Anda di halaman 1dari 43

CEDERA TULANG BELAKANG

(SPINAL CORD INJURY)

DOSEN PENGAMPUH :
NS. RAHMAT DJALIL, S.KEP, M.KES

DISUSUN OLEH :
NAMA : NUR KHASANAH DWI SUSANTO
NIRM : 1801053
KELAS : V C KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KSESAHATAN (STIKES) MUHAMMADIYAH
MANADO
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.


Segala puji penulis haturkan kepada Allah SWT. dan semoga hidayah dan
inayah selalu tercurahkan kepada kami sehinggah bisa menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “CEDERA TULANG BELAKANG”.
Shalawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa umatnya dari alam yang tidaktahuan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan. Kami berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah yang kami susun ini dapat
berguna bagi kami khususnya dan pembaca pada umumnya.
Adapun dalam penyusunan makalah ini terdapat berbagai kesalahan baik
dalam penulisan atau penempatan kata serta dalam mendefinisikan isi makalah.
Oleh karana itu kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis harapkan.

Manado, 20 November 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................. 1
A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................... 1
C. Tujuan..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................... 3
A. Anatomi Tulang belakang...................................................... 3
B. Definisi................................................................................... 4
C. Etiologi................................................................................... 4
D. Klasifikasi .............................................................................. 5
E. Manifestasi klinis.................................................................... 8
F. Patofisiologi............................................................................ 8
G. Penatalaksanaan Medis........................................................... 9
H. Pemeriksaan Penunjang.......................................................... 11
I. Komplikasi.............................................................................. 11
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORI................................. 13
A. Pengkajian.............................................................................. 13
B. Pathway.................................................................................. 13
C. Diagnosis................................................................................ 14
D. Intervensi................................................................................ 14
E. Implementasi.......................................................................... 17
F. Evaluasi.................................................................................. 17
BAB IV KASUS................................................................................. 18
A. Kasus...................................................................................... 18
B. Pengkajian.............................................................................. 18
C. Diagnosis................................................................................ 26
D. Intervensi................................................................................ 27
E. Implementasi dan Evaluasi..................................................... 31
BAB V PEMBAHASAN.................................................................... 36
BAB VI PENUTUP............................................................................ 39
A. Kesimpulan............................................................................. 39
B. Saran....................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 40

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di seluruh dunia, jumlah kasus baru SCI sejak 1995 berkisar antara 10,4
hingga 83 orang per juta per tahun. Kisaran angka yang luas ini mungkin
sebagian karena perbedaan antar wilayah dalam hal apakah dan bagaimana
cedera dilaporkan. Di Amerika Utara, sekitar 39 orang per satu juta menderita
SCI traumatis setiap tahun, dan di Eropa Barat, insidensinya 16 per juta. Di
Amerika Serikat, insiden cedera tulang belakang diperkirakan sekitar 40 kasus
per 1 juta orang per tahun atau sekitar 12.000 kasus per tahun. Di Cina,
kejadiannya kira-kira 60.000 per tahun. Perkiraan jumlah orang yang hidup
dengan SCI di dunia berkisar antara 236 sampai 4187 per juta. Perkiraan sangat
bervariasi karena perbedaan dalam cara pengumpulan data dan teknik apa yang
digunakan untuk mengekstrapolasi angka tersebut. Sedikit informasi tersedia
dari Asia, dan bahkan lebih sedikit dari Afrika dan Amerika Selatan. Di Eropa
Barat, prevalensi diperkirakan 300 per juta orang dan di Amerika Utara 853 per
juta. Diperkirakan 440 per juta di Iran, 526 per juta di Islandia, dan 681 per juta
di Australia. Di Amerika Serikat ada antara 225.000 dan 296.000 orang yang
hidup dengan cedera tulang belakang, dan penelitian yang berbeda
memperkirakan prevalensi dari 525 hingga 906 per juta.
SCI ditemukan pada sekitar 2% dari semua kasus trauma benda tumpul.
Siapa pun yang telah mengalami kekuatan yang cukup untuk menyebabkan
cedera tulang belakang dada berisiko tinggi juga mengalami cedera lain. Dalam
44% kasus SCI, cedera serius lainnya diderita pada waktu yang sama; 14%
pasien SCI juga menderita trauma kepala atau trauma wajah. Cedera lain yang
umumnya terkait termasuk trauma dada, trauma perut, patah tulang panggul,
dan patah tulang panjang.

B. Rumusan Masalah
1. Medulla spinalis tersusun dari?
2. Apa itu cedera tulang belakang (spinal cord injury)
3. Apa etiologi terjadinya cedera tulang belakang?
4. Cedera tulang belakang di klasifikasikan menjadi?
5. Apa saja manifestasi klinis dari cedera tulang belakang?
6. Bagaimana patofiologi dari cedera tulang belakang?
7. Bagaimana penatalaksanaan untuk menangani cedera tulang belakang?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang pada cedera tulang belakang?
9. Apa komplikasi dari cedera tulang belakang?
10. Bagaimana asuhan keperawatan dari cedera tulang belakang?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi tulang belakang.
2. Untuk mengetahui definisi cedera tulang belakang.
3. Untuk mengetahui etiologi cedera tulang belakang.
4. Untuk mengetahui klasifikasi cedera tulang belakang.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis cedera tulang belakang.
6. Untuk mengetahui patofisiologi cedera tulang belakang.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis cedera tulang belakang.
8. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang cedera tulang belakang.
9. Untuk mengetahui komplikasi cedera tulang belakang.
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan cedera tulang belakang.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Anatomi
Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat (SSP).
Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan
agak melebar yang disebut conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang
dibawah conus terminalis serabut-serabut bukan saraf yang disebut filum
terminale yang merupakan jaringan ikat.

Tulang vertebrata yang di sertai dengan syaraf tulang belakang berfungsi


untuk menyokong kepala. Tulang vertebra terdiri dari 33 bagian, diantaranya :
7 tulang servical di leher, 12 tulang torakal yang berada pada bagian atas
punggung belakang yang sesuai dengan pasangan pada tulang rusuk, 5 tulang
lumbal yang berada pada bagian belakang bawah, 5 tulang sacral dimana 1
tulangnya di sebut sacrum, 4 tulang coccigis.
Penomoran dan penamaan pada tulang servikal mengacu pada penamaan
“C” dimana c adalah cervical. Penomoran di mulai pada C1,C2,C3,C4,C5…
C7. Pada tulang torakal, penamaan dan penomoran dimulai dengan T1… T12,
Penomoran pada lumbal dimulai dengan L1..l5. penomoran pada tulang
vertebra tersebut di mulai dari kepala.
Saraf Tulang belakang merupakan perpanjangan dari otak yang
terakumulasi dan telindungi oleh tulang vertebral coloumn. Tulang belakang
juga terdiri dari cairan yang bertindak sebagai buffer untuk melindungi
jaringan syaraf yang halus. Syaraf tulang belakang juga terdiri dari serabut
syaraf yang berfungsi untuk mengirimkan informasi dari dan ke tungkai hingga
organ lain. Serabut syaraf

3
Struktur internal medula spinalis terdiri dari substansi abu abu dan
substansi putih (Gambar 2). Substansi Abu-abu membentuk seperti kupu-kupu
dikelilingi bagian luarnya oleh substansi putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan
kanan oleh anterior median fissure san median septum yang disebut dengan
posterior median septum.
Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf
spinal. Substansi abu-abu mengandung badan sel dan dendrit dan neuron
efferen, akson tak bermyelin, saraf sensoris dan motoris dan akson terminal
dari neuron. Substansi abu-abu membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga
bagian yaitu: anterior, posterior dan komisura abu-abu. Bagian posterior
sebagai input /afferent, anterior sebagai output/efferent, komisura abu-abu
untuk refleks silang dan substansi putih merupakan kumpulan serat saraf
bermyelin.

