PENDAHULUAN
Kelainan mukokutan lebih sering terjadi pada orang dewasa dan anak-anak
yang terinfeksi HIV atau AIDS dibandingkan orang dewasa dan anak-anak yang
tidak terinfeksi. Penyebab manifestasi kelainan kulit tersebut karena infeksi berbagai
jenis mikroorganisme seperti infeksi bakteri, virus, jamur, atau timbulnya keganasan.
Infeksi mikroba, kondisi inflamasi, dan neoplasma adalah tiga penyebab utama pada
temuan dermatologis pada pasien HIV. Di antara infeksi mikroba, patologi virus dan
jamur paling sering terjadi. Gangguan pada kulit dan selaput lendir sering terjadi
selama perjalanan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan pengaruhnya
1
lebih dari 90% pada pasien yang terinfeksi HIV pada beberapa tahap penyakit. Lesi
mukokutan mungkin merupakan masalah dapat terjadi selama perjalanan infeksi HIV
/ acquired immune deficiency syndrome (AIDS) atau mungkin merupakan unsur yang
paling melemahkan pada kondisi pasien. Kelainan kulit pada pasien dengan HIV
menyebabkan penyakit menjadi bertambah berat dan memperburuk respons terapi.4,5
Berdasarkan laporan UNAIDS Report on the Global AIDS Epidemiology
pada tahun 2016, secara global sekitar 10% ODHA yang tinggal di SEAR (South-
East Asia Region) sebanyak 3,5 juta yang menderita HIV AIDS pada tahun 2015.
Dari semua Odha di wilayah SEAR, diperkirakan 39% merupakan perempuan dan
anak perempuan. Di 10 negara di dunia, 99% dari perkiraan infeksi HIV secara
geografis terkonsentrasi di lima negara: India, Indonesia, Myanmar, Nepal dan
Thailand.6 Tingginya kasus infeksi HIV/AIDS di dunia tidak lepas dari tingkat
penularan yaitu transmisi melalui kontak seksual, transmisi melalui darah dan produk
darah, transmisi secara vertikal dari ibu ke bayi/anak, transmisi melalui cairan tubuh,
transmisi melalui petugas kesehatan, dan transmisi melalui narkoba/IDUs
(Intravenous Drug Users). Risiko bayi terinfeksi HIV dari ibu yang terinfeksi
berkisar antara 15% sampai 25% di negara maju dan dari 25% sampai 35% di negara
berkembang.7,8
Infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan
spektrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala pada stadium awal sampai gejala
yang berat pada stadium awal. Manifestasi klinis kulit yang sering terjadi pada
individu HIV/AIDS dapat berupa dermatitis inflamasi (Dermatitis seboroik, PPE,
psoriasis), infeksi oportunistik (infeksi HPV, infeksi stafilokokus, infeksi Virus
Herpes Simplex, infeksi Virus Herpes zoster, infeksi candida, infeksi Dermatofit, dan
Moluskum kontangiosum), dan tumor berupa Sarkoma Kaposi.1,7
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dikenal dua tipe HIV sebagai penyebab AIDS,yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Keduanya merupakan virus berbeda namun sama-sama tergolong retrovirus dari
famili lentivirus. HIV-1 bertanggung jawab terhadap mayoritas infeksi HIV di
seluruh dunia dengan gejala yang lebih berat. HIV-2 lebih sulit ditularkan,
progresivitas penyakitnya lebih lambat dan sangat jarang ditemukan (hanya di Afrika
Barat dan daerah terbatas lainnya.2 HIV ditularkan melalui kontak seksual dengan
3
orang yang terinfeksi HIV,terpapar dengan darah yang terinfeksi (injeksi obat,
narkoba yang dipakai bersama), dan transmisi dari ibu dengan HIV/AIDS ke anak.
Penyakit dermatologi pada penderita HIV berupa dermatitis inflamasi, infeksi dan
penyakit onkogenik.3,9
2.3 Patogenesis
Virus HIV masuk kedalam tubuh melalui darah, semen, dan sekret vagina.
Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. Transmisi secara
seksual yaitu milalui hubungan heteroseksual maupun homoseksual sedangkan non
seksual melalui transfusi darah, pemakaian jarum suntik bersamaan atau secara
vertical dari ibu positif HIV kepada bayinya saat hamil, melahirkan atau bahkan saat
lakstasi.3,7 HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang memiliki
antigen permukaan CD4, terutama limfosit T4 yang berperan penting dalam mengatur
serta mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus juga dapat
menginfeksi sel monosit, makrofag, dan Langerhans pada kulit, sel dendritic folikuler
pada kelenjar limfe, sel makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri, dan
sel mikroglia otak. Virus masuk ke dalam limfosit T4 selanjutkan akan bereplikasi
sehingga menjadi banyak dan pada akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri.3
HIV tergolong retrovirus yang memiliki materi genetic RNA. Bila virus
masuk ke dalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus akan diubah menjadi
DNA oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh sel hospes dan selanjutnya
diprogram untuk membentuk gen virus. Proses infeksi dimulai saat terjadi ikatan
antara gp120 dengan molekul reseptor pada permukaan sel target (kemokin
CCR5/CXCR4 pada CD4). Selanjutnya, inti virus akan masuk ke dalam sel setelah
terjadi fusi membrane sel dengan envelope virus. RNA virus mengalami transkripsi
balik menjadi DNA oleh enzim RTase, disebut complimentary DNA (DNA untai
tunggal), yang berlanjut menjadi DNA untaian ganda (double stranded DNA/dsDNA)
4
dan kemudian dsDNA ini dibawa ke inti sel. Di dalam inti akan terjadi integrasi
dsDNA virus dengan kromosom DNA sel yang dimediasi enzim integrasi.3
Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang mematikan yang
dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan
limfoid dan jumlah CD4+ sel T dalam darah turun di bawah 200 sel/mm3 (normal
1.500 sel/mm3). Penderita AIDS dapat mengalami berbagai macam infeksi
oportunistik, keganasan, cachexia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (HIV
nefropati), dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena
CD4+ sel T sangat penting dalam respons imun selular dan humoral pada berbagai
macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alasan utama mengapa
penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis infeksi oportunistik dan
keganasan.3,10
5
2.4 Manifestasi klinis kulit yang sering terjadi pada HIV/AIDS
Dermatitis seboroik mungkin terjadi pada semua stadium HIV, dan frekuensi
dermatitis seboroik pada awal infeksi HIV (CD4+ T cell count > 500/µL). Sama pada
orang dewasa dengan imunokompeten, individu yang terinfeksi HIV dengan
dermatitis seboroik dengan karakteristik berupa pada daerah kulit kepala, alis, lipatan
nasolabial, dan region posterior aurikula, dengan gambaran berupa skuama kuning
berminyak, esksematosa, eritematosa, disertai rasa gatal dan menyengat.1,11
Dermatitis seboroik juga dapat disertai dengan blepharitis, dengan gejala mata merah
dan juga otitis eksterna.12
6
Gambar 1. Dermatitis seboroik pada telinga kanan.1
7
pada individu-individu dengan penyakit HIV yang berat bahkan pada individu-
individu dengan yang tidak memiliki riwayat atopi sebelumnya. Perubahan-
perubahan sekunder pada goresan dan garukan kronis sering terlihat termasuk
ekskoriasi, lichen simplex kronis, dan prurigo nodularis. Infeksi S. aureus sekunder
(impetiginisasi, furunkulosis, atau selulitis) dapat juga terjadi pada lesi traumatik.
Ichthyosis vulgaris dan xerosis merupakan penyakit HIV yang berat yang umum dan
mungkin berhubungan dengan pruritus ringan. Inhibitor protease (khususnya
indinavir) dapat menyebabkan dermatitis retinoid. Perubahan-perubahan ini
umumnya langsung terjadi setelah terapi inisiasi. Pruritus idiopatik juga berhubungan
dengan jumlah sel T CD4+ <200/µL dan volume virus >55.000 kopi/mL, dimana RT
telah berkaitan dengan penurunan pruritus idiopatik.1
a. Eosinofilik folikulitis
Secara klinis, folikulitis eosinofilik muncul dengan pruritic kecil merah muda
hingga merah, edema, papul folikulosentrik, dan jarang terjadi pustul. Lesi
cenderung berkembang secara simetris dia atas garing putting pada bagian dada
8
dengan lengan atas, kepala, dan leher. Perubahan-perubahan sekunder merupakan
hal yang biasa dan termasuk ekskoriasi, lichen simplex kronis, dan prurigo
nudolaris, juga termasuk infeksi sekunder oleh S. aureus. Pada individu berkulit
gelap, hiperpigmentasi postinflamasi sering menimbulkan gangguan kosmetik
yang signifikan.1,11
Terapi yang paling efektif untuk folikulitis eosinofilik adalah prednisone (dimulai
dengan dosis awal 70 mg/hari, dan tapering menjadi 5-10 mg setiap 7 atau 14
hari). Walaupun demikian, pada sebagian kasus individu dengan pengobatan
folikulitis eosinofilik yang berhasil, lesi dapat kembali muncul lagi dalam waktu
beberapa minggu dengan terapi prednisone yang tidak dilanjutkan. Pada individu-
individu dengan gejala yang berat prednisone mungkin dapat diberikan pada
beberapa hari atau minggu. Menurut laporan Intrakonazol 200 mg/hari sangat
efektif. Jika tidak ada respon atau respon sebagian setelah 2 minggu terapi, dosis
perlu ditingkatkan menjadi 300 mg atau 400 mg/hari. Alternatif ketiga adalah
isotretinoin oral 40-80 mg/hari. Saat lesi dan gejala teratasi, dosisnya kemudian di
tappering menjadi 40 mgsetiap hari selama beberapa minggu, dan kemudian 20 mg
setiap hari atau 40 mg setiap hari–hari berikutnya. Isotretinoin dapat meningkatkan
level serum trigliserida, yang mana sering dianggap tinggi pada individu-individu
yang terinfeksi. Akibatnya, serum lipid harus di monitor secara regular setiap hari.
