan leukemia, dan
karakteristik sel-sel ganas dari jaringan asal. Sekitar 50% kanker metastatik

42
yang menyusup sistem saraf pusat dan sekitar 10% dari tumor sistem saraf
pusat akan menumpahkan sel ke dalam CSF.

Sel darah merah (RBC count): Meskipun tidak biasanya ditemukan


dalam CSF, sel darah merah akan muncul setiap kali perdarahan telah terjadi.
Merah sel dalam subarachnoid hemorrhage sinyal CSF, stroke, atau tekan
traumatis. Karena sel darah putih dapat masuk CSF dalam menanggapi infeksi
lokal, peradangan, atau perdarahan, jumlah RBC digunakan untuk
memperbaiki jumlah WBC sehingga mencerminkan kondisi selain perdarahan
atau tekan traumatis. Hal ini dilakukan dengan sel darah merah dan jumlah
leukosit dalam darah dan CSF. Rasio sel darah merah dalam CSF ke darah
dikalikan dengan jumlah darah WBC. Nilai ini dikurangi dari CSF WBC
count untuk menghilangkan leukosit berasal dari perdarahan atau tap
traumatis.

Gram stain: Pewarnaan Gram dilakukan pada sedimen dari CSF dan
positif sekitar setidaknya 60% dari kasus meningitis bakteri. Budaya
dilakukan untuk bakteri aerobik dan anaerobik. Selain itu, noda lainnya
(Pewarnaan kultur misalnya untuk Mycobacterium tuberculosis, kultur jamur
dan tes identifikasi cepat [tes untuk antigen bakteri dan jamur]) dapat
dilakukan secara sistematis.

Serologi sifilis: Hal ini melibatkan pengujian untuk antibodi yang


menunjukkan neurosifilis. Antibodi fluorescent treponemal penyerapan (FTA-
ABS) tes sering digunakan dan positif pada orang dengan sifilis aktif dan
diobati. Tes ini digunakan bersama dengan tes VDRL untuk antibodi
nontreponema, positif pada paling dengan sifilis aktif, tetapi negatif dalam
kasus dirawat.

Pengukuran kadar klorida dapat membantu dalam mendeteksi adanya


meningitis tuberkulosis.

43
Table-2. Chemical Examination of CSF.

2. Test Nonne-Apelt

Percobaan ini juga dikenal dengan nama test Nonne-Apelt atau test
Ross- Jones, menggunakan larutan jenuh amoniumsulfat sebagai reagens
(ammonium sulfat 80 gr : aquadest 100 ml : saring sebelum memakainya).
Test seperti dilakukan di bawah ini terutama menguji kadar globulin dalam
cairan otak.

Catatan :
Seperti juga test Pandy, test Nonne ini sering dilakukan sebagai bedside
test pada waktu mengambil cairan otak dengan lumbal pungsi. Dalam keadaan
normal hasil test ini negative, tidak terjadi kekeruhan pada perbatasan.
Semakin tinggi kadar globulin semakin tebal cincin keruh yang terjadi.
Laporan hasil test ini sebagai negative atau positif saja. Test Nonne memakai

44
lebih banyak bahan dari test Pandy, tetapi lebih bermakna dari test Pandy
karena dalam keadaan normal test ini berhasil negative : sama sekali tidak ada
kekeruhan pada batas cairan.

3. Test Pandy

Reagen Pandy, yaitu larutan jenuh fenol dalam air (phenolum


liquefactum 10 ml : aquadest 90 ml : simpan beberapa hari dalam lemari
pengeram 37 oC dengan sering dikocok-kocok) bereaksi dengan globulin dan
dengan albumin.

Catatan :
Test Pandy ini mudah dapat dilakukan pada waktu melaukan punksi dan
memang sering dijalankam demikian sebagai bedside test. Dalam keadaan
normal tidak akan terjadi kekeruhan atau kekeruhan yang sangat ringan
berupa kabut halus. Sedemikian tinggi kadar protein, semakin keruh hasil
reaksi ini yang selalu harus segera dinilai setelah pencampuran LCS dengan
reagen ini. Tidak ada kekeruhan atau kekeruhan yang sangat halus berupa
kabut menandakan hasil reaksi yang negatif.

4. Elektroensefalografi

Prosedur pemeriksaan ini merupakan suatu cara untuk mengukur


aktivitas gelombang listrik dari otak. Pemeriksaan ini biasanya digunakan
untuk mendiagnosa adanya gangguan kejang. Gambaran EEG
memperlihatkan proses inflamasi difus (aktivitas lambat bilateral). Bila
terdapat tanda klinis fokal yang ditunjang dengan gambaran EEG atau CT
scan, dapat dilakukan biopsi otak di daerah yang bersangkutan. Bila tidak ada
tanda klinis fokal, biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang
biasanya menjadi predileksi virus Herpes simplex.

5. Pemeriksaan imaging otak.

45
Diantaranya CT Scan dan MRI yang dapat mendeteksi adanya
pembengkakan otak. Jika pemeriksaan imaging memiliki tanda-tanda dan
gejala yang menjurus ke ensefalitis maka lumbal fungsi harus dilakukan untuk
melihat apakah terdapat peningkatan tekanan intrakranial.

6. Biopsi otak

Biopsi otak jarang dilakukan, kecuali untuk mendiagnosa adanya herpes


simpleks ensefalitis yang jika tidak mungkin dilakukan metode DNA atau CT
Scan dan MRI

7. Pemeriksaan darah

Polymerase Chain Reaction (PCR): pemeriksaan ini merupakan metode


yang digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi HSV 1, enterovirus 2, pada
susunan saraf pusat.