B. Definisi
Spinal Cord Injury (SCI) atau cedera sumsum tulang belakang adalah
kerusakan atau trauma pada sumsum tulang belakang yang dapat mengenai
elemen tulang, jaingan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan
lumbalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau
pergeseran satu atau lebih tulang vertebra) sehingga mengakibatkan
gangguan/defisit fungsi neurologis.
Cedera tulang belakang (SCI) adalah kerusakan pada sumsum tulang
belakang yang menyebabkan perubahan sementara atau permanen pada
fungsinya. Gejala mungkin termasuk hilangnya fungsi otot, sensasi, atau fungsi
otonom di bagian tubuh yang dilayani oleh sumsum tulang belakang di bawah
tingkat cedera. Cedera dapat terjadi di semua tingkat sumsum tulang belakang
dan dapat lengkap, dengan hilangnya sensasi dan fungsi otot total pada segmen
sakral bawah, atau tidak lengkap, yang berarti beberapa sinyal saraf dapat
melewati area yang cedera dari tali pusat hingga Segmen sumsum tulang
belakang sakral S4-5.

C. Etiologi
Penyebab dari cedera medulla spinalis yaitu:
1. Kecelakaan Lali lintas/jalan raya.
2. Injuri atau jatuh dari ketinggian.
3. Kecelakaan karena olah raga. Di bidang olahraga, tersering karena
menyelam padaair yang sangat dangkal.
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.
5. Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih, stress.
6. Lateral, distraksi (stretching berlebih), penekanan.

4
7. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit
danmengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar;
mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun noninfeksi; osteoporosis
yang disebabkan olehfraktur kompresi pada vertebrata; siringmielia; tumor
infiltrasi maupun kompresi dan penyakit vaskuler.

D. Klasifikasi
Klasifikasi Menurut American Spinal Injury Association :
Grade A Hilangnya seluruh fungsi morotik dan sensorik
dibawah tingkat lesi
Grade B Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi
sensorik di bawah tingkat lesi.
Grade C Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah
Grade D 3.
Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas
atau sama dengan 3.
Grade E Fungsi motorik dan sensorik normal.

Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan


Frankel Score.

Frankel Score A kehilangan fingsi motorik dan sensorik lengkap


(complete loss).
Frankel Score B Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
Frankel Score C Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna
(dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat
berjalan).
Frankel Score D Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak
dengan normal ”gait”).
Frankel Score E Tidak terdapat gangguan neurologik.

Sedangkan lesi pada medulla spinalis menurut ASIA resived 2000,


terbagi atas :
1. Paraplegia adalah suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau
sensorik karena kerusakan pada segmen torako-lumbo-sakral.
2. Quadriplegia adalah suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan
atau sensorik karena kerusakan pada segmen servikal.

Level cedera

5
Level Manifestasi
cedera
C1-C3 • Hilangnya semua fungsi otot, termasuk otot respirasi
akibat kerusakan saraf phrenic
• Dengan transeksi spinal lengkap pasien akan meninggal,
kemungkinan ditempat kejadian, kecuali bila ventilasi segera
dilakukan.
C4-C5 • Sama seperti di atas, tetapi dengan kemungkinan masih
ada fungsi saraf phrenic. Ini berarti bahwa pasien
kemungkinan akan membutuhkan bantuan ventilasi karena
terjadinya kelemahan atau hilangnya fungsi otot interkosta.
• Pasien akan tetraplegi/quadriplegi
C6-C8 • Quadriplegia akan terjadi, tetapi pasien dapat
mempertahankan fungsi diafragma dan otot asesoris
pernapasan dan dapat melakukan beberapa pergerakan leher,
bahu, dada dan bagian atas lengan.
T1-T3 • Leher, bahu, lengan, tangan, dan respirasi berfungsi
• Akan mengalami kesulitan mempertahankan posisi
duduk
T4-T10 • Sama seperti di atasnya, tetapi otot-otot trunk lebih stabil
• Lesi lebih rendah, kemandirian lebih besar
• Pasien akan paraplegia
Catatan:
Pasien dengan lesi pada atau di atas T6
(tetraplegic/quadriplegic/high paraplegic), 80% akan
mengalami episode autonomic disreflexia.
T11-L2 • Akan dapat menggunakan ekstremitas atas, leher dan
bahu.
• Otot dada dan trunk stabil, dan beberapa fungsi otot
femur bagian atas.
• Mungkin kehilangan kontrol volunter bowel dan bladder,
tetapi pasien mempunyai reflek pengosongan bowel.

6
• Laki-laki dapat mengalami kesulitan mencapai dan
mempertahankan ereksi dan penurunan emisi semen.
L3-S1 • Pasien mempunyai fungsi otot pada semua kelompok
otot bagian atas tubuh dan banyak fungsi otot ekstremitas
bawah.
• Fungsi volunter bowel dan bladder akan hilang, dan
reflek pengosongan.
• Laki-laki dapat mengalami penurunan atau hilangnya
kemampuan ereksi, dengan penurunan emisi semen.
S2-S4 • Semua kelompok otot berfungsi tetapi beberapa bagian
bawah ekstremitas melemah.
• Dapat mengalami flasiditas bowel dan bladder, demikian
pula hilangnya kemampuan reflek ereksi

Sindroma cedera medulla spinalis menurut American Spinal Injury


Association (ASIA), yaitu :
Nama Pola dari lesi Kerusakan
Sindroma saraf
Central cord Hematomielia, 1. Paresis lengan > tungkai
syndrome 2. Gangguan sensorik bervariasi di
ujung distal lengan
3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi, dan
seksual
Brown- Trauma 1. Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi
Sequard tembus, dan LMN setinggi lesi.
Syndrome Kompresi 2. Gangguan eksteroseptif (nyeri dan
suhu) kontralateral
3. Gangguan proprioseptif (raba dan
tekan) ipsilateral
Anterior cord Cedera yang 1. Paresis LMN setinggi lesi, UMN
syndrome menyebabkan dibawah lesi
HNP pada T4-6 2. Dapat disertai disosiasi sensibilitas
3. Gangguan eksteroseptif, proprioseptif
normal
4. Disfungsi spinkter
Posterior cord Trauma, infark 1. Paresis ringan

7
syndrome arteri spinalis 2. Gangguan eksteroseptif punggung,
posterior leher dan bokong
3. Gangguan propioseptif bilateral
Conus Trauma lower 1. Gangguan motoric ringan, simetris
medullaris sacral cord 2. Gangguan sensorik, bilateral,
syndrome disosiasi sensibilitas
3. Nyeri jarang, relative ringan,
simetris, bilateral pada perineum dan
paha
4. Refleks Achilles ( -) , patella (+),
bulbocavernosus (-), anal (-)
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan
ejakulasi.
Cauda equine Cedera akar saraf 1. Gangguan motoric sedang sampai
syndrome lumbosakral berat, asimetris
2. Gangguan sensibilitas, asimetris,
tidak ada disosiasi sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat, asimetris
4. Gangguan reflex bervariasi
Gangguan spinkter timbul lambat,
ringan, jarang terdapat disfungsi
seksual

E. Manifestasi Klinis
1. Nyeri pada area spinal atau paraspinal.
2. Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan dan kaki.
3. Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan, paralisis).
4. Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku,
parestesis, hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan).
5. Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafragmaf.
6. Shock dengan kecepatan jantung menurung.
7. Priapismush.
8. Kerusakan kardiovaskuler.
9. Kerusakan pernapasan.
10. Kesadaran menurunk.
11. Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi: Flaccid
paralisisdi bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas luka,
hilangnya reflek-reflek spinal di bawah batas luka, hilangnya tonus
vasomotor (hipotensi), inkontinensiaurine dan retensi feses (apabila
berlangsung lama akan menyebabkan hiperreflek/paralisis spastic.

8
F. Patofisiologi
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus
terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera
dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang
belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana,
kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal
cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau
tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok
syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot
pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi.
Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung
kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan
potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang
terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total;
jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjaditetraplegia dengan
kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas
sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan
untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada
spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan
keterbatasan menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya;
pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan
berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi
cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan
kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan
berkemih.

G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan awal adalah dengan melakukan imobilisasi, kemudian
lakukan pengkajian primer dengan memantau ABCDE pasien, pemberian
terapi obat serta pilihan untuk dilaksanakan tindakan operasi.
a. Imobilisasi
Melakukan imobilisasi merupakan pilihan utama untuk penanganan pada
pasien multitrauma. Pilihan tindakan imobilisasipun paling disarankan
untuk pasien-pasien dengan cedera tulang belakang. Menurut Debebe,
Woldetsadik, Laytin, Azazh, & Maskalyk (2016) melakukan imobilisasi
merupakan pilihan tindakan bagi pasien dengan cedera tulang belakang. Hal

9
ini didukung oleh hasil penelitian lain menurut Hood & Considine (2015)
yang menyatakan di dalam tinjauan literatur yang dipublikasikan, bahwa
ada yang sebanyak 15 penelitian yang mendukung tindakan imobilisasi,
namun ada juga yang tidak mendukung, yaitu sebanyak 19 hasil penelitian.
Tentunya dalam melaksanakan tindakan imobilisasi tetap memiliki dampak,
yaitu pada hasil neurologis, pencegahan pergerakan, posisi tulang belakang,
mengurangi nyeri atau meningkatkan kenyamanan. Namun, pada
berdasarkan tinjauan literatur yang dilaksanakan, nyatanya tidak ditemukan
penelitian tingkat tinggi yang sudah dipublikasi yang telah menilah
keampuhan imobilisasi tulang belakang, sebab untuk prosedur ini juga
memiliki dampak pada sistem pernapasan, kardiovaskular, cedera lain
seperti akibat tertekan. Sehingga imobilisasi disarankan, tetapi dengan
mempertimbangkan kemungkinan cedera lanjutan atau keuntungan yang
lebih besar.
b. Memantau ABCDE
Kanwar, Delasobera, Hudson, & Frohna (2015) dalam hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa setelah pasien menjalani prosedur imobilisasi, maka
penting untuk menjamin stabilitas jalan napas dan mempertahankan
sirkulasi yang baik. Pilihan untuk melakukan jalan napas definitif tidak
begitu disarankan dean menjadi dilemma, terutama saat keputusan untuk
melakukan intubasi yang kemungkinan akan memperburuk kondisi trauma.
Namun, beberapa artikel penelitian di dalam tinjauan sistematis yang
dilakukan Kanwar et al. (2015) memberikan hasil bahwa pilihan untuk
melakukan intubasi setelah pasien diimobilisasi adalah suatu pilihan yang
aman dan efektif. Selain itu, telah dilakukan penelitian dengan model
jenazah, yang menyatakan bahwa ketika dilakukan intubasi, tidak ada
pergesaran vertebra terutama pada saat pasien sedang imobilisasi pada satu
garis lurus. Jadi, pilihan untuk membebaskan jalan napas adalah benar dan
penting untuk dilakukan.
Selain mempertahankan kepatenan jalan napas, yang perlu diperhatikan
juga adanya kegagalan napas sebagai akibat dari cedera tulang belakang.
Hal inipun menjadi penyebab kematian yang cukup besar. Perlu diingat
bahwa daerah diafragma dipersyarafi oleh segmen C3 sampai C5 dari spinal
cord. Oleh karena itu, jikalau cedera yang terjadi di atas segemen C3, maka
pasien pasti mengalami apnea, sehingga pilihan untuk membuat airway
definitive adalah prioritas untuk dilaksanakan. Jika cedera terjadi pada
segemen C3 sampai C5, maka untuk kebutuhan ventilasi, pasien memiliki
ketergantungan jangka panjang. Jika cedera terjadi di bawah segmen C5,
maka diafragma pasien tetap dalam kondisi normal, namun berada dalam
kondisi gagal napas terutam pada fase awal dari cedera. (Winter et al., 2017)

10
c. Pemberian terapi obat
Berdasarkan hasil penelitian dilalukan pemberian terapi analgesic dan
terapi profilaksis. Selain itu beberapa penjelasan mengenai pengobatan
untuk pasien dengan cedera tulang belakang juga dijelaskan oleh Kanwar et
al. (2015) dalam hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa keuntungan
dari penggunaan metylprednisolon tidak begitu ditunjukkan di dalam hasil-
hasil penelitian, namun penggunaan glukokortikoid yang diuji cobakan pada
sampel hewan coba dengan keadaan edema spinal, nyatanya sampel
mengalami perbaikan secara neurologis. Penggunaan glukokortikoid pada 8
jam pertama setelah terjadi cedera, nyatanya menunjukkan peningkatan
perbaikkan untuk fungsi neurologic. Jika penggunaan glukokortikoid lebih
dari 8 jam setelah cedera, maka fungsi motorik tidak dapat kembali secara
sempurna. Selain itu, ada beberapa tatalaksana pengobatan, yaitu
menggambungkan pengobatan metylprednisolon pada 24 jam pertama,
diulangi untuk 48 jam berikutnya, dan tirilazad mesylate untuk 48 jam
pertama. Beberapa komplikasi dapat terjadi jika penggunaan glukokortikoid
dalam dosis yang tinggi, yaitu meningkatkan risiko infeksi.

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dipilih adalah pencitraan untuk menentukan
diagnose cedera. Menurut Kanwar et al., (2015) beberapa pilihan pemeriksaan
penunjang adalah X-Ray, MRI atau CT scan. Pilihan untuk melakukan
pemeriksaan X-Ray akan memberikan hasil yang cepat untuk gambaran posisi
tulang belakang, fraktur dan pembengkakan jaringan lunak. Meskipun,
tentunya pilihan menggunakan CT scan akan memberikan gambaran yang
lebih baik dengan deskripsi cedera yang lebih jelas. Selain itu, pilihan untuk
melakukan pemeriksaan CT scan menjadi pemeriksaan atau skrining awal
terutama pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan penunjang dengan
pencitraan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa ketika membandingkan antara
pilihan menggunakan X-Ray dengan CT scan, ternyata sebanyak 52% pasien
diidentifikasi mengalami cedera tulang belakang menggunakan X-Ray dan
98% pasien yang teridentifikasi ketika menggunakan prosedur pemeriksaan
dengan CT scan.

I. Komplikasi
1. Neurogenik shock
Syok Neurogenik adalah kondisi medis yang ditandai dengan
ketidakcukupan aliran darah ke tubuh yang disebabkan karena gangguan
sistem saraf yang mengendalikan konstriksi dari pembuluh-pembuluh darah.

11
Gangguan ini menyebabkan kehilangan sinyal saraf tiba-tiba, yang
menyebabkan terjadinya relaksasi dan pelebaran pembuluh-pembuluh darah
2. Hipoksia.
Hipoksia merupakan kondisi di mana berkurangnya suplai oksigen ke
jaringan di bawah level normal yang tentunya tidak dapat memenuhi
kebutuhan tubuh.
3. Hipoventilasi
Hipoventilasi adalah kurangnya ventilasi dibandingkan dengan kebutuhan
metabolik, sehingga terjadi peningkatan PCO2 dan asidosis respiratorik.
4. Orthostatic Hipotensi
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah yang terjadi tiba-tiba
saat berubah posisi dari telentang ke posisi duduk atau tegak. Hal ini lebih
sering pada pasien yang mengambil obat antihipertensi. Gejala seperti
lemah tiba-tiba, pusing, terasa pingsan dan pingsan dapat terjadi.
5. Ileus Paralitik
Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung distensi
usus karena usus tidak dapat bergerak (mengalami dismolititas).
6. Infeksi saluran kemih
Infeksi Saluran Kemih adalah infeksi bakteri yang mengenai bagian dari
saluran kemih. Ketika mengenai saluran kemih bawah dinamai sistitis
(infeksi kandung kemih) sederhana, dan ketika mengenai saluran kemih atas
dinamai pielonefritis (infeksi ginjal).
7. Kontraktur
Kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi
secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan
penyokong, otot dan kulit.
8. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit,
bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan
pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan
sirkulasi darah setempat. Dekubitus atau luka tekan adalah kerusakan
jaringan yang terlokalisir yang disebabkan karena adanya kompresi jaringan
yang lunak diatas tulang yang menonjol (bony prominence) dan adanya
tekanan dari luar dalam jangka waktu yang lama.
9. Inkontinensia blader
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan. (Brunner&Suddarth, 2002).
10. Konstipasi
Konstipasi adalah kondisi tidak bisa buang air besar secara teratur atau
tidak bisa sama sekali. Jika mengalaminya, Anda biasanya akan mengalami

12
gejala-gejala tertentu. Misalnya tinja Anda menjadi keras dan padat dengan
ukuran sangat besar atau sangat kecil.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
1) Kesadaran : GCS
2) Fungsi saraf kranial : Trauma yang mengenai/meluas ke batang otak
akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
3) Fungsi sensori-motor : Adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
d. Sistem pencernaan
1) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.
Jika pasien sadar : Tanyakan pola makan?
2) Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
3) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.

13
e. Kemampuan bergerak meliputi kerusakan area motorik : hemiparesis
/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi meliputi kerusakan pada hemisfer dominan :
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial : data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.

B. Pathway

C. Diagnosis
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan cedera medulla spinalis,
kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas)
2. Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, kerusakan integritas
struktur tulang.
4. Inkontinensia Urine berhubungan dengan kerusakan medulla spinalis.

14
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan paralisis.
6. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter
sekunder terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus refleks
sakrum yangterlibat (S2-S4), penurunan motilitas gastrointestinal.
7. Deficit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

D. Intervensi
Intervensi keperawatan yang dilakukan sesuai dengan diagnosis yang di
temukan adalah sebagai berikut :
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan cedera medulla spinalis,
kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas)
Intervensi:
a. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
b. Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi)
c. Monitor saturasi oksigen SpO2 dan CO2
d. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt, chin-lift dan jaw-
thrust.
e. Posisikan semi fowler atau fowler
f. Berikan lingkungan yang nyaman
g. Berikan oksigen 100% selama 3-5 menit, sesuai kebutuhan
h. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi
i. Ajarkan teknik batuk efektif
j. Kolaborasi pemberian terapi
2. Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis.
Intervensi :
a. Identifikasi faktor pencetus dan pereda nyeri
b. Monitor kualitas, lokasi, intensitas, durasi nyeri dengan pendekatan
PQRST
c. Monitor tanda-tanda vital
d. Ajarkan teknik non farmakologi (mis. Teknik rileksasi/distraksi, terapi
music, masase dan lain-lain)
e. Anjurkan lingkungan nyaman dan tenang
f. Jelaskan tujuan, manfaat dan jenis teknik rileksasi
g. Kolaborasi dalam pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, kerusakan integritas
struktur tulang.
Intervensi :
a. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
b. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi

15
c. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
d. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
e. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Mika miki,
duduk di tempat tidur)
f. Demonstrasikan cara mobilisasi di tempat tidur
4. Inkontinensia urin berhubungan dengan kerusakan medulla spinalis
Intervensi :
a. Identifikasi penyebab inkontinensia urine
b. Monitor kebiasaan BAK
c. Monitor eliminasi urine (mis. Frekuensi, konsistensi, aroma, volume,
dan warna)
d. Ambil sampel urine untuk memeriksakan urine lengkap atau kultur
e. Jelaskan definisi, jenis dan penyebab inkontinensia urine
f. Ajarkan memantau cairan keluar dan masuk serta pola eliminasi urine
g. Diskusikan program inkontinensia urine (mis. Jadwal minum dan
berkemih, latihan penguatan otot-otot perkemihan)
h. Kolaborasi dalam pemberian tindakan untuk mengatasi inkontinensia
urine, jika perlu
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan paralisis.
Intervensi :
a. Monitor tingkat kemandirian
b. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, berhias,
dan makan
c. Sediakan lingkungan yang terapeutik (mis. Suasana hangat, rileks dan
privasi)
d. Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
e. Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai
kemampuan
6. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter
sekunder terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus refleks
sakrum yangterlibat (S2-S4), penurunan motilitas gastrointestinal.
Intervensi :
a. Monitor peristaltik usus secara teratur
b. Monitor diet dan kebutuhan cairan
c. Berikan privasi, kenyamanan dan posisi yang meningkatkan proses
defekasi
d. Jelaskan makanan yang mendukung eliminasi fekal normal (mis. Tinggi
serat dan cukup air)
e. Kolaborasi pemberian laksatif

16
7. Deficit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
Intervensi :
a. Identifikasi informasi yang akan disampaikan
b. Identifikasi pemahaman tentang kondisi kesehatan saat ini
c. Identifikasi kesiapan menerima informasi
d. Lakukan penguatan potensi pasien dan keluarga untuk menerima
informasi
e. Dahulukan menyampaikan informasi yang positif sebelum
menyampaikan informasi yang negative terkait kondisi pasien
f. Jelaskan tentang kondisi, alur pengobatan/perawatan kepada pasien dan
keluarga
g. Anjurkan keluarga untuk mendampingi pasien

E. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
sesuai dengan intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien
dari masalah status kesehatan untuk status kesehatan lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Hal yang perlu diperhatikan
adalah sumber daya keluarga, tingkat pendidikan, dan saran prasarana yang ada
pada keluarga.

F. Evaluasi
1. Pasien mengatakan pola napas meningkat.
2. Pasien mengatakan tingkat nyeri menurun.
3. Pasien mengatakan mobilitas fisik meningkat
4. Pasien mengatakan inkontinensia urine membaik.
5. Pasien mengatakan perawatan diri meningkat.
6. Pasien mengatakan eliminasi fekal meningkat.
7. Pasien mengatakan tingkat pengetahuan membaik.

17
BAB IV
KASUS

A. Kasus
Pasien berinisial Tn. F. berjenis kelamin laki-laki, berusia 31 tahun.
Pasien berasal dari suku sunda dan beragama Islam. Pendidikan terakhir pasien
adalah perguruan tinggi, saat ini pasien bekerja sebagai pegawai swasta. Status
pernikahan pasien saat ini masih lajang.
Pasien datang ke Rumah sakit dengan kejadian kecelakaan. Motor
pasien tersenggol pengendara lain dibagian ban belakang motornya. Yang
menyenggol motor pasien kabur meninggalkan pasien dalam posisi jatuh
kearah samping dengan tubuh bagian depan menghadap ke motor sedangkan
tubuh bagian belakang menghadap kearah jalan raya. Dalam posisi tubuh
terjatuh tersebut datanglah kopaja dengan kecapatan tinggi menghantam pasien
dengan tumbukan pertama pada pinggang, pasien terdorong kearah depan
namun terapit dengan motor yang ada didepannya. Setelah kejadian itu, pasien
mengaku tidak dapat bangun lagi dan mulai mengalami penurunan kesadaran.
Keluhan pasien antara lain nyeri kepala ringan dan nyeri punggung
terutama area injuri lalu menyebar ke sekitar pinggang. Rasa nyeri punggung
membuat pasien takut menggerakan tubuhnya karena takut terjadi masalah
lebih lanjut pada tulang yang tertabrak. Rasa nyeri punggungnya mengganggu
pasien saat tidur di malam hari, sehingga selalu terbangun di malam hari
dengan interval 1 jam. Pasien mengeluh sulit buang air besar dan perut terasa
kembung.
Pasien tidak memiliki penyakit serius dan kronik seperti penyakit
jantung, hipertensi, diabetes, kaker, atau kejang. Pasien juga mengaku tidak
memiliki riwayat penyakit tersebut dalam keluarga. Pasien tidak mengetahui
kelengkapan imunisasi yang dijalankan. Pasien tidak memiliki alergi terhadap
makanan, dan cuaca tertentu. Pasien diketahui memiliki alergi terhadap obat

18
dari hasil skin test antibiotika ceftriaxone, hasilnya adalah positif ditandai
dengan warna kemerahan di area yang disuntikkan.

B. Pengkajian
1. Identitas
Nama : Tn. F
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 31 tahun
Status : Lajang
Pekerjaan : pegawai swasta
Tanggal pengkajian : 06 Mei 2014
2. Keluhan utama
Nyeri kepala ringan dan nyeri punggung terutama area injuri lalu
menyebar ke sekitar pinggang. Rasa nyeri punggung membuat klien takut
menggerakan tubuhnya karena takut terjadi masalah lebih lanjut pada
tulang yang tertabrak. Rasa nyeri punggungnya mengganggu pasien saat
tidur di malam hari, sehingga selalu terbangun di malam hari dengan
interval 1 jam. Pasien mengeluh sulit buang air besar dan perut terasa
kembung.
3. Riwayat penyakit
Pasien tidak memiliki penyakit serius dan kronik seperti penyakit jantung,
hipertensi, diabetes, kaker, atau kejang. Pasien juga mengaku tidak
memiliki riwayat penyakit tersebut dalam keluarga. Pasien tidak
mengetahui kelengkapan imunisasi yang dijalankan. Pasien tidak memiliki
alergi terhadap makanan, dan cuaca tertentu.
4. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas/istirahat
Gejala (subjektif)
Sebelum masuk rumah sakit pasien memiliki aktivitas yang cukup
tinggi, waktu yang dihabiskan diluar rumah ± 12 jam. Setelah masuk
rumah sakit aktivitas mulai dari makan, minum, mandi di bantu oleh
keluarga dan perawat. Pasien tidak bisa berjalan dan berpindah posisi
secara mandiri, semua di bantu keluarga untuk menjaga kesesuaian
body alligment.
Tanda (objektif)
Tekanan darah 120/80 mmHg, Napas 20x/ menit, Nadi 64x/menit
regular dan kencang, dan suhu 36,2 ̊C. Aktivitas yang terobservasi
adalah pasien dalam posisi semifowler 30 ̊ tidak mengerakan
punggungnya sama sekali. ROM pada ekstremitas bawah terbatas
(posisi fleksi ˂90 ̊) Kekuatan otot pada ekstremitas :

19
4555 5
3333 4
b. Sirkulasi
Gejala (subjektif)
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit jantung dan
darah tinggi. Saat kecelakaan terjadi pasien merasa jantungnya berdebar
kencang namun saat ini pasien merasa jantungnya tidak bermasalah.
Hanya saat nyeri datang pasien merasa debaran jantung meningkat.
Tanda (objektif)
Pemeriksaan tanda-tanda vital klien; Tekanan darah 120/80 mmHg,
Napas 20x/ menit, Nadi 64x/menit regular dan kencang, dan suhu 36,2
̊C. ekstremitas teraba hangat dengan pulsasi ekstremitas bawah kuat dan
teratur. Warna kulit secara keseluruhan putih cenderung pucat, tidak
terlihat sianosis. Pengisian kapiler pada kuku ekstremitas atas ˂ 3 detik
dengan warna ekstremitas kemerahan. Konjungtiva normal tidak
anemis, mukosa bibir lembab berwarna pink. Tidak terdapat elevasi
vena jugularis. Hasil auskultasi suara jantung didapatkan suara regular
“lup-dup” S1 dan S2 normal dan regular tanpa tambahan suara. Suara
maksimal terdngar di apeks jantung pada interkostal ke 5.
c. Pernapasan
Gejala (subjektif)
Pasien mengatakan saat pengkajian mengalami kesulitan dalam
melakukan napas dalam karena jika melakukan napas dalam akan terasa
nyeri di bagian pinggang dan punggung. Kedalaman napas juga
terganggu karena merasa perutnya begah akibat belum buang air besar
selama lima hari.
Tanda (objektif)
Frekuensi napas 20x/menit teratur. Dari inspeksi didapatkan data
bentuk dada simetris, napas terlihat dangkal dan pendek-pendek, pasien
tidak dapat melakukan napas dalam saat di persilahkan melakukan
napas dalam. Hasil auskultasi didapatkan suaran napas normal vesikuler
terdengar simetris di kedua lapang paru.
d. Eliminasi
Gejala (subjektif)
Pasien mengatakan sebelum masuk rumah sakit BAB pasien
teratur. Setelah masuk rumah sakit pasien sulit untuk BAB dan
perutnya terasa kencang. Klien mengatakan bisa flatus seperti biasa
namun klien mengaku mengalami keterbataan privasi dan degree of
confort terutama pada saat flatus dan buang air besar. Untuk BAK
pasien dapat melakukan dengan baik atau tidak ada perubahan dari

20
sebelum kecelakaan. Klien menggunakan pispot untuk BAK dengan
bantuan keluarga menggunakan pispot yang disediakan oleh rumah
sakit.
Tanda (objektif)
Intake nutrisi sesuai dengan porsi yang disediakan oleh rumah
sakit, hidrasi ± 2000 ml. Pada inspeksi didapatkan data perut terlihat
distensi, bentuk simetris, saat dilakukan auskultas di lapang abdomen
didapatkan data suara usus positif dengan frekuensi 6x/menit di empat
kuadran lapang paru. Saat dilakukan palpasi abdomen pasien tidak
merasa adanya nyeri. Dari hasil perkusi didapatkan suara timpani.
e. Cairan/makanan
Gejala (subjektif)
Pasien mengatakan tidak ada hambatan dalam makan dan minum,
sehingga makan dan minum dilakukan seperti biasa. Pasien memakan
makanan yang dihidangkan oleh dapur gizi rumah sakit dengan porsi
yang disediakan. Pasien hanya minum ± 1-1,5 liter dengan botol
takaran 500 ml.
Tanda (objektif)
Pasien memiliki berat badan 50 kg dengan tinggi badan 165 cm,
maka IMT adalah 18,36 (normal) yang berarti pasien memiliki tubuh
yang ideal. Pasien memiliki gigi geligi yang lengkap dan bersih, oral
hygiene dilakukan minimal 1 kali dalam sehari dengan bantuan
keluarga, mukosa dalam mulut utuh, lembab, dan bewarna pink.
f. Neurosensoris
Gejala (Subjektif)
Klien mengaku masih bisa merasakan sentuhan dari di area tungkai
bawah dan atas. Tidak merasa kebas, mamapu menggerakan tungkai
sesuai dengan kemauan, hanya saja terbatas akibat nyeri yang timbul
saat pergerakan dilakukan. Klien mengaku pada saat kejadian
kecelakaan mengalami penurunan kesadaran. Setelah sadar klien
merasa kepalanya pusing. Pada panca indera antara lain penglihatan,
pendengaran, pengecap, dan perabaan tidak mengalalami perubahan
fungsi.
Tanda (objektif)
Kesadaran pasien compos mentis dengan GCS 15. Hasil
pengkajian fungsi motorik pada tungkai atas dan bawah didapatkan data
pada tungkai atas pasien mampu merasakan genggaman,
mengencangkan gengaman, menahan tarikan, dan menarik balik lengan
pemeriksa. Pada ekstremintas bawah sinistra tungkai dapat melawan
gravitasi dan menahan tekanan sebentar. Pada tungkai bawah dextra

21
pasien bisa melawan gravitas namun tidak bisa menahan tekanan. Maka
hasil kekuatan ototnya adalah :
4555 5555
3333 4444
g. Nyeri
Gejala (Subjektif)
Saat kejadian kecelakaan pasien merasa nyeri di area tumbukan.
Saat ini nyeri pegal yang timbul dari area tabrakan di pinggang lalu
menjalar ke seluruh punggung. Nyeri ringan bisa menjadi sangat nyeri.
Tanda (objektif)
Pengkajian nyeri dengan tehnik pengkajian PQRST dilakukan
kepada pasien, hasilnya adalah Provocatif factor-nya saat mengerakkan
tubuhnya terlalu cepat, mengangkat bagian punggungnya. Quality nyeri
jika efek obat penghilang rasa nyeri masih kuat adalah rasa pegal, jika
efek penghilang rasa nyerinya hilang maka nyerinya seperti dihantam.
Region nyeri dari pinggang menyebar ke seluruh punggung. Saverity
nyeri menggunakan VAS hasilnya adalah 3 saat dikaji. Yang terakhir
timing adalah ritme durasi lama.
h. Keamanan
Gejala (subjektif)
Pasein mengaku tidak dapat menegakan tubuhnya dan kakinya
terasa lemah untuk menopang tubuh, serta pasien takut terjadi cidera
lebih lanjut pada tulang belakang.
Tanda (objektif)
Pada foto thorak terlihat adanya fraktur kompresi Thorakal XI-XII.
Kekuatan otot pasien :
4555 5555
3333 4444
Nilai Barthal indeksnya adalah 5 maka kalien imobilisasi dengan
ketergantungan berat. Selain itu pasien juga memiliki alergi terhadap
antibiotic “cefriaxone”.
i. Integritas Ego
Gejala (subjektif)
Pasien mengatakan cemas menghadapi operasi. Pasein takut jika
terjadi masalah pada tindakan operasi. Pasien merasa kehilangan
control pada dirinya dan menjadi sangat ketergantungan kepada
keluarga dan perawat.
Tanda (objektif)
Pasien banyak bertanya kepada perawat mengenai operasi yang
akan dijalani dan proses setelah operasi yang akan dirasakan.

22
Kecemasan pasien semakin meningkat saat melihat teman sekamar
pasien yang mengalami nyeri yang sangat dan pendarahan pasca
operasi. Pasien juga merasa kebingungan kenapa pasien tidak dapat
buang air besar sehingga banyak bertanya kepada perawat cara agar
bisa buang air besar dengan lancar.
j. Hygine
Gejala (Subjektif)
Pasien mengatakan semua aktivitas dibantu oleh keluarga untuk
makan, mandi, buang air, dan berhias.
Tanda (objektif)
Pasien terliat bersih dan rapih, tidak tercium bau badan. Rambut
rapih namun terlihat berminyak. Kuku bersih dan tidak tercium bau
mulut.
k. Interaksi Sosial
Gejala (Subjektif)
Interaksi sosial antara pasien dengan keluarga sangat baik, pasien
dan keluarga menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi. Pasien
mengatakan pacarnya belum bisa menjenguk karena harus bekerja.
Tanda (objektif)
Komunikasi pasien dan keluarga sangat baik kepada perawat dan
teman sekamarnya. Pasien terobservasi sering mengobrol dengan
keluarga dalam bahasa daerah dan didatangi oleh rekan-rekan yang
menjenguknya. Tidak ada tanda-tanda menarik diri atau isolasi sosial
pada diri pasien.
l. Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala (Subjektif)
Pasiem dan keluarga menanyakan mengenai proses operasi dari
saat operasi sampai dengan paca operasi. Pasien dan keluarga
menanyakan bagaiman cara agar buang air besar bisa menjadi lacar.
Tanda (objektif)
Bahasa yang digunakan klien adalah bahasa Indonesia dan bahasa
sunda. Pendidikan klien adalah perguruan tinggi. Pasien dan keluarga
kooperatif saat dilakukan kontrak waktu untuk dilakukan pendidikan
kesehatan terkait hal yang ditanyakan
5. Data Penunjang
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hemoglobin 14.6 13-18 mg/dl
Hematocrit 41 40-53 %
Eritrosit 4.8 4.3-6.0 juta/µL
Leukosit 16390* 4.800-10.800/µL

23
Trombosit 225000 150.000-400.000/µL
Hitung jenis:
 Basophil 0 1.1 %
 Eosinofil 0* 1-3 %
 Batang 4 2-6 %
 Segmen 81* 50-70 %
 Limfosit 8* 20-40 %
7 2-8 %
 Monosit
86 80-96fL
MCV
30 27-31 pg
MCH
35 32-36 g/dL
MCHC
12.70 11.5-14.5 %
RDW
KIMIA KLINIK
Ureum 30 20-50 mh/dL
Kreatinin 0.8 0.5-1.5 mg/dL
Glukosa darah 114 <140 mg/dL
(sewaktu)
Natrium (N) 143 135-147 mmol/L
Kalium (K) 3.2* 3.5-5.0 mmol
Klrida (CL) 105 95-1-5 mmol

6. Terapi medikasi
Nama obat Dosis Waktu Rute Indikasi
Ranitidine 50 mg 5 jam IV Menekan asam
lambung
Dexamethason 1 ampul (1 8 jam IV Antihistamin
e ml)
Ketorolaks 30 mg 8 jam IV Penghilang
nyeri
Ciprofloxacin 400 mg 12 jam Drip IV Antibiotika

7. Analisa data
Data Etiologi Masalah
Data Subjektif Cedera Resiko cedera
 Pasien mengatakan tidak bisa thorakallumbal tulang belakang
bangun lagi setelah kecelakaan
 Pasien mengatakan tidak bisa
bergerak miring kanan dan miring
kiri secara mandiri
 Pasien mengatakan nyeri dengan

24
kualits lebih tinggi timbul saat
ada gerakan
 Pasien mengatakan sulit untuk
menahan tahanan saat dilakukan
pemeriksaan otot
 pasien mengatakan nyeri kepala
Data Objektif
 Terobservasi ada jejeas (purpura)
pada area thorakolumbal dengan
salah satu jejas ± 10 cm, jejas
lainnya memiliki diameter lebih
kecil
 Kekuatan otot:
5554 5555
3333 4444
Kesan MRI :
 Fraktur kompresi dengan brust
fraktur mengenai kompartemen
anterior, medial, dan posterior
Vertebrae Th 11-Th12 dengan
edema bone morrow setinggi
lavel tersebut
 Leukosistosis pada pemeriksaan
hemtologi klinik: 16390/μL
 Nyeri dengan Karakteristik: P
saat klien mengerakkan tubuhnya
terlalu cepat, mengangkat bagian
punggungnya. Q rasa pegal, jika
efek penghilang ras nyerinya
hilang maka nyerinya seperti
dihantam. R dari pinggang
menyebar ke seluruh punggung. S
VAS 3. T ritme durasi lama.
Data Subjektif Cedera agen Nyeri akut
 Saat kejadian kecelakaan klien biologis
merasa nyeri di area tumbukan.
 Saat ini nyeri pegal timbul dari
area pinggang lalu menjalar ke
seluruh punggung. Nyeri bisa
menjadi sangat bila obat

25
penghilang rasa nyeri belum
diberikan.
 Nyeri menganggu tidur di malam
hari.
Data Objektif
 Nyeri dengan Karakteristik: P
saat pasien mengerakkan
tubuhnya terlalu cepat,
mengangkat bagian punggu-
ngnya. Q rasa pegal, jika efek
penghilang rasa nyerinya hilang
maka nyerinya seperti dihantam.
R dari pinggang menyebar ke
seluruh punggung. S VAS 3. T
ritme durasi lama.
 Pasien menyeringitkan wajah saat
dilakukan tes kekuatan otot dan
napas dalam.
 MRI: Edema soft tissue setinggi
lavel Th11-Th12
Data Subjektif Nyeri thorakal Gangguan
 Pasien mengatakan kaki dan mobilitas fisik
tangan jadi agak susah
digerakkan, abis jadi sakit
punggungnya.
Data Objektif
 Pasien dalam posisi semifowler
30 ̊ tidak mengerakan
punggungnya sama sekali
(Imobilisasi)
 ROM pada ekstremitas bawah
terbatas (posisi fleksi˂ 90 ̊)
 Keluatan otot pada ekstremitas
5554 5555
3333 4444
 Barthal Index 5 (Ketergantungan)
Data Subjektif Ketidakcukupan Konstipasi
 Pasien mengatakan perutnya asupan serat,
terasa seperti kembung, begah. penurunan
 Pasien mengatakan belum bisa motilitas

26
BAB secara spontan sudah lima gastrointestinal
hari
Data Objektif
 Pasien diprogramkan Imobilisasi
 Pasien mendapatkan medikasi
analgetik.
 Auskultasi bising usus 6x/menit
pada empat kuadran lapang
abdomen.
 Suara Askultasi abdomen timpani
 Terobservasi distensi abdomen
 Pasien menanyakan cara agar
BAB menjadi lancar

C. Diagnosis Keperawatan
1. Resiko cedera tulang belakang
2. Nyeri akut berhubungan dengan cedera agen biologis
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada thorakal
4. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal,
ketidakcukupan asupan serat.

D. Intervensi
Diagnosis Tujuan Intervensi Rasional
Resiko cedera Setelah dilakukan 1. Pertahankan 1. Imobilisasi
tulang tindakan bedrest dan mencegah
belakang keperawatan imobilisasi kondisi
selama 3×24 jam 2. Cek kepatenan instabilitas
diharapkan tidak tempat tidur kolum vertebral
terjadi cedera dan posisi dan membantu
lebih lanjut pada kesejajaran penyembuhan.
tulang belakang pada tulang Catatan: Traksi
Kriteria hasil: belakang saat hanya
Mampu tidur. digunakan
mempertahankan 3. Reposisi untuk cedera
kesejajaran yang berkala, minta servical saja
tepat tanpa ada bantuan staf 2. kasur yang
kerusakan tulang lain untuk terlalu lembut
belakang lebih melakukan dapat
lanjut tehnik logroll menyebabkan
jika ingin instabilitas

27
mengubah tulang belakang
posisi atau kerusakan
4. Kolaborasi lebih lanjut.
persiapan 3. Tehnik Logroll
(pebuatan) meminimalkan
Thorakal posisi fleksi,
Lumbal Sakral putaran, strain,
Orthosis terutama pada
(TLSO) klien cedera
tulang belakang
dengan
kelemahan
ekstremitas
4. Memberikan
stabilitas dan
menurunkan
resiko dislokasi

Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Lakukan 1. Nyeri yang


berhubungan tindakan pengkajian ditimbulkan
dengan cedera keperawatan 3×24 nyeri secara pada cedera
agen biologis jam diharapkan komprehensif tulang
nyeri teratasi mengunakan belakang
Kriteria hasil : tehnik berasal dari
pasien dapat pengkajian proses
mengidentifikasi nyeri PQRST abnormal input
cara untuk 2. Evaluasi sensori,
pengurangan rasa peningkatan masalah
nyeri, iritabilitas, musculoskeleta
mendemonstrasika tensi otot, l, dan
n cara relaksasi, gelisah, komplikasi
melaporkan perubahan organ (Ulcer/
pengurangan rasa Tanda-tanda konstipasi)
nyeri pada rentang vital 2. merupakan
nyeri ringan 3. Pandu klien objektif data
untuk sebagai
mengidentifika terjadinya
si faktor yang peningkatan
menyertai nyeri dan
nyeri. memilih

28
4. Berikan intervensi yang
kenyaman sesuai
dengan 3. Nyeri dan
perubahan spasme otot
posisi dengan disebabkan
tehnik logroll, oleh rasa
massase, cemas, marah,
latihan ROM, temperature
kompres eksternal tidak
hangat atau nyaman,
dingin. perubahan
5. Ajarkan tehnik posisi, dan
relaksasi distensi bladder
guided 4. Dapat
imagery, mengontrol dan
visualisasi, menurunkan
latihan napas rasa nyeri
dalam, dan 5. Relaksasi dan
distraksi aktivitas
6. Kolaborasi peningkatan
pemberian koping
terapi sesuai 6. Mengurangi
dengan order nyeri
dokter
misalnya
muscle relaxant
(Dentrolent,
Dentrium),
analgetik,
antianxiety
agent
(Arplazalam,
Diazepam)
Gangguan Setelah dilakukan 1. Kaji fungsi 1. pengkajian
mobilitas fisik tindakan motorik yang
berhubungan keperawatan 2. Lakukan ROM komprehensif
dengan nyeri selama 3×24 jam baik secara dapat
thorakal diharapkan aktif, pasif, dan menentukan
mobilitas fisik aktif-assistif jenis intervensi
dapat di 3. Jaga ankle 90 ̊ yang sesuai

29
tingkatkan dengan 2. ROM dapat
Kriteria hasil: footboard atau meningkatkan
kesejajaran alat modifikasi sirkulas,
terjaga, tidak lainnya melatih tonus
terjadi kontraktur, 4. Monitor otot, dan
tidak terjadi disuse tekanan darah fleksibilitas
syndrome, dan 5. Reposisi secara sendi
footdrop. periodik 3. menghindari
rotas eksterna
panggul dan
telapak kaki
4. Injuri pada
Thorakal 6 dan
area diatasnya
dapat
menurunkan
tonus vaskuler
sehingga
beresiko
terjadi
hipotensi
5. Menghilangka
n tekanan pada
area tubuh
yang tertekan
yang dapat
mengakibatka
n ulkus
dekubitus
Konstipasi Setelah dilakukan 1. Auskultasi suara 1. Suara usus
berhubungan tindakan bising usus, mungkin tidak
dengan keperawatan tandai lokasi terdengan saat
penurunan selama 3×24 jam dan fase spinal
motilitas diharapkan karakteristiknya shock
gastrointestina konstipasi 2. Observasi 2. merupakan
l, membaik adanya distensi tanda dari ileus
ketidakcukupa Kriteria hasil: abdominal jika paraisis yang
n asupan serat. secara verbal dan suara bising mengarah
perilaku usus tidak ada kepada
mengetahui tehnik 3. Kenali tanda- Autonomic

30
bowel program, tanda impaksi disreflexia)
mengembalikan fekal: tidak 3. Deteksi dini
pola eliminasi BAB beberapa kondisi
yang memuaskan. hari, cemas, impaksi fekal
merasa begah dapat
dan distensi menurunkan
abdomen, resiko
merasa mual, komplikasi
muntah, dan lainnya
kemungkinan 4. Program untuk
ada retensi urin. mengosongkan
4. Tetapkan usus
program diet 5. Serat tinggi
(minum juice dan cairan
dan minuman meningkatkan
hangat, gunakan konsistensi
stool softeners feses untuk
atau fase transit di
suppositories rectum
dalam jangka sehingga feses
waktu tertentu, tidak terlalu
tetapkan jadwal keras.
rutin evakuasi 6. Efek diuretik
manual) kafein dapat
5. Anjurkan untuk menarik air
menjadwalkan dari usus
hidrasi adekuat sehingga feses
minimal 2000 menjadi sangat
ml/ hari dengan kering dan
tambahan jus keras
buah
6. Batasi minuman
yang
mengandung
kafein seperti
kopi, teh dan
minuman
berenergi
7. Kolaborasi
pemberian

31
medikasi yang
sesuai dengan
order dokter
seperti Stool
softener,
laxative,
suppositorie,
enema.

E. Implementasi dan Evaluasi


Tanggal 07-05-2014 pukul 08.00
Diagnosis Implementasi Evaluasi
Risiko cedera 1. Pertahankan bedrest dan S: Pasien mengatakan
tulang belakang imobilisasi posisi selalu tidur
2. mengecek kepatenan tempat karena nyeri muncul
tidur dan posisi sejajaran saat digerakkan
pada tulang belakang saat O: Posisi semifowler
tidur serta memastikan sidedengan posisi kepala
rail terpasang dengan baik dan punggung sejajar,
3. Menganjurkan kesejajaran side rail tidak terpasang
kepala dan tulang belakang lengkap
A: pasien masih dalam
resiko cedera tulang
belakang lebih lanjut
P:
1. Buat jadwal
berkala
melakukan
logroll dengan
bantuan keluarga
atau staf lain
2. Kolaborasi
persiapan
pembuatan TLSO
Nyeri akut 1. Melakukan pengkajian S: Klien mengatakan
berhubungan nyeri dengan tehnik PQRST nyeri saat bergerak dan
dengan cedera 2. Memvalidasi kemampuan tidak mampu
agen biologis napas dalam pasien melakukan miring
3. Melakukan pemeriksaan kanan dan miring kiri
TTV sendiri

32
4. Melakukan pemberian O: Nyeri dengan
Medikasi : Ketor Karakteristik: P saat
klien mengerakkan
tubuhnya terlalu cepat,
mengangkat bagian
punggungnya. Q rasa
pegal, jika efek
penghilang ras nyerinya
hilang maka nyerinya
seperti dihantam. R dari
pinggang menyebar ke
seluruh punggung. S
VAS 3. T ritme durasi
lama.
Pemeriksaan TTV:
TD: 120/80 mmHg
Nadi: 64x/menit
Napas: 20x/Menit
Suhu 36,2 ̊C
Medikasi analgetik
ketorolaks IV 30 mg/8
jam telah diberikan
A:
 Nyeri masih pada
masa akut
 injuri dan
imobilisasi
membatasi ekspansi
diafragma
 Diagnosa nyeri
belum teratasi
P:
 Lakukan serial
pengkajuan nyeri
 Evaluasi
peningkatan
iritabilitas, tensi
otot, gelisah,
perubahan Tanda-
tanda vital

33
 Berikan kenyaman
dengan ROM,
reposisi pro logroll,
napas dalam sesuai
kemampuan
 Lanjutkan intervensi
kolaborasi
pemberian medikasi
Gangguan 1. Mengkaji pulsasi, motorik, S: pasien mengatakan
mobilitas fisik dan sensorik ekstremitas kaki dan tangan jadi
berhubungan 2. Mengkaji fungsi motorik susah digerakkan, dan
dengan nyeri (Kekuatan Otot) punggung sakit
pada thorakal 3. Memonitoring tekanan O:
darah  pulsasi + di nadi
Radialis pada
ekstremitas atas dan
nadi metacarpal pada
ekstremitas bawah.
Fungsi motoric +,
dengan stimulai
sentuhan dungsi
sensorik ekstremitas
+
 Keluatan otot pada
ekstremitas
4555 5555
3333 4444
 ROM pada
ekstremitas bawah
terbatas (posisi
fleksi˂ 90 ̊)
 Barthal Index 5
(Ketergantungan)
A: Diagnosa gangguan
mobilitas fisik belum
teratasi
P:
 Lakukan ROM
secara aktif pada
ekstremitas dan

34
aktif-assistif pada
ekstremitas bawah
sesuai kemampuan
 Monitor tekanan
darah
 Reposisi secara
periodik
Konstipasi 1. Auskultasi suara bising usus S: pasien mengatakan
berhubungan 2. Obervasi dan perkusi belum bisa buang air
dengan adanya distensi abdomen besar spontan setelah
penurunan 3. Mengkaji frekuensi BAB kecelakaan dan BAB
motilitas sebelum dan setelah dibantu sama keluarga
gastrointestinal, kecelakaan waktu hari ke-3
ketidakcukupan dirawat.
asupan serat. O: pasien diprogramkan
Imobilisasi
 pasien mendapatkan
medikasi analgetik
 Auskultasi bising
usus 6x/menit pada
empat kuadran
lapang abdomen
 Suara Askultasi
abdomen timpani
 Terobservasi
distensi abdomen
 pasien menanyakan
cara agar BAB
menjadi lancar
A: Diagnosa konstipasi
belum teratasi
P:
 Kenali tanda-tanda
impaksi fekal
 edukasi program diet
dan hidrasi untuk
melancarkan
pencernaan
 Kolaborasi medikasi
pemberian Laksatif

35
BAB V
PEMBAHASAN

Kecelakaan merupakan yang menyebabkan masalah yang lethal juga efek


dari penggunaan alat transportasi yang cukup tinggi pada perkotaan. Situasi di
perkotaan dikarakteristikan dengan peningkatan insiden cedera tulang belakang.
Financial yang kurang dan pengetahuan keluarga terkait manajemen cedera tulang
belakang menyebabkan besarnya komplikasi yang terjadi.
Dari kasus yang di dapati pada BAB IV tentang asuhan keperawatan,
terdapat 4 diagnosis yang muncul dari 4 diagnosis. Bisa di lihat pada analisis data
yang terdapat pada asuhan keperawatan pada pasien Tn. F di ruang Bedah.
Data Etiologi Masalah
Data Subjektif Cedera Resiko cedera
 Pasien mengatakan tidak bisa bangun thorakallumbal tulang belakang
lagi setelah kecelakaan
 Pasien mengatakan tidak bisa
bergerak miring kanan dan miring kiri
secara mandiri
 Pasien mengatakan nyeri dengan
kualits lebih tinggi timbul saat ada
gerakan
 Pasien mengatakan sulit untuk

36
menahan tahanan saat dilakukan
pemeriksaan otot
 pasien mengatakan nyeri kepala
Data Objektif
 Terobservasi ada jejeas (purpura) pada
area thorakolumbal dengan salah satu
jejas ± 10 cm, jejas lainnya memiliki
diameter lebih kecil
 Kekuatan otot:
5554 5555
3333 4444
Kesan MRI :
 Fraktur kompresi dengan brust fraktur
mengenai kompartemen anterior,
medial, dan posterior Vertebrae Th
11-Th12 dengan edema bone morrow
setinggi lavel tersebut
 Leukosistosis pada pemeriksaan
hemtologi klinik: 16390/μL
 Nyeri dengan Karakteristik: P saat
klien mengerakkan tubuhnya terlalu
cepat, mengangkat bagian
punggungnya. Q rasa pegal, jika efek
penghilang ras nyerinya hilang maka
nyerinya seperti dihantam. R dari
pinggang menyebar ke seluruh
punggung. S VAS 3. T ritme durasi
lama.
Data Subjektif Cedera agen Nyeri akut
 Saat kejadian kecelakaan klien merasa biologis
nyeri di area tumbukan.
 Saat ini nyeri pegal timbul dari area
pinggang lalu menjalar ke seluruh
punggung. Nyeri bisa menjadi sangat
bila obat penghilang rasa nyeri belum
diberikan.
 Nyeri menganggu tidur di malam hari.
Data Objektif
 Nyeri dengan Karakteristik: P saat
pasien mengerakkan tubuhnya terlalu

37
cepat, mengangkat bagian punggu-
ngnya. Q rasa pegal, jika efek
penghilang rasa nyerinya hilang maka
nyerinya seperti dihantam. R dari
pinggang menyebar ke seluruh
punggung. S VAS 3. T ritme durasi
lama.
 Pasien menyeringitkan wajah saat
dilakukan tes kekuatan otot dan napas
dalam.
 MRI: Edema soft tissue setinggi lavel
Th11-Th12
Data Subjektif Nyeri thorakal Gangguan
 Pasien mengatakan kaki dan tangan mobilitas fisik
jadi agak susah digerakkan, abis jadi
sakit punggungnya.
Data Objektif
 Pasien dalam posisi semifowler 30 ̊
tidak mengerakan punggungnya sama
sekali (Imobilisasi)
 ROM pada ekstremitas bawah terbatas
(posisi fleksi˂ 90 ̊)
 Keluatan otot pada ekstremitas
5554 5555
3333 4444
 Barthal Index 5 (Ketergantungan)
Data Subjektif Ketidakcukupan Konstipasi
 Pasien mengatakan perutnya terasa asupan serat,
seperti kembung, begah. penurunan
 Pasien mengatakan belum bisa BAB motilitas
secara spontan sudah lima hari gastrointestinal
Data Objektif
 Pasien diprogramkan Imobilisasi
 Pasien mendapatkan medikasi
analgetik.
 Auskultasi bising usus 6x/menit pada
empat kuadran lapang abdomen.
 Suara Askultasi abdomen timpani
 Terobservasi distensi abdomen

38
 Pasien menanyakan cara agar BAB
menjadi lancar

BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cedera tulang belakang (SCI) adalah kerusakan pada sumsum tulang
belakang yang menyebabkan perubahan sementara atau permanen pada
fungsinya. Gejala mungkin termasuk hilangnya fungsi otot, sensasi, atau fungsi
otonom di bagian tubuh yang dilayani oleh sumsum tulang belakang di bawah
tingkat cedera. Cedera dapat terjadi di semua tingkat sumsum tulang belakang
dan dapat lengkap, dengan hilangnya sensasi dan fungsi otot total pada segmen
sakral bawah, atau tidak lengkap, yang berarti beberapa sinyal saraf dapat
melewati area yang cedera dari tali pusat hingga Segmen sumsum tulang
belakang sakral S4-5. Biasanya disebabkan oleh trauma kecelakaan dan juga
karena penyakit.

B. Saran
Seorang perawat harus memahami asuhan keperawatan pada pasien cedera
tulang belakang sesuai dengan indikasi. Kemudian seorang perawat juga harus
mampu memberikan tindakan sesuai SOP yang baik dan benar.

39
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, M. 2016. Neurologi klinis. Malang: UMM Press


Irianto, Koes. Anatomi dan Fisiologi. Penerbit Alfabeta, Bandung. 2014.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. DPP PPNI,
edisi 1, Jakarta. 2018.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. DPP
PPNI, edisi 1, Jakarta. 2016.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. Standar Intevensi Keperawatan Indonesia. DPP
PPNI, edisi 1 cet II, Jakarta. 2018.
Bhimji, S. 2013. Spinal Cord Trauma. New York. A.D.A.M.
Istha Leanni Muskananfola. Jurnal Penanganan Pasien Dengan Cedera Tulang
Belakang Di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit. 2018. Di akses tanggal 15
november 2020
http://cyber-chmk.net/ojs/index.php/sains/article/download/405/117
Hood, N., & Considine, J. Spinal immobilisaton in pre-hospital and emergency
care: A systematic review of the literature. Australasian Emergency Nursing
Journal, 18(3), 118–137. 2015. https://doi.org/10.1016/j.aenj.2015.03.003

40

Anda mungkin juga menyukai