Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2016


UNIVERSITAS PATTIMURA

DIPLOPIA BINOKULER

Disusun oleh:
Hetri Dema Putri Wulandari
NIM. 2016-84-011

Pembimbing:
dr. Elna Anakotta, Sp,M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Istilah diplopia berasal dari bahasa Latin: diplous yang berarti ganda, dan

ops yang berarti mata. Diplopia (penglihatan ganda) adalah keluhan subjektif yang

umum atau yang sering didapatkan selama pemeriksaan pada mata. Selain itu,

diplopia sering menjadi manifestasi pertama dari banyak kelainan, khususnya

proses muskuler atau neurologis, atau kelainan pada organ lainnya. Oleh karena

etiologinya sangat bervariasi mulai dari akibat astigmatisme yang tidak terkoreksi

sampai kelainan intrakranial yang mengancam jiwa, para klinisi harus menyadari

kepentingan untuk memberikan respons yang tepat untuk keluhan ini. 1,2

Dari anamnesis dan pemeriksaan yang lengkap dan menyeluruh akan

didapatkan deskripsi akurat mengenai gejala-gejalanya: apakah konstan atau

intermiten; variabel atau tidak berubah; terjadi pada saat objek jaraknya dekat atau

jauh; terjadi saat melihat dengan satu mata (monokuler) atau dua mata

(binokuler); horizontal, vertikal atau obliks; apakah sama terjadi di semua

lapangan pandang (komitan) atau bervariasi sesuai arah pandang (inkomitan). Bila

anamnesis dan pemeriksaan sudah lengkap dan menyeluruh akan sangat

membantu diagnosis sekaligus menyingkirkan berbagai penyakit dengan gejala

diplopia yang sifatnya mengancam jiwa. Selain itu, diagnosis yang tepat juga akan

membuat tata laksana yang diberikan maksimal dan meminimalkan

komplikasi.1,3,4

2
BAB II
DIPLOPIA BINOKULER

A. Definisi

Istilah diplopia berasal dari bahasa Latin: diplous yang berarti ganda, dan

ops yang berarti mata. Diplopia atau penglihatan ganda adalah keluhan berupa

melihat dua gambaran dari satu objek. Diplopia binokuler adalah penglihatan

ganda terjadi bila melihat dengan kedua mata dan menghilang bila salah satu

mata ditutup.1,2

B. Fisiologi Penglihatan Binokuler

Pada dasarnya, kita “melihat” dengan otak. Mata hanyalah sebuah organ

yang menerima rangsang sensoris. Gambaran didapatkan dari proses

mengartikan rangsangan yang diterima oleh retina. Saraf optikus dan jalur

visual mengantarkan informasi ini ke korteks visual. Sistem sensoris

menghasilkan gambaran retinal dan mengantarkan gambaran ini ke pusat

pengaturan yang lebih tinggi. Sistem motorik membantu proses ini dengan

mengarahkan kedua mata pada objek sehingga gambaran yang sama dibentuk

di tiap retina. Otak kemudian memroses informasi ini menjadi kesan

penglihatan binokuler. Hubungan antara sistem sensoris dan motoris ini tidak

dapat dirasakan atau disadari.5

Terdapat 3 syarat yang menentukan kualitas penglihatan binokuler:

3
1. Penglihatan simultan. Retina kedua mata menerima kedua gambaran

secara simultan. Pada penglihatan binokuler yang normal, kedua mata

mempunyai titik fiksasi yang sama, yang akan berada di fovea sentralis

kedua mata. Bayangan kedua objek yang selalu sampai ke area identik di

retina, disebut sebagai titik korespondensi retina. Objek-objek yang

terletak pada lingkaran imajiner dikenal sebagai horopter geometrik

diproyeksikan pada titik-titik di retina ini. Horopter yang berbeda akan

berlaku untuk jarak fiksasi berapapun. Oleh karena itu, gambar di kedua

retina akan identik pada penglihatan binokuler yang normal. Fenomena ini

dapat diperiksa dengan menampilkan gambar yang berbeda ke masing-

masing retina; normalnya kedua gambar akan diterima, menimbulkan

diplopia fisiologis.5

Diplopia fisiologis dapat didemonstrasikan dengan menempatkan 2 pensil

vertikal pada sebuah garis sesuai dengan axis visual subjek, dengan pensil

kedua jaraknya kira-kira 2 kali jauhnya dari pada subjek pertama. Ketika

subjek fokus pada 1 pensil, pensil yang lain akan tampak ganda. 5

2. Fusi: hanya saat kedua retina membuat impresi visual yang sama, yakni

transmisi gambar-gambar identik ke otak, 2 gambaran retinal akan

bercampur menjadi persepsi tunggal. Impair fusi dapat menimbulkan

diplopia. 5

3. Penglihatan stereoskopis. Sifat ini adalah tingkat tertinggi kualitas

penglihatan binokuler dan hanya mungkin jika beberapa kondisi terpenuhi.

