Anda di halaman 1dari 35

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Kegawatan Neurologis (Trauma Medula Spinalis)

Dosen Pengampu:

Ns. Tri Mochartini, S.Kep., M.Kep


Ns. Seven Sitorus, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.MB
Ns. Anastasia Hardiyanti, M.Kep., Sp.Kep.MB

DISUSUN OLEH :

Siti Afriyani 1032161005

Nanda Putiharsyani 1032161012

Puput Safitri 1032161027

Anissah Valeska S 1032161031

Arif Efendi 1032161034

Wirda Rina 1032161041

UNIVERSITAS MOHAMMAD HUSNI THAMRIN

FAKULTAS KESEHATAN PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah
Keperawatan Gawat Darurat tentang “Kegawatan Neurologis ( Trauma Medula Spinalis)”

Makalah ini kami membuat semaksimal mungkin. Maksud dan tujuan kami
menyelesaikan tugas makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu dari tugas kelompok
yang di berikan pada mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat serta tanggung jawab kami
pada tugas yang di berikan.

Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan di mana kami sadar bahwasanya
kami pun hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan,
sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Allah ‘Azza Wa Jalla hingga dalam pembuatannya
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran akan senantiasa kami terima
dan evaluasi diri.

Akhirnya kami hanya bisa berharap, bahwa di balik ketidaksempurnaan pembuatan


tugas makalah ini ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat bahkan hikmah bagi
kami, pembaca dan bagi seluruh mahasiswa Universitas Mohammad Husni Thamrin.

Jakarta, 22 Maret 2019

Kelompok 5
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana anatomi dari medulla spinalis?


2. Apa definisi dari trauma medulla spinalis?
3. Bagaimana etiologi dari trauma medulla spinalis?
4. Apa saja jenis-jenis trauma medulla spinalis?
5. Apa tanda dan gejala trauma medulla spinalis?
6. Bagaimana pengelolaan trauma medulla spinalis?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostiknya?
8. Apa saja komplikasi yang ditimbulkan trauma medulla spinalis?
9. Bagaimana pathways dari trauma medulla spinalis?
10. Bagaimana penatalaksanaan pasien trauma medulla spinalis?
11. Bagaimana asuhan keperawatan gawat darurat pada trauma medulla spinalis?

C. Tujuan
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Anatomi Medulla Spinalis

Medula spnalis terletak di dalam tulang belakang atau dilindungi oleh vertebrata.
Tulang belakang terdiri atas 31 segmen saraf spinal:
8 segmen cervical
12 segmen thoracal
5 segmen lumbal
5 segmen sacral
1 segmen coccygeal
Secara umum dapat kita lihat bahwa setiap masa tulang belakang terdiri dari bagian
yang berwama abu-abu dan berwama putih. Bagian yang berwama abu-abu (disebut
substansi grisea) sebagian besar terdiri dari soma sel dengan neurit atau axon yang
tidak dilapisi myelin, sedangkan bagian putih (substansi alba) yang mengelilingi
bagian berwama abuabu adalah kumpulan dari axon-axon yang dilapisi myelin.
Myelin yang menyebabkan bagian tersebut berwama putih. Keempat "lengan" dari
bagian yang berwama abu-abu (seperti bentuk H) disebut dengan dua tanduk dorsal
(dorsal horns/cornu posterius) dan dua tanduk ventral (ventral horns/ cornu anterius).
Setiap kumpulan saraf (bagian kiri atau bagian kanan) dibagi menjadi dua bagian,
axonnya masuk ke sumsum tulang belakang melalui dua akar (root), yaitu dorsal root
dan ventral root.

Gray matter White matter


1. Anterior horn 4. Anterior funiculus
2. Posterior horn 5. Lateral funiculus
3. Gray commisure 6. Posterior funiculus
7. Anterior commisure
8. Anterior median fissure
9. Posterior median sulcus
10. Central canal
11. Anterior root
12. Posterior root
13. Dorsal root ganglion

B. Definsi Trauma Medula Spinalis

Trauma medula spinalis adalah trauma langsung atau tidak langsung pada tulang
belakang yang menyebabkan lesi medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologik, yang dapat berakibat kecacatan menetap atau kematian. (Junita Maja P. S.,
2013)

Trauma Medula Spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan kecacatan


permanen dan mengancam nyawa. Trauma Medula Spinalis (TSM) meliputi kerusakan
medula spinalis karena trauma langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan
gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik
komplek ataupun inkomplet (Gondowadarja dan Puwarta, 2014:567)

Syok spinal merupakan hilangnya kemampuan motoric, sensorik dan fungsi refleks
sementara pada bawah bagian yang mengalami kerusakan.

a. Onset biasanya berlangsung mendadak akan tetapi dapat terjadi selama beberapa
hari setelah cedera dan berakhir sampai beberapa hari sampai beberapa minggu.
b. Tingkat kerusakan akan menentukan intensitas dan durasi syok spinal.
c. Presentasi klinis meliputi paralisis flacid atau kelemahan, areflexia atau tidak
adanya reflex dan kehilangan fungsi bowel dan bladder.

C. Etiologi

Word Health Organization, trauma medulla spinalis dibagi menjadi TSCI (traumatic
spinal cord injury) dan NTSCI (non traumatic spinal cord injury).

1. Kecelakaan lalulintas

Kecelakaan lalulintas adalah penyebab utama tsci ( traumatic spinal cord injury)
akibat tidak menggunakan sabuk pengaman saaat berkendara dan akibat kecelakaan
kendaraan bermotor.

