Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

SISTEM KEGAWAT DARURATAN I

Disusun Oleh :
Kelompok 1

Sofia Erfiani (10215002) Dewi Khusnita (10215027)


Desy Enggar P (10215004) M.Rohyan Gogot (10215030)
Kastina S (10215007) Fatin Afizah S (10215034)
Efi Rulli G (10215009) Dadang Ari W (10215037)
Arifatus S (10215011) Dewi Chur’any (10215040)
Oktavia Eka P (10215013) Sagita Arisandy (10215042)
Karunia Wati S (10215015) Rinda Dinarti (10215044)
Resa Valentina (10215017) M. Anjas Adi P (10215048)
Aldilla Nur S (10215020) Siti Fatimah (10215050)
Iit Retnaning M (10215023) Haris Tirta K (10215052)
Yunita Sari (10215025) Leander Eka S (10217068)

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
2018

i
TUGAS

1. Pernyataan persetujuan dan informed consent sangat penting terkait legalitas


kita melakukan tindakan kepada pasien. Pasien datang ke IGD dalam kondisi
tidak sadarkan diri, dalam kondisi yang mengancam nyawa dan membutuhkan
pertolongan. Namun, disisi lain kita harus mendapatkan persetujuan dari pasien
atau orang terdekat apabila melakukan tindakan kepada pasien.

Pertanyaan :
Bagaimana sebaiknya tindakan yang dilakukan kepada pasien di IGD, apakah
kita mendapatkan informed consent terlebih dahulu ataukah kita menolong
pasien terlebih dahulu ?

1
PEMBAHASAN

Terkait pertanyaan tentang persetujuan tindakan medis, informed consent


merupakan kesepakatan antara tenaga kesehatan dengan pasien, yang diawali
dengan pemberian/penyampaian informasi tentang penyakit dan prosedur tindakan
yang akan dilakukan kepada pasien yang kemudian dilanjutkan dengan
penandatanganan surat persetujuan atau penolakan oleh pasien. Hal ini sesuai
dengan aspek legal dan merupakan perlindungan hukum bagi pelayanan kesehatan.
Dalam pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008
tentang persetujuan tindakan kedokteran, informed consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran (Wagiu, dkk., 2015).
Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang
berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah
kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi/penjelasan yang
lengkap tentang tindakan. Mendapat penjelasan lengkap terhadap tindakan yang
akan dilakukan adalah salah satu hak pasien yang diakui oleh undang-undang
dengan kalimat pendek, informed consent adalah Persetujuan Setelah Penjelasan
(PSP) (Isfandyarie, 2006).
Pemberian surat persetujuan atau informed consent diatur dalam undang-
undang jika sebagai tenaga medis kita tidak memberikan informed consent / tidak ada
persetujuan pasien maka tindakan yang kita lakukan digolongkan dengan
penganiayaan berdasarkan KUHP pasal 351 (trespass, battery, bodily assault).
Hingga saat ini perjanjian keperawatan atau informed consent keperawatan
belum diatur secara tertulis dan baru mengatur informed consent tindakan kedokteran
sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008. Sehingga
tindakan medis yang dilakukan perawat pada prinsipnya berdasar delegasi secara
tertulis dari dokter. Kecuali dalam keadaan darurat, perawat diizinkan melakukan
tindakan medis tanpa delegasi dokter sesuai Pasal 10 ayat (1) Permenkes No. HK.
02.02/Menkes/148/2010.
Terdapat banyak tindakan dan pelayanan medis yang dilakukan dokter atau
tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktik yang dilaporkan
masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum (Erdiansyah, 2011). Tercapainya
kesepakatan antara dokter dan pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang
informed consent (Hanafiah MJt, 2012). Untuk itulah sebaiknya persetujuan diberikan

