Anda di halaman 1dari 85

LAPORAN PBL TRAUMATOLOGI & EMERGENCY

(TRAUMA KAPITIS)

Ahmad Fari Arief Lopa: 70600117025


Muhammad Aksa Syam: 70600117006
Lubnaa Sulistiyani Kartiko: 70600117012
Najdwah Emilia : 70600117018
Asniar : 70600117040
Dewi Meliyani Ramadlana S: 70600117029
Mulkiyah Zul Fadhilah: 70600117039
Reski NurSyifah Husain: 70600117030
Nadhirah Ananda Idris: 70600117031
Novi Asti Wulandari: 70600117014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR
2020
ii

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang
telah memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga saya dapat
menyelesaikan laporan pleno modul “Trauma Kapitis” dengan baik tanpa ada
halangan.

Laporan ini telah kami selesaikan dengan baik berkat kerjasama dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih kepada
segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian
laporan ini.

Diluar itu, kami sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini, baik dari segi tata bahasa,
susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, kami
selaku penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari
pembaca.

Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat
luas.

Makassar, 27 MEI 2020

KELOMPOK III
iii

DAFTAR ISI

SAMPUL......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. SKENARIO..................................................................................................1
B. KATA / KALIMAT KUNCI........................................................................1
C. DAFTAR PERTANYAAN DAN LO...........................................................2
D. PROBLEM TREE........................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................5
A. Definisi Trauma Kapitis...............................................................................5
B. Anatomi dan Fisiologi terkait skenario.........................................................5
C. Etiopatomekanisme Trauma Kapitis...........................................................15
D. Patomekanisme Penurunan Kesadaran.......................................................17
E. Klasifikasi Trauma Kapitis.........................................................................17
F. Penilaian Kesadaran Serta Interpretasi Sesuai Skenario.............................20
G. Hubungan Gejala Pada skenario.................................................................24
H. Primary Survey yang dilakukan terkait Skenario........................................25
I. Secondary survey Pada Kasus Trauma Kapitis...............................................36
J. Pemaikan Obat-obat Darurat Pada Kasus Trauma Kapitis..............................42
K. Syarat Dalam Melakukan Transportasi dan Rujukan Pada Kasus...............46
L. Diferensial Diagnosis..................................................................................50
1) Fraktur Basis Cranii................................................................................50
2) Epidural Hematoma................................................................................59
3) Subdural Hematom.................................................................................66
M. Integrasi Keislaman....................................................................................74
BAB III PENUTUP...................................................................................................79
A. Kesimpulan.................................................................................................79
Daftar Pustaka...........................................................................................................80
BAB I
PENDAHULUAN
A. SKENARIO
Seorang laki-laki berusia 25 tahun datang dibawa ke IGD RS dengan
kesadaran menurun akibat kecelakaan lalu lintas sejak 1 jam sebelum RS.
Penderita mengendarai motor dengan kecepatan tinggi tanpa memakai helm
dan menabrak truk yang sedang berhenti. Dokter IGD melakukan primary
survey. Pada pemeriksaan kesadaran didapatkan GCS (E2V4M2). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 90/60 mmHg, denyut nadi
115 kali/menit, laju pernapasan 28 kali/menit dan SpO2 95%. Selain itu
didapatkan suara berkumur (gurgling), r hino re a ( +) dan edema
periorbital (+/+) (raccon eyes). Setelah dilakukan pengelolaan jalan napas
dasar dengan triple airway manuever, dokter jaga IGD memutuskan untuk
melakukan pengelolaan advanced airway dengan pemasangan definitive
airway untuk mencegah komplikasi pada organ vital.

B. KATA / KALIMAT KUNCI


1) Kata Sulit :
 Suara berkumur-kumur (gurgling) : obstruksi saluran nafas
akibat adanya cairan (darah atau air ludah)
 Rhinorea : cairan yang keluar dari hidung  cairan serebrospinal
(CSF)
 GCS E2V4M2 = 8
Eye 2: membuka mata terhadap rangsang nyeri
Verbal 4: disorientasi
Motorik 2: ekstensi terhadap nyeri
2) Kata Kunci :
 Laki-laki 25 tahun
 Datang dengan kesadaran menurun akibat KLL sejak 1 jam yg lalu
SMRS
 Mengendarai motor dengan kecepatan tinggi tanpa memakai helm
dan menabrak truk yang sedang berhenti
 GCS 8 (E2V4M2)
 TTV : TD 90/60 mmHg, Nadi 115x/menit, napas 28x/menit, SpO2
95%
 Suara berkumur (gurgling), rhinorea (+), raccoon eyes
2

 Dokter IGD melakukan primary survey


 Triple airway manuver dengan pengelolaan advanced airway
dengan pemasangan definitive airway untuk mencegah komplikasi
organ vital

C. DAFTAR PERTANYAAN DAN LO


DAFTAR PERTANYAAN :

1. Apa definisi trauma kapitis ?


2. Anatomi fisiologi terkait skenario ?
3. Etiopatomekanisme trauma kapitis ?
4. Bagaimana patomekanisme penurunan kesadaran ?
5. Apa saja klasifikasi trauma kapitis ?
6. Bagaimana cara penilaian kesadaran serta interpretasi sesuai skenario?
7. Hubungan gejala pada skenario (gurgling, hipotensi, rinore, raccon eyes)
terkait skenario?
8. Bagaimana Primary Survey yang dilakukan terkait kasus pada skenario ?
9. Bagaimana melakukan secondary survey pada kasus trauma kapitis ?
10. Bagaimana pemaikan obat-obat darurat pada kasus trauma kapitis ?
11. Bagaimana syarat dalam melakukan transportasi dan rujukan pada kasus
trauma kapitis?
12. Bagaimana diferensial diagnosis terkait skenario ?
13. Apa integrasi keislaman yang terkait dengan skenario ?

LO :

1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi trauma kapitis


2. Mahasiswa mampu menjelaskan Anatomi fisiologi terkait skenario
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Etiopatomekanisme trauma kapitis
4. Mahasiswa mampu menjelaskan patomekanisme penurunan kesadaran
5. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi trauma kapitis
6. Mahasiswa mampu menjelaskan cara penilaian kesadaran serta
interpretasi sesuai skenario
3

7. Mahasiswa mampu menjelaskan Hubungan gejala pada skenario


(gurgling, hipotensi, rinore, raccon eyes) terkait skenario
8. Mahasiswa mampu menjelaskan Primary Survey yang dilakukan terkait
kasus pada skenario
9. Mahasiswa mampu menjelaskan Bagaimana melakukan secondary survey
pada kasus trauma kapitis
10. Mahasiswa mampu menjelaskan Bagaimana pemaikan obat-obat darurat
pada kasus trauma kapitis
11. Mahasiswa mampu menjelaskan Bagaimana syarat dalam melakukan
transportasi dan rujukan pada kasus trauma kapitis
12. Mahasiswa mampu menjelaskan diferensial diagnosis terkait skenario
13. Mahasiswa mampu menjelaskan integrasi keislaman yang terkait dengan
skenario
4

D. PROBLEM TREE
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Trauma Kapitis
Cedera kepala atau trauma kepala adalah kondisi dimana struktur kepala
mengalami benturan dari luar dan mengakibatkan gangguan pada fungsi otak.
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala, baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.1

E. Anatomi dan Fisiologi terkait skenario


ANATOMI2

Lapisan luar/SCALP

Anatomi kepala pada Kulit kepala terdri dari 5 lapisan yang disebut

sebagai SCALP yaitu (1) Skin atau kulit, (2) Connective Tissue atau jaringan
subkutis, (3) Aponeurosis galea, (4) Loose areolar tissue atau jaringan ikat
longgar, dan (5) Pericranium (perikranium)

a. Skin atau kulit Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar keringat
(Sebacea)
6

b. Connective Tissue atau jaringan subkutis Merupakan jaringan kat lemak yang
memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama di atas Galea.
Pembuluh darah tersebut merupakan anastommistis antara arteri karotis
interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna

c. Aponeurosis galea Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang
melekat pada tiga otot yaitu : a. ke anterior – m. frontalis b. ke posterior – m.
occipitslis c. ke lateral – m. temporoparietalis Ketiga otot ini dipersarafi oleh
nervus fasialis (N. VII)

d. Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar Lapisan ini mengandung vena
emissary yang merupakan vena tanpa katup (valveless vein), yang
menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial
(misalnya Sinus sagitalis superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan
muda menyebar ke intrakranial. Hematoma yang tebentuk pada lapisan ini
disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling sering
ditemukan setelah cedera kepala.

e. Pericranium (perikranium) Merupakan periosteum yang melapisi tulang


tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini
periosteum akan langsung berhubngan dengan endosteum (yang melapisi
permukaan dalam tulang tengkorak)

SKULL

Cavitas cranii Dibentuk oleh calvaria cranii dan facies superior basis
cranii. Ditempati oleh encephalon, bersama dengan meninx, dan nervi craniales
dan pembuluh-pembuluh darah. Rongga pada basis cranii dibagi menjadi Fossa
cranii anterior, Fossa cranii media dan Fossa cranii posterior. FOSSA CRANII
ANTERIOR ditempati oleh lobus frontalis cerebri dan lantainya dibentuk oleh os
ethmoidale, os frontale dan os sphenoidale. Pada lantai fossa cranii anterior
terdapat crista galli dan lamina cribrosa; lamina cribrosa ditempati oleh bulbus
olfactus dan dilalui oleh fila olfactoria, yang berasal dari mucosa cavitas nasi.
Fossa cranii anterior terletak lebih tinggi daripada fossa cranii lainnya. FOSSA
7

CRANII MEDIA. Pada fossa cranii media terdapat canalis opticus. Di sebelah
dorsal sulcus chiasmatis terdapat sella tursica. Pada sella tursica terdapat fossa
hypophyse, menjadi atap dari sinus sphenoidalis, dan ditempati oleh hypophyse.
Pada sisi lateral corpus sphenoidalis terdapat sulcus caroticus yang dilalui oleh
arteria carotis interna. FOSSA CRANII POSTERIOR letaknya paling rendah dan
ditempati oleh cerebellum, pons dan medulla oblongata. Pada lantainya terdapat
foramen occipitale magnum dan canalis nervi hypoglossi.

MENINGEN

Bagian bawah tengkorak dan medulla spinalis ditutupi oleh tiga membrane
atau meningen. Komposisi meningen berupa jaringan serabut penghubung yaitu
melindungi, mendukung, dan memelihara otak. Meningen terdiri dari duramater,
arakhnoid, dan piamater.

a. Duramater
Adalah lapisan paling luar yang menutupi otak dan medulla
spinalis, duramater merupakan serabut berwarna abu-abu yang
bersifat liat, tebal, dan tidak elastis.

b. Arakhnoid
8

Arakhnoid merupakan membrane bagian tengah yang tipis dan


lembut yang menyerupai sarang laba-laba, membrane ini berwarna
putih karena tidak dialiri aliran darah. Pada dinding arakhnoid
terdapat pleksus khoroid yang memproduksi cairan cerebrospinal
(CSS). Pada orang dewasa, jumlah CSS normal yang diproduksi
adalah 500 ml/hari dan sebanyak 150 ml diabsorbsi oleh vili. Vili
juga mengabsorbsi CSS pada saat darah masuk ke dalam system
(akibat trauma, pecahnya aneurisma, stroke, dan lainnya) dan yang
mengakibatkan sumbatan. Bila vili arakhnoid tersumbat
(peningkatan ukuran vertikal) dapat menyebabkan hidrosefalus.

c. Piamater
Piamater adalah membrane yang paling dalam berupa dinding
tipis dan transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap
lapisan daerah otak.

OTAK

Otak dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu serebrum, batang otak, dan
serebellum. Batang otak dilindungi oleh tulang tengkorak dari cedera. Empat
tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak, yaitu tulang frontal,
parietal, temporal, dan oksipital. Dasar tengkorak terdiri atas tiga bagian fosa
9

(fossa), yaitu bagian fosa anterior (berisi lobus frontal, serebral bagian hemisfer),
bagian fosa tengah (berisi batang otak dan medula)

Serebrum

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer
serebri dan dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut korpus kalosum
dan empat lobus, yaitu lobus frontal (terletak didepan sulkus pusat sentralis) lobus
parietal (terletak dibelakang sulkus pusat dan di atas sulkus lateral), lobus
oksipital (terletak dibawah sulkus parieto-oksipital) dan lobus temporal (terletak
dibawah sulkus lateral). Hemisfer dipisahkan oleh suatu celah dalam yaitu fisura
longitudinalis serebri, dimana ke dalamnya terjulur falx serebri.

