Anda di halaman 1dari 34

MALNUTRISI ENERGI PROTEIN

A. Definisi
Malnutrisi merupakan salah satu masalah kesehatan yang
disebabkan oleh pola diet yang tidak tepat yaitu ketika tubuh tidak
mendapatkan asupan yang tepat dari vitamin, mineral, dan nutrisi yang
dibutuhkan oleh jaringan dan fungsi organ.1 Malnutrisi adalah suatu
keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan protein energi dan
nutrien lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh.2
Pengertian lainnya malnutrisi adalah suatu keadaan di mana tubuh
mengalami gangguan dalam penggunaan zat gizi untuk pertumbuhan,
perkembangan dan aktivitas. Malnutrisi dapat disebabkan oleh kurangnya
asupan makanan maupun adanya gangguan terhadap absorbsi, pencernaan
dan penggunaan zat gizi dalam tubuh. Selain itu, malnutrisi bisa
disebabkan apabila asupan kalori yang berlebih dari kebutuhan harian, dan
mengakibatkan penyimpangan energi dalam bentuk bertambahnya
jaringan adipose.3
Kekurangan Energi Protein (KEP) adalah gangguan gizi yang
disebabkan oleh kekurangan protein dan atau kalori, serta sering disertai
dengan kekurangan zat gizi lain. Penyebab KEP dapat dibagi kepada dua
penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi
primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein
maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi
yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorpsi
4
dan/atau peningkatan kehilangan protein maupun energi dari tubuh.
Masalah nutrisi yang sering terjadi pada anak-anak di indonesia yaitu
malnutrisi jenis kurang energi protein (kwashiorkor, marasmus, marasmik-
kwashiorkor).5
B. Epidemiologi
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih
tinggi. Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178
balita mengalami gizi buruk dan data Susenas tahun 2005 memperlihatkan
prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun 2005 telah terjadi
peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang
tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa
Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei 2005, Pemerintah Propinsi Nusa
Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk yang terjadi di NTT
sebagai KLB, dan Menteri Kesehatan telah mengeluarkan edaran tanggal
27 Mei tahun 2005, Nomor 820/Menkes/V/2005 tentang penanganan KLB
gizi buruk di propinsi NTB.6

C. Etiologi

Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu


ada beberapa faktor yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya
penyakit tersebut, antara lain faktor diet, faktor social, kepadatan
penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain.7

a. Peranan diet
Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi
tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita
kwashiorkor, sedangkan diet kurang energi walaupun zat-zat gizi
esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita
marasmus. Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan
Narasnya (1971) terlihat bahwa dengan diet yang kurang-lebih sama,
pada beberapa anak timbul gejala-gejala kwashiorkor, sedangkan pada
beberapa anak yang lain timbul gejala-gejala marasmus. Mereka
membuat kesimpulan bahwa diet bukan merupakan faktor yang
penting, tetapi ada faktor lain yang masih harus dicari untuk dapat
menjelaskan timbulknya gejala tersebut.7

b. Peranan faktor sosial

Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang


sudah turun-temurun dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KEP.
Adakalanya pantangan tersebut didasarkan pada keagamaan, tetapi ada
pula yang merupakan tradisi yang turun-temurun. Jika pantangan itu
didasarkan pada keagamaan, maka akan sulit diubah. Tetapi jika
pantangan tersebut berlangsung karena kebiasaan, maka dengan
pendidikan gizi yang baik dan dilakukan terus-menerus hal tersebut
masih dapat diatasi. Faktor-faktor sosial lain yang dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit KEP adalah7 :

a) Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah


mempunyai banyak anak dengan suaminya yang merupakan
pencari nafkah tunggal;
b) Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan
anak, sehingga dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat
member cukup makan pada anggota keluarganya yang besar itu;
c) Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu,
misalnya pada musim panen mereka pergi memotong padi para
pemilik sawah yang letak sawahnya jauh dari tempat tinggal para
ibu tersebut. Anak-anak terpaksa ditinggalkan di rumah sehingga
jatuh sakit dan mereka tidak mendapat perhatian dan pengobatan
semestinya;
d) Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap
sehingga harus meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore.
Dengan demikian, bayi tersebut tidak mendapat ASI sedangkan
pemberian pengganti ASI maupun makanan tambahan tidak
dilakukan dengan semestinya.

c. Peranan kepadatan penduduk

Dalam World Food Conference di Roma (1974) telah


dikemukakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa
diimbangi dengan bertambahnya persediaan bahan makanan setempat
yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan
kemiskinan penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula
perlunya bahan makanan yang bergizi baik di samping kuantitasnya. 2

