Anda di halaman 1dari 145

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

Dery Handaiana PGP


120170053
Pendahuluan
.

Trauma medulla spinalis merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering
menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda.

Kelainan ini sering kali mengakibatkan penderita harus terbaring di tempat tidur atau duduk di
kursi roda karena kelumpuhan dari anggota gerak mereka.

Pada penderita yang mengalami cedera multipel, cedera kolumna vertebralis harus selalu dicari
dan disingkirkan walaupun tanpa defisit neurologis,

Kurang lebih 5% dari cedera spinal akan timbul gejala neurologis lain atau memburuknya
keadaan setelah penderita mencapai UGD

Oleh karena cedera bersifat fatal dan menyebabkan penurunan kualitas hidup yang menetap,
maka para dokter membutuhkan cara diagnosis yang tepat dan tatalaksana yang baik dalam
menghadapinya.
ANAMNESIS
Anamnesis Sistem
● Sistem Cerebrospinal : Kelemahan anggota gerak bawah
● Sistem Kardiovaskular : Tidak ada keluhan
● Sistem Respiratori: Sesak napas
● Sistem Gastrointestinal : Sulit BAB
● Sistem Neuromuskular : Hilangnya sensasi setinggi dermatome
torakalis V, nyeri punggung
● Sistem Urogenital : BAK tidak dapat dikontrol, disfungsi ereksi
● Sistem Integumen : Tidak ada keluhan
PEMERIKSAAN
FISIK
Status Generalis
● Kesadaran Umum : baik, tampak nyeri dengan skala vas 7
● Kesadaran : compos mentis E4V5M6
● Tanda Vital
○ Tekanan Darah : 120/70
○ Frekuensi Nadi : 94x/menit
○ Frekuensi Napas : 27x/menit (↑)
○ Suhu : 38.9°C (↑)
○ Saturasi Oksigen : 94%
Status Lokalis
● Kepala : normocephal
● Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), refleks
cahaya (+/+), refleks kornea (+/+), air mata (-/-)
● Hidung : septum deviasi (-), sekret (-), mukosa hiperemis (-)
● Telinga : normotia, sekret (-)
● Mulut : sianosis (-), bibir kering (+)
● Leher : pembesaran KGB (-), trakea di tengah, kaku kuduk (-)
● Thorax
○ Paru : inspeksi : normochest, gerak dada simetris
palpasi : vocal fremitus +/+, simetris
perkusi : sonor di kedua lapang paru
auskultasi : vesikuler sound +/+, ronkhi +/-, wheezing -/-
○ Jantung : inspeksi : iktus kordis tampak
palpasi : iktus kordis teraba
perkusi : batas atas jantung : ICS II Linea Parasternal Sinistra
batas jantung kanan : ICS II-III Linea Parasternal Dextra
batas pinggang jantung : ICS V Linea Axilaris Anterior Sinistra
● Abdomen : inspeksi : permukaan cembung
auskultasi : bising usus 2x/menit (↓)
palpasi : turgor kulit baik, nyeri tekan epigastrium (-)
perkusi : tidak dapat dinilai
● Ekstremitas

Superior Inferior
Akral Hangat +/+ +/+
Sianosis -/- -/-
Varises -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capillary Refill <2 detik <2 detik
Status Psikiatrik

● Tingkah Laku : Gelisah


● Perasaan Hati: Irritabel
● Orientasi : Dalam batas normal
● Kecerdasan : Dalam batas normal
● Daya ingat : Dalam batas normal
Status Neurologis
● Sikap tubuh : tidak dapat dinilai
● Gerakan abnormal: tidak ada
● Cara berjalan : tidak dapat dinilai

Nervus Cranialis
N. I (OLFAKTORIUS) Lubang hidung Lubang hidung
Kanan Kiri

Daya Pembau Normal Normal


N.N.VVII (FASIALIS)
(TRIGEMINUS)
N.III (OKULOMOTORIS) MataKanan
Kanan Kiri
Mata Kiri
N. XII (HIPOGLOSUS) Keterangan
Kerutan
Ptosis Kulit Dahi Normal
- Normal
-
Mengigit
Kedipan
Sikap MataKe Atas Normal
Normal NormalNormal
Normal
Geraklidah
Mata N. XI
N.IX
N. VI (ABDUSEN)
(AKSESORIUS)
(GLOSSOFARINGEUS)
Mata Kanan + Mata Kiri
Keterangan
Keterangan +
N. VIII
N. X (VAGUS) (AKUSTIKUS) Kanan Kiri
Keterangan
Lipatan Nasolabial Normal Normal
Gerak Mata
Membuka Ke Bawah N.IV N.
Mulut (TROKHLEARIS)
IIKepala
(OPTIKUS) Mata Kanan
Mata Kanan+
Normal Mata
Mata Kiri
Kiri Normal +
Normal
Artikulasi Memalingkan
Arkus Faring
Mendengar Suara Berbisik Normal Normal
Simetris
Normal
Simetris
Sudut Mulut Gerak
Arkus Mata
faring Lateral Bawah + Normal + Normal
Gerak Mata Ke Media Daya Gerak Mata Lateral
Penglihatan Normal
Normal + Normal
Normal +
Mengerutkan
Sensibilitas Muka Sikap
Daya
DahiAtas Bahu Detik
Kecap
Mendengar
Strabismus 1/3Konvergen
Belakang
Arloji - Normal
Normal
Normal Normal
Tidak dinilai (-) Normal
Normal
- Normal
Ukuran lidah
Tremor Pupil 3 mm (+) 3 mm
Mengangkat Alis Reflek
Tes
muntah
Pengenalan
Mengangkat
Diplopia
Reflek
RinneMuntah Bahu
Warna Normal
- Normal
Normal
Tidak Tidak
Tidak dilakukan dapat-(+)
dinilai
dilakukan Normal
Bentuk Pupil Starbismus Konvergen Isokor
- Normal - Isokor
Sensibilitas
Menutup
Menjulurkan
Muka TengahLapang
Mata lidahBersuara pandang Normal Normal NormalNormal
Normal Normal
Reflek Cahaya Langsung
Sengau
Tes Weber +
Tidak dilakukan Tidak(-)
dilakukan +
Meringis Normal Normal
Reflek Cahaya
Sensibilitas Muka Konsesuil
Bawah +
Normal Normal +
(-) Normal
Trofi otot lidah Trofi
Tik Fasial Otot
Menelan
Tersedak Bahu
Tes Schwabach
Diplopia Tidak dilakukan
- - Eutrofi
Tidak
- (-)
dilakukan -
Strabismus Divergen - -
Lakrimasi - -
Reflek Kornea
Fasikulasi
Diplopia lidah
+
- (-) -
+
Daya Kecap 2/3 Depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
● Refleks Motorik

Superior Inferior
Gerakan Bebas, spontan -
Kekuatan 555/555 000/000
● Tonus
Refleks Fisiologis +/+ ↑/↑
Trofi Eutrofi Eutrofi

