Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan hal yang penting artinya bagi sebuah keluarga.
Selain sebagai penerus keturunan, anak pada akhirnya juga sebagai
generasi penerus bangsa. Oleh karena itu tidak satupun orang tua yang
menginginkan anaknya jatuh sakit, lebih-lebih bila anaknya mengalami
kejang demam.
Epilepsi merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering
dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran
pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. (Ngastiyah,
2002; 229).
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur
5 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5
tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering
didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan
karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73)
Bangkitan kejang berulang atau kejang yang lama akan
mengakibatkan kerusakan sel-sel otak kurang menyenangkan di kemudian
hari, terutama adanya cacat baik secara fisik, mental atau sosial yang
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. (Iskandar Wahidiyah,
2001 : 858) .
Epilepsi merupakan kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan
segera. Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat
diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih parah, yang diakibatkan
bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga perawat/paramedis dituntut
untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta mampu
memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan penderita, yang
meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu

1
dan berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang
utuh secara bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada
Epilepsi adalah : Mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi
pasien dari trauma, mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri
yang positif, memberikan informasi kepada keluarga tentang proses
penyakit, prognosis dan kebutuhan penanganannya. (I Made Kariasa,
2000; 262).
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi seuzire disorder?
2. Apa etiologi seuzire disorder?
3. Bagaimana klasifikasi seuzire disorder?
4. Bagaimana patofisiologi seuzire disorder?
5. Apa manifestasi manifestasi seuzire disorder?
6. Bagaimana pentalaksanaan seuzire disorder?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostic seuzire disorder?
8. Bagaimana asuhan keperawatan seuzire disorder?
C. Tujuan
a. Tujuan umun
Untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan gangguan neurologis
seuzire disorder.
b. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui definisi seuzire disorder
2. Untuk mengetahui etiologi seuzire disorder
3. Untuk mengetahui klasifikasi seuzire disorder
4. Untuk mengetahui patofisiologi seuzire disorder
5. Untuk mengetahui manifestasi seuzire disorder
6. Untuk mengetahui pentalaksanaan seuzire disorder
7. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic seuzire disorder
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan seuzire disorder.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibatlepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel. Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya
gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi .
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas
muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai
manifestasi klinik dan laboratorik. Epilepsi dapat menyerang anak-anak,
orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir (Utopias,2008).
B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik)
Sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab
utama, ialah epilepsi idopatik, remote symptomatic epilepsy (RSE),
epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh
kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut
ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari
kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda,
masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.

3
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang
tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI)
maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah
antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas. Sementara
itu, dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan,
definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai
nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang,
Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko
terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%
dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi pada
saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12
bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang.
Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan.
Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan
pertama.(Tarwoto,2007)
C. Klasifikasi
1. Epilepsi Grand Mal
Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik
yang berlebihan dari neuron diseluruh area otak-di korteks, di bagian
dalam serebrum, dan bahkan di batang otak dan talamus. Kejang grand
mal berlangsung selama 3 atau 4 menit.
2. Epilepsi Petit Mal
Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar
atau penurunan kesadaran selama 3 sampai 30 detik, di mana selama
waktu serangan ini penderita merasakan beberapa kontraksi otot
seperti sentakan (twitch- like),biasanya di daerah kepala, terutama
pengedipan mata.
3. Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik regoi
setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam

4
pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal disebabkan oleh resi
organik setempat atau adanya kelainan fungsional.(Tarwoto,2007).
D. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps.
Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter.
Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan
zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi
dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saraf di otak yang dinamakan
fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui
sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya
sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik
berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang
mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota
gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik
dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain
dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai
penurunan kesadaran. (Hidayat,2009).

