Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struma
2.1.1 Definisi
Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh
penambahan jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid
dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan keluhan seperti berdebar-
debar, keringat, gemetaran, bicara jadi gagap, mencret, berat badan
menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan hipertiroid (Amin huda,
2016). Struma didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar tiroid. Struma
dapat meluas keruang retro sternal, dengan atau tanpa pembesaran
substansial. Karena hubungan anatomi kelenjar tiroid ke trakea, laring,
saraf laring, superior dan inferior, dan esophagus, pertumbuhan abnormal
dapat menyebabkan berbagai sindrom komperhensif (Tampatty, 2019).

2.1.2 Etiologi
Struma disebabkan oleh gangguan sintesis hormone tiroid yang
menginduksi mekanisme kompensasi terhadap kadar TSH serum, sehingga
akibatnya menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia selfolikel tiroid dan pada
akhirnya menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Efek biosintetik,
defisiensi iodin penyakit otoimun dan penyakit nodular juga dapat
menyebabkan struma walaupun dengan mekanisme yang berbeda. Bentuk
goitrous tiroiditis hashimoto terjadi karena defek yang didapat pada
hormone sintesis, yang mengarah ke peningkatan kadar TSH dan
konsuekensinya efek pertumbuhan (Tampatty, 2019)
Menurut Manjoer (2002) Adanya gangguan fungsional dalam
pembentukan hormon tiroid merupakan faktor penyebab pembesaran
kelenjar tiroid antara lain:
a. Defisiensi yodium
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa
hormon tiroid

4
5

c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia seperti substansi


dalam kol, lobak, kacang kedelai
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan misalnya:
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium

Penyebab kelainan ini bermacam-macam, pada setiap orang dapat


dijumpai masa karena kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama
masa pubertas, pertumbuhan, menstruasi, kehamilan, laktasi, monopouse,
infeksi atau stres lain. Pada masa-masa tersebut dapat dijumpai hiperplasi
dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat menimbulkan nodularitas
kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur yang dapat berlanjut dengan
berkurangnya aliran darah di daerah tersebut sehingga terjadi iskemia
(Amin huda, 2016).

2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi dan karakteristik struma nodusa antara lain:

a. Berdasarkan secara fisiologik


1) Eutiroid

Keadaan dimana fungsi kelenjar tiroid berfungsi secara normal,


meskipun pemeriksaan kelenjar tiroid menunjukkan kelainan, gejala
yang terjadi jika seseorang sakit, mengalami kekurangan gizi atau
telah menjalani pembedahan, maka hormon tiroid T4 tidak diubah
menjadi T3. Akan tertimbun sejumlah besar hormone T3, yang
merupakan hormon tiroid dalam bentuk tidak aktif. Meskipun T4
tidak diubah menjadi T3, tetapi keenjar tiroid tetap berfungsi dan
mengendalikan metabolisme tubuh secara normal (Prof. Dr. Anies,
2016)

2) Hipotiroid

Keadaan dimana terjadi kekurangan hormon tiroid yang


dimanifestasikan oleh adanya metabolisme tubuh yang lambat
karena menurunnya konsumsi oksigen oleh jaringan dan adanya
perubahan personaliti yang jelas. Pasien dengan hipotiroid
6

mempunyai sedikit jumlah hormon tiroid sehingga tidak mampu


menjaga fungsi tubuh secara normal. Penyebab umumnya adalah
penyakit autoimun, operasi pengangkatan tiroid, dan terapi radiasi
(Tarwoto, 2012)

3) Hipertiroid

Suatu keadaan atau gambaran klinis akibat produksi hormon


tiroid yang berlebihan oleh kelenjar tiroid yang terlalu aktif. Karena
tiroid memproduksi hormon tiroksin dan lodium, maka lodium
radiaktif dalam dosis kecil dapat digunakan untuk mengobatinya
atau mengurangi intensitas fungsinya (Amin Huda, 2016)

b. Berdasarkan secara klinik


1) Toksik
Pembesaran pada kelenjar tiroid yang berisi nodul dengan sel-sel
autonom sehingga menyebabkan hipertiroidisme.
2) Non toksik
Pembesaran kelenjar tiroid karena adanya nodul yang tidak
disertai gejala hipertiroidisme (Tarwoto, 2012).

2.1.4 Patofisiologi
Pembentukan hormon tiroid membutuhkan unsur yodium dan stimulasi
dari TSH. Salah satu penyebab paling sering terjadi penyakit gondok karena
kekurangan yodium. Aktivitas utama dari kelenjar tiroid adalah untuk
berkonsentrasi dalam pengambilan yodium dari darah untuk membuat hormon
tiroid. Kelenjar tersebut tidak cukup membuat hormon tiroid jika tidak
memiliki cukup yodium. Oleh karena itu, dengan defisiensi yodium individu
akan menjadi hipotiroid. Kekurangan hormon tiroid (hipotiroid) tubuh akan
berkompensasi terhadap pembesaran tiroid, hal ini juga merupakan proses
adaptasi terhadap defisiensi hormon tiroid. Namun demikian pembesaran dapat
terjadi sebagai respon meningkatnya sekresi pituitari yaitu TSH (Tarwoto,
2012).
7

2.1.5 Manifestasi klinis


Menurut (Tarwoto, 2012) beberapa manifestasi dari struma sebagai berikut:

a. Adanya pembesaran kelenjar tiroid


b. Pembesaran kelenjar limfe
c. Nyeri tekan pada kelenjar tiroid
d. Kesulitan menelan
e. Kesulitan bernafas
f. Kesulitan dalam bicara
g. Gangguan bodi image

2.1.6 Komplikasi
Menurut Brunner dan Suddart (2013) beberapa komplikasi dari struma meliputi:

a. penyakit jantung hipertiroid


Gangguan pada jantung terjadi akibat dari rangsangan berlebihan
pada jantung oleh hormone tiroid dan menyebabkan kontraktilitas jantung
meningkat dan terjadi takikardi sampai dengan fibrilasi atrium jika
menghebat. Pada pasien yang berumur diatas 50 tahun, akan lebih
cenderung mendapat komplikasi payah jantung.
b. Ovtalmopati graves
Ovtalmopati graves seperti eksoftalmus, penonjolan mata dengan
diplopa, aliran air mata yang berlebihan, dan peningkatan foto fobia dapat
mengganggu kualitas hidup pasien sehingga akan aktifitas rutin pasien
terganggu.
c. Dermopati Graves
Dermopati tiroid terdiri dari penebalan kulit terutama kulit dibagian
atas tibia bagian bawah (miksedema pretibia), yang disebabkan
glikosaminoglikans. Kulit sangat menebal dan tidak dapat dicubit

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang penyakit struma meliputi:
a. Pemeriksaan sidik tiroid, pemeriksaan dengan radioisotop untuk
mengetahui ukuran, lokasi dan fungsi tiroid, melalui hasil tangkapan
yodium radioaktif oleh kelenjar tiroid.
8

b. Pemeriksaan ultraspnografi (USG), mengetahui keadaan nodul kelenjar


tiroid misalnya keadaan padat atau cair, adanya kista, tiroiditis.
c. Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) yaitu dengan melakukan aspirasi
menggunakan jarum suntik halus nomor 22-27, sehingga rasa nyeri dapat
dikurangi dan relative lebih aman. Namun demikian kelemahan dari
pemeriksaan ini adalah menghasilkan negative atau positif palsu.
d. Pemeriksaan T3, T4, TSH, untuk mengetahui hiperfungsi atau hipofungsi
kelenjar tiroid atau hipofisis.
e. Termografi, yaitu dengan mengukur suhu kulit pada daerah tertentu,
menggunakan alat yang disebut Dynamic Tele Thermography. Hasilnya
keadaan panas apabila selisih suhu dengan daerah sekitar > 0.9 derajat, dan
dingin apabila < 0.9 derajat. Sebagian besar keganasan tiroid pada suhu
panas (Tarwoto, 2012).

2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit struma dilakukan berdasarkan ukuran struma,
semakin besar ukuran struma maka akan menimbulkan banyak keluhan, terdapat
beberapa penatalaksanaan meliputi:

a. Pengobatan
Pasien dengan satu atau lebih nodul tiroid yang mengalami hipertiroid
diberikan obat anti tiroid
b. Terapi radioiodine
Merupakan terapi alternatif untuk single toxic adenoma atau toxic
multinodular goiter. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mempertahankan
fungsi dari jaringan tiroid normal. Radioiodine juga digunakan untuk
mengurangi volume nodul pada nontoksik multinodular goiter.
c. Pembedahan
Tujuan pembedahan adalah untuk mengurangi massa fungsional pada
hipertiroid, mengurangi penekanan pada esophagus dan trakhea,
mengurangi ekspansi pada tumor atau keganasan (Tarwoto, 2012).
1) Pembedahan tiroidektomi
9

Tiroidektomi secara umum merupakan tindakan bedah yang cukup


aman. Persiapan praoperasi yang baik akan mencegah timbulnya komplikasi
pada angka yang sangat kecil. Kurang dari 2-3 persen. Komplikasi
terbanyak adalah cedera nervus rekuren dan hipoparatiroid permanen
meskipun hematom pasca tiroidektomi relatif jarang terjadi komplikasi ini
sangat serius dan dapat berakibat fatal. Insiden hematom pasca tiroidektomi
dilaporkan antara 0,1 sampai 1,1 persen.

Kunci untuk meningkatkan keberhasilan dari penanganan tiroid


sampai saat ini adalah pemahaman yang seksama terhadap fisiologi dan
anatomi dari kelenjar tiroid. Perkembangan besar dalam teknik dan
instrumentasi pembedahan serta kemajuan antisepsis dan teknik anestesi
juga penting. Ketika tiroidektomi aman untuk dikerjakan, komplikasi
spesifik dari tindakan ini harus dapat diketahui, termasuk mencegah
perlukaan nervus rekuren laringeus dan menghindari kecelakaan atau
pengangkatan kelenjar 2 paratiroid. Teknik pembedahan yang berkembang
saat ini berdasar pada prinsip sama, yakni melakukan diseksi kapsul cukup
luas dengan meminimalkan diseksi terhadap nervusrekuren laringeus dan
preservasi suplai darah ke kelenjar paratiroid.

Ukuran struma merupakan salah satu faktor resiko dari komplikasi


operasi tiroidektomi. Hipertiroidism dan ukuran tumor merupakan dua
faktor yang akan saling menguatkan resiko yang lebih sedikit dibandingkan
struma toksik atau karsinoma tiroid. Komplikasi tiroidektomi total pada
struma multi nodul berkisar 1%. Resiko komplikasi tidak menghalangi ahli
bedah untuk melakukan tindakan tiroidektomi total bilamana diperlukan.

Komplikasi tersering terjadi pada operasi tiroid adalah paralisis


nervus rekuren laringeus, hipoparatiroidism dan perdarahan pasca operasi.
Studi terhadap tiroidektomi total pada tumor jinak akhir-akhir ini
melaporkan kejadian paralisis nervus rekuren laringeus berkisar antara 0,3-
1,7% dan hipoparatiroidism permanen berkisar 0,7-3%. Kegagalan
identifikasi nervus rekuren laringeus meningkatkan resiko terjadi kerusakan
terhadapnya, Implantasi potongan kelenjar paratiroid kedalam otot sebagian
10

besar diterima sebagai langka efektif untuk menghindari hipoparatiroid


berkepanjangan.

Timbulnya paresis korda vokalis kanan pada pasien ini dapat


disebabkan oleh karena trauma terhadap nervus laringeus superior.
Tindakan operasi yang dikerjakan oleh operator yang belum berpengalaman
dan dalam proses pendidikan, memungkinkan terjadinya resiko operasi
lebih tinggi dibandingkan mereka yang sudah cukup berpengalaman dan
melakukan teknik operasi lebih baik.

