Anda di halaman 1dari 27

KEPERAWATAN DEWASA SISTEM MUSKULOSEKELETAL,

INTEGUMEN, PERSEPSI SENSORI, DAN PERSARAFAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


PADA SPINAL CORD INJURY

oleh :
Candra Alif Novyanto 222310101198
Fitria Dewi 222310101200
Aliffia Nuriya Maulina 222310101201
Riska Agustiana 222310101203
Elshinta Dika Maharani 222310101204
Retri Adinda Kurnia I 222310101205
Sya’roni 222310101211

KEMENTRIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN RISET & TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
SEPTEMBER 2022
KEPERAWATAN DEWASA SISTEM MUSKULOSEKELETAL,
INTEGUMEN, PERSEPSI SENSORI, DAN PERSARAFAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


PADA SPINAL CORD INJURY
Disusun guna memenuhi mata kuliah Keperawatan Dewasa Siste Muskulosekeletal,
Integumen, Persepsi Sensori, Dan Persarafan dengan dosen pengampu
Ns. Mulia Hakam, M.Kep.,Sp.Kep.MB

oleh :
Candra Alif Novyanto 222310101198
Fitria Dewi 222310101200
Aliffia Nuriya Maulina 222310101201
Riska Agustiana 222310101203
Elshinta Dika Maharani 222310101204
Retri Adinda Kurnia I 222310101205
Sya’roni 222310101211

KEMENTRIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN RISET & TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
SEPTEMBER 2022

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................1
1.1 Anatomi Fisiologi...........................................................................................1
1.2 Definisi Penyakit............................................................................................2
1.3 Epidemiologi..................................................................................................2
1.4 Etiologi...........................................................................................................3
1.5 Klasifikasi.......................................................................................................4
1.6 Patofisiologi....................................................................................................6
1.7 Manifestasi Klinis...........................................................................................8
1.8 Pemeriksaan penunjang..................................................................................8
1.9 Penatalaksanaan..............................................................................................9
1.10 Komplikasi.................................................................................................10
BAB 2 KONSEP ASKEP......................................................................................14
2.1 Pengkajian....................................................................................................14
2.2 Diagnosa Keperawatan (SDKI, 2016)..........................................................15
2.3 Intervensi Keperawatan (SIKI, 2018)..........................................................16
2.4 Implementasi Keperawatan..........................................................................21
2.5 Evaluasi Keperawatan..................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

iii
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi Fisiologi

Spinal Cord atau Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf
Pusat. Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong
dan agak melebar yang disebut conus terminalis atau conus medullaris.
Terbentang dibawah conus terminalis serabut-serabut bukan syaraf yang
disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat. Terdapat 31 pasang
syaraf spinal:
a. 8 pasang syaraf servikal,
b. 12 Pasang syaraf Torakal,
c. 5 Pasang syaraf Lumbal,
d. 5 Pasang syaraf Sakral ,
e. 1 pasang syaraf koksigeal
Pada medula spinalis terdapat 2 penebalan, yaitu penebalan servikal dan
penebalan lumbal. Dari penebalan ini plexus-plexus saraf bergerakguna
melayani anggota badan atas dan bawah. Untuk orang dewasa, medula
spinalis lebih pendek daripada kolumna spinalis. Medula spinalis berakhir
kira-kira pada tingkat diskus intervertebralis antara vertebra lumbalis pertama
dan kedua. Sebelum usia 3 bulan, segmen medula spinalis, ditunjukkan oleh
radiksnya, langsung menghadap ke vertebra yang bersangkutan. Setelah itu,
kolumna tumbuh lebih cepat daripada medula. Radiks tetap melekat pada
foramina intervertebralis asalnya dan menjadi bertambah panjang ke arah
akhir medula (conus terminalis), akhirnya terletak pada tingkat vertebra
lumbalis ke-