McLaren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat


dalam jumlah yang banyak jika suatu daerah terlalu padat
penduduknya dengan keadaan hygiene yang buruk, misalnya, di kota-
kota dengan kemungkinan pertambahan penduduk yang sangat cepat;
sedangkan kwashiorkor akan terdapat dalam jumlah yang banyak di
desa-desa dengan penduduk yang mempunyai kebiasaan untuk
member makanan tambahan berupa tepung, terutama pada anak-anak
yang tidak atau tidak cukup mendapat ASI. 7

d. Peranan infeksi

Telah lama diketahui adanya interaksi antara malnutrisi dan


infeksi. Indeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi.
Malnutrisi, walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negative
pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini sinergistis,
sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya mempunyai
konsekuensi yang lebih besar daripada sendiri-sendiri. 7

e. Peranan kemiskinan

Penyakit KEP merupakan masalah negara-negara miskin dan


terutama merupakan problema bagi golongan termiskin dalam
masyarakat negara tersebut. Pentingnya kemiskinan ditekankan dalam
laporan Oda Advisory Committee on Protein pada tahun 1974. Mereka
menganggap kemiskinan merupakan dasar penyakit KEP. Tidak jarang
terjadi bahwa petani miskin harus menjual tanah miliknya untuk
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, lalu ia menjadi penggarap
yang menurunkan lagi penghasilannya, atau ia meninggalkan desa
untuk mencari nafkah di kota besar. Dengan penghasilan yang tetap
rendah, ketidakmampuan menanam bahan makanan sendiri, ditambah
pula dengan timbulnya banyak penyakit infeksi karena kepadatan
tempat tinggal seperti telah diutarakan tadi, timbulnya gejala KEP
lebih dipercepat.7

D. Patofisiologi

Banyak manifestasi dari KEP merupakan respon penyesuaian pada


kurangnya asupan energi dan protein. Untuk menghadapi asupan yang
kurang, maka dilakukannya pengurangan energi dan aktifitas. Namun,
meskipun ini respon penyesuaian, deposit lemak dimoilisasi untuk
memenuhi kebutuhan energi yang sedang berlangsung meskipun rendah.
Setelah deposit lemak habis, katabolisme protein harus menyediakan
substrat yang berkelanjutan untuk menjaga metabolisme basal.

Alasan mengapa ada anak yang menderita edema dan ada yang
tidak mengalami edema pada KEP masih belum diketahui. Meskipun tidak
ada faktor spesifik yang ditemukan, beberapa kemungkinan dapat
dipikirkan. Salah satu pemikiran adalah variabilitas antara bayi yang satu
dengan yang lainnya dalam kebutuhan nutrisi dan komposisi cairan tubuh
saat kekurangan asupan terjadi. Hal ini juga telah dipertimbangkan bahwa
pemberian karbohidrat berlebih pada anak-anak dengan non-edematous
KEP membalikkan respon penyesuaian untuk asupan protein rendah,
sehingga deposit protein tubuh dimobilisasikan. Akhirnya, sintesis
albumin menurun, sehingga terjadi hipoalbuminemia dengan edema. Fatty
liver juga berkembang secara sekunder, mungkin, untuk lipogenesis dari
asupan karbohidrat berlebih dan mengurangi sintesis apoliprotein.

Penyebab lain KEP edematous adalah keracunan aflatoksin serta


diare, gangguan fungsi ginjal dan penurunan aktivitas NA K ATP-ase.
Akhirnya, kerusakan radikal bebas telah diusulkan sebagai faktor penting
dalam munculnya KEP edematous. Kejadian ini didukung dengan
konsentrasi plasma yang rendah akan metionin, suatu precrusor dari
sistein, yang diperlukan untuk sintesis dari faktor antioksidan major,
glutathione. Kemungkinan ini juga didukung oleh tingkat yang lebih
rendah dari sintesis glutathione pada anak-anak dengan pembengkakan
dibandingkan dengan non-edematous KEP.4

E. Klasifikasi

1. Marasmus

Marasmus adalah salah satu bentuk gizi buruk yang sering


ditemui pada Balita. Marasmus disebabkan karena kurang energi.
Tanda-tanda anak yang mengalami Marasmus adalah badan kurus
kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit. Marasmus adalah
bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat kekurangan
kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama
kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. Marasmus
adalah malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan
tidak cukup atau higiene kurang.

Sinonim marasmus diterapkan pada pola penyakit klinis yang


menekankan satu atau lebih tanda defisiensi protein dan kalori. Energi
yang diperoleh oleh tubuh bukan hanya diperoleh dari proses
katabolisme zat gizi yang tersimpan dalam tubuh, tetapi juga berasal
dari energi yang terkandung dalam makanan yang kita konsumsi.8

Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak


faktor. Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting
yaitu:tubuh sendiri (host), agent (kuman penyebab), environment
(lingkungan). Memang factor diet (makanan) memegang peranan
penting tetapi faktor lain ikut menentukan. Gopalan menyebutkan
marasmus adalah compensated malnutrition.9
Marasmus sering dijumpai pada usia 0 - 2 tahun. Keadaan yang
terlihat mencolok adalah hilangnya lemak subkutan, terutama pada
wajah. Akibatnya ialah wajah si anak lonjong, berkeriput dan tampak
lebih tua (old man face). Otot-otot lemah dan atropi, bersamaan
dengan hilangnya lemak subkutan maka anggota gerak terlihat seperti
kulit dengan tulang. Tulang rusuk tampak lebih jelas. Dinding perut
hipotonus dan kulitnya longgar. Berat badan turun menjadi kurang dari
60% berat badan menurut usianya..8