5
WOC

Durasi pendek Durasi pendek


< 15 menit < 15 menit

Hiperkapni Hipoksemia Denyut jantung meningkat

Deman Meningkat Takikardi Gangguan saraf otonom

Dx: jalan nafas tidak efektif

Dipsnea O2 Menurun

Kebutuhan O2 Meningkat
Gangguan keseimbangan membrane sel neuron

Kesadaran menurun
+ +
Disfusi Na & K Berlebihan

Dx: Gangguan perfusi jaringan


Pelepasan muatan listrik semakin meluas ke
seluruh sel maupun membran sel disekitarnya
dengan bantuan neorotransiter

Kejang

Persial
Umum

Sederhana Komplek
Mioklonik Tonik Atonik

klonik Tonik-klonik
6
E. Manifestasi
1. Klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan.
2. Kelainan gambaran EEG
3. Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen
4. Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang
epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men
cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap
sesuatu, sakit kepala dan sebagainya). (Hidayat,2009)
F. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu
kapasitas dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan
medikamentosa dan pengobatan psikososial.
1. Pengobatan medikamentosa
Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah
manifestasi penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan
metabolic, mka di samping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan
pula terapi kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
a. Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor
pencetusnya, pemberian obat harus dipertimbangkan.
b. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien
mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama.
c. Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan.
d. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini
toksisitas akan berkurang, mempermudah pemantauan, dan
menghindari interaksi obat.
e. Dosis obat disesuaikan secara individual.
f. Evaluasi hasilnya, bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
1. Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak
terdeteksi, adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat.
2. Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.
3. Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.

7
4. Faktor emosional sebagai pencetus.
5. Termasuk intractable epilepsi.
g. Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 – 3
tahun. Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan
dosisnya.
h. Jenis obat yang sering digunakan, yaitu:
1. Phenobarbital (luminal).
2. Primidone (mysolin)
3. Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
4. Carbamazine (tegretol).
5. Diazepam.
6. Nitrazepam (inogadon).
7. Ethosuximide (zarontine). (Hidayat,2009)
2. Pengobatan Psikososial.
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal
sebagian besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam
menjalani pengobatannya sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat
belajar, bekerja dan bermasyarkat secara normal.
3. Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang
ingin tahu (pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang
memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari tempat yang
aman dan pribadi
b. Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan
untuk mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
c. Lepaskan pakaian yang ketat
d. Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama
kejang.
e. Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar
tempat tidur.
f. Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi
bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.

8
g. Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan
spasme untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada
bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
h. Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang
karena kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i. Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan
kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan
memudahkan pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan
pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan secret
j. Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk
mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya
terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe
pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang.
Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap lingkungan
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektrolit : Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi
predisposisi pada aktivitas kejang.
2. Glukosa : Hipoglikemia dapat menjadi presipitasi(pencetus kejang.
3. Ureum/Kreatinin : Meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya
aktivitas kejang.
4. Sel Darah Merah : Anemia Aplastik mungkin sebagai akibat terapi
obat.
5. Kadar obat pada serum: Untuk membuktikan batas obat anti epilepsi.
6. Punksi lumbal : untuk mendeteksi tekanan abnormal dari css, tanda-
tanda infeksi,perdarahan(hemoragik,subarakhnoid,subdural)sebagai
penebab kejang tersebut.
7. Foto ronsen kepala :Untuk mengidentiikasi adanya SOL,fraktur.
8. Elektroensefalogram: Melokalisasi daerah serebral yang tidak berfungsi
dengan baik,mengukur aktivitas otak.Gelombang otak untuk
menentukan karakteristik dari gelombang pada masing –masing tipe
dari aktivitas kejang tersebut.