E. Penatalaksanaan
Dengan pengecualian dari ensefalitis herpes simplex dan varicella-
zoster, bentuk ensefalitis virus tidak dapat diobati. Tujuan utama adalah untuk
mendiagnosa pasien secepat mungkin sehingga mereka menerima obat yang
tepat untuk mengobati gejala. Hal ini sangat penting untuk menurunkan
demam dan meringankan tekanan yang disebabkan oleh pembengkakan otak.
Pasien dengan ensefalitis yang sangat parah beresiko bagi komplikasi
sistemik termasuk shock, oksigen rendah, tekanan darah rendah, dan kadar
natrium rendah. Setiap komplikasi yang mengancam nyawa harus diatasi
segera dengan perawatan yang tepat.
Penderita dengan kemungkinan ensefalitis harus dirawat inap sampai
menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah
mempertahankan fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap
terbuka, pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan

46
cairan dan elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah. Tata laksana
yang dikerjakan sebagai berikut :
I. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis
biasanya berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika
kejang sering terjadi, perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV,
dalam bentuk infus selama 3 menit.
II. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 -
1/4 S (tergantung umur) dan pemberian oksigen.
III. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan
oleh anoksia serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v
dibagi dalam 3 dosis.
IV. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol
diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit.
Pemberian dapat diulang setiap 8-12 jam
V. Pengobatan kausatif. Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri,
terutama abses otak (ensefalitis bakterial), maka harus diberikan
pengobatan antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena
infeksi virus herpes simplek diberikan Acyclovir intravena, 10
mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari. Jika terjadi
toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga
ketika terjadi kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir.
Dengan pengecualian penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita
ensefalitis oleh herpes simpleks, maka pengobatan yang dilakukan
bersifat non spesifik dan empiris yang bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan serta menopang setiap sistem organ yang
terserang. Efektivitas berbagai cara pengobatan yang dianjurkan belum
pernah dinilai secara objektif
VI. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh.
VII. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet. (James D. C,2009)

47
F. Gejala Sisa Dan Komplikasi
Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan
susunan saraf pusat dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik,
penglihatan dan pendengaran, sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati
dan sistem lain dapat terlibat secara menetap.
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan
koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi.
(Behrman, 2000)

G. Prognosis
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan.
Disamping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit
yang dapat muncul selama perawatan. Prognosis jangka pendek dan panjang
sedikit banyak bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita. Bayi
biasanya mengalami penyulit dan gejala sisa yang berat. Ensefalitis yang
disebabkan oleh VHS memberi prognosis yang lebih buruk daripada
prognosis virus entero.
Kematian karena ensefalitis masih tinggi berkisar antara 35-50 %. Dari
penderita yang hidup 20-40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa.
Penderita yang sembuh tanpa kelainan neurologis yang nyata dalam
perkembangan selanjutnya masih menderita retardasi mental, epilepsi dan
masalah tingkah laku.( James D. C, 2004)

7.5. Jelaskan tentang meningoencephalitis!


A. Definisi
Meningoencephalitis adalah peradangan yang terjadi pada encephalon
dan meningens. Nama lain dari meningoencephalitis adalah cerebromeningitis,
encephalomeningitis, dan meningocerebritis.

48
B. Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus
yang jarang disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada
meningitis yang disebabkan oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan
gambaran yang sama yaitu pada meningitis yang disebabkan organisme lain
(lyme disease, sifilis dan tuberculosis); infeksi parameningeal (abses otak, abses
epidural, dan venous sinus empyema); pajanan zat kimia (obat NSAID,
immunoglobulin intravena); kelainan autoimn dan penyakit lainnya.
Bakteri yang sering menyebabkan meningitis bacterial sebelum
ditemukannya vaksin Hib, S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang
menyebabkan meningitis neonatus adalah bakteri yang sama yang
menyebabkan sepsis neonatus.

Tabel 1. Bakteri penyebab meningitis


G Bakteri yang Bakteri yang jarang
olongan paling sering menyebabkan meningitis
usia menyebabkan
meningitis
N Group B Staphylococcus
eonatus streptococcus aureus
Escherichia Coagulase-negative
coli staphylococci
Klebsiella Enterococcus
faecalis
Enterobacter Citrobacter diversus
Salmonella
Listeria
monocytogenes
Pseudomonas
aeruginosa

49
Haemophilus
influenzae types a, b, c, d, e,
f, dan nontypable
> Streptococcu H. influenzae type b
1 bulan s pneumonia
Neisseria Group A
meningitides streptococci
Gram-negatif bacilli
L. monocytogenes

Virus yang menyebabkan meningitis pada prinsipnya adalah virus


golongan enterovirus dimana termasuk didalamnya adalah coxsackieviruses,
echovirus dan pada pasien yang tidak vaksinasi (poliovirus). Virus golongan
enterovirus dan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California vencephalitis
viruses) adalah golongan virus yang paling sering menyebabkan
meningoencephalitis. Selain itu virus yang dapat menyebabkan meningitis yaitu
HSV, EBV, CMV lymphocytic choriomeningitis virus, dan HIV. Virus mumps
adalah virus yang paling sering menjadi penyebab pada pasien yang tidak
tervaksinasi sebelumnya. Sedangkan virus yang jarang menyebabkan
meningitis yaitu Borrelia burgdorferi (lyme disease), B. hensalae (cat-scratch
virus), M. tuberculosis, Toxoplasma, Jamus (cryptococcus, histoplasma, dan
coccidioides), dan parasit (Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri,
Acanthamoeba).
Encephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang
biasanya merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi
encephalomyelitis, penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection.
Encephalitis merupakan hasil dari inflamasi parenkim otak yang dapat
menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri dapat bersifat difus atau
terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis dengan satu
dari dua mekanisme yaitu (1). Infeksi secara langsung pada parenkim otak atau

50
(2) sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immune-
mediated response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula pada
beberapa hari setelah munculnya manifestasi ekstraneural.