1,11
9
Fototerapi dengan marrow band ultraviolet B (UVB) dan ultraviolet A dengan atau
tanpa prosalen dianggap sebagai sebuah pengobatan yang aman dan efektif pada
individu dengan HIV, dan tidak memiliki efek yang mengganggu kadar virus.
Preparat kortikosteroid topikal potensi tinggi dapat menurunkan pembentukan lesi
yang baru juga untuk pengobatan dermatitis eczematous, hingga mengurangi
gejala. Preparat hidrokuinon 4% biasanya tidak efektif untuk mengobati
hiperpigmentasi postinflamasi.1,11
Papular Pruritic Eruption (PPE) HIV telah dianggap menjadi bagian dalam
penyakit Papular Pruritic pada HIV yang termasuk folikulitis eosinofilik dan
pruritus nonspesifik. Papular Pruritic Eruption (PPE) HIV ditandai oleh papula
urtikaria dan pustul steril. Lesi primer merupakan sebuah papul urtikaria yang
tegas, meskipun demikian menjadi pustule steril seperti biasanya. Erupsi biasanya
simetris dan distribusi primer pada ekstremitas (permukaan ekstensor lengan,
dorsal tangan), dan sangat jarang pada batang tubuh dan wajah. Lesi biasanya
namun tidak selalu bersifat folikulosentrik. Karena erupsi secara intens gatal, dan
berhubungan dengan eksoriasi multiple, ditandai hiperpigmentasi postinflamasi,
dan jaringan skar.1,14
PPE merupakan kasus yang jarang dilaporkan di eropa dan amerika utara. Namun
demikian, jumlah PPE diprediksi antara 18%-46% di Afrika dan Haiti, yang mana
hal tersebut menjadi tanda awal penyakit HIV. Faktanya, PPE dianggap menjadi
suatu penanda imunosupresi yang berat yang mana >80%indiividu yang terinfeksi
HIV denggan PPI dilaporkan memiliki jumlah sel T CD4+ <100/µL.
Etiopatogenesis PPE tidak jelas, namun sangat disarankan bahwa PPE dapat
mewakili sebuah reaksi hipersensitivitas terhadap gigitan arthopoda. PPE sangat
sulit untuk diobati secara efektif dan memiliki respon sedang terhadap antihistamin
dan topikal steroid.1
10
Penatalaksanaan di bidang dermatologi untuk PPE meliputi steroid topikal,
pelembap, antihistamin, antibiotik topikal, serta kombinasi antibiotik topikal,dan
steroid topikal. WHO menyarankan untuk pemberian terapi simtomatik berupa
antihistamin dan steroid topikal (conditional recommendation, very low quality
evidence). Penggunaan kortikosteroid topikal yang poten seharusnya tidak lebih
dari 3 minggu untuk menghidari efek samping. Apabila dibutuhkan pemakaian
jangka waktu lama maka harus dilakukan tappering off. Rekonstruksi imun dengan
ART merupakan suatu pengobatan yang efektif untuk PPE, meskipun diperlukan
beberapa bulan terapi untuk menyembuhkan lesi.15
11
melibatkan disregulasi kekebalan tubuh, perubahan rasio CD8 : CD4, dan / atau
molekular mimikri virus (dimana virus "meniru" sel tuan rumah sendiri dan
menyebabkan reaksi silang yang tidak sesuai, sehingga merangsang proses
autoimun).1,11
Diagnosis biasanya dilakukan oleh pengenalan lesi klasik dan khas plak
eritematosa yang terfragmentasi dengan baik dengan sisik berwarna perak yang
melekat. Paling sering pada daerah siku, lutut, punggung bagian bawah, dan pantat
tapi penyakitnya bisa terjadi permukaan kutaneous apapun. Pada populasi umum,
penderita psoriasis umumnya simetris, lesi eritematous berbatas tegas bentuk sirkular
atau ovoid, plakat dengan sisik keperakan yang melekat dan sering pada permukaan
ekstensor.16
Pada orang dengan infeksi HIV biasanya hadir dengan psoriasis gutata, invers,
dan eritrodermik. Guttate psoriasis muncul sebagai lesi multipel, kecil (kurang dari 1
cm), papula eritematosa dengan sisik sedikit terutama yang melibatkan batang tubuh.