Kanan Kiri
Refleks Biceps Normal Normal

Refleks Triceps Normal Normal

Refleks Ulna dan Radialis Normal Normal

Refleks Patella ↑ ↑

Refleks Achilles - -
● Refleks Patologis

Kanan Kiri
Babinski ↑ ↑
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
● Mendel
FungsiBachterew
Sensorik - -
Pada ekstremitas inferior seluruh rangsang sensorik tidak terasa (0)
Rosollimo - -
Gonda - -
Hoffman Trommer - -
● Pemeriksaan Rangsang Meningeal

Kaku Kuduk -

Kernig Sign -

Brudzinski I -

Brudzinski II -
● Pemeriksaan Fungsi Luhur dan Vegetatif
○ Fungsi
Brudzinski III Luhur : Baik -
○ Fungsi Vegetatif : BAK tidak dapat dikontrol, belum BAB
Brudzinski IV -
● Pemeriksaan ASIA Score

Ditemukan bahwa
fungsi motorik ekstremitas
atas (C5-T1) kanan dan kiri
pasien baik dengan skor 5
dan fungsi motorik
ekstremitas bawah (L2-S1)
mengalami paralisis total.
Sedangkan fungsi
sensorik pasien baik
dengan skor 2 hingga T5,
selebihnya pasien tidak
dapat merasakan apa-apa
baik dengan sentuhan
maupun dengan rangsang
nyeri (pin prick).
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Darah Lengkap
Hb 14,5 11.7-15.5 g/dL
Leukosit 10,8 3.6-10 Ribu
Eritrosit 4,98 3.8-5.2 Juta
Hematokrit 39,5 35-47 %
MCV 79,3 82-98 fl
MCH 29,1 27-32 Pg
MCHC 36,7 32-37 g/dL
RDW 12,7 10-16 %
Trombosit 210 150-400 Ribu
PDW 14,4 10-18 %
MPV 8,0 7-11 Mikro m3
Limfosit 2,0 1.0-4.5 103/mikro
Monosit 0,4 0.2-1.0 103/mikro
Granulosit 8,4 2-4 103/mikro
Limfosit % 18,2 25-40 %
Monosit % 6,1 2-8 %
PCT 0.168 0.2-0.5 %
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Urin Lengkap
Warna Kuning   -
Kekeruhan Jernih   -
Protein Urin + Negatif g/L
Glukosa Urin Negatif Negatif Mmol/L
pH 5,0 5-9 -
Bilirubin Urin Negatif Negatif Umol/L
Urobilinogen Negatif Negatif Umol/L
Berat Jenis Urin 1,015 1,000-1,030 -
Keton Urin Negatif Negatif Mmol/L
Leukosit Negatif Negatif Sel/mL
Eritrosit Negatif Negatif Sel/mL
Nitrit Negatif Negatif -
Sedimen      
1. Eritrosit 21,4 <6,4 uL
1. Leukosit 07,0 <0,5 uL
1. Epitel 45,3 <3,5 uL
1. Silinder 8,55 <0,47 uL
1. Bakteri 119,4 <23 uL
1. Kristal 92,7 Negatif -
1. Yeast 0,0 Negatif -
1. Epitel Tubulus 35,3 Negatif -
1. Silinder Patologis 4,22 Negatif -
1. Mucus 3,73 Negatif -
1. Sperma 0,0 Negatif -
1. Konduktivity 20,5 Negatif -
X Foto
Vertebrae
Lumbo Sacral
AP/Lateral
Kesan :
1. Spondilosis lumbalis
dan torakalis
2. Tak tampak kompresi
maupun listesis
3. Tak tampak listesis
maupun penyempitan
diskus
X Foto Cervical
AP Lateral
Oblique
Kesan :
1. Alignment C1-5 lurus
2. Penyempitan VC5
3. Spondilosis servikalis
4. Tak tampak
penyempitan diskus
X Foto Thorax AP
Kesan :
1. Kardiomegali
2. Bronkopneumonia massif
ec curiga kontusio
pulmonal
3. Kompresi vertebra
torakalis 4
TATALAKSANA DAN
PROGNOSIS
Penatalaksanaan

Di Instalasi Gawat Darurat Di Ruang Bangsal

● Pasang Collar Neck ○ NK 3 liter/menit


● Pasang DC ○ IVFD RL 20 tetes/menit
● NK 3 liter/menit ○ Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram
● IVFD Asering Loading 250cc ○ Injeksi Metilprednisolon 3,5
● Injeksi Metilprednisolon 19 ampul
(30x80=2400ml)
amp/jam (23 jam) dilanjutkan
● Injeksi Ketorolac 2x30 mg dengan 3x125mg
● Injeksi Ranitidin 2x1 amp ○ Injeksi Ranitidin 2x1 amp
○ Injeksi Paracetamol 3x500 mg
Penatalaksanaan

Non Farmakologis Planning

Edukasi USG Abdomen


● Menjelaskan resiko yang mungkin
dapat terjadi pada keadaan pasien
● Menjelaskan indikasi, fungsi,
manfaat, dan efek samping dari
terapi yang diberikan
Prognosis

● Death : Dubia ad Bonam


● Disease : Dubia ad Bonam
● Disability : Dubia ad Malam
● Discomfort : Dubia ad Malam
● Dissatisfaction : Dubia ad Malam
● Destitution : Dubia ad Malam

● Note
dubia ad bonam (tidak dapat ditentukan/ ragu/ cenderung baik), dubia ad malam
(tidak dapat ditentukan/ ragu/ cenderung buruk).
Spinal Cord Injury (SCI)
Dery Handaiana PGP
120170053
Klasifikasi SCI

● Klasifikasi SCI pertama kali dikemukakan oleh


Stokes Manville sebelum PD II
● Dipopulerkan oleh Frankel tahun 1970an
● Skor asli terdiri dari 5 kategori, yaitu:
– no function di bawah level cedera (A)
– sensory only (B)
– some sensory and motor preservation (C)
– useful motor function (D)
– normal (E).
Asia Impairment Scale
A = Complete – Tidak ada fungsi
sensorik maupun motorik pada
segmen sacral S4-S5
B = Incomplete – Ada fungsi
sensorik tetapi tidak ada fungsi
motorik pada level cedera dan
meluas hingga segmen sacral S4-
S5
C = Incomplete – Ada fungsi
motorik di bawah level cedera, dan
sebagian besar otot-otot kunci di
bawah tempat cedera memiliki
skor otot lebih rendah daripada 3.
D = Incomplete – Fungsi motorik
ditemukan pada level cedera, dan
sebagian besar otot-otot kunci di
bawah level tersebut memiliki skor
otot lebih besar atau sama dengan
3. E = Normal – Fungsi sensorik
dan motorik normal.
Motor and Sensory Evaluation