Lapisan permukaan hemisfer disebut korteks, disusun oleh substansi


grisea. Substansia griseria terdapat pada bagian luar dinding serebrum bagian
dalam. Pada prinsipnya komposisi substansia griseria yang terbentuk dari badan-
badan sel saraf memenuhi korteks serebri, nucleus, dan basal ganglia. Substansia
alba terdiri atas sel-sel saraf yang menghubungkan bagian-bagian otak yang lain.
Sebagian besar hemisfer serebri berisi jaringan system saraf pusat. Area inilah
yang mengontrol fungsi motorik tertinggi, yaitu fungsi individu dan intelegensia.
10

a. Lobus Frontal
Lobus frontal merupakan lobus terbesar yang terletak pada fosa
anterior, area ini mengontrol perilaku individu, membuat
keputusan, kepribadian, dan menahan diri

b. Lobus Parietal
Lobus parietal disebut juga lobus sensorik. Area ini
menginterpretasikan sensasi. Sensasi rasa yang tidak berpengaruh
adalah bau. Lobus parietal mengatur individu untuk mengetahui
posisi dan letak bagian tubuhnya. Kerusakan pada daerah ini
menyebabkan sindrom Hemineglect.

c. Lobus Temporal
Lobus temporal berfungsi untuk mengintegrasikan sensasi
pengecap, penciuman, dan pendengaran. Memori jangka pendek
sangat berhubungan dengan daerah ini.

d. Lobus Oksipital
Lobus oksipital terletak pada lobus posterior hemisfer serebri.
Bagian ini bertanggungjawab menginterpretasikan penglihatan.

e. Korpus Kalosum
Korpus kalosum adalah kumpulan serat-serat saraf tepi. Korpus
kalosum menghubungkan kedua hemisfer otak dan
bertanggungjawab dalam transmsi informasi dari salah satu sisi
otak ke bagian lain. Informasi ini meliputi sensorik memori dan
belajar menggunakan alat gerak kiri. Beberapa orang yang
dominan menggunakan tangan kiri mempunyai bagian serebri kiri
dengan kemampuan lebih pada bicara, bahasa, aritmatika, dan
fungsi analisis. Daerah hemisfer yang tidak dominan
bertanggungjawab dalam kemampuan geometric, penglihatan, serta
membuat pola dan terletak di bagian terdalam hemisfer serebri,
11

bertanggungjawab mengontrol gerakan halus tubuh, kedua tangan,


dan ekstremitas bagian bawah.

Diensefalon

Merupakan bagian dalam dari serebrum yang menghubungkan otak tengah


dengan hemisfer serebrum, dan tersusun oleh talamus, hipotalamus, epitalamus,
dan subtalamus.

Talamus

Merupakan suatu kompleks inti yang berbentuk bulat telur dan merupakan
4/5 bagian dari diensefalon. Bagian ini terletak di lateral ventrikel III. Bagian
atasnya berbatasan dengan velum interpositum dan ventrikel lateral. Di bawahnya
terdapat hipotalamus dan subtalamus. Talamus sering disebut “gerbang
kesadaran” mengingat fungsinya sebagai stasiun penyampaian semua impuls yang
masuk sebelum mencapai korteks serebri.

Hipotalamus

Terletak tepat di bawah talamus dan dibatasi oleh sulkus hipotalamus.


Hipotalamus berlokasi di dasar diensefalon dan sebagian dinding lateral ventrikel
III. Hipotalamus meluas ke bawah sebagai kelenjar yang terletak di dalam sela
tursika os sfenoid.

Epitalamus

Merupakan bagian yang terletak di posterior ventrikel III dan terdiri dari
nukleus dan komisura habenulare, korpus pineal dan komisura posterior. Nukleus
dan komisura habenulare berhubungan dengan fungsi sistem limbik, sedangkan
komisura posterior berkaitan dengan reflek-reflek sistem optik. Korpus pineal
(kelenjar epifise) menghasilkan hormon melatonin yang mempengaruhi modulasi
pola bangun-tidur.
12

Subtalamus

Merupakan bagian dari diensefalon yang terletak antara talamus dan


hipotalamus. Bagian ini berperan penting dalam meregulasi pergerakan yang
dilakukan oleh otot rangka. Subtalamus berkaitan dengan struktur penting dalam
pergerakan seperti basal ganglia dan substansia nigra.

Batang Otak

Batang otak terletak pada fosa anterior. Batang otak terdiri atas
mesenfalon, pons, dan medulla oblongata. Otak tengah atau mesenfalon adalah
bagian sempit otak yang melewati incisura tertorii yang menghubungkan pons dan
serebellum dengan hemisfer serebrum. Bagian ini terdiri atas jalur sensorik dan
motorik serta sebagai pusat terletak di depan serebellum, diantara mensefalon dan
medulla oblongata dan merupakan jembatan antara dua bagian serebrum, serta
antara medulla dan serebrum. Pons berisi jaras sensorik dan motorik.

Medulla oblongata meneruskan serabut-serabut motorik dari medulla


spinalis ke otak. Medulla oblongata berbentuk kerucut yang menghubungkan pons
dengan medulla spinalis. Serabut-serabut motorik menyilang pada daerah ini.
Pons juga berisi pusat-pusat penting dalam mengontrol jantung, pernafasan, dan
tekanan darah serta sebagai inti saraf otak ke 5 s/d ke 8.

Serebellum (Otak kecil)

Serebellum dan batang otak menempati fosa kranialis posterior, yang


mempunyai atap tentorium sebagai pemisah serebellum dan serebrum. Permukaan
serebellum berbeda dengan serebrum, karena tampak berlapis-lapis. Kedua
hemisfer serebellum dipisahkan oleh suatu subdivisi kortikal berbentuk seperti
cacing yang disebut vermis. Bagian rostral vermis disebut lingula dan bagian
kaudalnya disebut nodulus. Korteks nodulus meluas ke lateral sebagai subdivisi
dengan nama flokulus.
13

SIRKULASI SEREBRAL
Sirkulasi serebral menerima kira-kira 20 % dari curah jantung atau 750 ml
per menit. Sirkulasi ini sangat dibutuhkan karena otak tidak menyimpan
makanan, sementara kebutuhan metabolismenya tinggi. Aliran darah otak unik
karena melawan gravitasi. Darah arteri mengalir dari bawah dan darah vena
mengalir dari atas. Kurangnya penambahan aliran darah kolateral dapat
menyebabkan jaringan rusak secara permanen, ini berbeda dengan organ tubuh
lainnya yang cepat menoleransi bila aliran darah menurun karena aliran
kolateralnya adekuat.
1. Arteri
Otak diperdarahi oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis,
daerah arteri yang disuplai ke otak berasal dari dua arteri karotis interna dan dua
arteri vertebralis serta meluas ke system percabangan karotis interna dibentuk dari
percabangan dua karotis dan memberikan sirkulasi darah otak bagian anterior.
Arteri-arteri vertebralis adalah cabang dari arteri subklavia yang mengalir ke
belakang bagian vertical dan masuk tengkorak melalui foramen magnum, lalu
saling berhubungan menjadi arteri basilaris pada batang otak. Arteri
vertebrobasilaris paling banyak memperdarahi otak bagian posterior. Arteri
basilaris terbagi menjadi dua cabang pada arteri serebralis bagian posterior.
2. Vena
Aliran vena untuk otak tidak menyertai sirkulasi arteri sebagaimana pada
struktur organ lain. Vena-vena pada otak menjangkau daerah otak dan bergabung
menjadi vena-vena besar. Persilangan pada subarachnoid dan pengosongan sinus
dural yang luas dapat mempengaruhi vascular yang terbentang dalam duramater
yang kuat. Jaringan kerja pada sinus-sinus membawa vena jugularis interna
menuju system sirkulasi pusat, vena-vena serebri tidak berkatup sehingga tidak
dapat mencegah aliran darah balik.2
14

FISIOLOGI KESADARAN3

Kesadaran memerlukan interaksi yang terus-menerus dan efektif antara


hemisfer otak dan formasio retikularis di batangotak. Kesadaran dapat
digambarkan sebagai kondisi awas-waspada dalam kesiagaan yangterus menerus
terhadap keadaan lingkungan atau rentetan pikiran kita. Hal ini berarti bahwa
seseorang menyadari seluruh asupan dari panca indera da nmampu bereaksi secara
optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari lua rmaupun dari dalam tubuh.
Orang normal dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai respon penuh
terhadap pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku dan bicaranya serta
sadar akan diri dan lingkungannya. Dalam keseharian, status kesadaran normal
bisa mengalami fluktuasi dari kesadaran penuh (tajam) atau konsentrasi penuh
yang ditandai dengan pembatasan area atensi sehingga berkurangnya konsentrasi
dan perhatian, tetapi pada individu normal dapat segera mengantisipasi untuk
kemudian bisa kembali pada kondisi kesadaran penuh lagi. Mekanisme ini hasil
dari interaksi yang sangat kompleks antara bagian formasio retikularis dengan
korteks serebri dan batang otak serta semua rangsang sensorik.3

Masukan impuls yang menuju SSP yang berperan pada mekanisme


kesadaran pada prinsip nya ada dua macam, yaitu input yang spesifik dan non-
spesifik. Input spesifik merupakan impuls aferen khas yang meliputi impuls
protopatik, propioseptif dan panca-indera. Penghantaran impuls ini dari titik
reseptor pada tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus medialis, jaras
genikulo-kalkarina dan sebagainya menuju ke suatu titik di korteks perseptif
primer. Impuls aferen spesifik ini yang sampai di korteks akan menghasilkan
kesadaran yang sifatnya spesifik yaitu perasaan nyeri di kaki atau tempat
lainnya, penglihatan, penghiduan atau juga pendengaran tertentu. Sebagian impuls
aferen spesifik ini melalui cabang kolateralnya akan menjadi impuls non-spesifik
karena penyalurannya melalui lintasan aferen non-spesifik yang terdiri dari neuron
neuron di substansia retikularis medulla spinalis dan batang otak menuju keinti
intralaminaris thalamus (dandisebut neuron penggalakkewaspadaan) berlangsung
secara multisinaptik, unilateral dan lateral, serta menggalakkan inti tersebut untuk
15

memancarkan impuls yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral
yang dikenal sebagai diffuse ascending reticular system. Neuron di seluruh
korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen non-spesifik tersebut
dinamakan neuron pengemban kewaspadaan. Lintasan aferen non-spesifik ini
menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ketitik-titik pada
seluruh sisi korteks serebri. Jadi pada kenyataannya, pusat-pusat bagian bawah
otaklah yaitu substansia retikularis yang mengandung lintasan non-spesifik difus,
yang menimbulkan “kesadaran” dalam korteks serebri.2

F. Etiopatomekanisme Trauma Kapitis


Etiologi Trauma Kapitis4

Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang
terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder
yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial
dan perubahan neurokimiawi.

Patomekanisme Trauma Kapitis5

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan
disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
16

dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi


linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak.membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan


iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak
otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah
cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon
dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit
pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat
rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan
hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang
tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.
17

G. Patomekanisme Penurunan Kesadaran


Mekanisme penurunan kesadaran6

Kesadaran menurun terjadi ketika terdapat gangguan pada ARAS (ascending


reticular activating system) yang merupakan susunan penggalak kewaspadaan
atau gangguan pada korteks serebri yang merupakan pengolah kesadaran. Contoh
gangguan ARAS antara lain tumor otak, abses, perdarahan intracranial. Lesi
massa ini dapat menekan batang otak yang menyebabkan herniasi yang dapat
menekan ARAS dan mengakibatkan penurunan kesadaran. Gangguan fungsi
korteks serebri dapat diakibatkan oleh gangguan metabolisme neuron di SSP atau
gangguan suplai oksigen dan glukosa ke otak sehingga sel neuron tak berfungsi
optimal. Contoh penyebab gangguan fungsi korteks serebri antara lain: Epilepsi,
hipoksia , keracunan, penyakit metabolik, hipotensi, dan alkohol.6

H. Klasifikasi Trauma Kapitis


Klasifikasi trauma kapitis dapat dibagi berdasarkan :

1. Mekanisme Cedera Kepala

Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004, klasifikasi


berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi7 :

 Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan


bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
 Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka
tembak.

2. Morfologi Cedera Kepala

Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi :

1) Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya,
dibedakan menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan
keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur dengan
18

luka tampak telah menembus duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur
dengan fragmen tengkorak yang masih intak.8
2) Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Biasanya terletak di area temporal atau temporo parietal yang
disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang
tengkorak.8
3) Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural.
Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan
penyebab dari perdarahan subdural. Perdarahan ini biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak, dan kerusakan otak lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan
epidural.8
4) Contusio dan perdarahan intraserebral
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap
ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna
merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan
tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak.
Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari,
berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan
operasi.8
5) Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang
berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri
kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat.8
6) Fraktur basis cranii
19

Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat


menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk
rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam
keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak
amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak
frakturnya :
 Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua
mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes),
rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai
anosmia.
 Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus
cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah
vena (A-V shunt).
 Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat
melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga
penderita dapat mati seketika.

3. Derajat Beratnya Cedera Kepala

Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan


menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan
Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif
tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek
yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal
respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).

Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS


yaitu:
20

1) Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama
dirawat di rumah sakit < 48 jam.
2) Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada
CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial,
dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
3) Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma,
score GCS < 9.

I. Penilaian Kesadaran Serta Interpretasi Sesuai Skenario


Penilaian kesadaran dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Penilaian
kesadaran secara kuantitatif dapat menggunakan Tabel penilaian Glasgow Coma
Scale (GCS) (Tabel 1 dan Tabel 2) atau FOUR Score (Tabel 3).

- Glasgow Coma Scale (GCS)


21

Pada GCS terdapat 3 komponen yaitu pergerakan bola mata, verbal,


dan pergerakan motorik yang dinilai dengan memberikan skor pada
masing-masing komponen. Nilai total dari ketiga komponen berkisar
antara 3-15, dengan nilai makin kecil semakin buruk prognosisnya. Pada
pasien dengan cedera otak dapat di klasifikasikan sebagai ringan (skor
GCS 14-15), sedang (skor GCS 9-13) dan berat (skor GCS ≤ 8). Selain
mudah dilakukan, GCS juga memiliki peranan penting dalam memprediksi
risiko kematian di awal pemeriksaan. GCS dapat digunakan sebagai
prediksi untuk menentukan prognosis jangka panjang dengan sensitivitas
79-97% dan spesifisitas 84-97%.9

Tabel 1 : Glasgow Coma Scale

Tabel 2 : Klasifikasi Trauma Kepala Berdasarkan GCS

- FOUR Score
22

FOUR Score dikembangkan untuk mengatasi berbagai keterbatasan


yang dimiliki GCS. Skala ini memberikan lebih banyak informasi dengan
adanya empat komponen penilaian : refleks batang otak, penilaian mata,
respon motorik dengan spektrum luas, pola napas abnormal serta usaha
napas pada pasien yang memakai ventilator, dengan skala penilaian 0-4
untuk masing-masing komponen.10
FOUR score dianggap lebih baik dibandingkan dengan skala-skala
yang telah ada sebelumnya dalam mengklasifikasikan penurunan
kesadaran. FOUR score lebih sederhana dan memberikan informasi yang
lebih baik, terutama pada pasien-pasien yang terintubasi. Skala ini dapat
membantu klinisi untuk bertindak lebih cepat atas perubahan klinis pasien
dan memudahkan dalam pertukaran informasi yang lebih akurat dengan
klinisi lain.10
Kelebihan lain dari FOUR score adalah tetap dapat digunakan pada
pasien-pasien dengan gangguan metabolik akut, syok, atau kerusakan otak
nonstruktural lain karena skala ini dapat mendeteksi perubahan kesadaran
lebih dini. Dengan rentang skala penilaian yang sama di tiap-tiap
komponen yakni 0-4, maka menjadi lebih mudah diingat.10
Penilaian motor dan respons mata pada FOUR score mirip dengan
GCS, meskipun dengan beberapa pengecualian Pada FOUR score, respon
motorik didapat terutama dari ekstremitas atas. Komponen motorik juga
mengkombinasikan respons dekortikasi dan withdrawal. Pemeriksaan
refleks batang otak dapat membantu dalam penilaian kedalaman koma
yang lebih lengkap dan akurat. Pemeriksaan fungsi batang otak, seperti
refleks cahaya pupil, refleks kornea, dan refleks batuk dapat menilai fungsi
mesensefalon, pons, medula oblongata, dan saraf okulomotor. Refleks
batuk hampir selalu menghilang bila refleks pupil dan kornea telah
menghilang.10
Pola napas Cheyne-Stokes dan ireguler dapat mencerminkan adanya
disfungsi bihemisfer atau batang otak bagian bawah yang mengendalikan
pernapasan, dan berhubungan dengan prognosis buruk. Pada pasien yang
23

terintubasi, jumlah frekuensi napas yang melebihi frekuensi yang


diberikan oleh mesin menggambarkan masih adanya fungsi pusat
pernapasan atau usaha napas. Bila semua komponen menghasilkan nilai 0,
dapat disimpulkan telah terjadi mati batang otak.10

Tabel 3 : FOUR Score

Sedangkan penilaian tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi


kompos mentis, apatis, somnolen, stupor, dan koma.11

 Kompos mentis berarti keadaan seseorang sadar penuh dan dapat


menjawab pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya.
 Apatis berarti keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan
berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya.
 Somnolen berarti seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung
tertidur, masih dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu
memberikan jawaban secara verbal, namun mudah tertidurkembali.
 Sopor/stupor berarti kesadaran hilang, hanya berbaring dengan mata
tertutup. Pasiendalamkeadaantiduryangdalam atau tidak memberikan
24

respon dengan pergerakan spontan yang sedikit atau tidak ada dan hanya
bisa dibangunkan dengan rangsangan kuat yang berulang (rangsang nyeri).
 Koma berarti kesadaran hilang, tidak memberikan reaksi walaupun dengan
semua rangsangan (verbal, taktil, dan nyeri) dari luar. Pasien dalam
keadaan tidaksadaryangdalam,yangtidakdapat dibangunkan akibat
disfungsi ARAS di batang otak atau kedua hemisfer serebri. Karakteristik
koma adalah tidak adanya arousal dan awareness terhadap diri sendiri
danlingkungannya.
Interpretasi Kesadaran Pasien Berdasarkan Skenario

Pada skenario dikatakan bahwa pasien memiliki GCS E2V4M2, hal ini
berarti jika merujuk pada penilaian kesadaran berdasarkan GCS, pasien
tersebut termasuk kedalam kondisi cedera atau trauma kepala berat karena
memiliki GCS 8.

J. Hubungan Gejala Pada skenario


Hubungan gejala pada skenario
Secara anatomis tulang tengkorak memiliki manfaat untuk melindungi otak
terhadap cedera. Selain dilindungi oleh tulang, otak juga tertutup lapisan keras
yang disebut meninges fibrosa, dan juga terdapat cairan yang disebut
cerebrospinal fuild (CSF). Trauma dapat berpotensi menyebabkan fraktur tulang
tengkorak, perdarahan di ruang sekitar otak, memar pada jaringan otak, atau
kerusakan saraf pada otak.
Pada kasus ini, pasien di bawa ke RS setelah mengalami kecelakaan lalu
lintas. Hal ini yang menyebabkan munculnya manifestasi klinis yang ada pada
skenario
Raccoon eyes 12
Pasien memiliki riwayat kecelakaan dalam keadaan tidak menggunakan helm
dan menabrak truk yang sedang berhenti. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
trauma langsung pada kepala dan mengakibatkan terjadinya fraktur (trauma) pada
dasar tengkorak. Trauma langsung biasanya terjadi di daerah oksipital, mastoid,
25

supraorbital. Fraktur pada supraorbita dapat menyebabkan darah bocor masuk ke


jaringan periorbital sehingga menyebabkan edema periorbita (raccon eyes).
Rhinnorea 12, 13
Trauma pada kepala juga dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal
yang menandakan adanya duramater yang robek. Namun tidak semua robekan
duramater menimbulkan kebocoran cairan serebro spinal. Terdapat 3 jenis fraktur
pada basis cranii, yaitu fraktur fossa anterior, media dan posterior. Pada fossa
anterior, duramater melekat tipis. Sehingga jika terdapat fraktur pada tulang
frontal, ethmoidal, dan sphenoidal, maka cairan serebro spinal dapat merembes
dan keluar melalui hidung (Rhinnorea). Daerah yang paling sering menyebabkan
rhinnorea adalah fraktur pada cribiform/ethmoid junction dan ethmoid kaena
fistula pada regio tersebut secara langsung berhubungan dengan kavitas nasal atau
melalui ethmoid air cell.
Gurgling 14
Akibat trauma yang dialami dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak
sehingga dapat mengakibatkan robekan pada otak yang mengakibatkan kebocoran
CSF (cairan serebrospinal). CSF akan menyebarkan dan akan menumpuk pada
beberapa bagian tubuh, salah satunya di tenggorokan sehingga menyebabkan
sumbatan saluran napas sebagian maupun total, sehingga akan terdengar suara
napas seperti berkumur-kumur.
Takikardi dan takipneu 15, 16
Penurunan volume intravaskulat dapat terjadi akibat perdarahan atau
dehidrasi. Pada kasus ini dapat kita lihat bahwa dapat terjasi penurunan volume
intra vaskuar akibat dari trauma kapitis. Penurunan volume intravaskular
menyebabkan tekanan darah menjadi rendah dan akhirnya akan menyebabkan
tidak terpenuhinya perfusi jaringan. Sebagai kompensas, tubuh akan
meningkatkan frekuensi dan kontraktilitas jantung untuk mengatasi hal tersebut
serta peningkatan laju pernapasan.

K. Primary Survey yang dilakukan terkait Skenario


Primary dan Secondary Survey12,13,14
26

Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis


perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka
parah, terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dimulai
secara cepat dan efisien. Pengelolaan penderita berupa primary survey yang cepat
dan kemudian resusitasi, secondary survey dan kemudian terapi definitif.
Prioritas pada anak pada dasarnya sama dengan orang dewasa. Walaupun jumlah
darah, cairan, obat, ukuran anak, kehilangan panas dan pola perlukaan dapat
berbeda, namun prioritas penilaian dan resusitasi sama seperti pada orang
dewasa.
Prioritas pada orang hamil sama seperti orang tidak hamil, akan tetapi terjadi
perubahan anatomis dan fisiologis dalam kehamilan yang dapat mengubah
respon penderita terhadap trauma. Penting untuk dilakukan pengenalan dini
dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium (HCG), dan penilaian dini terhadap
janin. Pada usia tua, trauma menjadi penyebab kematian yang kerap terjadi.
Dengan adanya perubahan usia dari dewasa menjadi usia tua, maka penykit
kardiovaskular dan keganasan menjadi penyebab kematian utama. Kematian
pada laki-laki usia tua adalah lebih besar di bandingkan perempuan usia tua.
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali, dan
resusitasinya dilakukan saat itu juga. Pemyajiam primary survey delakukan
dengan berurutan, sesuai prioritas dan secara simultan.
a. Airway dengan kontrol Servikal (Servical Spine Control)
Menilai kelancaran jalan napas dengan memperhatikan adanya obstruksi pada
jalan napas yang dapat disebabkan oleh benda asing, adanya fraktur tulang
wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea, terutama pada
pasien tidak sadar dengan lidah yang jatuh ke belakang.
Tanda objektif sumbatan Airway dapat diketahui dengan langkah-langkah
berikut :
 Look (lihat) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadaran menurun,
agitasi memberi kesan adanya hipoksi dan penuruanna kesadaran memberi
kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang
disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat
27

kuku dan sekitar mulut. Retraksi dan penggunaan otot-otot napas


tambahan yang apa bila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan
Airway.
 Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang berbunyi
(suara, napas bisik) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur
(snoring), berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing sound, stridor)
berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau
(hoarseness, dysphonia) menunjukkan adanya sumbatan pada laring.
Pasien yang melawan dan berkata kasar (gaduh, gelisah) mungkin
mengalami hipoksia dan tidak boleh diaggap sebagai keracunan/mabuk.
 Feel (raba) lokasi pada trakea dengan cepat tentukan arah trakea berada di
tengah.

Gambar : pemeriksaan Look, Listen and Feel

Jika penderita sadar dan dapat berbicara, maka Airway dinilai baik tapi
tetap perlu reevaluasi. Lakukan intubasi (orotracheal tube) jika apnea, GCS <8.
Pertimbangkan juga untuk GCS 9-10 jika saturasi oksigen tidak mencapai 90%
atau ada bahaya aspirasi akibat perdarahan dari fraktur maksilofasial yang hebat.
Selalu upayakan pemasangan intubasi dilakukan oleh 2 orang. Orang pertama
melakukan imobilisasi kepala agar tidak terjadi gerakan ekstensi, fleksi maupun
rotasi selama orang kedua melakukan intubasi. Jika tidak memungkinkan
intubasi, dapat dilakukan cricothyroidotomy. Tapi tidak dianjurkan untuk anak-
anak karena sering menimbulkan subglotis stenosis. Untuk melakukan intubasi
28

pada penderita dengan cedera kepala, gunakan cra yang tidak menimbulkan
peningkatan TIK dan dilakukan dengan monitoring tanda vital. “Fast sequence

intubation” diawali dengan oksigenasi 100%, lalu diberikan lidocain 100 mg IV,
diikuti dengan pemberian pentoal 100-200 mg IV dan dilanjutkan dengan
pemberian suksinilkolin 100 mg IV. Lama kerja suksinilkolin hanya 5 menit,
sehingga intubasi harus dilakukan segera setelah penderita mengalami apnea.
Setiap terjadi kegagalan intubasi, harus diselingi dengan pemberian oksigenasi
100% melalui ambubag.

Gambar: Teknik cricothroidotomy

Usaha untuk membebaskan Airway harus melindungi vertebra servikal


dengan melakukan chin lift atau jaw thrust, pasang servikal kollar untuk
imobilisasi servikal, sampai terbukti tidak ada cedera servikal. Kecurigaan
adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan pada riwayat perlukaan;
pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat menyingkirkannya. Foto servikal
dapat dilakukan setelah keadaan yang mengancam nyawa telah dilakukan.

Head tilt/chin lift manuver

Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift manuver merupakan teknik yang paling
efektif untuk membuka jalan napas pada korban yang tidak sadar. Teknik ini
direkomendasikan untuk penolong awam dan penolong yang berpengalaman
29

ketika ada trauma kepala atau leher. Head tilt/chin lift manuver dilakukan dengan
meletakkan satu tangan pada dahi pasien dan kepala dimiringkan kebelakang.
Jari pada tangan lain diletakkan dengan kuat dibawah bagian tulang yang
menonjol pada dagu, angkat dagu ke atas.

Gambar : Chin lift manuver

Jaw Thrust Manuver

Dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal. Tindakan jaw thrust
dilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah (angulus mandibula) kiri
dan kanan serta mendorong rahang bawah kedepan. Dilakukan secara hati-hati
untuk mencegah ekstensi kepala

Gambar : Jaw thrust manuver

Heimlich manuver
30

Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh corpus alineum misalnya


karena tersedak. Tersedak merupakan respon fisiologis terhadap obstruksi
saluran napas mendadak. Benda asing tersebut akan menyebabkan asfiksia dan
merupakan kondisi yang mengkhawatirkan, yang terjadi sangat akut, pasien
sering tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi pada mereka. Jika parah, daoat
menyebabkan hilangnya kesadaran dengan cepat dan kematian jika pertolongan
pertama tidak dilakukan dengan cepat dan berhasil. Jika benda asing tidak
tampak di mulut dan tidak dapat ditangkap dengan jari atau alat, harus dilakukan

Heimiltch dengan cara pasien dipegang dari belakang setinggi ulu hati dengan
kedua tangan, tangan yang satu memegang tangan yang lain dengan cukup kuat,
tangan ditekan sehingga diafragma naik dan terjadi tekanan tinggi di rongga
dada. Posisi tangan yang lebih dominan mengepal dan tangan yang lain
diletakkan diatasnya. Gerakan ini dapat mengeluarkan benda asing.

Gambar : Heimlich manuver

Oropharingeal Airway

Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih
adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan menyisipkan
Airway tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah kebelakang
yang justru akan membuat Airway buntu. Alat ini tidak boleh digunakan pada
pasien yang sadar karena dapat menyebabkan sumbatan, muntah dan aspirasi.
31

Pasien yang dapat mentoleransi aiirway orofaringeal kemungkinan besar


membutuhkan intubasi.

Gambar : oropharyngeal Airway

Nasopharyngeal Airway

Disisipkan pada salah satu lubang hidung dan dilewatkan dengan hati-hati ke
orofaring posterior dengan menggunakan jelly. Alat tersebut sebaiknya dilumasi
baik-baik kemudian disisipkan kelubang hidung yang tampak tidak tertutup. Bila
hambatan dirasakan selama pemasangan Airway, hentikan dan coba melalui
lubang hidung lainnya.

Gambar : nasopharyngeal Airway

b. Breathing dan Ventilasi


32

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Proses pernapasan
yang baik harus dipenuhi oleh pertukaran oksigen dan megeluarkan
karbondioksida dari tubuh. Fungsi ventilasi ditentukan oleh paru, dinding dada
dan diafragma. Setiap komponen harus dievaluasi dengan cepat.
Tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui dengan langkh-
langkah berikut :
 Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan udara
dinding dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan
(splinting) atau flail chest tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah
(labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap
ventilasi pasien
 Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan
atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau kedua hemitoraks
merupakan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasa
yang cepat, takipneu mungkin menunjukkan adanya kekurangan oksigen
(respiratory distress).
 Gunakan pulse oxymeter yang mampu memberikan informasi tentang
saturasi oksigen dan pergusi perifer pasien, tetapi tidak memastikan
adanya ventilasi yang adekuat.
Evaluasi dilakukan dengan dada penderita yang harus dibuka untuk melihat
ekspansi pernafasan, meliputi inspeksi pada bentuk dan pergerakan dada, palpasi
terhadap kelainan dinding dada yang mengganggu ventilasi, perkusi untuk
menentukan adanya darah atau udara dalam rongga pleura, auskultasi untuk
memastikan masuknya udara ke dalam pleura. Perlukaan yang mengakibatkan
gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothorax, flail chest dengan
kontusio paru dan open pneumothorax. Keadaan tersebut harus dikenali saat
melkaukan primary survey. Hematothorax, simple pneumothorax, fraktur tulang
iga dan kontusio paru mengganggu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan
harus dikenali pada saat melakukan secondary survey.
a. Tension pneumothorax, ditandia dengan gejala sesak napas yang progresif,
melemahnya bising napas, hipersonor pada perkusi, syok dan distensi vena
33

jugularis (kecuali disertai hipovolemia). Keadaan ini mengancam kehidupan dan


memperberat cedera kepala, sehingga harus diatasi segera dengan menggunakan
“catheter over-the-needle” (ex. Abocath) No. 12G atau 14G, pada ICS 2 linea
midklavikula.
b. Flail chest dengan kontusio paru, ditandai dengan gerakan napas yang paradoksal,
dengan frekuensi cepat dan dangkal karena nyeri yang timbul, sehingga ventilasi
tidak efektif dan efisien. Untuk itu, perlu tekanan positif pernapasan (selama ±2 x
24 jam) dengan oksigenasi yang adekuat dan analgetik yang memadai. Namun,
pernapasan dengan tekanan positif sering terjadi pneumothorax, maka hal ini
dapat diantisipasi dengan pemasangan WSD (water seal drainage).
c. Open pneumothorax. Jika terjadi “sucking wound”, maka luka ditutup dengan
“seal” kedap udara pada tiga sisi dengan satu sisinya bebas sehingga membentuk
fungsi valve.

c. Circulation dengan kontrol perdarahan


1. Volume darah dan cardiac output
Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk
mempertahankan cardiac output walaupun stroke volume menurun. Selanjutnya
diikuti dengan penurunan tekanan nadi (diastolik-sistolik). Hal ini mencerminkan
vasokonstriksi pada berbagai jaringan tubuh sebagai pertahanan aliran darah ke
organ vital. Jika aliran darah ke oragan vital tidak dapat dipertahankan, maka
timbul hipotensi. Hipotensi dianggap sebagai akibat dari hipovolemia sampai
terbukti sebaliknya, sehingga diperlukan penilaian hemodinamik yang cepat. Ada
3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
keadaan hemodinamik yaitu :
a) Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang sehingga
mengakibatkan penurunna kesadaran. Sedangkan penderita yang sadar belem
tentu normovolemik.
b) Warna kulit
34

Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan


ekstremitas jarang pada keadaan hipovolemia. Pada hipovolemia sering terjadi
wajah pucat, keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat.
c) Nadi
Periksa nadi yang besar (a. femoralis atau a. carotis). Nadi yang tidak cepat,
kuat dan terattur biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang cepat dan
kecul merupakan tanda hipovolemia, walaupan dapat disebabkan keadaan lain.
Kecepatan nadi yang normal tidak selalu normovolemia. Nadi yang tidak teratur
biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Jika tidak ditemukan pulsasi dari
arteri besar, lakukan resusitasi segera.
2. Perdarahan
Perdarahan yang tampak dari luar segera dihentikan dengan balut tekan
pada daerah tersebut. Spalk udara (pneumatic splinting device) dapat digunakann
untuk mengontrol perdarahan. Perdarahan internal (tidak terlihat) merupakan
perdarahan yang terjadi dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari
tulang panjnag, retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akbat dari luka
tembus pada dada/perut.

Tabel klasifikasi syok berdasarkan klinis


35

Keadaan syok harus segera diatasi dengan pemberian cairan kristaloid


(Larutan Ringer Laktat) melalui jarum IV yang besar, ukuran 16G atau 18G.
dapat dipasang pada lebih satu tempat tergantung keperluan. Cairan RL diberikan
dengan aturan 3:1, artinya setiap 100 cc darah yang keluar digantikan dengan RL
300 cc. pada tahapp awal, segera berikan RL hangat 2 L, lalu re-evaluasi. Jika
keadaan belum stabil, ulanngi lagi dengan pemberian 2 L, jika belum juga
berhasil, segera berikan transfusi dan perlu tindakan operatif untuk menghentikan
perdarahan. Syok kelas III dan IV mutlak membutuhkan transfusi darah karena
hantaran oksigen oleh darah menjadi tidak adekuat. Semua cairan yang akan
diberikan harus dihangatkan untuk menghindarkan terjadinya koagulopati dan
gangguan irama jantung.
d. Disability (Neurologic Evaluation)
Penilaian yang dilakukan yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
tanda-tanda lateralisasi dan tingak (level) cedera spinal. GCS (glasgow coma
scale) digunakan untuk menilai tingkat kesadaran penderitan, dapat juga
dilakukan AVPU sebagai pengganti GCS. Penurunan kesadarah dapat
disebabkan penuruanan oksigenasi atai/dan penurunan perfusi ke otakm atau
disebabkan trauma langsung pada otaka. Penurunan kesadaran harus dilakukan
re-evaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Penilaian
kekuatan motorik kiri kanan dilakukan juga untuk menyingkirkan adanya EDH.
e. Exposure / kontrol lingkungan
Penderita harus dibuka keseluruhan pakainanya, sering dengan cara
menggunting, untuk memeriksa dan mengevaluasi penderita. Pemeriksaan bagian
punggung dilakukan secara ‘log-rolling’. Harus dihindarkan terjadinya
hipotermia terutama pada penderita yang diresusitasi dengan cairan kristaloid
dalam jumlah besar dan cepat. Hipotermia memicu terjadinya koagulopati dan
gangguan irama jantung.
Chest compression
Jika korban tidak bernapas dengan normal, penolong harus mengasumsikan
tubuh korban mengalami henti jantung. Penyelamat awam harus melakukan
panggilan darirat saat penyelamat menemukan bahwa korban dalam keadaan
36

tidak responsif , operator harus mampu membimbing penolong awam untuk


memeriksa pernapasna pasien serta langkah-langkah CPR jika diperlukan.
Setelah melakukan panggilan darurat, semua tim penolong harus segera memulai
CPR untuk korban dewasa yang tidak responsif dengan tidak bernapas atau tidak
bernapas normal.
Kompresi terdiri dari aplikasi irama dan tekanan yang kuat di pertengahan
sternum. Kompresi mengembalikan aliran darah jantung, ini menghasilkan aliran
darah dan pengiriman oksigen ke miokardium dan otak. Kompresi dada yang
efektif sangat penting untuk mengembalikan aliran darah selama CPR. Untuk
alasan ini semua pasien dalam serangan jantung harus menerima kompresi dada.
Tanda keberhasilan resusitasi :
- Fungsi otak, pernapasan dan jantung dapat dipertahankan. Bila O 2 yang
dibutuhkan oleh jaringan otak dapat mencegah terjadinya kerusakan
cerebral, maka ini dapat dinilai dari beberapa reaksi.
- Berdasarkan diameter pupil  bila miosis, menunjukkan hasil yang baik
dan bila midriasis menetap, menunjukkan hasil buruk.
- Refleks pupil
- Refleks air mata
- Struggling (meronta-ronta)
- Tonus otot meningkat

L. Secondary survey Pada Kasus Trauma Kapitis


Primary dan Secondary Survey12,13,14

a. Anamnesis
 Waktu kejadian
 Tempat kejadian
 Memakai helm atau tidak
 Mekanisme cedera :
o Deselerasi yang tiba-tiba terhadap kepala pada KLL
atau jatuh dari ketinggian, menyebabkan kerusakan otak
dfius dan kontusia “polar”
37

o Benturan kuat terhadap kepala menyebabkan kerusakan


otak fokal dengan komponen difus yang lebih ringan
o Benturan terhadap kepala dalam posisi fraktur (tetap)
menyebabkan kerusakan otak fokal di bawah tempat
benturan tanpa adanya pingsan.
 Ada tidaknya pingsan (interval lucid)
 Keadaan setelah kejadian seperti mual, muntah, kejang, sakit
kepala, dll.
 Ada tidaknya pengaruh alkohol dan obat-obatan.
 Riwayat penyakit sebelumnya yang memiliki hubungan penting
dengan cedera seperti epilepsi, hipertensi, gangguan
pembekuan darah, diabetes melitus, dll.
 Pada pasien yang sadar harus ditanyakan adanya penglihatan
yang kabur, penglihatan ganda, rasa baal atau lemah pada
tungkai dan perlu diketahui berapa lama PTA (post traumatic
amnesia) berlangsung.
b. Pemeriksaan fisik
1. Kepala dan leher
Dilakukan evaluasi tanda-tanda trauma eksternal seperti
kontusio jaringan, ekimosis, laserasi atau pembengkakan jaringan
lunak. Perhatikan adanya ekimosis pada daerah mastiod (battle’s
sign), CSS pada nares atau kranialis auditorik eksternal yang
merupakan tanda fraktur basis kranii.
Palpasi dilakukan secara sistematis dan simultan terhadap
tulang-tulang wajah pada kedua sisi. Apakah ada tanda “step-off”
atau krepitasi. Dari palpasi diperkirakan bentuk fraktur tulang
maksilla (leFort) antara lain :
 leFort I : ketidakstabilan antara hidung dann gigi incisivus
superior
 leFort II : ketidakstabilan pada os Nasal
 leFort III : fraktur dengan disfungsi kraniofasial komplit
38

Perhatikan adanya hematoma dan emfisema subkutis yang


menunjukkan adanya cedera trakea atau esofagus.

Luka tusuk pada daerah leher dapat dikelompokkan atas :

 Zona 1 : dari suprasternal notch sampai setinggi ujung


lateral klavikula. Terdapat pembuluh darah besar, trakea,
esofagus, duktus thorasicus, mediastinum bagian atas dan
apeks paru
 Zona II : ujung lateral klavikula sampai setinggi angulus
mandibu;a. pada zona ini terdapat arteri karotis dan
vertebralis, vena jugularis, pharing, laring, esofagus, dan
trakea
 Zona III : superior dari angulus mandibula. Terdapat bagian
distal dari arteri karotis ekstrakranial, arteri vertebralis dan
sebagian vena jugularis

Luka tusuk pada zona II dapat dieksplorasi tanpa didahului


dengan arteriografi sedangkan zona I dan II didahului dengan
pemeriksaan arteriografi untuk menentukan perencanaan
approach operatif, karena ekspos pada zona ini tidak adekuat.

2. Thorax
Inspeksi, perhatikan ada tidaknya luka, bentuk dan
pergerakan dinding thorax saat bernapas. Palpasi, perhatikan ada
tidaknya emfisema subkutis dan beri marker luasnya emfisema
untuk evaluasi selanjutnya, periksa juga tanda “step-off” tulang,
deviasi trakea dan nyeri tekan. Perkusi, perhatikan adanya
hipersonor atau “dull” yang menunjukkan udara (pneumothorax)
atau cairan (hemothorax) yang terdapat pada rongga pleura.
Auskultasi, menilai bunyi napas kedua sisi dan bandingkan.
Apakah terdapat bunyi tambahan dan perhatikan lokasinya.
Beberapa keadaan pada thorax yang mengancam kehidupan:
39

 Tension pneumothorax
 Open pneumothorax
 Masif hemothorax
Perkusi, dull. Auskultasi, bunyi napas menghilang,
disertai adanya tanda-tanda syok hipovolemik. Disebut
massive hemothorax jika :
a. Pada saat pemasangan ‘chest tube thoracostomi’ darah
keluar initia 1500 cc atau
b. Selama observasu 4 jam, produksi >200 cc/jam
 Temponade jantung, ditandai oleh :
a. Tekanan darah rendah
b. CVP meningkat
c. Bunyi jantung menjauh
3. Abdomen
Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Pada saat
penderita baru datang, pemeriksaan abdomen yang normal tidak
menyingkirkan diagnosis perlukan intra abdomen, karena gejala
mungkin timbul agak lambat. Diperlukan pemeriksaan ulang dan
observasi ketat, kalau bisa oleh petugas yang sama serta diperlukan
konsultasi ahli bedah. Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat
diterangkan, kelainan neurologis, gangguan kesadaran karena
alkohol dan/atau obat dan penemuan pemeriksaan fisik abdomen
yang meragukan, harus dipertimbangkan diagnosis peritoneal
lavage (DPL). USG abdomen atau bila keadaan umum
memungkinkan, pemeriksaan CT Scan abdomen dengan kontras.
4. Ekstremitas
Perkiraan kehilangan darah pada beberapa fraktur tertutup
tulang ekstremitas dan pelvis :
a. Humerus/radius ulan mencapai ±200 cc
b. Tibia mencapai ±500 cc
c. Femur mencapau ±1000 cc
40

d. Pelvis mencapau ±3000 cc

Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan iskemik pada


ekstremitas, seperti :

- Cedera pembuluh darah


- Fraktur disekitar sendi lutut dan siku
- Crush injury
- Sindroma kompartemen
- Dislokasi sendi panggul

Pada sindroma kompartemen yang berlangsung >6 jam


akan memberikan gejala sisa. Dalam keadaan normal, tekanan
intrakompartemen adalah sekitar 10 mmHg. Jika tekanan mencapai
>30-45 mmHg, maka fasciotomi menjadi indikasi. Fiksasi frkatur
khusus pada penderita dengan cedera kepala, dapat dilaksanakan
secepatnya, karena fiksasi yang tertunda akan meningkatkan reisko
ARDS.

Iskemi dapat ditandai dengan : pulsasi arteri tidak teraba


(pulseness), pucat (pallor), hilangnya fungsi sensorik dan
motorikDingin, (coolness) kadang disertai hematoma, bruit¸dan
thrill.

1. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos kepala
Foto polos kepala memiliki peranan yang penting dalam ‘triage’
penderita dengan cedera kepala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan
foto polos kepala pada penderita cedera kepala di RS yang memiliki
fasilitas CT-Scan sebaiknya hanya dilakukan pada cedera kepala
ringan yang disertai dengan
- Riwayat pingsan atau amnesia,
- Adanya gejala neurologuis seperti diplopia, vertigo, muntah
atau sakit kepala
41

- Adanya tanda neurologis seperti hemiparesis


- Adanya otorrhea atau rhinorrhea
- Adanya kecurigaan luka tembus kepala
- Adanya kecurigaan intoksikasi obat atau alkohol

Foto polos kepala yang dibuat minimal harus dalam 2 posisn yaitu
AP dan L. foto lateral, posisi film ditempatkan pada sisi dengan jejas
yang dicurigai ada fraktur. Jika terdapat kecurigaan fraktur pada kedua
sisi, foto lateral sebaiknya dibuat pada kedua sisi.

b. Foto servikal
Pemeriksaan foto servikal harus didahului dengan pemasangan
servikal kollar. Pemeriksaan ini atas indikasi :
- Penderita yang tidak sadar atau dengan penurunan kesadaran
- Penderita yang sadar dan mengeluh adanya nyeri pada leher
- Adanya jejas diatas klavikula, sehubungan dengan mekanisme
cedera yang dialami
- Penderita dengan adanya kecurigaan trauma servikal

Foto servikal yang dibuat terutama posisi lateral, kadang-


kadang diperlukan posisi frontal. Sebaiknya foto meliputi
‘craniocervical junction’ hingga C7/T1, dapat dilakukan dengan
menarik kedua lengan kearah kaki, jika tidak juga membantu maka
dapat dibuat foto swimmer’s view.

c. CT-Scan
Pemeriksaan ini meliputi foramen magnum hingga verteks, dan
setiap pemotongan akan sejajar dengan ‘orbitomeatal line’ untuk
menghindari radiasi terhadap lenasa mata. Radiadi pada lensa mata aan
menyebabkan terbenuknya katarak. Sebaiknya tebal pemotongan
gambr adalah 5 mm, terutama pada fossa posterior, untuk menghindari
adanya lesi kecil yang terlewatkan.
Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita cedera kepala :
42

- GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran > 1 point selama


observasi
- Cedera kepala ringan yang disertai dengan fraktur tulang
terngkorak
- Adanya tanda klinisnfrkatur basis kranii
- Disertai dengan kejang
- Adanya tanda neurologis fokal
- Sakit kepala yang menetap
d. MRI
Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT Scan
untuk pencitraan pada cedera kepala seperti :
- Lebih baik dalam menilai cedera subakut, termasuk kontusio,
‘shearing injury’ dan SDH
- Lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnnya kontusio
dan hematoma secara lebih akurat karena mampu melakukan
pencitraan dari beberapa posisi
- Kasus SDH subakut yang kecil (minimal), ammpu
membedakannya dari tulang kepala
- Lebih baik dalam pencitraan cedera batang otak
- Mampu memperhatikan aneurisma intrakranial traumatika
walau tanpa kontras, demikian juga lesi vaskuler lainnya seperi
CCF (Carotid Cavernous fistula).

M. Pemaikan Obat-obat Darurat Pada Kasus Trauma Kapitis


Pemberian obat-obatan pada pasien cedera kepala

A. Resusitasi cairan 20
Resustiasi merupakan bagian integral dari resusitasi pada kasus
cedera kepala. Cairan resusitasi yang ideal harus memiliki beberapa
kriteria seperti: dapat mengangkut oksigen, memiliki sedikit efek atau
bahkan tidak memiliki efek terhadap proses koagulasi, murah, mudah
didapat, bersifat non-alergic dan mampu bertahan pada suhu ruangan.
43

Untuk menyadarkan pasien dan mempertahankan normovolemia,


memberikan pasien cairan intravena, darah, dan produk darah sesuai
kebutuhan. Hipovolemia pada pasien dengan TBI (traumatic brain
injury)berbahaya. Dokter juga harus berhati-hati untuk tidak membebani
pasien dengan cairan, dan menghindari penggunaan cairan hipotonik.
Selain itu, menggunakan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia, yang dapat membahayakan otak yang
terluka. Karenanya, larutan RL atau salin normal direkomendasikan untuk
resusitasi. Pantau kadar natrium serum dengan hati-hati pada pasien
dengan cedera kepala. Hiponatremia dikaitkan dengan edema otak dan
harus dicegah.
Pada beberapa referensi disarankan menggunakan cairan
hypertonic saline solution yang memiliki beberapa manfaat jika digunakan
pada pasien dengan cedera kepala antara lain: dapat menurunkan tekanan
intracranial dan dapat meningkatkan kontraktilitas jantung. Pada fase pre-
hospital pemberian hypertonic saline solution sebanyak 4-5ml/kg terbukti
dapat meningkatkan MAP (Mean Arterial Pressure) dan CO (Cardiac
Output). Selain itu juga dapat meningkatkan aliran darah menuju organ
tubuh lain seperti ginjal, mesenteric, splanchnic dan koroner. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Wade menyimpulkan bahwa penggunaan
hypertonic saline solution sebagai cairan resusitasi pada pasien cedera
kepala signifikan dapat meningkatkan survival rate (odds ratio, 2.12;
p=0,048)
B. Obat analgesik 21
Analgesik yang digunakan pada pasien cedera kepala, baik terapi
awal maupun terapi lanjutan, kebanyakan merupakan analgesik non-opioid
dengan penggunaan secara tunggal seperti Ketorolac, Metamizole,
Paracetamol, Asam mefenamat, dan Antalgin, serta penggunan kombinasi
seperti Ketorolac+Paracetamol. Pada terapi awal, cara pemberian obat
analgesik pada pasien cedera kepala (concussion) kebanyakan diberikan
secara intravena dan dapat pula terapi analgesik secara oral. Pasa terapi
44

analgesik lanjutan, sebagian besar mendapat terapi analgesik secara


peroral, dapat pula terapi lanjutan berupa analgesik kombinasi, dan
diberikan secara intravena dan juga peroral.
C. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)22
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi,
hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya
TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-
15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai
berikut:
1) Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan
ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2
(pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang
diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi
dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-
72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi,
bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-
48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi
periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk
menyingkirkan hematom
2) Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak
berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase
ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang
ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi
hidrosefalus
3) Terapi diuretik
i. Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air
dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang
masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak
45

terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.


Jangan memberikan manitol kepada pasien dengan
hipotensi, karena manitol tidak menurunkan ICP
pada pasien hipovolemia dan merupakan diuretik
osmotik yang manjur. Efek ini selanjutnya dapat
memperburuk hipotensi dan iskemia serebral.
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit
dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam
selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak
melebihi 310 mOSm
ii. Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek
menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan
menarik cairan interstitial pada edema sebri.
Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek
sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum
oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
iii. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak
responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut
diatas.
Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam
dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan
dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK
terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
iv. Streroid
46

Berguna untuk mengurangi edema serebri pada


tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera
kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala
D. Epilepsi/kejang22
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut
early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late
epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada
orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien
dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100
mg/hari
o Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15
menit. Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl
0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat
larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg
tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin.
Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling
cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko
kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan
penderita dengan amnesia post traumatik panjang

E. Neuroproteksi22
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan
timbulnya kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk
memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti
pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium,
antagonis glutama dan sitikolin
47

N. Syarat Dalam Melakukan Transportasi dan Rujukan Pada Kasus


Syarat rujukan dan transportasi

Indikasi untuk rujukan ke rumah sakit, Salah satu kriteria berikut


menunjukkan perlunya penilaian rumah sakit: 23

 Tingkat kesadaran terganggu.


 Amnesia untuk insiden atau kejadian selanjutnya.
 Gejala neurologis (muntah, sakit kepala parah dan persisten, kejang).
 Bukti klinis fraktur tengkorak (kebocoran cairan serebrospinal, hematoma
peri-orbital).
 Cedera ekstrakranial yang signifikan.
 Mekanisme trauma mengkhawatirkan (energi tinggi, kemungkinan cedera
tidak disengaja, kemungkinan cedera penetrasi).
 Kelanjutan ketidakpastian tentang diagnosis setelah penilaian pertama.
 Ko-morbiditas medis (penggunaan antikoagulan, penyalahgunaan
alkohol).
 Faktor sosial yang merugikan (misalnya sendirian di rumah).

Cara Rujukan 24

1) Dokter yang merujuk


Dokter yang mengirim bertanggung jawab untuk memulai
rujukan, pemilihan cara transport serta tingkat perawatan sepanjang
perjalanan. Dokter yang merujuk harus berkomunikasi terlebih dahulu
dengan dokter penerima rujukan, mengetahui seluk-beluk cara
transportasi yang dipilih, dan mengatur pelayanan pasien salama
transportasi. Dokter yang akan merujuk bertanggung jawab bahwa
pasien dalam keadaan stabil saat akan berangkat. Proses merujuknya
sendiri mungkin sudah dimulai saat resusitasi masih berlangsung.
Persetujuan untuk rujukan pasien harus disiapkan, karena akan
memperlancar proses rujukan.
48

2) Dokter penerima rujukan


Dokter penerima rujukan harus meyakini bahwa rumah sakitnya
mampu menerima pasien, dan memang bersedia menerima. Dokter
penerima rujukan harus membantu dokter yang merujuk dalam
pemilihan cara transportasi, cara perawatan selama dalam perjalanan.
Bila dokter penerima rujukan menyatakan menolak rujukan, maka
tetap harus membantu mencari alternative rujukan.

Cara Transportasi 24

Dalam memilih cara transportasi, prinsip “Do no further harm” harus


menjadi pertimbangan utama. Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya,
keculi apabila terhadap pasien telah dilakukan stabilisasi, tenaga yang
mendampingi cukup terlatih, dan telah diperhitungkan kemungkinan yang
terjadi selama transportasi.

Protokol Rujukan Apabila belum ada prosedur tetap, maka


dianjurkan prosedur dibawah ini:

1) Dokter yang merujuk Dokter yang akan merujuk harus berbicara


dengan dokter penerima rujukan, dan memberikan informasi dibawah
ini:
 Identitaspasien
 Anamnesis singkat kejadiannya, termasuk data pra-rumah sakit
yang penting
 Penemuan awal pada pemeriksaan pasien
 Respon terhadap terapi
2) Informasi untuk petugas yang akan mendampingi Petugas pendamping
harus paling sedikit diberitahukan:
 Pengelolaan jalan nafas pasien
 Cairan yang telah / akan diberikan
 Prosedur khsus yang mungkin akan diperlukan
49

 Revised Trauma Score, prosedur resusitasi dan perubahan-


perubahan yang mungkin akan terjadi selama dalam perjalanan
3) Dokumentasi yang disertakan dengan pasien adalah dokumentasi
mengenai permasalahan pasien, terapi yang telah diberikan, keadaan
pasien saat akan dirujuk.
4) Pengobatan sebelum merujuk Pasien harus dilakukan resusitasi dalam
usaha membuat pasien dalam keadaan sestabil mungkin, seperti
dianjurkan dibawah ini
a) Airway
 Pasang airway atau intubasi bila perlu
 Suction jika perlu
 Pasang NGT untuk mencegah aspirasi
b) Breathing
 Tentukan laju pernafasan, berikan oksigen
 Ventilasi mekanik bila diperlukan
 Pasang pipa toraks (chest tube) dimana perlu
c) Circulation
 Kontrol perdarahan luar
 Pasang 2 jalur infus, mulai pemberian kristaloid
 Perbaiki kehilangan darah dengan kristaloid atau darah,
dan teruskan pemberian selama transportasi
 Pasang kateter uretra untuk monitor keluar urin
 Monitor kecepatan dan irama jantung
50

O. Diferensial Diagnosis
1) Fraktur Basis Cranii
A. Definisi
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak yang tebal, yang biasanya seringkali disertai dengan
robekan pada duramater. Dan terbagi menjadi 3 bagian berdasarkan dasar
tengkorak yakni: fossa anterior, media, dan posterior. Fraktur basis kranii
adalah trauma pada dasar tengkorak atau basis kranii yang bisa terjadi
secara langsung maupun tidak langsung, sehingga ada beberapa fraktur
basis kranii yang terjadi sebagai akibat jejas lokal. Trauma langsung
biasanya terjadi di daerah oksipital, mastoid, supraorbital, sedangkan yang
tidak langsung biasanya terjadi pada wajah yang selanjutnya kekuataan
tenaganya dihantarkan melalui tulang-tulang wajah atau rahang bawah.25
B. Klasifikasi
Terdapat tiga jenis fraktur basis kranii antara lain: fraktur fossa
anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior.
 Pada fraktur fossa anterior rhinorrhea paling sering disebabkan oleh
fraktur tulang frontal, ethmoid, dan sphenoid, duramater melekat pada
tulang tipis di lantai fossa anterior. Daerah yang paling sering
menyebabkan rhinorrhea adalah adanya fraktur di daerah cribiform/
ethmoid junction dan ethmoid. Fistula pada regio tersebut secara langsung
akan berhubungan dengan kavitas nasal atau melalui ethmoid air cell.
 Fraktur fossa media adalah fraktur melalui os petrous yang memanjang ke
telinga tengah dapat menyebabkan otorrhea jika membran timpani robek,
atau ditemukannya otorhinorrhea jika kebocoran terjadi melalui tuba
eustachius ke nasofaring. Antara 70-90 % fraktur os temporal sejajar
dengan sumbu panjang dari petrous ridge yang dapat merusak tulang
pendengaran sehingga mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif
dan gangguan N.VII.
 Fraktur transversal 10-30% sering dihubungkan dengan defsit N.VIII,
gangguan saraf sensorik pendengaran, dan parese wajah. Fraktur fossa
51

posterior atau fraktur kranio-orbita, oculorhinorrhea dapat ditemukan


apabila terjadi fraktur kranio-orbita dengan laserasi dari sakus konjungtiva
yang memungkinkan kebocoran cairan serebro spinal dari mata.25

C. Epidemiologi
Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika meninggal
akibat berbagai jenis cedera dan trauma kapitis menyebabkan 50.000
kematian. Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah sakit dan
tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk. Lebih dari 60%
dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur linear
sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama pada anak
usia dibawah 5 tahun. Insidensi Fraktur Basis Kranii 3-25%, dengan 10-
30% di antaranya dengan kebocoran cairan otak dan kebanyakan pada
laki- laki pada kelompok usia yang bervariasi dari 1 tahun hingga 75 tahun
dan sebagian besar prevalensi di antara kelompok usia 21-30 tahun.
Sekitar 70% fraktur basis Cranii berada pada daerah anterior, meskipun
kalvaria tengah adalah bagian terlemah dari basis Cranii namun hanya
20% fraktur yang ditemukan dan sekitar 5% fraktur pada daerah
posterior.26

D. Etiologi
Sebagian besar fraktur tengkorak basilar atau fraktur basis cranii
disebabkan oleh trauma tumpul berkecepatan tinggi seperti kecelakaan saat
berkendara, dan cedera pejalan kaki. Jatuh dan serangan juga merupakan
penyebab penting. Luka tembus seperti luka tembak menyebabkan kurang dari
10% kasus.27

E. Patomekanisme
Cidera pada basis cranii dapat dibedakan menjadi burst fracture dan
bending fracture
 burst fracture disebabkan oleh benda yang permukaannya luas dan
trauma tidak langsung ke tulang tengkorak. Kekuatan yang
52

dihasilkan ditransmisikan dan di daerah yang tulangnya tipis,


karena elastisitasannya yang agak kurang sehingga menyebabkan
kerusakan.
 bending fracture disebabkan trauma langsung dan tepat kearah
tengkorak. Yang akan menghasilkan depresi tulang pada sisi yang
terkena impact dengan ciri fraktur kominutif (jenis fraktur tulang
kepala yang memiliki lebih dari 1 fragmen tulang dalam area 1
fraktur ). 25

Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme


termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah
tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera
tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada
pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami
benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian
secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area
medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban
inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture
juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah
benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda
paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau
mandibula.25

F. Manifestasi klinis
a. Fraktur basis cranii anterior
- Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran
CSF yang merembes ke dalam hidung
- Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan
perdarahan subkonjungtiva ( raccon eyes atau periorbital ekimosis)
b. Fraktur basis cranii media
- Sering terjadi otorrhea dimana keluarnya cairan otak (CSF)
meunjukkan terjadinya fraktur pada proteus pyramid yang merusak
53

kanal auditory eksternal dan merobek membran timpani


mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah terkumpul disamping
membran timpani tidak robek tanda ini ditemukan jika frakturnya pada
bagian basis cranii fossa media.
c. Fraktur basis cranii posterior
- Darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot-otot postvertebralis.
Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot
trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap
nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang
mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.28
G. Penegakan diagnose
Diagnose pada pasien fraktur basis kranii ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penujang.
 Anamnesis
Didapatkan riwayat trauma, riwayat keluarnya darah atau cairan
dari hidung dan/atau telinga, mual, muntah, gangguan penglihatan, wajah
mencong, gangguan mendengar, gangguan neurologis, dan juga gangguan
motoric.
 Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum (pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi )
Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A
(airways), B (breathing), dan C (circulation) dimana dapat disertai
dengan cedera lain dan penurunan kesadaran.
b. Pemeriksaan lokalis
Gambaran Khas  retro aurikular/mastoid ecchymosis (battle
sign), periorbital ecchymosis (raccoon eyes), clear rhinorea, clear
otorhea, hemotimpanum
c. Pemeriksaan neurologis
Meliputi penilaian tingkat kesadaran biasanya dengan glasgow
coma scale (gcs), kelemahan ekstremitas dan fungsi saraf kranial
 Penunjang :
54

a. CT Scan Kepala
o CT-Scan Bone Window untuk melihat gambar tulang kalvaria dan
CT-Scan Brain Window untuk melihat lesi parenkim otak atau
perdarahan otak.
o Fraktur pada dasar tengkorak dapat menggunakan irisan tipis
potongan axial bone window dasar tengkorak
o Rinorea dan ottorhea merupakan indikasi untuk dilakukan tindakan
CT Scan
b. X-ray kepala
o Bila jejas cukup besar ; cari garis fraktur, aerokel, darah dalam
sinus paranasalis, shift glandula pinealis, fragmen tulang dan
korpus alienum
o Tidak untuk mencarifraktur basis Penderita yang memerlukan CT-
scan kepala tidak perlu dibuat X-foto kepala
c. X-ray vertebra servikal
Mencari cedera penyerta terutama bila jejas juga didapatkan di
bahu, leher, dan dicurigai adanya cedera leher dari pemeriksaan klinis
d. X-ray thoraks
Mencari cedera penyerta
e. Lab Beta 2 Transferrin
Mencari bukti adanya leakage LCS
f. CT-Scan Whole Body
Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus multitrauma
untuk mengurangi waktu diagnosis, dapat digunakan pada pasien
dengan hemodinamik tidak stabil.
 Penunjang tambahan
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang
dicurigai adanya kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas
tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah
basah diluar dari noda darah yang kemudian disebut suatu “halo” atau
“ring” sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan
55

menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu


polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe.29, 30

H. Penatalaksanaan
Tatalaksana awal 29,30

A : Airway  Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga


diyakini tidak ada cedera

B : Breathing  Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri

C : Circulation  Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan


secara rutin tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line

D : Dysfunction of CNS  Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin

E : Exposure  Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung


kaki, dari depan dan belakang.

 Mempertahankan perfusi otak, memposisikan kepala head up sekitar 30


derajat dengan menghindari fleksi leher
 Kateter buli-buli diperlukan untuk mencatat produksi urine, mencegah
retensi urine, mencegah tempat tidur basah (dengan demikian mengurangi
risiko dekubitus).
 Berikan cairan secukupnya (normal saline) untuk resusitasi korban agar
tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfuse
darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
 Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain,
GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
 Berikan obat-obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen untuk
nyeri ringan dan sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada penderita
 Berikan obat-obatan anti muntah (misal: metoclopramide atau
ondansentron) dan anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin atau
omeprazole) jika penderita muntah
56

 Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera
yang tidak operable pada CT Scan.
 Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 g/kg. BB pada keadaan
tertentu, atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 cc manitol 20%
dalam 24 jam.Penghentian secara gradual.
 Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi
kejang dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari.
Bila telah terjadi kejang, PHT diberikan sebagai terapi.
 Antibiotik profilaksis

Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi


komplikasi yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan
pneumocephalus dengan fistula.29,30

 Fistula cairan serebrospinal: Mengakibatkan kebocoran cairan dari


ruang subarachnoid ke ruang extraarachnoid, duramater, atau jaringan
epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan otore. Sebagian besar rinore dan
otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan
ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif.
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest
dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan
aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan
steroid.
 Rinore, terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis
anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa
atau pelat orbital dari tulang frontal), dan melalui sinus sfenoid.
Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen
kasus. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest
dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung
dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti
laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan
57

pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu


dapat diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi.
 Otore, terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater
dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi.
Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu.
Namun, jika tidak berhenti diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan
operasi,dan kejadian jarang.
 Infeksi meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis
Cranii.Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii
adalah S. Pneumoniae. Profilaksis meningitis harus segera diberikan,
mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi
antibiotic telah digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes
diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic
yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik
golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic
golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.

Tindakan operasi 29,30

Indikasi Pembedahan:

 Kebocoran LCS post trauma yang disertai dengan meningitis


 Fraktur transversal Os petrosus yang melibatkan optic capsule
 Fraktur tulang temporal yang mengakibatkan lesi total otot wajah
 Trauma balistik pada temoral yang mengakibatkan kerusakan
vascular
 Defek luas dengan herniasi otak kedalam sinus paranasal,
Pneumocephalus , atau kebocoran LCS lebih dari lima hari

Tindakan bedah :

 Craniotomy
58

 Duraplasty
 Cranioplasty
I. Komplikasi
a. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang pendengaran dapat
menjadi komplikasi dari fraktur basis cranii. Fraktur condyler tulang
occipital adalah suatu cedera serius yang sangat jarang terjadi. Sebagian
besar pasien dengan fraktur condyler occipital terutama tipe III berada
dalam keadaan koma dan disertai dengan cedera vertebra servikal. Pasien-
pasien ini juga mungkin datang dengan gangguan gangguan nervus
cranialis dan hemiplegi atau quadriplegi.
b. Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii
yang terkait dengan gangguan nervus IX, X, and XI. Pasien-pasien dengan
keluhan kesulitan phonation dan aspirasi dan paralisis otot-otot pita suara,
pallatum molle (curtain sign), konstriktor faringeal
superior,sternocleidomastoideus, dan trapezius.
c. Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang juga
berdampak terhadap nervus IX, X, XI, dan XII. Meski demikian, paralisis
facialis yang muncul setelah 2-3 hari adalah gejala sekunder dari
neurapraxia n.VII dan responsif terhadap steroid dengan prognosis baik.
Suatu onset paralisis facialis yang komplit dan terjadi secara tiba-tiba
akibat fraktur biasanya merupakan gejala dari transection dari nervus
dengan prognosis buruk.
d. Fraktur basis cranii juga dapat menimbulkan gangguan terhadap nervus-
nervus cranialis lain. Fraktur ujung tulang temporal petrosus dapat
mengenai ganglion Gasserian / trigeminal. Isolasi n.VI bukanlah suatu
dampak langsung dari fraktur namun akibat regangan pada nervus
tersebut. Fraktur tulang sphenoid dapat berdampak terhadap nervus III, IV,
dan VI juga dapat mengenai a.caroticus interna, dan berpotensi
menyebabkan terjadinya pseudoaneurisma dan fistel caroticocavernosus
(mencapai struktur vena). Cedera caroticus dicurigai terjadi pada kasus-
59

kasus dimana fraktur melalui canal carotid, dalam hal ini


direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan CT-angiografi. 31
J. Prognosis
Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik
selama tanda tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan
dilakukan tindakan sedini mungkin apabila ditemukan deficit neurologis
serta diberikan profilaksis antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk
dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi
batang otak.31

2) Epidural Hematoma
A. DEFINISI32,33

Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena

fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan

duramater..Hematoma epiduralmerupakan gejala sisa yang serius akibat cedera

kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural

paling sering terjadi di daerah perietotemporal akibat robekan arteria meningea

media.