Psoriasis inverse mengacu pada plak di daerah intertriginous (daerah inguinal, lipatan
submammae, lipatan gluteal, lipatan retroaurikular, aksila, inguinal dan daerah
genital.1,16 Psoriasis eritrodermik ditandai dengan eritema dan skuama di seluruh
tubuh; pasien ini berisiko tinggi mengalami infeksi dan ketidakseimbangan elektrolit
akibatnya kerusakan luas pada kulit. Salah satu ciri khas psoriasis pada orang dengan
infeksi HIV adalah perkembangan simultan dari beberapa jenis morfologi psoriasis.
Banyak Individu dengan infeksi HIV yang memiliki psoriasis dapat mengalami nyeri
sendi, kekakuan, dan efusi di sendi interphalangeal distal dan tulang belakang karena
arthritis psoriasis.1,11
12
terapi awal, sedangkan terapi retinoid oral seperti acitretin disarankan sebagai terapi
lini ke dua. Untuk penyakit yang berat dan refrakter, methotrexate, etanercept, dan
infliximab dapat efektif, tetapi berhubungan dengan risiko tinggi untuk infeksi
oportunistik.1,16 Calcipotriene, juga dikenal sebagai calcipotriol, adalah pengobatan
topikal yang banyak diresepkan untuk psoriasis. Calcipotriene adalah analog
struktural dari 1,25-dihidroksi vitamin D3 (kalsitriol). Obat ini mengikat reseptor
vitamin D3 yang selanjutnya mengikat dan mengatur gen target. Calcipotriene
memiliki efek klinis dengan menghambat proliferasi dan promosi diferensiasi
keratinosit.16
Gambar 5. Lokasi khas plak psoriasis kronis. Ditandai dengan lesi yang simetris. 1
13
Gambar 6. Psoriasis eritroderma yang luas pada dada dan lengan atas.11
Infeki HPV umumya terlihat pada semua stadium HIV, dan infeksi HPV oran
dan anogenital dilaporkan meningkat pada individu dengan HIV dibandingkan
populasi pada umumnya.1
14
Gambar 7. Verruca plana.1
15
Penatalaksaan infeksi HPV anogenital pada individu terinfeksi HIV, displasia
derajat tinggi harus cepat diidentifikasi sebelum progresif invasif menjadi
squamous cell carcinoma (SCC). Pada semua individu terinfeksi HIV harus
dilakukan pemeriksaan tiap tahun untuk membuktikan terinfeksi HIV, khusus
riwayat terinfeksi HIV.1 Penggunaan asam asetik 5% dalam waktu 3-5 menit,
maka lesi akan berubah warnanya menjadi putih (acetowhite).3 Berdasarkan
prinsip citologi servikal, pemeriksaan sitologi anal secara periodic (via
Papaniculaou smears) setiap 1-2 tahun telah diusulkan sebagai deteksi awal
kanker anal. Sitologi anal dikabarkan memiliki sensitivitas berkisar antara 69%-
93%, sedangkan spesivitas antara 32%-59%. Bagaimanapun, kedua spesifitas dan
sensitivitas ini dilaporkan tinggi untuk identifikasi penyakit anal dibandingkan
dengan anogenital eksterna.11 Anoskopi/koloposkopi dengan biopsi harus
dilakukan pada semua individu dengan sitologi abnormal. Individu dengan
displasia anogenital harus di follow up setiap 4-6 bulan.1,3
16
Gambar 8. Kutil mukosa. A. Mutipel kondiloma akuminata pada penis, B. Eritroplasia glans penis
dengan SCC eksofitik yang meluas ke prepusium, C. Multipel kondiloma perianal pada anak, D.
Papilomatosis oral multiple, E. Kondiloma multiple pada labia minor, labio mayor, dan perineum. 1
c. Infeksi HPV oral.