● Wajar bila terdapat perbedaan antara level motorik terendah dan


level sensorik terendah.
● Cedera Complete - Tidak ditemukan fungsi motorik maupun
sensorik di area S4 dan S5 atau area anal.
● Cedera Incomplete - Bila ada fungsi motorik atau sensorik pada S4
dan S5, menurut Skala Asia Impairment.
● ASIA Impairment Scale sebenarnya mengikuti Frankel
scale tetapi ada beberapa perbedaan yang prinsip
● ASIA A adalah pasien SCI dimana tidak ada fungsi
motor dan sensori yang tersisa hingga level terbawah
(S4-S5).
● ASIA B sama dengan Frankel B, hanya ditambahkan
masih ada fungsi tersisa dari segmen S4-S5.
● Pada Frankel scale C dan D menilai fungsi dari
ekstremitas bawah. Ini selain bersifat subyektif juga
sulit utk mengklasifikasi pada SCI cervical
● ASIA C dan D berusaha mengatasi hal di atas
● ASIA C jika lebih dari separoh kekuatan otot yang dites
dengan MMT memiliki nilai kurang dari 3/5
● ASIA D, seperti di atas tetapi nilai otot lebih dari 3/5
● ASIA E adalah pasien SCI tanpa ada defisit neurologis
● ASIA scale mungkin juga tidak sensitif dalam
mengkategorikan kelemahan, adanya spastisitas, nyeri
dan beberapa bentuk disestesia yang mungkin terjadi
pasca SCI
Penyebab

● Trauma (terbanyak):
○ Kecelakaan lalu lintas
○ Kecelakaan kerja
○ Cedera olahraga (menyelam, judo dll)
○ Kecelakaan di rumah (jatuh dr ketinggian, bunuh
diri dll)
○ Bencana alam, misal gempa
○ Lain-lain, misal luka tembak, tusuk dll
● Penyakit/non traumatik:
○ Transverse myelitis
○ Tumor
○ Kelainan vaskuler
○ Multiple sclerosis, dll
Area yang sering cedera
● Lower cervical (C 5 - 7)
● Mid-thoracic (Th 4 - 7)
● Thoraco-lumbar (Th 10 - L 2)

Gejala yang timbul


● Ggn motorik
● Ggn sensorik
● Ggn kontrol vasomotor
● Ggn kontrol bladder & bowel
● Ggn fungsi seksual
No Mekanisme Cedera Penyebab Level

1 Fleksi Kecelakaan lalu lintas C5 – C6


2 Rotasi Kecelakaan lalu lintas Th 12 – L1
3 Hyperekstensi Kecelakaan di rumah Cervical
4 Kompresi Menyelam C5 – C6
Jatuh dr ketinggian Th 12 – L1
5 Penetrasi Luka tembak, tusuk
Gejala awal

● Spinal shock:
○ Sel-sel saraf med spinalis di bawah lesi tak berfungsi
○ Reflek –
○ Flaccid
○ Berlangsung bbrp jam – hari bahkan sampai 6
minggu
● Berangsur-angsur pulih -> spastis
● Cedera di bawah L1 tdk menyebabkan spastisitas
● Cedera pd level atas bisa pula flaccid krn tjd
kerusakan vaskuler
Cedera yang menyertai

● Cedera muskuloskeletal
○ Fraktur tulang panjang (ekstremitas)
○ Trauma kepala (menyertai cedera cervical)
○ Trauma dada dgn fraktur costa, pneumothorax, haemothorax
(menyertai cedera thoracal)
● Cedera organ dalam
○ Trauma abdominal
Penanganan medis

● Operasi
○ Pada 95% kasus
○ Memungkinkan dan harus diberikan mobilisasi dini
○ Jenis: plate and screw
z plate (pendekatan lateral)
titanium cage
bone graft (crista iliaca)
● Konservatif
○ Tidak cocok untuk dilakukan operasi (usia, KU dll)
○ Cedera yang stabil
○ Cedera yang incomplete
○ Reposisi sebelum dilakukan operasi
Konservatif
● Postural reduction/bed rest
6-12 minggu
● Brace/orthose
● Plaster/gips
Komplikasi SCI
● Skin Breakdown: (decubitus ulcers atau pressure sores)
Karena penekanan (posisi statis), gangguan sensori dan gangguan vaskularisasi
● Osteoporosis and Fractures:
Karena tidak ada aktivitas otot dan penumpuan berat badan
● Pneumonia, Atelectasis, Aspiration: (restictive lung deseases)
Resiko pada pasien cedera di atas T4)
Terjadi antara 5 s/d 10 tahun pasca SCI
● Heterotopic Ossification:
Penulangan pada sekitar sendi, biasa terjadi pada sendi besar seperti hip dan knee atau
shoulder
Resiko terjadi kaku sendi dan penyatuan sendi (joint stiffening and fusion)
● Spasticity:
Konsekuensi dari lesi UMN
● Autonomic dysreflexia:
Dpt terjadi pada pasien dengan lesi di atas level T6 atau T5
Diduga karena terputusnya otonom yang mengontrol tekanan darah dan
fungsi jantung
Dapat berakibat hipertensi
● Deep vein thrombosis: (DVT) atau emboli paru

● Cardiovascular disease: Cardiovascular disease adalah resiko jangka


panjang paling utama.
● Syringomyelia-
Mrpk pembesaran canalis centralis dari med spinalis pasca trauma, terjadi
pada 1-3% pasien SCI. Resiko adalah gangguan fungsi di atas level cedera
● Respiratory Dysfunction and infection

● Neuropathic/Spinal Cord Pain-


banyak tipe dari gangguan ini
Kerusakan dari tulang vertebra, medulla spinalis, saraf tepi, dan jaringan di
sekitarnya bisa menyebabkan hal ini.
Bisa berupa nyeri pada akar saraf yang tajam seperti teriris dan menjalar
sepanjang perjalanan saraf tepinya, bahkan terjadi phantom limb pain
MYASTHENIA GRAVIS
Dery Handaiana PGP
120170053
DEFINISI
● Miastenia gravis (kelemahan otot yang parah) adalah
merupakan suatu penyakit gangguan autoimun yang
mengganggu sistem sambungan saraf (synaps) atau
neuromuscular junction berfungsi secara tidak normal dan
menyebabkan kelemahan otot menahun.

● Pada penderita miastenia gravis, sel antibodi tubuh atau


kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang
mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter
yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf
lainnya.
KLASIFIKASI
1. Kelompok I Myasthenia Okular
2. Kelompok II Myasthenia Umum
■ Myasthenia umum ringan
■ Myasthenia umum sedang
■ Myasthenia umum berat
- Fulminan akut
- Lanjut
ETIOLOGI
● Penyebab pasti reaksi autoimun atau sel antibodi yang
menyerang reseptor acetylcholine belum diketahui.
Secara teoritis, gangguan ini dapat disebabkan oleh
reaksi autoimun atau gangguan pada aktivitas
neurotransmiter. 