Agar objek-objek diproyeksikan pada titik korespondensi atau identik pada

4
retina, mereka harus terletak di horopter geometrik yang sama. Objek yang

berada di depan atau di belakang lingkaran ini tidak akan diproyeksikan ke

titik korespondensi tapi ke titik non-korespondensi atau disparate.

Hasilnya, objek-objek ini akan dianggap sebagai 2 benda (diplopia).

Sedangkan objek-objek yang berada dalam jangkauan sempit di depan dan

di belakang horopter difusikan sebagai gambaran tunggal. Area ini disebut

sebagai area Panum. Otak memroses gambaran nonkorespondensi retina

dalam area Panum sebagai persepsi visual tunggal 3-dimensi bukan

sebagai gambaran ganda. Sebaliknya, otak menggunakan gambaran ganda

tersebut untuk membedakan kedalaman. 5

Gambar 1a. Horopter Geometrik. Berkas sinar dari titik fiksasi


mencapai fovea sentralis pada kedua mata pada penglihatan simultan
normal. Karena itu, objek A dan B pada horopter geometrik
diproyeksikan pada titik korespondensi di retina. 1b. Horopter
Fisiologis. Pada jangkauan sempit di depan dan di belakang horopter
(area Panum) 2 gambaran retinal masih bisa berfusi. Titik A dan B
yang berada di luar area Panum, diproyeksikan ke titik
nonkoresponden di retina.5

5
C. Mekanisme Diplopia

Dua mekanisme utama diplopia adalah misalignment okuler dan aberasi

okuler (misal defek kornea, iris, lensa, atau retina). Kunci paling penting untuk

mengidentifikasi mekanisme diplopia adalah dengan menentukan termasuk

diplopia monokuler atau diplopia binokuler. Misalignment okuler pada pasien

dengan penglihatan binokuler yang normal akan menimbulkan diplopia

binokuler. Misalignment okuler menyebabkan terganggunya kapasitas fusional

sistem binokuler. Koordinasi neuromuskuler yang normal tidak dapat menjaga

korespondensi visual objek pada retina kedua mata. Dengan kata lain, sebuah

objek yang sedang dilihat tidak jatuh pada fovea kedua retina, maka objek akan

tampak pada dua tempat spasial berbeda dan diplopia pun terjadi. 1,6

Pada hampir semua keadaan, diplopia monokuler disebabkan oleh aberasi

lokal pada kornea, iris, lensa, atau yang jarang yaitu retina. Diplopia

monokuler tidak pernah disebabkan oleh misalignment okuler. 6

Mekanisme diplopia yang ketiga dan jarang terjadi adalah disfungsi

korteks visual primer atau sekunder. Disfungsi ini akan menimbulkan diplopia

monokuler bilateral dan harus dipertimbangkan saat tidak ditemukan aberasi

okuler pada pasien.6

Terakhir, diplopia yang terjadi tanpa penyebab patologis, biasa disebut

diplopia fungsional/ fisiologis. Pasien dengan diplopia fungsional juga sering

mengeluhkan berbagai gejala somatik atau neurologis. 6

6
D. Patofisiologi Diplopia Binokuler

Dari mata hingga ke otak, terdapat 7 mekanisme berikut dan lokasi

yang terkait yang harus diingat saat mengumpulkan informasi mengenai

diplopia binokuler:

1. Displacement orbital atau okuler: trauma, massa atau tumor, infeksi,

oftalmopati terkait-tiroid.

2. Restriksi otot ekstraokuler: oftalmopati terkait-tiroid, massa atau tumor,

penjepitan otot ekstraokuler, lesi otot ekstraokuler, atau hematom karena

pembedahan mata.

3. Kelemahan otot ekstraokuler: miopati kongenital, miopati mitokondrial,

distrofi muskuler.

4. Kelainan neuromuscular junction: miastenia gravis, botulism.

5. Disfungsi saraf kranial III, IV, atau VI: iskemia, hemoragik, tumor atau

massa, malformasi vaskuler, aneurisme, trauma, meningitis, sklerosis

mutipel.

6. Disfungsi nuklear saraf kranial di batang otak: stroke hemoragik, tumor

atau massa, trauma, malformasi vaskuler.

7. Disfungsi supranuklear yang melibatkan jalur ke dan antara nukleus saraf

kranial III, IV atau VI: stroke, hemoragik, tumor atau massa, trauma,

sklerosis multipel, hidrosefalus, sifilis, ensefalopati Wernicke, penyakit

neurodegeneratif.

Pasien harus ditanya diplopianya horizontal, vertikal, atau obliks,

memburuk pada arah gaze tertentu, atau memburuk saat melihat jauh atau

7
dekat. Diplopia horizontal disebabkan oleh impaired abduksi atau adduksi

(berhubungan dengan kontrol dan pergerakan otot rektus medial, rektus lateral,

atau keduanya) (Gambar 1 dan Gambar 2). Diplopia vertikal disebabkan oleh

impaired elevasi atau depresi (berhubungan dengan kontrol dan pergerakan

otot rektus inferior, rektus superior, oblik inferior, oblik superior, atau

kombinasi dari otot-otot ini).6

Perburukan diplopia para arah gaze tertentu menunjukkan gerakan ke arah

itu impaired. Gejala neurologis lain juga harus dinilai: kelemahan otot

proksimal, kesulitan menelan, sesak napas, misalnya menunjukkan disfungsi

neuromuskuler, dan deteriosasi visus monokuler dan proptosis menunjukkan

proses orbital.

Gambar 2. Otot Ekstraokuler6

8
Gambar 3. Kerja otot ekstraokuler dan saraf kranial dari sisi
pemeriksa. Tanda panah yang tebal adalah kerja primer otot, dan
tanda panah tipis adalah kerja sekunder otot. Otot rectus superior
dan obliks superior intorsi (berputar ke dalam), dan otot rectus
inferior dan obliks inferior ekstorsi (berputar ke luar) yang ditandai
dengan tanda panah melengkung.6

Arah gaze yang menyebabkan diplopia atau meningkatkan pemisahan

objek dapat membantu menentukan struktur mana yang menimbulkan diplopia.

Singkatnya, jika diplopia binokuler horizontal lebih buruk pada arah gaze kiri,

maka bisa saja karena mata kiri tidak dapat abduksi (palsi saraf VI) atau karena

mata kanan tidak dapat adduksi (oftalmoplegia intranuklear kanan). 6

1. Penyakit orbita atau restriksi otot ekstraokuler

Sebagian besar pasien dengan penyakit orbital atau restriksi otot

ektraokuler akan memiliki tanda periorbita atau abnormalitas orbita yang

mencolok saat pemeriksaan. Pasien harus ditanyai mengenai perubahan

bentuk karena perubahan awal atau perubahan simetris sulit dideteksi oleh

pemeriksa. Sebagai contoh, tanda seperti retraksi kelopak mata dan edema

9
periorbita pada penyakit seperti oftalmopati terkait tiroid yang kurang

nyata pada stadium awal penyakit. Foto lama atau foto SIM pengemudi

sangat berguna dalam deteksi perubahan yang subtil. Pasien juga harus

ditanyai tentang operasi mata, trauma dan nyeri mata sebelumnya. 6

2. Kelemahan Ekstraokuler Miopatik

Miopati mitokondrial, di antaranya miopati kongenital, dan distrofi

muskuler seperti distrofi okulofaringeal, dapat dengan keluhan diplopia

karena kelemahan otot ekstraokuler yang signifikan. Jika dicurigai sebuah

miopati, gejala yang menunjukkan kelemahan otot kranial atau skeletal

lain harus diketahui. Informasi mengenai riwayat keluarga dan riwayat

kelemahan otot pada masa kanak-kanak harus dikumpulkan. Sebagai

catatan, miopati inflamatori seperti dermomiositis, polimiositis, dan

miopati diinduksi steroid tidak pernah melibatkan otot-otot ekstraokuler.

Penjelasan alternatif untuk diplopia pada kelainan ini harus dicari. 6

3. Kelainan Neuromuscular Junction

Kelemahan yang berfluktuasi adalah tanda khas dari disfungsi

neuromuscular junction, dan pasien dengan diplopia harus ditanya

mengenai variasi diurnal diplopia. Sebagai contoh, diplopia yang tidak

dijumpai pada pagi hari dan memburuk secara progresif sepanjang siang

hari atau memburuk saat membaca merupakan gejala yang umum pada

kelainan neuromuscular junction yang mempengaruhi otot ekstraokuler.

