Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan ilhamnya kepada
kita, sehingga penulis dapat menyusun makalah ini. Shalawat dan salam kita curahkan ke
pangkuan nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kebodohan kepada
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang.
Akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran, demi kesempurnaan di masa yang akan datang.
1|Page
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .. 1
DAFTRA ISI .. 2
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA . 30
2|Page
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, veterbralis, dan
lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma tulang belakang
harus dianggap suatu trauma yang hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan
transportasi ke rumah sakit penderita harus diperlakukan secara hati- hati. Trauma tulang
belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligament dan diskus,
tulang belakang, dan sumsum tulang belakang ( medulla spinalis).
Sebagian besar trauma tulang belakang mengenai tulang tidak disertai kelainan pada
medulla spinalis (80%) dan hanya sebagian (20%) yang disertai kelainan pada medulla
spinalis. Penyebab cedera medulla spinalis akibat trauma langsung yang mengenai tulang
belakang dan melampaui batas kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf- saraf
yang berada di dalamnya. Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, kecelakaan industry, kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka
tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
a. menyelesaikan tugas seminar dari dosen mata ajaran KMB III
b. Mampu menentukan diagnosa keperawatan
3|Page
c. Mampu menulis definisi diagnosa keperawatan
d. Mampu menjelaskan rasional diagnosa keperawatan
e. Mampu memprioritaskan diagnosa keperawatan
f. Mampu menyusun rencana keperawatan untuk masing-masing diagnosa
keperawatan
g. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien
h. Mampu melaksanakan evaluasi
4|Page
BAB II
PEMBAHASAN
1. DEFENISI
Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001)
Cidera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang
mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang
diklasifikasikan sebagai :
Cedera medulla spinalis servikalis adalah trauma pada daerah leher yang dapat
bermanifestasi pada kerusakan struktur kolumna veterbrata, kompresi diskus, sobekan
ligamentum servikalis dan kompresi medulla spinalis pada setiap sisinya yang dapat
menekan spinal dan bermanifestasi pada kompresi radiks dan distribusi saraf sesuai
segmen dari tulang belakang servikal.
2. ETIOLOGI
3. PATOFISIOGI
Trauma pada servikal bisa menyebabkan cedera spinal stabil dan tidak stabil.
Cedera stabil adalah cedera yang komponen veterbralnya tidak akan tergeser oleh
gerakan normal sehinggga sumsum tulang belakang tidak rusak dan biasanya risikonya
lebih rendah. Cedera yang tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran
lebih jauh dimana terjadi perubahan struktur dari osioligamentosa posterior (pedikulus,
sendi- sendi permukaan, arkus tulang posterior, ligament interspinosa dan supraspinosa),
komponen pertengahan ( sepertiga bagian posterior badan veterbral, bagian posterior dari
diskus intervertebratalis dan ligament longitudinal posterior), dan kolumna anterior ( dua
pertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior diskus intervertebratalis, dan
ligament longitudinal anterior).
Pada cedera hiperekstensi servikal, pukulan pada muka atau dahi akan memaksa
kepala ke belakang dan tak ada yang menyangga oksiput hingga kepala itu membentur
bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat rusak atau arkus saraf mungkin
mengalami kerusakan.
Pada cedera fleksi akan meremukan badan vertebral menjadi baji, ini adalah
cedera yang stabil dan merupakan tipe fraktur veterbral yang paling sering di temukan.
Jika ligament posterior tersobek, cedera bersifat tidak stabil, dan badan vertebra bagian
atas dapat miring ke depan di atas badan veterbara di bawahnya.
6|Page
Patofisiologi cedera medulla spinal servikalis ke masalah keperawatan
Trauma pada servikalis tipe Fraktur, subluksasi, dislokasi, Trauma pada servikalis tipe
ekstensi kompresi diskus, robeknya fleksi
ligamentum, dan kompresi akar
saraf
Fraktur kompresi
Kompresi korda RISTI INJURY Spasme otot baji, ligament utuh
Actual/ risiko:
Tindakan pola nafas tidak NYERI Spasme otot
dekompresi dan efektif .
stabilisasi
Curah jantung Hambatan mobilitas
Kompresi diskus
menurun
dan kompresi akar
Fase asuahan
saraf di sisinya
perioperatif
Prognosis penyakit
4. MANIFESTASI KLINIS
Akibat yang di timbulkan oleh cedera medulla spinalis tergantung pada tingkat
medulla yang mengalami cedera. Tipe cedera mengacu pada keparahan cedera yang
terjadi pada medulla itu sendiri.
7|Page
a) Tingkat neurologis
Mengacu pada tingkat yang terendah dimana fungsi sensori dan motorik normal.
Paralisis sensorik dan motorik total di bawah tingkat neurologis
Kehilangan control kandung kemih dan usus (biasanya terjadi retensi urine
dan disertai distensi kandung kemih).
Kehilangan kemampuan berkeringat dan tinus vasomotor di bawah tingkat
neurologis.
Reduksi tekanan darah yang sangat jelas akibat kehilangan tahanan
vaskuler perifer.
b) Masalah pernapasan
Yang berhubungan dengan gangguan fungsi pernapasan, keparahan
bergantung pada tingkat cedera.
Gagal napas akut mengarah pada kematian pada cedera medulla spinalis
servikal tinggi.
5. KOMPLIKASI
a. Neurogenik shock.
b. Hipoksia.
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic Hipotensi
f. Ileus Paralitik
g. Infeksi saluran kemih
h. Kontraktur
i. Dekubitus
j. Inkontinensia blader
k. Konstipasi
8|Page
6. PEMERIKSAAN FISIK
Kaji keadaan umum, tanda- tanda vital, adanya deficit neurologis, dan status
kesadaran pada fase awal kejadian trauma, terutama pada klien diindikasi cedera spinal
tidak stabil.
Defel neurologis di tentukan oleh lokasi dan kekuatan trauma. Syok spinal terjadi
bila trauma pada servikal atau setinggi torasik. Gejala awal syok, klien akan mengalami
paralisis, kehilangan reflex tendon dan abdominal, reflex babinski positif dan terjadi
retensi urine dan retensi alvi. Apabila ada kompresi korda penilaian fungsi respirasi di
mana kapasitas vital menurun. Klien dengan cedera spinal stabil, keadaan umum, TTV,
deficit neuroologis, dan status kesadaran biasanya tidak mengalami perubahan.
7. PENGKAJIAN FOKUS
Lihat adanya deformitas pada leher. Kaji adanya memar baik pada leher, muka, dan
bagian belakang telinga. Tanda memar pada wajah, mata dan dagu merupakan salah satu
tanda adanya cedera hiperekstensi pada leher.
1) PENGKAJIAN
a. Aktifitas /Istirahat
Tanda :
b. Sirkulasi
Gejala :
Tanda :
9|Page
Hipotensi, hipotensi postural, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
c. Eliminasi
Tanda :
Gejala :
Tanda :
e. Makanan /cairan
Tanda :
Tanda :
Gejala :
10 | P a g e
Kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan/ kai. Paralisis/ spastisitas dapat
terjadi saat syok spinal teratasi, tergantung pada area spinal yang sakit.
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan
pada syok spinal).
Kehilangan sensasi ( derajat bervariasi dapat kembali normal setelah syok
spinal sembuh)
Kehilangan tonus otot/ vasomotor
Kehilangan reflex / reflex asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi
pupil, ptosis, hilangnya keringat darri bagian tubuh yang terkena pengaruh
trauma spinal.
h. Nyeri /kenyamanan
Gejala :
Nyeri/ nyeri tekan otot, hiperetestia tepat di atas daerah trauma
Tanda :
Gejala :
Tanda :
Gejala :
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
k. Seksualitas
11 | P a g e
Gejala :
Keinginn untuk kembali seperti fugsi normal
Tanda :
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Sinar X spinal
b. Skan ct
c. MRI
d. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
patologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid
medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi
maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada
trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
12 | P a g e
g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
9. PENATALAKSANAAN KEDARURATAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Actual/ risiko tinggi injury korda spinalis b/d kompresi korda sekunder dari cedera
spinal servikal tidak stabil, manipulasi berlebihan pada leher.
2. Actual/ risiko tinggi pola napas tidak efektif b/d kelemahan otot- otot pernapasan,
kelumpuhan otot diafragma.
3. Actual risiko penurunan curah jantung b/d penurunan denyut jantung, dilatasi
pembuluh darah, penurunan kontraksi otot jaunting sekunder dari hilangnya kontrool
pengiriman dari reflex baroreseptor akibat kompresi korda.
4. Nyeri b/d kompresi akar saraf servikalis, spasme otot servikalis sekunder dari cedera
medulla spinal stabil dan tidak stabil.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Injury korda spinalis b/d kompresi korda sekunder dari cedera medulla spinal servikal tidak
stabil, manipulasi berlebihan pada leher
13 | P a g e
Intervensi Rasionalisasi
Monitor tiap jam akan adanya syok spinal pada Cedera pada vertebra servikal dapat
fase awal cedera selama 48 jam. mengakibatkan terjadinya syok spinal. Syok
spinal adalah tidak berfungsinya system saraf
otonom dalam mengatur tonus pembuluh darah
dan cardiac output. Gambaran klasik berupa
hipertensi, bradikardi, paralisis, tes reflex
bubokavernosus pada colok dubur didapatkan
penjepitan anus (+).
Lakuakan teknik pengangkatan cara log rolling Teknik ini mempunyai prisip memindahkan
dan/atau menggunakan long backboard pada kolumna vertebralis sebagai suatu unit dengan
setiap transportasi klien kepala dan pelvis dengan tetap menjaga
kesejajaran tulang belakang untuk menghindari
kompresi korda.
Istirahatkan klien dan atur posisi fisiologis Posisi fisiologis akan menurunkan kompresi
saraf leher.
Imobilisasi leher terutama pada klien yang Pemasangan fiksasi kolar servikal dapat
mengalami cedera spinal tidak stabil. menjaga kestabilan dalam melakukan
mobilitas leher. Pada saat pemasangan collar
cervical perawat penting menjaga kesejajaran
dari posisi leher dalam posisi netral agar
jangan terjadi kompresi korda.
14 | P a g e
Beri penjelasa tentang kondisi klien. Usaha untuk meningkatkan kooperatif klien
terhadap intervensi yang di berikan dan
membantu menurunkan kecemasan klien.
Kolaborasi dengan dokter : pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan utama dalam menilai sejauh mana
kerusakan yang terjadi pada cedera spinal
servikal.
Actual/ risiko tinggi pola napas tidak efektif b/d kelemahan otot- otot pernapasan, kelumpuhan
otot diafragma.
Tujuan : dalam waktu 224 jam tidak terjadi ketidakefektifan pola napas.
Kriteria Hasil : RR dalam batas normal (12-20/menit), tidak ada tanda- tanda sianosis, analisa gas
darah dalam batas normal, pemeriksaan kapasitas paru normal.
Intervensi Rasionalisasi
Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi Distress pernapasan dan perubahan pada tanda-
pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda- tanda tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress
vital. fisiologi dapat menunjukkan terjadinya spinal
syok. Trauma pada C1-C2 menyebabkan
hilangnya fungsi pernapasan secara parsial,
karena otot pernapasan mengalami
kelumpuhan.
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk Membantu klien mengalami efek fisiologis
control diri dengan menggunakan pernapasan lebih hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai
lambat dan dalam. ketakutan/ ansietas.
15 | P a g e
Pertahankan jalan napas; posisi kepala tanpa gerak. Klien dengan cedera servikalis akan
membutuhkan bantuan untuk mencegah
aspirasi/ mempertahankan jalan napas.
Kaji distensi abdomen dan spasme otot. Kelainan penuh pada perut disebabkan karena
kelumpuhan diafragma.
Berikan oksigen dengan cara yang tepat. Metode di pilih sesuai dengan keadaan
isufisiensi penapasan.
Letakkan kantung resusitasi di samping tempat Sangat berguna untuk mempertahankan fungsi
tidur dan manual ventilasi untuk seawktu- waktu pernapasan jika terjadi gangguan pada alat
dapat digunakan. ventilator secara mendadak.
Actual/ risiko tinggi penurunan curah jantung b/d penurunan denyut jantung, dilatasi
pembuluh darah, penurunan kontraksi otot jaunting sekunder dari hilangnya kontrool
pengiriman dari reflex baroreseptor akibat kompresi korda.
Tujuan : dalam waktu 224 jam tidak terjadi penuruna curah jantung.
Kriteria Hasil : frekuensi nadi dalam batas normal (12-20/menit), kualitas dan irama nadi dalam
batas normal, Td dalam batas normal 120/80 mmHg, CRT >3 detik, akral hangat.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji dan lapor tanda penurunan curah jantung. Kejadian mortality dan morbidity sehibungan
dengan cedar medulla spinal C1-C6 yang tidak
stabil meningkat sampai 48 jam pertama
16 | P a g e
pascacedera.
Pantau adanya haluaran urine , catat haluaran dan Ginjal berespon untuk menurunkan curah
kepekatan/ konsentrasi urine. jantung dengan menahan cairan dan natrium,
haluaran urine biasanya menurun selama dua
hari karena perpindahan cairan ke jaringan
tetapi dapat meningkat pada malam hari
sehingga cairan berpindah kembali ke sirkulasi
bila klien tidur.
Kaji perubahan pada sensorik seperti letargi, cemas Dapat menunjukkan tidak adekuatnya perfusi
dan depresi. serebral sekunder terhadap penurunan curah
jantung.
Berikan istirahat psikologis dengan lingkungan Stress emosi menghasilkan vasokontriksi, yang
tenang. terkait dan meniingkatkan TD serta frekuensi/
kerja jantung.
Nyeri b/d kompresi akar saraf servikalis, spasme otot servikalis sekunder dari cedera medulla
spinal stabil dan tidak stabil.
17 | P a g e
Tujuan : dalam waktu 124 jam nyeri berkurang / hilang atauu teradaptasi.
Kriteria Hasil : secara subjektif melaporkan bahwa nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, skala nyeri
0-1 (0-4) dpat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak
gelisah.
Intervensi Rasionalisasi
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nyeri nonfarmakoloi dan non- invasive. nonfermakologi lainnya telah menunjukkan
keefektifan dalam mengurangi nyeri.
2. Lakukan masase pada otot leher. Masase rringan dapat meningkatkan aliran
darah dan membantu suplai darah dan oksigen
ke area nyeri leher akibat spasme otot.
3. Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam Meningkatkan asupan oksigen sehingga akan
saat nyeri muncul. menurunkan nyeri sekunder dari iskemia.
18 | P a g e
4. Manajemen lingkungan : lingkungan Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus
tenang dan batasi pengunjung. nyeri eksternal dan menganjurkan klien untuk
beristirahat dan pembatasan pengunjung akan
membantu meningkatkan kondisi oksigen
ruangan yang akan berkurang apabila banyak
pengunjung yang berada di ruangan.
5. Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri. Distraksi dapat menurunkan stimulus internal
dengan mekanisme peningkatkan produksi
endorphin dan enkefalin yang dapat memblok
reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks
serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri.
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri Pengetehuan yang akan di rasakan membantu
dan menghubungkan berapa lama nyeri akan mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu
berlangsung. mengembangkan kepatuhan klien terhadap
teurapetik .
19 | P a g e
A. KONSEP DASAR PARALISIS BELL/ BELLS PALSY
1. DEFENISI
Paralisis Bell/ bells palsy atau paralisi wajah adalan paralisi karena
keterlibatan perifer saraf cranial ketujuh pada salah satu sisi, yang mengakibatkan
kelemahan atau paralisis otot wajah. Penyebabnya tidak di ketahui, meskipun
kemungkinan penyebab dpat meliputi iskemik vascular, penyakit virus (herpes
simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua factor ini
(Smeltzer dan Bare,2002).
Bells Palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non- supuratif,
non- neoplasmatik, non- degeratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak
pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari
foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan
(Priguna Shidarta, 1985).
2. ETIOLOGI
20 | P a g e
3. PATOFISIOLOGI
Dari penyakit otiti media akut yang berkembang menjadi otitis media kronik
atau mastoiditis. Paralisis bell dapat terjadi melalui antrum, proses radang yang
berpindah dari kavum timpani ke mastoid yang mempunyai banyak pneumatisasi,
sehinngga pengrusakan tulang mudah dan cepat terjadi. Dan melalui dinding kanalis
yang ikut rusak oleh proses mastoiditis, nervus fasialis mengalami ganggguan dann
timbulah paresis fasialis.
Ganglion genikuli juga dapat terkena infeksi dari virus herpes zoster, karena
saraf fasialis dan olfaktorius dapat terlibat dalam infeksi tersebut. Gambaran penyakit
dikuasai seluruhnya oleh gelembung herpes di daun telinga. Beberapa hari setelah
vesikel- vesikel tersebut timbul, tanda- tanda paralisis perifer dan tinnitus serta tuli
perseptif dapat di jumpai pada sisi ipsilateral juga.
21 | P a g e
4. MANIFESTASI KLINIS
Adanya penyimpangan wajah berupa :
a) Paralisi otot wajah
b) Peningkatan lakrimasi (air mata)
c) Sensasi nyeri pada wajah, belakang telinga,
d) Kerusakan bicara dan kelemahan otot wajah pada sisi yang terkena.
5. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan klien dengan paralisis bell meliputi anamnesa, riwayat
penyakit, pemeriksaan fisk, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial.
Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolngan kesehatan
adalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan prilaku
klien. Pengkajian mekanisme kopinh yang digunakan klien dan perubahan peran klien
22 | P a g e
dalam keluarga dan masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul seperti ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai, hasil inspeksi didapatkan klien
tidakabatuk, tidak sesak nafas, tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan, dan
frekuensi pernapasan dalam batas normal. Palpasi; taktil premitus seimbang kanan
kiri. Perkusi; resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi; tidak terrdengan bunyi
nafas tambahan.
B2 (Blood)
Pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama normal. TD dalam batas normal dan
tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
B3 (Brain)
23 | P a g e
meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana korda
timpani menggabunggkan diri padanya.
N. VIII : tidak adanya tuli konduktif dan tuli perseptif.
N. IX dan X : paralisis otot osofaring, kesukaran berbicara, mengunyah,
dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga
mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
N. XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
N. XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecap mengalami kelumpuhan dan
pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan, kurang tajam.
System Motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, control
keseimbangan dan koosdinasi pada paralisis bell tidak ada kelainan.
Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan tendon, ligamentum atau periostenum
derajat reflex pada respon normal.
Gerakan Involunter
Tidak di temukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan
sering di temukan Tic fasialis.
System sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kelainan.
B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya di dapatkan berkurangnya volume
haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan curah jantung
ke ginjal.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien menurun karena anoreksia dan kelemahan otot- otot
24 | P a g e
pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
menjadi berkurang.
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas
klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari- hari klien lebih banyak
di bantu oranng lain.
Penatalaksanaan Medis
1. Terapi kortikosteroid (prednisone), untuk menurunkan radang dan edema,
yang pada gilirannya mengurangi kompresi vascular dan memungkinkan
perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Mengurangi penyakit semakin
berat, mengurangi nyeri, dan mencegah denervasi.
2. Analgesic, mengontrol nyeri.
3. Stimulasi listrik dapat di berikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi
4. Eksplorasi pembedahan pada sarad wajah, dilakukan pada klien yang
cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf wajah melalui
pembedahan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan konsep diri (citra diri) b/d perubahan bentuk wajah karena
kelumpuhan.
2. Cemas b/d prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.
3. Kurang pengetahuan perawatan diri sendiri b/d informasi yang tidak adekuat
mengenai proses penyakit dan pengobatan.
25 | P a g e
INTERVENSI KEPERAWATAN
Gangguan konsep diri (citra diri) b/d perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan.
Data penunjang :
Tanda subjektif : merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah yang terjadi satu sisi.
Tanda objektif : dahi di kerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.
intervensi rasionalisasi
Kaji dan jelaskan kepada klien tentang keadaan Intervensi awal mencegah dirtress psikologis
paralisis wajahnya. klien
Bantu klien menggunakan mekanisme koping yang Mekanisme kopinh yang positif dapat
positif. membantu klien lebih percaya diri , lebih
kooperatif terhadap tindakan yang akan
dilakukan dan mencegah terjadinya
kecemasan tambahan.
Orientasi klien terhadap prosedur rutin dan Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
aktivitas yang di harapkan.
Kriteria Hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang
memengaruhinya, dan menyatakan ansietas berkurang/ hilang.
Intervensi Rasionalisasi
26 | P a g e
Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, Reaksi verbal/ nonverbal dapat menunjukkan
damping klien, dan lakukan tindakan bila rasa agitasi, marah, dan gelisah.
menunjukkan prilaku merusak.
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak
kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan perlu.
suasana penuh istirahat.
Tingkkatkan control sensasi klien. Control sensasi klien dengan cara memberikan
informasi tentang keadaan klien, menekankan
pada penghargaan terhadap sumber- summber
koping yang positif, membantu latihan
relaksasi dan teknik- teknik pengalihan dan
memberikan respon balik yang positif.
Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan Dapat menghilangkan ketegangan terhaadap
kecemasannya. kekhawatiran yang tidak diskpresikan.
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat. Memberikan waktu unutk mengekspresikan
perasaan, menghilangkan cemas, dan prilaku
adaptasi. Adanya keluarga dan teman- teman
yang dipilih klien melayani dan pengalihan
akan menuruhkan perasaan tersisolir.
27 | P a g e
Kurang pengetahuan perawatan diri sendiri b/d informasi yang tidak adekuat mengenai
proses penyakit dan pengobatan.
Tujuan : dalam jangka waktu 130 menit klien akan memperlihatkan kemampuan pemahaman
adekuat.
Kriteria Hasil : klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana terhadpa apa
yang telah didiskusikan.
Intervensi rasionalisasi
Kaji kemampuan belajar, tingkat kecemasan, Iindikasi progresif atau reaktivasi penyakit
partisipasi, media yang sesuain untuk belajar. atau efek samping pengobatan, serta untuk
evaluasi lebih lanjut.
Identifikasi tanda dan gejala yang perlu Meningkatkan kesadaran kebutuhan tentang
dialaporkan ke perawat. perawatan diri untuk meminimalkan
kelemahan.
Kaji ulang resiko efek samping pengobatan. Mengurangi rasa kurang nyaman dari
pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.
28 | P a g e