MAKALAH
“ASUHAN KEPERAWATAN SYNCOPE”
Disusun Oleh :
Kelompok 1
PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
2018
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puja dan Puji Syukur tercurahkan kepada Allah SWT karena
atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga atas izin dan kuasaNya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah dengan judul ”Asuhan Keperawatan Syncope” ini
dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Kegawat Daruratan Sistem 1 program studi ilmu keperawatan. Penyusunan makalah
terlaksana dengan baik berkat dukungan dari banyak pihak. Untuk itu, pada
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang bersangkutan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi serebral
global transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi yang pendek, dan
pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan penurunan aliran darah ke
sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada batang otak dan tidak membutuhkan
terapi listrik atau kimia untuk kembali normal (Wisten A, dkk., 2002).
Sinkop sering terjadi pada orang dewasa, insiden sinkop meningkat dengan
meningkatnya umur. Hamilton mendapatkan sinkop sering pada umur 15-19
tahun, lebih sering pada wanita daripada laki-laki, sedangkan pada penelitian
Framingham mendapatkan kejadian sinkop 3% pada laki-laki dan 3,5% pada
wanita, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Penelitian Framingham di
Amerika Serikat tentang kejadian sinkop dari tahun 1971 sampai 1998 (selama 17
tahun) pada 7814 individu, bahwa insiden sinkop pertama kali terjadi 6,2/1000
orang/tahun. Sinkop yang paling sering terjadi adalah sinkop vasovagal (21,1%),
sinkop kardiak (9,5%) dan 36,6% sinkop yang tidak diketahui penyebabnya
(Calkins HG, 2015).
Sinkop adalah masalah klinis penting karena merupakan hal yang umum,
mahal, dan seringkali mengganggu. Hal ini dapat menyebabkan cedera dan
mungkin merupakan satu-satunya tanda bahaya sebelum terjadinya Sudden
Cardiac Death (SCD) (Moya A, dkk., 2009).
Wisten dkk (2002) melaporkan bahwa 25% dari 162 korban SCD berusia 15-
35 tahun awalnya mengalami sinkop atau presinkop. Pasien dengan sinkop yang
menjalani perawatan di rumah sakit berjumlah 1% dan 3% menjalani perawatan di
unit gawat darurat. Beberapa survei melaporkan bahwa hingga 50% orang pada
usia dewasa muda pernah mengalami episode kehilangan kesadaran.
Kebanyakan dari episode ini terisolasi dan tidak pernah mendapat perhatian
medis.
Gambaran kasus di atas menunjukkan pentingnya penyakit ini yang belum
mendapat perhatian mengenai besarnya resiko seseorang mengalami syncope.
Maka dari itu, kami akan membahas mengenai syncope dalam makalah ini dan
berusaha mengurangi resiko lebih lanjut dari syncope dengan meningkatkan
asuhan keperawatan.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Syncope?
2. Apa klasifikasi Syncope?
3. Apa etiologi Syncope?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari Syncope?
5. Bagaimana patofisiologi dari Syncope?
6. Bagaimana WOC dari Syncope?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari Syncope?
8. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Syncope?
9. Bagaimana komplikasi dari Syncope?
10. Bagaimana asuhan keperawatan kegawatdaruratan Syncope pada pasien
hipotensi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa definisi dari Syncope.
2. Untuk mengetahui apa klasifikasi Syncope.
3. Untuk mengetahui apa etiologi Syncope.
4. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari Syncope.
5. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari Syncope.
6. Untuk mengetahui bagaimana WOC dari Syncope.
7. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari Syncope.
8. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan penunjang dari Syncope.
9. Untuk mengetahui bagaimana komplikasi dari Syncope.
10. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan kegawatdaruratan
Syncope pada pasien hipotensi.
D. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Dalam penyusunan makalah ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam memperkaya wawasan bagi dunia pendidikan khususnya dunia
pendidikan ilmu keperawatan dan sebagai sumber informasi dalam menjawab
permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran.
2. Manfaat praktis
1) Bagi mahasiswa
2
Dapat menambah wawasan ilmu bagi mahasiswa yang lain, dan dapat
menambah pertimbangan referensi.
2) Bagi insititusi
Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan yang ada, termasuk para pendidik yang ada di
dalamnya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Syncope
Sinkop berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata syn dan koptein,
yang artinya memutuskan. Sehingga definisi sinkop (menurut European Society of
Cardiology: ESC), adalah suatu gejala dengan karakteristik klinik kehilangan
kesadaran yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dengan konsekuensi terjadi
pemulihan spontan. Onsetnya relatif cepat dan terjadi pemulihan spontan.
Kehilangan kesadaran tersebut terjadi akibat penurunan aliran darah ke system
aktivasi reticular yang berlokasi di batang otak, dan akan membaik tanpa
membutuhkan terapi kimiawi maupun elektrik (Sudoyo, Setyohadi, & Simadibrata,
2007).
Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi serebral
global transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi yang pendek, dan
pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan penurunan aliran darah ke
sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada batang otak dan tidak membutuhkan
terapi listrik atau kimia untuk kembali normal (Wisten A, dkk., 2002).
Syncope atau yang biasa dikenal dengan istilah pingsan merupakan kondisi
dimana terjadi penurunan bahkan kehilangan kesadaran yang terjadi secara tiba-
tiba dan bersifat sementara yang disebabkan oleh aliran darah di otak yang tidak
tercukupi. Hal ini disebabkan karena terjadinya vasodilatasi dan bradikardi secara
mendadak sehingga menimbulkan hipotensi.Onset dari syncope ini cepat, durasi
singkat, dan pemulihan terjadi secara spontan dan sempurna. Penyebab lain
kehilangan kesadaran yang perlu dibedakan dari syncope yaitu kejang, iskemik
vertebrobasilar, hipoksemia, dan hipoglikemia (Longo, 2012).
B. Klasifikasi Syncope
Menurut Moya A, dkk.,( 2009) klasifikasi Syncope meliputi :
4
Syncope refleks (Neurally-mediated syncope) Vasovagal : - Dimediasi stress
emosional: rasa takut, nyeri, instrumentasi, fobia darah - Dimediasi stress
ortostatik Situasional - Batuk, bersin - Stimulasi gastrointestinal (menelan,
defekasi, nyeri viseral) - Miksi/pasca miksi - Pasca latihan - Postprandial -
Lainnya (contohnya tertawa, memainkan alat musik tiup, angkat beban) Sinkop
Sinus Karotid Bentuk Atipikal (Tanpa pemicu yang tampak dan/atau manifestasi
klinis yang atipikal)
C. Etiologi Syncope
Faktor yang dapat memicu terjadinya syncope dibagi menjadi 2 yaitu: faktor
psikogenik (rasa takut, tegang, stres emosional, rasa nyeri hebat yang terjadi
secara tiba2 dan tidak terduga dan rasa ngeri melihat darah atau peralatan
kedokteran seperti jarum suntik) dan Faktor non psikogenik (posisi duduk tegak,
rasa lapar, kondisi fisik yang jelek, dan lingkungan yang panas, lembab dan padat)
(Rasjidi, 2009).