Komplikasi dapat dikurangi dengan melakukan kontrol perdarahan


dan pengalaman dalam manajemen masalah trakea. Pengalaman operator
sangat penting untuk mendapatkan hasil operasi yang baik dan mengurangi
terjadinya operasi. Perdarahan terjadi karena teknik operasi atau gangguan
metabolik. Kejadian perdarahan lebih tinggi pada hipertiroidism, yang
menggambarkan adanya vaskularikasi yang lebih besar pada struma
tersebut. Komplikasi primer berhubungan dengan penyakit tiroid terdiri dari
perlukaan nervus rekuren laringeus, hipoparatiroidi dan perdarahan pasca
operasi. Komplikasi yang kurang tampak adalah badai tiroid, infeksi,
symphatic nerve injury. Perdarahan pasca operasi merupakan komplikasi
yang sering terjadi.

Dari hasil penelitian Widodo (2009) menjelaskan bahwa Perdarahan


pasca operasi yang terjadi diakibatkan oleh karena terlepasnya ligasi dari
cabang vena jugularis anterior kiri. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
menyebutkan etiologi perdarahan pasca tiroidektomi bisa terdiri dari:

a) Terlepasnya ikatan pembuluh darah


b) Terbukanya pembuluh darah vena yang dikauter
c) Muntah
d) Manuver valsavah
e) Peningkatan tekanan darah selama fase pemulihan
Hematom biasanya terjadi pada operasi dengan ruang mati yang
cukup lebar. Jika strap muscle tertutup sangan ketat, hematom tidak
akan terjadi dibawah kulit. Meskipun bekuan darah akan terdapat
11

dibawah strap muscle sepanjang peritrakea rongga leher dalam.


Pada kasus penelitian terjadi komplikasi perdarahan dan hematom
pasca tiroidektomi yang cukup berat dan mengancam jiwa. Pasien
mengalami gangguan jalan napas dan didapatkan edema hipofaring,
sehingga dilakukan pemasangan endotracheal tube dan dilanjutkan
dengan trakeostomi (Widodo, 2009)

2.2 Trakeostomi
2.2.1 Definisi
Trakeostomi merupakan tindakan membuat lubang pada dinding depan
atau anterior trakea untuk bernapas. Menurut letak stoma, trakeostomi
dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah
cincin trakea ke tiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka
trakeostomi dibagi yang pertama trakeostomi darurat dan segera dengan
persiapan sarana sangat kurang dan yang kedua trakeostomi berencana
(persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik (Soepardi &
Iskandar, 2012).

Trakeostomi biasanya dilakukan pada pasien yang diintubasi dalam


jangka lama. Selain itu, trakeostomi diperlukan pada situasi yang tidak
memungkinkan dilakukannya intubasi, misalnya pada hambatan mekanis
struktur laring (stenosis supraglotis, glottis dan pada sebagian kaus, juga
stenosis subglotis) dan trakea, misalnya akibat peradangan mukosa, tumor,
iritasi, benda asing atau paralisis pita suara. Bila dibandingkan dengan intubasi,
trakeostomi akan mengurangi volume ruang mati dan mempermudah
pembersihan bronkus (penghisapan secret bronkus). Hal tersebut akan sangat
bermanfaat pada penyakit pulmonal dengan pembentukan secret yang berlebih
dan pada penanganan pasien koma (ketiadaan reflex batuk). Pada keadaan
darurat, misalnya setelah inhalasi benda asing, intubasi dan trakeostomi efektif
terkait juga terkadang tidak dapat dilakukan. Pada keadaan tersebut,
pembukaan saluran napas dapat dilakukan secara langsung melalui fungsi
trakea atau insisi ligamentum cricothyroideum atau corucum (Nagel & Gurkov,
2014).
12

Penyulit operasif trakeostomi yang langsung timbul antara lain


perdarahan dari struktur yang mengalami cedera, misalnya pembuuh darah
tiroid atau vena jugularis anterior.Emboli udara sangat langka, dan pada
dasarnya dapat terjadi. Cedera cartilage cricoidea disertai dengan risiko
perikondritis dan stenosis. Selain itu, terjadi emfisema iatrugenik di dalam kulit
leher tetapi keadaan ini biasanya cepat memulih.