9
9. Pemantauan video EEG 24 jam : dapat mengidentifikasikan fokus
kejang secara tepat.
10. Scan CT : mengidentifikasi letak lesi serebral, hematoma, edema
serebral,trauma, abses,tumor,dan dapat dilakukan dengan/tanpa kontras.
11. Positron emission tomography : Mendemontrasikan perubahan
metabolik.Misalnya penurunan metabolisme pada sisi lesi.
12. MRI : Melokalisasi lesi-lesi lokal.
13. Magnetoensefalogram :Memetakan impuls/potensial listrik otak pada
pola pembebasan yang abnormal.
14. Wada : Menentukan hemisfer dominan (dilakukan sebagai evaluasi
awal dari praoperasi lobektomi temporal), (Rencana Asuhan
Keperawatan :262).
H. Asuhan Keperawatan Seuzire Disoder
1. Pengkajian
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, tangal pengkajian,
No register, tanggal rawat dan penanggung jawab dan perawat
mengumbpulkan informasi informasi tentang riwayat kejang pasien.
Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat
menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya
hidup dikaji:
a. ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang
b. pasien mempunyai program rekreasi atau Kontak sosial
c. pengalaman kerja
d. Mekanisme koping yang digunakan
e. Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu
dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
a. ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
b. ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
c. pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
d. disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik,
kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.

10
f. pasien menggigit lidah.
g. mulut berbuih.
h. ada inkontinen urin.
i. bibir atau muka berubah warna.
j. mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
k. Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya
berubah pada satu sisi atau keduanya.
l. ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam,
kurang tidur, keadaan emosional.
m. penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang
disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
n. Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak.
o. Apakah makan obat-obat tertentu.
p. ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.
2. Sesudah serangan
a. pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit,
gangguan bicara
b. ada perubahan dalam gerakan.
c. Sesudah serangan pasien masih ingat yang terjadi sebelum,
selama dan sesudah serangan.
d. terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi
denyut jantung.
e. Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3. Riwayat sebelum serangan
a. ada gangguan tingkah laku, emosi.
b. disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
c. ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.
4. Riwayat Penyakit
a. Sejak kapan serangan terjadi.
b. Padausiaberapaseranganpertama.
c. Frekuensi serangan.

11
5. Riwayat kesehatan
a. Riwayat keluarga dengan kejang.
b. Riwayat kejang demam.
c. Tumor intrakranial.
d. Trauma kepala terbuka, stroke.
6. Riwayat kejang
a. Berapa sering terjadi kejang
b. Gambaran kejang seperti apa
b. sebelum kejang ada tanda-tanda awal
c. yang dilakuakn pasien setelah kejang
7. Riwayat penggunaan obat
a. Nama obat yang dipakai
b. Dosis obat
8. Berapa kali penggunaan obat
8. Pemeriksaan fisik
a. Tingkat kesadaran
b. Abnormal posisi mata
c. Perubahan pupil
d. Garakan motorik
e. Tingkah laku setelah kejang
f. Apnea
g. Cyanosis
h. Saliva banyak
9. Psikososial
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Pekerjaan
d. Peran dalam keluarga
e. Strategi koping yang digunakan
f. Gaya hidup dan dukungan yang ada
10. Pengetahuan pasien dan keluarga
a. Kondisi penyakit dan pengobatan

12
b. Kondisi kronik
c. Kemampuan membaca dan belajar, (Utopias,2008).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan
lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva, keruskan neromuskuler.
b. Termogulasi tidak efektif : Hipertermi berhubungan dengan
peningkatan metabolik, proses infeksi
c. Resiko terhadap cidera berhubungan dengan perubahan kesadaran,
keruskan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme
perlindungan diri dan aktivitas kejang yang terkontrol ( gangguan
keseimbangan)
d. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan
berhubungan dengan kurang pemanjaan, kesalahan interprestasi, kurang
mengingat, (Rencana Asuhan Keperawatan :262-268).
3. Rencana asuhan Keperawatan Teoritis
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan
lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva, keruskan
neromuskuler.
Tujuan : Setelah dilakukan askep 3x24 Jam masalah bersihan jalan
nafas tidak efektif tidak terjadi dan teratasi.
Kriteria hasil : nafas normal ( 25 – 30 x/menit ), tidak tejadi
aspirasi, tidak ada dispnea, tidak ada penumpukan sekret.
INTERVENSI RASIONAL

1. Anjurkan klien untuk 1. Menurunkan resiko aspirasi


mengosongkan mulut dari atau masuknya sesuatu benda
benda/zat tertentu asing kedalam tirah baring

