Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu Retrovirus human


limfotropik, yang sering ditularkan melalui hubungan seksual. Hal-hal penting lain
yang dapat menyebabkan penularan HIV termasuk infeksi darah (termasuk jarum,
yang menyebar melalui injeksi penggunaan narkoba dan penggunaan jarum pada
kulit), dan penyebaran infeksi dari ibu ke anak baik selama hamil, melahirkan,
maupun menyusui.1,2

Acquired Immunodefiiciency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai penyakit


yang ditandai oleh satu atau lebih indikator penyakit. Pada tahun 1993, CDC
memperluas definisi AIDS yaitu individu dengan imunosupresi berat (jumlah CD4
<200x106/1) terlepas dari ada tidaknya sebuah indikasi penyakit. Acquired
Immunodefiiciency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit infeksi
oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Human
Immunodeficiency Virus cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang
memiliki antigen permukaan CD4, terutama limfosit T4 yang berperan penting dalam
mengatur serta mempertahankan sistem kekebalan tubuh.2,3

Kelainan mukokutan lebih sering terjadi pada orang dewasa dan anak-anak
yang terinfeksi HIV atau AIDS dibandingkan orang dewasa dan anak-anak yang
tidak terinfeksi. Penyebab manifestasi kelainan kulit tersebut karena infeksi berbagai
jenis mikroorganisme seperti infeksi bakteri, virus, jamur, atau timbulnya keganasan.
Infeksi mikroba, kondisi inflamasi, dan neoplasma adalah tiga penyebab utama pada
temuan dermatologis pada pasien HIV. Di antara infeksi mikroba, patologi virus dan
jamur paling sering terjadi. Gangguan pada kulit dan selaput lendir sering terjadi
selama perjalanan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan pengaruhnya

1
lebih dari 90% pada pasien yang terinfeksi HIV pada beberapa tahap penyakit. Lesi
mukokutan mungkin merupakan masalah dapat terjadi selama perjalanan infeksi HIV
/ acquired immune deficiency syndrome (AIDS) atau mungkin merupakan unsur yang
paling melemahkan pada kondisi pasien. Kelainan kulit pada pasien dengan HIV
menyebabkan penyakit menjadi bertambah berat dan memperburuk respons terapi.4,5
Berdasarkan laporan UNAIDS Report on the Global AIDS Epidemiology
pada tahun 2016, secara global sekitar 10% ODHA yang tinggal di SEAR (South-
East Asia Region) sebanyak 3,5 juta yang menderita HIV AIDS pada tahun 2015.
Dari semua Odha di wilayah SEAR, diperkirakan 39% merupakan perempuan dan
anak perempuan. Di 10 negara di dunia, 99% dari perkiraan infeksi HIV secara
geografis terkonsentrasi di lima negara: India, Indonesia, Myanmar, Nepal dan
Thailand.6 Tingginya kasus infeksi HIV/AIDS di dunia tidak lepas dari tingkat
penularan yaitu transmisi melalui kontak seksual, transmisi melalui darah dan produk
darah, transmisi secara vertikal dari ibu ke bayi/anak, transmisi melalui cairan tubuh,
transmisi melalui petugas kesehatan, dan transmisi melalui narkoba/IDUs
(Intravenous Drug Users). Risiko bayi terinfeksi HIV dari ibu yang terinfeksi
berkisar antara 15% sampai 25% di negara maju dan dari 25% sampai 35% di negara
berkembang.7,8
Infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan
spektrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala pada stadium awal sampai gejala
yang berat pada stadium awal. Manifestasi klinis kulit yang sering terjadi pada
individu HIV/AIDS dapat berupa dermatitis inflamasi (Dermatitis seboroik, PPE,
psoriasis), infeksi oportunistik (infeksi HPV, infeksi stafilokokus, infeksi Virus
Herpes Simplex, infeksi Virus Herpes zoster, infeksi candida, infeksi Dermatofit, dan
Moluskum kontangiosum), dan tumor berupa Sarkoma Kaposi.1,7

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu Retrovirus human


limfotropik, yang sering ditularkan melalui hubungan seksual. Hal-hal penting lain
yang dapat menyebabkan penularan HIV termasuk infeksi darah (termasuk jarum,
yang menyebar melalui injeksi penggunaan narkoba dan penggunaan jarum pada
kulit), dan penyebaran infeksi dari ibu ke anak baik selama hamil, melahirkan,
maupun menyusui.1 Acquired Immunodefiiciency Syndrome (AIDS) didefinisikan
sebagai penyakit yang ditandai oleh satu atau lebih indikator penyakit. Pada tahun
1993, CDC memperluas definisi AIDS yaitu individu dengan imunosupresi berat
(jumlah CD4 <200x106/1) terlepas dari ada tidaknya sebuah indikasi penyakit.
Acquired Immunodefiiciency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit
infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh
yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Human
Immunodeficiency Virus cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang
memiliki antigen permukaan CD4, terutama limfosit T4 yang berperan penting dalam
mengatur serta mempertahankan sistem kekebalan tubuh.2,3

2.2 Etiologi HIV/AIDS

Dikenal dua tipe HIV sebagai penyebab AIDS,yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Keduanya merupakan virus berbeda namun sama-sama tergolong retrovirus dari
famili lentivirus. HIV-1 bertanggung jawab terhadap mayoritas infeksi HIV di
seluruh dunia dengan gejala yang lebih berat. HIV-2 lebih sulit ditularkan,
progresivitas penyakitnya lebih lambat dan sangat jarang ditemukan (hanya di Afrika
Barat dan daerah terbatas lainnya.2 HIV ditularkan melalui kontak seksual dengan

3
orang yang terinfeksi HIV,terpapar dengan darah yang terinfeksi (injeksi obat,
narkoba yang dipakai bersama), dan transmisi dari ibu dengan HIV/AIDS ke anak.
Penyakit dermatologi pada penderita HIV berupa dermatitis inflamasi, infeksi dan
penyakit onkogenik.3,9

2.3 Patogenesis

Virus HIV masuk kedalam tubuh melalui darah, semen, dan sekret vagina.
Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. Transmisi secara
seksual yaitu milalui hubungan heteroseksual maupun homoseksual sedangkan non
seksual melalui transfusi darah, pemakaian jarum suntik bersamaan atau secara
vertical dari ibu positif HIV kepada bayinya saat hamil, melahirkan atau bahkan saat
lakstasi.3,7 HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang memiliki
antigen permukaan CD4, terutama limfosit T4 yang berperan penting dalam mengatur
serta mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus juga dapat
menginfeksi sel monosit, makrofag, dan Langerhans pada kulit, sel dendritic folikuler
pada kelenjar limfe, sel makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri, dan
sel mikroglia otak. Virus masuk ke dalam limfosit T4 selanjutkan akan bereplikasi
sehingga menjadi banyak dan pada akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri.3

HIV tergolong retrovirus yang memiliki materi genetic RNA. Bila virus
masuk ke dalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus akan diubah menjadi
DNA oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh sel hospes dan selanjutnya
diprogram untuk membentuk gen virus. Proses infeksi dimulai saat terjadi ikatan
antara gp120 dengan molekul reseptor pada permukaan sel target (kemokin
CCR5/CXCR4 pada CD4). Selanjutnya, inti virus akan masuk ke dalam sel setelah
terjadi fusi membrane sel dengan envelope virus. RNA virus mengalami transkripsi
balik menjadi DNA oleh enzim RTase, disebut complimentary DNA (DNA untai
tunggal), yang berlanjut menjadi DNA untaian ganda (double stranded DNA/dsDNA)