Lebih dari 50% pasien dengan miastenia gravis, yang merupakan kelainan

10
neuromuscular junction terbanyak, ditandai dengan ptosis dan diplopia

tanpa gejala atau tanda kelemahan lain. 6

4. Palsi Saraf Kranial III, IV, dan VI

Informasi mengenai riwayat penyakit sebaiknya dikumpulkan dengan

pemahaman yang baik mengenai jalur saraf kranial III, IV, dan VI dari

batang otak sampai orbita. Saraf kranial yang menginervasi otot-otot

ekstraokuler dapat terluka di berbagai tempat dari mata ke otak: 1) orbita,

2) fisura orbita superior, 3) sinus cavernosus, 4) ruang subarachnoid, dan

5) batang otak. Deskripsi mengenai riwayat, gejala, dan hasil pemeriksaan

yang terkait adalah vital untuk melokalisasi tempat perlukaan dan

lokalisasi akan menuju ke diagnosis banding yang akurat. Sebagai contoh,

pasien berusia 65 tahun dengan sakit kepala berat dan palsi saraf III

terisolasi dengan midriasis, dan pupil yang paralisis mengimplikasikan

luka kompresif saraf kranial III di ruang subarachnoid, dan penyebab yang

paling mungkin adalah aneurisme intrakranial yang melibatkan arteri

posterior komunikans. 6

Saat palsi saraf kranial terjadi dalam isolasi, pasien harus ditanya

mengenai faktor risiko vaskuler dan diabetes karena infark iskemik

mikrovaskuler dari saraf kranial III, IV, dan VI dapat terjadi. Vaskulitis

sistemik seperti arteritis temporal, dapat dengan palsi saraf kranial; gejala

klaudikasio rahang, sakit kepala, tender kulit kepala, dan artralgia harus

ditanyakan pada pasien usia tua dengan diplopia karena palsi saraf

kranial.6

11
Palsi saraf kranial III biasa dengan gejala diplopia vertikal dan horizontal

yang akan membaik bila mata yang terkena diabduksi karena otot rektus

lateral dan saraf kranial VI mengabduksi mata. Palsi saraf kranial IV biasa

dengan diplopia vertikal yang memburuk atau hanya muncul saat melihat

dekat dan gaze ke bawah dalam arah yang berlawanan dari mata yang

terkena. Karena otot oblik superior mengintorsi mata, pasien dengan palsi

saraf IV juga melaporkan bahwa salah satu gambaran tampak miring.

Pasien dengan palsi saraf VI mengalami diplopia horizontal yang

memburuk saat mata yang terkena diabduksi (misal pada pandangan ke

lateral ke sisi mata yang terkena) atau saat melihat objek dari jauh karena

mata akan berdivergensi. 6

5. Lesi batang otak

Lesi pada batang otak pada jalur supranuklear, nuklei saraf kranial, atau

fasikulus saraf kranial jarang menimbulkan diplopia terisolasi. Sebaliknya,

sebagian besar pasien mengalami diplopia yang terkait dengan gejala

neurologis tambahan karena struktur anatomis yang mengontrol fungsi

sensorik, motorik, koordinasi, dan gait berada dekat struktur yang

mengontrol pergerakan mata. Pengetahuan akan struktur-struktur di otak

tengah, pons, dan medulla diperlukan untuk melokalisasi lesi

menggunakan informasi dari riwayat penyakit. Pasien harus ditanya

tentang mati rasa dan kelemahan fasial, kehilangan pendengaran, disfagia,

disartria, vertigo, dan ketidakseimbangan serta inkoordinasi, mati rasa,

atau kelemahan pada ekstremitas. 6

12
6. Jalur supranuklear

Jalur supranuklear membuat koneksi ke dan antara nuclei saraf kranial dan

berasal dari korteks, batang otak, serebelum, dan struktur vestibuler

perifer. Disfungsi supranuklear dapat menimbulkan abnormalitas arah

gaze konjugat atau diskonjugat. Jika kedua mata mengalami derajat parese

yang setara pada arah gaze yang sama karena lesi supranuklear, maka

defisitnya konjugat dan pasien tidak mengalami diplopia. Defisit dapat

congenital maupun didapat.

Palsi gaze supranuklear dapat horizontal maupun vertical. Pada sebagian

besar kasus, palsi gaze horizontal konjugat berlokasi ke pons atau korteks

frontal dan palsi gaze vertical konjugata berlokasi ke otak tengah. Palsi

gaze diskonjugat memiliki beragam lokasi. Contoh dari palsi gaze

horizontal supranuklear diskonjugat adalah oftalmoplegia intranuklear.

Oftalmoplegia intranuklear dicirikan dengan deficit adduksi pada mata di

sisi yang sama dengan lesi dengan nistagmus simultan mata yang abduksi

selama gaze lateral, dan sering dikaitkan dengan sklerosis multiple atau

stroke. Contoh dari palsi vertical supranuklear diskonjugat adalah deviasi

miring. Lokasinya di batang otak, serebelum, atau sistem vestibuler

perifer. Tidak seperti palsi gaze konjugat, palsi gaze diskonjugat

menimbulkan diplopia karena misalignment okuler terjadi pada satu atau

banyak arah gaze. 6

Seperti pada luka saraf kranial dan nukleinya, lesi jalur supranuklear

sering disertai gejala dan tanda neurologis lain. Banyak struktur dan

13
etiologi yang umumnya dikaitkan dengan lesi jalur supranuklear seperti

ditunjukkan table 5. Pasien harus ditanya mengenai kelemahan, mati rasa,

impairment kognitif, ketidakseimbangan, inkoordinasi, disfagia, disartria,

vertigo, mual, dan muntah. 6

E. Diagnosis

Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh merupakan evaluasi yang

paling berguna dalam menangani pasien dengan diplopia. Setiap upaya dibuat

untuk menyakinkan apakah diplopia yang terjadi adalah diplopia monokuler

atau binokuler karena akan sangat menentukan mekanisme terjadi dan

penyebabnya. Pada pasien dengan diplopia binokuler, pemeriksa dapat

mengevaluasi kelainan-kelainan yang dapat menimbulkan misalignment

okuler baik karena proses neurologis maupun karena penyakit orbita.