2
oleh keluarga atau pasien setelah diberikan penjelasan oleh dokter yang akan
melakukan tindakan.
Jika kita dihadapkan dengan kasus yang sering terjadi di Unit Gawat Darurat
(UGD) yakni banyak pasien yang tiba dalam kondisi tidak sadar dan tanpa
keluarga yang mengantar. Hal ini tentunya membuat tenaga medis kebingungan
dalam mengambil keputusan tentang hal mana yang harus didahulukan, apakah
mendahulukan informed consent sebagai pelindung hukum dalam praktik
keperawatan, padahal pasien dalam kondisi terancam nyawanya, ataukah
menolong pasien terlebih dahulu dan untuk sementara menyampingkan informed
consent.
Berdasarkan asumsi medik maupun hukum, situasi gawat dan darurat
menimbulkan kewajiban hukum bagi yang terkait dalam hal rumah sakit maupun
dokter untuk memberikan pertolongan terutama dalam rangka menyelamatkan jiwa
seseorang yang sedang terancam. Kewajiban moral dan ikatan dari etika profesi
untuk menyelamatkan setiap jiwa mengharuskan dan sebenarnya memberikan
alasan bagi seorang dokter/rumah sakit untuk bertindak tanpa informed consent
(Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran, 2012 dikutip dari Wagiu, dkk., 2015)
Menurut FKUI, persetujuan tindakan medis (informed consent) dapat
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu Implied Consent dan Expressed Consent. Implied
Consent merupakan persetujuan yang dianggap telah diberikan walaupun tanpa
pernyataan resmi, yaitu pada keadaan biasa dan pada keadaan darurat atau
emergency. Pada keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa pasien, tindakan
menyelamatkan kehidupan (life saving) tidak memerlukan Informed Consent.
Expressed Consent merupakan persetujuan tindakan medis yang diberikan secara
eksplisit, baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written) (FKUI, 2007).
Dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak
diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah
memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan (Kawi, dkk.,
2017).
Menurut FKUI berpedoman pada Permenkes No. 585 tahun 1989 mengenai
Persetujuan Tindakan Medik, maka yang berhak memberikan persetujuan atau
menandatangani perjanjian adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun atau
sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Sedapat mungkin persetujuan
tindakan medik ditandatangani sendiri oleh pasien. Namun dalam praktek di
lapangan persetujuan tindakan medik lebih sering ditandatangani oleh keluarga

3
pasien. Hal ini berkaitan dengan kesiapan mental pasien untuk menjalani tindakan
medik maupun untuk menandatangani persetujuan tindakan medis tersebut. Untuk
pasien di bawah umur 21 tahun dan pasien dengan gangguan jiwa maka yang
menandatangani persetujuan tindakan medis adalah orang tua atau keluarga
terdekat atau walinya. Untuk pasien yang tidak sadar, pingsan atau tidak didampingi
oleh keluarga terdekat dan secara medis dalam keadaan gawat darurat dan perlu
dilakukan tindakan segera atau yang bersifat menyelamatkan kehidupan tidak
diperlukan persetujuan (Kawi, dkk., 2017).
Dalam penelitian Wagiu, C., dkk (2015) di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof.
Dr. R.D. Kandou Manado informed consent tetap ada pada saat pasien datang ke
Instalasi Gawat Darurat dokter triase akan menilai apakah pasien ini termasuk true
emergency atau false emergency, bila pasien dalam keadaan true emergency atau
bisa dikatakan membutuhkan tindakan segera maka persetujuan dimintakan secara
lisan terlebih dahulu, baru setelah selesai tindakan dokter akan memintakan tanda
tangan pada lembar informed consent. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ardany (2014) di Madiun, yang menyimpulkan bahwa pada setiap
tindakan medis seorang dokter wajib melaksanakan informed cosent terlebih dahulu,
namun dalam keadaan gawat darurat dimana terdapat ancaman kematian atau
kecacatan bisa dilakukan tindakan terlebih dahulu.
Dalam penanganan pasien kegawatdaruratan tidak diperlukan persetujuan
terlebih dahulu yang paling penting adalah menyelamatkan nyawa pasien, sesuai
dengan Permenkes 290 Tahun 2008 Pasal 4; Dalam keadaan gawat darurat untuk
menyelamatkan nyawa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan
persetujuan tindakan kedokteran, keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran
tersebut diputuskan oleh dokter dan dicatat di dalam rekam medik, dan dokter wajib
memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau
kepada keluarga terdekat.
Menurut ketentuan Permenkes No. 290 tahun 2008 pasal 1 yang mengatur
tentang tindakan medik disebutkan bahwa ijin melakukan tindakan medik diberikan
oleh pasien setelah terlebih dahulu pasien mendapat penjelasan tentang tujuan dan
manfaat maupun risiko dari tindakan medik tersebut. Umumnya dokter telah
mengetahui dan mengakui bahwa persetujuan tindakan medik atau informed consent
ialah bagian kode etik profesi sebelum diatur dalam ketentuan undang-undang
tentang rumah sakit, praktik kedokteran, maupun peraturan menteri kesehatan.
Namun, dalam keadaan tertentu juga dituntut untuk dapat segera melaksanakan

4
tindakan medis dan mengesampingkan informed consent antara lain dalam keadaan
gawat darurat dimana terdapat ancaman kematian atau kecacatan (Wagiu, dkk.,
2015).

5
KESIMPULAN

Pernyataan persetujuan atau informed consent sangat penting terkait legalitas


kita melakukan tindakan kepada pasien. Tetapi jika dokter dan perawat
diperhadapkan dengan kasus pasien gawat darurat yang dibawa ke IGD dalam
keadaan tidak sadar, dalam kondisi yang mengancam nyawa dan membutuhkan
pertolongan guna menyelamatkan jiwa pasien atau mencegah kecacatan dapat
segera dilakukan tindakan penyelamatan kepada pasien gawat darurat terlebih
dahulu tanpa persetujuan dahulu. Keputusan dalam melakukan tindakan tersebut
diputuskan oleh tenaga medis yang terkait dan dicatat di rekam medis. Namun,
sesegera mungkin wajib memberikan penjelasan dan dibuat persetujuan kepada
pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat. Hal tersebut sudah
dijabarkan dalam Permenkes Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/ PER/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

6
DAFTAR PUSTAKA

Ardani RY. 2014. Pertanggung Jwaban Perdata Dokter Mengenai Tindakan Medis
Tanpa Informed Consent [Skripsi]. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.

Erdiansyah. 2011. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Dokter atas Kesalahan dan


Kelalaian dalam Memberikan Pelayanan Medis di Rumah Sakit. Jurnal Ilmu
Hukum : 3 (2) p.296-320 7.

FKUI. 2007. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). Retrieved Mei 28,
2018. from http://fkuii.org/tiki‐download_wiki_attachment.php

Hanafiah MJ, Amir A. 2012. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.

Isfandyarie, Any. 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Jakarta :
Prestasi Pustaka.

Kawi, Resti Nurhayati & Dr.Sofwan Dahlan. 2017. Tingkat Pengetahuan Perawat
Tentang Informed Consent Bagi Tenaga Perawat yang Melaksanakan
Asuhan Keperawatan untuk Pasien yang Dirawat di RSUD Dr H Soewondo
Kendal. SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan. 3 (2), 205-228.

KUHP pasal 351 (trespass, battery, bodily assault) tentang Tindak Pidana
Penganiayaan.

Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran. 2006. Jakarta: Konsil Kedokteran.

Permenkes No. HK. 02.02/Menkes/148/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik


Perawat.

Permenkes Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/ PER/III/2008 tentang Persetujuan


Tindakan Kedokteran. Jakarta: Depkes RI

Universal Declaration of Human Rights The Declaration of Lisbon Undang-Undang


Dasar 1945 Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.

Wagiu, Christilia G., Erwin G. Kristanto & Theo Lumuno. 2017. Informed consent di
Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal
Biomedik (JBM) : 9 (1), hlm. 58-61.

Anda mungkin juga menyukai