4
dan kemudian dsDNA ini dibawa ke inti sel. Di dalam inti akan terjadi integrasi
dsDNA virus dengan kromosom DNA sel yang dimediasi enzim integrasi.3

DNA integrasi akan mencetak mRNA dengan bantuan enzim polymerase,


kemudian mRNA akan ditranslasi menjadi komponen virus baru di dalam sitoplasma
sel yang terinfeksi virus. Komponen-komponen virus akan ditransportasi ke
membrane plasma dan disinilah akan terjadi perakitan menjadi virus HIV baru yang
masih immature, Budding dan selanjutnya mengalami proteolysis oleh protease
menjadi virus HIV matur. HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur
replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut adalah tat,
yang dapat mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi
penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran dan akhirnya menyebabkan sistem
kekebalan tubuh menjadi lumpuh.3

Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang mematikan yang
dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan
limfoid dan jumlah CD4+ sel T dalam darah turun di bawah 200 sel/mm3 (normal
1.500 sel/mm3). Penderita AIDS dapat mengalami berbagai macam infeksi
oportunistik, keganasan, cachexia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (HIV
nefropati), dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena
CD4+ sel T sangat penting dalam respons imun selular dan humoral pada berbagai
macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alasan utama mengapa
penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis infeksi oportunistik dan
keganasan.3,10

5
2.4 Manifestasi klinis kulit yang sering terjadi pada HIV/AIDS

2.4.1 Dermatitis Inflamasi

2.4.1.1 Dermatitis Seboroik

Dermatitis seboroik adalah salah satu dermatitis yang umumnya ditemukan


sebagai manifestasi HIV, yang mempengaruhi sebesar 85% pada kejadian dermatitis
seboroik. Kondisi ini lebih banyak dan lebih parah pada pasien dengan imunosupresi
lanjut. Dermatitis seboroik pada orang dengan infeksi HIV kemungkinan disebabkan
oleh respons imun yang lemah terhadap jamur patogen, seperti spesies Mallassezia
furfur.1,11

Dermatitis seboroik mungkin terjadi pada semua stadium HIV, dan frekuensi
dermatitis seboroik pada awal infeksi HIV (CD4+ T cell count > 500/µL). Sama pada
orang dewasa dengan imunokompeten, individu yang terinfeksi HIV dengan
dermatitis seboroik dengan karakteristik berupa pada daerah kulit kepala, alis, lipatan
nasolabial, dan region posterior aurikula, dengan gambaran berupa skuama kuning
berminyak, esksematosa, eritematosa, disertai rasa gatal dan menyengat.1,11
Dermatitis seboroik juga dapat disertai dengan blepharitis, dengan gejala mata merah
dan juga otitis eksterna.12

Bagaimanapun, bentuk dermatitis seboroik yang luas dapat ditemukan pada


infeksi HIV. Daerah dahi dan malar, serta dada, punggung, ketiak,dan selangkangan
mungkin terlibat. Pada dasarnya, eritroderma timbul pada dermatitis seboroik yang
mungkin tanda awal dari infeksi HIV di Negara berkembang. Diagnosis dermatitis
seboroik terutama didasarkan pada temuan klinis yang khas dan, jika perlu dapat
dikonfirmasi dengan biopsi. Temuan histopatologis meliputi parakeratosis luas
dengan inti diatas stratum basalis, spotty keratinocytic necrosis, leukoeksositosis, dan
infiltrasi perivaskular superfisial oleh sel plasma dan neutrofil.1,12

6
Gambar 1. Dermatitis seboroik pada telinga kanan.1

Gambar 2. Dermatitis seboroik pada punggung belakang.1

Pengobatan dermatitis seboroik umumnya berupa steroid topikal potensi


rendah dan topical anti fungal. Obat anti jamur, termasuk ketokonazol, itrakonazol,
dan terbinafin, merupakan terapi utama, dan dapat diberikan berupa shampo, krim,
atau obat-obatan oral. Penggunaan intermiten antijamur dapat menjaga remisi, dan
kortikosteroid topikal mungkin berguna dalam mengatasi eritema dan gatal. Pasien
dengan terapi antiretroviral (ART) seringkali efektif dengan efek perbaikan yang
besar.1,11

2.4.1.2 Pruritus and Pruritic Eruptions (PPE) pada HIV.

Pruritus merupakan suatu gejala-gejala yang umum dikeluhkan oleh individu


HIV dengan gejala yang terlambat dan penyakit HIV yang berat. Pada sebagian besar
kasus, dermatitis primer dan sekunder merupakan penyebab terjadinya pruritus
dibandingkan penyakit metabolik. Diatesis mirip atopik bisa saja menjadi manifestasi

7
pada individu-individu dengan penyakit HIV yang berat bahkan pada individu-
individu dengan yang tidak memiliki riwayat atopi sebelumnya. Perubahan-
perubahan sekunder pada goresan dan garukan kronis sering terlihat termasuk
ekskoriasi, lichen simplex kronis, dan prurigo nodularis. Infeksi S. aureus sekunder
(impetiginisasi, furunkulosis, atau selulitis) dapat juga terjadi pada lesi traumatik.
Ichthyosis vulgaris dan xerosis merupakan penyakit HIV yang berat yang umum dan
mungkin berhubungan dengan pruritus ringan. Inhibitor protease (khususnya
indinavir) dapat menyebabkan dermatitis retinoid. Perubahan-perubahan ini
umumnya langsung terjadi setelah terapi inisiasi. Pruritus idiopatik juga berhubungan
dengan jumlah sel T CD4+ <200/µL dan volume virus >55.000 kopi/mL, dimana RT
telah berkaitan dengan penurunan pruritus idiopatik.1

a. Eosinofilik folikulitis

Eosinofilik folikulitis adalah infiltrasi eosinofilik noninfektan pada folikel rambut.


3 varian folikulitis eosinofilik meliputi ficulitis pustular eosinofilik klasik,
folliculitis eosinofilik yang terkait dengan imunosupresi (kebanyakan berhubungan
dengan HIV), dan foliculitis eosinofilik terkait masa bayi.13 Eosinofilik folikulitis
merupakan suatu dermatitis pruritik kronis yang terjadi pada individu dengan
penyakit HIV berat. Dalam sebuah penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
individu terinfeksi HIV, jumlah sel T CD+ yang rendah (<200/µL) berhubungan
dengan perkembangan folikulitis eosinofilik, dengan status tanpa ART. Rasio
laki-laki terhadap perempuan dari folikulitis eosinofilik adalah 5: 1. Foliculitis
eosinofilik dengan infeksi HIV lebih sering terjadi pada pria homoseksual atau
biseksual. Folikulitis eosinofilik paling sering terjadi pada orang berusia 20-40
tahun.1,13

Secara klinis, folikulitis eosinofilik muncul dengan pruritic kecil merah muda
hingga merah, edema, papul folikulosentrik, dan jarang terjadi pustul. Lesi
cenderung berkembang secara simetris dia atas garing putting pada bagian dada

8
dengan lengan atas, kepala, dan leher. Perubahan-perubahan sekunder merupakan
hal yang biasa dan termasuk ekskoriasi, lichen simplex kronis, dan prurigo
nudolaris, juga termasuk infeksi sekunder oleh S. aureus. Pada individu berkulit
gelap, hiperpigmentasi postinflamasi sering menimbulkan gangguan kosmetik
yang signifikan.1,11