Sedangkan pada pasien dengan diplopia monokuler, pemeriksa dapat

memfokuskan pada kelainan di mata.1,6

Tiga gejala yang penting harus diketahui dengan jelas:

1. Apakah menutup salah satu mata membuat diplopia hilang? Jika seorang

pasien ragu apakah ia mengalami diplopia monokuler atau binokuler,

pasien disuruh melihat sebuah objek yang ada di ruang pemeriksaan yang

tampak ganda dan menentukan apakah penglihatan ganda menetap jika

mata kanan ditutup atau menetap jika mata kiri yang ditutup. Namun, perlu

diingat bahwa diplopia monokuler dapat terjadi pada kedua mata secara

simultan (disebut diplopia monokuler bilateral). 1,6

14
2. Apakah deviasi sama pada semua arah gaze (pandangan) atau oleh

penekukan dan pemutaran kepala dalam berbagai posisi? Hal ini

menentukan deviasi komitan, dengan tanpa perbedaan dalam pemisahan

objek-objek pada semua arah gaze. Jika taraf deviasi berubah (dan

mungkin hilang pada arah tertentu) maka deviasinya inkomitan dan

diperkirakan ada masalah inervasi, paling mungkin adalah parese otot. 1,6

3. Apakah objek kedua terlihat horizontal (bersisian) atau vertikal (atas dan

bawah) Diplopia obliks (terpisah secara horizontal dan vertikal) dapat

dipertimbangkan sebagai manifestasi diplopia vertikal. 1,6

Dalam anamnesis juga perlu memasukkan elemen-elemen yang dapat

membantu melokalisasikan sumber masalah. Seperti biasa pemeriksa harus

mengumpulkan informasi mengenai onset, durasi, frekuensi, gejala-gejala yang

berhubungan, dan faktor yang menimbulkan atau menghilangkan keluhan.

Pasien harus ditanya dengan spefisik mengenai penurunan visus, trauma,

strabismus masa kanak-kanak, ambliopia, dan pembedahan mata atau

strabismus sebelumnya. Yang juga penting adalah meninjau seluruh sistem

neurologis dan oftalmis. 1,6

F. Pemeriksaan Diplopia Binokuler

Pemeriksaan pasien dengan misalignment okuler tidak hanya mencakup

pemeriksaan pergerakan mata. Pemeriksa harus mengukur atau memperhatikan

misalignment okuler dari berbagai arah gaze, pembengkakan periorbital,

abnormalitas orbital seperti eksoftalmus/ proptosis atau enoftalmus, injeksi

15
konjungtiva atau sklera, posisi palpebra, dan kelemahan otot-otot ekstraokuler

atau otot levator palpebra. Pemeriksaan neurologis lengkap perlu dilakukan. 6

1. Pemeriksaan Bola Mata, Orbita, dan Kelopak Mata

Eksoftalmometer digunakan untuk mendeteksi dan mengukur proptosis

atau enoftalmus, dan pembacaan yang lebih besar dari 21 mm untuk salah

satu mata atau perbedaan lebih dari 2 mm antara tiap mata

mengindikasikan proptosis atau enoftalmus. Beberapa orang (misal wanita

Afrika-Amerika) memiliki orbita yang dangkal dan pembacaan antara 23-

25 mm adalah normal. Jika eksoftalmometer tidak tersedia, pemeriksa

dapat melihat mata dari satu sisi atau dari atas untuk mengevaluasi

asimetri. 6

Fungsi palpebra dan posisinya juga harus diperiksa. Posisi palpebra atas

harus sedikit berada di bawah puncak iris. Jika kelopak atas berada di atas

iris dan sklera tampak, didiagnosis sebagai retraksi palpebra, dan jika

palpebra ketinggalan di belakang mata dengan gaze ke bawah disebut lid

lag. Kedua tanda ini sangat umum pada pasien dengan oftalmopati terkait-

tiroid. Penyakit pada otak tengah dorsal dapat menyebabkan retraksi

palpebra tapi tidak lid lag. Ptosis timbul bila jarak antara reflex cahaya

kornea di tengah pupil (terlihat saat pasien fiksasi pada cahaya yang

diarahkan padanya) dan palpebra atas kurang dari 4 mm. Penyebab

neurologis ptosis berasal dari disfungsi otot levator palpebra, yang

dikontrol oleh saraf kranial III, atau dari disfungsi otot Muller, yang

dikontrol oleh inervasi simpatis. Ptosis dari kelemahan otot Muller

16
disebabkan oleh sindrom Horner selalu minimal dan seringkali palpebra

bawah sedikit terangkat. Foto-foto lama membantu diferensiasi proses akut

vs kronik yang melibatkan bola mata, orbita, dan kelopak. 6

2. Pemeriksaan Pergerakan Otot Ekstraokuler

Posisi gaze pokok diperiksa dengan menyuruh pasien mengikuti target

atau jari pemeriksa yang berada pada jarak 12 sampai 14 inci dari mata

pasien. Jika duksi atau versi terbatas, pemeriksa harus menentukan apakah

keterbatasan disebabkan oleh proses restriktif, kelemahan otot, disfungsi

neuromuscular junction, palsi saraf kranial, atau proses supranuklear. Tes

duksi paksa berguna untuk mendeteksi keterbatasan mekanik untuk pasien

dengan keterbatasan otot ekstraokuler yang substansial. Setelah pemberian

anestesi topical kornea dan konjungtiva, ujung kapas digunakan untuk

mencoba menggerakkan atau memaksa mata kearah di mana ada

keterbatasan. Jika tidak ada tahanan maka berarti tidak ada restriksi

mekanik. 6

Pemeriksaan secara garis besar mungkin tidak sensitif untuk mengetahui

penyebab diplopia binokuler, khususnya bila berhubungan dengan palsi

saraf III atau IV parsial. Maddox rod- sebuah lensa merah dengan ridge-

atau sebuah lensa merah tanpa ridge dapat dipakai untuk menentukan

keberadaan dan derajat misalignment okuler. Lensa merah dipegang di

depan mata kanan, sedangkan pasien melihat cahaya putih pinpoint dari

transluminator oftalmoskop atau dari sumber cahaya lain yang dipegang

oleh pemeriksa. Lokasi dari bar merah dilihat oleh pasien menggunakan

17
Maddox rod, atau cahaya merah dilihat oleh pasien menggunakan lensa

merah tanpa ridge, dalam hubungan dengan cahaya putih mengindikasikan

bagaimana mata misalignment. Torsi okuler dapat diukur menggunakan

double Maddox rod. 6

3. Pemeriksaan Neuromuscular Junction

Pemeriksaan untuk tanda otot ekstraokuler fatigable dan kelemahan

palpebra fatigable dengan pemulihan kekuatan didapat dengan teknik-

teknik seperti sustained gaze atau penutupan mata repetitif. Kelelahan otot

ekstraokuler sulit untuk diamati namun usaha untuk mempertahankan

posisi eksentrik gaze oleh pasien yang mengalami kelainan neuromuscular

junction akan menunjukkan peningkatan strabismus, bahkan pada pasien

tanpa bukti awal misalignment okuler. Tes duksi dan versi berulang otot

ekstraokuler tanpa istirahat atau pemulihan setelah mempertahankan gaze

akan meningkatkan oftalmoplegia. Kelemahan pada otot levator palpebra

menyebabkan ptosis. Ptosis yang dicirikan pemulihan setelah istirahat

dikenal sebagai Cogan’s lid twitch yang diamati dengan menyuruh pasien

mempertahankan fiksasi pada gaze ke bawah selama 10-20 detiik. Pasien

kemudian refiksasi dengan saccade (gerakan mata yang cepat) pada

sebuah target pada gaze primer (lurus ke depan). Jika saat kembali ke gaze

primer palpebra yang ptosis terangkat dan jatuh dengan cepat, Cogan’s lid

twitch positif. Trias ptosis fatigable, kelemahan otot ekstraokuler fatigable,

dan kelemahan otot orbicularis oculi merupakan dugaan kuat miastenia. 6

18
4. Pemeriksaan Saraf Kranial III, IV, dan VI

Pemeriksaan batas pergerakan otot ekstraokuler serta penentuan derajat

misaligment horizontal atau vertikal pada berbagai posisi gaze, dan dengan

kepala miring ke kanan atau ke kiri, dapat membantu menentukan

keterlibatan saraf kranial untuk defisit yang terjadi. Misalignment okuler

paling nyata pada arah gaze dari otot yang mengalami kelemahan.

