Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

TRAUMA MEDULA SPINALIS

OLEH

KELOMPOK III

MIRNA : BT2001075

NASRIL : BT2001077

NURFADIAH : BT2001078

MIRNA SARI : BT2001076

AKADEMI KEPERAWATAAN BATARI TOJA

WATAMPONE

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakah


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya maka
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Cedera Medula
Spinalis”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di dalam perkuliahan.
Diharapkan dengan membaca makalah ini, teman-teman mendapatkan wawasan
dan ilmu baru yang bermanfaat.
Dengan selesainya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya Kepada dosen kami untuk semua bimbingannya dan kepada
teman-teman yang telah membantu proses pembuatan makalah ini sampai
terselesaikan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Watampone, 26 November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Sampul
Kata Pengantar.................................................................................................ii
Daftar Isi.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Pendahuluan.......................................................................................1
B. Tujuan.................................................................................................3
C. Rumusan Masalah...............................................................................4

BAB II KONSEP MEDIS


A. Definisi...............................................................................................5
B. Etiologi...............................................................................................5
C. Manifestasi Klinis...............................................................................6
D. Patofisiologi........................................................................................6
E. Komplikasi..........................................................................................8
F. Pemeriksaan Penunjang......................................................................9
G. Penatalaksanaan.................................................................................10

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian.........................................................................................11
B. Diagnosis Keperawatan.....................................................................17
C. Interveni Keperawatan.......................................................................18
D. Implementasi.....................................................................................23
E. Evaluasi.............................................................................................23

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................24
B. Saran..................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Medulla spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung


ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk
oleh tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medulla spinalis, masukan
sensori , gerakan dari bagian tertentudari tubuh dan fungsi involunter seperti
pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan
sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medulla
spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak
langsung, yang menyebabkan lesi di medulla spinalis sehingga menimbulkan
gangguan neurologis, dapat membuat kecacatan menetap atau kematian.
Cedera medula spinalis pertama kali tercatat dalam sejarah sekitar
1700 SM pada papirus Edwin Smith. Penyebab cedera medula spinalis
tersering ialah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), dan cedera yang
berhubungan dengan olahraga (10%); selain itu, akibat kekerasan dan
kecelakaan kerja. Cedera medula spinalis akibat trauma diperkirakan terjadi
pada 30-40 per satu juta penduduk per tahun, dan sekitar 8.000-10.000
penderita setiap tahun; umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Walaupun insidens per tahun relatif rendah, biaya perawatan dan rehabilitasi
untuk cedera medula spinalis sangat tinggi, yaitu sekitar US$ 53.000/pasien(S,
n.d.)
Spinal cord injury (SCI) atau cedera medula spinalis adalah suatu
kondisi gangguan pada medula spinalis atau sumsum tulang belakang dengan
gejala fungsi neurologis mulai dari fungsi motorik, sensorik, dan otonomik,
yang dapat berujung menjadi kecacatan menetap hingga kematian. Menurut
WHO, SCI diperkirakan terjadi sebanyak 40-80 kasus per 1 juta penduduk
dalam setahun. Ini artinya terjadi sekitar 300.000 – 600.000 kasus SCI yang