Gambar 3. Folikulitis Eosinofilik.11

Terapi yang paling efektif untuk folikulitis eosinofilik adalah prednisone (dimulai
dengan dosis awal 70 mg/hari, dan tapering menjadi 5-10 mg setiap 7 atau 14
hari). Walaupun demikian, pada sebagian kasus individu dengan pengobatan
folikulitis eosinofilik yang berhasil, lesi dapat kembali muncul lagi dalam waktu
beberapa minggu dengan terapi prednisone yang tidak dilanjutkan. Pada individu-
individu dengan gejala yang berat prednisone mungkin dapat diberikan pada
beberapa hari atau minggu. Menurut laporan Intrakonazol 200 mg/hari sangat
efektif. Jika tidak ada respon atau respon sebagian setelah 2 minggu terapi, dosis
perlu ditingkatkan menjadi 300 mg atau 400 mg/hari. Alternatif ketiga adalah
isotretinoin oral 40-80 mg/hari. Saat lesi dan gejala teratasi, dosisnya kemudian di
tappering menjadi 40 mgsetiap hari selama beberapa minggu, dan kemudian 20 mg
setiap hari atau 40 mg setiap hari–hari berikutnya. Isotretinoin dapat meningkatkan
level serum trigliserida, yang mana sering dianggap tinggi pada individu-individu
yang terinfeksi. Akibatnya, serum lipid harus di monitor secara regular setiap hari.
1,11

9
Fototerapi dengan marrow band ultraviolet B (UVB) dan ultraviolet A dengan atau
tanpa prosalen dianggap sebagai sebuah pengobatan yang aman dan efektif pada
individu dengan HIV, dan tidak memiliki efek yang mengganggu kadar virus.
Preparat kortikosteroid topikal potensi tinggi dapat menurunkan pembentukan lesi
yang baru juga untuk pengobatan dermatitis eczematous, hingga mengurangi
gejala. Preparat hidrokuinon 4% biasanya tidak efektif untuk mengobati
hiperpigmentasi postinflamasi.1,11

b. Papular Pruritic Eruption (PPE) HIV

Papular Pruritic Eruption (PPE) HIV telah dianggap menjadi bagian dalam
penyakit Papular Pruritic pada HIV yang termasuk folikulitis eosinofilik dan
pruritus nonspesifik. Papular Pruritic Eruption (PPE) HIV ditandai oleh papula
urtikaria dan pustul steril. Lesi primer merupakan sebuah papul urtikaria yang
tegas, meskipun demikian menjadi pustule steril seperti biasanya. Erupsi biasanya
simetris dan distribusi primer pada ekstremitas (permukaan ekstensor lengan,
dorsal tangan), dan sangat jarang pada batang tubuh dan wajah. Lesi biasanya
namun tidak selalu bersifat folikulosentrik. Karena erupsi secara intens gatal, dan
berhubungan dengan eksoriasi multiple, ditandai hiperpigmentasi postinflamasi,
dan jaringan skar.1,14

PPE merupakan kasus yang jarang dilaporkan di eropa dan amerika utara. Namun
demikian, jumlah PPE diprediksi antara 18%-46% di Afrika dan Haiti, yang mana
hal tersebut menjadi tanda awal penyakit HIV. Faktanya, PPE dianggap menjadi
suatu penanda imunosupresi yang berat yang mana >80%indiividu yang terinfeksi
HIV denggan PPI dilaporkan memiliki jumlah sel T CD4+ <100/µL.
Etiopatogenesis PPE tidak jelas, namun sangat disarankan bahwa PPE dapat
mewakili sebuah reaksi hipersensitivitas terhadap gigitan arthopoda. PPE sangat
sulit untuk diobati secara efektif dan memiliki respon sedang terhadap antihistamin
dan topikal steroid.1

10
Penatalaksanaan di bidang dermatologi untuk PPE meliputi steroid topikal,
pelembap, antihistamin, antibiotik topikal, serta kombinasi antibiotik topikal,dan
steroid topikal. WHO menyarankan untuk pemberian terapi simtomatik berupa
antihistamin dan steroid topikal (conditional recommendation, very low quality
evidence). Penggunaan kortikosteroid topikal yang poten seharusnya tidak lebih
dari 3 minggu untuk menghidari efek samping. Apabila dibutuhkan pemakaian
jangka waktu lama maka harus dilakukan tappering off. Rekonstruksi imun dengan
ART merupakan suatu pengobatan yang efektif untuk PPE, meskipun diperlukan
beberapa bulan terapi untuk menyembuhkan lesi.15

Gambar 4. Papular pruritic erupsi dengan infeksi HIV. 11

2.4.1.3 Psoriasis Vulgaris

Meskipun psoriasis dapat berkembang pada setiap stadium HIV, beratnya


psoriasis berhubungan dengan buruknya fungsi sistem imun. Untuk semua individu,
psoriasis mungkin dapat menjadi manifestasi awal dari infeksi HIV, dan onset awal
psoriasis pada individu dengan risiko terinfeksi HIV menjadi indikasi untuk
dilakukan pemeriksaan HIV. Semua subtipe klinis psoriasis seperti psoriasis guttate,
psoriasis eritroderma umumnya ditemukan pada individu yang terinfeksi HIV.
Patogenesis psoriasis pada orang dengan infeksi HIV tidak jelas namun mungkin

11
melibatkan disregulasi kekebalan tubuh, perubahan rasio CD8 : CD4, dan / atau
molekular mimikri virus (dimana virus "meniru" sel tuan rumah sendiri dan
menyebabkan reaksi silang yang tidak sesuai, sehingga merangsang proses
autoimun).1,11

Diagnosis biasanya dilakukan oleh pengenalan lesi klasik dan khas plak
eritematosa yang terfragmentasi dengan baik dengan sisik berwarna perak yang
melekat. Paling sering pada daerah siku, lutut, punggung bagian bawah, dan pantat
tapi penyakitnya bisa terjadi permukaan kutaneous apapun. Pada populasi umum,
penderita psoriasis umumnya simetris, lesi eritematous berbatas tegas bentuk sirkular
atau ovoid, plakat dengan sisik keperakan yang melekat dan sering pada permukaan
ekstensor.16

Pada orang dengan infeksi HIV biasanya hadir dengan psoriasis gutata, invers,
dan eritrodermik. Guttate psoriasis muncul sebagai lesi multipel, kecil (kurang dari 1
cm), papula eritematosa dengan sisik sedikit terutama yang melibatkan batang tubuh.
Psoriasis inverse mengacu pada plak di daerah intertriginous (daerah inguinal, lipatan
submammae, lipatan gluteal, lipatan retroaurikular, aksila, inguinal dan daerah
genital.1,16 Psoriasis eritrodermik ditandai dengan eritema dan skuama di seluruh
tubuh; pasien ini berisiko tinggi mengalami infeksi dan ketidakseimbangan elektrolit
akibatnya kerusakan luas pada kulit. Salah satu ciri khas psoriasis pada orang dengan
infeksi HIV adalah perkembangan simultan dari beberapa jenis morfologi psoriasis.
Banyak Individu dengan infeksi HIV yang memiliki psoriasis dapat mengalami nyeri
sendi, kekakuan, dan efusi di sendi interphalangeal distal dan tulang belakang karena
arthritis psoriasis.1,11

Kortikosteroid topikal telah lama menjadi terapi andalan untuk psoriasis


ringan sampai sedang. Terapi topikal (seperti calcipotriol, kortikosteroid,dan
tazarotin) direkomendasikan sebagai terapi awal untuk psoriasis ringan-sedang.
Untuk psoriasis sedang-berat, fototerapi dan ART dapat menjadi rekomendasi sebagai