HPV dapat menyerang orofaring dengan karakteristik lesi berupa papul veruka
warna merah muda atau putih, menyerupai kondiloma akuminata. Jika lesi luas,
dapat bergabung dan membentuk plak yang besar, yang mana dapat menjadi
bentuk verrucous carcinoma (oral florid papillomatosis). Infeksi HPV oral juga
berhubungan dengan orofaringeal SCC, yang kadang-kadang muncul dasar lidah
dan tonsil. Menariknya, penanda awal dari HIV adalah rendahnya jumlah sel T
CD4+ belum mampu memprediksi infeksi HPV oral. Electrosurgery merupakan
penatalaksaan yang efektif pada lesi oral HPV.1
17
Gambar 9. Kutil mucosa oral yang luas.1
18
Manifestasi Klinis MRSA yang paling sering terjadi adalah infeksi kulit dan
jaringan lunak yang terlokalisir berupa furunkel, impetigo, folikulitis, abses, atau
selulitis. Infeksi kulit bisa meniru luka gigitan, terutama gigitan laba-laba. Infeksi
invasif, termasuk pneumonia, emboli paru septik, osteomielitis, meningitis dan
endokarditis juga dapat terjadi. Metode yang paling akurat untuk mendeteksi MRSA
adalah kultur sampel klinis dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR)
untuk mendeteksi gen mecA dalam sampel mikrobiologis yang tumbuh
staphylococcus, namun teknik laboratorium mikrobiologi tradisional (dengan
menggunakan oxacillin-salt agar atau uji difabel cefoxitin) dan teknik kultur cepat
juga dapat membantu. Uji kerentanan antimikroba harus dilakukan pada isolat
MRSA.11,18
Gambar 10. Abses MRSA pada kelopak mata kiri (gambar kanan) dan Lesi MRSA pada tangan kiri
mirip gigitan laba-laba (gambar kiri).11
Pengelolaan primer rawat jalan berupa insisi dan drainase abses, dan
beberapa pasien akan membaik dengan terapi lokal saja, terutama jika semua daerah
yang terinfeksi telah di drainase dengan baik. The Infectious Diseases Society of
America merekomendasikan penambahan antibiotik dengan kondisi sebagai berikut:
penyakit yang berat atau luas atau progresivitas penyakit cepat yang berhubungan
dengan selulitis, imunosupresi, usia ekstrem, atau dalam kasus ini abses yang sulit
dikeringkan atau tidak ada respon terhadap insisi dan drainase. Terapi antibiotik oral
19
meliputi trimethoprim-sulfamethoxazole (1-2 tablet dua kali sehari), doksisiklin (100
mg dua kali sehari), klindamisin (300 mg tiga kali sehari), dan linezolid (600 mg dua
kali sehari). Kebanyakan ahli memilih trimetoprim-sulfametoksazol, kecuali pasien
memiliki sulfa alergi. Durasi pengobatan antibiotik biasanya 5 sampai 10 hari namun
harus berdasarkan tingkat keparahannya infeksi dan respon klinis terhadap terapi.11,19
Infeksi virus herpes simpleks sering terjadi pada orang dengan infeksi HIV
dan lebih dari 95% orang dengan infeksi HIV seropositif terinfeksi HSV-1 atau HSV-
2. HSV rekuren adalah infeksi kronis yang ditandai dengan reaktivasi periodik,
dimana terjadi penumpukan lesi di orolabial dan permukaan mukosa genital
meningkat; Infeksi dapat terjadi bahkan ketika pasien tidak bergejala, dan infeksi
HSV juga persisten meskipun terapi antiretroviral sangat aktif diberikan pada pasien
koinfeksi HSV dan HIV.11,20
20
konstitusi seperti malaise, demam, dan nyeri otot. Lesi pada kulit berbentuk vesikel
berkelompok dengan dasar eritema. Vesikel mudah pecah dan menimbulkan erosi
multiple. Tempat predileksi pada pria biasanya di preputium, glans penis, batang
penis, dapat juga di muara uretra dan daerah anal pada kaum LSL, sedangkan daerah
skrotum jarang terkena. Lesi pada perempuan ditemukan pada labia mayor, labia
minor, klitoris, introitus vagina dan serviks, sedangkan daerah bokong dan mons
pubis jarang ditemukan. Herpes genitalis merupakan salah satu masalah pada
penderita dengan imunodefisiensi. Kelainan ditemukan cukup progresif berupa ulkus
yang dalam didaerah anogenital. Disamping itu, lesi ditemukan lebih luas
dibandingkan biasanya.3
Diagnosis HSV bisa sulit dilakukan hanya dengan pemeriksaan klinis saja dan
lesi bisa meniru infeksi lainnya. Oleh karena itu, diagnosis harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Tes PCR DNA virus herpes simplex adalah metode yang
paling sensitif untuk menegakkan diagnosis; kultur virus dan deteksi antigen adalah
pilihan lain. Uji serologis menggunakan uji IgG mungkin sangat membantu pasien
yang mengalami lesi untuk pertama kalinya (untuk memastikan infeksi primer), dan