● penyebab lain adalah adanya kemungkinan peranan


kelenjar thymus. Hubungan antara kelenjar thymus dan
Myasthenia Gravis masih belum sepenuhnya dimengerti.
Para ilmuwan percaya bahwa kelenjar thymus mungkin
memberikan instruksi yang salah mengenai produksi
antibodi reseptor asetilkolin sehingga malah menyerang
transmisi neuromuskular
Lanjutan

Pada banyak kasus, faktor penyebab penyakit Myasthenia


Gravis ini masih bersifat idiopatik atau belum jelas. Namun,
ada beberapa faktor yang diduga memicu penyakit ini,
Misalnya :
● Antibodi AChR
● Obat-obatan, antara lain: antibiotik (aminoglycosides,
ampicillin), Beta-adrenergic receptor blocking agents,
Lithium, Procainamide, Verapamil, Quinidine, Chloroquine,
anticholinergics dan timolol. Penicillamine, obat ini diduga
memicu penyakit-penyakit autoimun termasuk myasthenia
gravis
PATOFISIOLOGI
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah
Acetyl Choline Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan
Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah
normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran
ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan
penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls
tertentu sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot
terganggu dan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot
otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada
sambungan neuromuskular.
Patofisiologi

Sistem kekebalan yang membentuk Antibodi tubuh (Ig G)

menyerang reseptor Ach yang terdapat pada sisi otot dari


neuromuscular junction

akibatnya terjadi kekurangan relatif dari Ach di pelat ujung


motoris dari otot lurik

Kelemahan otot
Patofisiologi (lanjutan)

- melibatkan T-cell, B-cell dan tjd hiperplasia


kelenjar timus (timoma)
- ditemukannya antibodi anti Ach-R (anti
asetilkolin reseptor).
Pathophysiology

○ Imunitas yang dimediasi sel T memiliki beberapa


pengaruh
■ Hiperplasia timus dan timoma dikenali pada
pasien miastenia
MANIFESTASI KLINIS
Myasthenia gravis ditandai dengan kelemahan pada otot, yang
memburuk ketika digerakkan dan membaik ketika
beristirahat,
Kemudian kelemahan otot menjalar ke otot-otot okular,fascial
dan otot-otot bulbar dala rentang minggu sampai bulan, gejala
ini sering menjadi gejala awal dari penyakit ini.
○ Kelopak mata turun sebelah atau layu (asimetrik ptosis)
○ Penglihatan ganda
○ Kelemahan otot pada jari-jari, tangan dan kaki
○ Gangguan menelan
○ Gangguan bicara
○ Dan gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan
(respiratory paralysis),
DIAGNOSIS MG
Diagnosa Myasthenia Gravis pada awalnya didasarkan pada
gambaran klinis, Selain dengan melihat gambaran klinis, ada
beberapa test yang dapat dilakukan untuk diagnose penyakit
ini. Test-test yang dapat dilakukan itu antara lain :
1. Test Wartenberg
2. Test Edrophonium Chloride (Tensilon)
3. Test Single Fiber Electromyography (EMG)
4. Test Darah
5. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI)
6. Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)
PENATALAKSANAAN
Myasthenia Gravis bisa dikontrol dengan beberapa terapi
Yang ada, yang dirasakan cukup efektif untuk membantu para
penderita. Terapi-terapi tersebut bisa berupa :
1. Obat-obatan :
○ Anticholinesterase
○ Corticosteroid dan Immunosuppressant
2. Tindakan medis :
○ Immunoglobulin
○ Plasmapheresis
○ Thymectomy
KOMPLIKASI
● Gagal nafas
● Krisis miastenik dan Krisis cholinergic akibat terapi
yang tidak diawasi
● Penggunaan steroid yang lama:
○ Osteoporosis, katarak, hiperglikem
○ Gastritis, penyakit peptic ulcer
○ Pneumocystis carinii
MIELOPATI SERVIKAL
Dery Handaiana PGP
120170053
Mielopati

Definisi

• gangguan fungsi atau struktur dari


medulla spinalis oleh adanya lesi
komplit atau inkomplit

Etiologi

• Lesi traumatik, neoplasma, lesi


vaskuler, lesi inflamasi, proses
degeneratif dan penyakit sistemik
Kriteria Diagnosis Mielopati

● Anamnesis
○ Lemah/lumpuh anggota gerak, gangguan buang air
kecil dan buang air besar, gangguan sensibilitas.
● Pemeriksaan fisik
○ Parese/plegi tipe UMN (tergantung lokasi lesi, dapat
dijumpai gejala UMN atau campuran UMN dan
LMN), hipestesi/anestesi segmental, gangguan
fungsi otonom.
● Kejadiannya dapat akut, subakut, kronik progresif.
● Tidak ditemuinya tanda-tanda radang atau
penyebabnya tidak diketahui.
Pemeriksaan Penunjang

Radiolo
Lab Lain
gi
Darah rutin Foto polos
vertebra MRI
Kimia darah
Mielografi
Urin rutin
Bone
CT- scanning
LCS mielografi
Klasifikasi

● Tumor primer
○ Jinak, yang berasal dari
■ tulang; osteoma dan kondroma
■ serabut saraf : neurinoma (Schwannoma)
■ selaput otak : Meningioma
■ jaringan otak; Glioma, Ependimoma
○ Ganas, yang berasal dari:
■ Jaringan saraf, seperti; Astrocytoma,
Neuroblastoma
■ sel muda seperti Kordoma.
● Tumor sekunder
○ Metastase dari tumor ganas di daerah rongga dada,
perut, pelvis dan tumor payudara.
Klasifikasi

. . .
Ekstradural Ekstrameduler
Lokasi dan
hub.
duramater
Intradural
Intrameduler
(A) Tumor intradural-intramedular, (B) Tumor intradural-
ekstramedular
(C) Tumor Ekstradural
Epidemiologi

• 15% dari total tumor SSP


• Insiden 0,5-2,5 kasus/100.000
AS penduduk/ tahun.
• 25% servikal, 55% thorakal dan 20%
lumbosakral

Indonesia • ?
Epidemiologi

Intradural Intradural Lokasi


intramedular ekstramedular • Servikal (25%)
• Ependymoma (3%) • Schwanoma (53,7%) • Thorakal (55%)
• Astrositoma (3%) • Meningioma (25% dari • Lumbosakral (20%)
• Hemangioblastoma (3- tumor spinal)
13%)
Patofisiologi

Proses desak ruang dalam kanalis spinalis

Kompresi pada medula spinalis dan radiks neuralis

Tumor dengan konsistensi lunak  deformitas


medula spinalis  gejala kompresi

Tumor besar  gejala dapat timbul karena kontusio


MS karena dalam pergerakan columna vertebralis.
Gejala klinis

Prephase • gejala yang tidak jelas

• Nyeri radikuler
Gejala pertama • Atrofi otot

• Motorik  paresis spastik


Gejala kedua • Kolumna posterior  ataksia, parestesi, baal
• Otonom

• Sensorik
Gejala lanjut – • Motorik
transeksi komplit • otonom
Gejala Tumor ekstrameduler Tumor intrameduler

Nyeri spontan Mempunyai tipe dan distribusi Mempunyai tipe membakar,


radikuler dan merupakan gejala tidak mempunyai lokalisasi
dini yang penting yang jelas.