Tabel 2. Virus penyebab meningitis


Akut Subakut
Adenoviruses HIV
1. Amerika utara JC virus
 Eastern equine Prion-associated
encephalitis encephalopathies
 Western (Creutzfeldt-Jakob disease,
equine encephalitis kuru)
 St. Louis
encephalitis
 California
encephalitis
 West Nile
encephalitis
 Colorado tick
fever
2. Di luar
amerika utara
 Venezuelan
equine encephalitis
 Japanese
encephalitis
 Tick-borne
encephalitis

51
 Murray Valley
encephalitis
Enteroviruses
Herpesviruses
 Herpes
simplex viruses
 Epstein-Barr
virus
 Varicella-
zoster virus
 Human
herpesvirus-6
 Human
herpesvirus-7
HIV
Influenza viruses
Lymphocytic
choriomeningitis virus
Measles virus (native
atau vaccine)
Mumps virus (native
atau vaccine)
Virus rabies
Virus rubella

Virus adalah penyebab utama pada infeksi encephalitis akut.


Encephalitis juga dapat merupakan hasil dari jenis lain seperti infeksi dan
metabolik, toksik dan gangguan neoplastik. Penyebab yang paling sering
menyebabkan encephalitis di U.S adalah golongan arbovirus (St. Louis,
LaCrosse, California, West nile encephalitis viruses), enterovirus, dan

52
herpesvirus. HIV adalah penyebab penting encephalitis pada anak dan dewasa
dan dapat berupa acute febrile illness.

C. Patofisiologi
Dalam proses perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan oleh
bakteri, invasi organisme harus mencapai ruangan subarachnoid. Proses ini
berlangsung secara hematogen dari saluran pernafasan atas dimana di dalam
lokasi tersebut sering terjadi kolonisasi bakteri. Walaupun jarang, penyebaran
dapat terjadi secara langsung yaitu dari fokus yang terinfeksi seperti (sinusitis,
mastoiditism, dan otitis media) maupun fraktur tulang kepala.
Penyebab paling sering pada meningitis yang mengenai pasien < 1 bulan
adalah Escherichia colli dan streptococcus group B. Infeksi Listeria
monocytogenes juga dapat terjadi pada usia < 1 bulan dengan frekuensi 5-10%
kasus. Infeksi Neisseria meningitides juga dapat menyerang pada golongan usia
ini. Pada golongan usia 1-2 bulan, infeksi golongan streptococcus grup B lebih
sering terjadi sedangkan infeksi enterik karena bakteri golongan gram negatif
frekuensinya mulai menurun. Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenzae, dan N. Meningitidis akhir-akhir ini menyebabkan kebanyakan kasus
meningitis bakterial. H. influenzae dapat menginfeksi khususnya pada anak-
anak yang tidak divaksinasi Hib.
Organisme yang umum menyebabkan meningitis (seperti
N.Meningitidis, S.pneumoniae, H. influenzae) terdiri atas kapsul polisakarida
yang memudahkannya berkolonisasi pada nasofaring anak yang sehat tanpa
reaksi sistemik atau lokal. Infeksi virus dapat muncul secara sekunder akibat
penetrasi epitel nasofaring oleh bakteri ini. Selain itu melalui pembuluh darah,
kapsul polisakarida menyebabkan bakteri tidak mengalami proses opsonisasi
oleh pathway komplemen klasik sehingga bakteri tidak terfagosit.
Terdapat bakteri yang jarang menyebabkan meningitis yaitu pasteurella
multocida, yaitu bakteri yang diinfeksikan melalui gigitan anjing dan kucing.
Walaupun kasus jarang terjadi namun kasus yang sudah terjadi menunjukan

53
morbiditas dan mortalitaas yang tinggi. Salmonella meningitis dapat dicurigai
menyebabkan meningitis pada bayi berumur < 6 bulan. Infeksi bermula saat ibu
sedang hamil.
Pada perjalanan patogenesis meningitis bakterial terdapat fase bakterial
dimana pada fase ini bakteri mulai berpenetrasi ke dalam cairan serebropsinal
melalui pleksus choroid. Cairan serebrospinal kurang baik dalam menanggapi
infeksi karena kadar komplomen yang rendah dan hanya antibody tertentu saja
yang dapat menembus barier darah otak.
Dinding bakteri gram positif dan negatif terdiri atas zat patogen yang
dapat memacu timbulnya respon inflamasi. Asam teichoic merupakan zat
patogen bakteri gram positif dan lipopolisakarida atau endotoksin pada gram
negatif. Saat terjadinya lisis dinding sel bakteri, zat-zat pathogen tersebut
dibebaskan pada cairan serebrospinal.
Terapi antibiotik menyebabkan pelepasan yang signifikan dari mediator
dari respon inflamasi. Adapun mediator inflamasi antara lain sitokin (tumor
necrosis factor, interleukin 1, 6, 8 dan 10), platelet activating factor, nitric
oxide, prostaglandin, dan leukotrien. Mediator inflamasi ini menyebabkan
terganggunya keseimbangan sawar darah otak, vasodilatasi, neuronal toxicity,
peradangan meningeal, agregasi platelet, dan aktifasi leukosit. Sel endotel
kapiler pada daerah lokal terjadinya infeksi meningitis bacterial mengalami
peradangan (vaskulitis), yang menyebabkan rusaknya agregasi vaskuler.
Konsekuensi pokok dari proses ini adalah rusaknya mekanisme sawar darah
otak, edema otak, hipoperfusi aliran darah otak, dan neuronal injury.
Akibat kerusakan yang disebabkan oleh respons tubuh terhadap infeksi,
agen anti-inflamasi berbagai telah digunakan dalam upaya untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas meningitis bakteri. Hanya deksametason yang telah
terbukti efektif.
Meningitis viral atau meningitis aseptik adalah infeksi umum pada
sebagian besar infeksi sistem saraf pusat khususnya pada anak-anak < 1 tahun.
Enterovirus adalah agen penyebab paling umum dan merupakan penyebab