beberapa ahli merekomendasikan melakukan tes serologis untuk orang dengan infeksi
HIV sebelum diidentifikasi terinfeksi herpes.11
21
Gambar 11. Infeksi virus herpes simpleks. Ulkus herpes kronis dan ulkus tumor pada penis,
skrotum, dan pubis pada pasien dengan infeksi HIV.1
Herpes zoster ditandai oleh disestesia selama beberapa hari sebelum awitan
lesi kulit. Lesi muncul sebagai vesikula berkelompok dengan dasar eritematosa dan
dapat bergabung menjadi bullae yang lebih besar. Herpes Zoster secara khas
22
mengikuti distribusi dermatomal dan dermatom paling sering terkena adalah toraks
(55%), kranial (20%, dengan saraf trigeminal menjadi yang paling umum saraf
tunggal yang terlibat), lumbal (15%), dan sakral (5%). Komplikasi zoster dermatomal
meliputi jaringan parut, superinfeksi bakteri pada lesi, zoster nekrotik yang berat, dan
neuralgia postherpetik, dengan manifestasi berupa nyeri kulit yang berat pada
distribusi yang sama dengan lesi tapi terjadi setelah resolusi lesi. Keterlibatan saraf
trigeminal juga disebut herpes zoster oftalmikus, berpotensi menyebabkan komplikasi
pada mata. Individu yang terinfeksi HIV memiliki peningkatan risiko infeksi herpes
zoster yang luas, termasuk okular, sistem saraf pusat, atau keterlibatan organ
viseral.1,11,24
Gambar 12. Lesi herpes zoster yang berkelompok (kanan) dan Lesi herpes zoster di dada (kiri). 11
Gambar 13. Herpes zoster pada wajah dengan infeksi sekunder oleh bakteri. 11
23
Diagnosis herpes zoster biasanya berdasarkan pada manifestasi klinis yang
khas, namun jika diperlukan diagnosis dapat dikonfirmasi dengan direct fluorescent
antibody (DFA). Kultur virus menjadi standar emas untuk diagnosis penyakit ini.
Asiklovir, valasiklovir, dan famciclovir semuanya direkomendasikan sebagai pilihan
untuk pengobatan herpes zoster. Valacyclovir 1000 mg, dan famciclovir 500 mg, bisa
diberikan tiga kali sehari. Kortikosteroid kadang direkomendasikan sebagai terapi
adjuvant untuk orang dewasa yang imunokompeten, namun kortikosteroid tidak boleh
digunakan sebagai komponen terapi untuk zoster pada pasien dengan infeksi HIV
karena kurangnya data dan risiko teoritis pada penggunaanya. Kontrol rasa sakit
adalah aspek penting dalam pengobatan varicella aktif dan infeksi zoster, dan
pengobatan mungkin melibatkan kombinasi antara opiat, gabapentin, antidepresan
trisiklik, dan capsaisin topikal.1,11,24
2.4.2.4 Kandidiasis
24
Gambar 14. A. Kandidiasis pseudomembran. Karakteristik berupa bercak-bercak putih pada
palatum. B. Kandidiasis atrofi dibawah gigi palsu. Edema dan eitema pada celah yang berkontak
dengan gigi palsu. C. Kandidiasis perleche dengan eritema dan fisura pada sudut mulut. D. Kandidiasis
hipertrofi pada lidah.1
25
asimptomatik. Penyakit yang menyebar terkadang tidak umum. Misalnya, T. rubrum
yang menyebar dianggap menyerupai Kaposi sarcoma. Infeksi pada kuku juga umum
ditemukan. T. rubrum sering menyebabkan onikomikosis subungual pada bagian
distal dan lateral pada individu yang terinfeksi HIV dan imunokompeten. Meskipun
demikian, T. rubrum juga dapat menyebabkan onikomikosis subungual proksimal
(infeksi pada bagian dasar lempeng kuku bagian atas), yang semata-semata hanya
terlihat pada individu yang terinfeksi HIV. Pada akhirnya, diagnosis onikomikosis
subungual proksimal diindikasikan untuk dilakukan pemeriksaan HIV. Kecuali
imunokompeten gangguan, infeksi dermatofit akan menjadi kronis dan rekuren. ART
sudah pasti mengurangi terjadinya infeksi-infeksi ini, bahkan interaksi antara ART
dan antifungal tampak secara klinis menjadi kurang signifikan dibandingkan
penelitian sebelumnya.1
Lokasi lesi MK pada orang dewasa sering didaerah genital (penis, skrotum,
vulva dan perineum), pubis, abdomen bawah, paha bagian medial dan proximal, serta
26
bokong. Lesi pada anak sering pada wajah, batang tubuh, dan ekstremitas atas. Lesi di
telapak tangan, telapak kaki, dan selaput lendir jarang terjadi. Pada individu HIV
dewasa sering ditemukan lesi ekstragenital dan giant molluscum. Mayoritas lesi pada
wajah dan leher terutama di daerah bejanggut. Bila ditemukan pada pasien dewasa
dengan banyak lesi MK di wajah atau lesi ekstragenital, sebaiknya dilakukan skrining
infeksi HIV.3
Diagnosa MK secara klinis tidak terlalu sukar berdasarkan ciri khas lesi MK.