1
ada di seluruh dunia setiap tahunnya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari
risiko terjadinya kejadian SCI yang sebagian besar disebabkan oleh karena
kasus traumatik (90%), meliputi kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%),
olahraga atau kecelakaan akibat pekerjaan (10%) (Dinata et al., 2021).
Hasil studi lainnya menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien SCI
juga akan mengalami beberapa cedera lainnya yang menjadi bukti bahwa
kejadian SCI pada kasus traumatik yang sangat tinggi. Sehingga setiap
ditemukannya kejadian trauma yang mengakibatkan cedera multipel baik
dengan defisit neurologis ataupun tidak, harus dipertimbangkan adanya SCI
(Dinata et al., 2021).
Insiden cedera medula spinalis menunjukkan terdapat 40- 80 kasus
baru per 1 juta populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun sekitar
250.000-500.000 orang mengalami cedera medula spinalis. Penelitian terakhir
menunjukkan 90% kejadian cedera medula spinalis disebabkan oleh adalah
trauma seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga (10%), atau
kecelakaan kerja.3 Angka mortalitas didapatkan sekitar 48% dalam 24 jam
pertama. Sekitar 80% meninggal di tempat kejadian oleh karena vertebra
servikalis memiliki risiko trauma paling besar, dengan level tersering C5,
diikuti C4, C6, kemudian T12, L1, dan T10.2,3 Kerusakan medula spinalis
tersering oleh penyebab traumatik, disebabkan dislokasi, rotasi, axial loading,
dan hiperfleksi atau hiperekstensi medula spinalis atau kauda ekuina (Maditias
et al., n.d.).
Perawatan awal setelah terjadi cidera kepala medula spinalis ditujukan
pada pengembalian kedudukan tulang dari tempat yang patah atau dislokasi.
Langkah-langkahnya terdiri dari immobilisasi sederhana, traksi skeletal,
tindakan bedah untuk membebaskan kompresi spina. Sangat penting untuk
mempertahankan tubuh dengan tubuh dipertahankan lurus dan kepala rata.
Kantong pasir mungkin diperlukan untuk mempertahankan kedudukan tubuh.

2
Dalam kasus pra rumah sakit, penanganan pasien dilakukan setelah
pengkajian lokasi kejadian dilakukan. Apabila pengkajian awal lokasi
kejadian tidak dilakukan maka akan membahayakan jiwa paramedik dan
orang lain di sekitarnya sehingga jumlah korban akan meningkat. Dalam
kasus ini, kematian muncul akibat tiga hal: mati sesaat setelah kejadian,
kematian akibat perdarahan atau kerusakan organ vital, dan kematian akibat
komplikasi dan kegagalan fungsi organ-organ vital
Dalam menangani kasus ini, meskipun dituntut untuk bekerja secara
cepat dan tepat, paramedik harus tetap mengutamakan keselamatan dirinya
sebagai prioritas utama sebelum menyentuh pasien. Pasien ditangani setelah
lokasi kejadian sudah benar-benar aman untuk tindakan pertolongan (Maditias
et al., n.d.).
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi cedera medulla spinalis?
2. Apa etiologi cedera medulla spinalis?
3. Apa manifestasi klinis cedera medulla spinalis?
4. Bagaimana patofisiologi cedera medulla spinalis?
5. Apa komplikasi cedera medulla spinalis?
6. Apa pemeriksaan penunjang cedera medulla spinalis?
7. Bagaimana penatalaksanaan cedera medulla spinalis?
8. Apa diagnosis keperawatan cedera medulla spinalis?
9. Apa intervensi, implementasi, dan evaluasikeperawatan cedera
medulla spinalis?

3
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi cedera medulla spinalis
2. Untuk mengetahui etiologi cedera medulla spinalis
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis cedera medulla spinalis
4. Untuk mengetahui patofisiologi cedera medulla spinali
5. Untuk mengetahui komplikasi cedera medulla spinalis
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang cedera medulla spinalis
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan cedera medulla spinalis
8. Untuk mengetahui diagnosis keperawatan cedera medulla spinalis
9. Untuk mengetahui intervensi, implementasi, dan evaluasikeperawatan
cedera medulla spinalis.

4
BAB II
KONSEP MEDIS

A. Definisi
Trauma Medulla Spinalis adalah Trauma yang terjadi pada jaringan
medulla spinalis yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau
lebih tulang vertebrata atau kerusakan jaringan medulla spinalis lainnya
termasuk akar-akar saraf yang berada sepanjang medulla spinalis sehingga
mengakibatkan defisit neurologi (Carpenito, 2007 ).
Trauma pada medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. (Muttaqin,A, 2008)
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth,
2001)
B. Etiologi
1. Trauma
2. Kelainan pada vertebra (arthropathi spinal)
3. Keganasan yang menyebabkan fraktur patologik
4. Infeksi
5. Osteoporosis
6. Kelainan congenital
7. Gangguan vaskuler
8. Kecelakaan lalu lintas
9. Olah raga
10. Tumor
(Digulio.M., 2007)

