Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH BLS 2

Tentang

TRAUMA SPINAL

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
1. CHINTIA PUTRI
2. LILIS KARLINA
3. REGINA ANANDIA
4. TIA PERMATASARI
5. WULANDARI
6. ZULVIANA RAHMADANTI

DOSEN PEMBIMBING :
Ns. TIURMAIDA SIMANDALAHI,M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)


SYEDZA SAINTIKA
PADANG
2019

KATA PENGANTAR
i
Puji syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis kami yang berjudul “Trauma
Spinal”

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada
Ibu selaku dosen pengajar mata kuliah BLS 2 program Studi S1 ilmu keperawatan STIKES
Syedza Saintika Padang.

Dalam menyelesaikan makalah ini kami telah berusaha untuk mencapai hasil yang
maksimum, tetapi dengan keterbatasan wawasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan
yang kami miliki, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kami mengharakan kritik dan saran demi pernaikan sempurnanya makalah ini sehingga dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Padang, 28 November 2019

Penulis

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

BAB I...............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.......................................................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1

C. Tujuan...................................................................................................................................1

BAB II.............................................................................................................................................2

PEMBAHASAN..............................................................................................................................2

A. TRAUMA TULANG BELAKANG.................................................................................2

B. PELEPASAN HELM........................................................................................................6

C. IMOBILISASI SPINAL...................................................................................................6

D. CEDERA KHUSUS MEDULA SPINALIS DAN VERTEBRATA..............................11

E. DISREFLEKSIA OTONOM..........................................................................................13

BAB III..........................................................................................................................................17

PENUTUP.....................................................................................................................................17

A. Kesimpulan..................................................................................................................17

B. Saran............................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke
selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrae merupakan
penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan
(aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang
tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka
akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2016).

Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu
terjadinya fraktur pada tulang belakang pada tulang belakang, ligamentum longitudainalis
posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan
vena-vena yang mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut terputus.

B. Rumusan Masalah

1. Apa penjelasan dari trauma tulang belakang


2. Apa penjelasan dari pelepasan helm
3. Apa penjelasan dari imobilisasi spinal
4. Apa penjelasan dari cedera khusus medulla spinalis dan vertebrata
5. Apa penjelasan dari disrefleksia otonom

C. Tujuan

1. Mengetahui apa itu trauma tulang belakang

2. Mengetahui apa itu pelepasan helm

3. Mengetahui apa itu imobilisasi spinal

4. Mengetahui apa itu cedera khusus medulla spinalis dan vertebrata

5. Mengetahui apa itu disrefleksia otonom

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. TRAUMA TULANG BELAKANG

Penyebab trauma tulang belakang, dalam urutan kejadian, termasuk kecelakaan


kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan, olahraga, tumor, infeksi, spondylosis, dan gangguan
perkembangan.

a. Mekanisme Injuri
Trauma dapat meneybabkan cedera pada kolumna vertebralis, saraf spinal, atau
medulla spinalis. Pasokan darah dapat terganggu, menyebabkan kerusakan pada berbagai
struktur. Trauma pada medulla spinalis dapat disebabkan adanya fraktur atau dislokasi
pada vertebra. Disrupsi pada medulla spinalis atau proses ekstradural lain juga dapat
menyebabkan injuri.
1. Kekuatan akselerasi-deselerasi menyebabkan kolum vertebra bergerak diluar
rentang gerak yang normal. Injuri dapat disebabkan dari hiperekstensi,
hiperfleksi,rotasi dan pergerakan aksial
2. Trauma tulang belakang paling banyak disebabkan karena trauma tumpul, injuri
penetrasi dari peluru yang mempengaruhi medulla spinalis dan kolumna vertebralis.
Lebih jarang terjadi, luka tusuk yang menyebabkan laserasi medulla spinalis atau
saraf radiks.
3. Injuri mungkin terjadi bersamaan dengan injuri pada kepala, dada, abdomen, dan
tulang panjang.
 Fraktur costa dan trauma dada lain sering terjadi bersamaan dengan trauma
vertebral thorax.
 Fratur lumbal dan pelvis dapat terjadi secara simultan
 Pergerakan aksial, efek dari hantaman pada kepala atau melompat atau jatuh
dari ketinggian, menyebabkan pola spesifik injuri dengan kompresi
sepanjang lumbal dan menyebabkan fraktur pada calcaneus.
4. trauma tulang belakang selalu diwaspadai pada pasien dengan intoksikasi,
menunjukkan penurunan tingkat kesadaran atau mempunyai cedera yang
memperberat mislanya fraktur terbuka.
5. Trauma tulang belakang sering berhubungan dengan insiden tenggelam atau diving
pada kedalaman rendah. Pada situasi ini. Pertimbangkan penggunaan alcohol, obat-
obatan, kejang dan kedalam air yang tidak diketahui.

b. Akibat yang ditimbulkan dari trauma tulang belakang


2
Trauma tulang belakang dapat primer atau sekunder. Trauma tulang belakang
primer terjadi pada saat cedera sebagai akibat dari mekanisme awal. Cedera sekunder
merupakan respons progresif, patologis yang disebabkan oleh hipoperfusi dan hipoksia
spina akibat dari:
1. Depresi atau kegagalan pernapasan
2. Hipotensi sistemik dan syok
 Syok hemoragik dari cedera multiple
 Syok neurogenik
3. Cedera medulla spinalis atau iskemi yang menyebabkan deficit neurologi

c. Depresi atau kegagalan pernapasan


Cedera tulang belaknag, khususnya cedera pada region cervical, dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi respirasi. Derajat kegagalan respirasi menghasilkan
derajat cedera. Pertimbangan tambahan yang berhubungan dengan fungsi pernapasan
meliputi:
1. Cedera paru-paru yang terjadi bersamaan (pneumothorax,kontusio pulmonal)
2. Riwayat penyakit disfungsi pernapasana (penyakit paru obstruktif kronis)
3. Berhubungan dengan cedera kepala
4. Adanya intoksikasi

TABEL 36.1 MEKANISME CEDERA PADA KOLUM VERTEBRA

MEKANISME ETIOLOGI HASIL CONTOH LOKASI


CEDERA CEDERA CEDERA CEDERA
(PENYEBAB) (EFEK)
Hiperekstensi Gerakan kepala ke Kerusakan pada Kecelakan Tulang
belakang melebihi ligament mobil dari arah servikal
kapasitas anoatomi anterior dari belakang yang
kolumna vertebra robekan menyebabkan
servikal ligament dan “whiplash”
dislokasi tulang
Hiperfleksi Gerakan fleksi sangat Fraktur Kepala pada Tulang
kuat tulang servikan kompresi, kecelakaan servical
kea rah depan dengan dislokasi facet, kendaraan
kepala membentur subluksasi bermotor
objek tidak bergerak (disebabkan dengan kepala
oleh rupture membetur kaca
ligament), tear depan mobil
drop, fraktur membentuk
odontoid atau efek “ledakan
3
transversal bintang”
Rotasional Kombinasi dari Rupture Kecelakaan Tulang
gerakan ke depan yang ligament mobil kearah servical
kuat dengan posterior dan depan atau area
pergerakan lateral atau fraktur belakang
tulang serival anterior atau samping
dislokasi badan kendaraan
vertebra menyebabkan
perubahan gerak
maju menjadi
gerak berputar-
putar
Pergerakan Kekuatan langsung Deformitas pada Menyelam T12 sampai l2
aksial sepanjang kolum kolum vertebra, dengan kepala
vertebra edema sekunder membentur
medulla spinalis dasar kolam
menyebabkan
deficit
neurologis

TABEL 36.2 CEDERA TULANG BELAKANG DAN GANGGUAN PERNAPASAN

BAGIAN OTOT YANG


YANG KAPASITAS VITAL REFLEKS TERLIBAT
MENGALAMI BATUK
CEDERA
Diatas C3 <5%-10% of normal Tidak ada Paralisis
diafragma,
intercostalis,
dan otot
abdomen henti
napas dan
kematian
kecuali adanya
intervensi
segera
C3-C5 20% dari normal Lemah dan tidak Kelemahan
efektif diafragma,
paralisis otot
abdomen dan
intercostalis
4
C6-T1 30%-50% dari normal Lemah paralisis otot
abdomen dan
intercostalis

d. Syok
Syok pada pasien dengan trauma tulang belakang dapat berupa syok hemoragik
(kehilangan volume intravaskuler), neurogenik (kehilangan respons simpatis), atau spinal
(kehilangan reflex).
1. Syok hemoragik
Seperti pada pasien trauma, syok hipovolemi hemoragik dapat menyebabkan
ketidakadekuatan perfusi pada organ vital. Hipoperfusi pada medulla spinalis
merupakan penyebab umum injuri sekunder pada pasien dengan trauma tulang
belakang.
2. Syok neurogenik dapat terjadi pada cedera pada T6 atau diatasnya. Jaras simpatis
desenden terpengaruh, mengahsilkan kehilangan tonus vasomotor dan stimulasi
simpatis.
 Vasodilatasi peripheral menghasilkan maldistribusi volume darah, volume
darah terjaga akan tetapi pembuluh darah melebar.
 Tanda-tanda klasik syok neurogenik:
- Hipotensi
- Bradikardi
- Vasodilatasi perifer
 Tanda-tanda tambahan dapat berupa hipotermi dan kehilangan respons
berkeringat pada bawah bagian yang mengalami cedera
 Hilangnya jaras simpatik mencegah reflex takikardi dan vasokontriksi,
tanda-tanda syok hipovolemia (hemoragi) yang diperkirakan mungkin
tidak ada, hal ini menyebabkan penyulit dalam penegakkan diagnose.
3. Syok spinal merupakan hilangnya kemampuan motorik, sensorik dan fungsi reflex
sementara pada bawah bagian yang mengalami kerusakan.
 Onset biasanya berlangsung mendadak akan tetapi dapat terjadi selama
beberapa hari setelah cedera dan berakhir sampai beberapa hari sampai
beberapa minggu
 Tingkat kerusakan akan menentukan intesitas dan durasi syok spinal
 Presentasi klinis meliputi paralisis flaccid atau kelemahan, areflexia atau
tidak adanya reflex dan kehilangan fungsi bowel dan bladder.

e. Deficit neurologis

5
Merupakan hasil dari cedera primer dan sekunder, deficit tersebut dapat
sementara atau permanen. Mengenal gambaran anatomi peta dermatom tubuh akan
membantu perawat gawat darurat untuk mengidentifikasi level trauma tulang belakang
yang terjadi dan mengantisipasi komplikasi yang berhubungan dengan tingkat cedera.

B. PELEPASAN HELM

Terdapat banyak model helm yang berpengaruh terhadap tingkat perlindungan pada kepala
selama kegiatan olahraga yang sangat bervariasi jenisnya. Ketika helm dipakai, manajemen jalan
nafas menjadi terbatas dan menjadi sulit untuk memelihara imobilisasi spinal. Pelepasan helm
memerlukan dua atau tiga staf terlatih yang bekerja sebagai tim.

C. IMOBILISASI SPINAL

Imobilisasi spinal bukan merupakan prosedur yang tanpa resiko. Sebagai tambahan dalam
imobilisasi nyeri, perhatian ditujukan pada penekanan kulit yang disebabkan tekanan dan
potensial adanya aspirasi jika pasien muntah. Oleh karena itu, keputusan yang perlu diambil baik
dilapangan dan unit gawat darurat adalah, pasien mana yang benar-benar membutuhkan
imobilisasi spinal. Banyak protocol yang telah dikeluarkan sebagai pedoman untuk memutuskan
hal tersebut ; table 36-4 merupakan salah satu contoh yang dapat digunakan sebagai pedoman.

Pengkajian Secara Umum

 Pastikan imobilisasi spinal tetap terjaga selama proses pengkajian untuk meminimalkan
potensial terjadinya cedera lanjutan. Table 36-5 memaparkan beberapa pertimbangan selama
melakukan imobilisasi spinal.

6
 Kaji dan atasi masalah airway,breathing, dan circulation, hal ini menjadi prioritas
dibandingkan pengkajian lainnya.

 Manajemen airway sering kompleks dan tidak mudah karena spinal harus selalu dijaga
dalam alignmen netral.

 Evaluasi breathing atau pernafasan dengan mengkaji laju pernapasan, irama dan kedalaman.

TABEL 36-4

Akronim NSAIDs untuk menentukan kebutuhan imobilisasi spinal

N – pemeriksaan Neurologis : apakah ada defisit lokal seperti tingling, mati rasa, atau
penurunan kekuatan ekstremitas?

S – mekanisme cedera traumatik yang Signifikan?

A – Alertness : apakah ada perubahan tingkat kesadaran? Apakah pasien mampu


mengenali orang, tempat, waktu dan situasi?

I – Intoksikasi : adanya indikasi gangguan dalam kemampuan dalam mengambil


keputusan

D –Distracting injury : apakah ada cedra yang mendistraksi pasien dari nyeri servikal
atau adakah cedera punggung?

S – pemeriksaan Spinal : adakah nyeri tekan diatas spina atau nyeri pada saat
pergerakan leher (jika pasien tidak engalami nyeri tekan pada garis tengah/midline)

TABEL 36-5

Pertimbangan selama melakukan imobilisasi spinal

7
1. Imobilisasi spinal membutuhkan pendekatan tim . seorang pemimpin yang
akan memandu proses harus diidentifikasi sebelum proses.
2. Kaji status motorik dan sensorik pasien sebelum imobilisasi.
3. Pemimpin menjaga stabilisasi (tanpa traksi) dalam satu garis dengan kedua
tangan di sisi kepala pasien, melakukan stabilisasi kepala dan leher pada posisi
netral, posisi vertikal. Hidung pasien harus satu garis dengan umbilikus.
4. Lepas anting, kalung, objek tajam lain, dan pakaian yang kasar yang dapat
menyebabkan cedera penekanan pada jaringan.
5. Ikuti rekomendasi pabrik tentang pengukuran, penggunaan collar diantara titik
dagu dan lekukan suprasternal, istirahatkan klavikula dan sangga bagian dagu
terendah.
6. Cek status motorik dan sensorik setelah memasang collar.
7. Dengan panduan dari pemimpin, lakukan teknik logroll pada pasien dengan
perlahan ke papan, pemimpin tim menjaga stabilisasi kepala dan leher.
8. Amankan pasien pada long spine board menggunakan sabuk pada dada,
pinggul dan lutut. Sabuk tersebut harus kuat tetapi tidak membatasi dinding
dada atau pergerakan abdomen.
9. Kepala pasien diamankan dengan menggunakan penahan kepala (bukan sand
bag) dan perekat. Panduan stabilisasi mungkin akan dikeluarkan selanjutnya.
10. Kembali cek status motorik dan sensorik.
11. Ikuti kebijakan institusi untuk melepas imobilisasi spinal, khusunya pada
pasien lansia, secepat mungkin.

 Pasien dengan trauma tulang belakang dapat terlihat bernapas dengan baik pada awalnya
tetapi kemudian memburuk setelahnya. Pengkajian ulang secara berkelanjutan diperlukan.
 Pengkajian sirkulasi meliputi pengukuran tekanan darah dan heart rate. Hipotensi dapat
diakibatkan oleh syok neorugenik atau hemoragik.
 Cari tanda-tanda perdarahan yang terjadi bersamaan.
 Fraktur pelvisatau tulang panjang dapat menjadi penyebab utama keilangan darah.
 Cek tanda-tanda pada kulit seperti warna, temperatur dan kelembapan, sebagai indikasi
perfusi.
 Kaji tingkat kedaran ; cedra kepala yang umumnya terjadi bersamaan.
 Lakukan pengkajian sekunder seperti pada pasien dengan trauma.
 Pemeriksaan punggung pasien dengan teknik logroll, tetap menjaga alignment spinal.

 Cek nyeri tekan, ekimosis dan luka terbuka.


 Kaji tonus spingter dan adanya ‘’anal wink’’ (kontraksi spingter sebagai
respons terhadap stimulus seperti tusukan kecil pada bagisn proksimal).
8
 Ukur temperatue tubuh pasien; pasien yang mengalami trauma tulang belakang temperatur
tubuhnya sama dengan suhu lingkungan di sekitarnya (poikilothermy).
 Observasi priapism atau ereksi penis yang terjadi terus-menerus pada laki-laki
(mengindikasikan vasodilatasi pembuluh darah dan indikator kuat syok neurogenik).

Pengkajian Neurologis
a. Pengkajian Fungsi Motorik
 Kaji fungsi motorik dengan menggunakan enam poin American Spinal Injury
Association Scale.
 0 – tidak ada kontraksi atau pergerakan
 1 – minimal pergerakan
 2 – pergerakan aktif, akan tetapi tidak dapat melawan gravitasi
 3 – pergerakan aktif, melawan gravitasi
 4 – pergerakan aktif, melawan tahanan
 5 – pergerakan aktif, melawan tahanan penuh
 Bandingkan ekstremitas atas dan bawah kanan dan kiri
 Kaji tonus rectum
 Kaji ulang denga jarak yang frekuen untuk mendeteksi kemungkinan
bertambahnya defisit akibat cedera sekunder
b. Pengkajian Fungsi Sensorik
 Tentukan level terendah sensasi terhadap sentuhan halus (kapas atau kain
halus) dan tusukan halus (jarum atau patahan cutton bud)
 Pastikan pasien untuk menutup mata selama pengkajian
 Kaji propiosepsi (kesadaran dimana tubuh berada) dengan mengerakkan
jempol naik atau turun dan minta pasien untuk mengidentifikasi posisi
 Dokumentasikan keluhan pasien adanya “kejut listrik” sepanjang tulang
belakang
c. Pengkajian Tendon dan Refleks Patologis
 Refleks tendon biasanya ilang pada pasien dengan cedera tulang belakang
seingga pemriksaan refleks ini tidak berguna di unit gawat darurat.
 Catat adanya refleks patologis
 Tanda Hoffman – positif apabila dengan menggerakkan atau menekan
kuku jari tengah menyebabkan kontraksi
 Refleks Babinski – ibu jari kaki bergerak ke atas dan jari lain
menyebar sebagai respons dari stimulus telapak kaki bagian bawah

Prosedur Diagnostik

1. Radiografi tulang servikal

9
 Tiga standar gambaran radiografi yang direkomendasikan adalah : lateral
cross-table, anterior-posterior, dan odontoid
 Ketujuh vertebra servikal dan sambungan C7-T1 harus digambarkan dengan
jelas
 Untuk membantu penggambaran C7 dan T1, tarik bahu turun selama
pengambilan gambar, hal ini akan memberi penekanan bahu ke bawah,
khusunya otot pasien.
 Radiografi tulang servikal mungkin tidak di indikasikan pada sebagian pasien.
2. Radiografi thorakal dan lumbal harus dilakukan sesuai indikasi
3. CT scan, jika tersedia, dapat digunakan jika seluruh tulang servikal dan T1 dapat
digambarkan melalui radiografi standar, dan untuk mengetahui abnormalitas tulang
atau fraktur
4. MRI berguna untuk mengevaluasi alignment atau adanya kerusakan pada medula
spinalis dan adanya edema, cedera kompresi, dan hematom ekstradural spinal

Kontraindikasi MRI meliputi adanya pacemaker atau cardioverter


defibrilator internal, benda asing dari besi, sistem monitoring yang
tidaklaktat
5. Tingkat sesuaiuntuk memonitor
dengan statusleher
MRI, dan traksi perfusi pada syok
6. Gas darah arteri untuk mendeteksi hipoksia atau hiperkapni, khusunya pada pasien
dengan kecurigaan cedera servikal
7. Urinalisa untuk mengkaji cedera genitourinari yang berhubungan

Intervensi Terapeutik

1. Cegah cedra lanjutan pada tulang belakang dengan menjaga alignment tulang
belakang pada posisi supinasi
2. Antisipasi penyulit pada jalan napas, khususnya cedera pada C5 ke atas
 Antisipasi cedera pada wajah leher dan kepala yang dapat menyebabkan
masalah pada jalan napas
 Antisipasi adanya muntah. Pastikan peralatan suction tersedia dan siapkan
segera disamping pasien selama menjaga imobilisasi spinal
 Modifikasi jaw thrust dan pemasangan orofaringeal airway mungkin
diperlukan jika pasien tidak dapat menjaga jalan napasnya; intubasi
endotrakeal mungkin diperlukan
 Siapkan rapid sequence intubation (RSI) jika sulit untuk mempertahankan
kepatenan jalan napas dan ventilasi yang adekuat. Pertahankan imobilisasi
spinal (bukan traksi) selama intubasi
 Jangan tunda intubasi karena mnedahulukan kestabilan tulang belakang.
3. Kaji ulang secara frekuen keadekuatan usaha ventilasi
 Monitor oksimetri nadi secara kontinue

10
 Lakukan AGD jika diperlukan
4. Lakukan akses intravena dengan dua kateter vena ukuran besar
 Resusitasi cairan awal menggunakan kristaloid
 Ipotensi akibat syok neurogenik membutuhkan vasopressor untuk
mempertahankan keadekuatan MAP (mean arterial pressure)
 Pasang kateter urin mneetap untuk memonitor output per jam
5. Pasang selang lambug untuk mencegah distensi dari ileus dan penurunan peristaltik
6. Pertahankan temperatur tubuh pasien dengan selimut dangat dan alat penghangat dan
dengan menaikkan tempeatur ruangan
7. Sediakan dukungan emosional pada pasien dan keluarga; berikan harapan yang
realistik
8. Lakukan pengkajian kulit dan berikan perawatan sedini mungkin. Berikan bantalan
pada bagian yang menonjol dan segera lepas backboard pasien apabila tidak
diperlukan
9. Bantu dengan pemasangan ring halo, tong skeletal, dan traksi servikal
 Pastikan beban traksi tergantung bebas sepanjang waktu
 Jika halo sudah dipasang, lekatkan kunci untuk melepas potongan dada pada
rompi

D. CEDERA KHUSUS MEDULA SPINALIS DAN VERTEBRATA

Dislokasi dan fraktur tulang servikal

Dislokasi tulang servikal terjadiketika salah satu vertebrata berubah posisi, menumpu
vertebra lain. Kondisi ini merupakan cedera yang tidak stabil dan dapat terjadi bersamaan dengan
fraktur servikal. Trauma yang menyebabkan dislokasi servikal atau fraktur mungkin juga
merusak medula spinalis , menyebabkan defisit neurologis yang irreversible.

Tanda dan gejala

 Bervariasi dengan derajat trauma tulang belakang


 Kelembutan servik dan kejang otot
 Ecchymosis dan pembengkakan leher
 Kelemahan dan mati rasa ekstremitas
 Sensasi berkurang (atau tidak ada) pada ekstremitas

Prosedur diagnostik

 Lihat “prosedur diagnostik” diatas

Intervensi terapeutik
 Berikan penangan pada pasien seperti terjadi trauma tulang belakang
 Persiapkan dan bantu penggunaan traksi skeletal atau halo vest atau fiksasi internal.
11
Lesi medula spinalis tidak komplet

Pasien dengan lesi medula spinalis tidak komplet menjaga fungsi sensorik atau motorik
beberapa tingkat di bawah funsi sensorik atau motorikbeberapa tingkat dibawah bagian
yang mengalami cidera . akan tetapi , injuri spinal cord merupakan proses yang dinamis ,
keseluruhan efek dari cedera setelah kejadian trauma . dengan alasan ini, harus dilakukan
pemeriksaan neurologis berulang secara frekuen untuk mendeteksi perkembangan defisit
yang terjadi.

Tanda dan gejala

 Tabel 36-7 menunjukan sindrom umum dan tanda gejala yang terdapat dari
incomplete spinal lesions.

Prosedur diagnostik

 Diagnostik didasarkan pada presentasi klinis utama dan pemeriksaan neurologis


 Radiografi spinal harus dilakukan untuk menentukan adanya atau kerusakan pada
vertebra
 Hasil radiografi dan CT scan yang normal tidak dapat memastikan tidak adanya
kerusakan pada medula spinalis
 CT scan atau MRI mungkin diperlukan untukmenggambarkan kerusakan pada tulang
atau medula spinalis.

Intervensi terapeutik

 Treatmen awal bertujuan untuk mencegah cedera sekunder dan mencegah perburukan
lesi inkomplet menjadi komplet.
 Pemeliharaan jalan nafas dan perfusi jaringan yang adekuat menjadi prioritas tertinggi
 Apabila terjadi hipotensi , segera pertimbangkan perdarahan yang terjadi sebagai
penyebab
 Cegah hipovolemia.

Lesi medula spinalis komplet

Lesi medula spinalis komplet dapat terjadi pada berbagai tingkatan . pasien kehilangan
seluruh fungsi motorik dan sensorik dibagian bawah cidera , tidak ada kesempatan untuk
memperbaiki fungsi tersebut apabila kerusakan fungsi tersebut tidak pulih dalam 24 jam
setelah cedera.

Tanda dan gejala

 Kehilangan fungsi motorik pada bagian bawah yang mengalami cedera disertai
dengan paralisis flacid atau kelemahan seluruh otot volunter

12
 Kehilangan fungsi sensorik pada bawah bagian yang mengalami cidera , termasuk
kehilangan respon nyeri, sentuhan, tekanan, vibrasi dan propriosepsi
 Kehilangan reflek dibawah lesi
 Kemungkinan terjadi syok neurogenik
 Kehilangan fungsi bladder dan bowel
 Ileus paralitik disertai distensi abdominal
 Priapism

Prosedur diagnostik

 Diagnostik didasarkan paling utama pada presentasi klinis dan pemeriksaan


neurologis
 Radiografi spinal seharusnya dilakukan untuk mengetahui fraktur atau kerusakan
pada vertebra
 Radiografi polos dan CT scan normal tidak mengesampingkan adanya kerusakan
medula spinalis
 CT untukmenggambarkan anatomi tulang termasuk fraktur
 MRI dapat menunjukan kompresi pada medula spinalis

Intervensi terapeutik

 Kaji dan tangani syok neorogenik


 Sediakan support emosional pada pasien yang mengalami kehilangan fungsi
 Mulai perawatan kulit , kebersihan organ pernapasan , pencegahan tromboemboli
vena, dan pemeriksaan lain untukmencegah komplikasi akibat imobilisasi.

E. DISREFLEKSIA OTONOM

Juga dikenal dengan hiperfleksia, disrefleksia otonom merupakan kondisi mengancam jiwa
yang dapat terjadi pada pasien dengan cedera medula spinalis pada T6 atau di atasnya.

TABEL 36-7 SINDROM MEDULA SPINALIS TIDAK KOMPLET

SINDOM PENYEBAB PRESENTASI KLINIS

Sindom korda sentral Hiperekstensi perdarahan Kehilangan fungsi sensorik


Pada tengah korda dan motorik di bawah
13
bagian yang mengalami
cedera
Kehilangan fungsi terutama
pada lengan dan kaki
disfungsi bladder pada
berbagai tingkatan
sindrom korda anterior Hiperfleksia akut Disestesia (sensasi
Kompresi pada arteri spinal terbakar) pada lengan dan
anterior tangan adalah hal yang
umum kehilangan fungsi
motorik, nyeri dan suhu
pada bawah bagian yang
mengalami cedera
Sentuhan kasar, tekanan
Hemiseksi transversal korda dalam, propriosepsi dan
Biasanaya disebabkan karena vibrasi masih baik
Sindrom brown-sequard trauma penertasi Prognosia terburuk dari
semua sindrom korda
Kehilangan fungsi motorik,
Cedera pada saraf radix propriosepsi, vibrasi
lumbosakral ipsilateral (sisi yang
Sindrom cauda equina berlawanan)
Kehilangan fungsi motorik
dan sensorik ekstremitas
bawah pada berbagai
tingkatan
Disfungsi bladder dan
bowel seperti berkemih
tidak lampias atau retensi,
inkotinensia bladder atau
bowel, kontipasi
Input sensori yang kuat, sering dalam bentuk nyeri atau ketidaknyamanan pada bawah bagian
yang mengalami cedera, menyebabkan respon refleks simpatis yang masif. Aliran simpatis yang
tidak terkontrol inilah yang menyebabkan vasokontriksi dan kenaikan tekanan darah yang
berbahaya.

Penyebab umum terjadinya disrefleksia otonom pada pasien gawat darurat meliputi:

 Nyeri
 Distensi bladder (kandung kemih)
 Retensi urine
14
 Keteter urine tersumbat
 Prosedur diagnostik invansif
 Kontak dengan objek keras atau tajam
 Fraktur atau trauma lain
 Konstipasi, distensi atau iritasi bowel
 Penyebab lain meliputi :
 Ulkus dekubitus
 Pakaian atau balutan yang terlalu ketat
 Kuku kaki yang tumbuh kedalam
 Kram menstruasi
 Persalinan

Tanda dan Gejala

 Peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba kemungkinan dapat mencapai 200/100 mmHg
 Sakit kepala seperti terhantam akibat vasodilatasi pembuluh darah vena
 Piloereksi (merinding)
 Berkeringat dan kemerahan pada bagian atas yang mengalami cedera
 Kulit dingin dan berkeringat pada bawah bagian yang mengalami cedera
 Bradikardi (usaha untuk menurunkan tekanan darah)

Prosedur Diagnostik

 Diagnostik didasarkan pada presentasi klinis

Intervensi Terapeutik

 Penangganan dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah komplikasi


 Tempatkan pasien pada posisi tegak lurus
 Identifikasi stimulasi yang merugikan dan segera hentikan atau hilangkan jika
memungkinkan
 Jika keteter urine masih pada tempatnya, cek selang yang terpelintir, sumbatan
trainase, atau lokasi kantong drainase berada diatas bladder
 Jika selang keteter tidak terpelintir atau tidak pada tempatnya, pasang atau ganti
kateter
 Jika prosedur sedang dilakukan, akhiri prosedur sampai gejala berkurang
 Pengobatan diindikasikan jika pencetus atau stimulus yang mengganggu tersebut tidak
dapat diidentifikasi atau dihilangkan, atau jika tetap berlangsung setelah stimulus
dihilangkan.
 Nifedipin 10 mg per oral atau sublingual
 Nitroglycerine 0,4 mg sublingual atau 0,5 inchi (=1.25 sentimeter) secara topikal
 Clonidine 0,1-0,2 mg per oral
15
 Hydralazine 10-20 mg intramuskular atau intravena
 Monitor tekanan darah dan heart rate secara frekuen atau setiap 5 menit
 Pengobatan tambahan mungkin diperlukan untuk mencegah episode kekambuhan

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu
terjadinya fraktur pada tulang belakang pada tulang belakang, ligamentum longitudainalis
posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan
vena-vena yang mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut terputus.

B. Saran

16
Apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini kami membutuhkan kritik dan
saran dari bapak dan teman-teman semua yang bersifat membangun, agar makalah ini lebih baik
dan menjadi lebih sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Kurniati,dkk.2010. Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Singapura :


ELSEIVER

17
18

Anda mungkin juga menyukai