54
penyakit demam tersering pada anak. Patogen virus lainnya termasuk
paramyxoviruses, herpes, influenza, rubella, dan adenovirus. Meningitis dapat
terjadi pada hampir setengah kejadian dari anak-anak < 3 bulan dengan infeksi
enterovirus. infeksi enterovirus dapat terjadi setiap saat selama tahun tetapi
dikaitkan dengan epidemi di musim panas dan gugur. Infeksi virus
menyebabkan respon inflamasi tetapi untuk tingkat yang lebih rendah
dibandingkan dengan infeksi bakteri. Kerusakan dari meningitis viral mungkin
karena adanya ensefalitis terkait dan tekanan intrakranial meningkat.
Meningitis karena jamur jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada pasien
immunocompromised; anak-anak dengan kanker, riwayat bedah saraf
sebelumnya, atau trauma kranial, atau bayi prematur dengan tingkat kelahiran
rendah. Sebagian besar kasus pada anak-anak yang menerima terapi antibiotik
dan memiliki riwayat rawat inap. Etiologi meningitis aseptik yang disebabkan
oleh obat belum dipahami dengan baik. Namun jenis meningitis ini jarang
terjadi pada populasi anak-anak.
Ensefalitis adalah penyakit yang sama dari sistem saraf pusat. Penyakit
ini adalah suatu peradangan dari parenkim otak. Seringkali, terdapat agen virus
yang bertanggung jawab sebagai promotor. Masuknya virus terjadi melalui
jalur hematogen atau neuronal. Ensefalitis yang sering terjadi adalah ensefalitis
yang ditularkan oleh gigitan nyamuk dan kutu yang terinfeksi virus. Virus
berasal dari, Flavivirus, dan Bunyavirus keluarga Togavirus. Jenis ensefalitis
yang paling umum terjadi di Amerika Serikat adalah La Crosse virus,
ensefalitis virus kuda timur, dan St Louis virus. Seringkali, penyebab ensefalitis
ini menyebabkan tanda-tanda dan gejala yang sama. Konfirmasi dan
diferensiasi berasal dari pengujian laboratorium. Namun, manfaatnya terbatas
pada sejumlah patogen diidentifikasi.
Virus West Nile adalah menjadi penyebab utama ensefalitis, disebabkan
oleh arbovirus dari keluarga Flaviviridae. Nyamuk dan migrasi burung
merupakan peantara dalam penyebaran infeksi virus ini. Nyamuk menggigit
manusia dan manusia adalah dead-end host bagi virus. Sebagian besar manusia

55
tidak menularkan infeksi ini. Sekitar 1 infeksi bergejala berkembang untuk
setiap 120-160 orang tanpa gejala. Namun pada orang dewasa beresiko terkena
penyakit bergejala. Hal ini telah menjadi masalah kesehatan publik yang lebih
besar, mengingat bahwa penyebaran terjadi karena migrasi burung. Kasus
pertama diidentifikasi di New York City pada tahun 1999, dengan kasus
tambahan yang diidentifikasi dalam tahun-tahun berikutnya di seluruh Amerika
Serikat.
Ensefalitis dapat ditularkan dengan cara lain. Ensefalitis Herpetic dan
rabies adalah dua contoh, di mana penularan masing-masing terjadi melalui
kontak langsung dan gigitan mamalia. Dalam kasus ensefalitis herpes, terdapat
bukti reaktivasi virus dan transmisi intraneuronal sehingga menyebabkan
ensefalitis.

D. Penegakkan Diagnosis

Anamnesis
1. Anamnesis pada meningitis bakterial
- Riwayat pada anak yang merupakan faktor resiko seperti: semakin
muda anak semakin kecil kemungkinan ia untuk menunjukan gejala klasik yaitu
demam, sakit kepala, dan meningeal; trauma kepala; splenektomi; penyakit
kronis; dan anak dengan selulitis wajah, selulitis periorbital, sinusitis, dan
arthritis septic memiliki peningkatan risiko meningitis.
- Meningitis pada periode neonatal dikaitkan dengan infeksi ibu atau
pireksia saat proses persalinan sedangkan meningitis pada anak < 3 bulan
mungkin memiliki gejala yang sangat spesifik, termasuk hipertermia atau
hipotermia, perubahan kebiasaan tidur atau makan, iritable atau kelesuan,
muntah, menangis bernada tinggi, atau kejang.
- Setelah usia 3 bulan, anak dapat menampilkan gejala yang lebih sering
dikaitkan dengan meningitis bakteri, dengan demam, muntah , lekas marah,
lesu, atau perubahan perilaku

56
- Setelah usia 2-3 tahun, anak-anak mungkin mengeluh sakit kepala,
leher kaku, dan fotofobia

2. Anamnesis untuk meningoencephalitis viral


- Anak yang tidak mendapatkan imunisasi untuk campak, gondok dan
rubella beresiko mengalami meningoencephalitis viral

3. Anamnesis untuk meningitis akibat infeksi jamur


- pasien immunocompromised beresiko mengalami meningoencephalitis
akibat infeksi jamur

4. Anamnesis untuk meningitis aseptik


- Terdapat riwayat mengkonsumsi obat biasanya obat anti-inflammatory
drugs (NSAID), IVIG, dan antibiotik. Gejala mirip dengan meningitis virus.
Gejala dapat terjadi dalam beberapa menit menelan obat.