Saraf kranial III menginervasi otot rectus superior, inferior, dan medial;

otot obliks inferior; otot sfingter pupil; dan levator palpebra superior. Lesi

pada saraf III memiliki gejala: supraduksi terbatas, infraduksi, dan

adduksi; midriasis dan paralisis pupil total atau parsial; dan ptosis total

atau parsial dari mata yang terkena. Ketika mata yang normal fiksasi pada

target yang jauh pada gaze primer, mata yang sakit biasanya akan ke

bawah dan keluar karena kerja otot rektus obliks superior dan rectus lateral

yang diinervasi saraf IV dan VI yang tidak dapat dilawan. Paralisis total

otot ekstraokuler dan palpebra tanpa keterlibatan pupil paling karena

iskemia saraf III. Pada kasus palsi saraf III, Maddox rod atau tes kaca

merah diperlukan untuk memverifikasi diagnosis. Maddox rod

memperlihatkan hiperdeviasi pada mata yang sakit pada gaze ke bawah

dan hiperdeviasi mata yang sehat pada gaze ke atas dikenal sebagai

hiperdeviasi alternatif. Ada juga eksodeviasi yang memburuk saat mata

yang sakit diadduksi. 6,7

Saraf kranial IV menginervasi otot obliks superior yang infraduksi dan

intorsi mata. Saat mata yang normal fiksasi pada target yang jauh pada

19
gaze primer, misaligment tidak tampak, untuk itu karena keterbatasan pada

gaze ke bawah sulit diamati secara langsung, palsi saraf IV kurang dikenal.

Jika tanpa keterbatasan dengan infraduksi dan adduksi jelas bagi

pemeriksa, pasien dapat disuruh melihat garis lurus pada kertas yang

ditempatkan dekat dan di bawah mata ke kanan dan ke kiri. Jika

penglihatan ganda ada, pasien menggambar gambar kedua yang salah.

Gambar yang salah harus berada di bawah garis dan miring pada kasus-

kasus palsi saraf IV yang membuat tanda panah yang menunjuk ke sisi

yang palsi. Oleh karena fungsi intorsi otot obliks superior, pemisahan

gambar ganda meningkat saat kepala dimiringkan ke arah sisi yang palsi

saraf IV dan defisit membaik jika kepala dimiringkan ke sisi yang

berlawanan dengan palsi saraf IV. Singkatnya palsi saraf IV memburuk

bila kepala dimiringkan. 6,7

Saraf kranial VI menginervasi otot rectus lateral yang mengabduksi mata.

Saat mata yang normal difiksasi pada target yang jauh pada gaze primer,

mata yang sakit akan deviasi ke dalam (esotropia). 6,7

5. Pemeriksaan batang otak

Supaya dapat mengetahui fungsi batang otak, saraf III, IV, dan VI –juga

saraf kranial lain- harus dites. Tes kekuatan dan sensasi fasial, sensasi

kornea, kekuatan maseter, pendengaran, elevasi palatum dan uvula,

kekuatan sternokleidomastoid dan trapezius, refleks muntah, dan posisi

dan kekuatan lidah akan melengkapi pemeriksaan saraf kranial. 6

20
6. Pemeriksaan jalur supranuklear

Kemampuan untuk mengatasi keterbatasan motilitas okuler adalah

pemeriksaan yang penting pada defisit motilitas supranuklear. Pada kasus

dengan lesi supranuklear, nuklei yang mengontrol saraf III, IV dan VI

masih intak dan fasikulus masih berfungsi normal. Oleh karena itu,

stimulasi nuklei dengan gerakan kepala menimbulkan duksi okuler penuh.

Untuk melakukan manuver okulosefalik, pasien harus fiksasi pada objek

yang jaraknya 14-16 inci, seperti jempol pasien atau hidung pemeriksa.

Kemudian, saat pasien sedang fiksasi, kepala di putar ke kanan dan kiri

dan atas dan bawah. Gerakan kepala ini mengatasi keterbatasan duksi atau

versi karena kelainan disfungsi jalur supranuklear. 6,7

7. Lain-lain

Individu yang histeris mungkin mengeluh diplopia. Photopsia dan skotoma

yang terjadi selama aura migraine klasik mungkin dapat dikira sebagai

diplopia. Karena axis visual hanya dapat bertempat di satu lokasi pada

ruang 3D, objek yang yang berada di depan atau belakang tampak ganda.

Hal ini dapat didemonstrasikan dengan fokus pada satu jari sejauh lengan.

Objek yang berada di belakang jari tampak kabur dan ganda. Pemindahan

fokus ke objek pada arah yang sama namun di belakang jari menyebabkan

objek jadi tunggal, sedang jari tampak kabur dan ganda. Jika seseorang

tiba-tiba sadar akan diplopia ini menunjukkan kelainan fungsi serebral

yang lebih tinggi.

21
G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan diplopia bergantung pada penyebab diplopia itu sendiri.

Pada kasus diplopia monokuler dilakukan koreksi refraksi. Untuk kelainan

orbita pemeriksaan CT scan dan MRI adalah suatu indikasi. Pada kasus-kasus

kronik, diplopia binokuler, MRI adalah suatu indikasi kecuali jika etiologi

sudah jelas. Pembedahan atau pemberian obat-obatan atau penggunaan lensa

prisma dapat mengurangi gejala diplopia bila etiologinya telah ditemukan dan

keadaan umum telah baik.

1. Klinis

- Menutup satu mata: menutup mata sering diperlukan, karena pasien

harus terus beraktivitas sambil menunggu intervensi.1

- Lensa oklusif stick-on dapat dipakaikan ke kacamata untuk

meminimalkan handicap pada penggunaan tutup mata, sambil

mengaburkan satu mata untuk meminimalkan penglihatan ganda yang

mengganggu. 1

- Prisma Fresnel: prisma ini dapat melekat ke kacamata. Meski prisma

ini hanya cocok untuk deviasi stabil yang ada di semua arah gaze,

prisma ini mengaburkan gambar dari mata itu dan berfungsi dalam

banyak hal seperti lensa oklusif. 1

- Pengobatan miastenia gravis: mestinon atau agen antikolinergik kerja

lama, serta kortikosteroid. 1

22
2. Pembedahan

- Pembedahan strabismus kadang-kadang diperlukan. Resesi/ reseksi

khas jarang diindikasikan karena satu otot yang sering lemah

permanen, dan pembedahan standar apapun akan kehilangan efek pada

akhirnya. Pengecualian pada fraktur blow out saat dilakukan pelepasan

pada penjepitan jaringan lunak dari fraktur di dasar orbita dapat sangat

efektif. 1

- Pembedahan transposisi (pembedahan Hummelsheim). Dengan

paralisis permanen otot rectus lateral, mengatasi kerja otot rectus

medial yang tidak dilawan, mungkin dilakukan dengan membagi otot

rectus superior dan inferior dan dengan memasukkan setengah lateral

dari kedua otot itu ke insersio otot rectus lateral. Jika tidak, resesi otot

rectus medial yang tercapai hanya dalam waktu sementara. Meskipun

dapat melihat tunggal pada pandangan lurus, diplopia tetap ada dengan

pandangan ke otot yang paralisis.1

- Paralisis otot obliks superior Knapp

Dengan kelemahan permanen otot obliks superior, mungkin dapat

dilakukan pelemahan otot yoke mata yang lain (otot rectus superior)

juga yang merupakan antagonis direk (otot obliks inferior) pada mata

yang sama, bersama-sama dengan pemendekan otot yang terkena,

dapat meminimalkan deviasi.1

23
- Kemodenervasi

Membantu mencegah kontraktur di mata dengan paresis otot

ekstraokuler, khususnya saat kembalinya fungsi diharapkan. Injeksi

multipel selama beberapa bulan dengan toxin botulinum ke otot rectus

medial mengurangi kontraktur karena kelemahan otot rectus lateral

akibat paralisis saraf VI. Efeknya lebih permanen dibanding dengan

yang diharapkan, otot yang tidak disuntik malah membantu

pemendekan dan kontraktur. 1

H. Komplikasi

Pada bayi dan balita, diplopia dapat menyebabkan supresi atau ambliopia1

I. Prognosis

Penyebab diplopia bervariasi dari yang ringan hingga kondisi yang

memiliki konsekuensi kesehatan yang besar. 1

- Sebagai patokan, pasien dengan multipleks mononeuritis diabetik yang

sembuh spontan dalam 6 minggu.

- Penyebab optikal (misal dislokasi lensa, kelainan korneal) dapat diperbaiki.

- Fraktur blow out memiliki prognosis berbeda tergantung jumlah jaringan

yang rusak

- Pusat (neurologik) menyebabkan diplopia dapat memiliki konsekuensi yang

serius dan dalam hal tumor primer atau sekunder, prognosisnya jelek.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Wessels IF. Diplopia. Available from: URL: HIPERLINK

http://emedicine.medscape.com/article/1214490-overview

2. Finlay A. The differential diagnosis of diplopia. Available from: URL:

HIPERLINK http://www.optometry.co.uk

3. Liesegang TJ, Skuta GL, Cantor LB. Basic and clinical science course:

Neuro-Ophthalmology. San Fransisco: American Academy of

Ophthalmology.2008.

4. Karmel M. Deciphering diplopia. Available from: URL: HIPERLINK

http://www.eyenetmagazine.org

5. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008

6. Pelak VS. Evaluation of diplopia: An anatomic and systemic approach.

Hospital Physician: March, 2004.

7. Rucker JC. Acquired ocular motility disorders and nystagmus. In: Kidd

DP, Newman NJ, Biousse V, editors. Neuro-ophthalmology. Philadelphia:

Butterworth-Heinemann. 2008.

25

Anda mungkin juga menyukai