12
terapi awal, sedangkan terapi retinoid oral seperti acitretin disarankan sebagai terapi
lini ke dua. Untuk penyakit yang berat dan refrakter, methotrexate, etanercept, dan
infliximab dapat efektif, tetapi berhubungan dengan risiko tinggi untuk infeksi
oportunistik.1,16 Calcipotriene, juga dikenal sebagai calcipotriol, adalah pengobatan
topikal yang banyak diresepkan untuk psoriasis. Calcipotriene adalah analog
struktural dari 1,25-dihidroksi vitamin D3 (kalsitriol). Obat ini mengikat reseptor
vitamin D3 yang selanjutnya mengikat dan mengatur gen target. Calcipotriene
memiliki efek klinis dengan menghambat proliferasi dan promosi diferensiasi
keratinosit.16

Gambar 5. Lokasi khas plak psoriasis kronis. Ditandai dengan lesi yang simetris. 1

13
Gambar 6. Psoriasis eritroderma yang luas pada dada dan lengan atas.11

2.4.2 Infeksi Oportunistik

2.4.2.1 Infeksi Human Papilloma Virus (HPV)

Infeki HPV umumya terlihat pada semua stadium HIV, dan infeksi HPV oran
dan anogenital dilaporkan meningkat pada individu dengan HIV dibandingkan
populasi pada umumnya.1

a. Kutil pada umumnya


Sebagai proses imundefisiensi, kutil umumnya dapat membesar, jumlah lebih
banyak, bergerombol, dan dapat refrakter dalam pengobatan. HPV-5 dapat
menyebabkan kutil berbentuk veruka plana dan seperti lesi pityriasis (tinea)
versicolor, terlihat seperti verrucaformis epidermodisplasia.1

14
Gambar 7. Verruca plana.1

b. Kutil Anogenital (Condyloma Acuminata)


Kutil Anogenital, disebut juga condyloma acuminate yang disebabkan oleh HPV
yang merupakan virus yang paling umum ditularkan secara seksual. Manifestasi
klinis, kutil anogenital yang muncul mirip pada individu yang imunokompeten.
Walaupun kondiloma akuminata pada HIV dapat meluas, jumlah yang banyak,
dan sering kurang berespon terhadap terapi. Seperti individu imunokompeten,
kutil anogenital pada individu yang terinfeksi HIV umumnya dapat menjadi lesi
jinak, kutil anogenital pada individu dengan HIV mirip dengan infeksi HPV tipe
multiple, termasuk tipe onkogenik risiko tinggi tipe 16,18,31,51,53,56, dan 58
serta tipe risiko rendah tipe 6 dan 11.1,11
Masa inkubasi kondiloma akuminata berkisar antara 2 minggu hingga 9 bulan
dengan median 3 bulan. Secara umum, kelainan fisik mulai kira-kira 2-3 bulan
sesudah kontak. Kondiloma acuminata khas berwarna daging dan dapat berupa
dari lesi halus dan rata sampai papul verrucous. Sebagian besar pasien tidak
menunjukkan gejala, namun sebagian memiliki lesi yang luas atau banyak
mungkin mengeluh sakit, terbakar, atau gatal. Diagnosis kondiloma acuminata
biasanya dilakukan dengan inspeksi visual. Diagnosis dari kondiloma akuminata
bisa dikonfirmasi dengan tes asam asetat, kolposkopi, histopatologi, dermoskopi,
dan identifikasi genom HPV.3,11
Pada satu penelitian ditemukan kutil anogenital mayor pada individu terinfeksi
HIV ditemukan akibat koinfeksi tipe HPV risiko tinggi dan risiko rendah.

15
Penatalaksaan infeksi HPV anogenital pada individu terinfeksi HIV, displasia
derajat tinggi harus cepat diidentifikasi sebelum progresif invasif menjadi
squamous cell carcinoma (SCC). Pada semua individu terinfeksi HIV harus
dilakukan pemeriksaan tiap tahun untuk membuktikan terinfeksi HIV, khusus
riwayat terinfeksi HIV.1 Penggunaan asam asetik 5% dalam waktu 3-5 menit,
maka lesi akan berubah warnanya menjadi putih (acetowhite).3 Berdasarkan
prinsip citologi servikal, pemeriksaan sitologi anal secara periodic (via
Papaniculaou smears) setiap 1-2 tahun telah diusulkan sebagai deteksi awal
kanker anal. Sitologi anal dikabarkan memiliki sensitivitas berkisar antara 69%-
93%, sedangkan spesivitas antara 32%-59%. Bagaimanapun, kedua spesifitas dan
sensitivitas ini dilaporkan tinggi untuk identifikasi penyakit anal dibandingkan
dengan anogenital eksterna.11 Anoskopi/koloposkopi dengan biopsi harus
dilakukan pada semua individu dengan sitologi abnormal. Individu dengan
displasia anogenital harus di follow up setiap 4-6 bulan.1,3

16
Gambar 8. Kutil mukosa. A. Mutipel kondiloma akuminata pada penis, B. Eritroplasia glans penis
dengan SCC eksofitik yang meluas ke prepusium, C. Multipel kondiloma perianal pada anak, D.
Papilomatosis oral multiple, E. Kondiloma multiple pada labia minor, labio mayor, dan perineum. 1
c. Infeksi HPV oral.
HPV dapat menyerang orofaring dengan karakteristik lesi berupa papul veruka
warna merah muda atau putih, menyerupai kondiloma akuminata. Jika lesi luas,
dapat bergabung dan membentuk plak yang besar, yang mana dapat menjadi
bentuk verrucous carcinoma (oral florid papillomatosis). Infeksi HPV oral juga
berhubungan dengan orofaringeal SCC, yang kadang-kadang muncul dasar lidah
dan tonsil. Menariknya, penanda awal dari HIV adalah rendahnya jumlah sel T
CD4+ belum mampu memprediksi infeksi HPV oral. Electrosurgery merupakan
penatalaksaan yang efektif pada lesi oral HPV.1

17
Gambar 9. Kutil mucosa oral yang luas.1

2.4.2.2 Infeksi Stapfilokokus.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri pathogen yang umumnya


menyebabkan infeksi kutan dan sistemik pada semua stadium HIV. Infeksi
stafilokokus tidak khas terjadi pada penyakit HIV. Individu terinfeksi HIV cenderung
mengalami infeksi primer pada kulit dan jaringan lunak yang normalnya terlihat pada
individu imunokompeten. Infeksi sekunder terjadi kulit yang telah mengalami
dermatitis sebelumnya, khusus kolonisasi stafilokokus aureus, seringkali terlihat pada
individu dengan dermatitis atopik. Infeksi sekunder juga dapat diterjadi pada ulkus
herpes dan moluskum.Faktor risiko infeksi stafilokokus pada individu terinfeksi HIV
yaitu pada jalur nasal, kateter vaskular, dan jumlah CD4+ sel T <100/µL. Prevalensi
infeksi stafilokokus aureus pada nasal sebesar 30%-50% yang dapat simptomatik dan
asimptomatik pada individu dengan HIV seropositif.11

Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Methiclillin Resistant Staphylococcus


Aureus (MRSA) adalah suatu masalah nosokomial, namun dalam beberapa tahun
terakhir infeksi ini telah menjadi lazim di lingkungan masyarakat, termasuk di klinik
HIV. Meta-analisis baru-baru ini telah menunjukkan bahwa orang dengan infeksi
HIV sangat rentan terhadap infeksi MRSA (mungkin karena mekanisme kekebalan
tubuh yang mendasari atau paparan MRSA yang tinggi) dengan tingkat kolonisasi
hampir 7% dibandingkan pasien yang secara tradisional dianggap berisiko tinggi
terinfeksi MRSA, seperti pada individu yang menjalani dialisis kronis atau dirawat di
unit perawatan intensif. 11,17