Pemeriksaan specimen material kaseosa dengan perwarnaan giemsa dapat ditemukan
badan inklusi intrasitoplasma eosinofilik. Pada kasus atipikal dapat dikonfirmasi
melalui pemeriksaan histopatologi, ditemukan gambaran patogmonik berupa sel
epithelial membesar dengan badan moluskum intrasitoplasma. Pendekatan diagnosis
lain adalah deteksi antigen VMK dengan pemeriksaan antibodi flouresen, partikel
virus dengan pemeriksaan mikroskop electron, dan DNA VMK dengan pemeriksaan
PCR.3
27
kuretase eksisi, pengeluaran inti lesi secara mekanik, krioterapi, dan bedah listrik.
Elektrofulgarasi dengan kuretase efektif untuk MK dengan lesi yang besar multiple
dan berkelompok.1,3
Untuk standar terapi pada kasus yang berulang, krim imiquimod 5% mungkin
efektif pada anak-anak dan orang dewasa. Topikal cidofovir merupakan analog
nukleutida dengan aktivitas menghambat DNA virus, juga dilaporkan manjur tetapi
belum tersedia secara komersial.1,11
28
kemudian berkembang dengan cepat menjadi plak dan nodul kecil, yang mana sering
sekali muncul di beberapa lokasi saat terjadi serangan penyakit dan memilliki
kecenderungan progresif sangat cepat. Sebaiknya pada beberapa varian KS, lesi awal
pada pasien AIDS sering berkembang pada wajah, khsusnya pada hidung, kelopak
mata, telinga, dan batang tubuh, dimana lesi mengikuti garis kulit yang normal. Jika
tidak diobati, penyebaran lesi KS AIDS dapat bergabung membentuk plak yang besar
termasuk bagian besar pada wajah, batang tubuh, atau ekstremitas hingga kerusakan
fungsi. Mukosa oral umumnya termasuk sering dan mewakili lokasi lesi awal sebesar
10%-15% pada KS AIDS. Keterlibatan faring tidak umum ditemukan dan
menyebabkan kesulitan makan, berbicara, dan bernapas.1,2
Keterlibatan ekstrakutaneus terjadi lebih cepat dan lebih dramatis pada pasien
dengan KS AIDS dibandingkan dengan KS Klasik. Selain mukosa oral, lesi KS
sangat sering ditemukan pada nodus limfatikus, traktus gastrointestinal, dan paru-
paru. Lesi KS memiliki predileksi pada lambung dan duodenum yang dapat
menyebabkan perdarahan dan ileus. Meskipun terlihat pada gastroskopi, lesi tersebut
terdiagnosa secara histologi karena lesi ini terletak di submukosa dan dapat muncul
pada biopsi forceps. KS pulmonal menyebabkan gejala pernapasan seperti
bronkospasme, batuk, dan insufisiensi respiratori progresif.1,2
Modalitas pengobatan untuk KS tergantung pada tipe klinis, lesi yang luas,
dan yang mana sistem organ juga termasuk. Selain bukti yang banyak tentang infeksi
dengan herpes virus onkogenik seperti HHV-8 memiliki peran penting pada
pathogenesis KS, obat antiherpetik hanya bersifat eksperimental atau percobaan.
Karena dalam beberapa tahun terakhir terjadinya KS AIDS telah meningkat lebih
tinggi daripada variasi klinis dan pasien AIDS dengan KS berproses dengan cepat dan
dapat mengakibatkan kematian.1
29
Gambar 16. Kaposi Sarkoma pada penderita AIDS.1
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manifestasi klinis kulit yang sering terjadi pada individu HIV/AIDS dapat
berupa dermatitis inflamasi (Dermatitis seboroik, PPE, psoriasis), infeksi oportunistik
(infeksi HPV, infeksi stafilokokus, infeksi Virus Herpes Simplex, infeksi Virus
Herpes zoster, infeksi candida, infeksi Dermatofit, dan Moluskum kontangiosum),
dan tumor berupa Sarkoma Kaposi.
Dalam penatalaksanaan pasien HIV dan AIDS perlu evaluasi tentang kelainan
kulit yang menyertainya, karena sebagian besar pasien HIV dan AIDS dalam
perjalanan penyakitnya mengalami kelainan kulit, bahkan lebih dari satu kelainan.
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis merupakan suatu
hal yang penting dan menentukan terapi kelainan kulit. Demikian juga pemeriksaan
hitung sel CD4 diperlukan selain untuk menetukan stadium klinis dan terapi ARV,
juga untuk memprediksi kelainan kulit yang kemungkinan muncul dan prognosis
pasien.
31
DAFTAR PUSTAKA
32
10. National Institute of Allergy and Infectious Disease. 2017. Treatment of HIV
infection. Available from: http://www.niaid.nih.gov/factsheet/treathiv.htm.
[Accessed 02th March 2018]
11. National HIV Curiculum. Cutaneous Manifestations. 2018;2-6,8-9,12-3,31-3,
45,51-2,56-7.
12. Buxton PK. ABC of dermatology,07th ed. London: BMJ Publishing Group;2003.
p.30.
13. Janniger CK, Bronze MS. 2017. Eosinophilic follicuitis. Available from: http:
https://emedicine.medscape.com/article/217266-overview#a6 [Accessed 18th
March 2018]
14. Lakshmi SJ, Rao GR, Ramalakshmi, Satyasree, Rao KA, Prasad PG, et al.
Pruritic papular eruptions of HIV: a clinicopathologic and therapeutic study. J
Dermatol Venereol Leprol. 2017;74(5):501-2.
15. Arista A, Murtiastutik D. Studi retrospektif: karakteristik papular pruritic
eruption pada pasien HIV/ AIDS. J FK UNAIR. 2014:209.
16. Soung J, Lebwohl M. Clinical presentation. In: Gordon KB, Ruderman EM.
Psoriasis and psoriatic arthritis. Germany: Springer;2005. p.67-8, 134-5.
17. Zervou FN, Zacharioudakis IM, Ziakas PD, Rich JD, Mylonakis E. Prevalence of
and risk factors for methicillin-resistant Staphylococcus aureus colonization in
HIV infection: a meta-analysis. Clin Infect Dis. 2014;59:1310.
18. Hidron AI, Kempker R, Moanna A, Rimland D. Methicillin-resistant
staphylococcus aureus in HIV-infected patients. J Drovepress. 2010;3:77,79.
19. Liu C, Bayer A, Cosgrove SE, Cosgrove SE, Daum RS, Fridkin SK, et al.
Clinical practice guidelines by the infectious diseases society of america for the
treatment of methicillin-resistant Staphylococcus aureus infections in adults and
children. Clin Infect Dis. 2011;52:286.
20. Tan DH, Raboud JM, Kaul R, Walmsley SL. Antiretroviral therapy is not
associated with reduced herpes simplex virus shedding in HIV coinfected adults:
an observational cohort study. BMJ Open. 2014;4:7.
33
21. Haddow LJ, Dave B, Mindel A, et al. Increase in rates of herpes simplex virus
type 1 as a cause of anogenital herpes in western Sydney, Australia, between
1979 and 2003. Sex Transm Infect. 2006;85:416.
22. Ryder N, Jin F, McNulty AM, Grulich AE, Donovan B. Increasing role of herpes
simplex virus type 1 in first-episode anogenital herpes in heterosexual women
and younger men who have sex with men, 1992-2006. Sex Transm Infect.
2009:85.
23. Bernstein DI, Bellamy AR, Hook EW 3rd, et al. Epidemiology, clinical
presentation, and antibody response to primary infection with herpes simplex
virus type 1 and type 2 in young women. Clin Infect Dis. 2013;56:349.
24. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’ disease of the skin clinical
dermatology. China: Saunders Elsevier;2011.p.372,374.
34