5
Adapun penyebab syncope paling sering dibedakan menjadi beberapa bagian
diantaranya yaitu (Rasjidi, 2009):
2. Persyarafan
a) Vasovagal syncope
Di dalam tubuh manusia terdapat system reflek pada saraf yang secara
tidak sadar reflek saraf ini bisa menyebabkan penurunan tekanan darah
mendadak. Vasovagal syncope akibat dari tindakan saraf vagus yang
kemudian akan mengirim sinyal ke jantung kemudian memperlambat
denyut jantung sehingga seseorang pingsan. Vasovagal syncope ini
biasanya dipicu oleh rasa takut, nyeri, cedera, kelelahan dan berdiri terlalu
lama. Situasi-situasi lain umumnya menyebabkan denyut jantung untuk
sementara melambat dan menyebabkan pingsan seperti mengejan, batuk,
bersin (Ocupational syncope) yang dapat menyebabkan vagal response.
b) Sinus Karotis
Sinus Karotis merupakan bagian dari pembuluh darah leher yang sangat
sensitif terhadap perubahan fisik dan regangan pembuluh darah pada
daerah tersebut. Karena terlalu sensitif, maka hal ini akan mengakibatkan
6
pengiriman impuls pada saraf pusat sehingga menstimulasi system saraf
yang membuat kehilangan kesadaran.
7
Hal ini dikarenakan perubahan konsentrasi cairan dalam tubuh dan juga
secara langsung mempengaruhi tekanan darah dalam tubuh.
c) Anemia
Anemia adalah suatu kondisi kurangnya sel darah merah (eritrosit) lebih
spesifiknya adalah hemoglobin (Hb). Hal ini menyebabkan kurangnya
jumlah oksigen mencapai otak yang menyebabkan pingsan, dikarenakan
Hb tersebut adalah alat transportasi oksigen untuk sampai di sel dalam
hal ini sel-sel yang ada di otak.
5. Penyebab lain
a) Kehamilan
Hal ini disebabkan oleh tekanan dari inferior vena cava (vena besar yang
mengembalikan darah ke jantung) oleh kandungan yang membesar dan
oleh orthostatic hypotension.
b) Obat-obatan
Obat-obat lain mungkin juga penyebab yang berpotensi dari pingsan atau
syncope termasuk yang untuk tekanan darah tinggi yang dapat
melebarkan pembuluh-pembuluh darah, antidepressants yang dapat
mempengaruhi aktivitas elektrik jantung, dan yang mempengaruhi
keadaan mental seperti obat-obat nyeri, alkohol, dan kokain.
E. Patofisiologi Syncope
Syncope merupakan konsekuensi dari hipopefusi serebral secara global dan
dengan demikian merupakan suatu kegagalan mekanisme autoregulasi aliran
darah otak. Adapun faktor yang bertanggung jawab atau autoregulasi dari aliran
darah otakantara lain faktor myogenik, metabolit lokal, serta kontrol
neurovaskular otonom. Dalam keadaan normal, rentang aliran darah otak sekitar
50-60 ml/menit per 100gram jaringan otak dan tetap relatif konstan selama
tekanan perfusi mulai 50-150mmHg.
8
Jika terjadi penghentian aliran darah selama 6-8 menit maka akan
menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan penurunan kesadaran akan terjadi
saat aliran darah menurun sampai 25 ml/menit per 100 gram jaringan otak. Dari
sudut pandang klinis, penurunan tekanan darah sistolik sistemik dibawah50
mmHg akan menyebabkan syncope. Penurunan kardiak output dan atau
resistansi vaskuar sistemik (faktor penentu tekanan darah) merupaka hal
yangmendasarai patofisiologi dari syncope.
Beberapa penyebab umum terjadinya gangguan curah jantung yaitu
penurunan efektif volum darah yang bersirkulasi,peningkatan tekanan dada,
emboli paru masif, bradikardi dan tachyaritmia, penyakit katup jantung, dan
disfungsi miokardia. Dalam posisi berdiri memberikan beban stres fisiologis
yang unik pada manusia. Posisi ini dapat dikatakan membebankan karena pada
posisi berdiri akanterjadi penumpukan sekitar 500-1000 ml darah pada ekstremitas
bawah dan sirkulasi splanknikus.
Oleh karena hal inilah, umumnya periode syncope sering terjadi padasaat
berdiri. Pada saat terjadi penumpukan aliran darah pada ekstremitas bawah, akan
terjadi penurunan aliran balik vena ke jantung dan mengurangi pula pengisian
ventrikel sehingga menyebabkan curah jantung dan tekanan darah berkurang.
Perubahan hemodinamik yang terjadi dapat memicu refleks kompensasi yang
diprakarsai oleh baroreseptor di sinus karotis dan arkus aorta,
sehingga menghasilkan peningkatan aliran simpatis dan penurunan aktivitas
nervus vagus. Refleks kompensasi ini membuat peningkatan resistensi
perifer, aliran darah darivena kembali ke jantung dan kardiak output, sehingga
dapat membatasi penurunan tekanan darah. Namun, jika respon kompensasi ini
gagal maka hipoperfusi serebral akan terjadi, seperti pada neurally mediated
syncope dan orthostatic hypotension (Hammer, 2010).
9
F. WOC Syncope
sesak
Volume darah
yang dipompa ke
MK: Pola otak berkurang
nafas tidak
efektif
10
Syncope
Hipoksia MK :
Gangguan perfusi
jaringan perifer
11
G. Penatalaksanaan Syncope
1. Prinsip Umum Penangan Sinkop
( Menurut Moya A, Sutton R, Ammirati F, et al. 2009), tujuan utama
terapi pasien dengan sinkop adalah untuk memperpanjang harapan hidup,
membatasi cedera fisik dan mencegah rekurensi. Kepentingan dan prioritas
sasaran yang berbeda ini bergantung pada penyebab sinkop. Contohnya,
pada pasien dengan VT sebagai penyebab sinkop, resiko mortalitas jelas
dominan, sementara manajemen pasien dengan sinkop refleks ditujukan
untuk mencegah rekurensi dan/atau membatasi cedera.
Kerangka terapi secara umum didasarkan pada stratifikasi resiko dan
identifikasi mekanisme spesifik bila memungkinkan sebagaimana terangkum
dalam gambar.
12
(seperti lingkungan yang ramai dan panas, deplesi volume), pengenalan awal
terhadap gejala prodromal dan melakukan manuver untuk mencegah episode
(seperti posisi telentang, physical counterpressure manoeuvres (PCM)).
Penting untuk menghindari obat yang dapat menurunkan tekanan darah
(termasuk α bloker, diuretik dan alkohol) (Moya A, dkk., 2009).
a) Physical Counter Pressure Manoeuvres (PCM)
Terapi ‘fisik’ non farmakologi muncul sebagai terapi terdepan dalam
penanganan sinkop refleks. Dua trial klinis memperlihatkan bahwa PCM
isometrik pada betis (menyilangkan betis) atau lengan (genggaman
tangan dan menegangkan lengan), dapat menginduksi peningkatan
tekanan darah yang signifikan selama fase impending sinkop refleks yang
membuat pasien mampu mencegah atau menghambat kehilangan
kesadaran pada banyak kasus.
Tes tilt table dapat digunakan untuk mengajari pasien guna
mengenali gejala prodromal awal. Semua pasien harus dilatih untuk
melakukan PCM, khususnya pada pasien muda, gejala yang berat, dan
memiliki motivasi yang baik. Meskipun bukti efektivitasnya yang rendah,
tindakan ini cukup aman (Moya A, dkk., 2009).
b) Tilt Training
Pada pasien usia muda dengan motivasi tinggi dengan gejala
vasovagal rekuren dipicu stres ortostatik, latihan untuk memperpanjang
periode penguatan posisi berdiri (disebut tilt training) dapat menurunkan
rekurensi sinkop.
