Anda di halaman 1dari 57

Laporan Kasus

Paraparese inferior et causa Fracture Compressions VTH 10

Oleh:
Dwiyan Rizki Aulia S. Ked
NIM.1830912310111

Pembimbing:
dr. H. Among Wibowo, M. Kes, Sp.S

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
AGUSTUS, 2019
DAFTAR ISI

1. HALAMAN JUDUL …………………………………………………… 1

2. DAFTAR ISI……………………………………………………………. 2

3. BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………… 3

4. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA………………………………………. 5

5. BAB III: DATA PASIEN………………………………………………. 31

6. BAB IV: PEMBAHASA……………………………………………….. 52

7. BAB V: PENUTUP…………………………………………………….. 54

8. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….. 56

2
BAB I

PENDAHULUAN

Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan

lower motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan

kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di

korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau

kornu anterior. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok

UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan

piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus

kortikobulbar fungsinya untuk geraakan-gerakan otot kepala dan leher,

sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh

dan anggota gerak. Sedangkan lower motor neuron (LMN), yang merupakan

kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari

otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.1

Medulla spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung

ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk

oleh tulang vertebra. Medulla spinalis berawal dari tulang occipital dan

melewati foramen magnum dan masuk ke kanalis spinalis dan berakhir di

vertebra lumbalis, pada laki-laki panjang medulla spinalis 45 cm pada

perempuan 43 cm.2

. Medula spinalis terdiri atas traktus ascenden (yang membawa informasi

di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi)

3
dan traktus descenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota gerak

dan mengontrol fungsi tubuh)1

Paraparese adalah terjadinya gangguan antara kedua anggota gerak tubuh

bagian bawah . Hal ini terjadi karena adanya defek antara sendi facet superior

dan inferior (pars interartikularis). paraparese adalah adanya defek pada pars

interartikularis tanpa subluksasi korpus vertebrata. paraparese terjadi pada 5%

dari populasi. Kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala atau gejalanya

hanya minimal, dan sebagian besar kasus dengan tindakan konservatif

memberikan hasil yang baik. paraparese dapat terjadi pada semua level

vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata lumbal bagian

bawah.3

Kasus ini dapat ditemui pada pasien rawat inap di RSUD Ulin

Banjarmasin, sehingga penulis tertarik untuk melaporkan satu kasus Paraparese

inferior et causa Fracture Compressions VTH 10 pada seorang pasien

perempuan berusia 54 tahun yang dirawat inap di RSUD Ulin Banjarmasin

pada bulan Agustus 2019.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Paraparese

1. Definisi

Paraparesis merupakan lesi intraspinal setinggi atau dibawah level

medulla spinalis thorakalis dengan deficit sensoris yang dapat diidentifikasi

setinggi dermatom medulla spinalis yang terkena lesi. Paraparesis juga

dapat berasal dari lesi pada lokasi lain yang mempengaruhi UMN (terutama

lesi parasagital dan hidrocepalus) dan LMN (lesi pada cornu anterior, kauda

equina, dan neuropati perifer)

2. Epidemiologi

Dalam kasus cidera pada tulang vertebra sekitar 70% karena trauma

dan kurang lebih setengahnya termasuk cedera pada vertebra , sekitar 50%

dari kasus trauma dikarenakan oleh kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan

industri sekitar 26%, kecelakaan dirumah sekitar 10%. Mayoritas dari kasus

trauma ditemukan adanya fraktur atau dislokasi, kurang dari 25% hanya

fraktur saja

3. Etiologi

Paraparesis akut (lebih sering terjadi pada hitungan hari daripada


hitungan jam atau minggu) merupakan permasalahan dalam diagnosis.
Terjadinya nyeri punggung dan adanya refleks tendon atau tanda-tanda lesi
upper motor neuron (tabel. 2) berarti telah munculnya lesi kompresif.4

5
Tabel 2. Tanda-tanda lesi Upper Motor Neuron6
Karakteristik Upper Motor Neuron (UMN)
Jenis dan Lesi di otak: “distribusi piramidalis” yaitu bagian
distribusi distal terutama otot-otot tangan; ekstensor lengan
kelemahan dan fleksor tungkai lebih lemah.
Lesi di medula spinalis: bervariasi, bergantung lokasi
lesi.
Tonus Spastisitas: lebih nyata pada fleksor lengan dan
ekstensor tungkai
Massa otot Hanya sedikit mengalami disuse atrophy
Refleks fisiologis Meninggi
Refleks patologis Ada
Fasikulasi Tidak ada
Klonus Seringkali ada

Berdasarkan umur, populasi lebih tua, penyebab terseringnya


adalah metastase tumor. Pada anak-anak atau dewasa muda, sindrom ini
lebih tidak menyenangkan karena disertai dengan nyeri yang penyebab
terseringnya adalah mielitis transversa akut. Pada anak-anak dan dewasa,
selain gangguan motorik, timbul pula gangguan sensorik. MRI spinal atau
mielografi diperlukan sebagai diferensiasi. Pada orang tua, kasus akut
paraplegia pada spinal cord jarang terjadi. Sindrom tersebut biasanya
terjadi setelah operasi klem aorta.4
Jika refleks tendon hilang disertai tidak adanya sensorik pada
pasien dengan paraparesis akut maka kasus yang sering terjadi adalah
sindrom Guillain Barre. Ini terjadi pada semua umur. Hilangnya sensorik
merupakan gejala yang mengarah ke diagnosis sindrom Guillain Barre
namun, kadang-kadang tidak selalu demikian. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan CSF dan elektromiografi (EMG). Pada negara
berkembang, akut paralisis poliomyelitis juga merupakan penyebab akut
paraplegia.4

6
Episode rekuren paraparesis biasanya disebabkan oleh adanya
multiple sklerosis atau adanya malformasi vascular medulla spinalis.5
Kelainan akut pada medulla spinalis dengan deficit UMN
biasanya menunjukkan gejala inkontinensia, hilangnya sensoris dari
ekstremitas bawah yang menjalar kearah rostral tubuh setinggi dermatom
medulla spinalis yang terkena lesi, tonus otot bersifat flaccid dan reflex
tendon menghilang, pada beberapa kasus, penegakan diagnosis didasarkan
pada pencitraan radiologis pada medulla spinalis.5
Kelainan-kelainan UMN tersebut dapat berupa:5
1. Lesi kompresif (seperti tumor epidural, abscess, ataupun
hematoma)
2. Infark medulla spinalis (propriosepsi biasanya terganggu)
3. Fistula arteriovenous atau kelainan vaskular lainnya (trombosis
arteri spinalis anterior)5
4. Mielitis transversa
Kelainan pada hemisfer serebral yang dapat menyebabkan
paraparesis akut yakni anterior cerebral artery ischemia (reflex
mengangkat bahu dapat terganggu), superior sagittal sinus atau cortical
venous thrombosis, dan acute hydrocephalus. Jika tanda UMN disertai
adanya drowsiness, confusion, seizures, atau tanda hemisferik lainnya
tanpa adanya gangguan sensoris maka penegakan diagnosis dimulai
menggunakan MRI otak. Paraparesis merupakan bagian dari sindrom
kauda equine yang dapat disebabkan oleh trauma pada punggung bawah,
HNP, dan tumor intraspinal.5
Meskipun jarang paraparesis dapat disebabkan oleh neuropati
perifer yang berkembang dengan cepat seperti pada Sindrom Guillain-
Barre atau oleh miopati dan pada kasus ini studi elektrofisiologis dapat
membantu penegakan diagnosa.6
4. Klasifikasi