Manifestasi Klinis Marasmus:8

a. Badan kurus kering tampak seperti orangtua


b. Lethargi
c. Irritable
d. Kulit keriput (turgor kulit jelek)
e. Ubun-ubun cekung pada bayi
f. Jaringan subkutan hilang
g. Malaise
h. Kelaparan
i. Apatis

Gambar : Manifestasi Klinis Marasmus


2. Kwashiorkor

Kwashiorkor merupakan salah satu bentuk kekurangan energi


protein (KEP) yang disebabkan oleh asupan protein yang inadekuat
dengan asupan energi yang cukup. Kwashiorkor sering berhubungan
dengan adanya penyakit infeksi dan anemia. Tingkat kematian akibat
dari kwashiorkor mencapai 10-30% dengan usia yang paling berisiko
terkena kwashiorkor yaitu 2-4 tahun karena usia tersebut merupakan
masa peralihan dari ASI ke makanan pengganti ASI (MP-ASI). MP-
ASI yang diberikan seperti tepung, nasi atau jagung memiliki protein
yang rendah. Dibandingkan dengan marasmus, kwashiorkor memiliki
tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dengan penanganan
yang lebih sulit karena penderita kwashiorkor lebih rentan terkena
infeksi.10

Gejala dan Tanda :

a. Edema11
Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik
ringan maupun berat. Edema biasa terjadi pada wajah, badan, dan
perut. Edema terjadi karena hipoalbuminemia.
b. Retardasi Pertumbuhan12
Pertumbuhan anak menjadi terganggu. Berat anak pada
severe kwasiorkor, biasanya adalah 60 sampai 80% dari normal.
Namun, hilangnya berat badan yang sebenarnya, tersamar oleh
meningkatnya retensi cairan (edema).
c. Perubahan Mental13
Gejala terkait perubahan mental yang dapat terlihat pada
anak kwarshiorkor adalah Irritable (misalnya rewel atau cengeng).
Pada keadaan berat bisa mengakibatkan apatis, gelisah. Anak juga
kehilangan nafsu makan. Sebuah hipotesis mengatakan bahwa
kurangnya gizi dapat mengakibatkan perubahan fungsional otak.
d. Perubahan pada Rambut12
Perubahan yang terjadi pada rambut yaitu rambut
kehilangan warna atau pita gelap dan pucat selang-seling, lurus,
tekstur yang halus dan kurangnya daya lekat rambut ke kulit
kepala. Perubahan ini terjadi karena kurangnya protein sehingga
menyebabkan degenerasi pada rambut dan kutikula rambut yang
rusak. Rambut terdiri dari keratin (senyawa protein) sehingga
kurangnya protein akan menyebabkan kelainan pada rambut.
e. Kelainan Hati12
Dapat ditemukan perlemakan hati akibat penurunan sintesis
protein pengangkut komponen lipoprotein. Perlemakan hati
biasanya mengakibatkan hepatomegaly pada pemeriksaan fisik.
f. Atrofi Otot10
Massa otot berkurang karena kurangnya protein. Protein
digunakan sebagai sumber energi demi penyelamatan hidup.
g. Perubahan pada Kulit12
Anak-anak dengan kwasiorkor menunjukkan lesi kulit yang
khas, dengan zona hiperpigmentasi selang-seling, desquamasi dan
hipopigmentasi, memberi gambaran "cat yang terkelupas",
khususnya pada bagian kaki.
h. Kelainan Darah10
Anemia selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor.
Dengan adanya defisiensi protein yang parah, anak yang
mengalami kwashiorkor tidak dapat memben-tuk globin yang
cukup, yang merupakan moietas protein dari hemoglobin.
i. Penurunan Imunitas Tubuh10
Defisit protein dan energi maupun keduanya telah diketahui
dapat berpengaruh terhadap depresi sistem imun. Kekurangan
protein yang parah pada bayi dan balita telah jelas berhubungan
dengan atrofi pada organ limfoid primer yang berperan dalam
sistem imun, yaitu sumsum tulang belakang dan timus. Efek
tercepat dari atrofi pada timus salah satunya adalah leukopenia
(penurunan jumlah leukosit).

Gambar : Manifestasi Klinisi Kwashiorkor12

3. Marasmic-Kwashiorkor
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala
campuran antara penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan
sehari-harinya tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk
pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian, disamping
menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal memperlihatkano
gejala-gejala kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan
kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. 7

Gambar : Manifestasi Klinis Marasmic-Kwashiorkor


F. Diagnosis

Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada


kedua kaki atau adanya severe wasing (BB/TB < 70 % atau < -3SD), atau
ada gejala klinis gizi buruk (kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-
kwashiorkor). Walaupun kondisi klinis pada kwashiorkor, marasmus, dan
marasmus kwashiorkor berbeda tetapi tatalaksananya sama.14,15
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta
pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :

 BB/TB < -3 SD atau < 70% dari median (marasmus)


 Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
(kwashiorkor : BB/TB > -3 SD atau marasmus-kwashiorkor: BB/TB
< -3SD)

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis
berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak
mempunyai jaringan lemak di bawah kulit terutama pada kedua bahu,
lengan, pantan dan paha; tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa
adanya edema. 14,15

Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena
mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus.
Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, keciali
jika ditemukan penyakit lain yang berat. 14,15

Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan


fisis. Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis
lanjutan.14,15

a. Anamnesis

Anamnesis awal (untuk kedaruratan):

 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul


 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan
muntah dan diare (encer/darah/lendir)
 Kapan terakhir berkemih
 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.