Meskipun demikian, metode ini terhambat oleh komplians pasien
yang rendah untuk melanjutkan program latihan dalam jangka panjang,
dan pada empat penelitian acak terkontrol gagal mengonfirmasi
efektivitas jangka pendek tilt training untuk mereduksi angka respon positif
pada tilt testing (Moya A, dkk., 2009).
c) Terapi Farmakologi
Banyak obat telah diteliti untuk terapi sinkop refleks, kebanyakan
dengan hasil yang mengecewakan. Obat-obatan ini termasuk β bloker,
dysopiramid, scopolamin, teofilin, efedrin, etilefrin, midodrine, clonidin,
dan serotonin reuptake inhibitor.
Karena adanya gangguan untuk mencapai vasokonstriksi yang
sesuai pada kondisi sinkop refleks, vasokonstriktor α agonis (etilefrin dan
13
midodrine) telah digunakan. Secara keseluruhan, data-data penelitian
mengarahkan bahwa terapi farmakologi kronik menggunakan α agonis
semata mungkin hanya sedikit dapat digunakan pada sinkop refleks, dan
penggunaan jangka panjang tidak dapat disarankan untuk gejala yang
muncul sesekali. Meskipun belum ada bukti, dosis tunggal yang self
administered, contohnya satu dosis sebelum akan memulai aktivitas yang
memerlukan berdiri dalam jangka waktu lama yang biasanya akan
memicu sinkop (dikenal sebagai strategi ‘pil dalam saku’) mungkin
berguna untuk pasien tertentu sebagai tambahan edukasi gaya hidup dan
PCM.
Fludrocortison menunjukkan manfaat yang kurang efektif pada
penelitian ganda tersamar acak pada anak. Fludrocortison telah
digunakan secara luas pada dewasa dengan sinkop refleks, namun belum
ada bukti penelitian yang mendukung hal ini.
β bloker pada sinkop refleks pernah dianggap dapat mengurangi
derajat aktivasi mekanoreseptor ventrikel karena efek inotropik negatifnya.
Teori ini tidak didukung oleh trial klinis. Penggunaan rasional β bloker
pada bentuk lain sinkop dimediasi neural relatif kurang. Obat ini dapat
meningkatkan bradikardi pada CSS. β bloker gagal memperlihatkan
efektivitasnya pada 5 dari 6 studi penelitian jangka panjang.
Paroxetine nampaknya efektif pada sebuah trial plasebo terkontrol,
yang memasukkan pasien-pasien dengan gejala berat pada sebuah
institusi. Namun, hal ini tidak didukung oleh studi-studi lainnya. Paroxetine
dapat mengurangi ansietas, yang dapat mencetuskan serangan.
Paroxetine adalah obat psikotropik yang membutuhkan perhatian pada
penggunaannya oleh pasien tanpa penyakit psikiatri berat (Moya A, dkk.,
2009).
d) P acu jantung
Pemasangan pacu jantung untuk sinkop refleks didasarkan pada
respon pada tilt testing. Pacu jantung mungkin berguna pada komponen
kardioinhibitor pada refleks vasovagal, namun tidak memiliki efek pada
komponen vasodepresor yang seringkali dominan. Karenanya, pacu
jantung hanya memiliki peran terbatas pada terapi sinkop refleks, kecuali
bradikardi spontan yang berat terdeteksi selama monitoring
berkepanjangan (Moya A, dkk.,2009).
14
3. Manajemen Hipotensi Ortostatik dan Sindrom Intoleransi Ortostatik
Prinsip strategi terapi pada ANF diinduksi obat adalah mengeleminasi agen
penyebab. Ekspansi volume ekstraselular adalah sasaran penting. Bila tidak
ada hipertensi, pasien harus diinstruksikan untuk mengonsumsi garam dan
cairan yang cukup, dengan target 2-3 liter air per hari dan 10 gram NaCl.
Tidur dengan elevasi kepala (10º) mencegah poliuria nokturnal, menjaga
distribusi cairan tubuh yang baik, dan memperbaiki hipertensi nokturna.
Pooling vena gravitasional pada pada pasien lansia dapat diterapi dengan
abdominal binders atau compression stocking.
PCM seperti menyilangkan betis dan berjongkok dapat dilakukan oleh pasien
yang memiliki gejala peringatan.
Berbeda dengan sinkop refleks, penggunaan α agonis, midodrine, dapat
diberikan sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan kronik ANF. Obat
ini tidak dapat dianggap sebagai penyembuh dan tidak pula dapat memberi
manfaat pada semua pasien, namun obat ini dapat sangat berguna pada
beberapa orang (Moya A, dkk., 2009).
15
Eliminasi obat-obatan yang dapat mengeksaserbasi atau menutupi
kerentanan terhadap bradikardia adalah elemen penting dalam mencegah
rekurensi sinkop. Meskipun demikian, bila obat pengganti tidak tersedia,
pacu jantung mungkin dibutuhkan. Teknik ablasi jantung perkutaneus
untuk mengontrol atrial takiaritmia menjadi semakin penting pada pasien
tertentu dengan bentuk bradikardia-takikardia pada sick sinus syndrome,
namun jarang digunakan secara primer untuk mencegah sinkop.
b) Penyakit Konduksi Sistem Atrioventrikular
Pacu jantung merupakan terapi sinkop terkait blok AV simtomatik.
Pacu Biventrikular harus dipertimbangkan pada pasien dengan indikasi
pemasangan pacu jantung akibat blok AV dan penurunan LVEF, gagal
jantung dan perpanjangan durasi QRS.
c) Supraventrikular Takikardi Paroksismal dan Ventrikel Takikardi
Pada pasien dengan AV nodal reciprocating tachycardia
paroksismal, AV reciprocating tachycardia, atau atrial flutter tipikal
berkaitan dengan sinkop, ablasi kateter adalah pilihan pertama. Pada
pasien tersebut, pemberian obat-obatan terbatas untuk menjembatani
ablasi atau bila ablasi gagal. Pada pasien dengan sinkop berkaitan
dengan fibrilasi atrial atau left atrial flutter atipikal, keputusan harus
didasarkan pada tiap individu.
Sinkop akibat Torsade de Pointes tidak jarang ditemukan dan
aritmia ini dapat disebabkan obat-obat yang memperpanjang QT
interval. Terapinya adalah menghentikan obat yang dicurigai. Kateter
ablasi atau terapi farmakologi harus dipikirkan pada pasien dengan
sinkop akibat VT pada kondisi jantung normal, atau penyakit struktural
dengan disfungsi ringan pada jantung.
ICD diindikasikan pada pasien dengan sinkop dan penurunan fungsi
jantung serta VT atau fibrilasi tanpa penyebab yang dapat dikoreksi.
Meskipun pada pasien ini ICD biasanya tidak mencegah rekurensi
sinkop, alat ini direkomendasikan untuk menurunkan resiko SCD.
d) Sinkop Sekunder Akibat Penyakit Struktural Jantung atau Penyakit
Kardiovaskular
16
sinkop, namun juga terapi pada penyakit yang mendasari dan
menurunkan resiko SCD (Moya A, dkk., 2009).
I. Komplikasi Syncope
Mengidentifikasi dampak syncope jika tidak segera ditangani :
1) Penurunan sirkulasi.
Hasil penelitian mengatakan bahwa penurunan sirkulasi meliputi kondisi
shock dan gangguan sirkulasi. Berdasarkan penelitian guru mengatakan
bahwa jika siswa yang mengalami pingsan tidak segera ditangani maka gejala
17
shocknya akan muncul karena sirkulasi darah dan oksigen ke otak kurang
maximal.
Menurut Iskandar (2011), shock adalah keadaan dimana tidak cukup
cairan dalam pembuluh darah, sehingga pasokan oksigen dan peredaran
darah ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal tidak cukup. Shock ialah
suatu keadaan dimana sistem peredaran darah terganggu sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi dan oksigen yang terdapat
didalam darah. Tubuh yang kekurangan darah maka alat-alat vital organ tubuh
akan kehilangan cairan dan zat-zat yang diperlukanya. Hal itu mengakibatkan
fungsi alat-alat vital itu pun terganggu sehingga terjadi shock (Iskandar, 2011).
Shock adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik
dan metabolic dengan ditandai kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi dan oksigen yang adekuat ke organ-organ vital tubuh
akibat gangguan hemostasis tubuh yang serius (Hardisman, 2014).
Menurut WHO (2003) gangguan sirkulasi darah adalah gangguan
kelancaran peredaran darah yang dapat diakibatkan oleh gangguan pada
jantung dan pembuluh darah di seluruh tubuh, termasuk arteri yang menuju ke
otak. Oksigen (O2) adalah salah satu komponen gas dan unsur vital dalam
proses metabolisme. Oksigen memegang peranan penting dalam semua
proses tubuh secara fungsional, tidak adanya oksigen akan menyebabkan
tubuh secara fungsional mengalami kemunduran atau bahkan dapat
menimbulkan kematian. Oleh karena itu, kebutuhan oksigen merupakan
kebutuhan yang paling utama dan sangat vital bagi tubuh (Fatwa, 2009).
Berdasarkan pernyataan mengenai penurunan sirkulasi yang
diungkapkan dari partisipan sesuai dengan pernyataan yang telah ada pada
teori yaitu penurunan sirkulasi merupakan penurunan suplai darah dan
oksigen ke otak kurang maximal yang dapat mengakibatkan gejala shock.
18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Study Kasus
Ny. Y berusia 65 tahun bertempat tinggal di mojoroto kota kediri pekerjaan
sebagai IRT (ibu rumah tangga ) pada saat menjelang idul fitri datang yang kurang
sebentar lagi Ny. Y bersih-bersih rumah dari pagi sampai siang hari padahal Ny.
Y kondisinya sedang berpuasa tiba-tiba secara tidak sadar Ny. Y merasakan
sesak, jantung berdebar, badannya lemas, kepalanya pusing, pandangan buram ,
lalu pingsan. Kemudian suami Ny. Y mengantarkan ke Rumah sakit, dari
pengkajian yang dilakukan tim medis TTV ( TD: 80 / 60 mmhg, suhu : 360 𝐶, RR:
30 kali/mnt, nadi: 90 kali/ mnt) diketahui bahwa Ny. Y terlalu kecapekan saat
beraktivitas sehingga sesak, badannya lemas,pusing, jantung berdebar, nyeri
dada, keringat dingin akhirnya pingsan dari riwayat yang didapatkan ternyata Ny
Y. Memiliki riwayat penyakit jantung, 3 hari sebelumnya Ny. Y juga merasakan hal
yang sama dengan yang dirasakan sekarang dokter mendignosa Ny. Y menderita
penyakit cardiak arrest, data penunjang lainnya alergi (-),anemis (-), ikterus (-),
bibir sianosis (-),Thoraks : simetris kiri dan kanan, pupil isokor (+) reflek cahaya
(+), GCS = 3.
Dari hasil laboratorium didapatkan Hb : 15,9 g/dl Hct : 48%, Eritrosit : 5.5,
Leukosit : 13.0, Trombosit : 348 x 103 /mm3 , Ureum : 26 mg/dl, Kreatinin : 0,41
mg/dl Natrium : 137 mmol/1, Kalium : 4.7 mmol/l.
Hasil EKG
19
Irama : sinus
HR : 131x/menit
Regularitas : reguler
20
ASKEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
TRIAGE P1 P2 P3 P4
P2
GENERAL IMPRESSION
Keluhan Utama :
Sesak
Mekanisme Sakit :
Ny. Y kondisinya sedang berpuasa tiba-tiba secara tidak sadar Ny. Y merasakan sesak
jantung berdebar, badannya lemas, kepalanya pusing, pandangan kabur lalu pingsan.