Pembagian paraparese berdasarkan kerusakan topisnya :


a. Paraparese spastik

7
Parapeaese spastik terjadi kerusakan yang mengenai upper
motor neuron (UMN), sehingga menyebabkan peningkatan
tonus otot atau hipertoni.
b. Paraparese Flaksid
Paraparese flaksid terjadi karena krusakan yang mengenai lower
motor neuron (LMN), sehingga menyebabkan penurunan tonus
otot atau hipotoni.
5. Manifestasi Klinis

Kelumpuhan UMN dicirikan oleh tanda – tanda khas disfungsi susunan UMN
adalah :
1. Tonus otot meninggi atau hipertonia
Gejala ini terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik
tambahan terhadap inti – inti intrinsik medula spinalis. Hipertonia adalah
ciri khas bagi disfungsi komponen ekstrapiramidal susunan UMN.
Hipertonia tidak akan bangkit, bahkan tobus otot menurun, jika lesi
paralitik merusak hanya korteks motorik primer saja. Lesi hipertonia
menjadi jelas apabila korteks motorik tambahan ( area 6 dan 4 ) ikut
terlibat dalam lesi. Lesi paralitik yang menganggu piramidal juga pasti
akan menganggu ekstrapiramidal. Lesi di kapsula interna menganggu
serabut – serabut kortikobulbar/spinal dan juga serabut frontopontin,
temporo parietopontin berikut serabut – serabut striatal utama. Hal itu
menggambarkan bahwa komponen piramidal dan ekstrapiramidal akan
mengalami gangguan bersama. Hal ini terjadi karena lintasan piramidal
dan ekstrapiramidal berada di kawasan yang sama yaitu pendukulus
serebri, pes pontis, dan funikulus posterolateral/sulkomarginal.
Hipertonia yang diiringi kelumpuhan pada UMN tidak melibatkan
semua otot skeletal, melainkan otot fleksor seluruh lengan serta otot
abduktor bahu dan pada tungkai selurug otot ekstensornya serta otot
plantar flexi.
Tergantung dalam jumlah serabut penghantar impuls ekstrapiramidal dan
piramidal yang terkena gangguan, anggota gerak yang lumpuh dapat

8
memperlihatkan hipertonia dalam posisi fleksi atau ekstensi. Hal ini terjadi
pada kelumpuhan UMN yang melanda bagian bagian bawah (paraplegi)
akibat oleh karena lesi transversal di medula spinalis di atas intumensensia
lumbosakralis.
Apabila paraplegi yang disebabkan oleh lesi yang terutama merusak
serabut penghantar impuls piramidal saja, maka parapleginya hanya
menunjukkan hipertonia dalam posisi ekstensi. Apabila jumlah serabut
penghantar impuls ekstrapiramidal (serabut retikulospinalis dan
vestibulospinalis) ikut terlibat dalam lesi, maka paraplegi dalam posisi
fleksi.
2. Hiperfleksia
Pada kerusakan UMN refleks tendon lebih peka daripada keadaan biasa
(normal). Dalam hal ini gerak otot bangkit secara berlebihan, walaupun
rangsangan tendon sangat lemah. Hiperfleksia merupakan keadaan setelah
impuls inhibisi dari susunan piramidal dan ekstrapiramidal tidak dapat
disampaikan motorneuron. Refleks tendon merupakan refleks spinal yang
bersifat segmental. Ini berarti bahwa lengkung refleks disusun oleh neuron
– neuron yang berada di satu segmen. Tetapi ada juga gerak reflektorik,
yang lengkung refleks segmentalnya berjalin dengan lintasan – lintasan
UMN yang ikut mengatur efektornya. Hal ini dijumpai pada refleks kulit
dinding perut. Pada refleks tersebut menghilang atau menurun.
3. Klonus
Hiperfleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot
reflektorik, yang bangkit secara berulang – ulang selama perangsangan
masih berlangsung. Pada lesi UMN kelumpuhannya disertai klonus kaki
dan klonus lutut.
4. Refleks Patologis
Pada kerusakan UMN dapat ditemukannya refleks patologis. Tetapi
mekanisme timbulnya refleks patologis masih belum jelas.
5. Tidak ada atrofi pada otot – otot yang lumpuh

9
Motor neuron dengan sejumlah serabut – serabut otot yang disarafinya
menyusun satu kesatuan motorik. Kesatuan fisiologik ini mencakup
hubungan timbali balik antara kehidupan motorneuron dan serabut oto
yang disarafinya. Runtuhnya motorneuron akan disusul dengan kerusakan
serabut – serabut saraf motoriknya. Oleh karena itu otot yang terkena akan
menjadi atrofi. Dalam hal kerusakan UMN, motorneuron tidak dilibatkan.
Oleh karena itu otot – otot yang lumpuh karena lesi UMN tidak akan
memperlihatkan atrofi. Namun demikian, otot yang lumpuh masih dapat
mengecil, bukan karena serabut – serabut yang musnah akan tetapi
dikarenakan otot tersebut tidak digunakan yang dikenal disuse atrophy.
6. Refleks automatisme spinal
Jika motorneuron tidak mempunyai hubungan dengan korteks motorik
primer dan korteks motorik tambahan, bukan berarti tudak berdaya
menggerakkan otot. Otot masih dapat digerakkan oleh rangsang yang
datang dari bagian susunan saraf pusat dibawah tingkat lesi yang
dinamakan sebagai gerakan refleks automatism spinal. Pada penderita
paraplegi akibat lesi transversal di medula spinalis atas, dapt dijumpai
kejang fleksi lutut sejenak padahal kedua tungkai lumpuh, apabila
penderita terkejut. Tanda – tanda kelumpuhan UMN tersebut di atas dapat
seluruhnya atau sebagian saja ditemukan pada tahap kedua masa setelah
terjadinya lesi UMN.
6. Diagnosis

1. Anamnesa

2. Pemeriksaan fisik secara komprehensif pada pasien dengan Paraparesis

inferior meliputi evaluasi sistem neurologi dan muskuloskeletal.

Pemeriksaan meliputi pemeriksaan motorik, sensorik, reflek, dan tes

kekuatan tonus.

10
7. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium:

Pada pemeriksaan laboratorium laju endap darah (LED), kadar Hb,

jumlah leukosit dengan hitung jenis, dan fungsi ginjal.

2. Pungsi Lumbal (LP) :

Hasil pemeriksaan terlihat albumin yang sedikit meninggi sampai dua

kali level normal.

3. Pemeriksaan Radiologis :

1. X-Ray spine
- Dilakukan X-Ray spine dengan permintaan lateral dan oblique
- Tanda degenerasi dari spine adalah :
a. Reduksi dari ruang intervertebralis
b. Penyempitan foramen intravertebralis
c. Formasi osteofit
d. Pelebaran jarak antara pendukular ditemukan lesi intradural
2. Myelogram
3. CT-Sca
4. CSF analisis
8. Pengobatan

1. Medikamentosa : analgetik, dan kortikosteroid oral

2. Fisioterapi

a. elektro Stimulus

1) Akupunktur: Menggunakan jarum untuk memproduksi

rangsangan yang ringan tetapi cara ini tidak terlalu efisien

11
karena ditakutkan resiko komplikasi akibat ketidaksterilan

jarum yang digunakan sehingga menyebabkan infeksi.

2) Ultra Sound: untuk menghangatkan

3) Radiofrequency Lesioning: dengan menggunakan impuls

listrik untuk merangsang saraf

4) Spinal Endoscopy: dengan memasukkan endoskopi pada

kanalis spinalis untuk memindahkan atau menghilangkan

jaringan scar.

5) Percutaneous Electrical Nerve Stimulation (PENS)

6) Elektro Thermal Disc Decompression

7) Trans Cutaneous Electrical Nerve Stimulation ( TENS )

8) Traction: helaan atau tarikan pada badan (punggung) untuk

kontraksi otot.

3. Alat Bantu

a. Back corsets

b. Tongkat Jalan

4. Operasi

B. Spinal Cord Injury

A. Anatomi Vertebra

Vertebra adalah pilar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan

melindungi medulla spinalis. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang

yang tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal

(vertebra servikalis), 12 ruas tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas

12
tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral yang menyatu

(vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea).

Gambar 2.1. Anatomi Tulang Belakang

Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok

nervus spinalis, yaitu :

a.. Nervus servikal : berperan dalam pergerakan dan perabaan pada lengan,

leher, dan anggota tubuh bagian atas.

b.Nervus thorak : mempersarafi tubuh dan perut

c. Nervus lumbal dan nervus sacral : mempersarafi tungkai, kandung

kencing, usus dan genitalia. kencing, usus dan genitalia.

13
Gambar 2.2. Hubungan antara vertebra dan nervus spinalis

Secara umum struktur tulang belakang terdiri dari:

1. Corpus / body

2. Pedikel

3. Prosessus artikularis superior dan inferior

4. Prosessus transversus

5. Prosessus spinosus

Gambar 2.3. Vertebra

14
Diantara vertebra ditemui discus intervertebralis (Jaringan

fibrokartillagenous), yang berfungsi sebagai shock absorber. Dikus ini

terdiri dan bagian:

1. Luar: jaringan fibrokartillago yang disebut anulus flbrosus.

2. Dalam: nukleus pulposus.

Pada setiap vertebra ada 6 jaringan ikat sekitarnya:

1. Ligamentum longitudinale anterior (membatasi gerakan ektensi).

2. Ligamentum longitudinale posterior (membatasi gerakan fleksi).

3. Ligamentum kapsulare, antara proc sup dan interior.

4. Ligamentum intertransversale.

5. Ligamentum flavum.

6. Ligamentum supra dan interspinosus.

Gambar 2.3. Sendi dan Ligamen Kolumna Vertebra

Medulla spinalis berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa

saraf yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area

tubuh. Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin

15
luas trauma yang diakibatkan. Misal, jika kerusakan saraf tulang

belakang di daerah leher, hal ini dapat berpengaruh pada fungsi di

bawahnya dan menyebabkan seseorang lumpuh pada kedua sisi mulai

dari leher ke bawah dan tidak terdapat sensasi di bawah leher. Kerusakan

yang lebih rendah pada tulang sakral mengakibatkan sedikit kehilangan

fungsi.

B. Fisiologi Sistem Saraf

Susunan neuromuskular terdiri dari Upper Motor Neuron (UMN) dan

Lower Motor Neuron (LMN). UMN merupakan kumpulan saraf-saraf

motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik

cerebrum sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak sampai

cornu anterior medulla spinalis. Berdasarkan perbedaan anatomic dan

fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan pyramidal dan susunan

ekstrapiramidal. Susunan pyramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan

traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk gerakan-

gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya

untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan lower

motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf motoric yang

berasal dari cornu anterior medulla spinalis sampai efektor dilanjutkan ke

berbagai otot dalam tubuh seseorang

16
Gambar 2.3. Upper Motor Neuron dan Lower Motor Neuron

C. Mekanisme Cedera

Pada cedera tulang belakang, mekanisme cedera yang mungkin adalah:

1. Hiperekstensi (kombinasi distraksi dan ekstensi)

Hiperekstensi jarang terjadi di daerah torakolumbal tetapi

sering pada leher. Ligamen anterior dan diskus dapat rusak atau

arkus saraf mungkin mengalami fraktur. Cedera ini stabil karena

tidak merusak ligamen posterior. 7

17
Gambar 2.4. Hiperextension injury

2. Fleksi

Trauma ini terjadi akibat fleksi dan disertai kompresi pada

vertebra. Vertebra akan mengalami tekanan dan remuk yang

dapat merusak ligamen posterior. Jika ligamen posterior rusak

maka sifat fraktur ini tidak stabil.

Gambar 2.5. Flexion distraction injury

3. Fleksi dan kompresi digabungkan dengan distraksi posterior

Kombinasi fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi

posterior dapat mengganggu kompleks vertebra pertengahan, di

18
samping kompleks posterior. Berbeda dengan fraktur kompresi

murni, keadaan ini merupakan cedera tak stabil dengan risiko

progresi yang tinggi.

4. Pergeseran aksial (kompresi)

Kekuatan vertikal yang mengenai segmen lurus pada spina

servikal atau lumbal akan menimbulkan kompresi aksial. Nukleus

pulposus akan mematahkan lempeng vertebra dan menyebabkan

fraktur vertikal pada vertebra, dengan kekuatan yang lebih besar,

bahan diskus didorong masuk ke dalam badan vertebral, menyebabkan

fraktur remuk (burst fracture). Karena unsur posterior utuh,

keadaan ini didefinisikan sebagai cedera stabil. Fragmen tulang

dapat terdorong ke belakang ke dalam kanalis spinalis dan

inilah yang menjadikan fraktur ini berbahaya, kerusakan

neurologik sering terjadi.

Gambar 2.6. Fraktur kompresi

19
5. Rotasi-fleksi

Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat

kombinasi fleksi dan rotasi. Ligamen dan kapsul sendi teregang

sampai batas kekuatannya, kemudian dapat robek, permukaan

sendi dapat mengalami fraktur atau bagian atas dari satu

vertebra dapat terpotong. Akibat dari mekanisme ini adalah

pergeseran atau dislokasi ke depan pada vertebra di atas, dengan

atau tanpa kerusakan tulang.

6. Translasi Horizontal

Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas atau bawah

dapat bergeser ke anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat tidak

stabil dan sering terjadi kerusakan syaraf.

Gambar 2.7. Translational injury

D. Klasifikasi Trauma Vertebra

Berdasarkan mekanisme cederanya, dapat dibagi menjadi:

1. Fraktur kompresi (Wedge fractures)

20
Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang

tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah

fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini

dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan

posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis

dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian

membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya

mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur

kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran

vertebra sebenarnya.

Gambar 2.8. Fraktur kompresi

2. Fraktur remuk (Burst fractures)

Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis

secara langsung, dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang

berpotensi masuk ke kanalis spinalis. Terminologi fraktur ini adalah

menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang disebabkan

21
adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. Tepi

tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla

spinalis untuk cedera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke

medulla spinalis dan dapat menekan medulla spinalis dan

menyebabkan paralisis atau gangguan syaraf parsial. Tipe burst

fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi

paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis

burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk

mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut

merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi.

Biasanya dengan scan MRI, fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi

trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen dan adanya perdarahan.

Gambar 2.9. Burst fracture

22
3. Fraktur dislokasi

Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena

kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan

sehingga sangat tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya.

Gambar 2.9. Fraktur dislokasi

E. Cedera Medulla Spinalis

1. Antara Vertebra Th I dan Th X

Segmen korda lumbal pertama pada orang dewasa berada pada

tingkat vertebra T10. Akibatnya, transeksi korda pada tingkat itu akan

menghindarkan korda toraks tetapi mengisolasikan seluruh korda,

lumbal dan sakral, disertai paralisis tungkai bawah dan visera. Akar

toraks bagian bawah juga dapat mengalami transeksi tetapi tak banyak

pengaruhnya.

2. Di Bawah Vertebra Th X

Korda membentuk suatu tonjolan kecil (konus medularis) di

antara vertebra T I dan LI, dan meruncing pada ruang di antara vertebra

LI dan L2. Akar saraf L2 sampai S4 muncul dari konus medularis dan

23
beraturan turun dalam suatu kelompok (cauda equina) untuk muncul

pada tingkat yang berurutan pada spina lumbosakral. Karena itu, cedera

spinal di atas vertebra T10 menyebabkan transeksi korda, cedera di

antara vertebra T10 dan LI dapat menyebabkan lesi korda dan lesi

akar saraf, dan cedera di bawah vertebra Ll hanya menyebabkan lesi

akar saraf. Akar sakral mempersarafi:

a) sensasi dalam daerah "pelana", suatu jalur di sepanjang bagian

belakang paha dan tungkai bawah, dan dua pertiga sebelah luar

telapak kaki

b) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pergelangan kaki dan

kaki

c) refleks anal dan penis, respons plantar dan refleks pergelangan kaki

pengendalian kencing.

Akar lumbal mempersarafi:

a) sensasi pada seluruh tungkai bawah selain bagian yang dipasok

oleh segmen sakral

b) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pinggul dan lutut

refleks kremaster dan refleks lutut.

Bila cedera tulang berada pada sambungan torakolumbal, penting

untuk membedakan antara transeksi korda tanpa kerusakan akar saraf

dan transeksi korda dengan kerusakan akar saraf. Pasien tanpa

kerusakan akar saraf jauh lebih baik.7

24
3. Lesi Korda Lengkap

Paralisis lengkap dan tidak ada sensasi di bawah tingkat cedera

menunjukkan transeksi korda. Selama stadium syok spinal, bila tidak

ada refleks anal (tidak lebih dari 24 jam pertama) diagnosis tidak

dapat ditegakkan dan jika refleks anal pulih kembali dan defisit saraf

terus berlanjut, lesi korda bersifat lengkap. Setiap lesi korda lengkap yang

berlangsung lebih dari 72 jam tidak akan sembuh.

4. Lesi Korda Tidak Lengkap

Adanya sisa sensasi apapun di bagian distal cedera (uji

menusukkan peniti di daerah perianal ) menunjukkan lesi tak lengkap

sehingga prognosis baik. Penyembuhan dapat berlanjut sampai 6

bulan setelah cedera. Penyembuhan paling sering terjadi pada sindroma

korda centra. Di bawah vertebra Th X, diskrepansi antara tingkat

neurologik dan tingkat rangka adalah akibat transeksi akar yang turun

dari segmen yang lebih tinggi dari lesi korda.

Tabel 2. Incomplete Cord Syndromes

Sindrom Deskripsi

Anterior cord Lesi yang mengakibatkan hilangnya fungsi motorik

dan sensitivitas terhadap nyeri, temperature namun

fungsi propioseptif masih normal

Brown-Sequard Proposeptif ipsilateral normal, motorik hilang dan

kehilangan sensitivitas nyeri dan temperatur pada

25
sisi kontralateral

Central cord Khusus pada regio sentral, anggota gerak atas lebih

lemah dibanding anggota gerak bawah

Dorsal cord Lesi terjadi pada bagian sensori terutama

(posterior cord) mempengaruhi propioseptif

Conus Cedera pada sacral cord dan nervus lumbar dengan

medullaris kanalis neuralis ; arefleks pada vesika urinaria,

pencernaan dan anggota gerak bawah

Cauda equina Cedera pada daerah lumbosacral dengan kanalis

neuralis yang mengakibatkan arefleksia vesika

urinaria, pencernaan dan anggota gerak bawah

Grading system pada cedera medulla spinalis :

1. Klasifikasi Frankel :

Grade A : motoris (-), sensoris (-)

Grade B : motoris (-), sensoris (+)

Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)

Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)

Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+) 8

2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)

Tabel 3. ASIA Impairment Scale

Grade Description

A Lengkap: tidak ada sensorik maupun motorik dibawah

26
level defisit neurologi

B Tidak lengkap : sensorik baik namun motorik nya menurun

di bawah level defisit neurology

C Tidak lengkap : sensorik baik dan fungsi motorik dibawah

defisit neurology memiliki kekuatan otot dibawah 3

D Tidak lengkap : sensorik baik namun kekuatan otot

motoriknya lebih dari 3 atau sama dengan 3

E Fungsi sensorik dan motorik normal

F. Diagnosis dan Pemeriksaan

Diagnosis klinik adanya fraktur thorakolumbal didapatkan melalui

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Setiap pasien

dengan cedera tumpul diatas klavikula, cedera kepala atau menurunnya

kesadaran, harus dicurigai adanya cedera cervical sebelum curiga

lainnya. Dan setiap pasien yang jatuh dari ketinggian atau dengan

mekanisme kecelakaan high-speed deceleration harus dicurigai ada

cedera thoracolumbal. Selain itu patut dicurigai pula adanya cedera

medulla spinalis, jika pasien datang dengan nyeri pada leher, tulang

belakang dan gejala neurologis pada tungkai. Pemeriksaan penunjang

yang perlu dilakukan:

1. Roentgenography: pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang

vertebra, untuk melihat adanya fraktur ataupun pergeeseran pada

vertebra.

27
2. Computerized Tomography : pemeriksaan ini sifatnya membuat

gambar vertebra 2 dimensi

3. Magnetic Resonance Imaging: pemeriksaan ini menggunakan

gelombang frekuensi radio untuk memberikan informasi detail

mengenai jaringan lunak di daerah vertebra. Gambaran yang akan

dihasilkan adalah gambaran 3 dimensi . MRI sering digunakan untuk

mengetahui kerusakan jaringan lunak pada ligament dan discus

intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis

G. Tatalaksana

Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan mengatasi nyeri dan

stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi, tergantung

dari tipe fraktur.

1. Braces & Orthotics

Ada tiga hal yang dilakukan yakni,

a. mempertahankan kesejajaran vertebra (alignment)

b. imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan

c. mengatasi rasa nyeri yang dirasakan dengan membatasi pergerakan.

Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi, sebagai

contoh; brace rigid collar (Miami J) untuk fraktur cervical, cervical-

thoracic brace (Minerva) untuk fraktur pada punggung bagian atas,

thoracolumbar-sacral orthosis (TLSO) untuk fraktur punggung

bagian bawah. Fraktur pada leher yang sifatnya tidak stabil ataupun

28
mengalami dislokasi memerlukan traksi, halo ring dan vest brace

untuk mengembalikan kesejajaran.3

Gambar 13. TLSO

2. Pemasangan alat dan proses penyatuan (fusion).

Teknik ini adalah teknik pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak

stabil. Fusion adalah proses penggabungan dua vertebra dengan adanya

bone graft dibantu dengan alat-alat seperti plat, rods, hooks dan pedicle

screws.

3. Vertebroplasty & Kyphoplasty

Tindakan ini adalah prosedur invasi yang minimal. Pada prinsipnya

teknik ini digunakan pada fraktur kompresi yang disebabkan

osteoporosis dan tumor vertebra. Pada vertebroplasti bone cement

diinjeksikan melalui lubang jarum menuju corpus vertebra sedangkan

pada kypoplasti, sebuah balon dimasukkan, dikembungkan untuk

melebarkan vertebra yang terkompresi sebelum celah tersebut diisi

dengan bone cement.8

29
Gambar 14. Vertebroplasty & Kyphoplasty

Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi :

1. Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup,

kateterisasi dan evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu

2. Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia setiap

dua hari

3. Monitoring cairan masuk dan cairan yang keluar dari tubuh

4. Nutrsi dengan diet tinggi protein secara intravena

5. Cegah dekubitus

6. Fisioterapi untuk mencegah kontraktur

30
BAB III

DATA PASIEN

I. DATA PRIBADI

Nama : Ny. R

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 54 Tahun

Bangsa : Indonesia

Suku : Dayak

Agama : kristen

Pekerjaan : pedagang

Status : Menikah

Alamat : Jalan Pangeran Antang kalang induk no 80A

Palangkaraya

MRS : 5 Juli 2019

No. RMK : 0 99 84 79

II. ANAMNESIS

Sumber : Anamnesis dengan pasien dan suami pasien

Keluhan Utama : Kelemahan pada daerah ekstremitas inferior

Perjalanan Penyakit :

Pasien dating ke IGD pada jam 11.00 pada tanggal 5 agustus 2019

dengan keluhan kelemahan pada kedua kaki, kaki kiri dan kaki kanan pasien

tidak dapat digerakkan. Keluhan awalnya muncul sejak pagi 4 agustus 2019

31
saat bangun tidur pasien merasakan kesemutan seperti kram pada kedua

tungkai kaki, lalu pasien mencoba menggerak-gerakan kaki, saat pasien

mencoba berdiri, pasien merasa kelemahan pada kaki. Saat hari minggu ketika

pasien pergi ke pasar tiba-tiba jatuh ke pasir dengan posisi bertopang oleh lutut

dan kedua telapak tangan. Sehabis jatuh pasien masih bias langsung berdiri dan

berjalan dengan normal, namun pasien mengeluhkan mulai terasa nyeri pada

bagian lutut hingga ujung jempolnya namun rasa sakit hanya biasa-biasa saja,

namun rasa sakit semakin memberat dan pasien mulain meminum obat

meloksikam dan menggunakan salep esper karena mengira itu dikarenakan

asam uratnya tinggi. Keluhan pusing, sakit kepala mual dan muntah di sangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien mengaku tidak pernah terjatuh, pasien 5 tahun yang lalu di diagnose

menderita ca mamae namun menurut pengakuan pasien sembuh. Sejak tahun

2013 pasien mengeluhkan asam urat, pasien hanya meminum obat asam

uratnya kalau dirasakan keluhan muncul,. Riwayat hipertensi tidak terkontrol.

riwayat diabetes mellitus, stroke disangkal. Sebelumnya pasien tidak pernah

mengalami keluhan serupa

Riwayat Penyakit Keluarga:

Keluarga pasien menyatakan tidak memiliki riwayat keluhan yang sama.

riwayat hipertensi(+), kanker(+) kakak pasien, diabetes mellitus, dan stroke

dalam keluarga disangkal.

32
Kebiasaan : Pasien memiliki pekerjaan sebagai pedagang dan setiap hari

mengangat barang-barang.

III. STATUS INTERNA ( 5 agustus 2019)

Keadaan Umum : Keadaan sakit : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Composmentis
GCS : E4V5M6 Tensi : 160/110 mmHg
Nadi : 96 Kali/Menit, Reguler, Kuat angkat
Respirasi : 22 kali/menit
Suhu : 36,8 ºC
SpO2 : 98% tanpa supplementasi O2
Kepala/Leher :

- Mata : Kongjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-),

pupil bulat-isokor ukuran 3mm. RCL(+/+), RCTL (+/+)

- Mulut : Mukosa bibir cukup lembab, tidak ada deviasi lidah

- Leher : KGB tidak membesar

Thoraks

- Pulmo : Bentuk dan pergerakan simetris, wheezing (-/-), Rh (-/-)

- Cor : S1 - S2 tunggal, murmur (-)

Abdomen : Tampak datar, hepar, lien dan massa tidak teraba,

perkusi timpani seluruh lapang abdomen, bising usus

normal

Ekstremitas : Tidak ada atropi kanan kiri, edema (-/-),

lateralisasi anggota gerak tidak ditemukan

IV. STATUS PSIKIATRI

Emosi dan Afek : Sesuai

33
Proses Berfikir : Tidak Terganggu

Kecerdasan : Sesuai tingkat pendidikan

Penyerapan : Baik

Kemauan : Baik

Psikomotor : Normoaktif

V. STATUS NEUROLOGIS

A. Kesan Umum:

Kesadaran : Composmentis, E4 V5 M6

Pembicaraan : Disartria : tidak ada

Monoton : tidak ada

Scanning : dalam batas normal

Afasia : Motorik : tidak ada

Sensorik : tidak ada

Anomik : tidak ada

Kepala:

Besar : normal

Asimetri : tidak ada

Tortikolis : tidak ada

Wajah:

Mask/topeng : tidak ada

Miophatik : tidak ada

Fullmoon : tidak ada

34
B. Pemeriksaan Khusus

1. Rangsangan Selaput Otak dan Tes Provokasi

Kaku Kuduk : (-)

Kernig : (-)/(-)

Laseque : (-)/(-)

Bruzinski I : (-)/(-)

Bruzinski II : (-)/(-)

Bruzinski III : (-)/(-)

Bruzinski IV : (-)/(-)

2. Saraf Otak

Kanan Kiri

N. Olfaktorius (-) (-)

Hyposmia (-) (-)

Parosmia (-) (-)

Halusinasi (-) (-)

N. Optikus

Visus (dalam batas normal) (dalam batas

normal)

Kanan Kiri

Funduskopi (tdl) (tdl)

35
N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abducens

Kedudukan bola mata : Tengah Tengah

Pergerakan bola mata ke

Nasal : dalam batas normal dalam batas normal

Temporal : dalam batas normal dalam batas normal

Atas : dalam batas normal dalam batas normal

Bawah : dalam batas normal dalam batas normal

Lateral bawah : dalam batas normal dalam batas normal

Eksopthalmus : Tidak ada Tidak ada

Celah mata (Ptosis) : Tidak ada Tidak ada

Pupil

Bentuk : Bulat Bulat

Lebar : 3 mm 3 mm

Perbedaan lebar : Isokor Isokor

Reaksi cahaya langsung : (+) (+)

Reaksi cahaya konsensuil : (+) (+)

N. Trigeminus

Cabang Motorik

Otot Maseter : (+) (+)

36
Otot Temporal : (+) (+)

Otot Pterygoideus Int/Ext: (+) (+)

Kanan Kiri

Cabang Sensorik

I. N. Oftalmicus : Normal Normal

II. N. Maxillaris : Normal Normal

III. N. Mandibularis : Normal Normal

Refleks kornea : + +

N. Facialis

Waktu Diam

Kerutan dahi : Simetris

Tinggi alis : Simetris

Sudut mata : Simetris

Lipatan nasolabial : Simetris

Waktu Gerak

Mengerutkan dahi : Sama Tinggi

Menutup mata : Normal simetris

Bersiul : Normal

Memperlihatkan gigi : Simetris

Pengecapan 2/3 depan lidah : Normal

Sekresi air mata : Normal

N. Vestibulocochlearis

Vestibuler

37
Pendengaran : ada

Vertigo : (tidak ada)

Nystagmus : (tidak ada)

Tinitus aureum : (tidak ada)/(tidak ada)

Tes Scwabach : tidak dilakukan

Tes Rinne : tidak dilakukan

Tes Weber : tidak dilakukan

N. Glossopharyngeus dan N. Vagus

Bagian Motorik:

Suara : dalam batas normal

Menelan : dalam batas normal

Kedudukan arcus pharynx : dalam batas normal

Kedudukan uvula : dalam batas normal

Pergerakan arcus pharynx : dalam batas normal

Bagian Sensorik:

Pengecapan 1/3 belakakang lidah : dalam batas normal

Refleks muntah :+

N. Accesorius

Kanan Kiri

Mc engangkat bahu : dalam batas normal dalam batas

normal

Memalingkan kepala : dalam batas normal dalam batas normal

38
N. Hypoglossus

Kedudukan lidah waktu istirahat : tidak ada deviasi

Kedudukan lidah waktu bergerak : tidak ada deviasi

Atrofi : tidak ada

Kekuatan lidah menekan : tidak ada deviasi

Fasikulasi/Tremor pipi (kanan/kiri) : (tidak ada)/(tidak ada)

3. Sistem Motorik

Kekuatan Otot
+5 +5
- Kekuatan motorik ekstremitas :
3 3
- Tubuh :

Otot perut : cukup kuat

Otot pinggang : cukup kuat

Kedudukan diafragma : Gerak : Normal

Istirahat : Normal

- Lengan (Kanan/Kiri)

M. Deltoid : dalam batas normal / dalam batas normal

M. Biceps : dalam batas normal / dalam batas normal

M. Triceps : dalam batas normal / dalam batas normal

Fleksi sendi pergelangan tangan : dalam batas normal / dalam batas normal

Ekstensi sendi pergelangan tangan : dalam batas normal / dalam batas normal

Membuka jari-jari tangan : dalam batas normal / dalam batas normal

Menutup jari-jari tangan : dalam batas normal / dalam batas normal

- Tungkai (Kanan/Kiri)

39
Fleksi artikulasio coxae : sde / sde

Ekstensi artikulatio coxae : sde / sde

Fleksi sendi lutut : +/+

Ekstensi sendi lutut :+/+

Fleksi plantar kaki :+/+

Ekstensi dorsal kaki :+/+

Gerakan jari-jari kaki : +/ +

Besar Otot :

Atrofi : (-) / (-)

Pseudohypertrofi : tidak ada

Respon terhadap perkusi : Normal

Palpasi Otot :

Nyeri : Tidak ada

Kontraktur : Tidak ada

Konsistensi : Normal

Tonus Otot :

Lengan Tungkai

Kanan Kiri Kanan Kiri

Hipotoni - - - -

Spastik - - + +

Rigid - - - -

Rebound - - - -

Gerakan Involunter

40
Tremor : Waktu Istirahat : -/ -

Waktu bergerak :+/+

Chorea :-/-

Athetose :-/-

Balismus :-/-

Torsion spasme : - / -

Fasikulasi :-/-

Myokimia :-/-

Koordinasi :

Telunjuk kanan – kiri : dalam batas normal / dalam batas normal

Telunjuk-hidung : dalam batas normal / dalam batas normal

Gait dan station : dalam batas normal / dalam batas normal

3. Sistem Sensorik

Rasa Eksteroseptik

Rasa nyeri superfisial : tidak ada

Rasa suhu : dalam batas normal

Rasa raba ringan : dalam batas normal

Rasa Proprioseptik

Rasa getar : dalam batas normal

Rasa tekan : dalam batas normal

Rasa nyeri tekan : dalam batas normal

Rasa gerak posisi : dalam batas normal

41
Rasa Enteroseptik

Refered pain : tidak ada

Rasa Kombinasi

Streognosis : tidak ada

Barognosis : tidak ada

Grapestesia : tidak ada

Two point tactil discrimination : tidak ada

Sensory extimination : tidak ada

Loose of Body Image : tidak ada

Fungsi luhur

Apraxia : tidak ada

Alexia : tidak ada

Agraphia : tidak ada

Fingerognosis : dalam batas normal

Membedakan kanan-kiri : dalam batas normal

Acalculia : tidak ada

4. Refleks-refleks

Refleks Tendon/Periosteum (Kanan/Kiri):

Refleks Biceps : (+3/2)

Refleks Triceps : (+3/+3)

Refleks Patella : (2/2)

Refleks Achilles : (+1/+1)

42
Refleks Patologis :

Tungkai

Babinski : +/ + Chaddock :+/+

Oppenheim :+/- Rossolimo :-/-

Gordon :-/- Schaeffer :-/-

Lengan

Hoffmann-Tromner : -/-

5. Susunan Saraf Otonom

Miksi : Normal

Defekasi : susah BAB

Sekresi keringat : Normal

Salivasi : Normal

6. Columna Vertebralis

Kelainan Lokal

Skoliosis : Tidak ada

Khyposis : ada

Khyposkloliosis : Tidak ada

Gibbus : Tidak ada

Gerakan Tubuh Torakolumbal Vertebra

Fleksi : bisa

Ekstensi : bisa

Lateral deviation : sulit dievaluasi

43
Rotasi : sulit dievaluasi

Hasil Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium (25 Juni 2019)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

JENIS
HASIL Nilai Rujukan
PEMERIKSAAN

Hemoglobin 10,9 g/dl 14 – 18 g/dl

Leukosit 8600 /ul 4000 – 10.500 /ul

4.100.000 – 6.000.000
Eritrosit 3.880.000 /ul
/ul

Hematokrit 32,2 % 42 – 52 %

Trombosit 433.000 /ul 150.000 – 450.000 /ul

RDW – CV 14.1 % 12.1 – 14 %

MCV 83 fl 75 – 96 fl

MCH 28.1 pg 28 – 32 pg

MCHC 33,9 % 33 – 37 %

Basofil% 0,9% 0,0-1,0 %

Eosinofil% 4,2% 1,0-3,0 %

Gran% 70,5% 2,0-8,0 %

Limfosit% 16,6% 20-40 %

Monosit% 7,8% 2,0-8,0 %

44
Basofil# 0,08 ribu/ul <1,00 ribu/ul

Eosinofil# 0,36 ribu/ul <3,00 ribu/ul

Gran# 6,04 ribu/ul 2,50-7,00 ribu/ul

Limfosit# 1,42 ribu/ul 1,25-4,00 ribu/ul

Monosit# 0,67 ribu/ul 0,30-1,00 ribu/ul

Ureum 24 mg/dL 0-50 mg/dL

Kreatinin 0,57 mg/dL 0,57 – 1.11 mg/dL

SGOT 35 U/L 5 – 34 U/L

SGPT 34 U/L 0 – 55 U/L

45
Pemeriksaan CT Scan (15 Juni 2019)

46
Pemeriksaan MSCT Lumbar Spine ( 8 Agustus 2019 )

Kesimpulan dari foto polos Thorax

- Peningkatan corakan bronkovaskular dextra

47
Kesimpulan dari foto thorax AP Lateral

- Fraktur kompresi corpus VT 10 ( Porotik )

- Osteoporosis

C. RESUME PENYAKIT

1. ANAMNESIS

Pasien datang dengan keluhan kelemahan pada kedua kaki. Kelemahan

dirasakan dari pinggang hingga kebawah. Kelemahan dirasakan sejak 3 hari

SMRS. Sebelumnya pasien tidak mengeluhkan apa apa dan keluhan muncul

secara mendadak, pasien pernah terjatuh setinggi 3 meter karena pekerjaan

beliau sebagai buruh. Keluhan awal pasien yaitu hanya merasa kelelahan dan

merasa kesemutan pada daerah kaki namun tiba tiba saja pasien tidak dapat

menggerakkan kedua kakinya dan tidak dapat merasakan kedua kakinya.

Kemudian di bawa ke RSUD Ulin dan dilakukan pemeriksaan berupa CT Scan

pada daerah spine dan didapatkan hasil fraktur compresi pada daerah VTH 11

VTH 9 dan VL 1. Selama di rumah sakit pasien dalam kondisi yang baik saja

namun sering mengeluhkan tidak dapat tidur. Saat ini nyeri kepala (<), Susah

tidur (+), BAK (+), BAB (-) , Makan dan minum kurang.

2. PEMERIKSAAN FISIK

Status interna
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis

48
GCS : E4V5M6 Tensi : 1600/1100 mmHg
Nadi : 96 Kali/Menit, Reguler, Kuat angkat
Respirasi : 22 kali/menit
Suhu : 36,8 ºC

Kepala/Leher : dalam batas normal

Thorax : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas : dalam batas normal

Status psikiatri : dalam batas normal

Status Neurologis

Kesadaran : Composmentis, GCS: E4V5M6

Refleks Pupil : Pupil isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya

langsung (+/+), reflex cahaya tak langsung (+/+)

Tanda Meningeal : tidak ada

Nervus Cranialis :

N. I : Refleks mencium (+/+) N. VII : Paresis wajah (-)

N. II : RCL (+/+)/ RTCL (+/+) N. VIII : Mendengar (+/+)

N. III : Gerakan Bola Mata (+/+) N. IX: Reflek menelan dan muntah(+)

N IV : Gerakan Bola Mata (+/+) N. X: Reflek menelan dan muntah (+)

N. V : Refleks Korena (+/+) N. XI: tonus m.

sternocleidomastoideus dan m. trapezius (+)

N. VI : Gerak bola mata (+/+) N. XII : deviasi lidah ( - )

Motorik :
+5 +5

3 3

49
Sensibilitas :
+ +

+ +

Persarafan Otonom : dalam batas normal

Reflex Fisiologis :

Biceps : +3 | +3

Triceps : +3 | +2

Patella : +2 |+ 2

Achilles : +1 | +1

Reflex Patologis : Babinski +/+, chadok +/+, Oppenheim -/+

D. DIAGNOSIS

Diagnosis klinis : Paraparese ekstremitas inferior

Diagnosis Topis : CT: Tidak Tampak kelainan

Foto Lumbosacral : Osteoporosis, fraktur kompresi

VT 10

Diagnosis Etiologis : Trauma Medulla spinalis

E. TERAPI

a. IVFD Nacl 20 tpm

b. Injeksi Metilprednison 2x125 mg

c. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg

d. Injeksi Antrain k/p

50
e. P.O Amlodipin 1x 10 mg

F. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad malam

Quo ad sanationam : Dubia ad malam

Quo ad functionam : Dubia ad malam

51
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang ke RSUD ulin dengan keluan kelemahan pada kedua

Tungkai bawah yang muncul secara tiba-tiba saat bangun tidur disertai dengan

kesemutan seperti kram pada kedua kaki. Keluhan tersebut dirasakan pasien

sejak 1 hari yang lalu, dari keluhan yang dirasakan, hal ini mengarah ke

diagnosis paraparesis. Gejala yang dirasakan pada pasien paraparesis yaitu

seperti gejala kelemahan pada kedua tungkai dan juga rasa kebas dan

kesemutan di kedua tungkai bawah, hal ini bisa dibuktikan dari hasil anamnesis

serta pameriksaan fisik pada pasien.

Proses parese pada pasien kemungkinan diakibatkan dari proses

penuaan yaitu osteoporosis, dari hasil anamnesis yang didaptakan bahwa

pasien pernah punya riwayat terjatuh sebelumnya, pasien juhga bekerja sebagai

pedagang yang sering mengangkat angkat barang dengan gerakan yang tidak

benar saat bekerja hal ini merupakan salah satu faktor resiko yang dapat

meningkatkan terjadinya keluhan pada pasien didukung dengan hasil foto

thorakolumbal yang menyatakan terdapat kompresi VTH 10 dari hasil

Thorakolumbal sangat mendukung sekali bahwa gejala dari parese yang

terdapat pada pasien disebabkan salah satunya karena terdapat fraktur pada

tulang tulang tersebut. Berdasarkan etiologinya disebabkan karena proses

osteogenik.

52
Obat-obatan yang didapatkan pasien saat dirawat di RSUD Ulin

Banjarmasin yaitu : IVFD NaCl 20 tpm, Inj Metilprednisolon 3x125 mg,

Injeksi Ranitidin 2 x 1 mg, Injeksi Antrain , In(k/p) .Per oral amlodipine 1x

10mg .Pengobatan pada pasien penderita paraparesis dengan menggunakan

analgetik dan kortikosteroid, pada pasien sudah diberikan analgetik yaitu

pemberian obat antrain dan kortikosteroid yaitu pemberian metilprednisolon.

Fraktur kompresi (Wedge fractures) yang terjadi pada pasien yaitu

adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan

membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang

mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan

jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di

kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra

kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya

mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan

menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya, pada

pasien hal ini disebabkan karena factor usia yaitu rapuhnya tulang- tulang atau

yang disebut osteoporosis.

Gambar 4.1 Fraktur Kompresi

53
Selain hal tersebut pasien juga mengalami gejala cedera medulla spinalis,

Gejala yang timbul jika mengalami cedera medulla spinalis antara Vertebra Th

I dan Th X yaitu kemungkinan akan terjadi paralisis tungkai bawah dan visera.

Akar toraks bagian bawah juga dapat mengalami transeksi tetapi tak banyak

pengaruhnya. Cedera spinal di atas vertebra T10 menyebabkan transeksi korda,

cedera di antara vertebra T10 dan LI dapat menyebabkan lesi korda dan lesi

akar saraf, dan cedera di bawah vertebra Ll hanya menyebabkan lesi akar saraf.

Akar sakral mempersarafi: sensasi dalam daerah "pelana", suatu jalur di

sepanjang bagian belakang paha dan tungkai bawah, dan dua pertiga sebelah luar

telapak kaki, tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pergelangan kaki dan

kaki, refleks anal dan penis, respons plantar dan refleks pergelangan kaki,

pengendalian kencing.

Akar lumbal mempersarafi: sensasi pada seluruh tungkai bawah selain

bagian yang dipasok oleh segmen sacral, tenaga motorik pada otot yang

mengendalikan pinggul dan lutut, refleks kremaster dan refleks lutut. Bila

cedera tulang berada pada sambungan torakolumbal, penting untuk

membedakan antara transeksi korda tanpa kerusakan akar saraf dan transeksi

korda dengan kerusakan akar saraf. Pasien tanpa kerusakan akar saraf jauh lebih

baik

54
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus Ny. R berusia usia 54 dengan keluhan

kelemahan dan nyeri pada kedua tungkai bawah sebelum masuk rumah sakit.

Pasien didiagnosis dengan Paraparesis inferior et causa fraktur kompresi VTH

`10 dan mendapatkan pengobatan suportif dan simptomatik.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. 2007. Human physiology from cells to system. Edisi ke-6.


Canada: Thomson Brooks/ Cole;.p. 77-211.
2. Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29.
Jakarta: EGC.
3. Japardi, Iskandar. 2002. Radikulopati Thorakalis. Diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1994/1/bedah iskandar
%20japardi43.pdf. Diakses 13 Agustus 2019.
4. Olney RK, 2005. Weakness, Disorders Of Movement, And Imbalance in
Harrison’s Principles Of Internal Medicine, 16th edition, Volume I, 2005;
hal. 136-137. McGraw-Hill, Medical Publishing Division

5. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar, ed 14. Jakarta: PT. Dian


Rakyat, 2009.

6. Jusuf, Muhammad. Sutami, Sri. Was an, Muhammad. Berkala Neuro Sains.
PERDOSSI Yogyakarta: Bagian Ilmu syaraf UGM.Vol 12 No 3. 2011.

7. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis, ed 4. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 2008

8. Shiel WC. 2012. Lower back pain (lumbar back pain).


http://www.medicinenet.com/low_back_pain/article.htm - diunduh Agustus
2019.

9. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis: Diagnosis


dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC, 2009.

10.Aminorf, J.M., Greenberg, A.D., and Simon, P.R., 2005. Clinical


Neurology. Edisi 7. USA:Lange Medical Books/McGraw-Hill.p 155-157
.
11. Furie D, Provenzale J. Supratentorial ependymomas and subependymomas:
CT and MR appearance. J Comput Assist Tomogr, 1995;19: 518-526.

12. Ropper AH, Brown RH, Adams RDI, Victor M. Adams and Victor's
principles of neurology. Edisi ke-8. New York: McGraw- Hill, 2014.

13. adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2005. Principles of Neurology.
Edisi 8. New York : McGraw-Hill. p 50-52; 1049-1092.

56
14. Fynn E, Khan N, Ojo A. Meningioma- a review of 52 cases. SA J of
Radiology. 2004:3-5.

15. Butt ME, Khan SA, Chaudrhy NA, Qureshi GR. Intra-Cranial space
occupying lesions : A morphological analysis. Biomedica, 2005; 21:31-5.

57

Anda mungkin juga menyukai