5. Anamnesis untuk ensefalitis


- Informasi seperti musim tahun, perjalanan, kegiatan, dan paparan
dengan hewan membantu diagnosis.

Manifestasi Secara Klinik


Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan pada usia dan
organisme penyebab infeksi. Penting untuk diingat bahwa anak muda, jarang
menunjukan gejala spesifik.
- Pada bayi muda temuan yang pasti mengarah ke meningitis jarang
spesifik:
a.Hipotermia atau mungkin bayi demam
b. Ubun-ubun membumbung, diastasis (pemisahan) pada sutura
jahitan, dan kaku kuduk tapi biasanya temuan ini muncul lambat. Saat anak
tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih mudah dicari.

57
a.tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya, kaku kuduk,
tanda kernig positif dan Brudzinski juga positif)

Gambar 4. Gambar pemeriksaan brudzinski dan kernig

b. tanda fokal neurologis dapat ditemukan sampai dengan 15%


dari pasien yang berhubungan dengan prognosis yang buruk
c. Kejang terjadi pada 30% anak dengan meningitis bakteri
d. Kesadaran berkabut (obtundation) dan koma terjadi pada 15-20
% dari pasien dan lebih sering dengan meningitis pneumokokus.
- Dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan pasien
akan mengeluhkan sakit kepala, diplopia, dan muntah. Ubun-ubun menonjol,
ptosis, saraf cerebral keenam, anisocoria, bradikardia dengan hipertensi, dan
apnea adalah tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat dengan herniasi otak.

58
Papilledema jarang terjadi, kecuali ada oklusi sinus vena, empiema subdural,
atau abses otak.
- Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh prodrome
beberapa hari gejala spesifik, seperti batuk, sakit tenggorokan, demam, sakit
kepala, dan keluhan perut, yang diikuti dengan gejala khas kelesuan progresif,
perubahan perilaku, dan defisit neurologis. Kejang yang umum pada presentasi.
Anak-anak dengan ensefalitis juga mungkin memiliki ruam makulopapular dan
komplikasi parah, seperti fulminant coma, transverse myelitis, anterior horn
cell disease (polio-like illness), atau peripheral neuropathy. Selain itu temuan
fisik yang umum ditemukan pada ensefalitis adalah demam, sakit kepala, dan
penurunan fungsi neurologis. Penurunan fungsi saraf termasuk berubah status
mental, fungsi neurologis fokal, dan aktivitas kejang. Temuan ini dapat
membantu mengidentifikasi jenis virus dan prognosis. Misalnya akibat infeksi
virus West Nile, tanda-tanda dan gejala yang tidak spesifik dan termasuk
demam, malaise, nyeri periokular, limfadenopati, dan mialgia. Selain itu
terdapat beberapa temuan fisik yang unik termasuk makulopapular, ruam
eritematous; kelemahan otot proksimal, dan flaccid paralysis.

E. Pemeriksaan Penunjang
Jika dicurigai bakteri meningitis dan encephalitis, pungsi lumbal harus
dilakukan. Pungsi lumbal harus dihindari dengan adanya ketidakstabilan
kardiovaskular atau tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat. Pemeriksaan
cairan serebrospinal rutin termasuk hitung WBC, diferensial, kadar protein dan
glukosa, dan gram stain. Bakteri meningitis ditandai dengan pleositosis
neutrophilic, cukup dengan protein tinggi nyata, dan glukosa rendah. Viral
meningitis ditandai dengan protein pleositosis limfositik ringan sampai sedang,
normal atau sedikit lebih tinggi, dan glukosa normal. Sedangkan pada
encephalitis menunjukkan pleositosis limfositik, ketinggian sedikit kadar
protein, dan kadar glukosa normal. Peningkatan eritrosit dan protein CSF dapat
terjadi dengan HSV. Extreme peningkatan protein dan rendahnya kadar glukosa

59
menunjukan infeksi tuberkulosis, infeksi kriptokokus, atau carcinomatosis
meningeal. Cairan serebrospinal harus dikultur untuk mengetahui bakteri,
jamur, virus, dan mikobakteri yang menginfeksi. PCR digunakan untuk
mendiagnosis enterovirus dan HSV karena lebih sensitif dan lebih cepat dari
biakan virus. Leukositosis adalah umum ditemukan. Kultur darah positif pada
90% kasus.
Pemeriksaan Electroencephalogram (EEG) dapat mengkonfirmasi
komponen ensefalitis. EEG adalah tes definitif dan menunjukkan aktivitas
gelombang lambat, walaupun perubahan fokal mungkin ada. Studi
neuroimaging mungkin normal atau mungkin menunjukkan pembengkakan
otak difus parenkim atau kelainan fokal.
Serologi studi harus diperoleh untuk arbovirus, EBV, Mycoplasma
pneumoniae, cat-scratch disease, dan penyakit Lyme. Sebuah uji IgM serum
atau CSF untuk infeksi virus West Nile tersedia, tetapi reaktivitas silang dengan
flaviviruses lain (St Louis ensefalitis) dapat terjadi. pengujian serologi
tambahan untuk patogen kurang umum harus dilakukan seperti yang
ditunjukkan oleh perjalanan, sosial, atau sejarah medis. Selain pengujian
serologi, sampel CSF dan tinja dan usap nasofaring harus diperoleh untuk
biakan virus. Dalam kebanyakan kasus ensefalitis virus, virus ini sulit untuk
mengisolasi dari CSF. Bahkan dengan pengujian ekstensif dan penggunaan tes
PCR, penyebab ensefalitis masih belum ditentukan di satu pertiga dari kasus.
Biopsi otak mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif dari penyebab
ensefalitis, terutama pada pasien dengan temuan neurologik fokal. Biopsi otak
mungkin cocok untuk pasien dengan ensefalopati berat yang tidak
menunjukkan perbaikan klinis jika diagnosis tetap tidak jelas. HSV, rabies
ensefalitis, penyakit prion-terkait (Creutzfeldt-Jakob penyakit dan kuru) dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan rutin kultur atau biopsi patologis jaringan otak.
Biopsi otak mungkin penting untuk mengidentifikasi arbovirus dan infeksi
Enterovirus, tuberkulosis, infeksi jamur, dan penyakit non-menular, terutama
primer SSP vasculopathies atau keganasan.