2. Letakkan klien dalam 2. Meningkatkan aliran


posisi miring dan pada (drainase), sekret, mencegah
permukaan datar lidah jatuh dan menyumbat
jalan nafas

13
3. Tanggalkan pakaian klien 3. Untuk memudahkan usaha
pada daerah leher atau dada klien dalam bernafas dan
dan abdomen ekspansi dada

4. Melakukan penghisapan 4. Mengeluarkan mukus yang


sesuai indikasi berlebihan menurunkan resiko
aspirasi atau afeksia

5. Berikan oksigen sesuai 5. Membantu pemenuhi


program terai kebutuhan oksigen adar tetap
adekuat.

2. Termogulasi tidak efektif : Hipertermi berhubungan dengan peningkatan


metabolik, proses infeksi
Tujuan : Setelah dilakukan askep 3x24 Jam, masalah termogulasi tidak
efektif teratasi.
Kriterua hasil : Demam berkurang, suhu normal 36,5 – 37,5 ̊ C , Nadi dan
RR normal, tidak ada perubahan warna kulit
INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji faktor-faktor terjadinya 1. Mengetahui penyebab


peningkatan suhu terjadinya peningkatan suhu
tubuh karena penambahan
pakaian / selimut dapat
menghambat penurunan
suhu.
2. Observasi tanda – tanda vital
2. Pemantauan tanda vital yang
teratur dapat menentukan
3. Ajarkan keluarga cara perkembangan keperawatan

14
memberikan kompres selanjutnya.
dibagian kepala / ketiak
3. Proses konduksi /
4. Anjurkan untuk perpindahan panas dengan
menggunakan pakaian tipis suatu bahan perantara.
yang terbuat dari kain katun

5. Berikan ekstra cairan dengan


menganjurkan klien banyak 4. Proses hilangnya panas akan
minum terhalangi oleh pakaian tebal
dan tidak dapat menyerap
keringat.

5. Kebutuhan cairan meningkat


karena penguapan tubuh
yang meningkat.

3. Resiko terhadap cidera berhubungan dengan perubahan kesadaran, keruskan


kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri dan
aktivitas kejang yang terkontrol ( gangguan keseimbangan )
Tujuan : Setelah dilakukan askep selama 3x24 Jam masalah resiko
terhadap cidera teratasi dan tidak terjadi.
Kriteria Hasil : tidak terjadi cidera fisik pada klien, klien dalam kondisi
aman, tidak ada memar dan tidak ada resiko terjatuh.
INERVENSI RASIONAL

1. Identifikasi faktor 1. Dengan menjauhkan barang-


lingkungan yang barang disekitarnya dapat
memungkinkan resiko membahayakan saat terjadinya
terjadinya cidera kejang

15
2. Pasang penghalang 2. Penjagaan untuk keamanan,
ditempat tidur untuk mencegah terjadinya
cidera pada klien

3. Letakkan klien ditempat 3. Area yang rendah dan datar


tidur yang rendah & datar dapat mencegah terjadinya
cidera pada klien

4. Siapkan kain lunak untuk 4. Lidah berpotensi tergigit saat


mencegah terjadinya kejang karena saat kejang
tergigitnya lidah saat kejang biasanya lidah menjulur
kedepan

5. Berikan obat anti kejang


5. Mengurangi aktivitas kejang
yang berkepanjangan yang
dapat mengurangi suplai
oksigen

4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan


dengan kurang pemanjaan, kesalahan interprestasi, kurang mengingat.
Tujuan : Setelah dilakukan askep 1x24 Jam masalah kurang pengetahuan
mengenai kondisi dan aturan pengobatan teratasi.
Kriteria hasil : Mampu mengungkapkan pemahaman tentang gangguan
dan berbagai rangsangan yang telah diberikan, mulai merubah perilaku,
mentaati peraturan obat yang diresepkan.
INTERVENSI RASIONAL
1. Jelaskan mengenai 1. Memberikan kesempatan
prognosis penyakit dan untuk mengklarifikasi
perlunya pengobatan kesalahan persepsi &
keadaan penyakit yang ada

16
2. Berikan informasi yang 2. Pengetahuan yang diberikan
adekuat tentang prognosis mampu menurunkan resiko
penyakit dan tentang dari efek bahay satu penyakit
interaksi obat yang & cara menanganinya
potensial
3. Tekankan perlunya untuk 3. Kebutuhan terpeutik dapat
melakukan evaluasi yang berubah sehingga
teratur/melakukan mempersiapkan
pemeriksaan laboratorium kemungkinan yang akan
sesuai indikasi terjadi

4. Diskusikan manfaat 4. Aktivitas yang sedang &


kesalahan umum yang teratur dapat membantu
baik, seperti diet yang menurunkan/mengendalikan
adekuat, & istirahat yang faktor presdiposisi
cukup

17
BAB III
JURNAL TERKAIT
A. Analisis Jurnal
1. Judul jurnal FIRST Unprovoked Seizure Pada Anak.
a. Isi Jurnal
Berdasarkan American Academy of Neurology , FUS didefinisikan
dengan menggunakan kriteria dari the International League Against
Epilepsy(ILAE) yaitu rangkaian kejang pada seorang anak berumur
lebih dari 1 bulan disertai pulihnya kesadaran diantara kejang dan tidak
diketahui adanya faktor pemicu terjadinya kejang seperti demam,
trauma kepala, infeksi sistem saraf pusat, tumor, atau kelainan
metabolik seperti hipoglikemia serta obat-obatan. Kejang yang terjadi
pertama kali dapat berupa kejang biasa, berulangnya kejang atau status
epileptikus.Kejang yang berulang dalam satu hari dianggap sebagai satu
episode kejang.
Penyebab dari FUS belum diketahui dan dikatakan tanpa pencetus
jika tidak ditemukan penyebab kejang yang biasanya terjadi pada anak
seperti hipoglikemia, hipokalsemia, gangguan elektrolit, paparan toksin,
infeksi sistem saraf pusat, trauma, tumor, iatrogenik seperti pada
terbutalin dosis tinggi, klorpromazin, obat-obat imunosupresan, dan
lain-lain. Kejang adalah gangguan akibat abnormalitas aktivitas
sinkronisasi aliran listrik pada otak. Berdasarkan penyebabnya kejang
dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Kejang kriptogenik adalah kejang yang tidak diketahui
penyebabnya. Klasifikasi sebelumnya menyebutkan dengan istilah
kejang idiopatik akan tetapi istilah ini tidak lagi digunakan oleh
ILAE. Kejang ini disebut juga first unprovoked seizure.
2. Kejang simtomatik adalah kejang yang penyebab atau
kemungkinan penyebab kerusakan otak dapat diketahui dan dapat
meningkatkan risiko menjadi epilepsi. Kejang simtomatik
dibedakan menjadi dua yaitu acute symptomatic seizure atau
provoked seizureyaitu kejang yang timbul setelah gangguan otak