Diketahui bahwa Ny Y. Memiliki riwayat penyakit jantung yaitu cardiak arrest
Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) : ѵ Baik Tidak Baik, ... ... ...
Diagnosa Keperawatan:
AIRWAY
1. Tidak ada
PRIMER SURVEY
21
Suara Nafas : Snoring Gurgling 3. … Tidak ada
Stridor N/A
4. … Tidak ada
Keluhan Lain: ... ..tidak ada.
5. … Tidak ada
Evaluasi :
Tidak ada
Diagnosa Keperawatan:
Evaluasi :
22
S: -
O:
1. S:37°C,TD:110/90mmHg N:88x/m
RR:24x/m teratur
2. Sesak tampak berkurang,tidak
seperti sebelumnya
3. Pasien rileks
4. Tidak sianosis
5. Pasien tenang
Diagnosa Keperawatan :
23
Evaluasi :
S:-
O:
Td : 110/90 mmHg
Rr : 24 x/menit
S : 37oC
N : 88 x/menit
A : sebagian teratasi
1) Ketidakefektifan perfusi
PRIMER SURVEY
24
Medriasis kesimetrisan dan reaksi pupil
O:
N: 88x/mnt
Implementasi 2 :
1. Observasi KU/GCS
2. Memantai ttv
3. Observasi respon pupil
4. Pantau adanya peningkatan TIK
5. Posisikan kepala lebih tinggi 30-
45˚
Evaluasi:
S: -
O:
1. keadaan umum somnolens
2. ttv (TD: 110/90 mmhg, RR:
24x/mnt,N: 88x/mnt, S: 37˚C
3. respon pupil isokor
4. GCS total 6 (E 2, V 2, M 2)
25
A: Masalah teratasi sebagian
Diagnosa Keperawatan: -
EXPOSURE
Deformitas : Ya ѵ Tidak
Penetrasi : Ya ѵ Tidak
Laserasi : Ya ѵ Tidak
Tidak ada
Diagnosa Keperawatan:
ANAMNESA
SECONDARY SURVEY
1.
Tidak ada
Alergi :
Tidak ada
Medikasi : Evaluasi :
26
Tidak ada
Tidak ada
Penyakit jantung
Even/Peristiwa Penyebab:
Tanda Vital :
SECONDARY SURVEY
BP : 110/90mmHg
N : 88 x/menit
S: 37,oC
RR : 24x/menit
Bibir :
27
Dada: Evaluasi :
Abdomen:
Pelvis:
Ektremitas Atas/Bawah:
Inspeksi :
Palpasi :
Punggung :
Neurologis :
28
Tidak ada
Hasil :
Evaluasi :
Tidak ada
Keterangan :-
29
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi serebral
global transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi yang pendek, dan
pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan penurunan aliran darah ke
sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada batang otak dan tidak membutuhkan
terapi listrik atau kimia untuk kembali normal.
B. Saran
. Diperlukan diagnosis yang tepat tentang penyebab sinkop agar
penatalaksanaan lebih optimal, sehingga angka kematian dapat diturunkan.
30
DAFTAR PUSTAKA
Calkins HG and Zipes DP. Hypotension and Syncope. In: Braunwald's Heart Disease A
Textbook of Cardiovascular Medicine 9th Ed. Elsevier 2015;40:1032-
1042.
Iskandar. 2011. Pedoman Pertolongan Pertama yang Harus Dilakukan Saat Gawat
dan Darurat Medis. Yogyakarta: Mitra Setia
Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS. 2012. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi ke-18. United States: McGraw-Hill Professional.
Rasjidi K, Nasution SA. 2009. Sinkop. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS,
Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 5. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sudoyo, A. R., Setyohadi, B., & Simadibrata, M. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam:
Trombosis Vena Dalam Dan Emboli Paru Jilid II Edisi IV. Jakarta: FKUI.
31