1
2. Di bawah tingkat ini, spasium subarakhnoid yang seperti kantong, hanya
mengandung radiks posterior dan anterior yang membentuk cauda equina.
Kadang-kadang, conus terminalis dapat mencapai sampai tingkat vertebra
lumbalis ke-3.
Antara C4 dan T1, dan juga antara L2 dan S3, diameter medula spinalis
membesar. Intumesensia servikalis dan lumbalis ini terjadi karena radiks dari
separuh bawah bagian servikalis naik ke pleksus brakhialis, mempersarafi
ekstrimitas atas, dan yang dari regio lumbo-sakral membentuk pleksus
lumbosakralis, mempersarafi ekstrimitas bawah. Pembentukan pleksus-
pleksus ini menyebabkan serat-serat dari setiap pasang radiks bercabang
menjadi saraf-saraf perifer yang berbeda; dengan kata lain, setiap saraf perifer
dibuat dari serat beberapa radiks segmental yang berdekatan. Ke arah perifer
dari saraf, serat saraf aferen berasal dari satu radiks dorsalis yang bergabung
dan mensuplai daerah segmen tertentu dari kulit, disebut dermatom atau
daerah dermatomik.
Dermatom berjumlah sebanyak radiks segmental. Dermatom-dermatom
letaknya saling tumpang tindih satu sama lain, sehingga hilangnya satu radiks
saja sulit untuk dideteksi. Harus terjadi hilangnya beberapa radiks yang
berdekatan supaya dapat timbul hilangnya sensorik dari karakter segmental.
Dermatom berhubungan dengan berbagai segmen radiks medula spinalis,
sehingga mempunyai nilai diagnostik yang besar dalam menentukan tingkat
ketinggian dari kerusakan medula spinalis (Rahman dkk., 2022).
1.2 Definisi Penyakit
Spinal cord injury (SCI) atau cedera medula spinalis adalah suatu kondisi
gangguan pada medula spinalis atau sumsum tulang belakang dengan gejala
fungsi neurologis mulai dari fungsi motorik, sensorik, dan otonomik, yang
dapat berujung menjadi kecacatan menetap hingga kematian. Spinal cord injury
(SCI) terjadi ketika sesuatu (seperti: tulang, disk, atau benda asing) masuk atau
mengenai spinal dan merusakkan spinal cord atau suplai darah (Rahman dkk.,
2022).
1.3 Epidemiologi
Menurut WHO, SCI diperkirakan terjadi sebanyak 40-80 kasus per 1 juta
penduduk dalam setahun. Ini artinya terjadi sekitar 300.000 – 600.000 kasus
SCI yang ada di seluruh dunia setiap tahunnya. Hal ini tentunya tidak terlepas
dari risiko terjadinya kejadian SCI yang sebagian besar disebabkan oleh
karena kasus traumatik (90%), meliputi kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh
(25%), olahraga atau kecelakaan akibat pekerjaan (10%).

2
1.4 Etiologi

Penyebab terjadinya cidera medulla spinalis dapat dikelompokkan menjadi


trauma dan nontrauma. Kejadian trauma merupakan penyebab tersering
terjadinya spinal cord injury.1.
a. Trauma
1) Trauma langsung
Trauma langsung dapat berupa, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja, cideraolahraga, kecelakaan rumah, bencana alam, luka tembak
yang langsung mengenai sarafspinal cord.

Gambar 1 Etiologi Cidera Medulla Spinalis

Sumber : Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the


Spine and Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker
RA. Netter’s Neurology. 2ndedition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-
71dan Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation Pathophysiology.
Emerg Nurse 2005; 12(9):29-38.
2) Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung penyebabnya sama seperti trauma
langsung. Tetapi,trauma tidak langsung menyebabkan kerusakan
jaringan yang dampaknya tidaklangsung mengenai saraf spinal cord,
contohnya

3
kecelakaan kerja seperti mengangkat beban yang terlalu berat dalam
posisi yang salah
b. Non-trauma
Kerusakan pada medula spinalis seperti pada kondisi arterial,
venous malfunction, trombosis, emboli, lesi medulla spinalis karena
inflamasi contohnya post virus, infeksi seperti guillan barre syndrome;
tuberculosa dan poliomeilitis merupakan penyebab utama lesi medulla
spinalis, tumor spinal, kondisi degeneratif sendi tulang belakang
seperti spondylosis, kelainan bawaan (Spina Bifida), multiple sclerosis,
dll

1.5 Klasifikasi

Klasifikasi fraktur dapat diklasifikasikan berdasar beberapa hal,


diantaranya:
a. Berdasarkan dari besar kecilnya kerusakan anatomis atau berdasarkan
stabil atau tidak stabil.
’Major Fracture’ bila fraktur mengenai pedikel, lamina atau korpus
vertebra. ’Minor Fracture’ bila fraktur terjadi pada prosesus transversus,
prrosesus spinosus atau prosesus artikularis.

Suatu fraktur disebut ’stable’, bila kolumna vertebralis masih


mampu menahan beban fisik dan tidak tampak tanda – tanda
4
pergeseran

5
atau deformitas dari struktur vertebra dan jaringan lunak. Suatu fraktur
disebut ’unstable’, bila kolumna vertebralis tidak mampu menahan
beban normal, kebanyakan menunjukkan deformitas dan rasa nyeri
serta adanya ancaman untuk terjadi gangguan neurologik.
b. Berdasarkan penyebab
Klasifikasi SCI berdasarkan penyebabnya adalah traumatic dan
nontraumatic spinal cord injury. Kecelakan di jalan raya serta trauma
secara langsung lainnya merupakan jenis traumatic, sedangkan non
traumatic akibat dari penyakit degenerative, infeksi, tumor, dan
penyakit inflammatory lain.
c. Berdasarkan letak trauma
Klasifikasi berdasar Letak trauma pada vertebra:
1) Cervical Spine, terjadi sebanyak 55%
2) Thoracic Spine, pada 15% kejadian
3) Thoracolumbar Spine, 15% kejadian; dan
4) Lumbosacral Spine, 15% kasus.
d. Berdasarkan mekanisme
Klasifikasi berdasar mekanisme ini dibagi dua yakni complete dan
incomplete. Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik
dipergunakan Frankel Score:
1) FRANKEL SCORE A: kehilangan fingsi motorik dan sensorik
lengkap/complete loss. Motoris (-) sensoris (-)
2) FRANKEL SCORE B: Fungsi motoric hilang, fungsi sensorik
utuh. Motoris (-), sensoris (+)
3) FRANKEL SCORE C: Fungsi motoric ada tetapi secara praktis
tidak berfungsi (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat
berjalan). Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
4) FRANKEL SCORE D: Fungsi motoric terganggu (dapat berjalan
tetapi tidak dengan normal‖gait‖). Motoris (+) dengan ROM 4,
sensoris (+)

6
5) FRANKEL SCORE E: Tidak terdapat gangguan neurologik.
Motoris (+), sensoris (+)

Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA)


impairement scale (modifikasi dari klasifikasi frankle)
1) Grade A : komplit. Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen
sacral s4-s5
2) Grade B : inkomplit. Motoris (-), sensoris (+)
3) Grade C : inkomplit. Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
4) Grade D : inkomplit. Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3 atau
lebih dari sama dengan 3
5) Grade E : Motoris dan sensoris normal

e. Berdasarkan level

1.6 Patofisiologi
Spinal cord injury akut biasanya terjadi karena trauma mendadak pada
tulang belakang, mengakibatkan fraktur dan dislokasi vertebra. Tahap awal
setelah cedera dikenal sebagai cedera primer, dengan ciri khas fragmen tulang

7
dan robekan ligament tulang belakang. SCI terjadi dalam dua fase: fase
pertama meliputi penghancuran parenkim saraf, gangguan jaringan aksonal,
perdarahan, dan gangguan membran glial, serta fase kedua yang meliputi
peningkatan permeabilitas sel, sinyal apoptosis, iskemia, kerusakan pembuluh
darah, edema, eksitotoksisitas, deregulasi ionik, inflamasi, peroksidasi lipid,
pembentukan radikal bebas, demielinasi, degenerasi Wallerian, -broglial scar,
dan pembentukan kista (Ciatawi dan Tiffany, 2022).
Penentu utama keparahan SCI adalah tingkat kerusakan awal dan durasi
kompresi medulla spinalis. Kaskade peristiwa yang terkait dengan cedera
sekunder diaktifkan oleh perubahan biokimia, mekanik, dan fisiologis dalam
jaringan saraf. Di lain pihak, meskipun manifestasi klinis menunjukkan
hilangnya fungsi lengkap, beberapa segmen tetap terhubung oleh beberapa
akson selama fase SCI primer, mencerminkan keadaan cedera inkomplit dan
parsial. Fase yang data terjadi pada SCI meliputi cedera primer dan sekunder
(Ciatawi dan Tiffany, 2022).
a. Cedera Primer
SCI akut biasanya terjadi karena trauma mendadak pada tulang belakang
yang mengakibatkan patah tulang dan dislokasi tulang belakang. Tahap
awal segera setelah cedera dikenal sebagai cedera primer. Cedera primer
akan memicu cedera sekunder yang menghasilkan kerusakan kimiawi dan
mekanis lebih lanjut pada jaringan tulang belakang, menyebabkan
eksitotoksisitas saraf karena akumulasi kalsium di dalam sel, serta
meningkatkan konsentrasi oksigen reaktif dan kadar glutamat. Keadaan ini
merusak asam nukleat, protein, dan fosfolipid sel yang mengakibatkan
disfungsi neurologis.
b. Cedera Sekunder
Cedera sekunder dikategorikan menjadi tiga fase: akut, sub-akut,
dan kronis. Setelah fase cedera primer, fase cedera sekunder akut
diakibatkan kerusakan pembuluh darah, ketidakseimbangan ion,
eksitotoksisitas, produksi radikal bebas, peningkatan influks kalsium,
peroksidasi lipid, peradangan, edema, dan nekrosis. Fase cedera sekunder
akut akan berlanjut ke fase cedera sekunder sub-akut berupa apoptosis
neuron, demielinasi aksonal, degenerasi Wallerian, remodelling aksonal,
dan pembentukan glial scar. Selanjutnya cedera sekunder sub-akut
mengarah ke fase cedera sekunder kronis yang ditandai dengan
pembentukan rongga kistik, axonal dieback, dan pematangan glial scar.
Fase cedera sekunder mencerminkan proses patologis kompleks
setelah fase cedera primer dan berlangsung selama beberapa minggu.
Manifestasi cedera sekunder meliputi peningkatan permeabilitas sel, sinyal
apoptosis, iskemia, kerusakan pembuluh darah, edema, eksitotoksisitas,

8
deregulasi ionik, peradangan, peroksidasi lipid, pembentukan radikal
bebas, demielinasi, degenerasi Wallerian, fibroglial scar, dan pembentukan
kista. Gangguan pembuluh darah menyebabkan perdarahan jaringan tulang
belakang, diikuti invasi monosit, neutrofil, sel limfosit T dan B, serta
makrofag ke jaringan tulang belakang. Fenomena ini juga terkait dengan
pelepasan sitokin inflamasi, seperti interleukin (IL)-1a, IL-1b, IL-6, dan
tumor necrosis factor (TNF)-α setelah 6-12 jam pascacedera. Penetrasi sel
imun dan sitokin inflamasi akan mendorong inflamasi neuron.

1.7 Manifestasi Klinis


Menurut Surya Atmadja dkk., (2021) ada beberapa tanda dan gejala dari SCI,
antara lain:
a. Pada awalnya syok spinal: paralisis flaksid dengan penurunan atau tidak
adanya aktivitas refleks.
b. Hilangnya fungsi motorik sebagia/parsial di bawah level SCI (termasuk
pergerakan volunter & pergerakan melawan gravitasi atau tahanan).
c. Kehilangan fungsi sensori sebagian atau total di bawah level SCI
(termasuk sentuhan, suhu, nyeri, propriosepsi (misalnya; posisi)).
d. Pada awalnya peningkatan HR → bradikardia; pada awalnya peningkatan
TD → penurunan TD.
e. Nyeri akut di punggul atau leher, dapat menjalar di sepanjang saraf.
f. Refleks tendon dalam dan aktivitas refleks perianal abnormal.
g. Hilangnya keringat dan vagomotor.
h. Hilangnya refleks-refleks sensorik, motorik dan tendon dalam di bawah
level cedera.
i. Retensi sekresi paru, menurun kapasitas vital, peningkatan PaCO2,
penurunan O2 → gagal nafas dan edema pulmonal.
j. Inkontenensia kemih dan usus dengan retensi urin dan distensi kandung
kemih.
k. Ileus paralitik yang menyebabkan konstipasi dan/atau impaksi usus besar.
l. Hilangnya kontrol suhu → hipertermia.
m. Berkeringat di atas level lesi.
n. Priapismus pada pria.

1.8 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan spinal cord injuri
menurut Muttaqin (2012) adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan rontgen untuk melihat adanya fraktur vertebra

9
b. Pemeriksaan CT scan terutama untuk melihat fragmentasi, pergeseran
fraktur dalam kanal spinal

c. Pemeriksaan CT scan dengan mielografi untuk melihat adanya edema


medulla spinalis
d. Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus
intervertebralis dan ligamen flavum serta lesi dalam sumsum tulang
belakang
e. Pemeriksaan laboratorium
f. Serum kimia untuk melihat adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan
hemotokrit

1.9 Penatalaksanaan
a. Penatalaksaan medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral
dalam posisi lurus:

1
1) Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk
mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan
punggung bila memindahkan pasien.
2) Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi
penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada
tengkorak.
3) Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan
fraktur servikal stabil ringan.
4) Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang
Harrington) untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada
pemeriksaan sinar-x ditemui spinal tidak aktif. Tindakan-tidakan
untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis
dengan menggunakan glukortiko steroid intravena
5) Cairan kristaloid dan koloid. Kristaloid yang biasa diberikan adalah
NaCl 0,9% atau ringer solution. Koloid yang biasa diberikan adalah
gelatin atau HES (200/0,5 atau 300/0,4).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis,
kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area
yang terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung
kemih, perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya
tidak terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi
2) Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya
3) Pemeriksaan diagnostik
4) Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation).

1.10 Komplikasi
Tarwoto (2013) menyebutkan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
dengan spinal cord injuri adalah sebagai berikut:
a. Neurogenik shock
b. Hipoksia
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic hypotensi
f. Ileus paralitik
g. Infeksi saluran kemih
h. Batu saluran kemih
i. Kontraktur
j. Dekubitus
k. Inkontinensia bladder

1
l. Konstipasi (Tarwoto, 2013)

1
Kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaam industry,
kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka
tembak, trauma akibat talipengaman (fraktur chance) dan kejatuhan benda
Clinical Pathway
Mekanisme trauma: fleksi, fleksi dan rotasi, kompresi vertical (aksial), hipereks tansi atau retrofleksi, fleks lateral dan fraktur

Herniasi saraf/ putusnya saraf


Reaksi peradangan
Fraktur tulang belakang

Agen-agen peradangan: bradikinin


Servikal Sakralis Kerusakan medulla spinalis

Torakolumbali
Hemoragi
Sensari nyeri
Serabut-serabut membengkak/ hancur
Nyeri akut

Spinal Cord Injury

Perdarahan pada sumsum tulang belakang: hematomiela

Perpindahan cairan dari intravaskuker ke ekstravaskuler

Penurunan aliran darah ke jaringan otak


Sindroma kompartemen

Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer


Penurunan kesadaran
Resiko ketidakefektifan
1 perfusi jaringan
servikal
Torakolumbalis Sakralis

C1-C4 C5 C4-C7
Torako- T1-12 T2-12 S2-S3 S2-S4
lumbal
Blok saraf motoric ekstremitas
Blok HR
saraf Kerusakan Peni
G3 termostat G3 saraf
Penurunan Curah Jantung saraf motorik s
hipoglosalost
Kelumpuha Kelumpuhan otot ekstremitas
n otot Disfungs i seksual
Hipertermi Tidak mampu menunda defekasi
Kesulit
Iskemia hipoksemia an
Hambatan mobilitas fisik

Inkontinensial fekal Inkontinensial urine berla


Ganggu
hipoventilasi Sesak Nafas
an

pola nafas tidak efektif


Gagal nafas

Akral dingin,
nadi ceepat dan
Penekanan jaringan setempat
Kemampuan batuk menurun, mobilitas fisik
Resiko
syok

Resiko kedakefektifan
kerusakan bersihan jalan
1
BAB 2 KONSEP ASKEP

2.1 Pengkajian
a. Identitas
Nama, tanggal lahir, jenis kelamin, pekerjaan, umur, dan tempat tinggal
b. Riwayat penyakit sebelumnya
1. Penyakit stroke
2. Infeksi otak
3. DM
4. Diare dan muntah yang berlebihan
5. Tumor otak
6. Intoksiasi insektisida
7. Trauma kepala
8. Epilepsy dll.
c. Pemeriksaan fisik
1. Pernafasan :
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-
otot pernafasan tambahan.
2. Sistem kadiovaskuler
Bradikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi.
3. Status neurologi
Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera kepala.
4. Fungsi motoric
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motoric dibawah garis
kerusakan, adanya quadriplegia, paraplegia.
5. Refleks tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya reflek dibawah garis kerusakan,
post spinal shock seperti adanya hiperefleksia (pada gangguan upper
motor neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan (lower motor
neuron/LMN).
6. Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan.
7. Fungsi otonom

1
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler.
8. Autonomic hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia, hidung
tersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas da gangguan
penglihatan.
9. Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambug yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus,
stress ulcer, fese keras atau inkontinensia.
10. Sistem urinaria
Retensi urin, inkontinensia.
11. Sistem musculoskeletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM).
12. Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang tertekan (tanda awal decubitus)
13. Fungsi seksual
Impoten, gangguan ereksi, enjakulasi, menstruasi tidak teratur.
14. Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan
masyarakat.

2.2 Diagnosa Keperawatan (SDKI, 2016)


a. Nyeri Akut b.d Adanya Cedera
b. Pola Napas Tidak Efektif b.d kelumpuhan otot diafragma, kelemahan dengan
paralisis otot abdominal dan interkostal
c. Gangguan Mobilitas Fisik b.d gangguan neuromuskular

1
2.3 Intervensi Keperawatan (SIKI, 2018)

No Diagnosa Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan Rasional


Dx Keperawatan (SLKI, 2019)

1 Nyeri Akut  Tujuan: setelah Manajemen Nyeri Observasi


dilakukan tindakan Observasi
1. Untuk mengetahui lokasi nyeri,
keperawatan 1. Identifikasi lokasi
karakteristik. Durasi frekuensi dan
selama karakteristik
intensitas nyeri
…. X 24 jam, tingkat durasi,freekuensi,intensitas
2. Untuk mengetahui berapa skala nyeri
nyeri menurun nyeri
pada pasien
 Kriteria Hasil 2. Identifikasi skala nyeri
3. Bertujuan untuk mengetahui respon
1. Keluhan 3. Identifikasi respon nyeri non
nyeri non verbal pasien
nyeri verbal
4. Untuk mengetahui apakah obat sudah
menurun (5) 4. Monitor efek samping
berkerja atau belum
2. Meringis menurun penggunaan analgetic
(5) Terapeutik Terapeutik
3. Gelisah 1. Berikan Teknik non
menurun (5) farmakologis

1
4. Sikap protektif

1
menurun (5) 2. Kontrol lingkungan yang 1. Bertujuan agar pasien tidak
memperberat rasa nyeri ketergantunagan dengan menggunakan
3. Fasilitasi istirahat tidur Teknik farmakologi
Edukasi 2. Karena lingkungan dapat menjadi faktor
1. Jelaskan penyebab , periode, memperberat setelah penyakit
dan pemicu nyeri 3. Dengan adanya fasilitaas tidur px akan
2. Jelaskan strategi meredakan lebih tenang
nyeri
Edukasi
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri 1. Agar pasien mengetahui apa penyebab
Kolaborasi dan pemicu nyeri pada dirinya
1. Kolaborasi pemberian 2. Agar pasien tau meredakan nyeri Ketika
analgetik perawat tidsk ada
3. Agar pasien tau cara memonitor nyeri
secara mandiri

Kolaborasi

1
1. Penyembuhan lebih maksimal jika ada
kolaborasi dengan analgetik

2 Pola Nafas Tidak  Tujuan: setelah Manajemen Jalan nafas Observasi


Efektif dilakukan tindakan Observasi 1. Untuk mengetahui frekuensi,
keperawatan 1. Monitor pola napas keadalaman dan usaha napas
selama (frekuensi, kedalaman, usaha 2. Untuk mengetahui adanya napas
…. X 24 jam, pola napas) tambahan
nafas membaik 2. Monitor bunyi napas
 Kriteria Hasil tambahan (mis. Gurgling, Terapeutik
1. Dispnea menurun mengi, wheezing, ronkhi 1. Untuk mempermudah ventilasi
(5) kering) 2. Untuk memberikan posisi nyaman
2. Penggunaan Terapeutik kepada klien
otot bantu napas
1. Pertahankan kepatenan jalan 3. Mengurangi distress pernapasan
menurun (5)
napas dengan head-tilt dan Edukasi
3. Frekuensi napas
chin-lift 1. Memberikan asupan cairan yang cukup
membaik (5)
2. Posisikan semi-Fowler atau untuk mengurangi keletihan
4. Kedalaman napas
Fowler Kolaborasi
membaik (5)
3. Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

2
1. Anjurkan asupan cairan 1. Komponen untuk membantu pernapasan
2000ml/hari, jika tidak klien
kontraindikasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, jika perlu
3 Gangguan  Tujuan: setelah Dukungan mobilisasi Observasi
Mobilitas Fisik dilakukan tindakan Observasi
1. Untuk mengetahui berapa skala nyeri
keperawatan 1. Identifikasi adanya nyeri atau
dan keluhan pasien
selama keluhan fisik lainnya
2. Mengetahui kemampuan dan batasan
…. X 24 jam, 2. Identifikasi toleransi fisik
pasien terkait latiahan/gerak yang akan
gangguan mobilitas melakukan pergerakan
dilakukan berikutnya
fisik dapat di 3. Monitor frekuensi jantung dan
3. Untuk mengetahui frekuensi jantung dan
minimalkan tekanan darah sebelum
tekanan darah saat melakukan mobilitas
 Kriteria Hasil melakukan mobilisasi
fisik
1. Pergerakan 4. Monitor kondisi umum selama
4. Untuk mengetahui pasien kondisi dalam
ekstremitas melakukan mobilisasi
melakukan aktivitasnya
meningkat (5) Terapeutik

2
2. Kekuatan otot 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi Terapeutik
meningkat (5) dengan alat bantu
1. Sebagai support system agar pasien
3. Nyeri menurun (5) 2. Fasilitasi melakukan
semangat untuk segera pulih
4. Kecemasan pergerakan
2. Meningkatkan status mobilitas fisik
menurun (5) 3. Libatkan anggota keluarga
pasien
5. Kelemahan fisik untuk membantu klien dalam
3. Keluarga dapat secara mandiri
menurun (5) meningkatkan pergerakan
membantu pasien melakukan latihan
Edukasi
pergerakan
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
Edukasi
mobilisasi anjurkan mobilisasi
sederhana yang harus 1. Agar pasien mampu melakukan
dilakukan (misal duduk di mobilisasi sederhana secara mandiri
temoat tidur, duduk di sisi
tempat tidur dll)

2
2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan bagian dari proses keperwatan keempat yang dilakukan setelah
melakukan perencaan keperawatan. Implementasi berisikan tindakan keperawatan yang akan
dilakukan pada pasien, dengan tujuan masalah yang dialami pasien dapat teratasi. Tindakan
keperawatan yang dilakukan berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan. Tindakan
keperawatan yang diberikan pada pasien harus sesuai dengan kebutuhan, aman, efisen,
efektif, dan aman.

2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan adalah pengkajian berulang sebagai perbandingan tenetang
kesehatan pasien. sehingga perawat dapat menetapkan mengenai rencana selanjutnya, apakah
dilanjutkan, terdapat perubahan, hingga dihentikan.
a. S (Subjektif): pengkajian ulang sehingga terdapat data baru berupa data subjektif atau
respon pasien setelah dilakukannya tindakan.
b. O (Objektif): pengkajian ulang sehingga terdapat data baru berupa data ojektif setelah
dilakukannya tindakan
c. A (Analisis): penentuan kesimpulan dengan membandingkan data baru dan sebelumnya.
Penentuan intervensi akan dilanjutkan atau masalah belum teratasi, masalah masih ada
tetapi terdapat perubahan baik, dan masalah teratasi.
d. P (Planning): penentuan rencana selanjutnya diantaranya, revisi perencanaan, lanjutkan
perencanaan, dan hentikan perencanaan

2
DAFTAR PUSTAKA

Ciatawi, K. dan Tiffany. 2022. Pato siologi spinal cord injury. Cermin Dunia Kedokteran.
49(9):493–498.
Muttaqin, A. 2012. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.
PPNI, D. 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 2. Jakarta selatan.
Primandari, R. A., M. Rahmansyah, dan R. Mustafa. 2021. Radikulomielopati servikal
pascatrauma: laporan kasus. Jurnal Biomedika Dan Kesehatan. 4(3):113–119.
Rahman, A. N., I. Setiawan, D. Nursanto, dan S. Sulistyani. 2022. Neurogenic bladder
management in spinal medula trauma : a literature review. 64–70.
SDKI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi Dan Indikator Diagnostik.
Edisi 1. Jakarta selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
SLKI. 2019. Standart Luaran Keperawatan Indonesia
Surya Atmadja, A., S. A. S. Sekeon, dan D. J. Ngantung. 2021. Diagnosis and treatment of
traumatic spinal cord injury. Jurnal Sinaps. 4(1):25–35.
Tarwoto. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Edisi 2. Jakarta:
SAGUNG SETO.
Ciatawi, K. dan Tiffany. 2022. Pato siologi spinal cord injury. Cermin Dunia Kedokteran.
49(9):493–498.
Muttaqin, A. 2012. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.
PPNI, D. 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 2. Jakarta selatan.
Primandari, R. A., M. Rahmansyah, dan R. Mustafa. 2021. Radikulomielopati servikal
pascatrauma: laporan kasus. Jurnal Biomedika Dan Kesehatan. 4(3):113–119.
Rahman, A. N., I. Setiawan, D. Nursanto, dan S. Sulistyani. 2022. Neurogenic bladder
management in spinal medula trauma : a literature review. 64–70.
SDKI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi Dan Indikator Diagnostik.
Edisi 1. Jakarta selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
SLKI. 2019. Standart Luaran Keperawatan Indonesia
Surya Atmadja, A., S. A. S. Sekeon, dan D. J. Ngantung. 2021. Diagnosis and treatment of
traumatic spinal cord injury. Jurnal Sinaps. 4(1):25–35.
Tarwoto. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Edisi 2. Jakarta:
SAGUNG SETO.

Anda mungkin juga menyukai