Tentang
TRAUMA SPINAL
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
1. CHINTIA PUTRI
2. LILIS KARLINA
3. REGINA ANANDIA
4. TIA PERMATASARI
5. WULANDARI
6. ZULVIANA RAHMADANTI
DOSEN PEMBIMBING :
Ns. TIURMAIDA SIMANDALAHI,M.Kep
KATA PENGANTAR
i
Puji syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis kami yang berjudul “Trauma
Spinal”
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada
Ibu selaku dosen pengajar mata kuliah BLS 2 program Studi S1 ilmu keperawatan STIKES
Syedza Saintika Padang.
Dalam menyelesaikan makalah ini kami telah berusaha untuk mencapai hasil yang
maksimum, tetapi dengan keterbatasan wawasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan
yang kami miliki, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kami mengharakan kritik dan saran demi pernaikan sempurnanya makalah ini sehingga dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN..............................................................................................................................2
B. PELEPASAN HELM........................................................................................................6
C. IMOBILISASI SPINAL...................................................................................................6
E. DISREFLEKSIA OTONOM..........................................................................................13
BAB III..........................................................................................................................................17
PENUTUP.....................................................................................................................................17
A. Kesimpulan..................................................................................................................17
B. Saran............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke
selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrae merupakan
penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan
(aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang
tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka
akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2016).
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu
terjadinya fraktur pada tulang belakang pada tulang belakang, ligamentum longitudainalis
posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan
vena-vena yang mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut terputus.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
a. Mekanisme Injuri
Trauma dapat meneybabkan cedera pada kolumna vertebralis, saraf spinal, atau
medulla spinalis. Pasokan darah dapat terganggu, menyebabkan kerusakan pada berbagai
struktur. Trauma pada medulla spinalis dapat disebabkan adanya fraktur atau dislokasi
pada vertebra. Disrupsi pada medulla spinalis atau proses ekstradural lain juga dapat
menyebabkan injuri.
1. Kekuatan akselerasi-deselerasi menyebabkan kolum vertebra bergerak diluar
rentang gerak yang normal. Injuri dapat disebabkan dari hiperekstensi,
hiperfleksi,rotasi dan pergerakan aksial
2. Trauma tulang belakang paling banyak disebabkan karena trauma tumpul, injuri
penetrasi dari peluru yang mempengaruhi medulla spinalis dan kolumna vertebralis.
Lebih jarang terjadi, luka tusuk yang menyebabkan laserasi medulla spinalis atau
saraf radiks.
3. Injuri mungkin terjadi bersamaan dengan injuri pada kepala, dada, abdomen, dan
tulang panjang.
Fraktur costa dan trauma dada lain sering terjadi bersamaan dengan trauma
vertebral thorax.
Fratur lumbal dan pelvis dapat terjadi secara simultan
Pergerakan aksial, efek dari hantaman pada kepala atau melompat atau jatuh
dari ketinggian, menyebabkan pola spesifik injuri dengan kompresi
sepanjang lumbal dan menyebabkan fraktur pada calcaneus.
4. trauma tulang belakang selalu diwaspadai pada pasien dengan intoksikasi,
menunjukkan penurunan tingkat kesadaran atau mempunyai cedera yang
memperberat mislanya fraktur terbuka.
5. Trauma tulang belakang sering berhubungan dengan insiden tenggelam atau diving
pada kedalaman rendah. Pada situasi ini. Pertimbangkan penggunaan alcohol, obat-
obatan, kejang dan kedalam air yang tidak diketahui.
d. Syok
Syok pada pasien dengan trauma tulang belakang dapat berupa syok hemoragik
(kehilangan volume intravaskuler), neurogenik (kehilangan respons simpatis), atau spinal
(kehilangan reflex).
1. Syok hemoragik
Seperti pada pasien trauma, syok hipovolemi hemoragik dapat menyebabkan
ketidakadekuatan perfusi pada organ vital. Hipoperfusi pada medulla spinalis
merupakan penyebab umum injuri sekunder pada pasien dengan trauma tulang
belakang.
2. Syok neurogenik dapat terjadi pada cedera pada T6 atau diatasnya. Jaras simpatis
desenden terpengaruh, mengahsilkan kehilangan tonus vasomotor dan stimulasi
simpatis.
Vasodilatasi peripheral menghasilkan maldistribusi volume darah, volume
darah terjaga akan tetapi pembuluh darah melebar.
Tanda-tanda klasik syok neurogenik:
- Hipotensi
- Bradikardi
- Vasodilatasi perifer
Tanda-tanda tambahan dapat berupa hipotermi dan kehilangan respons
berkeringat pada bawah bagian yang mengalami cedera
Hilangnya jaras simpatik mencegah reflex takikardi dan vasokontriksi,
tanda-tanda syok hipovolemia (hemoragi) yang diperkirakan mungkin
tidak ada, hal ini menyebabkan penyulit dalam penegakkan diagnose.
3. Syok spinal merupakan hilangnya kemampuan motorik, sensorik dan fungsi reflex
sementara pada bawah bagian yang mengalami kerusakan.
Onset biasanya berlangsung mendadak akan tetapi dapat terjadi selama
beberapa hari setelah cedera dan berakhir sampai beberapa hari sampai
beberapa minggu
Tingkat kerusakan akan menentukan intesitas dan durasi syok spinal
Presentasi klinis meliputi paralisis flaccid atau kelemahan, areflexia atau
tidak adanya reflex dan kehilangan fungsi bowel dan bladder.
e. Deficit neurologis
5
Merupakan hasil dari cedera primer dan sekunder, deficit tersebut dapat
sementara atau permanen. Mengenal gambaran anatomi peta dermatom tubuh akan
membantu perawat gawat darurat untuk mengidentifikasi level trauma tulang belakang
yang terjadi dan mengantisipasi komplikasi yang berhubungan dengan tingkat cedera.
B. PELEPASAN HELM
Terdapat banyak model helm yang berpengaruh terhadap tingkat perlindungan pada kepala
selama kegiatan olahraga yang sangat bervariasi jenisnya. Ketika helm dipakai, manajemen jalan
nafas menjadi terbatas dan menjadi sulit untuk memelihara imobilisasi spinal. Pelepasan helm
memerlukan dua atau tiga staf terlatih yang bekerja sebagai tim.
C. IMOBILISASI SPINAL
Imobilisasi spinal bukan merupakan prosedur yang tanpa resiko. Sebagai tambahan dalam
imobilisasi nyeri, perhatian ditujukan pada penekanan kulit yang disebabkan tekanan dan
potensial adanya aspirasi jika pasien muntah. Oleh karena itu, keputusan yang perlu diambil baik
dilapangan dan unit gawat darurat adalah, pasien mana yang benar-benar membutuhkan
imobilisasi spinal. Banyak protocol yang telah dikeluarkan sebagai pedoman untuk memutuskan
hal tersebut ; table 36-4 merupakan salah satu contoh yang dapat digunakan sebagai pedoman.
Pastikan imobilisasi spinal tetap terjaga selama proses pengkajian untuk meminimalkan
potensial terjadinya cedera lanjutan. Table 36-5 memaparkan beberapa pertimbangan selama
melakukan imobilisasi spinal.
6
Kaji dan atasi masalah airway,breathing, dan circulation, hal ini menjadi prioritas
dibandingkan pengkajian lainnya.
Manajemen airway sering kompleks dan tidak mudah karena spinal harus selalu dijaga
dalam alignmen netral.
Evaluasi breathing atau pernafasan dengan mengkaji laju pernapasan, irama dan kedalaman.
TABEL 36-4
N – pemeriksaan Neurologis : apakah ada defisit lokal seperti tingling, mati rasa, atau
penurunan kekuatan ekstremitas?
D –Distracting injury : apakah ada cedra yang mendistraksi pasien dari nyeri servikal
atau adakah cedera punggung?
S – pemeriksaan Spinal : adakah nyeri tekan diatas spina atau nyeri pada saat
pergerakan leher (jika pasien tidak engalami nyeri tekan pada garis tengah/midline)
TABEL 36-5
7
1. Imobilisasi spinal membutuhkan pendekatan tim . seorang pemimpin yang
akan memandu proses harus diidentifikasi sebelum proses.
2. Kaji status motorik dan sensorik pasien sebelum imobilisasi.
3. Pemimpin menjaga stabilisasi (tanpa traksi) dalam satu garis dengan kedua
tangan di sisi kepala pasien, melakukan stabilisasi kepala dan leher pada posisi
netral, posisi vertikal. Hidung pasien harus satu garis dengan umbilikus.
4. Lepas anting, kalung, objek tajam lain, dan pakaian yang kasar yang dapat
menyebabkan cedera penekanan pada jaringan.
5. Ikuti rekomendasi pabrik tentang pengukuran, penggunaan collar diantara titik
dagu dan lekukan suprasternal, istirahatkan klavikula dan sangga bagian dagu
terendah.
6. Cek status motorik dan sensorik setelah memasang collar.
7. Dengan panduan dari pemimpin, lakukan teknik logroll pada pasien dengan
perlahan ke papan, pemimpin tim menjaga stabilisasi kepala dan leher.
8. Amankan pasien pada long spine board menggunakan sabuk pada dada,
pinggul dan lutut. Sabuk tersebut harus kuat tetapi tidak membatasi dinding
dada atau pergerakan abdomen.
9. Kepala pasien diamankan dengan menggunakan penahan kepala (bukan sand
bag) dan perekat. Panduan stabilisasi mungkin akan dikeluarkan selanjutnya.
10. Kembali cek status motorik dan sensorik.
11. Ikuti kebijakan institusi untuk melepas imobilisasi spinal, khusunya pada
pasien lansia, secepat mungkin.
Pasien dengan trauma tulang belakang dapat terlihat bernapas dengan baik pada awalnya
tetapi kemudian memburuk setelahnya. Pengkajian ulang secara berkelanjutan diperlukan.
Pengkajian sirkulasi meliputi pengukuran tekanan darah dan heart rate. Hipotensi dapat
diakibatkan oleh syok neorugenik atau hemoragik.
Cari tanda-tanda perdarahan yang terjadi bersamaan.
Fraktur pelvisatau tulang panjang dapat menjadi penyebab utama keilangan darah.
Cek tanda-tanda pada kulit seperti warna, temperatur dan kelembapan, sebagai indikasi
perfusi.
Kaji tingkat kedaran ; cedra kepala yang umumnya terjadi bersamaan.
Lakukan pengkajian sekunder seperti pada pasien dengan trauma.
Pemeriksaan punggung pasien dengan teknik logroll, tetap menjaga alignment spinal.
Pengkajian Neurologis
a. Pengkajian Fungsi Motorik
Kaji fungsi motorik dengan menggunakan enam poin American Spinal Injury
Association Scale.
0 – tidak ada kontraksi atau pergerakan
1 – minimal pergerakan
2 – pergerakan aktif, akan tetapi tidak dapat melawan gravitasi
3 – pergerakan aktif, melawan gravitasi
4 – pergerakan aktif, melawan tahanan
5 – pergerakan aktif, melawan tahanan penuh
Bandingkan ekstremitas atas dan bawah kanan dan kiri
Kaji tonus rectum
Kaji ulang denga jarak yang frekuen untuk mendeteksi kemungkinan
bertambahnya defisit akibat cedera sekunder
b. Pengkajian Fungsi Sensorik
Tentukan level terendah sensasi terhadap sentuhan halus (kapas atau kain
halus) dan tusukan halus (jarum atau patahan cutton bud)
Pastikan pasien untuk menutup mata selama pengkajian
Kaji propiosepsi (kesadaran dimana tubuh berada) dengan mengerakkan
jempol naik atau turun dan minta pasien untuk mengidentifikasi posisi
Dokumentasikan keluhan pasien adanya “kejut listrik” sepanjang tulang
belakang
c. Pengkajian Tendon dan Refleks Patologis
Refleks tendon biasanya ilang pada pasien dengan cedera tulang belakang
seingga pemriksaan refleks ini tidak berguna di unit gawat darurat.
Catat adanya refleks patologis
Tanda Hoffman – positif apabila dengan menggerakkan atau menekan
kuku jari tengah menyebabkan kontraksi
Refleks Babinski – ibu jari kaki bergerak ke atas dan jari lain
menyebar sebagai respons dari stimulus telapak kaki bagian bawah
Prosedur Diagnostik
9
Tiga standar gambaran radiografi yang direkomendasikan adalah : lateral
cross-table, anterior-posterior, dan odontoid
Ketujuh vertebra servikal dan sambungan C7-T1 harus digambarkan dengan
jelas
Untuk membantu penggambaran C7 dan T1, tarik bahu turun selama
pengambilan gambar, hal ini akan memberi penekanan bahu ke bawah,
khusunya otot pasien.
Radiografi tulang servikal mungkin tidak di indikasikan pada sebagian pasien.
2. Radiografi thorakal dan lumbal harus dilakukan sesuai indikasi
3. CT scan, jika tersedia, dapat digunakan jika seluruh tulang servikal dan T1 dapat
digambarkan melalui radiografi standar, dan untuk mengetahui abnormalitas tulang
atau fraktur
4. MRI berguna untuk mengevaluasi alignment atau adanya kerusakan pada medula
spinalis dan adanya edema, cedera kompresi, dan hematom ekstradural spinal
Intervensi Terapeutik
1. Cegah cedra lanjutan pada tulang belakang dengan menjaga alignment tulang
belakang pada posisi supinasi
2. Antisipasi penyulit pada jalan napas, khususnya cedera pada C5 ke atas
Antisipasi cedera pada wajah leher dan kepala yang dapat menyebabkan
masalah pada jalan napas
Antisipasi adanya muntah. Pastikan peralatan suction tersedia dan siapkan
segera disamping pasien selama menjaga imobilisasi spinal
Modifikasi jaw thrust dan pemasangan orofaringeal airway mungkin
diperlukan jika pasien tidak dapat menjaga jalan napasnya; intubasi
endotrakeal mungkin diperlukan
Siapkan rapid sequence intubation (RSI) jika sulit untuk mempertahankan
kepatenan jalan napas dan ventilasi yang adekuat. Pertahankan imobilisasi
spinal (bukan traksi) selama intubasi
Jangan tunda intubasi karena mnedahulukan kestabilan tulang belakang.
3. Kaji ulang secara frekuen keadekuatan usaha ventilasi
Monitor oksimetri nadi secara kontinue
10
Lakukan AGD jika diperlukan
4. Lakukan akses intravena dengan dua kateter vena ukuran besar
Resusitasi cairan awal menggunakan kristaloid
Ipotensi akibat syok neurogenik membutuhkan vasopressor untuk
mempertahankan keadekuatan MAP (mean arterial pressure)
Pasang kateter urin mneetap untuk memonitor output per jam
5. Pasang selang lambug untuk mencegah distensi dari ileus dan penurunan peristaltik
6. Pertahankan temperatur tubuh pasien dengan selimut dangat dan alat penghangat dan
dengan menaikkan tempeatur ruangan
7. Sediakan dukungan emosional pada pasien dan keluarga; berikan harapan yang
realistik
8. Lakukan pengkajian kulit dan berikan perawatan sedini mungkin. Berikan bantalan
pada bagian yang menonjol dan segera lepas backboard pasien apabila tidak
diperlukan
9. Bantu dengan pemasangan ring halo, tong skeletal, dan traksi servikal
Pastikan beban traksi tergantung bebas sepanjang waktu
Jika halo sudah dipasang, lekatkan kunci untuk melepas potongan dada pada
rompi
Dislokasi tulang servikal terjadiketika salah satu vertebrata berubah posisi, menumpu
vertebra lain. Kondisi ini merupakan cedera yang tidak stabil dan dapat terjadi bersamaan dengan
fraktur servikal. Trauma yang menyebabkan dislokasi servikal atau fraktur mungkin juga
merusak medula spinalis , menyebabkan defisit neurologis yang irreversible.
Prosedur diagnostik
Intervensi terapeutik
Berikan penangan pada pasien seperti terjadi trauma tulang belakang
Persiapkan dan bantu penggunaan traksi skeletal atau halo vest atau fiksasi internal.
11
Lesi medula spinalis tidak komplet
Pasien dengan lesi medula spinalis tidak komplet menjaga fungsi sensorik atau motorik
beberapa tingkat di bawah funsi sensorik atau motorikbeberapa tingkat dibawah bagian
yang mengalami cidera . akan tetapi , injuri spinal cord merupakan proses yang dinamis ,
keseluruhan efek dari cedera setelah kejadian trauma . dengan alasan ini, harus dilakukan
pemeriksaan neurologis berulang secara frekuen untuk mendeteksi perkembangan defisit
yang terjadi.
Tabel 36-7 menunjukan sindrom umum dan tanda gejala yang terdapat dari
incomplete spinal lesions.
Prosedur diagnostik
Intervensi terapeutik
Treatmen awal bertujuan untuk mencegah cedera sekunder dan mencegah perburukan
lesi inkomplet menjadi komplet.
Pemeliharaan jalan nafas dan perfusi jaringan yang adekuat menjadi prioritas tertinggi
Apabila terjadi hipotensi , segera pertimbangkan perdarahan yang terjadi sebagai
penyebab
Cegah hipovolemia.
Lesi medula spinalis komplet dapat terjadi pada berbagai tingkatan . pasien kehilangan
seluruh fungsi motorik dan sensorik dibagian bawah cidera , tidak ada kesempatan untuk
memperbaiki fungsi tersebut apabila kerusakan fungsi tersebut tidak pulih dalam 24 jam
setelah cedera.
Kehilangan fungsi motorik pada bagian bawah yang mengalami cedera disertai
dengan paralisis flacid atau kelemahan seluruh otot volunter
12
Kehilangan fungsi sensorik pada bawah bagian yang mengalami cidera , termasuk
kehilangan respon nyeri, sentuhan, tekanan, vibrasi dan propriosepsi
Kehilangan reflek dibawah lesi
Kemungkinan terjadi syok neurogenik
Kehilangan fungsi bladder dan bowel
Ileus paralitik disertai distensi abdominal
Priapism
Prosedur diagnostik
Intervensi terapeutik
E. DISREFLEKSIA OTONOM
Juga dikenal dengan hiperfleksia, disrefleksia otonom merupakan kondisi mengancam jiwa
yang dapat terjadi pada pasien dengan cedera medula spinalis pada T6 atau di atasnya.
Penyebab umum terjadinya disrefleksia otonom pada pasien gawat darurat meliputi:
Nyeri
Distensi bladder (kandung kemih)
Retensi urine
14
Keteter urine tersumbat
Prosedur diagnostik invansif
Kontak dengan objek keras atau tajam
Fraktur atau trauma lain
Konstipasi, distensi atau iritasi bowel
Penyebab lain meliputi :
Ulkus dekubitus
Pakaian atau balutan yang terlalu ketat
Kuku kaki yang tumbuh kedalam
Kram menstruasi
Persalinan
Peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba kemungkinan dapat mencapai 200/100 mmHg
Sakit kepala seperti terhantam akibat vasodilatasi pembuluh darah vena
Piloereksi (merinding)
Berkeringat dan kemerahan pada bagian atas yang mengalami cedera
Kulit dingin dan berkeringat pada bawah bagian yang mengalami cedera
Bradikardi (usaha untuk menurunkan tekanan darah)
Prosedur Diagnostik
Intervensi Terapeutik
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu
terjadinya fraktur pada tulang belakang pada tulang belakang, ligamentum longitudainalis
posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan
vena-vena yang mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut terputus.
B. Saran
16
Apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini kami membutuhkan kritik dan
saran dari bapak dan teman-teman semua yang bersifat membangun, agar makalah ini lebih baik
dan menjadi lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
17
18