18
Manifestasi Klinis MRSA yang paling sering terjadi adalah infeksi kulit dan
jaringan lunak yang terlokalisir berupa furunkel, impetigo, folikulitis, abses, atau
selulitis. Infeksi kulit bisa meniru luka gigitan, terutama gigitan laba-laba. Infeksi
invasif, termasuk pneumonia, emboli paru septik, osteomielitis, meningitis dan
endokarditis juga dapat terjadi. Metode yang paling akurat untuk mendeteksi MRSA
adalah kultur sampel klinis dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR)
untuk mendeteksi gen mecA dalam sampel mikrobiologis yang tumbuh
staphylococcus, namun teknik laboratorium mikrobiologi tradisional (dengan
menggunakan oxacillin-salt agar atau uji difabel cefoxitin) dan teknik kultur cepat
juga dapat membantu. Uji kerentanan antimikroba harus dilakukan pada isolat
MRSA.11,18

Gambar 10. Abses MRSA pada kelopak mata kiri (gambar kanan) dan Lesi MRSA pada tangan kiri
mirip gigitan laba-laba (gambar kiri).11

Pengelolaan primer rawat jalan berupa insisi dan drainase abses, dan
beberapa pasien akan membaik dengan terapi lokal saja, terutama jika semua daerah
yang terinfeksi telah di drainase dengan baik. The Infectious Diseases Society of
America merekomendasikan penambahan antibiotik dengan kondisi sebagai berikut:
penyakit yang berat atau luas atau progresivitas penyakit cepat yang berhubungan
dengan selulitis, imunosupresi, usia ekstrem, atau dalam kasus ini abses yang sulit
dikeringkan atau tidak ada respon terhadap insisi dan drainase. Terapi antibiotik oral

19
meliputi trimethoprim-sulfamethoxazole (1-2 tablet dua kali sehari), doksisiklin (100
mg dua kali sehari), klindamisin (300 mg tiga kali sehari), dan linezolid (600 mg dua
kali sehari). Kebanyakan ahli memilih trimetoprim-sulfametoksazol, kecuali pasien
memiliki sulfa alergi. Durasi pengobatan antibiotik biasanya 5 sampai 10 hari namun
harus berdasarkan tingkat keparahannya infeksi dan respon klinis terhadap terapi.11,19

2.4.2.3 Infeksi Virus Herpes simplex

Infeksi virus herpes simpleks sering terjadi pada orang dengan infeksi HIV
dan lebih dari 95% orang dengan infeksi HIV seropositif terinfeksi HSV-1 atau HSV-
2. HSV rekuren adalah infeksi kronis yang ditandai dengan reaktivasi periodik,
dimana terjadi penumpukan lesi di orolabial dan permukaan mukosa genital
meningkat; Infeksi dapat terjadi bahkan ketika pasien tidak bergejala, dan infeksi
HSV juga persisten meskipun terapi antiretroviral sangat aktif diberikan pada pasien
koinfeksi HSV dan HIV.11,20

Infeksi HSV-1 pada kutaneus paling sering memberikan manifestasi berupa


lesi pada mulut dan bibir dan HSV-2 lebih sering menyebabkan lesi di region
genitalia, meskipun HSV-1 dan HSV-2 dapat menyebabkan lesi di semua bagian
tubuh dan tidak dapat dibedakan dari perspektif klinis. Selanjutnya, infeksi HSV-1
semakin meningkat berkaitan dengan infeksi anogenital dan pada beberapa populasi,
seperti pria muda yang berhubungan seks dengannya pria dan wanita muda
heteroseksual muda, HSV-1 sekarang menyumbang sebagian besar episode awal
herpes anogenital.21-3

Manifestasi klinik dapat dipengaruhi oleh faktor hospes, pajanan VHS


sebelumnya, episode terdahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar
antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat, tetapi
dapat juga asimptomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah serviks. Pada
lokasi lesi umumnya didahului dengan rasa terbakar dan gatal yang terjadi beberapa
jam sebelum timbulnya lenting. setelah lesi timbul dapat disertai dengan gejala

20
konstitusi seperti malaise, demam, dan nyeri otot. Lesi pada kulit berbentuk vesikel
berkelompok dengan dasar eritema. Vesikel mudah pecah dan menimbulkan erosi
multiple. Tempat predileksi pada pria biasanya di preputium, glans penis, batang
penis, dapat juga di muara uretra dan daerah anal pada kaum LSL, sedangkan daerah
skrotum jarang terkena. Lesi pada perempuan ditemukan pada labia mayor, labia
minor, klitoris, introitus vagina dan serviks, sedangkan daerah bokong dan mons
pubis jarang ditemukan. Herpes genitalis merupakan salah satu masalah pada
penderita dengan imunodefisiensi. Kelainan ditemukan cukup progresif berupa ulkus
yang dalam didaerah anogenital. Disamping itu, lesi ditemukan lebih luas
dibandingkan biasanya.3

Diagnosis HSV bisa sulit dilakukan hanya dengan pemeriksaan klinis saja dan
lesi bisa meniru infeksi lainnya. Oleh karena itu, diagnosis harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Tes PCR DNA virus herpes simplex adalah metode yang
paling sensitif untuk menegakkan diagnosis; kultur virus dan deteksi antigen adalah
pilihan lain. Uji serologis menggunakan uji IgG mungkin sangat membantu pasien
yang mengalami lesi untuk pertama kalinya (untuk memastikan infeksi primer), dan
beberapa ahli merekomendasikan melakukan tes serologis untuk orang dengan infeksi
HIV sebelum diidentifikasi terinfeksi herpes.11

Pada pasien imunokompromais, pengobatan infeksi heres simpleks


memerlukan waktu yang lebih lama. Asiklovir oral dapat diberikan dengan dosis 3 x
200 mg – 400 mg/hari atau hingga tidak muncul lesi baru. Pada pasien berisiko tinggi
untuk menjadi, atau tidak dapat menerima pengobatan oral, maka asiklovir dapat
diberikan secara intravena 3 x 5 mh/kgBB/hari selama 7-14 hari atau lebih
lama.Untuk pasien dengan infeksi HIV simptomatik atau AIDS, digunakan asiklovir
oral 4-5 x 400 mg/hari hingga lesi sembuh, setelah itu dilanjutkan terapi supresif.3

21
Gambar 11. Infeksi virus herpes simpleks. Ulkus herpes kronis dan ulkus tumor pada penis,
skrotum, dan pubis pada pasien dengan infeksi HIV.1

2.4.2.3 Infeksi Virus Herpes zooster

Zoster disebabkan oleh reaktivasi Virus Zoster-Varicella (VZV). Infeksi


primer atau vaksinasi, VZV tetap laten dalam sel ganglion akar dorsal. Virus mulai
bereplikasi di beberapa saraf dan menyusuri saraf sensorik ke kulit. Infeksi varisela
primer (cacar air) jarang terjadi pada orang dewasa karena imunitas diperoleh melalui
infeksi anak-anak. Sebaliknya, orang dewasa dengan infeksi HIV memiliki risiko
penyakit reaktif virus varicella-zoster (herpes zoster, juga dikenal sebagai herpes
zoster) meningkat. Kejadian herpes zoster di antara orang dewasa dengan infeksi HIV
kira-kira 15 kali lipat lebih tinggi daripada orang dewasa yang imunokompeten, dan
risikonya paling tinggi pada pasien dengan jumlah CD4 kurang dari 200 sel / mm3.
Individu dengan infeksi HIV memiliki peningkatan risiko pengembangan perbaikan
herpes zoster dalam 4 bulan pertama setelah memulai terapi antiretroviral,
kemungkinan akibat pemulihan sistem imun. Adanya infeksi zoster pada individu
yang lebih muda kurang dari usia 50 tahun, atau dengan zoster multi-dermatomal,
harus segera melakukan tes HIV.11,24

Herpes zoster ditandai oleh disestesia selama beberapa hari sebelum awitan
lesi kulit. Lesi muncul sebagai vesikula berkelompok dengan dasar eritematosa dan
dapat bergabung menjadi bullae yang lebih besar. Herpes Zoster secara khas

22
mengikuti distribusi dermatomal dan dermatom paling sering terkena adalah toraks
(55%), kranial (20%, dengan saraf trigeminal menjadi yang paling umum saraf
tunggal yang terlibat), lumbal (15%), dan sakral (5%). Komplikasi zoster dermatomal
meliputi jaringan parut, superinfeksi bakteri pada lesi, zoster nekrotik yang berat, dan
neuralgia postherpetik, dengan manifestasi berupa nyeri kulit yang berat pada
distribusi yang sama dengan lesi tapi terjadi setelah resolusi lesi. Keterlibatan saraf
trigeminal juga disebut herpes zoster oftalmikus, berpotensi menyebabkan komplikasi
pada mata. Individu yang terinfeksi HIV memiliki peningkatan risiko infeksi herpes
zoster yang luas, termasuk okular, sistem saraf pusat, atau keterlibatan organ
viseral.1,11,24

Gambar 12. Lesi herpes zoster yang berkelompok (kanan) dan Lesi herpes zoster di dada (kiri). 11

Gambar 13. Herpes zoster pada wajah dengan infeksi sekunder oleh bakteri. 11

23
Diagnosis herpes zoster biasanya berdasarkan pada manifestasi klinis yang
khas, namun jika diperlukan diagnosis dapat dikonfirmasi dengan direct fluorescent
antibody (DFA). Kultur virus menjadi standar emas untuk diagnosis penyakit ini.
Asiklovir, valasiklovir, dan famciclovir semuanya direkomendasikan sebagai pilihan
untuk pengobatan herpes zoster. Valacyclovir 1000 mg, dan famciclovir 500 mg, bisa
diberikan tiga kali sehari. Kortikosteroid kadang direkomendasikan sebagai terapi
adjuvant untuk orang dewasa yang imunokompeten, namun kortikosteroid tidak boleh
digunakan sebagai komponen terapi untuk zoster pada pasien dengan infeksi HIV
karena kurangnya data dan risiko teoritis pada penggunaanya. Kontrol rasa sakit
adalah aspek penting dalam pengobatan varicella aktif dan infeksi zoster, dan
pengobatan mungkin melibatkan kombinasi antara opiat, gabapentin, antidepresan
trisiklik, dan capsaisin topikal.1,11,24

2.4.2.4 Kandidiasis

Kolonisasi Candida pada orofaring umumnya ditemukan individu terinfeksi


HIV, dan telah dilaporkan lebih dari 90% individu dengan kandidiasis yang berat.
Kandidiasis orofaring umumnya memiliki empat pola klinis yang berbeda: (1)
Pseudomembran, (2) Hiperplasia, (3) Eritematosa (atrofi), dan (4) angular cheilitis.
Tipe kandidiasis pseudomembran umumnya termasuk lidah, dan terdapat plak putih
kekuning-kuningan yang sifatnya dapat di angkat dengan dikerok. Kandidiasis
hyperplasia biasanya termasuk mukosa bukal, dan terdapat plak putih yang tidak
dapat angkat dengan dikerok. Kandidiasis eritematosa umumnya memiliki plak
eritematosa pada palatum dan dorsal lingua yang berhubungan dengan papil lingua.
Angular cheilitis gambaran eritema dengan bintik-bintik atau fissure pada lipatan
bibir.1

24
Gambar 14. A. Kandidiasis pseudomembran. Karakteristik berupa bercak-bercak putih pada
palatum. B. Kandidiasis atrofi dibawah gigi palsu. Edema dan eitema pada celah yang berkontak
dengan gigi palsu. C. Kandidiasis perleche dengan eritema dan fisura pada sudut mulut. D. Kandidiasis
hipertrofi pada lidah.1

Sejumlah penelitian telah mendokumentasikan tingginya kejadian kandidiasis


vulvovaginitis pada wanita dengan infeksi HIV khususnya pada mereka dengan
penyakit HIV yang berat.1 Kandidosis pada wanita umumny infeksi pertama timbuldi
vagina disebut vaginitis dan dapat meluas sampai vulva (vulvitis), jika mukosa vagina
dan vulva keduanya terinfeksi disebut kandidosis vulvovaginitis. Pada pria sebagai
balanitis atau balanoposttitis dan lebih jarang lagisebagai urethritis, tetapi lebih sering
asimptomatik. Tanda dan gejala khas dari kandidosis genital dengan istilah awam
sariawan (thrush) dan keputihan yang disertai dengan gejala iritasi dan gatal.3

2.4.2.5 Infeksi Dermatofit

Seperti pada kasus individu imunokompeten, Trichophyton rubrum dan


Trichophyton mentagropytes merupakan dermatofit yang paling sering dijumpai pada
individu yang terinfeksi HIV. Pada penyakit HIV infeksi kulit dermatofit epidermis
umumnya disebabkan oleh T. rubrum kemungkinan lebih luas dan sering bersifat

25
asimptomatik. Penyakit yang menyebar terkadang tidak umum. Misalnya, T. rubrum
yang menyebar dianggap menyerupai Kaposi sarcoma. Infeksi pada kuku juga umum
ditemukan. T. rubrum sering menyebabkan onikomikosis subungual pada bagian
distal dan lateral pada individu yang terinfeksi HIV dan imunokompeten. Meskipun
demikian, T. rubrum juga dapat menyebabkan onikomikosis subungual proksimal
(infeksi pada bagian dasar lempeng kuku bagian atas), yang semata-semata hanya
terlihat pada individu yang terinfeksi HIV. Pada akhirnya, diagnosis onikomikosis
subungual proksimal diindikasikan untuk dilakukan pemeriksaan HIV. Kecuali
imunokompeten gangguan, infeksi dermatofit akan menjadi kronis dan rekuren. ART
sudah pasti mengurangi terjadinya infeksi-infeksi ini, bahkan interaksi antara ART
dan antifungal tampak secara klinis menjadi kurang signifikan dibandingkan
penelitian sebelumnya.1

2.4.2.6 Moluskum kontangiosum

Moluskum kontangiosum (MK) merupakan lesi popular jinak di kulit yang


disebabkan oleh virus moluskum kontangiosum, terutama menyerang anak-anak,
orang dewasa seksual aktif, dan individu imunokompromais. Pada orang dewasa MK
sering terjadi kisaran usia 15-29 tahun.1,3 Masa inkubasi MK 1 minggu sampai 6
bulan, rerata 2-3 bulan. Penyakit ini umumnya asimptomatik, hanya sebagian kecil
pasien mengeluh gatal atau nyeri. Lesi awal berupa papul kecil, setelah beberapa
minggu berdiameter 3-5 mm, kadang sampai 10-15 mm menjadi “giant molluscum”
yang sering ditemukan pada pasien imunokompromais. Warna papul dapat sewarna
kulit, merah muda, kadang putih seperti lilin atau mutiara, permukaan halus, berbatas
tegas, konsistensi kenyal, diskret, dan berbentuk kubah dengan umbilikasi sentral
khas mengandung material kaseosa. Papul MK menyerupai vesikel dikenal istilah
“water warts”.3

Lokasi lesi MK pada orang dewasa sering didaerah genital (penis, skrotum,
vulva dan perineum), pubis, abdomen bawah, paha bagian medial dan proximal, serta

26
bokong. Lesi pada anak sering pada wajah, batang tubuh, dan ekstremitas atas. Lesi di
telapak tangan, telapak kaki, dan selaput lendir jarang terjadi. Pada individu HIV
dewasa sering ditemukan lesi ekstragenital dan giant molluscum. Mayoritas lesi pada
wajah dan leher terutama di daerah bejanggut. Bila ditemukan pada pasien dewasa
dengan banyak lesi MK di wajah atau lesi ekstragenital, sebaiknya dilakukan skrining
infeksi HIV.3

Gambar 15. Lesi moluskum kontangiosum yang luas pada wajah. 11

Diagnosa MK secara klinis tidak terlalu sukar berdasarkan ciri khas lesi MK.
Pemeriksaan specimen material kaseosa dengan perwarnaan giemsa dapat ditemukan
badan inklusi intrasitoplasma eosinofilik. Pada kasus atipikal dapat dikonfirmasi
melalui pemeriksaan histopatologi, ditemukan gambaran patogmonik berupa sel
epithelial membesar dengan badan moluskum intrasitoplasma. Pendekatan diagnosis
lain adalah deteksi antigen VMK dengan pemeriksaan antibodi flouresen, partikel
virus dengan pemeriksaan mikroskop electron, dan DNA VMK dengan pemeriksaan
PCR.3

MK pada pasien imunokompeten umumnya dapat sembuh sendiri setelah


beberapa bulan atau tahun, tetapi lesi dapat bertambah banyak, terjadi penularan,
infeksi sekunder, serta dapat menimbulkan gangguan kosmetik. Pada individu
dengan infeksi HIV, infeksi moluskum dapat menjadi progresif dan rekuren. Terapi
paling sederhana dan banyak direkomendasikan adalah destruksi fisik lesi yaitu

27
kuretase eksisi, pengeluaran inti lesi secara mekanik, krioterapi, dan bedah listrik.
Elektrofulgarasi dengan kuretase efektif untuk MK dengan lesi yang besar multiple
dan berkelompok.1,3

Inisiasi terapi antiretroviral merupakan jalur pengobatan untuk MK pada


individu dengan infeksi HIV, yang efektif menurunkan kadar plasma RNA HIV yang
cukup mengurangi lesi MK walaupun Immune Reconsitution Inflamatory Syndrome
dapat memperburuk kondisi penderitanya. Umumnya, pengobatan modulasi imunitas
dan antiviral sistemik lebih efektif dibandingkan terapi ablasi.1 Terapi topikal yaitu
Kantaridin (0.7% atau 0.9%), Podofilin (10%-25% resin), krim Podophyllotoxin 0.3%
atau 0.5%, krim imiquimod (5%), krim tretinoin 0.05% dan gel 0.025%, pasta perak
nitrat, asam trikloroasetat (25%-35%), dan krim atau gel sidofovir 1-3%. Terapi
sistemik simetidin oral 40mg/kgBB/hari berguna sebagai terapi tambahan MK tetapi
tidak efektif sebgai monoterapi. Interferon alfa intralesi setiap minggu selama 4
minggu data diberikan pada lesi MK rekuren pada individu dengan HIV/AIDS.3

Untuk standar terapi pada kasus yang berulang, krim imiquimod 5% mungkin
efektif pada anak-anak dan orang dewasa. Topikal cidofovir merupakan analog
nukleutida dengan aktivitas menghambat DNA virus, juga dilaporkan manjur tetapi
belum tersedia secara komersial.1,11

2.4.3 Keganasan kulit pada HIV

2.4.3.1 Sarcoma Kaposi

Sarkoma Kaposi merupakan tumor sel endothelial multifocal yang berkaitan


dengan infeksi Human herpesvirus-8 (HHV-8). Selama decade awal dari pandemik
AIDS, KS telah didiagnosa sebagai penyakit AIDS yang ditemukan lebih dari 20%
individu yang terinfeksi HIV-1 di eropa. Secara klinis, AIDS KS berbeda dengan KS
klasik yang mana AIDS KS progresif cepat dan penyebaran pada banyak daerah.
Pada awalnya lesi KS AIDS hanya muncul berupa macula violaceus oval kecil

28
kemudian berkembang dengan cepat menjadi plak dan nodul kecil, yang mana sering
sekali muncul di beberapa lokasi saat terjadi serangan penyakit dan memilliki
kecenderungan progresif sangat cepat. Sebaiknya pada beberapa varian KS, lesi awal
pada pasien AIDS sering berkembang pada wajah, khsusnya pada hidung, kelopak
mata, telinga, dan batang tubuh, dimana lesi mengikuti garis kulit yang normal. Jika
tidak diobati, penyebaran lesi KS AIDS dapat bergabung membentuk plak yang besar
termasuk bagian besar pada wajah, batang tubuh, atau ekstremitas hingga kerusakan
fungsi. Mukosa oral umumnya termasuk sering dan mewakili lokasi lesi awal sebesar
10%-15% pada KS AIDS. Keterlibatan faring tidak umum ditemukan dan
menyebabkan kesulitan makan, berbicara, dan bernapas.1,2

Keterlibatan ekstrakutaneus terjadi lebih cepat dan lebih dramatis pada pasien
dengan KS AIDS dibandingkan dengan KS Klasik. Selain mukosa oral, lesi KS
sangat sering ditemukan pada nodus limfatikus, traktus gastrointestinal, dan paru-
paru. Lesi KS memiliki predileksi pada lambung dan duodenum yang dapat
menyebabkan perdarahan dan ileus. Meskipun terlihat pada gastroskopi, lesi tersebut
terdiagnosa secara histologi karena lesi ini terletak di submukosa dan dapat muncul
pada biopsi forceps. KS pulmonal menyebabkan gejala pernapasan seperti
bronkospasme, batuk, dan insufisiensi respiratori progresif.1,2

Modalitas pengobatan untuk KS tergantung pada tipe klinis, lesi yang luas,
dan yang mana sistem organ juga termasuk. Selain bukti yang banyak tentang infeksi
dengan herpes virus onkogenik seperti HHV-8 memiliki peran penting pada
pathogenesis KS, obat antiherpetik hanya bersifat eksperimental atau percobaan.
Karena dalam beberapa tahun terakhir terjadinya KS AIDS telah meningkat lebih
tinggi daripada variasi klinis dan pasien AIDS dengan KS berproses dengan cepat dan
dapat mengakibatkan kematian.1

29
Gambar 16. Kaposi Sarkoma pada penderita AIDS.1

Hingga munculnya Highly Active Antiretroviral Therapy (HAAT),


pengobatan paliatif KS AIDS terbaru telah lebih baik, baik dari segi terapi kemoterapi
maupun terapi radiasi. Disaat HAART muncul pada pertengahan tahun 1990, saat itu
sangat memungkinkan untuk pertama kali mencapai perbaikan dari system imun dan
menurunkan replikasi HIV-1. Muncul pengenalan terhadap penggunaan HAART,
yang dapat menurunkan insiden KS AIDS dan pengurangan jumlah lesi KS lebih
awal yang mulai terlihat selama terapi. Namun demikian pengobatan HAART ini
tidak mampu mengontrol penyakit KS yang berat. Itulah sebabnya, jika penyebaran
lesi dan atau perkembangan penyakit hingga melibatkan organ-organ lain meskipun
terapi HAART dan control replikasi HIV-1 berhasil, kemoterapi juga tetap
dibutuhkan. Diantara beberapa model kemoterapi berat yang digunkan pada beberapa
puluhan tahun yang lalu, liposomal antrasilin dianggap yang paling efektif dan lebih
ditoleransi dari dibandingkan penggunaan terapi kombinasi seperti Blemomisin yang
dikombinasikan dengan Vinkristin atau keduanya dikombinasikan juga dengan
Doxorubisin. Obat tipe regimen terdiri dari antrasiklin liposomal 20 mg/m2 diberikan
secara intravena setiap 2-4 minggu.1

30
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Acquired Immunodefiiciency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala


penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Human Immunodeficiency Virus cenderung menyerang jenis sel tertentu,
yaitu sel-sel yang memiliki antigen permukaan CD4, terutama limfosit T4 yang
berperan penting dalam mengatur serta mempertahankan sistem kekebalan tubuh.
CD4+ sel T sangat penting dalam respons imun selular dan humoral pada berbagai
macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alasan utama mengapa
penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis infeksi oportunistik dan
keganasan.

Manifestasi klinis kulit yang sering terjadi pada individu HIV/AIDS dapat
berupa dermatitis inflamasi (Dermatitis seboroik, PPE, psoriasis), infeksi oportunistik
(infeksi HPV, infeksi stafilokokus, infeksi Virus Herpes Simplex, infeksi Virus
Herpes zoster, infeksi candida, infeksi Dermatofit, dan Moluskum kontangiosum),
dan tumor berupa Sarkoma Kaposi.

Dalam penatalaksanaan pasien HIV dan AIDS perlu evaluasi tentang kelainan
kulit yang menyertainya, karena sebagian besar pasien HIV dan AIDS dalam
perjalanan penyakitnya mengalami kelainan kulit, bahkan lebih dari satu kelainan.
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis merupakan suatu
hal yang penting dan menentukan terapi kelainan kulit. Demikian juga pemeriksaan
hitung sel CD4 diperlukan selain untuk menetukan stadium klinis dan terapi ARV,
juga untuk memprediksi kelainan kulit yang kemungkinan muncul dan prognosis
pasien.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Uihlein LC, Arturo PS, Johnson RA. Cuteneous manifestations of human


immunodeficiency virus disease. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilcherst BA, Paller
AS, Lefell DJ, Wolff K. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine, Vol.1,
08th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2012. p. 2111-3, 3271, 3443, 3447,
3465-6, 3470-4, 3478-83, 3485-7.
2. Adler M, Cowan F, French P, MitchellH, Richens J. ABC of sexually transmitted
infections, 07th ed. London: BMJ. p.70-2
3. Daili SF, Nilasari H, Makes WIB, Zubier F, Rowawi R, Pudjiati SR. Infeksi
menular seksual, Ed.5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2017. h.178-9,188,193-4.
4. Emadi SN, Bhatt SM, M’Imunya JM, Suleh AJ, Raeeskarmi SR, Rezai MS, et al.
Cutaneus manifestation in children with HIV/AIDS. J Mazandaran University of
Medical Sciences. 2014;2(1):18.
5. F Maryam, EM Hamid, R Neda, P Koosha, K Alireza, S Sogol, et al. Prevalence
of dermatologic manifestations among people living with HIV/AIDS in Imam
Khomeini Hospital in Tehran, Iran. J AIDS HIV Res 2012;4(2):56-7.
6. World Health Organization. Progress report on HIV in the WHO south east asia
region 2016. India: WHO Library;2016. p.10.
7. Dewi ISL, Hidayati AN. Manifestasi kelainan kulit pada pasien HIV dan AIDS. J
Universitas Airlangga. 2015;27(2):98.
8. Birhane T, Tessema GA, Alene KA, Dadi AB. Knowledge of pregnant women on
mother to child transmission of HIV in Meket District, Northeast Ethiopia. J
Hindawi. 2015:1.
9. Wolff Klaus, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest ASP, Leffell DJ. Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine, Vol.2, 07th ed. USA: The McGraw-Hill
Companies; 2008. p.1927.

32
10. National Institute of Allergy and Infectious Disease. 2017. Treatment of HIV
infection. Available from: http://www.niaid.nih.gov/factsheet/treathiv.htm.
[Accessed 02th March 2018]
11. National HIV Curiculum. Cutaneous Manifestations. 2018;2-6,8-9,12-3,31-3,
45,51-2,56-7.
12. Buxton PK. ABC of dermatology,07th ed. London: BMJ Publishing Group;2003.
p.30.
13. Janniger CK, Bronze MS. 2017. Eosinophilic follicuitis. Available from: http:
https://emedicine.medscape.com/article/217266-overview#a6 [Accessed 18th
March 2018]
14. Lakshmi SJ, Rao GR, Ramalakshmi, Satyasree, Rao KA, Prasad PG, et al.
Pruritic papular eruptions of HIV: a clinicopathologic and therapeutic study. J
Dermatol Venereol Leprol. 2017;74(5):501-2.
15. Arista A, Murtiastutik D. Studi retrospektif: karakteristik papular pruritic
eruption pada pasien HIV/ AIDS. J FK UNAIR. 2014:209.
16. Soung J, Lebwohl M. Clinical presentation. In: Gordon KB, Ruderman EM.
Psoriasis and psoriatic arthritis. Germany: Springer;2005. p.67-8, 134-5.
17. Zervou FN, Zacharioudakis IM, Ziakas PD, Rich JD, Mylonakis E. Prevalence of
and risk factors for methicillin-resistant Staphylococcus aureus colonization in
HIV infection: a meta-analysis. Clin Infect Dis. 2014;59:1310.
18. Hidron AI, Kempker R, Moanna A, Rimland D. Methicillin-resistant
staphylococcus aureus in HIV-infected patients. J Drovepress. 2010;3:77,79.
19. Liu C, Bayer A, Cosgrove SE, Cosgrove SE, Daum RS, Fridkin SK, et al.
Clinical practice guidelines by the infectious diseases society of america for the
treatment of methicillin-resistant Staphylococcus aureus infections in adults and
children. Clin Infect Dis. 2011;52:286.
20. Tan DH, Raboud JM, Kaul R, Walmsley SL. Antiretroviral therapy is not
associated with reduced herpes simplex virus shedding in HIV coinfected adults:
an observational cohort study. BMJ Open. 2014;4:7.

33
21. Haddow LJ, Dave B, Mindel A, et al. Increase in rates of herpes simplex virus
type 1 as a cause of anogenital herpes in western Sydney, Australia, between
1979 and 2003. Sex Transm Infect. 2006;85:416.
22. Ryder N, Jin F, McNulty AM, Grulich AE, Donovan B. Increasing role of herpes
simplex virus type 1 in first-episode anogenital herpes in heterosexual women
and younger men who have sex with men, 1992-2006. Sex Transm Infect.
2009:85.
23. Bernstein DI, Bellamy AR, Hook EW 3rd, et al. Epidemiology, clinical
presentation, and antibody response to primary infection with herpes simplex
virus type 1 and type 2 in young women. Clin Infect Dis. 2013;56:349.
24. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’ disease of the skin clinical
dermatology. China: Saunders Elsevier;2011.p.372,374.

34

Anda mungkin juga menyukai