18
akut yaitu dalam satu minggu sebelum terjadinya kejang; dan
remote symptomatic seizureyaitu kejang yang timbul lama setelah
adanya gangguan otak sebelumnya. Remote symptomatic
seizureyang terjadi pertama kali juga dikelompokkan kedalam first
unprovoked seizure.
B. Terapi Modalitas Keperawatan Atau Terapi Terkait FIRST Unprovoked
Seizure Pada Anak
Rekomendasi dari American Academic of Neurology tahun 2003 yaitu
keputusan untuk memberikan pengobatan OAE atau tidak pada pasien anak
dengan FUSharus berdasarkan pertimbangan risiko berulangnya kejang dan
konsekuensi akibat berulangnya kejang tersebut, dan mempertimbangkan
risiko akan pengobatan OAE jangka panjang yaitu meliputi aspek kognitif,
tingkah laku, faktor fisik maupun psikososial.5 Keputusan untuk memberikan
atau tidak memberikan pengobatan bersifat individual baik dari aspek medis
maupun pilihan keluarga. Tatalaksana FUSberdasarkan rekomendasi
American Academic of Neurologyyaitu pengobatan dengan OAEbukan
sebagai profilaksis terjadinya epilepsi dan pengobatan dengan OAE
dipertimbangkan jika keuntungan untuk mengurangi risiko berulangnya
kejang melebihi efek samping psikologis maupun farmakologis pasien.
Jika pasien didapatkan dengan risiko tinggi berulangnya kejang dan
dipertimbangkan untuk memberikan OAE maka pemilihannya adalah OAE
dengan efektivitas tinggi, dosis minimal yang dapat memberikan efek terapi,
memiliki keamanan jangka panjang, dan dapat ditoleransi dengan baik,
interaksi obat minimal, serta dapat memperbaiki kualitas hidup pasien. Jika
kelainan mendasar epilepsi telah diketahui misalnya melalui gambaran EEG
epileptiform maka terdapat beberapa pilihan pengobatan OAE yaitu untuk
kejang fokal maka pilihan OAE yaitu karbamazepin, klobazam, gabapentin,
lamotrigin, oxkarbamazepin,topiramat, asam valproat; sedangkan untuk
kejang umum pilihan OAE yaitu lamotrigin, topiramat,dan asam valproat.
Pemilihan OAE bersifat individual dengan mempertimbangkan faktor biaya
maupun kepatuhan dan pertimbangan keluarga. Belum terdapat panduan
mengenai jangka waktu pemberian OAE pada FUS. Setiap pasien dinilai

19
perorangan baik konsekuensi dari segi medis (misalnya kemungkinan risiko
berulangnya kejang atau durasi kejang yang lama) maupun dari segi sosial
(faktor sosial ekonomi keluarga). Saat ini kesepakatan yang sering digunakan
pada anak dengan FUS adalah melanjutkan pengobatan OAE hingga bebas
kejang satu tahun kecuali pada kasus abnormalitas gambaran EEG berupa
juvenile myoclonic epilepsy yang memerlukan terapi jangka
panjang.10,11Beberapa ahli berpendapat untuk menggunakan gambaran EEG
epileptiform yang persisten untuk memutuskan kelanjutanpengobatan OAE
sebab risiko tinggi berulangnya kejang ditentukan oleh gambaran EEG
epileptiform tersebut. Obat anti-epilepsi dapat menyebabkan efek samping
sistemik seperti ruam, hirsutisme, dan peningkatan berat badan, mual
didapatkan pada tujuh hingga 58% anak.1,4 Efek samping lainnya yang lebih
berat berupa toksisitas hepar, toksisitas sumsum tulang, dan Stevens Johnson
syndrome, OAE fenobarbital juga menimbulkan efek samping gangguan
perilaku dan kognitif.1Belum terdapat data yang spesifik mengenai efek.

20
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak merupakan hal yang penting artinya bagi sebuah keluarga.
Selain sebagai penerus keturunan, anak pada akhirnya juga sebagai
generasi penerus bangsa. Oleh karena itu tidak satupun orang tua yang
menginginkan anaknya jatuh sakit, lebih-lebih bila anaknya mengalami
kejang demam.
Epilepsi merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering
dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran
pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. (Ngastiyah,
2002; 229).
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan akan memberikan manfaat
bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan
bagaimana melakukan sebuah proses asuhan keperawatan terutama pada
gangguan neurologis seuzier disorder.

21
DAFTAR PUSTAKA

Arif, et. All, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. Jilid 2. Jakarta: Medika
aesculaius.
Doengoes, M.E, Moorhouse, M. F & Geissler A. C. 2002. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Nurarif, A. H & Kusuma, H. 2013. Aplikasi asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnose Medis & Nanda NIC-NOC. Yogyakarta: Media Action.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah
Volume II. Jakarta: EGC.

22

Anda mungkin juga menyukai