Sensibilitas Tipe Brown Sequard Terdapat disosiasi dan


perubahan berbercak
Gangguan eksteroseptif pada Lebih jelas daripada level lesi. Kurang jelas daripada level
daerah sakral Gangguan seakan bertambah ke lesi. Gangguan seakan
arah kranial. bertambah ke kranial dan
kaudal.
Lower motor neuron Segmental Jelas dan tersebar, disertai
atrofi dan fasikulasi.
Upper motor Jelas dan timbul dini Tidak jelas dan timbul pada
fase lanjut.
Gangguan traktus piramidalis Pada saat dini Pada saat sudah lanjut

Gangguan trophi Tidak jelas Jelas


Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
protein dan xantokhrom, sel
LCS
keganasan

Foto polos vertebra


erosi pedikel , pelebaran, fraktur scalloping badan vertebra,
kompresi patologis, sklerosis, perubahan osteoblastik

CT-scan, MRI
Lokasi
Pentalaksanaan

dexamethasone

• 100 mg (mengurangi nyeri pada 85 % kasus, mungkin


juga menghasilkan perbaikan neurologis).

berdasar evaluasi radiografik

• Bila tidak ada massa epidural: rawat tumor primer


(misalnya dengan sistemik kemoterapi); terapi radiasi
lokal pada lesi bertulang; analgesik untuk nyeri.
• Bila ada lesi epidural, lakukan bedah atau radiasi
(biasanya 3000-4000 cGy pada 10x perawatan dengan
perluasan dua level di atas dan di bawah lesi); radiasi
biasanya seefektif seperti laminektomi dengan
komplikasi yang lebih sedikit.
Pentalaksanaan

Penatalaksanaan darurat

• bila >80 % blok komplit atau perburukan yang cepat: penatalaksanaan sesegera
mungkin (bila merawat dengan radiasi, teruskan deksamethason keesokan
harinya dengan 24 mg IV setiap 6 jam selama 2 hari, lalu diturunkan (tappering)
selama radiasi, selama 2 minggu.
• bila < 80 % blok: perawatan rutin (untuk radiasi, lanjutkan deksamethason 4 mg
selama 6 jam, diturunkan (tappering) selama perawatan sesuai toleransi.

Radiasi

• tumor intramedular yang tidak dapat diangkat dengan sempurna

Pembedahan

• Tumor dan jaringan tidak dapat didiagnosis biopsi


• Medula spinalis yang tidak stabil (unstable spinal).
• Kegagalan radiasi
• Rekurensi setelah radiasi maksimal.
Prognosis

Gambaran PA yang agresif 


prognosis yang buruk terhadap
terapi.

Fungsi neurologis setelah


pembedahan sangat bergantung
pada status pre operatif pasien.

Prognosis semakin buruk seiring


meningkatnya umur (>60 tahun).
DASAR DIAGNOSIS

diagnosis klinis
• Didapatkan gangguan motorik berupa nyeri
leher, tetraparese, gangguan sensoris berupa
hipestesi dan gangguan sistem otonom berupa
inkotinensia uri dan konstipasi.
diagnosis topik
• Pada pasien ini ditemukan hipestesi setinggi
medulla spinalis C5.
DASAR DIAGNOSIS

diagnosis etiologik
• Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan
gambaran penyakit berupa nyeri pada leher,
disertai tetraparese yang berjalan kronik progresif,
yang diikuti dengan hipestesi, kelainan otonom,
tanpa disertai adanya tanda-tanda infeksi. Hal ini
menunjukkan adanya suatu SOL medula spinalis
diagnosis banding
• spondilitis yang menyebabkan kompresi medulla
spinalis, dengan gejala yang hampir sama.
Dasar Usulan Pemeriksaan Penunjang

• mengevaluasi kondisi umum


darah rutin dan pasien.
kimia darah

• menemukan fokus infeksi di paru


Ro. Thoraks PA bila ada, 2/3 kasus
menunjukkan lesi radiologis TB
paru.

Ro. Vertebra • mencari bukti adanya SOL di


cervical AP dan tulang belakang, 67-85%
abnormal.
lateral
Dasar Usulan Pemeriksaan Penunjang

MRI • bukti adanya lesi kompresif, dan

dengan membantu menyingkirkan spondilitis.

kontras
• diagnosis pasti mielopati yang terjadi.

Biopsi

Analisis • mencari tanda-tanda keganasan


berupa peningkatan protein dan

LCS xantokhrom, dan kadang-kadang


ditemukan sel keganasan
Dasar diagnosis

Dasar diagnosis akhir

• Diagnosis akhir pada pasien ini belum bisa


ditegakkan karena belum dilakukan biopsi.

Dasar penatalaksanaan

• Metilprednisolon digunakan sebagai antiinflamasi


dan antioksidan
• Ranitidine diberikan untuk mencegah efek
samping metilprednisolon pada lambung berupa
ulkus peptikum.
POLIOMIELITIS
Dery Handaiana PGP
120170053
Pendahuluan
● Poliomyelitis adalah infeksi enterovirus (RNA virus) yang menyebabkan 4 manifestasi klinis :
● Infeksi tanpa gejala klinis
● Abortive disesase
● Poliomyelitis nonparalitik
● Penyakit paralisis
Epidemiologi

● < abad 19 : insiden sporadis


● Abad 19-20 : epidemi >> dan puncak
pertengahan 1950
● Vaksin polio (1952, Jonas Salk) : insiden ↓ secara bermakna
● Mortalitas : paralytic poliomyelitis akibat
komplikasi respirasi
● Insiden :L=P
● Predesposisi : anak / individu dengan gangguan
sistim imun (HIV)
● Eradikasi polio : prioritas WHO
3 serotipe
Virus polio
patogenesis fecal-oral route

nasofaring
GIT,
hematoviremia

Periode inkubasi
jaringan limfoid
5-35 hari
neurotropik

cornu anterior
medula spinalis

destruksi paralisis
motor neuron
Anamnesa

● Infeksi tanpa gejala klinik (asimptomatik)


● Abortive poliomyelitis (5-10%) : pemeriksaan neurologi normal disertai :
○ Anorexia
○ Vomiting
○ Nyeri perut
○ Lama penyakit <5 hari
● Nonparalytic poliomyelitis : abortive disease + iritasi meningeal
● Paralytic poliomyelitis : manifestasi sistemik (gagal nafas) + gejala
nonparalytic poliomyelitis.