Penyulit post operatif mencakup pembentukan krusta. Karena itu,


hygiene kanula perlu dijaga secara hati-hati. Selain itu, hamper setiap pasien
mengeluh distagia (terutama pada penggunaan cuff ) dan sensasi penekanan
subglotis. Pembentukan nekrosis di dalam trakea jarang terjadi, yang biasanya
dipicu penempatan pipa yang tidak tepat atau tekanan cuff yang terlalu tinggi.
Bila dinding posterior mengalami hal tersebut, suatu fistula trakeo-esofageal
dapat terbentuk.

Pada “dekanulasi berpenyulit”, pengeluaran kanula trakea sulit


dilakukan karena adanya granulasi, pembentukan stenosis atau perikondritis.
Terutama pada anak, trakeostomi perlu dilakukan hanya bila terdapat indikasi
absolut karena anatomi struktur sekitar area tersebut sangat berisiko (adanya
timus, letak brachiocephalica yang tinggi) dan edema subglotis cepat terbentuk.
Selain itu, obstruksi saluran napas sering ditimbulkan infeksi pada usia anak-
anak dan sembuh spontan setelah 2-3 hari.

2.2.2 Indikasi Trakeostomi


Indikasi trakeostomi meliputi:

a. Mengatasi obstruksi laring


b. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seprti
daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka
seluruh oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang
tertinggal di ruang rugi itu. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan
paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.
c. Mempermudah pengisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan secret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.
d. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
13

e. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai


fasilitas untuk bronkoskopi (Soepardi & Iskandar, 2012)

2.2.3 Perawatan Pasca Operasi


Perawatan pasca trakeostomi sangatlah penting, karena secret dapat
menyumbat, sehingga akan terjadi asfiksia. Oleh karena itu secret di trakea dan
kanul harus sering diisap ke luar, dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya
2 kali sehari, lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Pasien dapat
dirawat di ruang perawatan biasa dan perawatan trakeostomi sangatlah penting.
Bila kanul harus dipasang untuk jangka waktu lama, maka kanul luar harus
dibersihkan 2 minggu sekali.Kain kasa di bawah kanul harus diganti setiap
basah, untuk menghindari terjadinya dermatitis (Soepardi & Iskandar, 2012).

Udara pernapasan pasien yang ditrakeostomi tidak dapat lagi


dilembabkan dan dihangatkan secara memadai. Udara yang kering akan
menimbulkan pembentukan krusta. Selain itu, rangsang batuk pada banyak
pasien dengan peningkatan sekresi bronkus menjadi tertekan (terutama pada
pasien koma). Jadi, pembersihan bronkus diperlukan untuk menghindari
penyumbatan jalan napas. Selain penghisapan steril, inhalasi uap atau air garam
juga dapat diberikan untuk tujuan tersebut. Granulasi mukosa akibat iritasi pipa
terutama memerlukan perawatan lanjutan secara hati-hati terutama pada pasien
yang diintubasi dalam jangka lama atau pasien yang ditrakeostomi (Nagel &
Gurkov, 2014).

Perawatan trakeostomi menurut Novialdi (2017) meliputi:


a. Pembersihan secret atau biasa disebut trakeobronkial toilet
b. Membersihkan anak kanul
c. Mengganti balutan
d. Humidifikasi untuk menjaga kelembapan
Tujuan perawatan trakeostomi:
a. Untuk mencegah sumbatan pipa trakeostomi ( pluging)
b. Untuk mencegah infeksi
c. Meningkatkan fungsi pernafasan(ventilasi dan oksigenasi)
d. Bronkial toilet yang efektif
e. Mencegah pipa tercabut
14

Menurut Bove dan Morris (2010) Perawatan pasien pasca trakeostomi


sangatlah penting karena perawatan yang buruk dapat mengakibatkan
kematian. Kematian yang sering terjadi biasanya disebabkan oleh sumbatan
pada kanul karena penumpukan sekret.

2.3 Konsep Pengalaman


2.3.1 Definisi
Menurut saparwati (2012) pengalam dapat diartikan sesuatu yang pernah
dialami, dijalani, dirasakan, baik sudah lama maupun yang baru saja terjadi.
Pengalam yang dapat diartikan juga sebagai memori episodic, yaitu memori
yang menerima dan menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami individu
pada waktu dan tempat tertentu yang berfungsi sebgai referensi otobiografi.
Pengalaman merupakan salah satu hasil yang diperoleh manusia dari
intraksinya dengan lingkungan. Pengalaman ini memuat beragam hal yang
dapat dipelajari, salah satunya adalah dalam mengetahui lebih jauh mengenai
pemahaman mengenai manusia itu sendiri (Darmawan, 2013).

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Pengalaman


Menurut Saparwati (2012) setiap orang mempunyai pengalaman yang
berbeda walaupun melihat suatu obyek yang sama, hal ini dipengaruhi oleh
tingkat pengetahuan dan pendidikan seseorang, pelaku atau faktor pada pihak
yang mempunyai pengalaman, faktor obyek atau target yang dipersepsikan
dan faktor situasi dimana pengalaman itu dilakukan. Umur, tingkat
pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik,
pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup setiap individu juga ikut
menentukan pengalaman. Pengalaman setiap orang terhadap suatu obyek
dapat berbeda-beda karena pengalaman mempunyai sifat subyektif, yang
dipengaruhi oleh isi memorinya. Apapun yang memasuki indera dan
diperhatikan akan disimpan didalam memori dan akan digunakan sebagai
referensi untuk menanggapi hal yang baru.
15

2.3.3 Klasifikasi
Menurut Darmawan (2013) diperoleh tiga kategori, berikut yang
menunjukan keunikan masing-masing indivudu dalam mengalami tubuhnya
(experience the body), yaitu:
a. Experience of Engagement
Merupakan pengalaman yang berkaitan dengan momentum saat
tubuh mengalami kontak dengan dunia luar atau lingkungan. Dalam
pengalaman ini situasi tubuh akan terkategorisasi menjadi dua sub
pengalaman, tubuh dalam vitalitas dan tubuh dalam aktifitas. Tubuh dalam
vitalitas ini lebih kepada kontak secara non fisik dengan lingkungan
(seperti rasa sedih, rasa gembira), sementara tubuh dalam aktifitas lebih
kepada kontak secara fisikal ( seperti berlai, berjalan).
b. Experience of Corporeality
Merupakan bentuk kesadaran akan tubuh secara fisik dan hadir
sebagai obyek ataupun sebagai alat atau instrumen. Tubuh sebagai obyek
merujuk kepada batasan-batasan yang dimiliki tubuh (seperti sakit, rasa
kenyang), yang serupa dengan batasan yang dimiliki oleh obyek lain
(seperti batasan dimensi). Melalui batasan ini, akan diperoleh mengenai
ekstensi atau kesadaran akan tubuh itu sendiri. Adapun tubuh sebagai alat
adalah sebuah rujukan kepada kesadaran bahwa tubuh ini merupakan
media untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan (seperti sebuah televisi
yang tidak akan menyala sebelum tubuh ini bergerak dan menekan tombol
on/ off).
c. Experience of Interpersonal Meaning
Merupakan sebentuk pengalaman dimana tubuh dipahami dalam
konteks relasi simbolis. Dalam kategori pengalaman ini, tubuh memiliki
sub kategori sebagai tampilan/ penampilan, dan sebagai ekspresi diri,
pengalaman ini lebih membangun kesadaran manusia dalam sebuah situasi
sosial dan upaya yang dilakukan dalam menempatkan diri dalam situasi
sosial tersebut. Hal ini kemudian berhubungan pula dengan upaya manusia
untuk menjawab pertanyaan “bagaimana orang lain melihat saya “.
“bagaimana saya ingin dilihat orang lain”.

Anda mungkin juga menyukai