Disusun Oleh :
Kelompok 1
PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
2018
i
TUGAS
Pertanyaan :
Bagaimana sebaiknya tindakan yang dilakukan kepada pasien di IGD, apakah
kita mendapatkan informed consent terlebih dahulu ataukah kita menolong
pasien terlebih dahulu ?
1
PEMBAHASAN
2
oleh keluarga atau pasien setelah diberikan penjelasan oleh dokter yang akan
melakukan tindakan.
Jika kita dihadapkan dengan kasus yang sering terjadi di Unit Gawat Darurat
(UGD) yakni banyak pasien yang tiba dalam kondisi tidak sadar dan tanpa
keluarga yang mengantar. Hal ini tentunya membuat tenaga medis kebingungan
dalam mengambil keputusan tentang hal mana yang harus didahulukan, apakah
mendahulukan informed consent sebagai pelindung hukum dalam praktik
keperawatan, padahal pasien dalam kondisi terancam nyawanya, ataukah
menolong pasien terlebih dahulu dan untuk sementara menyampingkan informed
consent.
Berdasarkan asumsi medik maupun hukum, situasi gawat dan darurat
menimbulkan kewajiban hukum bagi yang terkait dalam hal rumah sakit maupun
dokter untuk memberikan pertolongan terutama dalam rangka menyelamatkan jiwa
seseorang yang sedang terancam. Kewajiban moral dan ikatan dari etika profesi
untuk menyelamatkan setiap jiwa mengharuskan dan sebenarnya memberikan
alasan bagi seorang dokter/rumah sakit untuk bertindak tanpa informed consent
(Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran, 2012 dikutip dari Wagiu, dkk., 2015)
Menurut FKUI, persetujuan tindakan medis (informed consent) dapat
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu Implied Consent dan Expressed Consent. Implied
Consent merupakan persetujuan yang dianggap telah diberikan walaupun tanpa
pernyataan resmi, yaitu pada keadaan biasa dan pada keadaan darurat atau
emergency. Pada keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa pasien, tindakan
menyelamatkan kehidupan (life saving) tidak memerlukan Informed Consent.
Expressed Consent merupakan persetujuan tindakan medis yang diberikan secara
eksplisit, baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written) (FKUI, 2007).
Dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak
diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah
memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan (Kawi, dkk.,
2017).
Menurut FKUI berpedoman pada Permenkes No. 585 tahun 1989 mengenai
Persetujuan Tindakan Medik, maka yang berhak memberikan persetujuan atau
menandatangani perjanjian adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun atau
sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Sedapat mungkin persetujuan
tindakan medik ditandatangani sendiri oleh pasien. Namun dalam praktek di
lapangan persetujuan tindakan medik lebih sering ditandatangani oleh keluarga
3
pasien. Hal ini berkaitan dengan kesiapan mental pasien untuk menjalani tindakan
medik maupun untuk menandatangani persetujuan tindakan medis tersebut. Untuk
pasien di bawah umur 21 tahun dan pasien dengan gangguan jiwa maka yang
menandatangani persetujuan tindakan medis adalah orang tua atau keluarga
terdekat atau walinya. Untuk pasien yang tidak sadar, pingsan atau tidak didampingi
oleh keluarga terdekat dan secara medis dalam keadaan gawat darurat dan perlu
dilakukan tindakan segera atau yang bersifat menyelamatkan kehidupan tidak
diperlukan persetujuan (Kawi, dkk., 2017).
Dalam penelitian Wagiu, C., dkk (2015) di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof.
Dr. R.D. Kandou Manado informed consent tetap ada pada saat pasien datang ke
Instalasi Gawat Darurat dokter triase akan menilai apakah pasien ini termasuk true
emergency atau false emergency, bila pasien dalam keadaan true emergency atau
bisa dikatakan membutuhkan tindakan segera maka persetujuan dimintakan secara
lisan terlebih dahulu, baru setelah selesai tindakan dokter akan memintakan tanda
tangan pada lembar informed consent. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ardany (2014) di Madiun, yang menyimpulkan bahwa pada setiap
tindakan medis seorang dokter wajib melaksanakan informed cosent terlebih dahulu,
namun dalam keadaan gawat darurat dimana terdapat ancaman kematian atau
kecacatan bisa dilakukan tindakan terlebih dahulu.
Dalam penanganan pasien kegawatdaruratan tidak diperlukan persetujuan
terlebih dahulu yang paling penting adalah menyelamatkan nyawa pasien, sesuai
dengan Permenkes 290 Tahun 2008 Pasal 4; Dalam keadaan gawat darurat untuk
menyelamatkan nyawa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan
persetujuan tindakan kedokteran, keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran
tersebut diputuskan oleh dokter dan dicatat di dalam rekam medik, dan dokter wajib
memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau
kepada keluarga terdekat.
Menurut ketentuan Permenkes No. 290 tahun 2008 pasal 1 yang mengatur
tentang tindakan medik disebutkan bahwa ijin melakukan tindakan medik diberikan
oleh pasien setelah terlebih dahulu pasien mendapat penjelasan tentang tujuan dan
manfaat maupun risiko dari tindakan medik tersebut. Umumnya dokter telah
mengetahui dan mengakui bahwa persetujuan tindakan medik atau informed consent
ialah bagian kode etik profesi sebelum diatur dalam ketentuan undang-undang
tentang rumah sakit, praktik kedokteran, maupun peraturan menteri kesehatan.
Namun, dalam keadaan tertentu juga dituntut untuk dapat segera melaksanakan
4
tindakan medis dan mengesampingkan informed consent antara lain dalam keadaan
gawat darurat dimana terdapat ancaman kematian atau kecacatan (Wagiu, dkk.,
2015).
5
KESIMPULAN
6
DAFTAR PUSTAKA
Ardani RY. 2014. Pertanggung Jwaban Perdata Dokter Mengenai Tindakan Medis
Tanpa Informed Consent [Skripsi]. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
FKUI. 2007. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). Retrieved Mei 28,
2018. from http://fkuii.org/tiki‐download_wiki_attachment.php
Hanafiah MJ, Amir A. 2012. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.
Isfandyarie, Any. 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Jakarta :
Prestasi Pustaka.
Kawi, Resti Nurhayati & Dr.Sofwan Dahlan. 2017. Tingkat Pengetahuan Perawat
Tentang Informed Consent Bagi Tenaga Perawat yang Melaksanakan
Asuhan Keperawatan untuk Pasien yang Dirawat di RSUD Dr H Soewondo
Kendal. SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan. 3 (2), 205-228.
KUHP pasal 351 (trespass, battery, bodily assault) tentang Tindak Pidana
Penganiayaan.
Wagiu, Christilia G., Erwin G. Kristanto & Theo Lumuno. 2017. Informed consent di
Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal
Biomedik (JBM) : 9 (1), hlm. 58-61.