● Fase pemulihan : postpoliomyelitis syndrome : kelemahan kelompok otot


setelah 20-40 tahun setelah infeksi
Pemeriksaan fisik
● Spektrum : asimptomatis – paralitik
● Kasus ringan : gejala dan tanda klinis nonspesifik dan selalu membaik
dalam beberapa hari :
○ Demam - Nyeri kepala
○ Nausea - Vomiting
○ Nyeri perut - Hiperemi Oropharyngeal
● Nonparalytic poliomyelitis : karakteristik : gejala diatas ditambah :
○ Kaku kuduk
○ Nyeri kepala memberat
○ Nyeri punggung dan ekstremitas bawah
○ Meningitis dengan pleositosis limfositik (selalu terjadi)
● Paralytic poliomyelitis : <5% dengan karakteristik :
○ Gangguan motor neuron lokal atau general
○ Sering terjadi kehilangan fungsi otot asimetris dengan keterlibatan
kelompok otot utama
○ Atrofi otot tampak setelah beberapa minggu setelah gejala muncul
○ Pemulihan dapat total, parsial atau tidak terjadi
Diagnosis banding
● Botulism
● Infeksi enterovirus lain
● GBS
● Spinal muscular atrophy
● Myotonic dystrophy
● Rabies
● Tetanus
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium :
● Kultur virus dari sediaan :
1. cerebrospinal fluid (CSF)
2. Feses
3. Hapusan tenggorok

● Serum antibodi 3 serotipe virus pada fase akut dan penyembuhan


● IgG (meningkat 4 kali) atau IgM + pada fase akut : nilai diagnostik
Penatalaksanaan
● Terapi medis :
1. Antivirus : tidak efektif
2. Terapi utama : suportif
3. Analgesia : mialgia/nyeri kepala
4. Ventilasi mekanik : paralisis bulbar
5. Tracheostomy : jika memerlukan ventilasi mekanik jangka panjang
6. Laxative : konstipasi

● Terapi fisik : Kasus paralitik : mobilisasi mencegah dekubitus & atrofi otot

● Terapi bedah : Total hip arthroplasty : hip displacia dan penyakit degeneratif
● Prognosis
1. Buruk : komplikasi dan mortalitas tinggi (60%) pada Bulbar paralytic poliomyelitis dan
spinal poliomyelitis
2. Baik : inapparent atau abortive poliomyelitis pulih tanpa kecacatan yang bermakna
TRAUMMATIC BRAIN
INJURY
Dery Handaiana PGP
120170053
PENDAHULUAN

- Cedera kepala penyebab


- Penanganan klinis yang cepat - Perubahan neuropatologi: tipe
utama morbiditas dan
dan akurat sangatlah penting
mortalitas pada semua dan keparahan cedera, serta
kelompok usia - Pencitraan cedera kepala tidak bekas cedera
hanya bergantung pada
- Belum ada penanganan yang - Perubahan patologi: usia,
efektif untuk memulihkan efek mekanisme dan keparahan komorbid, alkohol, hipoksia,
cedera, tapi juga pada waktu sepsis dan penanganan
yang menetap dari cedera
sejak terjadinya cedera
kepala primer
DEFINISI

● Menurut Brain Injury Assosiation of


America:
○ Cidera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.
Di Amerika Serikat, kejadian cedera Data epidemiologi di Indonesia belum
kepala setiap tahunnya diperkirakan ada tetapi menurut data salah satu
mencapai 500.000 kasus rumah sakit di Jakarta (RS Cipto
Terjadi pada kelompok usia produktif Mangunkusumo):
antara 15-44 tahun 60%-70% pasien dengan Cedera
Menurut data Amerika Serikat: Kepala Ringan (CKR)
48%-53% cedera kepala disebabkan 15%-20% pasien dengan Cedera
kecelakaan lalu lintas Kepala Sedang (CKS)
20%-28% cedera kepala disebabkan sekitar 10% pasien dengan Cedera
jatuh Kepala Berat (CKB)
3%-9% lainnya disebabkan tindak Angka kematian tertinggi sekitar 35%-
kekerasan, kegiatan olahraga dan 50% akibat CKB dan 5%-10% akibat
rekreasi CKS
KLASIFIKASI

Lokasi Lesi Patologi

• Komosio serebri
• Lesi diffus • Kontusio serebri
• Lesi kerusakan vaskuler otak • Laserasi serebri
• Lesi fokal
• Kontusio dan laserasi serebri
• Hematoma intrakranial
• Hematoma ekstradural
(hematoma epidural)
• Hematoma subdural
• Hematoma intraparenkhimal
• Hematoma subarakhnoid
• Hematoma intraserebral
• Hematoma intraserebellar
Fraktur kranii Diffuse Axonal Coup and
Injury Contracoup Injury

• Patah tulang • Kepekaan akson • Otak yang


tengkorak dapat terhadap cedera mengalami
dibagi menjadi mekanis benturan yang
jenis linier, tampaknya karena sangat keras dan
depresi, atau sifat viskoelastik tiba-tiba dapat
comminuted dan tekanan yang mengalami coup
tinggi di dalam dan contracoup
saluran white injury secara
matter. bersamaan
● Coup Injury, adalah kekerasan yang terjadi secara tiba-tiba yang menyebabkan otak
tertekan secara cepat ke depan dan menghantam sisi tengkorak
● Contracoup injury, terjadi di sisi lain ketika otak tertekan secara cepat ke depan dan
menghantam sisi tengkorak, dan kemudian memantul dari sisi lain tengkorak.
● Komosio serebri, cedera kepala mengakibatkan
gangguan fungsi serebral sementara berupa penurunan
kesadaran (pingsan/koma, manesia retrograd) tanpa
adanya lesi parenkim berdarah pada otak
●  Kontusio serebri, terjadi lesi parenkim berdarah, yang
ditandai oleh kesadaran menurun yang lebih lama.
Defisit neurologis seperti hemiparese kelumpuhan saraf
otak, refleks abnormal, konvulsi,dan delirium
○ Tanda dan Gejala
○ Penyebab
○ Pengobatan
● Bila terjadi robekan parenkim otak maka digolongkan
kedalam laserasi serebri.
○ Lokasi lesi
■ Lesi diffus
■ Lesi kerusakan vaskuler otak
■ Lesi fokal
● Kontusio dan laserasi serebri
● Hematoma intrakranial
○ Hematoma ekstradural (hematoma
epidural)
○ Hematoma subdural
○ Hematoma intraparenkhimal
Hematoma Ekstradural (Hematoma Epidural)
● Perdarahan ke dalam ruang epidural umumnya disebabkan oleh robeknya
dinding salah satu arteri meningeal, biasanya arteri meningeal tengah, tapi
pada 15% dari pasien pendarahan berasal dari salah satu sinus dural. Tujuh
puluh lima persen berhubungan dengan fraktur tengkorak. dura dipisahkan
dari tulang tengkorak oleh extravasated darah, dan ukurannya meningkat
sampai pembuluh darah terkompresi atau tertutup oleh hematoma.
● Dalam kebanyakan kasus, hematoma bersifat ipsilateral. E pidural hematoma
terutama pada orang muda; itu jarang terlihat pada orang tua karena dura
menjadi semakin melekat pada tengkorak dengan usia lanjut.
Hematoma Ekstradural (Hematoma Epidural)

● Tanda dan diagnostic klinik:


○ Lucid interval (+)
○ Kesadaran makin menurun
○ Late hemiparese kontralateral lesi
○ Pupil anisokor
○ Babinski (+) kontralateral lesi
○ Fraktur didaerah temporal
● Gejala dan tanda hematom epidural di fossa posterior:
○ Lucid interval tidak jelas
○ Fraktur kranii oksipital
○ Kehilangan kesadaran cepat
○ Gangguan serebellum, batang otak dan pernapasan
○ Pupil isokor
Hematoma Subdural

● Darah mengisi ruang antara membran dural dan arakhnoid.


● Dalam kebanyakan kasus, pendarahan disebabkan oleh
pergerakan otak di dalam tengkorak yang dapat
mengakibatkan peregangan dan merobek pembuluh darah
yang mengalir dari permukaan otak ke sinus dural.
● Pasien usia lanjut atau pengguna alkohol dengan atrofi otak
sangat rentan terhadap perdarahan subdural
● salah tanda umum dengan hematoma subdural akut karena
herniasi uncal dapat menyebabkan kompresi batang otak
kontralateral atau saraf kranial ketiga
● Hematoma subdural kronis menunjukkan gejala setelah 21 hari
atau lebih. Lebih cenderung terjadi pada pasien setelah usia 50
tahun.
Hematoma Subdural

● Pembesaran hematoma
kemudian dapat terjadi dari
pendarahan yang berulang
atau karena efek osmotik
yang berkaitan dengan
kandungan protein tinggi.
● Gambaran klinis berupa:
○ Akut : interval lucid 0-5 hari
○ Subakut : interval lucid 5
hari – beberapa minggu
○ Kronik : interval lucid > 3
bulan
Hematoma Intraparenkhimal

● Perdarahan subarakhnoid
○ Darah subarachnoid hanya terdeteksi oleh pemeriksaan
CSF, dan pemeriksaan klinis kecil
○ Cedera yang lebih serius, ketika vena besar yang melintasi
subarahnoid robek, fokal atau perdarahan subarachnoid
luas dapat dideteksi oleh CT.

 Gejala dan tanda


klinis berupa kaku
kuduk, nyeri kepala,
dapat terjadi
gangguan kesadaran.
Hematoma Intraparenkhimal

○ Hematoma intraserebral
○ perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral mono
atau multiple.

 Gejala dan tanda klinis:


 Koma lama pasca
traumatic
 Disfungsi saraf
otonom
 Demam tinggi
DIAGNOSIS
● Anamnesis
○ Keadaan kecelakaan dan kondisi klinis pasien
○ Kekuatan dan lokasi cedera kepala
○ Pertanyaan khusus yang juga harus dibuat
mengenai gegar otak, karena pasien amnestic
selama gegar otak
○ Anamnesis mencakup; trauma kapitis dengan
/atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan
interval lucid, perdarahan/otorrhea/ rinorrhea
serta amnesia traumatika.
● Pemeriksaan Fisik  Pemeriksaan Klinis Neurologis
○ Pemeriksaan fisik secara umum dari kepala hingga kaki.
○ Tengkorak harus teraba untuk fraktur, hematoma, dan luka
○ Pasien harus secara menyeluruh diperiksa tanda-tanda
eksternal trauma leher, dada, punggung, perut, dan anggota
badan.
○ Perdarahan dari hidung atau telinga mungkin menunjukkan
kebocoran CSF.
○ CSF berdarah dapat dibedakan dari darah melalui uji halo
positif.
○ Jika tidak ada campuran darah, CSF dapat dibedakan dari
sekresi hidung karena konsentrasi glukosa CSF adalah 30
mg / dL atau lebih, sedangkan sekresi lakrimal dan lendir
hidung biasanya mengandung kurang dari 5 mg / dL
glukosa.
 Setelah menentukan
tingkat kesadaran.
Perhatian khusus harus
diberikan pada
kemampuan fokus,
konsentrasi), orientasi,
dan memori.

● Gerakan mata, ukuran pupil dan bentuk, dan reaksi


terhadap cahaya harus dicatat.
● Pemeriksaan motorik harus berfokus pada identifikasi
kelemahan, asimetris atau sikap.
● Gerakan spontan harus dinilai untuk menilai penggunaan
khusus dari anggota badan pada satu sisi
 Jika kerusakan terjadi jika terjadi di lobus frontal
maka akan mengalami penurunan fungsi intelektual,
personality, dan kelemahan otot.
 Pada lobus temporal akan mengalami gangguan
bicara, pendengaran dan memory.
 Jika di lobus parietal mengalami gangguan maka
pasien akan mengalami gangguan sensibilitas.
● Jika kerusakan pada lobus
occipital pasien akan
mengeluh adanya gangguan
penglihatan dan pada brain
stem merupakan tempat
untuk mengatur laju nadi,
pernafasan dan tekanan
darah.
● Pemeriksaan Penunjang trauma kepala secara umum
○ Laboratorium
■ Dilakukan pada saat pasien pertama kali masuk ke RS serta
saat pemantauan.
■ Pemeriksaan darah, Hb, leukosit, trombosit.
■ Pemeriksaan ureum, kreatinin untuk mengetahui fungsi hati
■ Pemeriksaan gula darah sewaktu
■ Pemeriksaan analisa gas darah dan elektrolit juga sebaiknya
dilakukan
○ Radiologi
■ Foto polos kepala
■ CT Scan dan MRI
GLASGOW COMA SCALE (GCS)
● Cedera Kepala Ringan
○ GCS 13-15
○ Pingsan < 10 menit
○ Defisit neurologis (-)  hanya gangguan fungsional
○ CT scan Normal
● Cedera Kepala Sedang
○ GCS 9-12
○ Pingsan > 10 menit s/d < 6 jam
○ Defisit neurologis (+)
○ CT scan abnormal
● Cedera Kepala Berat
○ BCS 3-8
○ Pingsan > 6 jam
○ Defisit neurologis (+)
○ CT scan abnormal
PENATALAKSANAAN
● Survey Primer
○ Airway (jalan napas)
○ Breathing (Pernapasan)
○ Circulation
○ Disability (mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dan
neurologis)
■ Observasi:
● Tanda vital: tekanan darah, nadi. Suhu, dan pernapasan
● GCS
● Pupil: ukuran, bentuk dan reflex cahaya
● Pemeriksaan neurologis cepat: hemiparese, reflex
patologis
● Luka-luka
● Anamnesa: AMPLE (allergies, Medication, Past
Illness, Last Meal, event/Environtment related to the
injury)
● Survey Sekunder
○ Laboratorium
■ Darah: Hb, leukosit, trombosit, ureum kreatinin
■ Gula Darah Sewaktu
■ Analisa Gas Darah dan elektrolit
■ Urin
○ Radiology
■ Foto polos kepala
■ CT Scan otak
■ Foto lain sesuai indikasi
○ Manajemen terapi
■ Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai
indikasi
■ Siapkan ruangan intensif
■ Penanganan luka-luka
■ Pemberian obat sesuai kebutuhan
Penanganan Kasus Cedera Kepala Ringan
● Pemeriksaan status umum dan neurologi
● Perawatan luka-luka
● Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga
selama 48 jam. Bila selama dirumah terdapat hal-hal sebagai
berikut:
○ pasien cenderung mengantuk
○ sakit kepala yang semakin berat
○ muntah proyektil
● Maka pasien harus segera dibawa kembali ke RS
● pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut ini:
○ ada gangguan orientasi (waktu dan tempat)
○ sakit kepala dan muntah
○ tidak ada yang mengawasi di rumah
○ letak rumah jauh atau sulit untuk kembali ke RS
Penanganan Kasus Cedera Kepala Sedang atau Berat
● Lanjutkan penanganan ABC
● Pantau tanda vital (suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah),
pupil GCS, gerakan ekstremitas, sampai pasien sadar
● Pantauan dilakukan tiap 4 jam
● Lama pemantauan hingga GCS 15.
○ Hindari terjadi kondisi sebagai berikut:
■ Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg
■ Suhu > 38 derajat Celcius
■ Frekuensi nafas > 20 x / menit
● Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial
Indikasi Operasi
●EDH (epidural hematoma)
○>40 cc + midline shifting pada temporal / frontal / parietal dgn fungsi batang otak
masih baik
○> 30 cc pada fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau
hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik
○EDH progresif
○EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.
●SDH (subdural hematoma)
○SDH luas (> 40 cc / > 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak masih baik
○SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi
○SDH dengan edema serebri / kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi
batang otak masih baik
●ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
○Penurunan kesadaran progresif
○Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (Cushing reflex)
○Perburukan defisit neurologi fokal
●Fraktur kranii dengan laserasi serebri
●Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)
●Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangan
operasi dekompresi
AKIBAT JANGKA PANJANG TRAUMA KAPITIS