60
Tabel 3. Temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal
pada beberapa gangguan sistem saraf pusat

F. Diagnosis
Beberapa diagnosis banding untuk meningoencephalitis adalah:
1. Kejang demam
2. Meningitis
3. Encephalitis
4. Intracranial abscess
5. Sekuele dari edema otak
6. Infark cerebral
7. Perdarahan cerebral
8. Vaskulitis
9. Measles
10. Mumps

61
G. Penatalaksanaan

Table 100-3. Initial Antimicrobial Therapy by Age for Presumed


Bacterial Meningitis
Age Recommend Alternative
ed Treatment Treatments
Ne Cefotaxime Gentamicin
wborns (0- or ceftriaxone plus plus ampicillin
28 days) ampicillin with or
without gentamicin
Ceftazidim
e plus ampicillin
Infa Ceftriaxone Cefotaxime
nts and or cefotaxime plus or ceftriaxone plus
toddlers (1 vancomycin rifampin
mo-4 yr)
Chil Ceftriaxone Ampicillin
dren and or cefotaxime plus plus
adolescents vancomycin chloramphenicol
(5-13 yr)
and adults

Penatalaksanaan
1. Perawatan umum
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Mula – mula cairan diberikan secara infus dalam jumlah yang
cukup dan jangan berlebihan.
c. Bila gelisah diberi sedativa seperti Fenobarbital atau penenang.
d. Nyeri kepala diatasi dengan analgetika.
e. Panas diturunkan dengan :
- Kompres es

62
- Paracetamol
- Asam salisilat
Pada anak dosisnya 10 mg/kg BB tiap 4 jam secara oral
f. Kejang diatasi dengan :
- Diazepam
Dewasa : dosisnya 10 – 20 mg IV
Anak : dosisnya 0,5 mg/kg BB IV
- Fenobarbital
Dewasa : dosisnya 6 – 120 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 6 mg/kg BB/hari secara oral
- Difenil hidantoin
Dewasa : dosisnya 300 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 9 mg/kg BB/hari secara oral
g. Sumber infeksi yang menimbulkan meningitis purulenta
diberantas dengan obat – obatan atau dengan operasi
h. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan :
- Manitol
Dosisnya 1 – 1,5 mg/kg BB secara IV dalam 30 – 60 menit
dan dapat diulangi 2 kali dengan jarak 4 jam
- Kortikosteroid
Biasanya dipakai deksametason secara IV dengan dosis pertama 10
mg lalu diulangi dengan 4 mg setiap 6 jam. Kortikosteroid masih
menimbulkan pertentangan. Ada yang setuju untuk memakainya tetapi ada
juga yang mengatakan tidak ada gunanya.Pernafasan diusahakan sebaik
mungkin dengan membersihkan jalan nafas.
i. Bila ada hidrosefalus obstruktif dilakukan operasi pemasangan
pirau (shunting).
j. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25 – 30 cc setiap hari selama
2 – 3 minggu, bila gagal dilakukan operasi.
k. Fisiotherapi diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.

63
2. Pemberian Antibiotika.
Antibiotika spektrum luas harus diberikan secepat mungkin tanpa
menunggu hasil biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti dengan
antibiotika yang sesuai. Pada terapi meningitis diperlukan antibiotika yang
jauh lebih besar daripada konsentrasi bakterisidal minimal, oleh karena :
- Dengan menembusnya organisme ke dalam ruang sub
araknoid berarti daya tahan host telah menurun.
- Keadaan likuor serebrospinalis tidak menguntungkan bagi leukosit
dan fagositosis tidak efektif.
- Pada awal perjalanan meningitis purulenta konsentrasi antibodi dan
komplemen dalam likuor rendah.
Pemberian antibiotika dianjurkan secara intravena yang
mempunyai spektrum luas baik terhadap kuman gram positif, gram negatif
dan anaerob serta dapat melewati sawar darah otak (blood brain barier).
Selanjutnya antibiotika diberikan berdasarkan hasil test sensitivitas menurut
jenis bakteri.
Antibiotika yang sering dipakai untuk meningitis purulenta adalah :
a. Ampisilin
Diberikan secara intravena
Dosis : Neonatus : 50 – 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Umur 1 – 2 bulan : 100 – 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Umur > 2 bulan : 300 – 400 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 8 – 12 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
b. Gentamisin
Diberikan secara intravena
Dosis
Prematur : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.

64
Neonatus : 7,5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Bayi dan dewasa : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.

c. Kloramfenikol
Diberikan secara intravena
Dosis
Prematur : 25 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi genap bulan : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Anak : 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.

Dewasa : 4 – 8 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.

d. Sefalosporin
Diberikan secara intravena
- Sefotaksim
Dosis : Prematur & neonatus : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi & anak : 50 – 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2–4 kali pemberian.
Dewasa : 2 gram tiap 4 – 6 jam.
Bila fungsi ginjal jelek, dosis diturunkan.
- Sefuroksim
Dosis : Anak : 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 2 gram tiap 6 jam

65
Bila dilakukan kultur dan bakteri penyebab dapat ditemukan,
biasanya antibiotika yang digunakan adalah seperti yang tercantum dalam
tabel berikut ini
Tabel 2.7: Pilihan antibiotik berdasakan kuman penyebab
N Kuman P Alter
o penyebab ilihan natif lain
pertama

1 H. A Cefot
. influenzae mpisilin aksim

2 S. P Klora
. pneumoniae enisillin mfenikol
G

3 N. P Klora
. meningitidis enisillin mfenikol
G

4 S. N Vanc
. aureus afosillin omisin

66
5 S. S Ampi
. epidermitis efotaksi sillin bila
Enterob m sensitif dan
acteriaceae atau
ditambah
aminoglikosi
da secara
intrateca.

6 Pseudo P Sefot
. monas ipersillin aksim
+
Tobrami
sin

67
7 Streptoc P Vank
. occus enicillin omisin
Group G
A/B

8 Streptoc A
. occus mpisillin
Group +
D G
entamisi
n

9 L A Trime
. monocytogenes mpisillin toprim
Sulfa
metoksasol

Terapi suportif melibatkan pengobatan dehidrasi dengan cairan


pengganti
dan pengobatan shock, koagulasi intravaskular diseminata , patut sekresi hor
mon antidiuretik , kejang , peningkatan tekanan intrakranial , apnea , aritmia
, dan koma.Terapi suportif juga melibatkan pemeliharaan perfusi serebral yang memadai
dihadapan edema serebral .

68
Dengan pengecualian dari HSV dan HIV , tidak ada terapi spesifik
untuk virusensefalitis . Manajemen mendukung dan sering membutuhkan
masuk ICU , yangmemungkinkan terapi agresif untuk kejang , deteksi tepat
waktu kelainan elektrolit ,dan , bila perlu , pemantauan jalan napas dan
perlindungan dan pengurangan peningkatan tekanan intrakranial .IV
asiklovir adalah pilihan perawatan untuk infeksi HSV . Infeksi HIV dapat
diobatidengan kombinasi ARV . Infeksi M. pneumoniae dapat diobati
dengan doksisiklin ,eritromisin , azitromisin , klaritromisin atau , meskipun
nilai mengobati penyakitmikoplasma SSP dengan agen ini masih diperdebatkan.
Perawatan pendukung sangat penting untuk menurunkan
tekanan intrakranial dan untuk mempertahankan tekanan perkusi serebral
yang memadai dan oksigenasi.

2.7.10 Prognosis
Prognosis penyakit ini bervariasi, tergantung pada :
1. Umur : Anak : Makin muda makin bagus prognosisnya
Dewasa : Makin tua makin jelek prognosisnya

2. Kuman penyebab
3. Lama penyakit sebelum diberikan antibiotika
4. Jenis dan dosis antibiotika yang diberikan
5. penyakit yang menjadi faktor predisposisi.
Pada banyak kasus, penderita meningitis yang ringan dapat sembuh
sempurna walaupun proses penyembuhan memerlukan waktu yang lama.
Sedangkan pada kasus yang berat, dapat terjadi kerusakan otak dan saraf
secara permanen, dan biasanya memerlukan terapi jangka panjang

7.6. Bagaimana perbedaan meningitis, encephalitis dan


meningoencephalitis?

Sub Meningitis Encephalitis


Definisi Inflamasi pada meninges Inflamasi pada jaringan otak

69
(selaput otak)
Etiologi Bakteri Bakteri
Virus Virus
Injury Parasit
Fungus
Manifestasi Trias : nyeri kepala, Trias : demam tinggi
klinis demam, kaku kuduk (+) mendadak (hiperpireksia),
Gejala rangsangan penurunan kesadaran,
meningeal: kejang umum atau fokal
 Kaku kuduk, kernig,
brudzinsky 1-2(+)
Diagnosis Untuk menentukan Hal-hal penting dalam
diagnosis meningitis menegakkan diagnosis
dilakukan pungsi lumbal. ensefalitis adalah :
(a) Panas tinggi, nyeri
kepala hebat, kaku
kuduk, stupor, koma,
kejang dan gejala-
gejala kerusakan
SSP.
(b) Pada pemeriksaan
cairan serebro spinal
(CSS) terdapat
pleocytosis dan
sedikit peningkatan
protein (normal pada
ESL).
(c) Isolasi virus dari
darah, CSS atau
spesimen post
mortem (otak dan
darah)

70
(d) Identifikasi serum
antibodi dilakukan
dengan 2 spesimen
yang diperoleh
dalam 3-4 minggu
secara terpisah
(Kempe, 1982).
Sebaiknya diagnosis
ensefalitis ditegakkan
dengan :
(a) Anamnesis: tentang
kemungkinan
adanya infeksi akut
atau kronis, keluhan,
kemungkinan
adanya peningkatan
tekanan intra kranial,
adanya gejala, fokal
serebral/serebelar,
adanya riwayat
pemaparan selama 2-
3 minggu terakhir
terhadap penyakit
melalui kontak,
pemaparan dengan
nyamuk, riwayat
bepergian ke daerah
endemik dan lain-
lain (Nelson, 1992)
(b) Pemeriksaan
fisik/neurologik.
- Gangguan

71
kesadaran
- Hemiparesis
- Tonus otot
meninggi
- Reflek patologis
positif
- Reflek fiisiologis
menningkat
- Klonus
- Gangguan nervus
kranialis
- Ataksia (Komite
Medik RSUP Dr.
Sarjito, 2000)
(e) Pemeriksaan
laboratorium
Pungsi lumbal
Kadar protein
meningkat sedang
atau normal, kadar
protein mencapai
360 mg% pada
ensefalitis yang
disebabkan virus
herpes simplek dan
55 mg% yang
disebabkan oleh
toxocara canis .
Kultur 70-80 %
positif dan virus
80% positif (Komite
Medik RSUP Dr.

72
Sardjito, 2000).
Darah
- Al (angka lekosit) :
normal/meninggi
tergantung etiologi
- Hitung jenis :
normal/dominasi sel
polimorfenuklear
- Kultur : 80-90 %
positif (Komite
Medik RSUP Dr.
Sardjito, 2000)

Penatalaksana
an

Prognosis MB yang tidak diobati Ensefalitis yang disebabkan


biasanya berakhir fatal. oleh VHS memberi
Meningitis pneumokokal prognosis yang lebih buruk
memiliki tingkat fatalitas daripada pognosis virus
tertinggi, yaitu 19-37%. entero (Nelson, 1992)
Tabel 1. Meningitis dan Ensefalitis (Ellenby, 2006).

73
Pembeda Encephalitis Meningitis Meningoencephalitis
Gangguan Ada Tidak ada Ada
kesadaran
Meningeal sign Tidak ada Ada Ada
Letak lesi UMN LMN UMN dan LMN

74
BAB VIII

Penutup

8.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan pada kasus di


skenario, maka didapatkan beberapa diagnosis banding untuk kasus Julian
yaitu Meningitis, Ensepalitis, dan Meningoensefalitis. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan penunjang, maka didapatkan diagnosis pasti yaitu
Meningoensefalitis berdasarkan patofisiologi, etiologi, gejala dan tanda,
serta penatalaksanaan dan prognosis.
Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama
lainnya yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis.
Meningitis adalah radang umum pada araknoid dan piameter yang
disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi
secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak
yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia,
atau virus.

8.2. Saran
Sebagai mahasiswa kedokteran kita harus selalu aktif dan terus
belajar dalam mencari pengetahuan agar terus mendapatkan hal yang baru
dan bermanfaat terutama dalam ilmu pengetahuan dalam bidang
kedokteran. Lebih di tingkatkan kektifan dan kemampuan berpikir kritis di
tutorial selanjutnya

75
Daftar Pustaka

Behrman RE, Vaughan, V.C, 2000. Ensefalitis Viral dalam Nelson Ilmu
Kesehatan Anak, edisi 12, Bag 2, EGC, Jakarta: 42-48.

Brust, J.C.M. 2007. Current Diagnosis & Treatment Neurology. New York:
International ed Mc GrawHill

Chusid JG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional Bagian Satu,


Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 1990; 150-190
Duus Peter, Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda dan
Gejala edisi II, EGC, Jakarta; 78-127
Encephalitis. Pediatrics in review. Available at:
http://pedsinreview.aappublications.org/content/26/10/353.full.pdf
+html

Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2


Harsono. 2015. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadjah mada
university press

Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall

James D. C., Recognition and Management of Encephalitis in Children in


Hot Topics in Infections and Immunity in Children V, Vol. 634 by
Springer. United States of America, 2009 : 53-60.
James D.C., Shields W.D., Encephalitis and meningoencephalitis in Text
Book of Pediatric Infectious Disease, Vol. 1 by Saunders. United
States of America. 2004: 505- 509, 512- 514.
Juwono T, Pemeriksaan Klinik Neurologi dalam Praktek. EGC, Jakarta; 5-
53
Lazoff M. Encephalitis. [ Online ] February 26, 2010 [ Cited April 5, 2010 ].
Available from : URL ;
www.emedicine.medscape.com/article/791896/overview/htm

76
Lumbantobing SM, Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental, FKUI,
Jakarta, 2004; 7-111
Lumbantobing SM. 2004. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta: FKUI

Mardjono, Mahar. 2010. Neurologi Dasar Klinis. Jakarta: Dian Rakyat

Mardjono,Mahar dan Sidarta,Priguna. NEUROLOGI KLINIS DASAR.


Dian Rakyat. 2003. Hal. 313-314, 421, 327-333.
Markam S, Penuntun Neurologi, Binarupa Aksara, Jakarta; 18-50
Markam,Soemarmo. KAPITA SELEKTA NEUROLOGI. Gajah Madah
University Press. Edisi Ke Dua.2003. Hal.155-162
Nelson, Behrman, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol
1. Jakarta : EGC, 2000.

Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi: Konsep


Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter
Anugrah, EGC, Jakarta.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses


penyakit, Ed. 6. Jakarta : EGC.
Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 2007. Treatment of Bacterial
Meningitis. The New England Journal of Medicine. 336 : 708-16
URL :http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf

Ropper AH, Samuels MA. 2009. Adams and Victor’s, Principles of


neurology. Edisi ke 9. New York : Mc Graw Hill.

Sampson HA dan Leung D. 2007. Seizures in Childhood. Di dalam :


Kliegman et al. Nelson Textbook of Pediatrics, Ed. 18.
Philadelphia : Elsevier Inc.
Snell, R. S., 2006. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta:EGC

Soedarmo,Poerwo S. Sumarno. Buku ajar Ilmu kesehatan anak infeksi dan


penyakit tropis edisi pertama .Ikatan Dokter Anak
Indonesia .Jakarta. 2000.

77
WHO, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://www.who.int/topics/meningitis/en/

78

Anda mungkin juga menyukai