A. Definisi
Malnutrisi merupakan salah satu masalah kesehatan yang
disebabkan oleh pola diet yang tidak tepat yaitu ketika tubuh tidak
mendapatkan asupan yang tepat dari vitamin, mineral, dan nutrisi yang
dibutuhkan oleh jaringan dan fungsi organ.1 Malnutrisi adalah suatu
keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan protein energi dan
nutrien lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh.2
Pengertian lainnya malnutrisi adalah suatu keadaan di mana tubuh
mengalami gangguan dalam penggunaan zat gizi untuk pertumbuhan,
perkembangan dan aktivitas. Malnutrisi dapat disebabkan oleh kurangnya
asupan makanan maupun adanya gangguan terhadap absorbsi, pencernaan
dan penggunaan zat gizi dalam tubuh. Selain itu, malnutrisi bisa
disebabkan apabila asupan kalori yang berlebih dari kebutuhan harian, dan
mengakibatkan penyimpangan energi dalam bentuk bertambahnya
jaringan adipose.3
Kekurangan Energi Protein (KEP) adalah gangguan gizi yang
disebabkan oleh kekurangan protein dan atau kalori, serta sering disertai
dengan kekurangan zat gizi lain. Penyebab KEP dapat dibagi kepada dua
penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi
primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein
maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi
yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorpsi
4
dan/atau peningkatan kehilangan protein maupun energi dari tubuh.
Masalah nutrisi yang sering terjadi pada anak-anak di indonesia yaitu
malnutrisi jenis kurang energi protein (kwashiorkor, marasmus, marasmik-
kwashiorkor).5
B. Epidemiologi
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih
tinggi. Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178
balita mengalami gizi buruk dan data Susenas tahun 2005 memperlihatkan
prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun 2005 telah terjadi
peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang
tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa
Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei 2005, Pemerintah Propinsi Nusa
Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk yang terjadi di NTT
sebagai KLB, dan Menteri Kesehatan telah mengeluarkan edaran tanggal
27 Mei tahun 2005, Nomor 820/Menkes/V/2005 tentang penanganan KLB
gizi buruk di propinsi NTB.6
C. Etiologi
a. Peranan diet
Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi
tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita
kwashiorkor, sedangkan diet kurang energi walaupun zat-zat gizi
esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita
marasmus. Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan
Narasnya (1971) terlihat bahwa dengan diet yang kurang-lebih sama,
pada beberapa anak timbul gejala-gejala kwashiorkor, sedangkan pada
beberapa anak yang lain timbul gejala-gejala marasmus. Mereka
membuat kesimpulan bahwa diet bukan merupakan faktor yang
penting, tetapi ada faktor lain yang masih harus dicari untuk dapat
menjelaskan timbulknya gejala tersebut.7
d. Peranan infeksi
e. Peranan kemiskinan
D. Patofisiologi
Alasan mengapa ada anak yang menderita edema dan ada yang
tidak mengalami edema pada KEP masih belum diketahui. Meskipun tidak
ada faktor spesifik yang ditemukan, beberapa kemungkinan dapat
dipikirkan. Salah satu pemikiran adalah variabilitas antara bayi yang satu
dengan yang lainnya dalam kebutuhan nutrisi dan komposisi cairan tubuh
saat kekurangan asupan terjadi. Hal ini juga telah dipertimbangkan bahwa
pemberian karbohidrat berlebih pada anak-anak dengan non-edematous
KEP membalikkan respon penyesuaian untuk asupan protein rendah,
sehingga deposit protein tubuh dimobilisasikan. Akhirnya, sintesis
albumin menurun, sehingga terjadi hipoalbuminemia dengan edema. Fatty
liver juga berkembang secara sekunder, mungkin, untuk lipogenesis dari
asupan karbohidrat berlebih dan mengurangi sintesis apoliprotein.
E. Klasifikasi
1. Marasmus
a. Edema11
Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik
ringan maupun berat. Edema biasa terjadi pada wajah, badan, dan
perut. Edema terjadi karena hipoalbuminemia.
b. Retardasi Pertumbuhan12
Pertumbuhan anak menjadi terganggu. Berat anak pada
severe kwasiorkor, biasanya adalah 60 sampai 80% dari normal.
Namun, hilangnya berat badan yang sebenarnya, tersamar oleh
meningkatnya retensi cairan (edema).
c. Perubahan Mental13
Gejala terkait perubahan mental yang dapat terlihat pada
anak kwarshiorkor adalah Irritable (misalnya rewel atau cengeng).
Pada keadaan berat bisa mengakibatkan apatis, gelisah. Anak juga
kehilangan nafsu makan. Sebuah hipotesis mengatakan bahwa
kurangnya gizi dapat mengakibatkan perubahan fungsional otak.
d. Perubahan pada Rambut12
Perubahan yang terjadi pada rambut yaitu rambut
kehilangan warna atau pita gelap dan pucat selang-seling, lurus,
tekstur yang halus dan kurangnya daya lekat rambut ke kulit
kepala. Perubahan ini terjadi karena kurangnya protein sehingga
menyebabkan degenerasi pada rambut dan kutikula rambut yang
rusak. Rambut terdiri dari keratin (senyawa protein) sehingga
kurangnya protein akan menyebabkan kelainan pada rambut.
e. Kelainan Hati12
Dapat ditemukan perlemakan hati akibat penurunan sintesis
protein pengangkut komponen lipoprotein. Perlemakan hati
biasanya mengakibatkan hepatomegaly pada pemeriksaan fisik.
f. Atrofi Otot10
Massa otot berkurang karena kurangnya protein. Protein
digunakan sebagai sumber energi demi penyelamatan hidup.
g. Perubahan pada Kulit12
Anak-anak dengan kwasiorkor menunjukkan lesi kulit yang
khas, dengan zona hiperpigmentasi selang-seling, desquamasi dan
hipopigmentasi, memberi gambaran "cat yang terkelupas",
khususnya pada bagian kaki.
h. Kelainan Darah10
Anemia selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor.
Dengan adanya defisiensi protein yang parah, anak yang
mengalami kwashiorkor tidak dapat memben-tuk globin yang
cukup, yang merupakan moietas protein dari hemoglobin.
i. Penurunan Imunitas Tubuh10
Defisit protein dan energi maupun keduanya telah diketahui
dapat berpengaruh terhadap depresi sistem imun. Kekurangan
protein yang parah pada bayi dan balita telah jelas berhubungan
dengan atrofi pada organ limfoid primer yang berperan dalam
sistem imun, yaitu sumsum tulang belakang dan timus. Efek
tercepat dari atrofi pada timus salah satunya adalah leukopenia
(penurunan jumlah leukosit).
3. Marasmic-Kwashiorkor
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala
campuran antara penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan
sehari-harinya tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk
pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian, disamping
menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal memperlihatkano
gejala-gejala kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan
kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. 7
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis
berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak
mempunyai jaringan lemak di bawah kulit terutama pada kedua bahu,
lengan, pantan dan paha; tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa
adanya edema. 14,15
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena
mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus.
Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, keciali
jika ditemukan penyakit lain yang berat. 14,15
a. Anamnesis
Anamnesis lanjutan
b. Pemeriksaan fisik
b. Tatalaksana Umum
Lakukan penanganan ini hanya jika ada tanda syok dan anak
letargis atau idak sadar.
Pastikan anak menderita gizi buruk dan benar-benar menunjukkan
tanda syok.
Timbang anak untuk menghitung volume cairan yang harus
diberikan
Pasang infus (dan ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
gawat darurat)
Masukkan larutan Ringer Laktat dengan dekstrose5% (RLD5%)
atau Ringer Laktat atau Garam Normal – pastikan aliran infus
berjalan lancer. Bila gula darah tinggi maka berikan Ringer Laktat
(tanpa dekstrose) atau Garam Normal.
Alirkan cairan infus 10ml/kgBB selama 30 menit
Hitung denyut nadi dan frekuensi napas anak mulai dari pertama
kali pemberian cairan dan setiap 5-10menit
Pada saat penilaian triase, akan ditemukan sebagian kecil anak gizi
buruk dengan tanda kegawatdaruratan.
Gambar . Klasifikasi tanda bahaya atau tanda kegawatdaruratan16
Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi.Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB
bersamaan dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT
Kondisi II
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan
Rencana II, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui
NGT sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis :
5ml/kgBB setiap pemberian
catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30
menit
Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana
III, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis
5ml/kgBB setiap pemberian
catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera,
yaitu:
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui
NGT sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai
dengan berat badan (NGT)
catat nadi, frekuensi nafas
Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare
atau dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, frekuensi nafas
H. Pencegahan
I. Prognosis
Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan
kematian dari penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit
tersebut, tetapi prognosisnya dapat dikatakan baik apabila malnutrisi
ditangani secara tepat dan cepat. Kematian dapat dihindarkan apabila
dehidrasi berat dan penyakit infeksi kronis lain seperti tuberkulosis atau
hepatitis yang menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari.
Pada anak yang mendapatkan malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal
ini berbanding terbalik dengan psikomotor anak yang mendapat
penanganan malnutrisi lebih cepat menurut umurnya, anak yang lebih
muda saat mendapat perbaikan keadaan gizinya akan cenderung
mendapatkan kesembuhan psikomotornya lebih sempurna dibandingkan
dengan anak yang lebih tua, sekalipun telah mendapatkan penanganan
yang sama. Hanya saja pertumbuhan dan perkembangan anak yang pernah
mengalami kondisi marasmus in cenderung lebih lambat, terutama terlihat
jelas dalam hal pertumbuhan tinggi badan anak dan pertambahanan berat
anak, walaupun jika dilihat secara ratio berat dan tinggi anak berada dalam
batas yang normal.
J. Komplikasi7,18,19
Perkembangan mental
Menurut Winick dan Rosso (1975) bahwa KEP yang diderita pada
masa dini perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA,
dengan akibat terdapatnya otak dengan jumlah sel yang kurang
walaupun besarnya otak normal. Jika KEP terjadi setelah masa divisi
otak berhenti, hambatan sintesis protein akan menghasilkan otak
dengan jumlah sel yang normal namun dengan ukuran yang lebih
kecil. Dari hasil penelitian Karyadi (1975) terhadap 90 anak yang
pernah menderita KEP bahwa terdapat deifisit IQ pada anak-anak
tersebut, deficit tersebut meningkat pada penderita KEP lebih dini.
Didapatkan juga hasil pemeriksaan EEG yang abnormal mencapai 30
persen pada pemeriksaan setelah 5 tahun lalu meningkat hinggal 65
persen pada pemeriksaan ulang 5 tahun setelahnya.
Noma
Noma atau stomatitis gangrenosa merupakan pembusukan mukosa
mulut yang bersifat prograsif hingga dapat menembus pipi, bibir, dan
dagu, biasanya disertai nekrosis sebagian tulang rahang yang
berdekatan dengan lokasi noma tersebut. Noma merupakan salah satu
penyakit yang menyertai KEP berat akibat imunitas tubuh yang
menurun, noma timbul umumnya pada tipe kwashiorkor.
Xeroftalmia
Merupakan penyakit penyerta KEP berat yang sering ditemui akibat
defisiensi dari vitamin A umumnya pada tipe kwashiorkor namun
dapat juga terjadi pada marasmus. Penyakit ini perlu diwaspadai pada
penderita KEP berat karena ditakutkan akan mengalami kebutaan.
Tuberkulosis
Pada anak dengan keadaan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan
kekebalan tubuh yang akan berdampak mudahnya terinfeksi kuman.
Salah satunya adalah mudahnya anak dengan malnutrisi berat
terinfeksi kuman mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan
penyakit tuberkulosis.
Sirosis hepatis
Sirosis hepatis terjadi karena timbulnya perlemakan dan penimbunan
lemak pada saluran portal hingga seluruh parenkim hepar tertimbun
lemak. Penimbunan lemak ini juga disertai adanya infeksi pada hepar
seperti hepatitis yang menimbulkan penyakit sirosis hepatis pada anak
dengan malnutrisi berat.
Hipotermia
Hipotermia merupakan komplikasi serius pada malnutrisi berat tipe
marasmus. Hipotermia terjadi karena tubuh tidak menghasilkan energi
yang akan diubah menjadi energi panas sesuai yang dibutuhkan oleh
tubuh. Selain itu lemak subkutan yang tipis bahkan menghilang akan
menyebabkan suhu lingkungan sangat mempengaruhi suhu tubuh
penderita.
Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat terjadi pada hari-hari pertama perawatan anak
dengan malnutrisi berat. Kadar gula darah yang sangat rendah ini
sangat mempengaruhi tingkat kesadaran anak dengan malnutrisi berat
sehingga dapat membahayakan penderitanya.
Infeksi traktus urinarius
Infeksi traktus urinarius merupakan infeksi yang sering terjadi pada
anak bergantung kepada tingkat kekebalan tubuh anak. Anak dengan
malnutrisi berat mempunyai daya tahan tubuh yang sangat menurun
sehingga dapat mempermudah terjadinya infeksi tersebut.
Penurunan kecerdasam
Pada anak dengan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan
perkembangan organ tubuhnya. Organ penting yang paling terkena
pengaruh salah satunya ialah otak. Otak akan terhambat
perkembangannya yang diakibatkan karena kurangnya asupan nutrisi
untuk pembentukan sel-sel neuron otak. Keadaan ini akan berpengaruh
pada kecerdasan seorang anak yang membuat fungsi afektif dan
kognitif menurun, terutama dalam hal daya tangkap, analisa, dan
memori.
Kematian
Kematian merupakan efek jangka panjang dari KEP berat. Pada
umumnya penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti
tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Tidak
jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit gizi lainnya. Maka dapat
dimengerti mengapa angka mortalitas pada KEP berat tinggi. Daya
tahan tubuh pada penderita KEP berat akan semakin menurun jika
disertai dengan infeksi, sehingga perjalanan penyakit infeksi juga akan
semakin berat.
Referensi :
1. Sheetal A, Hiremath V.K, Patil A.G. Malnutrition and its oral outcome-A
Review. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2013; 7(1): 178-180
2. Syam Fahrial. Malnutrisi. Dalam: Sudojo A, Bambang S, Alwi I,
Simbadibrata M, Setiadi S, Editor. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid 1 Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.;355 – 65
3. Sediaoetama, A. D. 1985. Ilmu Gizi. Jilid 1. Dian Rakyat : Jakarta
4. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics.18th Edition. United States of America : Sunders Elsevier
Inc.2007.
5. Direktorat Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB – Gizi
Buruk. Jakarta: Depkes RI Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. 2008
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI,
2008.
7. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi
Klinis pada Anak. Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Univesitas
Indonesia. Jakarta. 2005 : 95-137.
8. Barnes Lewis, Curran John. Nutrisi. Dalam: Wahab S, editor. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak jilid 1 Edisi 15. Jakarta: EGC. 2000;179 – 232
9. Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit, Edisi . Jakarta : EGC
10. Anggraeny O , Dianovita C , Putri EN , dkk. Korelasi Pemberian Diet
Rendah Protein Terhadap Status Protein, Imunitas, Hemoglobin, dan
Nafsu Makan Tikus Wistar Jantan. Indonesian Journal of Human
Nutrition. Desember 2016 : 3 (2) : 105 – 122
11. Meadow R, Newell S. Lecture Notes Pediatrika Edisi 7. Jakarta :
Erlangga. 2005. Hal 87-88
12. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 9.
Philadelphia : Elsevier saunders. 2013. Hal 294
13. David H, Johnston DI. Dasar-Dasar Pediatrik Edisi 3. Yusna D, Hartanto
H, editors. J. Jakarta : EGC. 2008. Hal. 88
14. Departement of Child and Adolescent Health and Development.
Management of the Child with Serious Infection or Severe Malnutrition :
Guidelines for Care at the First-Refferal Level in Developing
Countries.United States of America : World Health Organization. 2000.
Hal : 80-91\
15. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku : Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit, Pedoman Bagi Rumah Sakit Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. Jakarta : Departemen Kesehatan dan WHO. 2009. Hal :
193-22
16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2011
17. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Petunjuk
Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2011.
18. Rudolph CD, AM. Rudolph. Marasmus in Rudolph’s Pediatrics. 2005;
1336-1350.
19. Rosli AW, Rauf S, Lisal JS, Albar H. Relationship Between Protein
Energy Malnutrition and Social Maturity in Children Aged 1-2 Years in
Paediatrica Indonesia, 42th volume, Desember, 2012.