2. Jatuh

Jatuh merupakan penyebab kedua pada tsci ( traumatic spinal cord injury) seperti
jatuh dari gedung yang tinggi, jatuh saat berolahraga maupun saat beraktifitas.

3. Kekerasan (luka tembak dan terkena pukulan)

Kekerasan (trauma akibat terkena pukulan saat perkelahian atau luka tembak).
Penyebab NTSCI (non traumatic spinal cord injury) yang paling utama yaitu tumor
neoplastik, kondisi degenerative pada tulang belakang, gangguan vaskular dan
gangguan autoimun

Penyebab utama cidera spinalis pada orang dewasa bedasarkan angka kejadian yang
paling sering adalah sebagai berikut:

a. Tabrakan mobil
b. Kecelakaan penyelaman pada perairan dangkal
c. Tabrakan sepeda motor
d. Jatuh dan cidera lain

Penyebab utama cidera spinal pada anak-anak adalah:

a. Jatuh dari ketinggian (2-3x tinggi badan penderita)


b. Jatuh dari sepeda
c. Tertabrak kendaraan bermotor

Menurut Junita Maja P. S pada penelitiainnya (2013), Kerusakan medula spinalis


tersering oleh penyebab traumatik, disebabkan dislokasi, rotasi, axial loading, dan
hiperfleksi atau hiperekstensi medula spinalis atau kauda ekuina. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab tersering dari trauma medula spinalis, sedangkan
penyebab lainnya ialah: jatuh, kecelakaan kerja, kecelakaan olahraga, dan penetrasi oleh
tikaman atau peluru senjata api. Disamping trauma pada vertebra dan medula spinalis
serta penyakit vaskuler, kerusakan medula spinalis juga dapat disebabkan keadaan non-
traumatik seperti kanker, infeksi, dan penyakit sendi intervertebralis

D. Jenis-Jenis Trauma Spinal


1. Flexion Injury

Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan


selanjutnya dapat menimbulkan kempresi pada bagian anterior korpus vertebra dan
mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan
sebagai cedera yang stabil.

2. Compression Injury
Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat
menimbulkan brust fracture.

3. Hyperextension Injury

Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan


menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum
vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.

4. Distraction Injury
5. Flexion-Rotation Injury

Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cidera pada ligamentum posterior dan prosisus
artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur rotasional
yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan
cedera yang paling stabil.

Fildes (2008:162) menyatakan bahwa trauma medulla spinalis diklasifikasikan


berdasarkan level, beratnya defisit neurologis, dan sindroma medulla spinalis.

1. Berdasarkan Level

Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi sensorik
dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level sensorik yang digunakan
berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling kaudal dari medulla spinalis dengan
fungsi sensorik normal. Level motorik juga didefenisikan hampir sama, sebagai
fungsi motorik pada otot penanda yang paling rendah dengan kekuatan paling tidak
3/5. Pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi sensorik atau motorik
dibawah segmen normal terendah hal ini disebut dengan zone preservasi parsial.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan level trauma pada kedua sisi sangat
penting. Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi diatas dan dibawah T1. Cedera pada
segmen servikal 1 hingga 8 medulla spinalis akan menyebabkan tetraplegi, dan lesi
dibawah T1 menyebabkan paraplegi. Level trauma pada tulang adalah pada tulang
vertebra yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis. Level neurologis trauma dapat ditentukan pertama kali dengan pemeriksaan
fisik. Seringkali ditemukan perbedaan antara level tulang dan neurologis karena
nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui foramen dan naik atau turun
didalam kanalis spinalis sebelum benar-benar masuk ke medulla spinalis.
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The Christopher &
Dana Reeve Foundation Sherped Centre and KPK interactive (2011: 4-7)
mengkategorikan trauma medulla spinalis , menjadi:

a. High Cervical Nerves ( C1-C4)

Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia. Pasien mungkin
tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan kemampuan sendiri juga
kehilangan kemampuan mengontrol defekasi, berkemih. Terkadang kemampuan
untuk berbicara juga terganggu atau menurun.

b. Low Cervical Nerves (C5 – C8)


Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas dan bicara normal
seperti sebelumnya.:

1) Trauma C5
Pasien mampu menggerakkan tangan meraih siku,cenderung memiliki beberapa
atau kelumpuhan total dari pergelangan tangan, tangan, badan dan kaki. Mampu
berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas melemah.
2) Trauma C6
Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma pada level ini
menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi siku. Mampu berbicara
menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas melemah.
3) Trauma C7
Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu, dengan gangguan ekstensi
siku dan ekstensi jari – jari tangan. Tidak terdapat gangguan kontrol atau
terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
4) Trauma C8
Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek yang digenggam.
Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi
berkemih atau defekasi.
c. Thoracic Nerves (T1-T5)
Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot abdominal, dan otot
punggung atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang menyebabkan gangguan
ekstremitas atas.
d. Thoracic Nerves (T6 – T12)
Saraf pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung tergantung dari level
trauma medulla spinalis. Biasanya trauma menyebabkan keluhan paraplegia
dengan kekuatan ekstremitas atas dalam kondisi normal. Pasien masih mampu
mengendalikan kemampuan dan keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu
batuk produktif selama otot abdominal masih intak. Tidak terdapat kontrol atau
tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
e. Lumbar Nerves (L1-L5)
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki. Tidak
terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau
defekasi. Tergantung kekuatan kaki, pasien mungkin memerlukan alat bantu untuk
berjalan.

f. Sacral Nerves ( S1-S5)


Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan kaki. Tidak
terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih
atau defekasi. Pasien mampu berjalan cukup baik.

2. Berdasarkan beratnya defisit neurologi


Berdasarkan beratnya defisit cedera medulla spinalis dibagi menjadi 4, yaitu :
1) Paraplegia inkomplit (torakal inkomplit)
2) Paraplegia komplit (torakal komplit)
3) Tetraplegia inkomplit (servikal inkomplit)
4) Tetraplegia komplit (cedera servikal komplit)
Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi dari semua jaras
medulla spinalis. Adanya fungsi motorik dan sensorik dibawah level trauma
menunjukkan adanya cedera inkomplit. Tanda-tanda cedera inkomplit meliputi
adanya sensasi atau gerakan volunter di ekstremitas bawah, sacral sparing (contoh:
sensasi perianal), kontraksi sfinghter ani volunter, dan fleksi ibu jari kaki volunter.
Reflek sakral, seperti refleks bulbokavernosus atau kerutan anus, tidak termasuk
dalam sacral sparing

3. Berdasarkan sindrom medulla spinalis


Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien dengan
cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak membingungkan
pemeriksa.
a. Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada
ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan
sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya trauma
hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis stenosis servikal
sebelumnya. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat jatuh kedepan dengan
dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang
servikal atau dislokasi.

Central Cord Syndrome


(Dikutip dari: Amstrong et all: 2014)
b. Anterior Cord Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi dengan
hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi, dan
tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan
infark pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior.
Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya.
Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris
terhadap raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik.
Anterior Cord Syndrome
(Dikutip dari: Amstrong et all: 2014)

c. Brown Sequard Syndrome


Sindrom ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat luka
tembus. Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni,
sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus
kortikospinalis) dan hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan
hilangnya sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di
bawah level trauma (traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan
trauma tembus langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk
terjadi perbaikan (Fildes, 2008:162-163).

Brown Sequard Syndrome


(Dikutip dari: Amstrong et all: 2014)

E. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala tergantung pada tingkatan dan dari derajad trauma Lesi Medulla Spinalis
Incomplete dan Hubungannya dengan Kehilangan Fungsi Akut

Sindroma cidera medula spinalis sebagian :

1. Anterior
Disebabkan oleh kerusakan atau adanya infark pada 2/3 medula spinalis anterior. Injuri
hiperfleksi pada tulang servikal mungkin menyebabkan fragmen tulang atau material disk
kolaps atau menekan arteri spinal anterior yang mensuplai 2/3 medula anterior.

Presentasi pasien :

a. Hilangnya fungsi spinotalamus ( control nyeri dan suhu) di bawah tingkat lesi.
b. Paralisis complete dibawah tingkat injuri
c. Fungsi kolom posterior terpisah ( posisi, tekanan, vibrasi, dam sensasi sentuhan
lembut).
d. Hiperestesia ( sensitivitas yang tidak biasa pada suatu stimulus sensorik) dan
hipalgesia ( berkurangnya sensasi nyeri ) dibawah tingkat injuri

2. Central

Disebabkan kerusakan atau edema pada bagian tengah medulla spinalis pada area
servikal. Terjepitnya medulla dimana permukaan medulla terpisah. Pola ini biasanya
berhubungan dengan arthritis atau osteopitis degenerative yang terjadi pada vertebra
servikal. Injuri hiperekstensi dapat menyebabkan bengkok pada ligament flavum.

Presentasi pasien:

a. hilangnya motorik ekstresmitas atas lebih besar daripada ekstremitas bawah, lebih
ditemukan pada tangan atau jari-jari.
b. Fungsi kaki biasanya melemah
c. Hilangnya sensorik pada ekstremitas atas lebih besar daripada ekstremitas bawah
dan lebih ditemukan pada tangan dan jari- jari.
d. Masalah buang air besar atau buang air kecil mungkin ditemukan, mungkin juga
tidak.

3. Sindroma brown sequard

Disebabkan oleh transverse hemisection pada medulla. Kerusakan hanya pada satu sisi
medulla dan biasanya dihubungkan dengan injuri penetrasi, hernia disk atau fragmen
tulang.

Presentasi pasien:
a. Hilangnya sensasi vibrasi dan sentuhan lembut pada sisi tubuh yang sama
(ipsilateral) dibawah tingkat injuri.
b. Hilangnya fungsi motorik pada sisi tubuh yang sama (ipsilateral) dibawah tingkat
injuri
c. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada sisi tubuh yang berlawanan (kontralateral)
dibawah tingkat injuri

4. Posterior

Kondisi yang sangat terjadi dimana bagian posterior ketiga medulla spinalis terkena.
Disebabkan oleh injuri hiperekstensi atau mekanisme penetrasi langsung seperti luka
tusukan pisau.

Presentasi pasien:

a. Hilangnya rasa vibrasi dan sentuhan ringan dibawah tingkat injuri


b. Penurunan fungsi motoric, rasa nyeri dan suhu

5. Sindrom horner

Disebabkan transeksi sebagian besar medulla pada T1 atau diatasnya. Lesi preganglionic
sympathetic trunk atau neuron simpatis postganglionic dari ganglion servikal superior
yang menyebabkan sindrom ini.

Presentasi pasien:

a. Pupil pada sisi yang sama (ipsilateral) dari injuri menjadi mengecil ( miosis)
daripada pupil yang beseberangan.
b. Bolamata ipsilateral tenggelam (enophthalamus) dan mempengaruhi jatuhnya
kelopak mata (ptosis).
c. Sisi ipsilateral wajah tidak berkeringat
d. Kesulitan berbicara atau serak mungkin terjadi dengan sprain hiperekstensi yang
juga menyebabkan injuri pada laryngeal
e. Kontralateral hilangnya sensasi nyeri dan temperatur dibawah lesi

Menurut menurut Campbell (2004 ; 133)


1. Kelemahan otot
2. Adanya deformitas tulang belakang
3. Adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
4. Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
5. Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses,
6. Terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)

F. Pengelolaan Trauma Spinal


1. Perhatikan keamanan lingkungan, keamanan pasien dan penolong
2. Datang menemui korban dari arah kali korban jangan dari belakang korban dan bila
korban sadar perintahkan untuk tidak bergerak atau menggerakkan kepala dan badan
3. Bila terlihat penderita tidak bergerak/tidak sadar satu penolong melakukan jaw trush
dan penolong lain mengecek respons pasien (AVPU)
4. Check airway, breathing dan circulasi
5. Lakukan pemeriksaan dini (rapid assessment) dari kepala sampai kaki dengan cepat
dan cermat
6. Setelah periksa kepala pelihara jalan nafas tetap terbuka dengan jaw trush berikan
high flow oksigen
7. Bila penderita sadar periksa fungsi motorik dan sensorik alat gerak
8. Setelah selesai memeriksa leher pasang neck collar, jaw trush tetap dilakukan
9. Setelah selesai melakukan pemerikasaan sampai kaki pindahkan pasien segera ke long
board spinal atau papan dan alat lain yang punya alas yang keras
10. Bila asa luka atau pendarahan luar segera stop dengan balut tekan, sebelum pasien
dipindah ke spinal board
11. Pada saat proses pemindahan (log roll) pada saat pasien di miring kan 45 derajat
segera penolong yang di tengah memeriksa belakang badan pasien mulai dari
belakang kepala sampai ke belakang tumit apakah ada luka memar luka bakar
perubahan bentuk dengan cermat ruas demi ruas tulang belakang diperiksa apakah ada
kelainan, bila ada pendarahan luar stop segera dengan balut tekan, baru pasien
dipindahkan ke spinal board
12. Bila pasien dalam situasi tidak aman dan harus segera dipindah ke tempat aman, tidak
perlu dilakukan pemeriksaan dini secara lengkap tapi hentikan perdarahan luar, log
roll ke spinal board saat log roll wajib di periksa dengan cepat dan cermat, bagian
belakang badan segera pindah ke spinal board dan bawa ketempat aman segera
13. Setelah dilakukan jaw trush ini dipertahankan sampai kepala pasien telah difiksasi
pada long spinal board baru boleh dilepas. Penyulit pada pengelolaan pasien spinal
adalah:
a. henti nafas, karena kelumpuhan otot dada
b. kelumpuhan ke empat ekstremitas
c. syok
14. Setelah pasien terfiksasi dengan baik pada long spinal board segera pindahkan ke
ambulance
15. Sebelum berangkat untuk antisipasi buat resusitasi syok pasang infus 2 jalur dengan
jarum besar mulai dengan tetesan KVO (Keep Vein Open) bila ada tanda-tanda syok
lakukan resusitasi sesuai protokol terapi cairan
16. Sepanjang perjalanan lakukan secondary survey, check lebih teliti dan cermat, periksa
dari kepala sampai ujung kaki
17. Lakukan monitoring tanda-tanda vital dengan ketat setiap 5 menit bila Pasien belum
stabil atau setiap 15 menit bila pasien sudah stabil hubungi rumah sakit yang dituju,
laporkan identitas pasien, keadaan umum, tanda-tanda vital dan penanganan yang
dilakukan
18. Bila jalan nafas masih dapat dipertahankan terbuka atau bila ada henti nafas bila
penggunaan bag Valve mask bisa memberikan pernapasan yang efektif pertahankan
sampai pasien tiba di rumah sakit dengan aman dan dapat mengurangi pergerakan
leher dan tukang belakang
19. Setelah pasien sampai dirumah sakit selama pasien melakukan pemeriksaan
penunjang untuk diaognosa seperti X-ray, ct scan ataupun MRI tetap harus diatas long
spinal board jangan pernah dipindah ketempat lain
20. Spinal board dan neck collar baru boleh dilepas/ dipindahkan bila sudah terbukti tidak
ada cidera pada kepala, leher dan tulang belakang atau bila ada cidera pasien
dipindahkan ke meja operasi yang diperuntukan buat merawat pasien cidera spinal
21. Bila pasien wanita hamil setelah difiksasi dengan benar pada long spinal board
miringkan 15 derajat ke arah kanan pasien agar astery dan vena femoralis tidak
tertekan supaya aliran darah tetal lancar dan venus return tetap baik.