Anamnesis lanjutan

Dilakukan untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana


selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratna ditangani:

 Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit


 Riwayat pemberian ASI
 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari
terakhir
 Hilangnya nafsu makan
 Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
 Pernah sakit camapat dalam 3 bulang terakhir
 Batuk kronik
 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
 Berat badan lahir
 Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
 Riwayat imunisasi
 Apakah ditimbang setiap bulan
 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
 Diketahi atau tersangka infeksi HIV

b. Pemeriksaan fisik

 Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua


punggung kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-
PB.
 Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati
menentukan status dehidrasi pada gizi buruk)
 Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang
melambat, nadi lemah dan cepat) kesadaran menurun.
 Demam (suku aksilar ≥ 37,50C) atau hipotermi (suhu aksilar <
35,50C)
 Frekuensi dan tipe pernapasan : pneumonia atau gagal jantung
 Sangat pucat
 Pembesaran hati dan ikterus
 Adakah perut kembung, bising usu melemah/meninggi, tanda asites,
atau adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal
splash)
 Tanda defisiensi vitamin A pada mata :

Gambar. Bercak Bitot pada mata

o Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot


o Ulkus kornea
o Keratomalasia
 Ulkus pada mulut
 Fokus infeksi : telinga, tenggorokan, paru, kulit
 Lesi kulit pada kwashiorkor :
o Hipo- atau hiper- pigmentasi
o Deskuamasi
o Ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang
telinga)
o Lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seingkali
dengan infkesi sekunder (termasuk jamur)
 Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir)
 Tanda dan gejala HIV
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :
• Albumin
• Prealbumin
• Transferin
• Kreatinin
• Nitrogen
• Elektrolit
• Hemogolobin
• Hematokrit
d. Analisis diet
Klasifikasi:
a) KEP ringan : > 80-90% BB ideal terhadap TB (WHO-CD
b) KEP sedang : > 70-80% BB ideal terhadap TB (WHO- CDC)
c) KEP berat : >70% BB ideal terhadap TB (WHO-CDC)

Algoritme Diagnosis Gizi Buruk16


G. Penatalaksanaan

a. Pada Saat Masuk Rumah Sakit


 Anak dipisahkan dari pasien infeksi
 Ditempatkan di ruangan yang hangat (25-30oC, bebas dari angina
 Dipantau secara rutin
 Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera
keringkan.

b. Tatalaksana Umum

Penilaian triase anak dengan gizi buruk dilakukan dengan tatalaksana


syok pada anak dengan gizi buruk :

 Lakukan penanganan ini hanya jika ada tanda syok dan anak
letargis atau idak sadar.
 Pastikan anak menderita gizi buruk dan benar-benar menunjukkan
tanda syok.
 Timbang anak untuk menghitung volume cairan yang harus
diberikan
 Pasang infus (dan ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
gawat darurat)
 Masukkan larutan Ringer Laktat dengan dekstrose5% (RLD5%)
atau Ringer Laktat atau Garam Normal – pastikan aliran infus
berjalan lancer. Bila gula darah tinggi maka berikan Ringer Laktat
(tanpa dekstrose) atau Garam Normal.
 Alirkan cairan infus 10ml/kgBB selama 30 menit
 Hitung denyut nadi dan frekuensi napas anak mulai dari pertama
kali pemberian cairan dan setiap 5-10menit

Jika ada perbaikan tapi belum adekuat (denyut nadi melambat,


frekuensi napas anak melambat, dan capillary refill >3 detik):

o Berikan lagi cairan di atas 10 ml/kbBB selama 30 menit


o Nilai kembali setelah volume cairan infus yang sesuai telah
diberikan

Jika ada perbaikan dan sudah adekuat (denyut nadi melambat,


frekuensi napas anak melambat, dan capillary refill < 2 detik):

o Alihkan ke terapi oral atau menggunakan NGT dengan ReSoMal


10ml/kgBB/jam hingga 10 jam
o Mulai berikan anak makanan dengan F-75 (resep formula
modifikasi)

Jika tidak ada perbaikan, lanjutkan dengan pemberian cairan


rumatan 4ml/kgBB/jam dan pertimbangkan penyebab lain selain
hipovolemik
o Transfusi darah 10ml/kgBB selama 1 jam (bila ada perdarahan
nyata yang signifikan dan darah tersedia)
o Bila kondisi stabil rujuk ke rumah sakit dengan kemampuan lebih
tinggi.

Jika kondisi anak menurun selama diberikan cairan infus (napas


anak meningkat 5 kali/menit atau denyut nadi 15 kali/menit),
hentikan infus karena cairan infus dapar memperburuk kondisi
anak. Alihkan ke terapi oral atau menggunakan pipa nasogastrik
dengan ReSoMal, 10 ml/kgBB/jam hingga 10 jam.5

Selama proses triase, semua anak dengan gizi buruk akan


diidentifikasi sebagai anak dengan tanda prioritas, artinya mereka
memerlukan pemeriksaan dan penanganan segera.

Pada saat penilaian triase, akan ditemukan sebagian kecil anak gizi
buruk dengan tanda kegawatdaruratan.
Gambar . Klasifikasi tanda bahaya atau tanda kegawatdaruratan16

Anak dengan marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena


terdapat berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan yang
dilakukan berdasarkan pada ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting, yang
dikelompokkan menjadi 5, yaitu:16

Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi.Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB
bersamaan dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT

Kondisi II
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan
Rencana II, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui
NGT sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
 berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis :
5ml/kgBB setiap pemberian
 catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30
menit

Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana
III, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
 berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis
5ml/kgBB setiap pemberian
 catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera,
yaitu:
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui
NGT sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
 berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai
dengan berat badan (NGT)
 catat nadi, frekuensi nafas

Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare
atau dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, frekuensi nafas

Tatalaksana Gizi Buruk Pada Anak (10 Langkah)17


Langkah dan penatalaksanaan untuk gizi buruk pada anak ( fase pada gizi
buruk):17
1. Mencegah dan mengatasi hipoglikemi (jika kadar gula <54 mg/dL ditandai
dengan suhu tubuh yang sangat rendah, kesadaran menurun, kejang,
lemah, pucat dan keluar keringat dingin)
- Diberikan F75 atau modifikasinya, bila F75 tidak tersedia maka
dapat diberikan larutan glukosa sebanyak 50 ml atau larutan gula
10% diberikan secara per oral atau NGT, F75 dilanjutkan diberikan
setiap 2 jam minimal selama 2 hari. Jika anak masih mendapat
ASI, maka ASI tetap diberikan dan pemberian tidak bersamaan
dengan F75. Jika anak tidak sadar, diberikan larutan glukosa 10%
secara intravena sebanyak 5 ml/kgBB atau larutan glukosa
sebanyak 50 ml diberikan melalui NGT. Berikan antibiotik (untuk
menghindari infeksikarena pada kondisi hipoglikemi rawan terjadi
infeksi, untuk meningkatkan imun tubuh namun jumlahnya tidak
banyak). Lakukan evaluasi setelah 30 menit, jika masih
hipoglikemi maka ulang dari tahap awal.
2. Mencegah dan mengatasi hipotermi(jika suhu <36o C)
- Ruang hangat, tidak ada lubang angin dan bersih, anak diberi
pakaian, tutup kepala, sarung tangan, kaos kaki, jika popok basah
segera diganti, dihangatkan dengan metode kangguru atau didekap
oleh ibu. Dilakukan pengukuran 2 jam sekali sampai suhu naik
36,5o C. Diberi antibiotik.
3. Mencegah dan mengatasi dehidrasi
- Diberikan cairan resomal 70-100 ml/kgBB dalam 12 jam atau mulai
dengan 5 ml/kgBB setiap 30 menit baik secara oral maupun NGT
dalam dua jam pertama. Selanjutnya 5-10 ml/kgBB untuk 4-10 jam
berikutnya, jumlah disesuaikan dengan kondisi pasien. Yang perlu
dimonitoring adalah nadi,berak,muntah,RR (krisnansari,2010)
4. Memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit
- Diberikan kalium dan magnesium yang sudah terkandung dalam
mineral mix. Mineral mix dapat dicampur di F75 atau F100 atau
resomal (saat rehidrasi), dalam menyiapkan makanan tidak perlu
menambahkan garam dapur atau NaCl (WHO,2009)
5. Mengobati infeksi(infeksi ditandai dengan adanya hipoglikemi dan
hipotermi)
- Diberikan antibiotik spektrum luas (jika tidak ada komplikasi
berikan kotrimoksazol sebanyak 25 mg SMZ+5 mg TMP/kgBB
setiap 12 jam selama 5 hari; ada komplikasi berikan ampisilin
sebanyak 50 mg/kgBB secara intravena setiap 6 jam selama 2 hari
dilanjutkan dengan amoksisilin oral 15 mg/kgBB setiap 8 jam
selama 5 hari ditambah gentamisin sebanyak 7,5 mg/kgBB/hari
melalui intravena setiap hariselama 7 hari)
- Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika berumur > 9 bulan dan sudah pernah
diberi vaksin sebelum umur 9 bulan, tunda imunisasi jika anak
syok.
6. Memperbaiki defisiensi zat gizi mikro
- Meskipun pasien dalam kondisi anemia namun tidak diperbolehkan
memberikan zat besi pada fase awal tetapi tunggu sampai anak
memiliki nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat
badannya (pada fase rehabilitasi) karena zat besi dapat
memperparah infeksi
- Berikan multivitamin, asam folat (5mg pada hari pertama dan 1
mg/hari untuk hari berikutnya), seng (2 mg Zn
elemental/kgBB/hari), tembaga (o,3 mg Cu/kgBB/hari), ferosulfat
3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi),
vitamin A (diberikan secara oral pada hari pertama kecuali telah
diberikan sebelum dirujuk)
7. Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi (tahap awal)
- Rendah osmolaritas, rendah laktosa, berikan secara per oral atau
melalui NGT, energi 100 kkal/kgBB/hari, protein 1-1,5
g/kgBB/hari, cairan 130 ml/kgBB/hari. Jika anak masih
mendapatkan ASI, maka tetap diberikan ASI namun perlu
dipastikan F&% juga harus dipenuhi sesuai intervensi
8. Memberikan makanan untuk tumbuh kejar (transisi secara bertahap dari
formula awal F75 ke F100 pada fase transisi)
- Ganti F75 dengan F100 dengan jumlah yang sama dengan F75
diberikan selama 2 hari. Selanjutnya naikkan jumlah F100
sebanyak 10 ml setiap kali pemberian sampai anak tidak mampu
menghabiskannya. Dapat pula menggunakan bubur atau makanan
pendamping ASI yang dimodifikasi sehingga kandungan energi
dan proteinnya sebanding dengan F100. Bila anak masih mendapat
ASI, lanjutkan pemberian ASI namun perlu dipastikan konsumsi
F100 terpenuhi sesuai kebutuhan. Makanan terapeutik siap saji
yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet 92 gram dapat
digunakan untuk fase rehabilitasi.
9. Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang (stimulasi sensorik dan
emosional)
- Mengungkapkan kasih sayang, menciptakan lingkungan yang ceria,
terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit per hari, aktivitas
fisik segera setelah anak cukup sehat dan keterlibatan ibu sesering
mungkin (misalnya menghibur, memberi makan, memandikan,
bermain).
10. Mempersiapkan tindak lanjut dirumah
- Fase
a. Fase stabilisasi: diberikan makanan formula F75 dengan
asupan gizi 80-100 kkal/kgBB/hari dan protein 1-1,5
g/kgBB/hari. ASI tetap diberikan kepada anak yang yang masih
mendapatkan ASI
b. Fase transisi : perubahan pemberian makanan dari F75 menjadi
F100. Diberikan makanan F100 dengan asupan gizi 100-150
kkal/kgBB/hari dan protein 2-3 g/kgBB/hari
c. Fase rehabilitasi: diberikan makanan seperti pada fase transisi
yaitu F100 dnegan penambahan makanan untuk anak dengan
BB<7kg diberikan makanan bayi dan untuk anak dengan BB>7
kg diberikan makanan anak. Asupan gizi 150-220
kkal/kgBB/hari dan protein 4-6 g/kgBB/hari.
d. Fase tindak lanjut: dilakukan dirumah, anak tetap dikontrol
oleh tenaga kesehatan puskesmas pengirim secara berkala
melalui kegiatan posyandu atau kunjungan ke puskesmas. Anak
tetap melakukan kontrol (rawat jalan) pada bulan pertama
1x/hari, bulan ke-2 1x/2 minggu, selanjutnya sebulan sekali
sampai dengan bulan ke-6. Tumbuh kembang anak dipantau
oleh tenaga kesehatan puskesmas pengirim samapi anak
berusia 5 tahun.
Pemulangan dan tindak lanjut14,15
Bila telah tercapai BB/TB > -2SD (setara dengan >80%) dapat dianggap
anak telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak
berperwakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap
dilanjutkan di rumah.
Berikan contoh kepada orang tua:

Menu dan cara membuat makanan kaya energia dan padat dizi serta
frekuensi pemberian makan yang sering.
Sarankan:

Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan

Mengikuti program pemberian vitamin A

a. Pemulangan sebelum sembuh total


Anak-anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi
untuk kambuh. Waktu untuk pemulangan harus mempertimbangkan
manfaat dan faktor risiko.
Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan
perawatan lanjutan melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase
rehabilitasi serta untuk mencegah kekambuhan. Beberapa pertimbangan
agar perawatan di rumah berhasil :
Anak seharusnya :
 Telah menyelesaikan pengobatan antibiotik
 Mempunyai nafsu makan yang baik
 Menunjukkan kenaikan berat badan yang baik
 Edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang
Ibu atau pengasuh seharusnya :
 Mempunyai waktu untuk mengasuh anak
 Memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang
tepat (jenis, jumlah dan frekuensi)
 Mempunyai sumber daya untuk member makan anak. Jika
tidak mungkin, nasihati tentang dukungan yang tersedia.
Penting untuk mempersiapkan orang tua dalam hal perawatan di
rumah. Hal ini mencakup:
 Pemberian makanan seimbang dengan bahan local yang
terjangkau.
 Pemberian maknan minimal 5 kali sehari termasuk
makanan selingan (snacks) tinggi kalori di antara waktu
makan (misalnya susu,pisang,roti, biscuit).
 Bantu dan bujuk anak untuk menghabiskan makanannya.
 Beri anak makanan tersendiri/terpisah, sehingga asupan
makan anak dapat dicek.
 Beri suplemen mikronutrien dan elektrolit.
 ASI diteruskan sebagai tambahan.

b. Tindak lanjut bagi anak yang pulang sebeblum sembuh


Jika anak dipulangkan lebih awal, buatlah rencana untuk tindak
lanjut sampai anak sembuh:
 Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik
kesehatan local untuk melakukan supervise dan pendampingan.
 Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada
kegagalan kenaikan berat badan dalam waktu 2 minggu
berturut-turut atau terjadi penurunan berat badan, anak harus
dirujuk kembali ke rumah sakit. 4,5

H. Pencegahan

Tindakan pencegahan penyakit KEP bertujuan untuk mengurangi


insidensi KEP dan menurunkan angka kematian sebagai akibatnya. Akan
tetapi tujuan yang lebih luas dalam pencegahan KEP ialah memperbaiki
pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak-anak Indonesia
sehingga dapat menghasilkan manusia Indonesia yang dapat bekerja baik
dan memiliki kecerdasan yang cukup. Ada berbagai macam cara intervensi
gizi, masing-masing untuk mengatasi satu atau lebih dari satu faktor dasar
penyebab KEP, yaitu :7
 Meningkatkan hasil produksi pertanian, agar persediaan bahan
makanan menjadi lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan
penghasilan rakyat.
 Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan
tinggi energi untuk anak-anak yang disapih.
 Memperbaiki infrastruktur pemasarna.
 Subsidi harga bahan makanan.
 Pemberian makanan suplementer.
 Pendidikan gizi yang bertujuan untuk mengajarkan rakyat untuk
mengubah kebiasaan mereka dalam menanam bahan makanan dan cara
menghidangkan makanan agar menghasilkan makanan yang bermutu.
 Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan:
o Pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu, misalnya ke
Pusksesmas, Posyandu.
o Melakukan imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi yang
memiliki prevalensi yang tinggi.
o Memperbaikin higienitas lingkungan.
o Mendidik rakyat untuk mengunjungi Puskesmas secepatnya jika
kesehatan terganggu.
o Menganjurkan keluarga berencana.

I. Prognosis
Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan
kematian dari penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit
tersebut, tetapi prognosisnya dapat dikatakan baik apabila malnutrisi
ditangani secara tepat dan cepat. Kematian dapat dihindarkan apabila
dehidrasi berat dan penyakit infeksi kronis lain seperti tuberkulosis atau
hepatitis yang menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari.
Pada anak yang mendapatkan malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal
ini berbanding terbalik dengan psikomotor anak yang mendapat
penanganan malnutrisi lebih cepat menurut umurnya, anak yang lebih
muda saat mendapat perbaikan keadaan gizinya akan cenderung
mendapatkan kesembuhan psikomotornya lebih sempurna dibandingkan
dengan anak yang lebih tua, sekalipun telah mendapatkan penanganan
yang sama. Hanya saja pertumbuhan dan perkembangan anak yang pernah
mengalami kondisi marasmus in cenderung lebih lambat, terutama terlihat
jelas dalam hal pertumbuhan tinggi badan anak dan pertambahanan berat
anak, walaupun jika dilihat secara ratio berat dan tinggi anak berada dalam
batas yang normal.
J. Komplikasi7,18,19

Gizi buruk atau KEP berat memiliki komplikasi-komplikasi yaitu :

 Perkembangan mental
Menurut Winick dan Rosso (1975) bahwa KEP yang diderita pada
masa dini perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA,
dengan akibat terdapatnya otak dengan jumlah sel yang kurang
walaupun besarnya otak normal. Jika KEP terjadi setelah masa divisi
otak berhenti, hambatan sintesis protein akan menghasilkan otak
dengan jumlah sel yang normal namun dengan ukuran yang lebih
kecil. Dari hasil penelitian Karyadi (1975) terhadap 90 anak yang
pernah menderita KEP bahwa terdapat deifisit IQ pada anak-anak
tersebut, deficit tersebut meningkat pada penderita KEP lebih dini.
Didapatkan juga hasil pemeriksaan EEG yang abnormal mencapai 30
persen pada pemeriksaan setelah 5 tahun lalu meningkat hinggal 65
persen pada pemeriksaan ulang 5 tahun setelahnya.

 Noma
Noma atau stomatitis gangrenosa merupakan pembusukan mukosa
mulut yang bersifat prograsif hingga dapat menembus pipi, bibir, dan
dagu, biasanya disertai nekrosis sebagian tulang rahang yang
berdekatan dengan lokasi noma tersebut. Noma merupakan salah satu
penyakit yang menyertai KEP berat akibat imunitas tubuh yang
menurun, noma timbul umumnya pada tipe kwashiorkor.

 Xeroftalmia
Merupakan penyakit penyerta KEP berat yang sering ditemui akibat
defisiensi dari vitamin A umumnya pada tipe kwashiorkor namun
dapat juga terjadi pada marasmus. Penyakit ini perlu diwaspadai pada
penderita KEP berat karena ditakutkan akan mengalami kebutaan.
 Tuberkulosis
Pada anak dengan keadaan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan
kekebalan tubuh yang akan berdampak mudahnya terinfeksi kuman.
Salah satunya adalah mudahnya anak dengan malnutrisi berat
terinfeksi kuman mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan
penyakit tuberkulosis.
 Sirosis hepatis
Sirosis hepatis terjadi karena timbulnya perlemakan dan penimbunan
lemak pada saluran portal hingga seluruh parenkim hepar tertimbun
lemak. Penimbunan lemak ini juga disertai adanya infeksi pada hepar
seperti hepatitis yang menimbulkan penyakit sirosis hepatis pada anak
dengan malnutrisi berat.
 Hipotermia
Hipotermia merupakan komplikasi serius pada malnutrisi berat tipe
marasmus. Hipotermia terjadi karena tubuh tidak menghasilkan energi
yang akan diubah menjadi energi panas sesuai yang dibutuhkan oleh
tubuh. Selain itu lemak subkutan yang tipis bahkan menghilang akan
menyebabkan suhu lingkungan sangat mempengaruhi suhu tubuh
penderita.
 Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat terjadi pada hari-hari pertama perawatan anak
dengan malnutrisi berat. Kadar gula darah yang sangat rendah ini
sangat mempengaruhi tingkat kesadaran anak dengan malnutrisi berat
sehingga dapat membahayakan penderitanya.
 Infeksi traktus urinarius
Infeksi traktus urinarius merupakan infeksi yang sering terjadi pada
anak bergantung kepada tingkat kekebalan tubuh anak. Anak dengan
malnutrisi berat mempunyai daya tahan tubuh yang sangat menurun
sehingga dapat mempermudah terjadinya infeksi tersebut.
 Penurunan kecerdasam
Pada anak dengan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan
perkembangan organ tubuhnya. Organ penting yang paling terkena
pengaruh salah satunya ialah otak. Otak akan terhambat
perkembangannya yang diakibatkan karena kurangnya asupan nutrisi
untuk pembentukan sel-sel neuron otak. Keadaan ini akan berpengaruh
pada kecerdasan seorang anak yang membuat fungsi afektif dan
kognitif menurun, terutama dalam hal daya tangkap, analisa, dan
memori.
 Kematian
Kematian merupakan efek jangka panjang dari KEP berat. Pada
umumnya penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti
tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Tidak
jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit gizi lainnya. Maka dapat
dimengerti mengapa angka mortalitas pada KEP berat tinggi. Daya
tahan tubuh pada penderita KEP berat akan semakin menurun jika
disertai dengan infeksi, sehingga perjalanan penyakit infeksi juga akan
semakin berat.

Referensi :
1. Sheetal A, Hiremath V.K, Patil A.G. Malnutrition and its oral outcome-A
Review. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2013; 7(1): 178-180
2. Syam Fahrial. Malnutrisi. Dalam: Sudojo A, Bambang S, Alwi I,
Simbadibrata M, Setiadi S, Editor. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid 1 Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.;355 – 65
3. Sediaoetama, A. D. 1985. Ilmu Gizi. Jilid 1. Dian Rakyat : Jakarta
4. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics.18th Edition. United States of America : Sunders Elsevier
Inc.2007.
5. Direktorat Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB – Gizi
Buruk. Jakarta: Depkes RI Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. 2008
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI,
2008.
7. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi
Klinis pada Anak. Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Univesitas
Indonesia. Jakarta. 2005 : 95-137.
8. Barnes Lewis, Curran John. Nutrisi. Dalam: Wahab S, editor. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak jilid 1 Edisi 15. Jakarta: EGC. 2000;179 – 232
9. Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit, Edisi . Jakarta : EGC
10. Anggraeny O , Dianovita C , Putri EN , dkk. Korelasi Pemberian Diet
Rendah Protein Terhadap Status Protein, Imunitas, Hemoglobin, dan
Nafsu Makan Tikus Wistar Jantan. Indonesian Journal of Human
Nutrition. Desember 2016 : 3 (2) : 105 – 122
11. Meadow R, Newell S. Lecture Notes Pediatrika Edisi 7. Jakarta :
Erlangga. 2005. Hal 87-88
12. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 9.
Philadelphia : Elsevier saunders. 2013. Hal 294
13. David H, Johnston DI. Dasar-Dasar Pediatrik Edisi 3. Yusna D, Hartanto
H, editors. J. Jakarta : EGC. 2008. Hal. 88
14. Departement of Child and Adolescent Health and Development.
Management of the Child with Serious Infection or Severe Malnutrition :
Guidelines for Care at the First-Refferal Level in Developing
Countries.United States of America : World Health Organization. 2000.
Hal : 80-91\
15. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku : Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit, Pedoman Bagi Rumah Sakit Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. Jakarta : Departemen Kesehatan dan WHO. 2009. Hal :
193-22
16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2011
17. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Petunjuk
Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2011.
18. Rudolph CD, AM. Rudolph. Marasmus in Rudolph’s Pediatrics. 2005;
1336-1350.
19. Rosli AW, Rauf S, Lisal JS, Albar H. Relationship Between Protein
Energy Malnutrition and Social Maturity in Children Aged 1-2 Years in
Paediatrica Indonesia, 42th volume, Desember, 2012.

Anda mungkin juga menyukai