5
C. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddarth, (2001)
1. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
2. paraplegia
3. tingkat neurologic
4. paralisis sensorik motorik total
5. kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
6. penurunan keringat dan tonus vasomotor
7. penurunan fungsi pernafasan
8. Kelemahan motorik ekstermitas atas lebih besar dari ekstermitas bawah
D. Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan
kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis
tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak
langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis
disebut “whiplash”/trauma indirek.
Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari
tulang belakang secara cepat dan mendadak.Trauma whiplash terjadi pada
tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada
waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara
mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam dan masuk air
yang dapat mengakibatkan paraplegia (Kartini, 2022).
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /
menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa
medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmentransversa,
hemitransversa, kuadran transversa). hematomielia adalah perdarahan dalam
medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat di substansia grisea.
Trauma ini bersifat “whiplash “yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan

6
berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio. Kompresi
medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh
penyempitan kanalis vertebralis (Kartini, 2022).
Mekanisme utama terjadinya cedera vertebra adalah karena hiperekstensi,
hiperfleksi, trauma kompresi vertikal dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi.
Cedera karena hiperekstensi paling umum terjadi pada area cervikal dan
kerusakan terjadi akibat kekuatan akselerasi – deselerasi. Cedera akibat
hiperfleksi terjadi akibat regangan atau tarikan yang berlebihan, kompresi dan
perubahan bentuk dari medula spinalis secara tiba – tiba.
Mekanisme terjadinya cedera medulla spinalis menurut Campbell, (2004)
1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada
vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat
menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila
terdapat kerusakan ligamen posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan
dapat terjadi subluksasi
2. Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan suatu trauma fleksi yang bersama-sama
dengan rotasi. Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan
fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan kedepan/dislokasi
vertebra di atasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.
3. Kompresi Vertikal (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan
menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan
permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan
masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi rekah
(pecah). Pada trauma ini elemen posterior masih intak sehingga fraktur
yang terjadi bersifat stabil

7
4. Hiperekstensi atau retrofleksi
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan
ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang
pada vertebra torako-lumbalis. Ligamen anterior dan diskus dapat
mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini
biasanya bersifat stabil.
5. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen
vertebra, dan sendi faset.
6. Fraktur dislokasi
Suatu trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang dan
terjadi dislokasi pada ruas tulang belakang
E. Komplikasi
1. Neurogenik shock.
2. Hipoksia.
3. Gangguan paru-paru
4. Instabilitas spinal
5. Orthostatic hipotensi
6. Ileus paralitik
7. Infeksi saluran kemih
8. Kontraktur
9. Dekubitus
10. Inkontinensia blader
11. Konstipasi
(Dinata et al., 2021)

8
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulang (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
2. Scan ct
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun structural
3. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
4. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
5. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada
diafragma, atelektasis)
6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian
bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot
interkostal).
7. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
(Dinata et al., 2021)

9
G. Penatalaksanaan
1. Lakukan tindakan segera pada cedera medula spinalis.
Tujuannya adalah mencegah kerusakan lebih lanjut pada medula
spinalis.sebagian cedera medula spinalis diperburuk oleh penanganan yang
kurang tepat,efek hipotensi atau hipoksia pada jaringan saraf yang sudah
terganggu.
a. Letakkan pasien pada alas yang keras dan datar untuk pemindahan.
b. Beri bantal,guling atau bantal pasir pada sisi pasien u/ mencegah
pergeseran.
c. tutup dengan selimut untuk menghindari hawa panas badan.
d. pindahkan pasien ke RS yang memiliki fasilitas penanganan kasus
cedera medulla spinalis.
2. Perawatan khusus
a. Kontusio / transeksi / kompresi medula spinalis.
1) Metil prednisolone 30 mg/ kg bolus intravena selama 15 menit
dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg BB/jam, 45 menit. Setelah bolus,
selama 23 jam hasil optimal bila pemberian dilakukan <8 jam
onset.
2) Tambahkan profilaksis stres ulkus : antasid / antagonis H2
3. Tindakan operasi diindikasikan pada :
a. Fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis
b. Cedera terbuka dengan benda asing / tulang dlm kanalis spinalis.
c. Lesi parsial medula spinalis dengan hematomielia yang progresif.
(Dinata et al., 2021)