● Kerusakan Saraf Kranial


○ Anosmia
○ Gangguan Penglihatan dan Oftalmoplegi
○ Hemiparesis dan Paresis fasialis
○ Gangguan pendengaran
● Disfasia
● Fistula karotiko-kavernosus
KELAINAN DAN KOMPLIKASI TRAUMA KAPITIS

● Tekanan Intrakranial (TIK) Meninggi


● Komplikasi infeksi pada trauma kapitis
● Lesi akibat trauma kapitis pada tingkat sel
● Epilepsi pasca Trauma Kapitis
● Respirasi pada Trauma Kapitis berat
○ Kelainan Repirasi akut pascatrauma:
■ Perubahan pola pernapasan:
● Pernapasan Cheyne-Stokes
● Trakipnea
● Hiperpnea
● Pernapasan tidak teratur
● Apnea
■ Aspirasi
■ Trauma pada alat napas
■ Edema pulmonum neurogen
SINDROM GUILLIAN-BARRE
Dery Handaiana PGP
120170053
Definisi

● Suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi
setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut
● Merupakan penyakit karena adanya gangguan sistim imunologi yang
menyerang saraf perifer.
● Umumnya di cetuskan oleh suatu proses infeksi.
● Gbs adalah kelemahan pada anggota gerak atau gangguan sensibilitas pada
kedua tungkai.
● Gejala meluas dari distal ke proksimal.
Sejarah

● Tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry


pertama kali menulis tentang penyakit ini
● Istilah Landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal
● Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian
infeksi akut
● Tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang
adanya perubahan khas berupa peninggian protein CCS tanpa
disertai peninggian jumlah sel yang disebut disosiasi
sitoalbuminik
● Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian
Epidemiologi

● Dowling dkk mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musim panas dan
musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza
● Angka kejadian dunia 0.6%-2% kasus/100.000 orang/ tahun, negara barat
sekitar 1-2% kasus/ 100.000 orang/tahun
Etiologi

● Etiologi GBS sampai saat ini masih belum diketahui


● Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan mungkin
ada hubungannya dengan terjadinya SGB :

○ Infeksi
○ Vaksinasi
○ Pembedahan
○ Kehamilan atau dalam masa nifas
○ Penyakit sistemik
■ Keganasan
■ Systemic Lupus Erithematous
Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella – Zooster Measles
Vaccinia/ smallpox Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo

Bakteri Campylobacter jejuni Typhoid Borrella B


Mycoplasma Paratyphoid
pneumonia Brucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria
Patogenesis

● Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh


respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu
oleh berbagai peristiwa sebelumnya yang paling sering
adalah infeksi
Klasifikasi

● Acute inflammatory demyelinating


polyradiculoneuropathy (AIDP)
● Acute motor axonal neurophaty (AMAN)
● Acute moyor sensory axonal neurophaty
(AMSAN)
● Miller Fisher’s syndrome (MFS)
● Acute panautonomia
Fase Perjalanan Klinis
Kriteria diagnosis

● National Institute of Neurological and Communicative


Disorder and Stroke (NINCDS)
● ciri ciri yang perlu untuk diagnosis
○ terjadinya kelemahan yang progresif
○ hiporefleksi
ciri ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB

ciri ciri klinis:


● Progresifitas : gejala kelemahan motorik berlangsung cepat , maksimal
4 minggu , 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3
minggu dan 90% dalam 4 minggu
● Relative simetris
● Gejala gangguan sensibilitas ringan
● Gejala saraf cranial + 50% terjadiparese N.VII dan
sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena
khususnya yang mempersarafi lidah dan otot otot
ektra okuler atau saraf otak lain.
● Pemulihan : dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas
berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan
● Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi
postural, hipertensi dan gejala vasomotor
● Tidak ada demam saat onset gejala neurologist.
ciri ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

● protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi


peningkatan pada LP serial
● jumlah sel CSS < 10 MN /mm3
Pemeriksaan penunjang

1. LCS
2. EMG (elektromiografi)
perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal
PENATALAKSANAAN

FASE AKUT

● - TERAPI SUPORTIF MONITORING


FUNGSI VITAL.

● - TERAPI MEDIKAMENTOSA
- IVIG 400- 2000 mg/kg BB : 5 HARI
- PLASMAPARESIS : 40-50 ml/kg PE : 4
KALI DALAM SEMINGGU
- KORTIKOSTEROID
SETELAH FASE AKUT

● - PROGRAM REHABILITASI MEMBANTU


MENGOPTIMALKAN GANGGUAN
FUNGSI MOTORIK DAN SENSORIK.

● - MEMPERBAIKI FUNGSI ADL


Terapi

● Plasma exchange therapy


● IvIg
● kortikosteroid
PROGNOSA
● SEBAGIAN BESAR PERBAIKAN KLINIS PADA MINGGU KE4.

● 80% PERBAIKAN KLINIS KOMPLIT ATAU SEMBUH.

● PERBAIKAN TERJADI DALAM BEBERAPA BULAN - SATU TAHUN.

● 5-10% PERBAIKAN DENGAN GEJALA SISA.

● KEMATIAN TERGANTUNG DARI TERAPI DAN SUPORTIF.

● 5-10% AKAN RELAPS DAN MENJADI” CRONIC INFLAMATORI DEMYELINATING


POLYNEUROPATY “(CIDP)

● PENYEBAB KEMATIAN : CARDIAK AREST (25%), GAGAL NAFAS (75%)


PROGNOSTIK BURUK

● UMUR TUA

● ONSET CEPAT <7 HARI

● PERLU VENTILATOR

● AMPLITUDO MOTOR
EVOKED RESPON
TURUN.

● TIDAK ADA
PENGOBATAN

● DIDAHULUI DIARE
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai