Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah S.W.T karena berkat rahmat dan hidayah-Nya

penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul “Gambaran Radiologi

Spondilolistesis” tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu syarat

dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Radiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas Padang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dina Arfiani Rusjdi, Sp.Rad

sebagai pembimbing referat ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh

dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun untuk dapat menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini

dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membaca makalah ini.

Padang, Juli 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................1

DAFTAR ISI ...................................................................................................2

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................4

1.1 Latar Belakang ...........................................................................................4


1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................................5
1.3 Metode Penulisan .......................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................6

2.1 Epidemiologi ..............................................................................................6

2.2 Definisi dan Klinis .....................................................................................6

2.3 Radioanatomi Tulang Belakang..................................................................7

2.4 Etiologi Spondilolistesis ............................................................................12

2.5 Pemeriksaan dan Gambaran Radiologi.......................................................13

2.6 Derajat Spondilolistesis .............................................................................19

BAB III KESIMPULAN ...............................................................................23

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................24

DAFTAR GAMBAR

2
Gambar 2.1 Anatomi vertebra...........................................................................8

Gambar 2.2 Anatomi vertebra..........................................................................9

Gambar 2.3 Anatomi vertebra. Potongan Axial MRI vertebra.........................10

Gambar 2.4 Gambaran anteroposterior pada spondilolistesis..........................13

Gambar 2.5 Penilaian alignment badan vertebra.............................................14

Gambar 2.6 A.Gambaran normal foto polos lumbar, B. Anterolistesis setinggi L4-

5........................................................................................................................15

Gambar 2.7 Anatomi ‘Anjing Scottie’..............................................................16

Gambar 2.8 Defek pada pars interartikularis....................................................16

Gambar 2.9 Garis Ulmann. L5 spondilolistesis................................................20

Gambar 2.10 Klasifikasi Meyerding.................................................................20

Gambar 2.11 Klasifikasi Meyerding.................................................................21

Gambar 2.12 Spondiloptosis.............................................................................21

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Spondilolistesis berasal dari dua bahasa yaitu spondylo yang berarti spine

(tulang belakang) dan listhesis yang berarti bergeser. Keadaan tersebut terjadi

ketika pars interartikularis terpisah dan menyebabkan perubahan posisi badan

vertebra sehingga menekan saraf dan menimbulkan nyeri. Spondilolistesis

biasanya terjadi pada vertebra lumbal 4 dan 5 atau lumbal 5 dan sacrum. Secara

epidemiologi, kira-kira 82% kasus ismik spondilolistesis terjadi di L4-L5 dan L5-

S1.1,2

Stress fraktur yang berulang karena hiperekstensi tulang belakang dan

fraktur trumatika, postur, gravitasi, tekanan rotasional dan stres/tekanan kosentrasi

tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam etiologi spondilolistesis secara

umum. Gejala yang ditimbulkan pada spondilolistesis tergantung seberapa berat

derajat pergeseran yang timbul. Gejala tersebut adalah nyeri punggung bawah,

kekakuan, dan spasme otot, kebas, serta skiatika (nyeri yang terasa menjalar dari

panggul sampai kedua kaki).1,2

Pencitraan sangat penting untuk ketepatan dalam penilaian dan diagnosis

dari spondilolistesis baik dengan foto polos lumbal, maupun dengan modalitas

yang lebih canggih seperti Computerized Tomography Scan (CT Scan) dan

Magnetic Resonance Imaging (MRI). Diagnosis spondilolistesis paling sering

dibuat berdasarkan foto polos lumbal dimana terdapat pergeseran dari badan

vertebra berdasarkan hubungannya dengan badan vertebra dibawahnya.3,4

Penegakkan diagnosis secara dini merupakan langkah penting dalam menangani

pasien dengan spondilolistesis, sehingga hal ini dapat meningkatkan kualitas

4
hidup pasien nantinya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas

spondilolistesis terutama dari segi gambaran radiologi.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari referat ini adalah untuk mengetahui definisi, radioanatomi,

epidemiologi, etiologi, klasifikasi, gambaran klinis, gambaran radiologi, derajat

dan tatalaksana spondilolistesis.

1.3 Metode Penulisan

Metode penulisan referat ini adalah dengan tinjauan pustaka yang merujuk

pada berbagai literatur.

BAB II

5
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Spondylolisthesis berasal dari dua bahasa yaitu spondylo yang berarti

spine (tulang belakang) dan listhesis yang berarti bergeser. Keadaan tersebut

terjadi ketika pars interartikularis terpisah dan menyebabkan perubahan posisi

badan vertebra sehingga menekan saraf dan menimbulkan nyeri. Spondilolistesis

biasanya terjadi pada vertebra lumbal 4 dan 5 atau lumbal 5 dan sacrum. Hal ini

akan menyebabkan kurva tulang belakang membentuk S pada keadaan yang

sangat berat.1,2
2.2 Epidemiologi

Secara epidemiologi, spondilolistesis mengenai 5-6% populasi pria, dan

2-3% wanita. Kira-kira 82% kasus isthmic spondylolisthesis terjadi di L4-L5 dan

L5-S1. Pada umumnya spondilolistesis terjadi pada olahragawan, khususnya pada

mereka yang suka angkat berat dan pemain bola. Pada orang dengan usia lebih

dari 40 tahun, 5% akan mengalami defisiensi stuktural, perubahan pada sendi,

bone spur, dan pergeseran minimal pada tulang belakang. Hal ini bisa saja

menyebabkan nyeri atau tidak.1,2

2.3 Klinis

Spondilolistesis lebih sering diawali oleh spondylolisis. Penyebab

spondylolisis belum sepenuhnya diketahui. Kebanyakan peneliti mempercayai

disebabkan oleh genetik, dan kelemahan pars interartrikularis. Spondylolisis dan

spondilolistesis dapat terjadi saat lahir atau melalui trauma. Stress fraktur yang

berulang karena hiperekstensi tulang belakang dan fraktur traumatika, postur,

gravitasi, tekanan rotasional dan stres/tekanan kosentrasi tinggi pada sumbu tubuh

berperan penting dalam etiologi spondilolistesis secara umum.2

6
Pergeseran diukur dengan memberikan nilai skala derajat 1 (25%) sampai

derajat 4 (100%). Semakin jelas kurva yang terbentuk (swayback atau lordosis),

semakin curam pergeseran yang terjadi.2


Gejala yang ditimbulkan pada spondilolistesis tergantung seberapa berat

derajat pergeseran yang timbul. Gejala tersebut adalah nyeri punggung bawah,

kekakuan, dan spasme otot , kebas, serta skiatika (nyeri yang terasa menjalar dari

panggul sampai kedua kaki). Nyeri pada kaki yang dirasakan akan semakin berat

pada saat berdiri dan berjalan.1,2


2.3 Anatomi Tulang Belakang
Tulang belakang disusun oleh suatu sistem axis dari tubuh manusia yang

terdiri dari kolumna vertebra, korda spinalis, otot-otot dan jaringan lunak.

Susunan kolumna vertebra ini tersegmentasi dan simetris bilateral.2


Kolumna vertebra terdiri atas 33 tulang vertebra. Regio servikal terdiri dari

tujuh tulang vertebra, regio torakal tersusun atas dua belas tulang vertebra, regio

lumbal terdiri dari lima tulang vertebra, regio sakrum terdiri dari lima tulang yang

menyatu, dan regio koksik terdiri dari empat tulang yang menyatu.5

Gambar 2.1 Anatomi vertebra

7
Tulang belakang memiliki kurvatura yang bervariasi pada tiap regio. Pada

regio servikal kurvatura vertebra adalah lordosis, pada region torakal adalah

kifosis, pada regio lumbal adalah lordosis, dan regio sacral adalah kifosis.2

Secara umum, tulang belakang terdiri atas: korpus vertebra, arkus (pedikel

dan lamina), prosesus spinosus dan transversa, serta foramina vertebralis dan

neural. Korpus vertebra memiliki artikulasi pada permukaan superior dan

inferiornya. Korpus vertebra juga berhubungan langsung dengan diskus

intervertebral. Semakin ke distal korpus vertebralis maka ukurannya akan semakin

normal. Arkus vertebra terdiri atas pedikel dan lamina. Arkus vertebra terbentuk

dari dua pusat osifikasi yang menyatu. Arkus vertebra yang menyatu dibagian

tengahnya akan membentuk kanal vertebra yang terisi oleh korda spinalis.1,5

A B
Gambar 2.2 Anatomi vertebra. A. Potongan Sagital MRI. B. Foto polos oblik

Pada prosesus spinosus, akan melekat ligamen interspinosus yang

menghubungkan prosesus spinosus bagian distal dan proksimal. Prosesus

8
transversus akan berfungsi sebagai perlekatan ligamen dan artikulasi dengan

tulang iga.1

Vertebra lumbal disusun oleh lima tulang vertebra. Vertebra lumbal relatif

lebih besar dibandingkan tulang vertebra lainnya. Hal ini memungkinkan

fungsinya sebagai penyangga beban tubuh. Facet pada vertebra lumbal berada

dalam posisi sagital sehingga memungkinkan pergerakan fleksi dan ekstensi lebih

besar dari pada vertebra torakal. Daerah antar facet merupakan lokasi yang paling

sering terjadinya fraktur.1

Gambar 2.3 Anatomi vertebra. Potongan Axial MRI vertebra

Anterior Longitudinal Ligamen (ALL) melekat pada bagian anterior dan

korpus vertebra dan bagian anterior dari diskus intervertebral merupakan ligamen

yang kuat dan tebal berfungsi menahan pergerakan hiperekstensi. Posterior

Longitudinal Ligament (PLL) merupakan ligamen yang lemah sehingga sering

terjadi herniasi diskus di daerah tersebut. Ligamen ini berfungsi mencegah

gerakan hiperfleksi.5

9
Diskus intervertebral merupakan struktur yang terletak diantara dua

korpus vertebra. Fungsi dari diskus intervertebral adalah untuk memberikan

stabilitas pada kolumna vertebra, memungkinkan pergerakan fleksi dan menyerap

serta distribusi tekanan beban. Diskus intervertebral membentuk 25% dari tinggi

tulang belakang. Diskus intervertebral terdiri dari annulus fibrosus dan nucleus

pulposus. Annulus fibrosus merupakan struktur terluar yang terdiri dari annulus

bagian luar dan annulus bagian dalam. Annulus bagian luar tersusun atas serat

padat kolagen tipe 1 sedangkan annulus bagian dalam merupakan fibrocartilage

kolagen tipe 2 yang tersusun lebih longgar. Serat kolagen terususun oblik dan kuat

menahan beban regangan. Annulus bagian luar memiliki inervasi saraf sehingga

apabila terjadi robekan akan menimbulkan nyeri. Nucleus pulposus terletak di

tengah annulus fibrosus. Nucleus pulposus merupakan masa kenyal yang

terususun atas air, proteoglikan dan kolagen tipe 2. Struktur ini mampu menahan

beban kompresi dimana beban kompresi terbesar adalah dalam posisi duduk

sambil condong ke depan. Komposisi air dan proteoglykan akan menurun seiring

bertambahnya usia. Nucleus pulposus mampu mendorong keluar annulus dan

menekan serat saraf.1

Adapun otot-otot yang turut membantu menyangga tulang belakang secara

garis besar dibagi menjadi dua yaitu otot ekstrinsik dan otot instrinsik. Otot

ekstrinsik terdiri dari trapezius, latissiumus dorsi, levator scapulae, rhomboid

minor, rhomboid mayor, serratus posterior superior, dan serratus posterior. Otot-

otot intrinsik dibagi menjadi tiga grup besar antara lain grup spinotransverse, grup

sacrospinalis, dan grup transversospinalis.1

Korda spinalis berjalan dari batang otak sampai conus medularis (berakhir

10
sampai L1). Terminal filum dan cauda equine (serat saraf lumbar dan sacral)

berlanjut di dalam spinal canal. Spinal cord melebar di daerah leher dan lumbar

dimana di daerah itu serat sarafnya membentuk pleksus yang mempersarafi

ekstremitas atas dan bawah.Spinal cord dibungkus oleh duramater, arachnoid

mater dan pia mater. Beberapa serat saraf berasal dari dorsal yang membawa

modalitas sensoris dan dari ventral yang membawa modalitas motorik.5

Spinal cord berakhir pada area memipih yang disebut conus medullaris,

yang terletak pada level vertebra L1-2. Pada titik ini serat saraf berjalan kebawah

membentuk kumpulan yang disebut cauda equina “horse’s tail”. Spinal cord

melekat dibagian inferior oleh filum terminalis yang menempel pada coccyx.1

2.4 Etiologi Spondilolistesis3


 Tipe 1: displastik. Termasuk spondilolistesis dengan abnormalitas

kongenital yang mempengaruhi sakrum lebih atas atau arkus neural dari

L5 yang bisa mengakibatkan terjadinya pergeseran.


 Tipe 2 : ismik. Mempunyai tiga subtipe yang menyertai perubahan

langsung dari pars interartikularis sebagai berikut:


 Litik atau fraktur stres dari pars
 Pars yang memanjang namun intak
 Fraktur akut dari pars (jarang)
 Tipe 3: degeneratif (pseudo-spondilolistesis). Diakibatkan karena arthrosis

degeneratif yang lama dari sendi zigopofisis dan artikulasi diskus vertebra,

tanpa adanya pemisahan.


 Tipe 4 : traumatik. Akibat fraktur arkus neural selain akibat dari pars

interartikularis.
 Tipe 5 : patologis. Terjadi karena berhubungan dengan penyakit sistemik

atau penyakit lokal dari tulang (contohnya penyakit Paget, metastasis

tulang, osteoporosis).

11
 Tipe 6 : iatrogenik. Menjelaskan spondilolisis akibat intervensi tulang

belakang.

2.5 Pemeriksaan dan Gambaran Radiologi


Pencitraan sangat penting untuk ketepatan dalam penilaian dan diagnosis

dari spondilolistesis. Saat ini pencitraan yang dilakukan untuk mendiagnosis

spondilolisthesis antara lain:


1. Foto Polos

Diagnosis spondilolistesis paling sering dibuat berdasarkan foto polos

lumbal dimana terdapat pergeseran dari badan vertebra berdasarkan hubungannya

dengan badan vertebra dibawahnya. Spondilolistesis biasanya ditemukan pada

satu level namun bisa juga pada multipel level. 4 Proyeksi yang digunakan dalam

menilai spondilolistesis adalah :

a. Posteroanterior (PA)/ anteroposterior (AP)6

Seluruh lumbar harus terlihat dengan T11/T12 di atasnya dan sakrum

dibawahnya. Posisi erect dilakukan kecuali ada indikasi lainnya (seperti trauma).

Posisi anteroposterior memberikan informasi yang terbatas pada kasus sedang;

namun, pada kasus berat, bisa menunjukkan tanda ’topi Napoleon’ karena

vertebra L5 dilihat melalui sakrum, sehingga membentuk topi Napoleon yang

terbalik.

12
Gambar 2.4 Gambaran anteroposterior pada spondilolistesis, tampak
gambaran topi Napoleon terbalik pada kasus spondilolistesis yang berat 6

b. Lateral6
 Untuk visualisasi badan vertebra lumbar, pedikel dan sendi facet.
 Proyeksi ideal jika ada kecurigaan fraktur.
 Bisa dilakukan dalam posisi erect untuk menilai kestabilan fraktur

(dibawah pengawasan).

Posisi ini sangat baik untuk menilai adanya suatu listesis. Posisi optimal

akan memberikan satu garis lurus pada bagian korteks posterior dari tiap badan

vertebra dimana garis ini akan membentuk garis yang mulus tanpa adanya

interupsi. Namun, posisi lateral bisa terganggu karena rotasi pasien, dibuktikan

dengan adanya dua permukaan posterior yang tampak karena pasien berotasi.

Pada gambar dibawah ini ditunjukkan dengan adanya titik tengah yang

menghubungkan dua korteks ini dan saling membentuk garis yang mulus.

13
Gambar 2.5 Penilaian alignment badan vertebra pada gambaran lateral
lumbar dengan dan tanpa rotasi pada pasien. Alignment normal
ditunjukkan oleh gambar (a). Foto polos lateral lumbosakral dengan posisi
optimal. Tampak garis yang mulus tanpa interupsi dapat ditarik sepanjang
batas posterior badan vertebra L1-S1 (garis putus-putus). (b) Gambaran
lateral pasien dengan rotasi. Tampak batas posterior badan vertebra pada L5
ditandai dengan satu garis putus-putus, sedangkan pada L4 ke atas, terdapat
dua garis batas posterior dari vertebra (garis putus-putus, dengan posisi
divergen ke arah superior. Alignment normal dikonfirmasi dengan
memvisualisasikan garis lurus yang menghubungkan titik tengah (*)
diantara garis putus-putus. (c) Posisi lateral lainnya dengan pasien dalam
keadaan rotasi. Alignment pada pasien ini dinilai degan memvisualisasikan
garis mulus yang menghubungkan titik tengah dari batas anterior dari
badan vertebra.6

Posisi lateral erect menjadi metode pilihan dalam mengevaluasi pergeseran

vertebra pasien dengan spondilolistesis, dan juga lebih baik dalam mengevaluasi

progresivitas. Posisi lateral juga lebih baik karena translasi yang terjadi pada

potongan sagital dan sering menonjol selama berdiri (karena orientasi oblik ruang

diskus intervertebralis lumbosakaral bagian bawah). Gambar dibawah ini

menunjukkan gambaran normal lumbosakral dalam proyeksi lateral dan adanya

spondilolistesis di L4 dengan L5.

14
A B
Gambar 2.6 A.Gambaran normal foto polos lumbar, B. Anterolistesis setinggi
L4-5.6

c. Posisi oblik

Posisi oblik dilakukan dengan proyeksi AP dengan pasien berotasi 45 0 ke

arah kiri atau kanan. Pada posisi ini, posisi elemen vertebra posterior menyerupai

anjing Scottie. Bagian anjing Scottie yang dapat diidentifikasi adalah mata

(pedikel), hidung (prosesus transversus), telinga (facet artikular superior), kaki

(facet artikular inferior) dan leher (pars interartikularis) seperti terlihat pada

gambar 2.7 dibawah ini.

Gambar 2.7 Anatomi ‘Anjing Scottie’ normal pada posisi proyeksi oblik pada
gambar (a) dan foto polos oblik posterior kanan (b). Facet artikular superior
(S) = telinga, facet artikular inferior (I)= kaki, pedikel (P) = mata, pars
interartikularis (*) = leher, prosesus transversus (T)= hidung. Juga dapat

15
terlihat sendi facet (F) dan badan vertebra (VB).(c) proyeksi oblik posterior
kiri tanpa label.6

Posisi oblik paling baik untuk mengevaluasi integritas pars interarticularis.

Defek terlihat pada leher pada Scotty dog (gambar 2.8).

Gambar 2.8 Defek pada pars interartikularis

2. CT Scan
CT merupakan metode pilihan untuk memperlihatkan detail tulang pada pars yang

mengalami defek dan lebih akurat daripada foto polos dan MRI. Hampir 10%

defek yang terlihat pada CT tidak terlihat pada foto polos. Deteksi patologi seperti

herniasi diskus L4-L5 dan kompresi saraf juga dapat dilihat meski lebih baik

digambarkan pada MRI.3

a. Defek Pars
Gambar CT axial memungkinkan diagnosis definitif pada daerah fraktur.

Lokalisasi anatomi celah pada pars dapat dibuat kecuali lokasi lain yang

diketahui seperti sinkondrosis neurosentral, pedikel atau lamina. Tampilan

asimetris dapat terjadi. Perubahan yang dapat ditemukan termasuk

16
sklerosis, irreguleritas, permukaan halus korteks, dan pembesaran yang

membulat.3
Tulang rawan, cairan atau lemak bisa terdapat pada celah dan bony

bridging komplit maupun inkomplit juga dapat terjadi. Membedakan defek

dari sendi facet normal kadang sulit tapi biasanya dilakukan pada

potongan sagital atau rekonstruksi tiga dimensi. Pada gambar aksial sendi

facet terletak pada level diskus dan halus, cekung-cembung dan sering

memiliki takikan kecil posterior pada permukaan kortikal medial di insersi

kapsul sendi. Rotasi antara L5 dan sakrum juga dapat terlihat, memastikan

penyebab skoliosis yang menyertai (olisthetic scoliosis).3


b. Perubahan Arkus Neural
Tanda lain stress tulang bisa terlihat pada pedikel dan lamina, termasuk

penebalan dan pembesaran kortikal dan trabekular. Pertumbuhan asimetris

lamina sering ditemukan dan berhubungan dengan deviasi tulang belakang

atau spina bifida.3


c. Efek Saraf
Penekanan saraf satu persatu dapat diamati, walaupun stenosis kanal

sentral jarang terjadi. Akar saraf L5 paling rawan mengalami kompresi

sehingga terjadi perluasan fragmen defek atau perambahan ke bagian

lateral dari herniasi diskus L4-L5 (far out disc syndrome), hal ini juga

terjadi akibat peregangan akar saraf dengan kehilangan tinggi diskus dan

traksi oleh pedikel atau sayap sakrum.3


d. Patologi Diskus
Potongan axial CT sering terlihat jelas adanya bulging diskus L5 pada

tingkat spondilolistesis (pseudodisc herniation). Kerusakan diskus yang

terdeteksi secara diskografi dengan annular tears atau herniasi diatas

spondilolistesis L5 hampir 50% kasus.3


3. MRI
a. Defek Pars

17
Studi kepadatan dan densitas proton pada potongan sagital T-1 merupakan

pilihan terbaik untuk menunjukan pemisahan pars karena dapat

memberikan gambaran anatomi lebih baik. Sklerosis muncul sebagai tanda

pada semua sekuens dan dapat menyembunyikan pemisahan yang

sebenarnya. Fragmen tulang biasanya tidak diperlihatkan dengan baik.

Tanda-tanda yang memperlihatkan adanya fraktur pars pada fase awal

adalah edema sumsusm tulang. Pada pasien muda dengan nyeri punggung

terutama atlet, edema sumsum tulang dapat bertahan selama berbulan-

bulan bahkan ketika istirahat.3


b. Efek Saraf
Pada 25% kasus spondilolistesis, saraf L5 masih normal, 25% kasus

memperlihatkan saraf yang tidak dapat dibedakan dari jaringan diskus pars

yang berdekatan, dan 50% kasus memperlihatkan tanda-tanda kompresi

dengan deformitas dan perubahan.3


c. Patologi Diskus
Ruang diskus pada level yang terlibat memperlihatkan gambaran berbeda.

Hidrasi normal sering terjadi pada kasus ringan. Herniasi posterior sangat

jarang ditemukan. Patologi diskus tandem pada L4-L5 dapat terlihat

disertai retrolistesis, dehidrasi, kehilangan tinggi, circumferential disc

bulging dan frank herniation.3

2.6 Derajat Spondilolistesis

Walaupun terdapat berbagai macam pencitraan dan tipe untuk

spondilolistesis, pergeseran ke depan vertebra diatasnya bisa diukur melalui 2

cara.3 Ketika terjadi pergeseran yang besar, sering kelainannya dapat diobservasi,

namun pada banyak kasus sering malposisi bisa terjadi. Umumnya garis yang

dipakai untuk perbandingan garis badan vertebra posterior adalah garis George

18
pada L5 dan S1, namun metode ini mudah terjadi kesalahan. Cara kedua yang

digunakan adalah dengan menggunakan garis Ulmann (gambar 2.9) yang diambil

dengan cara menarik garis tegak lurus terhadap dasar sakrum dari promontorium

sakrum anterior, jika memotong batas anterior inferior dari badan vertebra L5,

maka perlu dicurigai adanya listesis.3

Gambar 2.9 Garis Ulmann. L5 spondilolistesis.3

Untuk mengukur pergeseran yang terjadi umumnya dipakai 3 metode,

yaitu: Meyerding, menghitung persentase (Taillard), dan metode menghitung jarak

milimeter.3

A. Metode Meyerding. Diameter AP dari permukaan superior badan vertebra

dibawahnya dibagi menjadi 4 bagian lalu aspek posterior yang berpindah

dibandingkan dengan terhadap pembagian diameter AP tadi lalu dihitung

derajatnya (gambar 2.10;2.11; 2.12).3

19
Gambar 2.10 Klasifikasi Meyerding. A. Pembagian basis sakrum . B.
Derajat 1. C. Derajat 2. D. Derajat 3. E. Derajat 4. F. Contoh
spondilolistesis derajat 1.3

Gambar 2.11 Klasifikasi Meyerding A. Derajat 1.B. Derajat 2. C. Derajat 3.


D. Derajat 4 (hampir derajat 5)3

20
Gambar 2.12 Spondiloptosis, L5. A. Pelvis AP. Tampak gambaran topi
napoleon terbalik dan garis lengkung Brailsford (panah). B. Lateral lumbar.
Badan vertebra L5 bergeser total terhadap sakrum. Promontorium sakrum
berbentuk kubah (panah) dan badan L5 berbentuk trapezoid (kepala
panah), yang merupakan karakteristik derajat 3,4 dan 5.3
B. Metode kedua adalah metode persentase (Taillard). Pergeseran antara basis

sakrum posterior dan aspek posterior dari vertebra L% diukur sepanjang

potongan paralel diskus dalam milimeter. Pergeseran yang diukur (numerator)

kemudian dibagi berdasarkan panjangnya promontorium (denominator) dan

kemudian dikalikan dengan 100. Keuntungan utama dari metode ini adalah

tidak dipengaruhi oleh pembesaran geometris.3


C. Metode ketiga adalah pengukuran milimeter. Jarak absolut pergeseran bisa

diukur dalam milimeter dengan mengukur jarak antara posterior L5 dan sakrum

posterior. Pengukuran ini diambil dari potongan yang paralel dengan diskus.

Metode ini tidak bisa membandingkan antara penelitian yang menggunakan

fokal film yang berbeda dan tidak akurat.3

21
BAB III

KESIMPULAN

1. Spondilolistesis terjadi ketika pars interartikularis terpisah dan menyebabkan

perubahan posisi badan vertebra sehingga menekan saraf dan menimbulkan

nyeri, biasanya terjadi pada vertebra lumbal 4 dan 5 atau lumbal 5 dan sacrum.

Secara epidemiologi, kira-kira 82% kasus isthmic spondylolisthesis terjadi di

L4-L5 dan L5-S1.

2. Etiologi spondilolistesis bisa berupa displastik, ismik, degeneratif, traumatik,

patologis dan iatrogenik. Gejala spondilolistesis antara lain nyeri punggung

bawah, kekakuan, dan spasme otot , kebas, serta skiatika (nyeri yang terasa

menjalar dari panggul sampai kedua kaki).

3. Diagnosis spondilolistesis paling sering dibuat berdasarkan foto polos lumbal

dimana terdapat pergeseran dari badan vertebra berdasarkan hubungannya

dengan badan vertebra dibawahnya. Spondilolistesis biasanya ditemukan pada

22
satu level namun bisa juga pada multipel level. Modalitas lain seperti CT scan

dan MRI juga dapat membantu memperlihatkan detail lebih jelas pada pars

yang mengalami defek.

4. Derajat spondilolistesis sering ditentukan berdasarkan metode Meyerding,

dimana diameter AP dari permukaan superior badan vertebra dibawahnya

dibagi menjadi 4 bagian lalu aspek posterior yang berpindah dibandingkan

dengan terhadap pembagian diameter AP tadi lalu dihitung derajatnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Thompson, John T. Netter’s Concise . Philadelpia: Orthopaedic Saunder An

Elsevier, 2010.

2. Bohinski, R. Spondylolysis and spondylolisthesis. Mayfield clinic. Ohio. 2016

3. Yochum TR, Rowe LJ. 2005. Essential of Skeletal Radiology 3rd Edition.

Philadelphia: Lippincott & Wilkins .

4. Butt S, Saifuddin A. The imaging of lumbar spondylolisthesis. Clin

Radiol. 2005;60:533–546.

5. Hu, et al. 2008. Spondylolisthesis and Spondylolysis. J Bone Int Surg Am.

2008;90: 656-671.

6. Wollowick AL, Sarwahi V. 2015. Spondylolisthesis: Diagnosis, Non-Surgical

Management, and Surgical Technique. New York:Springer.

23

Anda mungkin juga menyukai