G. Pemeriksaan Diagnostik

Chin (2016:1) menyatakan bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu :

1. Radiologis
a. Radiografi Polos
Radiografi hanya akan terlihat baik pada permulaan dan akhir gambaran vertebra
oleh karena itu, radiografi harus memadai menggambarkan semua vertebra.

b. Computed Tomography (CT) scanning


1) Mengvisualisasikan fraktur yang tidak terdeteksi dengan radiografi.
2) Reflek terhubung dengan kanal spinal atau akar saraf dengan fragmen tulang
atau fraktur ekstensif.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
1) Untuk mencurigai lesi medulla spinalis, cedera ligamen, dan cedera jaringan
lunak lain atau patologi.
2) Untuk mengevaluasi lesi nonosseous, seperti hematoma tulang belakang
ekstradural; abses atau tumor; disk yang pecah; dan perdarahan pada sumsum
tulang belakang, memar, dan / atau edema.
2. Laboratorium
Bahrudin (2016:447) menyatakan bahwa pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan yaitu :

a. Darah perifer lengkap


b. Gula darah sewaktu, ureum dan kreatinine

3. Neurofisiologi Klinik
Menurut Bahrudin (2016:447) neurofisiologi klinik yag dapat dilakukan yaitu EMG
(Elektromiografi) merupakan teknik yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi saraf
dan otot dengan cara menekan aktifitas listrik yang dihasilkan oleh otot-otot skeletal,
NCV (Nerve Conduction Velocity) merupakan teknik yang digunakan untuk melihat
bagaimana sinyal-sinyal listrik cepat bergerak melalui saraf dan SSEP (Somato Senseric
Evoked Potential) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk melihat atau
mempelajari lesi-lesi yang letaknya lebih proksimal, sepanjang jaras somato-sensorik
(tidak terjangkau dengan EMG).

H. Komplikasi
1. Insufiensi pernafasan atau arrest
i. Tanda dan gejala :
ii. Peningkatan kerja pernafasan, NIF ( Negerative Inspiratory Force) atau
dorongan inspirasi negative)
2. Edema paru neurologic
3. Disritmia jantung atau arrest
4. Syok spinal
5. Syok neurogenic
6. Disrefleksia otonom ( hiperfleksia)
7. Hipotensi ortostatik
8. imobilitas
I. Pathway
Trauma mengenai TL Belakang

Cedera kolumna vetebralis,


cedera medulla spinalis

Kerusakan jalur sipatetik desending Pendarahan mikroskopik Blok saraf parasimpatis

Kelumpuhan otot
Kehilangan Terputus Reaksi peradangan pernapasan
control tonus jaringan
vasomotor saraf
persarafan medulla Syok spinal Edema Reaksi Iskemia dan
simpatis ke spinalis anestetik hipoksemia
jantung Respon Penekanan
nyeri syaraf dan Ileus Gangguan
Paralisis
hebat dan pembuluh paralitik, pola napas
Reflek spinal dan
akut darah gang fungsi
paraplegi rectum,
Aktivasi system kandung Hipoventilasi
Nyeri Penurunan kemih
saraf simpatis hambatan
perfusi
mobilitas Gagal napas
Disfungsi jaringan
fisik gangguan
Kontriksi persepsi eliminasi
pembuluh spasial dan urine dan Kematian
Kelemahan kehilangan fecal
darah
fisik sensori

Resiko infark Penurunan


ilasi
perubahan koping
pada miokard tingkat kesadaran
persepsi sensori individu
tidak efektif
resiko kecemasan klien
Penekanan Kemampuan defisit
trauma dan keluarga
jaringan batuk ↓, kurang perawatan
setempat mobilitas fisik diri

Decubitus bersihan Asupan


ketidakseimbangan
jalan napas nutrisi tidak
adekuat nutrisi
kerusakan
integritas
kulit
J. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Menurut Bahrudin (2016:448-449) terapi farmako yang dapat diberikan yaitu:
a. Berikan metilprednisolon 30 mg/KgBB, iv perlahan-lahan sampai 15 menit, 45 menit
kemudian per infuse 5 mg/KgBB selama 24 jam. Kortikosteroid mencegah
peroksidasi lipid dan peningkatan sekunder asam arakidonat
b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan ;
1) Diazepam 3 x 5-10 mg/hari
2) Bakloven 3 x 5 mg atau 3 x 20 mg perhari
c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan, antara lain ;
1) Analgetika
2) Antidepresan : amitriptilin 3 x 10 mg/hari
3) Antikonvulsan : gabapentin 3 x 300 mg/hari
d. Bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf otonom (tensi >180/100mmHg)
pertimbangkan pemberian obat anti hipertensi (Bahrudin , 2016: 448-449).

2. Non Farmakoterapi

Gondowardaja and Purwata ( 2014:569 ) menyatakan bahwa tatalaksana awal yang dapat
dilakukan yaitu fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder serta terapi kerusakan
primer. Observasi primer terdiri atas:

A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal


B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure (environmental control)
Terapi kerusakan primer : Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok
neurogenik yang berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada
awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar
katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih ditujukan untuk
mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan medula spinalis,
menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus diimbangi dengan
pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan
membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer.

Adapun penatalaksaan pada pasien yang akut:

a. Tujuan perawatan
1) Stabilisasikan tulang belakang dan mencegah trauma sekunder pada medulla:
b) Servikal collar atau brase
c) Traksi servikal dengan tongs
d) Halo brace
e) Tempat tidur kinetis
f) Kortikosteroid, seperti methylprednisolone (kontroversial)
g) Diuretic osmotic seperti mannitol ( kontroversial).
h) Pembedahan: laminektomi dekompresi, reduksi terbuka atau tertutup dari
fraktur, atau spinal fusion.
2) Dukung fungsi kardiopulmuner
a) Oksigen suplemen
b) Intubasi dan ventilasi mekanik
c) Tempat tidur kinetic
d) Infus kristaloid
e) Agen inotropic atau vasoprosesor
f) Atropin atau bradikardia
3) Menurunkan atau mengurangi nyeri dan spasme otot:
a) Analgesic (contoh acetaminophen, kodein, morfin)
b) Relaksan otot( contoh diazepam, baclofen)
c) Mendeteksi/ mencegah sekuel manifestasi klinis.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

A. Pengkajian
1. Primary survey
a. Airway
Pengkajian jalan nafas:
1) “ apa kabar?” untuk mengetahui informasi kepatenan jalan nafas dan tingkat
kesadaran.
2) Looking : tanda- tanda hipoksia, tauma jelas yang ada di jalan nafas.
3) Listening : suara nafas abnormal (contoh stridor : stridor adalah kondisi abnormal,
dimana suara pernapasan bernada tinggi yang disebabkan oleh sumbatan di
tenggorokan atau laring)
4) Imobilisasi tulang belakang dengan hard collar atau imobilisasi yang dilakukan
dengan alas keras, panjang dan datar (long spine boar)
5) Oksigen tambahan (alirah rendah)
6) Pemeliharaan kepatenan jalan napas dengan: jaw trust/ chin lift, oral airway,
suction.
7) Intubasi endotrakeal, indikasi: kebutuhan untuk menjaga kepatenan jalan nafas,
koreksi terhadap hipoksemia, trauma kepala berat, tingkat kesadaran yang
berubah-ubah, injury traumatic mayor.

b. Breathing
1) Identifikasi dan rawat injuri thorak mayor: pneumothorax( simple, terbuka, atau
tension) , haemopneumothorax, fraktur iga, fail chest.
2) Jika hal diatas ada, perlu dipertimbangkan trauma tracheobronchial, trauma
jantung (kontusio atau tamponade), kontusio pulmonar, terputusnya
aorta/esophageal, trauma diafragma.

c. Circulation
1) Cek nadi dan iramanya
2) Cek perfusi primer
3) Pasang infus dan dua vena untuk akses IV
4) Kirimkan sampel darah untuk persiapan transfuse
5) Hipotensi merupakan tanda hypovolemia waspada dengan ukur tekanan darah.

d. Disability
1) Pengkajian awal neurologi dibatasi hanya pada tingkat kesadaran dengan
menggunakan skala AVPU
A :Alert (Waspada)
V :responds to voice( respon terhadap suara)
P : responds to pain ( respon terhadap nyeri )
U : Unserpnsive ( tidak berespon)
2) Observasi pupil
3) Adanya perubahan AVPU menandakan perlunya pengkajian ulang airway,
breathing dan circulation.
e. Exposure
1) Perlunya inspeksi keseluruhan tubuh pasien
2) Selimuti klien untuk mengurangi kehilangan panas tubuh
a) Pemasangan kateter foley
b) Pemasangan NGT
c) Pemasangan monitor jantung atau EKG

2. Secondary survey
a. Anamnesis dan mekanisme trauma, riwayat medis, identifikasi dan mencatat obat
yang diberikan kepada penderita sewaktu datang da selama pemeriksaan dan
penatalaksanaan.
b. Penilaian ulang tingkat kesadaran dan pupil, penilaian ulang GCS, penilaian tulang
belakang( palpasi, nyari, paralisis, parastesia, sensasi, fungsi motoric, refleks
tendon dalam, pencacatan dan pemeriksaan tulang), evaluasi ulang akan adanya
cedera penyerta atau cedera tersembunyi.
c. Five Intervensi
1) Hasil AGD menunjukkan ketidakefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
2) CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
3) MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
4) Foto Rotgen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
5) Sinar – X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(Fraktur/Dislokasi)
d. Give Comfort

Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak

e. Head to Toe

Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera

Dada : Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding


dada, bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal

Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, terjadinya
gangguan pada ereksi penis (priapism)

Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif
2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif
3. Nyeri akut
C. Intervensi Keperawatan

NANDA NOC NIC

1. Pola Nafas Tidak Efektif b.d Status Pernafasan: Monitor Respirasi


Hiperventilasi Kepatenan Nafas
Indikator yang diharapkan Aktivitas:
: - Monitor jumlah, ritme,
Definisi : inspirasi dan ekspirasi - jumlah pernafasan dan usaha untuk
yang tidak memberikan ventilasi diharapkan normal bernafas
yang adekuat. - ritme pernafasan - Catat pergerakan dada,
diharapkan normal lihatkesimetrisan,peng
Data Obyektif :
- kedalaman pernafasan gunaan otot bantu
1. Airway
diharapkan normal nafas dan retraksi otot
adanya desakan otot diafragma
supraklavikula dan
dan interkosta akibat cedera - klien diharapkan tidak
interkostal
spinal sehingga mengganggu mengalami sesak nafas
jalan napas lagi saat istirahat - Monitor bunyi nafas

2. Breathing - Monitor pola nafas:


- klien diharapkan tidak
Pernapasan dangkal, tachynea,
menggunakan otot-otot
penggunaan otot-otot hiperventilasi, nafas
pernafasan dalam
pernapasan, pergerakan dinding kusmaul,
bernafas
dada
- klien diharapkan tidak
3. Circulation Terapi Oksigen
mengalami batuk lagi
Hipotensi (biasanya sistole Aktivitas:
kurang dari 90 mmHg), Tingkat Ketidaknyamanan
- Bersihkan mulut,
Bradikardi, Kulit teraba hangat Klien diharapkan mampu
hidung dan secret
dan kering, Poikilotermi menghilangkan : trakea
- Pertahankan jalan nafas
(Ketidakmampuan mengatur - Rasa nyeri yang paten
suhu tubuh, yang mana suhu - Rasa cemas - Atur peralatan
oksigenasi
tubuh bergantung pada suhu - Rasa stress - Monitor aliran oksigen
lingkungan) - Rasa takut - Pertahankan posisi
pasien
- Depresi - Observasi adanya tanda
- Rasa gelisah tanda hipoventilasi
- Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi

Vital Sign Monitoring


Aktivitas:

- Monitor TD, nadi,


suhu, dan RR
- Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
- Monitor VS saat
pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
- Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
- Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
- Monitor kualitas dari
nadi
- Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
- Monitor suara paru
- Monitor pola
pernapasan abnormal
- Monitor suhu, warna,
dan kelembaban kulit
- Monitor sianosis
perifer
- Monitor adanya
cushing triad (tekanan
nadi yang melebar,
bradikardi,
peningkatan sistolik)

2. Perfusi Jaringan Perifer Status Perfusi Jaringan Perawatan Sirkulasi


Tidak Efektif
Perifer dan Cerebral Aktivitas:
Kriteria Hasil: - Cek nadi perifer
Definisi: pengurangan/penurunan
- Pengisisan capilary refil - Catat warna kulit dan
dalam sirkulasi darah ke perifer
- Kekuatan pulsasi temperatur
yang bisa menyebabkan gangguan
perifer distal - Cek capilery refill
kesehatan/ membahayakan
- Kekuatan pulsasi - Catat prosntase dema,
kesehatan
perifer proksimal terutama di
- Kesimetrisan pulsasi ekstremitas
Data Objektif : perifer proksimal - Jangan mengelevasi
- Tingkat sensasi normal tangan melebihi
 Circulation
Hipotensi (biasanya sistole - Warna kulit normal jantung
kurang dari 90 mmHg), - Kekuatan fungsi otot - Jaga kehangatan klien
Bradikardi, Kulit teraba hangat - Keutuhan kulit - Elevasi ekstremitas
dan kering, Poikilotermi - Suhu kulit hangat yang edema jika
(Ketidakmampuan mengatur - Tidak ada edema dianjurkan , pastikan
suhu tubuh, yang mana suhu perifer tidak ada tekanan di
tubuh bergantung pada suhu - Tidak ada nyeri pada tumit
lingkungan) ekstremitas - Monitor status cairan,
 Disability masukan dan keluaran
Kehilangan sebagian atau yang sesuaiMonitor
keseluruhan kemampuan lab Hb dan Hmt
Status Sirkulasi
bergerak, kehilangan sensasi, - Monitor perdarahan
Kriteria:
kelemahan otot - Monitor status
- Tekanan darah dalam
hemodinamik,
batas normal ( dbn )
neurologis dan tanda
- Kekuatan nadi dbn
vital
- Rata – rata tekanan
darah dbn
Monitor tanda vital
- Tekanan vena sentral
Aktivitas :
dbn
- Monitor tekanan
- Tidak ada hipotensi
darah, nadi, suhu dan
ortostatik
RR
- Tidak ada bunyi
- Catat adanya fluktuasi
jantung tambahan
tekanan darah
- Tidak ada angina
- Monitor saat tekanan
- Tidak ada hipotensi
darah saat klien
ortostatik
berbaring, duduk dan
- AGD dbn
berdiri
- Perbedaan O2 arteri
- Ukur tekanan darah
dan vena dbn
pada kedua lengan dan
- Tidak ada suara nafas
bandingkan
tambahan - Monitor TD, nadi, RR
- Kekuatan pulsasi sebelum, selama dan
perifer setelah aktivitas
- Tidak pelebaran vena - Monitor frekuensi dan
Tidak ada edema irama jantung
perifer - Monitor bunyi jantung
- Monitor frekuensi dan
irama pernafasan
- Monitor suara paru
- Monitor irama nafas
abnormal
- Monitor suhu, warna
dan kelembaban kulit
- Monitor sianosis
perifer

Monitor status neurologi


Aktivitas: :
- Monitor ukuran,
bentuk, kesimetrisan
dan reaksi pupil
- Monitor tingkat
kesadaran
- Monitor tingkat
orientasi
- Monitor GCS
- Monitor tanda vital
Monitor respon pasien
terhadap pengobatan
3. Nyeri Akut b.d Gangguan Nyeri Akut Manajemen nyeri
Neurologis
Hasil yang diharapkan : Aktivitas:
Definisi : pengalaman sensori dan  Status kenyamanan:fisik  Lakukan pengkajian nyeri
emosional yang tidak  Tingkat secara komprehensif
menyenangkan yang muncul akibat ketidaknyamanan termasuk lokasi,
kerusakan jaringan yang actual atau  Mengontrol rasa sakit karakteristik, durasi,
potensial atau digambarkan dalam  Tinkat nyeri frekuensi, kualitas dan
hal kerusakan sedemikian rupa.  Tingkat stress faktor presipitasi
 Tanda-tanda vital  Observasi reaksi
Data Objektif: nonverbal dari
ketidaknyamanan
Tingkatan Nyeri  Menggunaakan strategi
 Exposure komunikasi terapeutik
Hasil yang diharapkan:
Adanya deformitas tulang belakang untuk mengetahui
 Melaporkan nyeri mengalami rasa sakit dan
Leher : Terjadinya perubahan  Persen respon tubuh menyampaikan
bentuk tulang servikal akibat cedera  Frekuensi nyeri penerimaan respon pasien
 Lamanya nyeri terhadap nyeri.
 Ekspresi nyeri lisan  Menetukan dampak dari
 Ekspresi wajah saat pengalaman nyeri pada
nyeri kualitas hidup.
 Melindungi bagian
tubuh yang nyeri Pengaturan lingkungan :
 Kegelisahan
kenyamanan
 Ketegangan otot
 Perubahan frekuensi  Bantu pasien dan keluarga
pernafasan untuk mencari dan
 Perubahan tekanan menemukan dukungan
darah  Kontrol lingkungan yang
 Perubahan ukuran pupil dapat mempengaruhi
 Berkeringat nyeri seperti suhu
 Hilangnya nafsu makan ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi
Kontrol Nyeri nyeri
 Recognize lamanya  Kaji tipe dan sumber
nyeri nyeri untuk menentukan
 Gunakan ukuran intervensi
pencegahan  Ajarkan tentang teknik
non farmakologi: napas
 Penggunanaan
mengurangi nyeri dalam, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
dengan non analgesic
 Tingkatkan istirahat
 Penggunaan analgesic
 Berikan informasi tentang
yang tepat
nyeri seperti penyebab
 Gunakan TTV nyeri, berapa lama nyeri
memantau perawatan akan berkurang dan
 Laporkan tanda/gejala antisipasi
nyeri pada tenaga ketidaknyamanan dari
kesehatan professional prosedur
 Gunakan sumber yang
tersedia
Self care assistance
 Menilai gejala dari
nyeri  Monitor kemampuan
 Gunakan catatan nyeri klien untuk perawatan
 Laporkan bila nyeri diri yang mandiri.
terkontrol  Monitor kebutuhan
klien untuk alat-alat
bantu untuk
kebersihan diri,
berpakaian, berhias,
toileting dan makan.
 Sediakan bantuan
sampai klien mampu
secara utuh untuk
melakukan self-care.
 Dorong klien untuk
melakukan aktivitas
sehari-hari yang
normal sesuai
kemampuan yang
dimiliki.
 Dorong untuk
melakukan secara
mandiri, tapi beri
bantuan ketika klien
tidak mampu
melakukannya.
 Ajarkan klien/
keluarga untuk
mendorong
kemandirian, untuk
memberikan bantuan
hanya jika pasien tidak
mampu untuk
melakukannya.
 Berikan aktivitas rutin
sehari- hari sesuai
kemampuan.
 Pertimbangkan usia
klien jika mendorong
pelaksanaan aktivitas
sehari-hari.
Positioning
 Menempatkan pasien
di tempat tidur yang
nyaman, yang bersifat
terapeutik.
 Menyediakan tempat
tidur yang
kuat/kokoh.
 Menempatkan pada
posisi yang
terapeutik.
 Memposisikan tubuh
pasien dengan tepat.
 Menghentikan atau
mendukung pengaruh
bagian tubuh.
 Meningkatkan
pengaruh bagian-
bagian tubuh.
 Mencegah terjadinya
amputasi pada posisi
flexi.
 Memposisikan pasien
untuk mengurangi
dyspnea.
 Memberikan tindakan
keperawatan untuk
mengurangi edema
seperti memberi alas
di bawah lengan.
 Memposisikan pasien
agar pertukaran gas
menjadi lancar.
 Memberi dorongan
pada pasien untuk
melakukan latihan
secara aktif.
 Memberikan bantuan
pada leher yang
mengalami trauma.
 Menggunakan papan
kaki pada kasur.
 Kembali
menggunakan teknik.
 Memposisikan
saluran urin dengan
tepat.
 Memposisikan pasien
untuk mencegah nyeri
pada luka.
 Menyanggah
punggung dengan
menggunakan
penopang punggung
dengan tepat.
 Meningkatkan efek
anggota badan pada
tingkat 20 atau lebih
di atas tingkat jantung
untuk memperbaiki
aliran pembuluh
balik.
 Memberikan arahan
pada pasien tentang
bagaimana
menggunakan postur
tubuh yang baik
ketika melakukan
kegiatan.
 Mengontrol
penggunaan alat
penarik yang tepat.
 Mempertahankan
posisi dan integritas
daya tarik.
 Meninggikan tempat
tidur pada posisi
kepala.
 Membalikkan tubuh
pasien dengan
memperhatikan
kondisi kulit.
 Mengistirahatkan
pasien setidaknya
setiap 2 jam sesuai
jadwal.
 Menggunakan alat
yang tepat untuk
menopang
tungkai/lengan.
 Menempatkan pasien
pada tempat yang
mudah dicapai.
 Penempatan tempat
tidur-tombol yang
mudah dijangkau.
 Tempatkan lampu
tanda panggilan yang
mudah dilihat.
DAFTAR PUSTAKA

Gondowardaja, Y. and Purwata, E.T. (2014). Trauma Medulla Spinalis: Patobiologi dan Tata Laksana
Medikamentosa. Continuing Medical Education, 41(8), pp. 567-569

Fildes, J. (2008). Advance Trauma Life Support for Doctors. 8th ed. Chicago: American Collage of
Surgeons Committee on Trauma.

Bahrudin, M. (2016). Neurologi klinis. Malang: UMM Press, Hal 13-16, 442-449

Wartonah dkk. (2016).Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. CV Trans Infomedia: Jakarta Timur

Junita Maja P. S. In: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN CEDERA SERVIKAL


MEDULA SPINALIS. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5, Nomor 3, November 2013, hlm. 181-
18

Anda mungkin juga menyukai