B. ETIOLOGI32

Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur

duramater dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur. Akibat trauma

kapitis,tengkorak retak. Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya

destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau

fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun


60

fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Pada

pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya

arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak

C. EPIDEMIOLOGI32

Epidural hematoma EDH dengan insiden 2,7 hingga 4 persen dari seluruh

pasien cedera kepala dan 22 hingga 56 persen dalam keadaan koma saat masuk ke

unit gawat darurat. Terbanyak karena kecelakaan lalu lintas 53 persen dan akibat

terjatuh 30 persen. Sering terjadi pada usia 20 hingga 30 tahun dan jarang di usia

tua lebih dari 60 tahun dan anak kurang dari 2 tahun, perbandingan laki dan

perempuan adalah 4 berbanding 1 (Lee et al, 1998; Bullock et al, 2006)

D. PATOMEKANISME32

Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang

subaraknoid, kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian

luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri.

Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura

mater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila slaah satu cabang

arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang

tengkorak di daerah yang bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah

frontal dan oksipital. Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan

sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi.

Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan

mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena


61

anak-anak memiliki venavena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak

( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko

yang lebih besar

E. GEJALA KLINIS32

Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran

menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak

memar di sekitar mata dan dibelakang telinga. Sering juga tampak cairan yang

keluar pada saluran hidung dan telinga. Setiap orang memiliki kumpulan gejala

yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul

akibat dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak :

1. Penurunan kesadaran , bisa sampai koma

2. Bingung
62

3. Penglihatan kabur

4. Susah bicara

5. Nyeri kepala yang hebat

6. Keluar cairan dari hidung dan telinga

7. Mual

8. Pusing

9. Berkeringat

F. DIAGNOSIS33

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala

lebih mudah dikenali. Foto Polos Kepala Pada foto polos kepala, kita tidak dapat

mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior

(A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya

fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media. Computed

Tomography (CT-Scan) Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi,

volume, efek, dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada

satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),

berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang

homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral.

Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi

pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari

pembuluh darah. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI akan menggambarkan


63

massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada diantara

tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur

yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk

menegakkan diagnosis

G. PENATALAKSANAAN33

Penanganan darurat :

 Dekompresi dengan trepanasi sederhana

 Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa
64

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital Usahakan agar jalan nafas

selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara

pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen.

Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan cairan

NaC10,9% atau Dextrose in saline

2. Mengurangi edema otak Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi

edema otak: a. Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga

mencegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga

dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi

kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg

dan paCO2 diantara 2530 mmHg. b. Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan

cairan Manitol 1015% per infus untuk “menarik” air dari ruang intersel ke dalam

ruang intra-vaskular untuk kemudian 11 dikeluarkan melalui diuresis. Untuk

memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang

cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030

menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada

kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba

diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya. c.

Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak

beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa

kortikosteroid tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala.

Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar

darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi : Dexametason
65

pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg.

Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan

Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg. d. Barbiturat. Digunakan untuk membius

pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya

kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif

lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai

oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang

ketat.

INDIKASI

Operasi di lakukan bila terdapat :

 Volume hamatom > 30 ml

 Keadaan pasien memburuk

 Pendorongan garis tengah > 5 mm

 fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan

kedalaman >1 cm

 EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis

tengah dengan GCS 8 atau kurang

 Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

H. KOMPLIKASI33

Hematoma epidural dapat memberikan komplikasi :


66

1. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana

keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran

otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intracranial.

2. Kompresi batang otak.

I. PROGNOSIS32,33

Prognosis Epidural Hematom tergantung pada :

 Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

 Besarnya

 Kesadaran saat masuk kamar operasi. Jika ditangani dengan cepat, prognosis

hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat

dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum

operasi.

3) Subdural Hematom
A. DEFINISI DAN KLASIFIKASI34

Subdural hematoma (SDH) adalah Akumulasi darah ekstra-serebral, baik


berupa cairan darah atau gumpalan darah antara dura mater dan Lapisan
subarachnoid. Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau
vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Klasifikasi subdural hematoma
didasarkan pada interval waktu antara trauma dan timbulnya tanda-tanda klinis.
SDH diklasifikasikan sebagai berikut:

 Hematoma subdural akut : timbulnya tanda-tanda klinis dan gejalanya


dalam tiga hari pasca strauma.
67

 Hematoma subdural subakut : timbulnya tanda-tanda klinis dan gejalanya


dalam 4-21 hari pasca trauma.
 Hematoma subdural kronis : timbulnya tanda-tanda klinis dan gejalanya
setelah lebih dari 21 hari pasca trauma.
B. EPIDEMIOLOGI35

Subdural hematoma akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan
cedera kepala berat. Tingkat mortalitas SDH akut berkisar 45-63%. Kematian
terjadi 74% pada pasien dengan Glasgow Coma Scale Score (GCS) 3-5 kurang
dari 6 jam, namun jika GCS 6-8 tingkat kematiannya menurun hingga 39%.
Perbedaan jenis kelamin dan usia-terkait dalam insiden secara keseluruhan.
Subdural hematoma lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita,
dengan rasio laki-perempuan sekitar 3:1. Satu studi retrospektif melaporkan
bahwa 56% kasus berada di pasien dalam dekade kelima dan keenam mereka,
studi lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pada
pasien yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden tertinggi, 7,35 kasus per 100.000
penduduk, terjadi pada orang dewasa berusia 70-79 tahun.

C. ETIOLOGI34,35
1. Trauma kapitis. Penyebab SDH ini hampir selalu adalah trauma.
2. Trauma di tempat lain yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak anak.
4. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural.
5. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial. Penggunaan jangka panjang antiplatelet dan antikoagulan
juga dikaitkan dengan terjadinya hematoma subdural dan telah terbukti
mempengaruhi manifestasi dan komplikasi.
68

6. Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)


7. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

D. PATOFISIOLOGI35

SDH akut disebabkan robekan kapiler cortical akibat akselerasi otak dalam
kranium disebabkan benturan. Saat kepala berbenturan dengan benda keras,
menimbulkan energi yang berakibat otak berakselerasi di dalam kranium. Jika
akselerasi ini berjalan hanya sesaat, kerusakan terjadi hanya di sekitar permukaan
otak dan pembuluh darah termasuk bridging veins. Jika akselerasi dalam jangka
waktu lama, regangan dapat masuk lebih dalam menyebabkan diffuse axonal
injury (DAI). Sumber perdarahan lain subdural hematom adalah laserasi atau
ruptur arteri dan vena kecil di korteks yang berkaitan dengan kontusio. Subdural
hematom biasanya berada sepanjang konveksitas cerebral. Tempat paling sering
kontusio cerebral yang menyebabkan subdural hematom adalah di bagian
temporal dan berikutnya di bagian frontal dan cerebral konveksitas.

SDH akut dapat juga disebabkan oleh aneurisma, tumor, dan arteriovenous
malformation. Namun mayoritas penyebab SDH adalah ruptur bridging vein.
Leary dan Edward menyatakan lapisan dura bagian dalam berupa sel datar yang
sama dengan fibroblas dikenal sebagai dural border cells. Jika ada robekan
bridging vein maka darah akan masuk ke lapisan dural border cells sehingga
terjadi SDH. Ada juga yang membuat SDH bertambah besar, yaitu tekanan vena
cerebral yang berjalan sama dengan tekanan intrakranial, hanya ada perbedaan
sedikit diantaranya. Jika tekanan vena cerebral meningkat maka darah dari vena
kortikal sulit masuk ke dalam sinus sagitalis superior menyebabkan darah
menumpuk di vena kortikal. Akibatnya SDH akan bertambah besar, tekanan
intrakranial juga meningkat kembali.
69

E. GAMBARAN KLINIS35

Gambaran klinis tergantung letak lokasi dan luasnya perdarahan. Hematoma


subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah
cedera. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

Gejala klinis SDH akut tergantung peningkatan tekanan intrakranial dan


keparahan cedera difus pada otak. Perubahan kesadaran ditentukan oleh
keparahan perkembangan hematom dan waktu terjadinya cedera. Gejala klinis dan
tanda pasien dengan SDH akut supratentorial, yaitu pupil abnormal, hemiparese,
kejang, afasia, deserebrasi dan lateralisasi yaitu, ditemukannya dilatasi pupil
ipsilateral dan kelemahan motorik kontralateral. Dapat juga terjadi Kernohan’s
notch dimana kelemahan motorik ipsilateral dan dilatasi pupil kontralateral.

F. DIAGNOSIS35
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan
jejas dikepala atau tidak. Jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya
kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika diketahui pasien pingsan atau
memiliki riwayat pingsan sebelumnya, apakah penderita kembali pada
70

keadaan sadar seperti semula? Selanjutnya apakah pasien tetap sadar


seperti semula atau turun lagi kesadaran pasien? perhatikanlah lamanya
periode sadar atau lucid interval pada pasien tersebut. Untuk tambahan
informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah
terjadinya trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan kejang
adalah untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar, apakah
karena aspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses intrakranial
yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya
sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan
muntahmuntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain
yang sedang diderita, demikian pula obat-obatan yang sedang dikonsumsi
saat ini, serta apakah pasien dalam pengaruh alkohol.
2. Pemeriksaan fisik35
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang
mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), tekanan darah atau
nadi (circulation), derajat kesadaran (disability) dalam skala koma glasgow
(GCS) serta apakah adakah jejas atau luka yang mengancam jiwa
(eksposure). Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau
obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu
diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk
mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse
oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara
bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah memantau apakah terjadi
hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika
terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan untuk
mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan
darah, bradikardia dan bradipnea.
Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan
menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil ,
dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan
71

Skala Koma Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal


dan respon motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri.
Pemeriksaan diamter kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal
menilai apakah telah terjadi herniasi di intrakranial dan terganggunya
sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula spinalis.

3. Pemeriksaan penunjang35,36
Pencitraan intrakranial diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis
hematoma subdural dan merencanakan manajemen yang tepat.
 CT-scan.
Penggunaan pencitraan CT scan dalam deteksi hematoma
subdural memiliki beberapa keunggulan termasuk ketersediaan
luas, hasil cepat, dan sensitivitas dan spesifisitas tinggi, yang
masing-masing dapat mencapai 96% dan 98%. Perdarahan
subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai
suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit
sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak
terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam
jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli.
Subdural hematom berbentuk cekung, unilateral dan terbatasi oleh
garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk cembung
seperti epidural hematom.
 MRI
Di sisi lain, teknik pencitraan MRI masih disukai karena
sensitivitas dan spesifisitas yang mencapai 100%, kemampuan
untuk mendeteksi perdarahan minimal, dan kemampuan untuk
mengidentifikasi etiologi.

Baik teknik pencitraan CT dan MRI dapat memberikan informasi


tentang ukuran hematoma, kronisitas perdarahan, pergeseran medline (jika
ada), pengurasan tangki basal, dan perangkap ventrikel. Ketika etiologi
72

diduga berasal dari pembuluh darah, pasien dianjurkan untuk menjalani


MRA (magnetic resonance angiography) lebih lanjut.

G. PENATALAKSANAN35

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu
kita harus memperhatikan kondisi klinis dengan gambaran radiologisnya. Didalam
masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada
pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan
intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10
mg intravena dan hiperventilasi. Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc
ataupun kurang) edema otak yang minimal dan midline shift kurang dari 5 mm
dilakukan tindakan konservatif. Strategi tanpa pembedahan terfokus pada
pencegahan secondary injury setelah cedera kepala. Intervensi medis ditargetkan
pada tekanan intrakranial yang terkontrol, memastikan aliran darah dan oksigen,
meminimalkan edema cerebri.

Indikasi pembedahan pada SDH akut :

 Suatu subdural hematoma akut dengan ketebalan lebih besar dari 10 mm


atau dengan pergeseran garis tengah otak lebih besar dari 5 mm pada
gambaran CT Scan, harus dilakukan tindakan operasi, tanpa melihat
derajat kesadaran pasien (GCS).
73

 Semua pasien dengan subdural hematoma akut dalam keadaan koma (nilai
GCS lebih rendah daripada 9) harus menjalani pemantauan tekanan
intrakranial.
 Pasien koma (nilai GCS lebih rendah daripada 9) dengan ketebalan SDH
kurang dari 10 mm dan pergeseran garis tengah otak kurang dari 5 mm,
harus menjalani tindakan operasi untuk evakuasi hematoma, bilamana nilai
GCS menurun 2 angka atau lebih pada waktu antara masa trauma dan
ketika masuk rumah sakit. Demikian pula bila pada pasien ditemukan
pupil yang asimetris atau dilatasi dan atau tekanan intrakranial lebih dari
20 mmHg.

Waktu Pelaksanaan bedah :

Pasien dengan subdural hematoma akut yang terindikasi untuk operasi, harus
menjalani tindakan operasi evakuasi hematoma segera secepatnya.

Metoda :

Pada pasien koma (GCS <9) yang terindikasi tindakan operasi evakuasi
subdural hematoma, harus menjalani tindakan kraniotomi dengan atau tanpa
pengangkatan tulang kranium dan duraplasti.

H. KOMPLIKASI35
 Komplikasi pasca trauma : Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang
pasca cedera kepala berat.
 Komplikasi Pasca operasi : Dapat terjadi rekurensi hematoma yang
mungkin memperlukan tindakan pembedahan. Selain itu juga infeksi luka
dan kebocoran CSF, Meningitis atau abses serebri, kejang dapat terjadi
setelah dilakukan tindakan intracranial.
I. PROGNOSIS35

Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural yang luas dan
menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak, menjadi lebih kecil
apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian. Walaupun
74

demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu
berakhir dengan kematian.

Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak


merupakan faktor yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome) daripada
tumpukan hematoma ekstra axial di ruang subdural.

Derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi adalah satu-satunya


faktor penentu terhadap prognosa akhir (outcome) penderita SDH akut. Penderita
yang sadar pada waktu dioperasi mempunyai mortalitas 9% sedangkan penderita
SDH akut yang tidak sadar pada waktu operasi mempunyai mortalitas 40% - 65%.
Tetapi Richards dan Hoff tidak menemukan hubungan yang bermakna antara
derajat kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas pupil, bilateral midriasis
berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Seelig dkk melaporkan pada
penderita SDH akut dengan kombinasi refleks okulo-sefalik negatif, relfleks pupil
bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai functional survival
sebesar 10%.

P. Integrasi Keislaman
Integrasi Keislaman37

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  adalah hamba yang paling


bersyukur, beliau memberikan keteladanan bagi umatnya ketika berkendaraan
yaitu dengan:

1. Berdoa ketika naik kendaraan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk berdoa

“Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Allah yang
menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak
75

mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb


kami (pada hari kiamat). Segala puji bagi Allah (3x), Allah Maha Besar (3x),
Maha Suci Engkau, ya Allah! Sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka
ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa
kecuali Engkau.”  (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Doa ini mengandung sanjungan kepada Allah Ta’ala yang telah menjadikan


kendaraan tersebut dapat dikendarai, padahal sebelumnya manusia tidak
memiliki kemampuan untuk mengendarainya. Di dalam doa ini juga terkandung
pengakuan bahwasanya kita akan kembali kepada Allah pada hari kiamat, serta
pengakuan atas kelalaian dan dosa yang telah kita lakukan.

2. Bertakbir dan bertasbih selama perjalanan

Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami bertakbir ketika melewati jalan


yang naik, dan bertasbih ketika melewati jalan yang turun”. (HR. Al-Bukhari)
Maksudnya adalah ketika menaiki tempat-tempat yang tinggi
mengucapkan: “Allahu Akbar”, dan ketika menuruni tempat-tempat yang lebih
rendah mengucapkan: “Subhanallah”. Bertakbir manakala menaiki tempat yang
tinggi akan membuat kita merasakan kebesaran Allah Ta’ala serta keagungan-
Nya. Sedangkan bertasbih ketika menuruni tempat yang rendah akan membuat
kita merasakan kesucian Allah Ta’ala dari segala kekurangan.

3. Berdoa ketika kendaraan tergelincir

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengumpat setan


ketika tergelincir dan mengajarkan kita untuk
mengucapkan, “bismillah”. Usamah bin ‘Umair radhiyallahu
‘anhu menceritakan, “Aku pernah dibonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas tunggangannya tergelincir, maka aku berkata, ‘tergelincirlah
setan.’  Maka Nabi berkata, ‘Janganlah kamu katakan tergelincirlah setan. Jika
kamu berkata demikian, dia (setan) akan membesar hingga sebesar rumah, dan
berkata, ‘Dengan kekuatanku.’ Akan tetapi katakanlah, ‘bismillah’. Jika kamu
76

berkata demikian, dia akan mengecil hingga sekecil lalat.’” (HR. Abu Dawud)
Menyebut nama Allah Ta’ala akan meleburkan setan sebagaimana air
meleburkan garam.

4. Membebani kendaraan sesuai daya angkut

Di antara adab berkendaraan adalah dibolehkannya berkendaraan dengan


beberapa penumpang selama tidak melebihi daya angkut kendaraan tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memboncengkan sebagian
sahabatnya seperti Mu’adz, Usamah, Al-Fudhail, begitu juga memboncengkan
‘Abdullah bin Ja’far dan Hasan atau Husain bersama-sama, semoga
Allah Ta’ala meridhai mereka semua.

Membebani kendaraan melebihi daya angkut yang telah ditetapkan


merupakan suatu bentuk kedzaliman. Hal ini akan menyebabkan rusaknya
kendaraan dan ini merupakan bentuk penyia-nyiaan harta.

5. Tidak menjadikan kendaraan semata-mata sebagai tempat duduk

Terdapat hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kalian


menjadikan punggung-punggung hewan tunggangan kalian sebagai mimbar
(semata-mata sebagai tempat duduk). Sesungguhnya Allah menundukkannya
untuk kalian supaya mengantarkan ke negeri yang belum pernah kalian capai
kecuali dengan bersusah payah. Dan Allah menciptakan bumi untuk kalian,
maka hendaklah kalian tunaikan kebutuhan kalian di atas tanah”. (HR. Abu
Dawud)

Maksud dari hadits ini adalah larangan untuk duduk-duduk dan berbincang-
bincang dalam rangka jual beli atau yang selainnya di atas kendaraan (berupa
hewan) yang sedang berhenti. Hendaknya seseorang menunaikan keperluannya
dengan cara turun dari kendaraan dan mengikatnya di tempat yang semestinya.
77

Adapun berdirinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  di atas hewan


tunggangan beliau saat Haji Wada’ adalah demi kemaslahatan yang besar. Hal
ini supaya khutbah beliau kepada para manusia mengenai perkara-perkara Islam
serta hukum-hukum yang terkait ibadah dapat didengar dengan jelas oleh
sahabat-sahabat beliau ketika itu. Apalagi, perbuatan beliau tersebut juga tidak
dilakukan secara terus-menerus sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul
Qayyim rahimahullah, sehingga hal ini tidak membuat hewan tunggangan
merasa letih dan bosan. Berbeda dengan sekedar duduk-duduk dan berbincang-
bincang di atas hewan tunggangan yang sedang berhenti tanpa ada maslahat,
dalam waktu lama, dan dilakukan berulang-ulang maka dapat menyebabkan
hewan tunggangan merasa letih dan bosan.

Kendaraan pada zaman ini tidak bisa disamakan dengan hewan tunggangan
yang dapat merasa letih dan bosan. Meskipun demikian, tidak selayaknya
seorang pengendara duduk-duduk dan berbincang-bincang di atas kendaraannya
yang sedang berhenti karena akan mengganggu serta menyusahkan pengguna
jalan yang lain. Berhenti di sembarang tempat juga akan mempersempit jalan
yang seharusnya dapat dipergunakan oleh pengguna jalan yang lain.
Allah Ta’ala berfirman

“Dan orang-orang yang menyakiti kaum mukmin dan mukminat tanpa


kesalahan yang mereka perbuat maka sesungguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)

6. Memandang kendaraan yang lebih rendah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada umatnya


bagaimana cara memperkuat rasa syukur atas berbagai nikmat yang
Allah Ta’ala anugerahkan, yaitu dengan selalu memandang orang-orang yang
78

berada di bawahnya dalam akal, nasab (keturunan), harta, dan berbagai nikmat.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan melihat orang
yang di atas kalian. Itu lebih layak untuk kalian agar tidak memandang hina
nikmat yang Allah anugerahkan kepada
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan skenario dan diskusi kami baik dalam proses tutorial dan diskusi
– diskusi bebas yang kami lakukan kami menyimpulkan bahwa penyakit yang
mungkin di derita pasien adalah Fraktur Basis Cranii, Epidural Hematoma,
Subdural Hematoma. Hasil ini terangkum dalam table di bawah ini.

Tabel Diagnosis Banding


Gambaran Klinis Fraktur Basis Epidural
Subdural Hematoma
Cranii Hematoma
Laki –laki 25
+ +/- +/-
tahun
Kesadaran
+ + +
Menurun
Kecelakaan 1
jam SMRS + + +

GCS (E2V4M2) + + +
TD:90/60 mmHg
+ + +

N:115x/menit + + +
P:28x/menit + + +
SpO2 + + +
Gurgling + +/- +/-
Rhinorea + - -
Racoon Eyes + - -
80

Daftar Pustaka

1. Satria, D. CEDERA KEPALA PADA ANAK USIA DINI. Jurnal


Educhild: Pendidikan dan Sosial, 8(2), 71-77.
2. Netter HF. Atlas of Human Anatomy. Philadhelpia; 2014.
3. Ganong WF. Review of Medical Physiology. Ed 22. Boston: Mc Graw-
Hill; 2005
4. Ayu, I. M. (2010). Karakteristik penderita trauma kapitis rawat inap di
Rumah Sakit Haji Medan tahun 2009.
5. Aprilia, H. (2017). Gambaran status fisiologis pasien cedera kepala di IGD
RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2016. DINAMIKA KESEHATAN JURNAL
KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN, 8(1), 237-249.
6. Tahir, A. M. (2018). Patofisiologi Kesadaran Menurun. UMI Medical
Journal, 3(1), 80-88.
7. Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors. Edisi 7. Jakarta :
IKABI. 2004.
8. Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta : EGC. 2010.
9. Mahdian M, Fazel MR, Fakharian E, Akbari H, Mahdian S. Cerebral state
index versus Glasgow coma scale as a predictor for in-hospital mortality in
brain-injured patients. Chinese J Trauma 2014;17:220-4.
10. Dewi, Rismala. Review article Assessment of Consciousness in Critically
Ill Children: Glasgow Coma Scale or Full Outline of UnResponsiveness
Score. Sari Pediatri, Vol. 17, No. 5, Februari 2016.
11. Singhal NS, Josephson SA. (2014) A practical approach to neurologic
evaluation in the intensive care unit. J Crit Care; 29(4): 627-33.
12. Sastrawan A D, Sjamsudin E, Faried A. Penatalaksanaan Emergensi
Pada Trauma Oromaksilofasial disertai Fraktur Basis Kranii Anterior.
2017
13. Kamarullah I, Tahir A A I. ’The Indonesian Journal of Medical Science’
Weakness in The Left Superior and Inferior of Extremity due to
Hydropneumocephalus. 2009; 1(6)
14. Kowalak J P. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2011
81

15. Martono, Sudiro, Satino. Deteksi Dini Kesadaran Menggunakan


Pengukuran Nilai Kritis Mean Artery Preassure. 2016; 11(1)
16. Hardisman. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok
Hipovolemik: Update dan Penyegar. 2013; 2(3)
17. Iskandar. Memahami aspek-aspek penting dalam pengelolaan penderita
cedera kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004
18. Stewart RM. Advanced Trauma Life Support 10th ed. American Collerge
of Surgeons. 2018
19. Henry, sharon dkk. Advanced Trauma Life Support 8 th ed. American
Collage of Surgeons Committee on Trauma. 2008
20. Afiani, Nurma. Resusitasi Cairan pada Cedera Kepala. JURNAL ILMIAH
KESEHATAN MEDIA HUSADA.
21. chandra, chysario. Tjitrosantoso, heedy. Lolo, Widya astuti. STUDI
PENGGUNAAN OBAT ANALGESIK PADA PASIEN CEDERA
KEPALA (CONCUSSION) DI RSUP PROF. Dr. R. D. KANDOU
MANADO PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014.
PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 5 No. 2 MEI 2016
22. Reilly P. Pathophysiology and management of severe close injury.
London: Chapman & Hall Medical, 1997
23. Wyatt, Jonathan P., Illingworth, Robin N., Graham, Colin A., time,
Kerstin. Oxford Handbook of Emergency Medicine Fourth edition. New
York : Oxford University Press, 2012
24. American College of surgeons. Student Course Manual ATLS Advanced
Trouma Life Support 10 th Ed. 2018
25. Katzen JT, Jarrahy R, Eby JB, Mathiasen RA, Margulies DR, Shahinian
HK. Craniofacial And Skull Base Trauma. The Journal Of Trauma Injury,
Infection, And Critical Care. 2003; 54: 1026-1034.
26. Thai T J G K. Helmet Protection Against Basilar Skull Fracture.
Biomechanical Of Basilar Skull Fracture. On ATSB Research And
Analysis Report Road Safety Research Grant Report. Australia :2007
82

27. Wang H, Zhou Y, Liu J, Ou L, Han J, Xiang L. Traumatic Skull Fractures


In Children And Adolescents: A Retrospective Observational Study.
Injury. 2018 Feb;49(2):219-225.
28. Haryono Y. Rinorea Cairan Serebrospinal. USU. Departemen THT-KL
FK USU. 2006
29. Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24
(22): 1-6.
30. Golfinos JG, Cooper PR. Skull Fracture And Post-Traumatic
Cerebrospinal Fluid Fistula. In: Head Injury, 4th, Cooper PR, Golfinos JG.
(Eds), Mcgraw-Hill, New York 2000. P.155
31. Alvarez O. J. Ticoalu, Fraktur Basis Cranii, FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN,2012
32. Mansjoer A, Suprohaita, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 3,

Jilid 2, UI.

33. Robertson C.S, Zager E, 2010, Clinical Evaluation of Portable Near-

infrared Device for detection of Traumatic Intracranial hematom, Journal

of Neurotrauma.

34. Almutairi AM , Barnawi HM , Alahmari EM. Emergency Management of


Subdural Hematoma. The Egyptian Journal of Hospital Medicine. 2018 ;
70 (9). Page 1508-1510
35. Dharmajaya R. Subdural Hematoma. USU press : Medan. 2018
36. Alshora W, Alfageeh M, Alshahrani S, dkk. Diagnosis and management
of subdural hematoma: a reviewof recent literature. International Journal
of Community Medicine and Public Health. 2018 ; 5(9)
37. Syarh Kitab Al-Qawa’id Al-Arba’ hal 22-23, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Baz, Dar As-Salafiyyah.

Anda mungkin juga menyukai