1
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
Trauma medula spinalis dapat terjadi pada semua usia dan jenis
kelamin meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis
kelamin (kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai
motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat,pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan
diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas,
inkontinensia urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan otot,hiperestesia
tepat di atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah trauma.
3. Riwayat penyakit sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat dari
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, kecelakaan industri,
kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka
tembak, trauma karena tali pengaman dan kejatuhan benda keras.
Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai
dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas yang total dan
melemah/menghilangnya refleks alat diam). Ini merupakan gejala awal
dari tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu, ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-
refleks.
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau
bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman

1
(fraktur chance), dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat
meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu
disertai hilangnya sensibilitassecara total dan melemah/menghilangnya
refleks alat dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-
refleks.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien
atau bila klien tidak sadar tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan
penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka
kebut-kebutan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degeneratif pada tulang belakang seperti osteoporosis, osteoartritis,
spondilitis, spondilolistesis, spinal stenosis yang memungkinkan
terjadinya kelainan pada tulang belakang. Penyakit lainnya seperti
hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-
obatan antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obatan adiktif perlu
ditanyakan untuk menambah komprehensifnya pengkajian.
Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi
kesehatan klien sebelum menderita penyakit sekarang , berupa riwayat
trauma medula spinalis. Biasanya ada trauma/ kecelakaan.
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis, osteoartritis,
spondilitis, spondilolistesis, spinal stenosis yang memungkinkan
terjadinya kelainan pada tulang belakang (Masalah penggunaan obat-
obatan adiktif dan alkohol).
5. Riwayat penyakit keluarga
Kaji apakah dalam keluarga pasien ada yang menderita hipertensi,
DM, penyakit jantung untuk menambah komprehensifnya pengkajian
(Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak)

1
6. Riwayat psiko-sosio
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,
yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Adanya
perubahan berupa paralisis anggota gerak bawah memberikan manifestasi
yang berbeda pada setiap klien yang mengalami cedera tulang belakang.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien,yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk
melakukan aktifitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang
salah.
7. Pengkajian Primer
a. Airway.
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar
dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada
penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah.
Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra
servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan
ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini,
kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan
hembusan napas yang keluar melalui hidung
Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan
dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan

1
napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila
hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas.
b. Breathing.
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Jika
penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang
adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal.1,3,5,6,7,8.
c. Circulation.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah
mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer
yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi
yang relatif normovolemik.
d. Disability.
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran
pasien.
e. Exprosure
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan
sadar (GCS 15) dengan :Simple head injury bila tanpa deficit
neurology
1) Dilakukan rawat luka
2) Pemeriksaan radiology
3) Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila
terjadi penurunan kesadaran segera bawa ke rumah sakit

1
8. Pengkajian Skunder.
a. Aktifitas /Istirahat.
Tanda:
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal pada bawah
lesi.
Kelemahan umum / kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi
saraf).
b. Sirkulasi.
Gejala: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi.
Tanda:hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin
dan pucat.
Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
c. Eliminasi.
Tanda: retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena,
emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis,
Inkontinensia defekasi berkemih.
d. Integritas Ego.
Gejala: menyangkal, tidak percaya, sedih,
marah. Tanda: takut, cemas, gelisah, menarik
diri.
e. Makanan /cairan.
Tanda: mengalami distensi abdomen yang berhubungan dengan
omentum., peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
f. Higiene.
Tanda: sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari
(bervariasi)
g. Neurosensori.
Tanda: kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi
perubahan pada syok spinal). Kehilangan sensasi (derajat
bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal

1
sembuh). Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan
refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan
reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang
terkena karena pengaruh trauma spinal.
Gejala: kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki,
paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal
teratasi, bergantung pada area spinal yang sakit.
h. Nyeri /kenyamanan.
Gejala: Nyeri atau nyeri tekan otot dan hiperestesia tepat di atas daerah
trauma,
Tanda: mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
i. Pernapasan.
Gejala: napas pendek, kekurangan oksigen, sulit bernapas.
Tanda: pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi
napas, ronki, pucat, sianosis.
j. Keamanan.
Suhu yang berfluktasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
k. Seksualitas.
Gejala: keinginan untuk kembali berfungsi normal.
Tanda: ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.

1
B. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung actual maupunpotensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(SDKI, 2016).
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan cedera pada medulla
spinalis dibuktikan dengan dyspnea, penggunaan otot bantu pernafasan,
fase ekspirasi memanjang, pola napas abnormal (mis. Takipnea,
bradipnea, hiperventiasi, kussmaul, cheyne-stokes).
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan dengan
mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif (mis. Waspada,
posisi menghindari nyeri),gelisah, frekuensi nadi meningkat.
3. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan
neuromuscular dibuktikan dengan mengeluh sulit menggerakkan
ekstermitas, kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun, nyeri
saat bergerak, gerakan terbatas, fisik lemah.
4. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan kapasitas
kandung kemih dibuktikan dengan desekan berkemih (urgensi), sering
buang air kecil, nokturia, distensi kandung kemih, berkemih tidak tuntas
(hesitancy).
5. Gangguan intergritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas
dibuktikan dengan kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit, nyeri,
perdarahan, hematoma.

1
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan dalam buku SIKI, (2018) adalah segala treatment
yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaiaan klinis untuk mencapi tujuan (outcome)
No Diagnosis Tujuan Intervensi Keperawatan
Keperawatan

1 Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas


efektif keperawatan selama 3x24 Observasi
berhubungan jam maka diharapkan pola 1. Monitor pola napas (frekuensi,
dengan cedera napas membaik dengan kedalaman, usaha napas)
pada medulla kriteria hasil 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
spinalis ditandai a. Dyspnea menurun Gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
dengan dyspnea, b. Penggunaan otot bantu kering).
penggunaan otot pernapasan menurun Terapeutik
bantu pernafasan, c. Pemanjangan fase 3. Pertahankan kepatenan jaan napas
fase ekspirasi ekspirasi menurun dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
memanjang, pola d. Frekuensi napas trust jika curiga trauma servikal).
napas abnormal membaik 4. Posisiskan semi fowler atau fowler
(mis. Takipnea, 5. Berikan minum hangat
bradipnea, 6. Keluarkan sumbatan benda benda
hiperventiasi, padat dengan forsep mc-gill
kussmaul, 7. Berikan oksigen, jika perlu
cheyne-stokes). Edukasi
8. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
9. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.

1
2 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
berhubungan keperawatan selama 3x24 Observasi :
dengan agen jam maka diharapkan tingkat 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
pencedera fisik nyeri menurun dengan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
ditandai dengan kriteria hasil nyeri
mengeluh nyeri, a. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
tampak meringis, menurun 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
bersikap protektif b. Meringis menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat
(mis. Waspada, c. Gelisah menurun dan memperingan nyeri
posisi d. Sikapprotektif 5. Identifikasi pengetahuan dan
menghindari menurun keyakinan tentang nyeri
nyeri),gelisah, e. Frekuensi nadi Terapeutik :
frekuensi nadi membaik 6. Berikan teknik nonfarmakologis
meningkat untuk mengurangi rasa nyeri
7. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
8. Fasilitasi istirahat dan tidur
9. Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi :
10. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
11. Jelaskan strategi meredakan nyeri
12. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
13. Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
14. Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :

1
15. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
3 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan mobilisasi
mobilitas fisik keperawatan selama 3x24 Observasi
yang jam maka diharapkan 1. Identifikasi adanya nyeri atau
berhubungan mobilitas fisik meningkat keluhan fisik lainnya
dengan gangguan dengan kriteria hasil 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan
neuromuscular a. Pergerakan ekstermitas pergerakan
ditandai dengan meningkat 3. Monitor frekuensi jantung dan
mengeluh sulit b. Kekuatan otot tekanan darah sebelum memulai
menggerakkan c. Rentang gerak(ROM) mobilisasi
ekstermitas, meningkat 4. Monitor kondisi umum selama
kekuatan otot d. Gerakan terbatas melakukan mobilisasi
menurun, rentang menurun Terapeutik
gerak (ROM) e. Kelemahan fisik 5. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
menurun, nyeri menurun alat bantu (mis: pagar tempat tidur)
saat bergerak, 6. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika
gerakan terbatas, perlu
fisik lemah. 7. Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan
pergerakan
Edukasi
8. Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
9. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
10. Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (mis: duduk di
tempat tidur, duduk di sisi tempat
tidur, pindah dari tempat tidur ke
kursi)

2
4 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Manajemen eliminasi urine
eliminasi urine keperawatan selama 3x24 Observasi
berhubungan jam maka diharapkan 1. Identifikasi tanda dan gejala retensi
dengan eliminasi urine membaik atau inkontinensia urine
penurunan dengan kriteria hasil 2. Idetifikasi factor yang menyebabkan
kapasitas a. Desakan berkemih retensi atau inkontinensia urine
kandung kemih (urgensi) 3. Monitor eliminasi urine (mis.
ditandai dengan b. Distensi kandung Frekuensi, konsistensi, aroma, volume
desekan kemih menurun dan warna)
berkemih c. Berkemih tidak tuntas Terapeutik
(urgensi), sering menurun 4. Catat waktu-waktu dan haluaran urine
buang air kecil, d. Frekuensi BAK 5. Batasi asupan cairan, jika perlu
nokturia, distensi membaik
kandung kemih, Edukasi
berkemih tidak 6. Ajarkan tanda dan gejala infeksi
tuntas saluran kemih
(hesitancy). 7. Ajarkan mengenali tanda berkemih
dan waktu yang tepat untuk
berkemih
8. Anjurkan mengurangi minum
menjelang tidur
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian obat supositoria
uretra, jika perlu
5 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Perawatan luka
intergritas kulit keperawatan selama 3x24 Observasi
berhubungan jam maka diharapkan 1. Monitor karakteristik luka
dengan penurunan integritas kulit dan jaringan (mis.drainase, warna, ukuran dan bu)
mobilitas ditandai membaik dengan kriteria 2. Monitor tanda-tanda infeksi
dengan kerusakan hasil Terapeutik
jaringan dan/atau a. Perfusi jaringan 3. Lepaskan balutan dan plester secara

2
lapisan kulit, meningkat perlahan
nyeri, perdarahan, b. Kerusakan jaringan 4. Bersihkan dengan cairan NaCl atau
hematoma. menurun pembersih nontoksik sesuai
c. Kerusakan lapisan kebutuhan
kulit menurun 5. Bersihkan jaringan nekrotik
d. Perdarahan menurun 6. Pasang balutan sesuai jenis luka
7. Pertahankan teknik steril saat
melakukan perawatan luka
Edukasi
8. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
9. Anjurkan mengonsumsi makanan
tinggi kalori dan protein
10. Ajarkan prosedur perawatan luka
secara mandiri
Kolaborasi
11. Kolaborasi pembedahan antibiotic,
jika perlu.

2
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dalam konsep asuhan keperawatan adalah
pengelolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun
pada tahap perencanaan yang mencangkup tindakan mandiri dan kolaborasi
yang didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau petugas
kesehatan lain (Asmadi, 2008).
E. Evaluasi Keperawatan
Menurut sumber Asmadi, (2008) Evaluasi adalah tahap akhir dari
proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan
terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil
yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.
Jika hasil evaluasi menunjukan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien
bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan
masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang
(reassessment).
Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan
hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah
perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai
keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan
evaluasi formatifini meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah
SOAP, yakni subjektif(data berupa keluhan klien), objektif (data hasil
pemeriksaan), analisis data (pembandingan data dengan teori), dan
perencanaan (Asmadi, 2008).

2
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang


disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth,
2001). Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu: kecelakaan otomobil,
industri terjatuh, olah-raga, menyelam, luka tusuk, tembak dan tumor.
Cedera medula spinalis adalah suatu trauma yang mengenai medula
spinalis atau sumsum tulang akibat dari suatu trauma langsung yang mengenai
tulang belakang. Penyebab cedera medula spinalis adalh kejadian-kejadian
yang secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya kompresi pada medula
spinalis seperti terjatuh dari tempat yang tinggi, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olaghara dan lain-lain.
Cedera medula spinalis dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan jika
mengenai saraf-saraf yang berperan terhadap suatu organ maupun otot. Cedera
medula spinalis ini terbagi menjadi 2 yaitu cedera medula spinalis stabil dan
tidak stabil.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat
merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal,
segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada Trauma, serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis
menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan
kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut. Suatu rantai
sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi,
hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting,
karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan
kehilangan fungsi neurologik.Pada kepala dan leher dan leher harus
dipertimbangkan mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini

2
disingkirkan. Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen
kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan.
Penatalaksanaan untuk cedera medula spinalis adalah dengan pemberian
obat kortikosteroid dan melihat kepada sistem pernapasan, jika terjadi
gangguan maka perlu diberikan oksigen.
Asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien cedera medula spinalis
adalah melihat kepada diagnosa apa saja yang muncul. Intinya pemberian
asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera medula spinalis adalah
memperhatikan posisi dalam mobilisasi pasien sehingga tidak memperparah
cedera yang terjadi.
Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan Trauma medula
spinalis berbeda penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit
lainnya,karena kesalah dalam memberikan asuhan keperawatan dapat
menyebabkan Trauma semakin komplit dan dapat menyebabkan kematian
B. Saran
Cedera medula spinalis adalah suatu kejadian yang sering terjadi
dimasyarakat. Tingkat kejadiannya cukup tinggi karena bisa terjadi pada siapa
saja dan dimana saja. Sehingga perlu tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam
melakukan setiap aktivitas agar tidak terjadi suatu kecelakaan yang dapat
mengakibatkan cedera ini.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat
menjaga kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma
medula spinalis dapat terhindar. Adapun jika sudah terjadi, mahasiswa dapat
melakukan perawatan seperti yang telah tertulis dalam makalah ini

2
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC.


Brunner.& Suddarth. (2002). Keperawatan medical bedah. Edisi 8. Jakarta:EGC.
Dinata, I. G. S., Agung, A., Wira, G., & Yasa, P. (2021). The overview of spinal cord
injury. 1(2), 103–113.
Champbell,N. (2004).Biologi. Edisi 5. Jakarta: Erlangga.
Carpenito, L.J. (2007). Buku saku: diagnosa keperawatan. Edisi. 10. Alih bahasa
yasmine asih. Jakarta:EGC.
Dinata, I. G. S., Agung, A., Wira, G., & Yasa, P. (2021). The overview of spinal cord
injury. 1(2), 103–113.
Digulio,M. (2007). Keperawatan medikal bedah demystified. Edisi 1.Yogyakarta.
Rapha publising.
Kartini, C. (2022). Patofisiologi spinal cord injury. 49 (9),493–498.
Maditias, G., Pertiwi, D., Berawi, K., Kedokteran, F., & Lampung, U. (n.d.).
Diagnosis dan tatalaksana trauma medula spinalis diagnosis and management
of spinal cord injury. 5–9.
Muttaqin, A. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
pernafasan. Jakarta: Selemba Medika
S, J. M. P. (n.d.). Diagnosis dan penatalaksanaan cedera servikal medula spinalis.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar diagnosis keperawatan indonesia
(SDKI), Edisi 1. Jakarta. DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar luaran keperawatan indonesia (SLKI),
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia
(SIKI), Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai