Anda di halaman 1dari 83

PENGARUH TEKNIK DISTRAKSI AUDIO VISUAL

TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ANAK


PRA SEKOLAH (USIA 3-6 TAHUN) YANG
MENDAPAT TERAPI INJEKSI INTRAVENA
DI RUANG ASTER RUMAH
SAKIT PERTAMINA
BALIKPAPAN

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


gelar Sarjana Keperawatan

Di Susun Oleh :
Retain Monalisa Hutabarat
NIM : 11202128

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
2021
P ENG A RUH TEK N IK D IS TRA K S I AU D IO V ISU A L
TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ANAK
PRA SEKOLAH (USIA 3-6 TAHUN) YANG
MENDAPAT TERAPI INJEKSI INTRAVENA
DI RUANG ASTER RUMAH
SAKIT PERTAMINA
BALIKPAPAN

Dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian tugas akhir pada Program Studi
S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan

Oleh :
Retain Monalisa Hutabarat
NIM : 11202128

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU


KESEHATAN PERTAMEDIKA
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Penelitian dengan judul:

Pengaruh Teknik Distraksi Audio Visual Terhadap Tingkat Kecemasan Pada


Anak Usia Pra Sekolah (Usia 3-6 Tahun) Yang Mendapat Terapi Injeksi Intravena
Di Ruang Aster Rumah Sakit Pertamina Balikpapan.

Proposal penelitian ini telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim
Penguji Studi S1 Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA


Jakarta,.............2021

Menyetujui,
Pembimbing Skripsi

(Ns. Hanik Rohmah Irawati, M.Kep., Sp.Mat)

Mengetahui,
Ka. Prodi S1 Keperawatan

(Wasijati, S.Kp., M.Si., M.Kep)

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan nikmatNya juga Rahmat dan Karunia-Nya sehingga peneliti bisa
menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Pengaruh Teknik Distraksi
Audio Visual Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak Usia Pra Sekolah (Usia 3-
6 Tahun) Yang Mendapat Terapi Injeksi Intravena Di Ruang Aster Rumah Sakit
Pertamina Balikpapan”. Penelitian ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata
ajar Riset Keperawatan pada Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan PERTAMEDIKA. Peneliti menyadari banyak pihak yang turut
membantu sejak awal sampai akhir penyusunan proposal penelitian ini. Pada
kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. dr. Fathemah Djan Rachmat, SFJVpB, Sp.BTKV (K), MPH selaku
Direktur Utama PERTAMEDIKA/IHC dan Pembina Yayasan Pendidikan
PERTAMEDIKA.
2. Dr. Asep Saefudin, SH, NM, CHRP, CHRA selaku Ketua Pengurus Yayasan
Pendidikan PERTAMEDIKA.
3. Ns. Maryati, S.Sos., MARS selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
PERTAMEDIKA
4. Dr. Lenny Rosbi Rimbun, Skp, M.Si, M.Kep, selaku Wakil Ketua I Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
5. Sri Sumartini, SE, MM, selaku Wakil Ketua II Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan PERTAMEDIKA.
6. Ns. Achirman, M.Kep, selaku Wakil Ketua III Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan PERTAMEDIKA.
7. Wasijati, S.Kp, M.Si, M.Kep, selaku Kepala Program Studi S1 Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA
8. Ns. Hanik Rohmah Irawati, M.Kep., Sp.Mat selaku dosen pembimbing dan
penguji I yang dengan kesabaran dan kebaikannya telah membimbing penulis
selama proses penelitian ini.
9. Ns. Alfonsa Reni Oktavia, S.Kep., MKM selaku dosen penguji II yang telah
memberikan masukan dan saran dalam proses penelitian ini.

ii
10. Ns. Diana Rhismawati,M.Kep.,Sp.KMB Pembimbing Akademik Non
Reguler XIV.
11. Para Dosen dan Seluruh Staf Institusi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
PERTAMEDIKA yang telah memberikan semangat dan kasih sayang selama
perkuliahan.
12. dr. M.N.Khaerudin Sp.B selaku Direktur Rumah Sakit Pertamina Balikpapan
tempat penelitian dilaksanakan.
13. Suami tercinta atas doa dan dukungannya selama ini, sehingga laporan
penelitian /skripsi ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.
14. Orang tua/mertua saya yang selalu mendukung dan mendoakan saya dalam
melakukan penelitian ini, sehingga laporan penelitian ini dapat selesai sesuai
dengan waktunya.
15. Para responden atas keikutsertaan dan kerjasamanya, sehingga laporan
penelitian ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.
16. Teman-teman Angkatan XIV Non Reguler Program Studi S1 Keperawatan -
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
17. Teman-teman di diruangan yang telah membantu dan mensupport, sehingga
laporan penelitian ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.
18. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang turut
berpartisipasi sehingga selesainya penelitian ini.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan proposal ini banyak sekali


kekurangannya, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan
demi perbaikan penulisan dan penyusunan hasil dimasa mendatang.

Jakarta, 09 Oktober 2021

Peneliti

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN..........................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah....................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................5
C. Tujuan Penelitian...............................................................................6
D. Manfaat Penelitian.............................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................8
A. Teori dan Konsep Terkait..................................................................8
B. Penelitian Terkait...............................................................................36
C. Kerangka Teori..................................................................................40
BAB III KERANGKA KONSEP,HIPOTESIS,DAN DEFINISI
OPERASIONAL............................................................................................41
A. Kerangka Konsep...............................................................................41
B. Hipotesis Penelitian...........................................................................42
C. Definisi Operasional..........................................................................43
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN......................................................46
A. Design Penelitian...............................................................................46
B. Populasi Sample dan Teknik Pengambilan Sampel...........................47
C. Tempat dan Waktu Penelitian............................................................50
D. Etika Penelitian..................................................................................50
E. Alat Pengumpulan/Instrument Penelitian..........................................51
F. Prosedur Pengumpulan Data..............................................................54
G. Pengolahan Data................................................................................55
H. Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data.......................................56
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


WHO mendefinisikan anak adalah dihitung sejak seseorang di dalam
kandungan sampai dengan usia 19 tahun. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 pasal 1 ayat 1 tentang
perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk juga yang masih di dalam kandungan. Anak merupakan aset
bangsa yang akan meneruskan perjuangan suatu bangsa, sehingga harus
diperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya (Depkes RI, 2014).

Anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan


tahapan usianya. Anak pra sekolah adalah anak yang berumur antara 3-6
tahun, pada masa ini anak-anak senang berimajinasi dan percaya bahwa
mereka memiliki kekuatan. Pada usia prasekolah, anak membangun kontrol
sistem tubuh seperti kemampuan ke toilet, berpakaian, dan makan sendiri
(Potts & Mandeleco, 2012). Tahapan perkembangan yang berbeda antara
setiap kelompok usia menyebabkan anak-anak dan dewasa memiliki
perbedaan saat merespon nyeri yang dialaminya. Misalnya pada anak
prasekolah yang belum mampu mengungkapkan nyeri yang dialami melalui
verbal dan mengekspresikan nyeri yang dirasakan (Pottter & Perry, 2010).
Usia pra sekolah dihubungkan dengan kondisi psikologi yang masih labil,
kemudian menimbulkan rasa cemas sehingga nyeri yang dialami menjadi
lebih berat dari sebelumnya (Andarmoyo, 2013).

Hospitalisasi anak usia pra sekolah merupakan suatu proses yang karena
suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak tersebut
untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pulih
atau pemulangannya kembali ke rumah (Padila,2019). Anak yang
mengalami hospitalisasi selama dirawat di rumah sakit akan menunjukan

1
1

respon masing-masing sesuai tahapan usianya. Selama hospitalisasi anak


memiliki stresor yang menjadi krisis pertama yang harus dihadapi anak
(Wong, 2009). Apabila masalah tidak teratasi, maka hal ini akan
menghambat proses perawatan anak dan kesembuhan anak itu sendiri.
Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau ketakutan yang tidak jelas
dan gelisah disertai dengan respon otonom (sumber terkadang tidak spesifik
atau tidak diketahui oleh individu), perasaan yang was-was untuk
mengatasi bahaya. Ini merupakan sinyal peringatan akan adanya bahaya
dan memungkinkan individu untuk mengambil langkah dalam
menghadapinya (Herdman,2012).

Penyebab kecemasan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari


petugas rumah sakit (dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya),
lingkungan baru, ataupun reaksi keluarga yang mendampingi anak selama
perawatan (Sarfika,2015). Stressor utama dari hospitalisasi antara lain
adalah perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh, dan nyeri. Pada anak
usia sekolah stresor kuat pada hospitalisasi adalah ketakutan terhadap
penyakit seperti penyakit yang akut atau yang membahayakan nyawanya
sedangkan pada anak usia pre-school pengalaman terhadap cedera tubuh
atau nyeri merupakan stresor yang harus di tangani, karena dalam masa pre-
school daya imajinatif mereka cukup tinggi (Wong,2009).

Kecemasan yang dialami anak prasekolah dalam masa hospitalisasi


merupakan masalah yang penting, jika tidak ditangani dapat berpengaruh
dalam proses perawatan di rumah sakit. Asuhan keperawatan pada anak
ketika mengalami hospitalisasi pada umumnya memerlukan tindakan
invasif seperti injeksi atau pemasangan infus, hal ini merupakan stresor
kuat yang dapat membuat anak mengalami kecemasan (Patma,2017).
Kondisi cemas yang terjadi pada anak akan menghambat dan menyulitkan
proses pengobatan yang berdampak terhadap penyembuhan pada anak
sehingga memperpanjang masa rawat dan dapat beresiko terkena
2

komplikasi dari infeksi nosokomial serta menimbulkan trauma paska


hospitalisasi (Sari dan Sulisno, 2012).

Prosedur pemasangan infus merupakan salah satu prosedur invasif yang


sering dilakukan pada perawatan anak di rumah sakit Terapi intravena
merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan dengan cara memasukan
cairan melalui intravena dengan bantuan infus set yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh (Tamsuri,2007).
Pemasangan infus adalah tindakan pemasangan kateter intravena pada vena
tertentu untuk memberikan terapi intravena. Terapi intravena bermanfaat
untuk memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
dalam tubuh manusia. Terapi intravena perifer digunakan untuk
memberikan terapi cairan pada klien sakit akut atau kronis (Potter &
Perry,2010). Insersi jarum ke vena dalam pemasangan infus dapat
menimbulkan rasa takut, cemas, dan nyeri (Taddio et al. 2012).

Perlu adanya upaya untuk meningkatkan respons penerimaan anak terhadap


injeksi intravena agar anak dapat memberikan respons baik selama injeksi
berlangsung, salah satu caranya adalah dengan teknik pengalihan perhatian
atau yang biasa disebut dengan distraksi. Distraksi adalah sistem aktivasi
yang kompleks menghambat stimulus nyeri apabila seseorang menerima
input sensorik yang berlebih. Dengan adanya stimulus sensorik, seseorang
dapat mengabaikan atau tidak menyadari akan adanya nyeri (Potter &
Perry,2010). Dengan demikian diharapkan pengalaman nyeri pada anak
berkurang dan mengurangi proses dari kecemasan akibat prosedur
pemasangan infus ataupun pemberian injeksi intravena.

Beberapa teknik distraksi yang dikenal dalam pendekatan pada anak adalah
distraksi visual seperti melihat gambar di buku, bermain video games,
distraksi pendengaran dengan mendengarkan musik, distraksi pernafasan
dengan teknik pernapasan dalam, distraksi intelektual dan imajinasi
terbimbing (Soeparmin,2011). Kombinasi antara distraksi pendengaran
3

(audio) dan distraksi penglihatan (visual) disebut distraksi audiovisual,


yang digunakan untuk mengalihkan perhatian pasien terhadap hal-hal yang
membuatnya tidak nyaman, cemas atau takut dengan cara menampilkan
tayangan favorit berupa gambar-gambar bergerak dan bersuara ataupun
animasi dengan harapan pasien asik terhadap tontonannya sehingga
mengabaikan rasa tidak nyaman dan menunjukkan respons penerimaan
yang baik (Tamsuri, 2007 dalam Rusman, 2012).

Distraksi audiovisual merupakan salah satu teknik yang efektif dalam


pendekatan pada anak. Cara yang digunakan adalah dengan mengalihkan
perhatian anak pada hal-hal yang disukai seperti film animasi. Terdapat
teknik distraksi lain yang dapat dilakukan, seperti Auditory distraction
(mendengarkan musik), dan Tactil kinesthetic distraction (memeluk orang
yang dicintai atau memeluk boneka) (Potter dan Perry, 2012) dalam
Soemardini et al,2013). Media audio visual merupakan media yang sangat
menarik bagi anak-anak terutama anak usia prasekolah yang memiliki daya
imajinasi tinggi dan dapat memudahkan anak untuk medapatkan
pembelajaran yang menyenangkan. Menurut (Taufik,2007 dalam Patma
2017) Anak juga dapat mengeksplorasi perasaan, emosi, dan daya ingat
melalui audio visual,audio visual juga dapat membantu perawat dalam
melaksanakan prosedur infus dan injeksi, memudahkan perawat dalam
mendistraksi agar anak kooperatif dalam pelaksanaan prosedur terapi.

WHO (2012) menyatakan bahwa 3-10% anak dirawat di Amerika


Serikat baik anak usia toddler, prasekolah ataupun anak usia sekolah,
di Jerman sekitar 3-7% anak toddler dan 5-10% anak prasekolah yang
menjalani hospitalisasi (Purwandari, 2013 dalam Carla,2017). UNICEF
menyatakan jumlah anak usia prasekolah di 3 negara terbesar dunia
mencapai 148 juta, 958 anak dengan insiden anak yang dirawat di rumah
sakit 57 juta anak setiap tahunnya dimana 75% mengalami trauma
berupa ketakutan dan kecemasan saat menjalani perawatan (James,2010
dalam Saputra H dan Intan Fazrin,2017). Di Indonesia sendiri jumlah anak
4

yang dirawat inap pada tahun 2018 sebanyak 3,49% (Profil Anak
Indonesia,2019). Anak usia prasekolah, anak usia sekolah merupakan usia
rentan terhadap penyakit,sehingga banyak anak usia tersebut harus
dirawatdi rumah sakit, serta menyebabkan populasi anak yang dirawat di
rumah sakit mengalami peningkatan sangat dramatis (Wong, 2009).
Wijayanti (2015), menyatakan prevalensi kesakitan anak di Indonesia yang
di rawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 35 per 100 anak, yang
ditunjukan dengan selalu penuhnya ruangan anak baik di rumah sakit
pemerintah ataupun rumah sakit swasta.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lilies Fatmawati dkk,2019


yang berjudul “Pengaruh Audiovisual Menonton Film Kartun Terhadap
Tingkat Kecemasan Saat Prosedur Injeksi Pada Anak Prasekolah”
mendapatkan hasil bahwa sesudah dilakukan audio visual menonton film
kartun saat prosedur injeksi pada anak prasekolah, hampir seluruhnya
tidak mengalami kecemasan yaitu sebanyak 82,1%.

Jumlah kunjungan anak di ruang Aster Rumah Sakit Pertamina Balikpapan


periode Agustus sampai Oktober 2021 yaitu sebanyak 211 anak. Sebanyak
60 anak (28,4%) diantaranya anak pra sekolah yang di rawat di ruang Aster
Rumah Sakit Pertamina Balikpapan. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh
peneliti di lapangan, anak yang telah dilakukan pemasangan infus
mengalami kecemasan akibat perasaan tidak nyaman atau nyeri saat
dilakukan pemasangan infus. Hal ini mengakibatkan anak merasa takut atau
cemas saat ada petugas yang akan memberikan tindakan invasiv lain seperti
pemberian injeksi intravena. Anak-anak cenderung memperlihatkan reaksi
penolakan dengan cara menangis, berteriak-teriak, menarik orang tuanya,
meminta pulang, memberontak atau secara verbal menyatakan penolakan
yang mengakibatkan prosedur tindakan invasiv seperti pemberian terapi
intravena menjadi terhambat.
Peneliti melakukan studi pendahuluan selama 3 hari pada tanggal 19-21
Oktober 2021 pada 10 anak pra sekolah. 5 anak (50%) mengalami
5

kecemasan berat, 3 anak (30%) dengan kecemasan sedang dan 2 anak


(20%) dengan kecemasan ringan. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi
kecemasan pada anak adalah dengan teknik komunikasi pada anak di bantu
orang tua dengan memberi pengertian pada anak bahwa pemberian injeksi
intravena tidak sakit seperti pemasangan infus,karena pemberian injeksi
tidak lagi memasukkan jarum ke kulit anak. Sejauh ini belum pernah
dilakukannya teknik distraksi audio visual di dalam megurangi kecemasan
pasien anak prasekolah pada saat pemberian terapi injeksi intravena.

Berdasarkan data diatas dan fenomena yang terjadi di lapangan, peneliti


tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Teknik
Distraksi Audio Visual Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak Usia
Prasekolah (usia 3-6 Tahun) yang Mendapat Terapi Injeksi Intravena di
Ruang Aster Rumah Sakit Pertamina Balikpapan”.

B. Perumusan Masalah
Hospitalisasi anak usia pra sekolah merupakan suatu proses yang karena
suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak tersebut
untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pulih
atau pemulangannya kembali ke rumah. Asuhan keperawatan yang
diberikan pada anak biasanya memerlukan tindakan invasif seperti injeksi
intravena atau pemasangan infus, hal ini merupakan stresor kuat yang dapat
membuat anak mengalami kecemasan. Kondisi cemas yang terjadi pada
anak akibat pemasangan infus akan menghambat dan menyulitkan proses
pengobatan atau pemberian terapi selanjutnya.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap 10


anak di lapangan, yang akan mendapatkan terapi injeksi intravena, 5 anak
(50%) mengalami kecemasan berat, 3 anak (30%) dengan kecemasan
sedang dan 2 anak (20%) dengan kecemasan ringan. Anak-anak
memperlihatkan reaksi penolakan dengan cara menangis, berteriak-teriak,
menarik orang tuanya,meminta pulang, memberontak atau secara verbal
6

menyatakan penolakan, yang mengakibatkan prosedur tindakan invasif


seperti injeksi intravena menjadi terhambat. Upaya yang selama ini
dilakukan untuk mengurangi kecemasan pada anak adalah dengan teknik
komunikasi pada anak di bantu orang tua dengan memberi pengertian pada
anak bahwa pemberian injeksi tidak sakit seperti pemasangan infus,karena
pemberian injeksi tidak lagi memasukkan jarum ke kulit pasien, dan belum
pernah dilakukannya teknik distraksi audio visual di dalam mengurangi
kecemasan pada saat pemberian terapi injeksi intravena.

Berdasarkan fenomena yang terjadi dapat di rumuskan masalah sebagai


berikut “Adakah pengaruh teknik distraksi audio visual terhadap tingkat
kecemasan pada anak usia pra sekolah (usia 3-6 tahun) yang mendapat
terapi injeksi intravena di ruang Aster Rumah Sakit Pertamina
Balikpapan?”.

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh teknik distraksi audio visual terhadap
tingkat kecemasan pada anak usia pra sekolah (usia 3-6 tahun) yang
mendapat terapi injeksi intravena di ruang Aster Rumah Sakit
Pertamina Balikpapan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi gambaran karakteristik responden berupa jenis
kelamin pada anak yang mendapat terapi injeksi intravena di
ruang Aster Rumah Sakit Pertamina Balikpapan.
b. Mengidentifikasi gambaran tingkat kecemasan pada anak pra
sekolah (usia 3-6 tahun) saat pemberian injeksi intravena
sebelum diberikan teknik distraksi audio visual di ruang Aster
Rumah Sakit Pertamina Balikpapan.
c. Mengidentifikasi gambaran tingkat kecemasan pada anak pra
sekolah (usia 3-6 tahun) saat pemberian injeksi intravena setelah
7

diberikan teknik distraksi audio visual di ruang Aster Rumah


Sakit Pertamina Balikpapan.
d. Menganalisa pengaruh teknik distraksi audio visual terhadap
tingkat kecemasan pada anak usia pra sekolah (usia 3-6 tahun)
yang mendapat terapi injeksi intravena di ruang Aster Rumah
Sakit Pertamina Balikpapan.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan Keperawatan
Penelitian ini di harapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
pengaruh teknik distraksi audio visual terhadap tingkat kecemasan
pada anak usia pra sekolah (usia 3-6 tahun) yang mendapat terapi
injeksi intravena di ruang Aster Rumah Sakit Pertamina Balikpapan,
serta menjadi pertimbangan bagi manajemen dalam meningkatkan
mutu pelayanan asuhan keperawatan dengan menyediakan media
audio visual di ruang perawatan anak sebagai upaya mengurangi
respon kecemasan saat mendapat terapi melalui injeksi intravena.

2. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan


Penelitian ini dapat menjadi masukkan dalam memberikan asuhan
keperawatan, khususnya dalam penanganan kecemasan pada anak
yang dilakukan tindakan invasif seperti pemberian injeksi intravena
dan juga dapat dijadikan sebagai bahan referensi keilmuan bagi
peneliti lainnya dengan variabel yang berbeda ditingkat keperawatan
lebih lanjut.
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori dan Konsep


1. Perawat
a. Definisi Perawat
Perawat (nurse) berasal dari bahasa latin yaitu kata nutrix yang
berarti merawat atau memelihara, perawat adalah seseorang yang
telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun
di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (UU No 38 tahun
2014). Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan
kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu
yang dimiliki diperoleh melalui pendidikan keperawatan (Budiono,
2016).
b. Macam-macam peran perawat
Menurut Budiono (2016) perawat dalam melaksanakan
keperawatan mempunyai peran dan fungsi sebagai perawat sebagai
berikut :
1). Pemberi asuhan keperawatan
Peran pertama perawat adalah memberikan asuhan
keperawatan dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar
manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan
keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan dari yang
sederhana sampai dengan kompleks.
2). Sebagai advocate
Perawat juga mampu sebagai advocate atau sebagai pembela
dalam beberapa hal seperti dalam menentukan haknya sebagai
pasien dengan menginterprestasikan berbagai informasi dari
pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam
pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang
9

diberikan kepada pasien, mempertahankan dan melindungi hak-


hak pasien.
3). Pendidik/edukator
Perawat bertugas memberikan pendidikan kesehatan kepada
pasien dalam hal ini individu, keluarga, serta, masyarakat sebagai
upaya menciptakan perilaku individu/masyarakat yang kondusif
bagi kesehatan, untuk dapat melaksanakan peran perawat
sebagai syarat utama, yaitu berupa wawasan ilmu
pengetahuan yang luas,kemampuan berkomunikasi,
pemahaman psikologi, dan kemampuan menjadi model/contoh
dalam perilaku professional
4). Kordinator
Mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan
kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan
kesehatan dapat terarah sesuai dengan kebutuhan pasien.
5). Kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim
kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-
lain berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang
diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan
bentuk pelayanan kesehatan selanjutnya
6). Konsultan
Perawat sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau
tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini
dilakukan atas permintaan pasien terhadap informasi tentang
tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
7). Sebagai pengelola (manager)
Perawat mempunyai peran dan tanggung jawab dalam mengelola
layanan keperawatan di semua tatanan layanan kesehatan maupun
tatanan pendidikan yang berada dalam tanggung jawabnya
sesuai dengan konsep manajemen
10

keperawatan. Manajemen keperawatan dapat diartikan sebagai


proses pelaksanaan layanan keperawatan melalui upaya staf
keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan,
pengobatan, dan rasa aman kepada pasien/keluarga/masyarakat
(Gillies, 1985 dalam Budiono, 2016).
c. Fungsi Perawat
Menurut Widyawati (2012) Dalam menjalankan tugasnya, perawat
memiliki beberapa fungsi yakni:
1). Fungsi Independen
Fungsi independen merupakan fungsi mandiri dan tidak
tergantung pada orang lain, di mana perawat dalam melak-
sanakan tugasnya dilakukan keputusan sendiri dalam
melakukan tindakan untuk mandiri dengan secara memenuhi
kebutuhan dasar manusia.
2). Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatan atas
pesan atau instruksi dari teman sejawat lain. Sehingga
sebagian tindakan pelimpahan tugas yang di berikan. Hal ini
biasanya hanya dilakukan oleh perawat dengan gelar spesialis
kepada perawat umum atau dari perawat primer ke perawat
pelaksana..
3). Fungsi Interdependen
Dalam pelaksanaanya fungsi ini dapat dilakukan dengan
membentuk kelompok tim yang bersifat saling mendukung dan
saling membutuhkan di antara tim yang satu dengan tim
lainnya, bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam
pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan
keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit yang
kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat
saja melainkan juga harus melibatkan dari dokter ataupun yang
lainnya.
11

2. Beban Kerja
a. Pengertian Beban Kerja
Beban kerja adalah besaran pekerjaan yang harus dilakukan oleh suatu
jabatan/unit organisasi dan merupakan hasil kali antara volume kerja
dan norma waktu. (Permendagri No. 12/2008 dalam Sitepu (2013).
Beban kerja merupakan keadaan dimana pekerja dihadapkan pada
tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. (Suryaningrum 2015).
b. Dimensi Beban Kerja
Menurut Carayon dan Alvarado (dalam Prawitasari, 2009) beban kerja
perawat mempunyai 6 dimensi yaitu :
1) Beban kerja fisik (physical workload) Beban kerja fisik yang
dilakukan oleh perawat bukan hanya terdiri dari tindakan
keperawatan langsung seperti mengangkat, meindahkan, dan
memandikan pasien, tetapi juga tindakan keperawatan tak
langsung seperti mengambil dan mengirim alat-alat medis
kebagian lain, repitisi perjalanan ke unit lain akibat adanya
peralatan yang hilang atau tidak berfungsi, atau bukan perjalanan
kebagian yang sangat jauh dari unit tempat ia bekerja (seperti
pusat 5 sterilisasi alat medis atau ruang rawat lain) yang mana hal
ini meningkatkan aktifitas berjalan (fifik) dari perawat Selain itu,
tatanan ruang secara ergonomik dan fifik dari ruang seringkali
menambah beban kerja perawat. Keterbatasan luas ruang ruang
rawat dan tempat penyimpanan alat seringkali menimbulkan
masalah. Kesibukan dan keterbatasan waktu menyebabbkan
banyak perawat lebih memilih untuk melakukan pekerjaan
tersebut sendirian dari pada meminta bantuan kepada perawat atau
tenaga lain.
2) Beban kognitif (cognitive workload) Beban kerja kognitif
berhubungan dengan kebutuhan para perawat untuk memproses
12

informasi yang sering kali terjadi dalam waktu singkat. Banyak


situasi tertentu yang mengharuskan perawat mengambil keputusan
secara cepat yang mana ini berarti perawat harus secara cepat pula
melakukan penyesuaian kognitif terhadap pasien sepanjang pasien
dirawat, baik yang terencana (misal perubahan jadwal dinas)
maupun yang tidak terencana (perubahan kondisi pasien secara
tiba-tiba). Selain itu perawat secara terus menerus tetap melakukan
tugas-tugas kognitifnya selama melakukan lainnya (misal
pemberian obat, mengambil alat-alat yang diperlukan pasien)
3) Tekanan waktu (time pressure) Tekanan waktu berhubungan
dengan hal-hal yang harus dilakukan secara cepat dan dalam
waktu yang sangat terbatas. Tugas yang dilakukan oleh para
perawat sangat banyak, yang dilakukan sesuai dengan waktu yang
bersifat regular atau kekerapannya (misal memberikan, mengkaji,
mengukur hasil, mendokumentasi). Adanya gangguan pada tugas
yang telah terpola ini menimbulkan peningkatan terhadap waktu
yang ada.
4) Beban kerja emosional (emotional workload) Beban kerja
emosional lazim terjadi pada lingkungan kerja. Terkadang persepsi
perawat dengan keluarga sering kali tidak sama yang mana hal ini
menimbulkan konflik dan masalah.
5) Beban kerja kuantitatif (quantitative workload) dan beban kerja
kualitatif (qualitative workload) 6 Beban kerja kuantitatif
didefinisikan sebagai jumlah pekerjaan yang dilakukan, sedangkan
beban kerja kualitatif dinyatakan sebgai tingkat kesulitan dari
pekerjaan yang dilakukan. beban kerja kuantitatif perawat dapat
diukur dengan menggunakan alat pengukur kerja berdasarkan
tingkat ketergantungan pasein yang mengukur jumlah pekerjaan
yang dilakukan oleh perawat.
6) Variasi beban kerja (workload variabilty) Variasi beban kerja
adalah perubahan beban kerja yang berkesinambungan pada waktu
tertentu. Situasi genting adalah contoh lain dari variasi beban kerja
13

dimana pada keadaan ini tiba-tiba beban kerja meningkat sebagai


konsekuensi adanya situasi gawat pada pasien, sehingga mereka
harus berksonsentrasi menghadapi kondisi pasien yang tidak
stabil.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja
Menurut Manoeba (dalam Soleman, 2011) beban kerja dipengaruhi
faktor-faktor sebagai berikut:
1). Faktor eksternal yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja,
seperti :
a). Tugas-tugas yang dilakukan yang bersifat fisik seperti tata
ruang, tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap
kerja, sedangkan tugas jenis beban kerja tugas yang bersikap
mental seperti kompleksitas pekerjaan, tingkat kesulitan
pekerjaan, tanggung jawab pekerjaan.
b). Organisasi kerja seperti lainnya waktu kerja, waktu istirahat,
kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, model struktur
organisasi, pelimpahan tugas dan wewenang.
c). Lingkungan kerja adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan
kimiawi, lingkungan kerja biologis dan lingkungan kerja
psikologis.
2). Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu
sendiri akibat dari reaksi beban kerja eksternal. Reaksi tubuh
disebut Strain, berat ringannya strain dapat dinilai baik secara
obyektif maupun subyektif. Faktor internal meliputi faktor somatis
(jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan),
faktor psikis seperti motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan dan
kepuasan (Soleman, 2011).
14

d. Dampak beban kerja


Beban kerja dapat menimbulkan stress, dimana stress merupakan
reaksi yang muncul pada tubuh yang disebabkan oleh berbagai
tuntutan, misalnya menghadapi tantangan (collange), ancaman
(treath), ataupun harapan-harapan yang tidak realistis dari
lingkungan ( Ambarwati, 2014).

e. Teknik perhitungan beban kerja perawat


Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan
beban kerja perawat antara lain (Nursalam, 2014) :
1). Jumlah pasien yang dirawat setiap hari/bulan/tahun di unit
tersebut
2). Kondisi atau tingkat ketergantungan pasien
3). Rata-rata hari perawatan
4). Pengukuran keperawatan langsung, perawatan tidak langsung dan
pendidikan kesehatan
5). Frekuensi tindakan perawatan yang dibutuhkan pasien
6). Rata-rata waktu perawatan langsung, tidak langsung dan
pendidikan kesehatan.
7). Penilaian beban kerja merupakan teknik memperoleh data
efektivitas dan efesiensi pekerjaan dari suatu institusi atau suatu
jabatan secara sistematis dengan teknik analisis jabatan atau
analisis beban kerja.
15

3. Konsep Stress Kerja


a. Pengertian stres kerja
Stres adalah reaksi dari tubuh terhadap lingkungan yang dapat
memperbaiki diri kita yang juga merupakan bagian dari sistem
pertahanan yang membuat kita tetap hidup (Nasir & Muhith, 2011).
Stres kerja sebagai kondisi yang dinamis dimana seseorang
dikonfrontasikan dengan kesempatan, hambatan, atau tuntutan yang
berhubungan dengan apa yang diinginkannya dan untuk itu
keberhasilannya ternyata tidak pasti. (Robbins, 2007) .
b. Jenis stres
Menurut Nasir & Muhith (2011), jenis stress ada dua, yaitu stress baik
dan Stress buruk :
1). Stres yang baik (eustres) adalah sesuatu yang positif. Stres
dikatakan baik apabila seseorang mencoba untuk memenuhi
tuntutan untuk menjadikan orang lain maupun dirinya sendiri
mendapatkan sesuatu yang baik dan berharga.
2). Stres yang buruk (distres) adalah stress yang bersifat negatif.
Distres dihasilkan dari sebuah proses yang memaknai sesuatu
yang buruk, dimana respon yang digunakan selalu negatif dan ada
indikasi mengganggu integritas
diri sehingga bisa diartikan sebagai sebuah ancaman.
c. Tingkat stres
Menurut Potter dan Perry (2005), stress dibagi menjadi tiga
tingkatan,
antara lain :
1). Ringan
16

Stres dikatakan ringan jika stres yang dialami seseorang teratur dan
tidak menyebabkan gangguan atau perubahan dalam hidupnya
dan hanya berlangsung beberapa menit atau jam saja. Tanda dan
gejalanya sedikit tegang dan was-was.

2). Sedang
Stres dikatakan sedang jika stress yang muncul berlangsung
lebih lama dari pada tingkat ringan, dan berlangsung beberapa
jam sampai hari. Tanda dan gejalanya yaitu mulai kesulitan untuk
tidur, sering menyendiri dan tegang.
3). Berat
Stress dikatakan berat jika berlangsung beberapa minggu sampai
beberapa tahun dan bersifat situasi kronis. Pada situasi ini
individu sudah mulai ada gangguan fisik dan mental.
d. Tahapan stres
Menurut Dadang (2011), tahapan stress yaitu:
1). Tahap I
Tahap ini adalah tingkat yang paling ringan yang biasanya
ditandai dengan adanya semangat yang lebih, penglihatan lebih
tajam dari biasanya, merasa bisa menyelesaikan pekerjaan lebih
dari biasanya namun tanpa sadar energi dan rasa gugup
dikeluarkan berlebihan, dan merasa senang dengan pekerjaannya
itu dan semakin bertambah semangat, namun tanpa disadari
cadangan energi semakin menipis.
2). Tahap II
Tahap ini, dampak stres yang semula menyenangkan mulai
menghilang disertai dengan muncul keluhan-keluhan karena
cadangan energi habis. Keluhan-keluhan yang dirasakan seperti
letih sewaktu bangun pagi, merasa tidak bisa santai, tengkuk dan
punggung terasa tegang, mudah lelah menjelang sore hari, adanya
gangguan pada pencernaan dan jantung berdebar-debar.
17

3).Tahap III
Tingkat stres apabila sebelumnya tidak segera ditangani dengan
baik, maka akan mengalami keluhan yang semakin nyata, seperti
terjadi gangguan pada usus dan lambung (mual-mual, diare), otot-
otot semakin tegang, perasaan tidak tenang dan was-was,
perasaan tidak berenergi pada tubuh, dan munculnya gangguan
tidur.
4). Tahap IV
Tahap ini individu akan mengalami penurunan konsentrasi yang
berlebihan, timbulnya perasaan negative, pola tidur semakin
tidak teratur, perasaan takut dan khawatir yang tidak jelas
penyebabnya, dan tidak ada minat untuk melakukan aktivitas.
5). Tahap V
Tahap ini gejala yang ditimbulkan lebih serius yaitu
ketidakmampuan untuk melakukan pekerjaan yang sederhana,
perasaan cemas dan takut semakin meningkat dan terjadi gangguan
pencernaan yang tambah parah.
6). Tahap VI
Tahap ini merupakan tahap akhir, yang ditandai dengan
kesulitan
bernapas, badan gemetar dan keringat keluar berlebihan, detak
jantung semakin cepat, merasa mudah lelah dan memungkinkan
pingsan dan kolaps.

e. Gejala stres
Menurut Zuyina Lukluk A & Siti Bandiyah tahun 2011, Stres memiliki
dua gejala, yaitu gejala fisik dan psikis.
1). Gejala stres secara fisik dapat berupa jantung berdebar, nafas
cepat dan memburu/terengah-engah, mulut kering, lutut gemetar,
suara menjadi sesak, perut melilit, nyeri kepala seperti diikat,
berkeringat banyak, tangan lembab, letih yang tak beralasan, merasa
gerah, panas, otot tegang.
18

2). Keadaan stres dapat membuat orang-orang yang mengalaminya


merasa gejalagejala psikoneurosa, seperti cemas, resah, gelisah,
sedih, depresi, curiga, fobia, bingung, salah paham, agresi, labil,
jengkel, marah, lekas panik, cermat secara berlebihan.
2.2.6 Faktor-faktor yang behubungan dengan stres
Menurut Munandar (2008) dalam psikologi, faktor-faktor yang
mempengaruhi stres adalah :
1. Tuntutan tugas
1) Shift kerja
Penelitian kepada para pekerja sift menunjukkan bahwa sift
kerja
merupakan sumber utama dari stress bagi para pekerja. (Monk
& Tepas
1985 dalam Komara 2012).
14
2) Beban kerja
Beban kerja adalah kombinasi dari beban kerja kuantitatif dan
kualitatif. Beban kerja secara kuantitatif yaitu timbul karena
tugas-tugas
terlalu banyak atau sedikit, sedangkan beban kerja kualitatif jika
pekerja
merasa tidak mampu melakukan tugas atau tidak menggunakan
keterampilan atau potensi dari pekerja (Munandar, 2008).
2. Peran individu dalam organisasi
Setiap pekerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi,
artinya
tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus ia
lakukan sesuai
dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan
atasannya.
Namun demikian, pekerja tidak selalu berhasil memainkan
perannya tanpa
19

menimbulkan masalah sehingga hal ini merupakan pembangkit


stres yang
meliputi konflik peran dan ketidak jelasan kerja (Komara, 2012).
3. Pengembangan karir
Pengembangan karir merupakan pembangkit stres yang potensial
yang
mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi yang berlebih atau
promosi yang
kurang (Komara, 2012).
4. Hubungan dalam pekerjaan
Hubungan yang buruk dengan atasan, rekan kerja dan bawahan
dalam
bekerja dapat memicu timbulnya stres dan absnteisme dalam bekerja
(Komara,
2012).
5. Struktur dan iklim organisasi
Faktor stres yang dikemukakan dalam kategori ini berpusat pada
sejauh
mana tenaga dapat terlibat atau berperan serta dan pada support
sosial.
15
Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam keputusan berhubungan
dengan
suasana hati dan perilaku negative. (Komara, 2012).
6. Tuntutan dari luar organisasi
Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsure
kehidupan seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-
peristiwa
kehidupan dan kerja dalam satu organisasi, dengan demikian
member tekanan
pada individu. Namun perlu diketahui bahwa peristiwa pribadi
dapat
20

meringankan akibat dari pembangkit stres organisasi. Jadi


support sosial
berfungsi sebagai bantal penahan stres (Komara, 2012).
7. Ciri-ciri individu
Stres ditentukan pula oleh individunya sendiri, sejauh mana ia
melihat
situasinya sebagai penuh stres (Komara, 2012).
1) Kepribadian
Faktor-faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh
antara
rangsangan dari lingkungan yang merupakan pembangkit stres
potensial
dengan individu.
2) Masa kerja
Masa kerja mempunyai potensial untuk terjadinya stres yang
memberikan
reaksi sepanjang waktu dan terhadap perubahan intensitas stres, baik
masa
kerja yang sebentar ataupun lama dapat menjadi pemicu terjadinya
stres.
3) Umur
Tingkat stres juga mempengaruhi umur termasuk remaja, karena
para
remaja memiliki lebih banyak kegiatan dan tidak tersedianya waktu
yang
cukup untuk mengurus hal lain yang menarik perhatian mereka.
16
4) Pendidikan
Pendidikan berpengaruh pada tingkat pengalaman stres. Tingkat
pendidikan yang rendah memungkinkan mengalami tingkat stres
yang
lebih tinggi.
21

2.2.7 Dampak stres


Menurut Cohen (2009), stress memiliki dampak pada fisik dan
psikologis
pada individu. Stres dalam jangka panjang bisa memperburuk
keadaan fisik dan
mampu mengakibatkan banyak penyakit, apabila individu
mengalami stress
kronis, maka individu tersebut akan melakukan perbuatan-perbuatan
yang negatif
(aktivitas tidur terganggu, jarang berolahraga, penurunan sistem
kekebalan tubuh
sehingga tubuh mudah terkena penyakit). Individu yang
mengalami stress dapat
beresiko mengalami depresi, dimana dapat memperburuk
kepribadian seseorang
dan kualitas hidup juga akan buruk.
Depresi pada seseorang membuat seseorang tersebut menarik
diri dari
lingkungan dan sosial. Seseorang dengan stress ringan atau tidak
stress, mereka
mempunyai pandangan yang positif terhadap masalah yang
dihadapinya, mereka
menganggap masalah sebagai pengalaman, dapat mengatasi
masalah tersebut,
cenderung memiliki kualitas hidup yang baik, kepribadian yang
baik, karena
hubungan sosial tetap terjaga Cohen (2009).
2.2.8 Sumber-sumber stres
Sumber-sumber stres kerja yang lazim dalam keperawatan
(Priharjo, 2007)
yaitu :
22

1. Beban kerja berlebihan, misalnya merawat pasien yang


terlalu banyak,
mengalami kesulitan dalam mempertahankan standar yang tinggi,
merasa
17
tidak mampu member dukungan yang dibutuhkan teman kerja
dan
menghadapi masalah keterbatasan tenaga.
2. Kesulitan menjalin hubungan dengan staf lain, misalnya
mengalami konflik
dengan teman sejawat, dan gagal membentuk tim kerja dengan staf.
3. Kesulitan terlibat dalam merawat pasien kritis, misalnya
menjalankan
peralatan yang belum dikenal, mengelola prosedur atau tindakan
baru dan
bekerja dengan dokter yang menuntut jawaban dan tindakan cepat.
4. Berurusan dengan pengobatan/perawatan pasien, misalnya
bekerja dengan
dokter yang tidak memahami kebutuhan sosial dan emosional pasien,
terlibat
dalam ketidaksepakatan pada program tindakan, merasa tidak
pasti sejauh
mana harus memberi informasi pada pasien atau keluarga dan
merawat pasien
sulit atau tidak kerjasama.
5. Merawat pasien yang gagal untuk membaik, misalnya pasien
lansia, pasien
nyeri kronis atau mereka yang meninggal setelah dirawat.
2.2.9 Upaya penanggulangan stres kerja
Stres kerja sampai saat ini merupakan factor pemicu
peningkatan beban
23

kerja karyawan, akan tetapi apabila sudah melewati titik tersebut,


keberadaan stres
kerja justru akan memicu terjadinya permasalahan yang akan
berpengaruh
terhadap kinerja atau performance, oleh karena itu perlu
dilakukan
penanggulangan terhadap stres kerja (Antonio Carceres, 2009)
memberikan
upaya-upaya mengatasi stres kerja, meliputi :
1. Relaksasi dan meditasi relaksasi. Suatu cara menetralisir
ketegangan emosi
maupun fisik. Teknik-teknik relaksasi yang dikembangkan para
ahli
mempunyai tujuan mengurangi ketegangan melalui latihan
mengendurkan
18
otot-otot dan urat saraf. Untuk meditasi ini dapat berkonsentrasi pada
suatu hal
tertentu. Beberapa cara meditasi adalah mendengarkan music,
menikmati alam
yang indah dan bisa dengan melakukan yoga.
2. Pelatihan program pelatihan stres dengan tujuan agar karyawan
memiliki daya
tahan terhadap stres dan memiliki kemampuan lebih baik untuk
mengatasi
stres.
3. Terapi (treatment) yang bersifat fisik maupun psikis. Terapi
yang bersifat
psikis disebut psikoterapi. Terapi dapat juga berarti semua
bantuan metodis
atau sistematis, yang diberikan oleh orang yang ahli kepada
orang yang
24

membutuhkan bantuan dalam situasi yang sulit. Jadi terapi


mengandung
pengertian adanya hubungan antara dua pihak, yaitu orang yang
ahli dalam
bidang terapi dan orang yang membutuhkan. Salah satu bentuk
terapi yang
sering digunakan untuk mengatasi stres adalah terapi perilaku atau
“behavior
therapy”. Terapi perilaku adalah terapi yang memusatkan
perhatian pada
pengubahan perilaku dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
(Zuyina
Lukluk A & Siti Bandiyah, 2011), ada 10 cara sehat untuk
mengatasi stres,
antara lain :
1) Acupressure
Pijatan-pijatan pada titik tertentu akan membatu menstimulasi
titik-titik
penyembuhan. Prosedur ini sangat membantu untuk relaks dan
membantu
meringankan kepenatan.
19
2) Olahraga
Olahraga sangat efektif untuk mengatasi stres karena
berolahraga akan
memperlancar peredaran darah dan membuka jantung untuk
menerima
lebih banyak oksigen.
3) Hobby
Hobby yang melibatkan banyak orang dalam satu grup juga
sangat
25

dianjurkan karena hobby ini akan sangat kondusif terhadap


kehidupan
sosial seseorang.
4) Pijat
Pijatan tidak hanya ampuh untuk menenangkan pikiran dan
jiwa, tetapi
juga dapat membantu untuk meregangkan otot-otot yang penat
dan
stimulasi peredaran darah.
5) Meditasi
Meditasi dapat membantu seseorang untuk menjernihkan pikiran
dan
berkonsentrasi pada ketenangan alam sekitarnya. Telah dibuktikan
bahwa
meditasi selama 15 menit memberikan istirahat dan ketenangan yang
lebih
dibandingkan tidur nyenyak selama 1 jam.
6) Tidur kelelahan bukan kondisi yang bagus untuk mengatasi stres.
Kondisi
kurang tidur akan membuat anda melihat masalah secara
berlebihan dan
memperburuk situasi.
7) Terapi dengan mengunjungi ahli terapi secara teratur akan
sangat
membantu anda mengatasi stres.
20
Stres kerja dapat dihitung dari beberapa aspek. Aspek-aspek stres
Sarafino
dan Smith (2012) membagi aspek-aspek stres menjadi tiga, yaitu :
1. Aspek biologis
Aspek biologis dari stres yaitu berupa gejala fisik. Gejala fisik dari
stres
26

yang dialami individu antara lain sakit kepala, gangguan tidur,


gangguan
pencernaan, gangguan makan, gangguan kulit, dan produksi
keringat yang
berlebihan. Disamping itu gejala fisik lainnya juga ditandai
dengan adanya
otot-otot tegang, pernafasan dan jantung tidak teratur, gugup, cemas,
gelisah,
perubahan nafsu makan, maag, dan lain sebagainya (Wilkinson,
2007).
2. Aspek psikologis
Aspek psikologis stres yaitu berupa gejala psikis. Gejala psikis dari
stres
antara lain:
1) Gejala kognisi (pikiran)
Kondisi stres dapat mengganggu proses pikir individu. Individu
yang
mengalami stres cenderung mengalami gangguan daya ingat,
perhatian,
dan konsentrasi. Disamping itu Davis, Nelson & Agus (dalam Amin
& Alfandi, 2007) menyebutkan bahwa gejala kognisi ditandai
juga dengan
adanya harga diri yang rendah, takut gagal, mudah bertindak
memalukan,
cemas akan masa depan dan emosi labil.
2) Gejala emosi kondisi stres dapat mengganggu kestabilan emosi
individu.
Individu yang mengalami stres akan menunjukkan gejala mudah
marah,
kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa
sedih, dan
27

depresi. Gejala emosi lainnya juga ditandai dengan adanya perasaan


tidak
mampu mengatasi masalah, merasa ketakutan atau ciut hati,
merasa
21
tertekan dan mudah marah (Wilkinson, 2002 ; Davis, Nelson &
Agus
dalam Amin & Al-fandi, 2007).
3. Aspel sosial
Gejala tingkah laku kondisi stres dapat mempengaruhi tingkah
laku
sehari-hari yang cenderung negatif sehingga menimbulkan
masalah dalam
hubungan interpersonal. Gejala tingkah laku yang muncul adalah
sulit bekerja
sama, kehilangan minat, tidak mampu rileks, mudah terkejut
atau kaget,
kebutuhan seks, obat-obatan, lakohol dan merokok cenderung
meningkat
(Wilkinson, 2002 ; Davis, Nelson & Agus dalam Amin & Alfandi,
2007).
Tingkatan stres pada instrument ini berupa ringan, sedang, berat.
Dikatakan
ringan (nilainya 35-70), sedang (nilainya 71-105), berat
(nilainya >105).
Pertanyaan tersebut terdiri atas beberapa aspek yakni aspek
biologis, aspek
psikologis, aspek sosial (Nursalam, 2014)
28

f. Konsep Anak
a. Definisi
Menurut WHO definisi anak adalah dihitung sejak seseorang di
dalam kandungan sampai dengan usia 19 tahun. Menurut Undang-
Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 pasal 1 ayat 1
tentang perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun, termasuk juga yang masih di dalam kandungan.
Anak merupakan aset bangsa yang akan meneruskan perjuangan
suatu bangsa, sehingga harus diperhatikan pertumbuhan dan
perkembangannya (Depkes RI, 2014).

Anak adalah individu yang berada dalam satu rentang perubahan


perkembangan yang di mulai dari bayi hingga remaja. Masa anak
yaitu masa pertumbuhan dan perkembangan yang di mulai dari bayi
(0-1 tahun) usia bermain/toddler (1-2.5 tahun) pra sekolah (2,5-5
tahun) usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja usia (11-18 tahun)
(Wong,2009).

b. Kebutuhan Dasar Anak


Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum
digolongkan menjadi kebutuhan fisik-biomedis (asuh) yang meliputi
pangan atau gizi, perawatan kesehatan dasar, tempat tinggal yang
layak, sanitasi, sandang, kesegaran jasmani atau rekreasi.Kebutuhan
emosi atau kasih sayang (Asih), pada tahun-tahun pertama
kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu atau
pengganti ibu dengan anak merupakan syarat yang mutlak untuk
menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun
psikososial. Kebutuhan akan stimulasi mental (Asah), stimulasi
mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan
pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini mengembangkan
perkembangan mental psikososial diantaranya kecerdasan,
29

keterampilan, kemandirian, kreaktivitas, agama, kepribadian dan


sebagainya.

c. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pertumbuhan anak yaitu bertambahnya ukuran fisik dan struktur
tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multifikasi
sel-sel tubuh serta bertambah besarnya ukuran sel (Wong,2009).
Pertumbuhan lebih ditekankan pada bertambahnya ukuran fisik
seseorang, yaitu menjadi lebih besar atau lebih matang bentuknya,
seperti bertambahnya ukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar
kepala. Pertumbuhan pada masa anak-anak bervariasi sesuai dengan
bertambahnya usia anak.

Perkembangan yatu bertambahnya kemampuan dan struktur fungsi


tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat
diperkirakan dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi
sel,jaringan tubuh,organ-organ dan sistemnya yang terorganisasi
(IDAI,2000). Aspek perkembangan bersifat kualitatif yaitu
pertambahan kematangan fungsi dari masing-masing bagian tubuh.
Perkembangan diawali dengan berfungsinya jantung untuk
memompakan darah,kemampuan untuk bernafas sampai kemampuan
anak untuk tengkurap,duduk,berdiri,berjalan memungut benda-benda
di sekelilingnya,serta kematangan emosi dan sosial anak.

Menurut Damaiyanti (2010), karakteristik anak sesuai tingkat


perkembangan :
1) Usia bayi (0-1 tahun)
Pada masa ini bayi belum dapat mengekspresikan perasaan dan
pikirannya dengan kata-kata. Oleh karena itu, komunikasi dengan
bayi lebih banyak menggunakan jenis komunikasi non verbal.
Pada saat lapar, haus, basah dan perasaan tidak nyaman lainnya,
bayi hanya bisa mengekspresikan perasaannya dengan menangis.
30

Walaupun demikian, sebenarnya bayi dapat berespon terhadap


tingkah laku orang dewasa yang berkomunikasi dengannya
secara non verbal, misalnya memberikan sentuhan, dekapan, dan
menggendong dan berbicara lemah lembut. Ada beberapa respon
non verbal yang biasa ditunjukkan bayi misalnya menggerakkan
badan, tangan dan kaki. Hal ini terutama terjadi pada bayi kurang
dari enam bulan sebagai cara menarik perhatian orang. Oleh
karena itu, perhatian saat berkomunikasi dengannya. Jangan
langsung menggendong atau memangkunya karena bayi akan
merasa takut. Lakukan komunikasi terlebih dahulu dengan
ibunya. Tunjukkan bahwa kita ingin membina hubungan yang
baik dengan ibunya.

2) Usia pra sekolah (2-5 tahun)


Karakteristik anak pada masa ini terutama pada anak dibawah 3
tahun adalah sangat egosentris. Selain itu anak juga mempunyai
perasaan takut oada ketidaktahuan sehingga anak perlu diberi
tahu tentang apa yang akan akan terjadi padanya. Misalnya, pada
saat akan diukur suhu, anak akan merasa melihat alat yang akan
ditempelkan ke tubuhnya. Oleh karena itu jelaskan bagaimana
akan merasakannya. Beri kesempatan padanya untuk memegang
thermometer sampai ia yakin bahwa alat tersebut tidak berbahaya
untuknya. Dari hal bahasa, anak belum mampu berbicara fasih.
Hal ini disebabkan karena anak belum mampu berkata-kata 900-
1200 kata. Oleh karena itu saat menjelaskan, gunakan kata-kata
yang sederhana, singkat dan gunakan istilah yang dikenalnya.
Berkomunikasi dengan anak melalui objek transisional seperti
boneka. Berbicara dengan orangtua bila anak malu-malu. Beri
kesempatan pada yang lebih besar untuk berbicara tanpa
keberadaan orangtua. 12 Satu hal yang akan mendorong anak
untuk meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi adalah
dengan memberikan pujian atas apa yang telah dicapainya.
31

3) Usia sekolah (6-12 tahun)


Anak pada usia ini sudah sangat peka terhadap stimulus yang
dirasakan yang mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu,
apabila berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan anak diusia
ini harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak dan
berikan contoh yang jelas sesuai dengan kemampuan
kognitifnya. Anak usia sekolah sudah lebih mampu
berkomunikasi dengan orang dewasa. Perbendaharaan katanya
sudah banyak, sekitar 3000 kata dikuasi dan anak sudah mampu
berpikir secara konkret.

4) Usia remaja (13-18)


Fase remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari akhir
masa anak-anak menuju masa dewasa. Dengan demikian, pola
piker dan tingkah laku anak merupakan peralihan dari anak-anak
menuju orang dewasa. Anak harus diberi kesempatan untuk
belajar memecahkan masalah secara positif. Apabila anak merasa
cemas atau stress, jelaskan bahwa ia dapat mengajak bicara
teman sebaya atau orang dewasa yang ia percaya. 13 Menghargai
keberadaan identitas diri dan harga diri merupakan hal yang
prinsip dalam berkomunikasi. Luangkan waktu bersama dan
tunjukkan ekspresi wajah bahagia.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak


(Hidayah, 2009)
1) Faktor Intern (Alami)
Faktor intern adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan
yang berasal dari dalam individu itu sendiri. Berikut ini
merupakan beberapa hal yang diduga sebagai faktor intern yang
mempengaruhi proses perkembangan.
32

a) Genetika/Hereditas (Keturunan)Pertumbuhan dan


perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh factor
keturunan/genetik yang didapat dari orangtuanya.Faktor
genetik lebih menekankan pada aspek fisiologis dan
psikologis yang yang dibawa melalui alian darah dalam
kromosom sehingga faktor ini bersifat statis, misalnya
bentuk fisik, kesehatan, sifat, kepribadian, minat, bakat,
kecerdasan.
b) Hormon Pengaruh hormon sudah terjadi sejak masa prenatal,
yaitu saat janin berumur 4 bulan, pada saat itu terjadi
pertumbuhan yang cepat. Beberapa hormon yang
berpengaruh dalam proses tumbuh kembang anak adalah
hormon pertumbuhan somatotropin, sedangkan hormon
estrogen dan progesteron merupakan hormoneseksual yang
berguna saat anak mulai memasuki usia remaja sebagai salah
satu penanda kematangan individu.

2) Faktor Ekstern (Lingkungan)


Faktor eksterna merupakan faktor yang mempengaruhi
perkembangan anak yang berasal dari luar individu/lingkungan,
baik dalam bentuk lingkungan fisik yang berupa kondisi rumah,
gizi, kesehatan lingkungan, dan sebagainya.Sedangkan
lingkungan psikis berupa faktor kebudayaan, sikap, keyakinan,
nilai nilai yang dianut dan sebagainya.
a) Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak,
keluarga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
proses tumbuh kembang anak. Dukungan dan bimbingan
yang tepat dari keluarga akan memaksimalkan pertumbuhan
dan perkembangan anak, sehingga anak akan banyak belajar
dari orangtuanya.
33

b) Kelompok Teman Sebaya Saat anak sudah memasuki usia


sekolah, teman sebaya akan sangat berpengaruh pada
perkembangan anak hal ini dikarenakan anak-anak lebih
banyak menghabiskan waktu bersama dengan temannya.
Saat bersama teman temannya anak akan mempelajari apa
yang tidak didapatkan dikeluarga misalnya saja tentang
persaingan, kerjasama, saling menghormati perbedaan, dan
hal-hal lain yang akan sangat berguna dalam proses
perkembangan.

c) Pengalaman hidup Pengalaman hidup dan proses


pembelajaran menjadikan anak berkembang dengan cara
mengaplikasikan apa yang telah dipelajari pada kebutuhan
yang perlu dipelajari. Semakin banyak pengalaman hidup
yang dipelajari maka akan sangat membantu anak untuk
menyelesaikan tugas perkembangannya.

d) Kesehatan Lingkungan Tingkat kesehatan mempengaruhi


respon anak terhadap lingkungan dan respon orang lain pada
anak tersebut, sehingga proses pekembangan dapat
terganggu bila kesehatan lingkungan tidak kondusif. Sakit
atau luka berpotensi mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan.

e. Anak Usia 3-6 tahun (pra sekolah)


Menurut Potts & Mandeleco (2012) Anak prasekolah adalah anak
yang berumur antara 3-6 tahun, pada masa ini anak-anak senang
berimajinasi dan percaya bahwa mereka memiliki kekuatan. Pada
usia prasekolah, anak membangun kontrol sistem tubuh seperti
kemampuan ke toilet, berpakaian, dan makan sendiri. Penggunaan
bahasa dalam berinteraksi merupakan modal awal anak dalam
mempersiapkan tahap perkembangan berikutnya yaitu tahap sekolah.
34

Pengertian serupa juga disebutkan oleh Hockenberry dan Wilson


(2011) mengatakan bahwa anak usia prasekolah berada pada usia 3
samapi 6 tahun dan mengalami kombinasi dari perkembangan
biologis, psikologis, kognitif, spiritual dan sosial.

Menurut Riyadi (2019) perkembangan anak usia prasekolah meliputi


1) Perkembangan kognisi.
Perkembangan kognisi pada masa prasekolah memiliki ciri-ciri
berupa anak sudah mamapu memahami sebab akibat secara
sederhana, mampu mengelompokan objek, orang dan kejadian
menjadi memiliki arti atau makna.Anak memulai memahami
angka-angka, dapat menghitung dan memahami jumlah.Selain
itu anak mulai belajar menggambar dan mengenal warna.
Menurut Plaget dalam Hockenberry dan Wilson (2011)
Perkembangan kognitif anak usia prasekolah berada dalam fase
preoperasional, yaitu tahapan dimana anak mempu berfikir satu
ide pada satu waktu.

2) Perkembangan Sosial emosional


Anak usia prasekolah mengalami perkembangan sosial yang
lebih luas dibandingkan dengan tahap sebelumnya karena anak
sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya.
Interaksi dengan teman sebaya pada masa ini terjadi dengan
bermain.

3) Perkembangan Psikososial
Menurut Adriana, 2011, adalah sebagai berikut
a) Usia 3 tahun
Perkembangan psikososial yang dialami anak berupa
berpakaian sendiri hampir lengkap, dibantu bila dengan
kancing di belakang, dan mencocokan sepatu kanan dan
35

kiri, mengalami peningkatan tentang perhatian, makan


sendiri, dapat menyiapkan makana sederhana seperti
sereal, dapat membantu mengatur meja, mengetahui jenis
kelamin sendiri dan orang lain, egosentrik dalam berfikir
dan tingkah laku, mulai memahami waktu, mulai mampu
memandang konsep dari perspektif yang berbeda, mulai
mempelajari permainan sederhana, tetapi sering mengikuti
aturannya sendiri, serta mulai berbagi, menyembunyikan
mainannya untuk memastikan tidak akan digunakan oleh
anggota keluarga yang lain.

b) Usia 4 tahun
Anak akan bersifat mandiri, cenderung keras kepala dan
tidak sabar, agresif secara fisik dan verbal, mendapat
kebanggaan dalam pencapaian, memamerkan secara
dramatis, menikmati pertunjukan orang lain, menceritakan
cerita keluarga kepada orang lain tanpa batasan, masih
mempunyai banyak rasa takut, menghubungkan sebab
akibat dengan kejadian, memahami waktu dengan baik
khususnya dalam istilah urutan kejadian sehari-hari,
egosentrik berkurang dan kesadaran social lebih tinggi,
patuh pada orang tua karena batasan bukan karena
memahami benar atau salah, permainan asosiatif seperti
menghayalakan teman bermain, menggunakan alat
dramatis, imajinatif, dan imitative seperti melalui bermain
menjadi “dokter”.

c) Usia 5 tahun
Anak akan lebih tenang dan berusaha untuk menyelesaikan
urusan, mandiri, tapi dapat dipercaya, tidak kasar, lebih
bertangguang jawab, mengalami sedikit rasa takut,
mengandalkan otoritas luar untuk mengendalikan
36

dunianya, berhasrat untuk melakukan sesuatu dengan


benar dan mudah, mencoba mengikuti aturan, menunjukan
sikap yang lebih baik, memperhatikan diri sendiri secara
total tetapi perlu pengawasan, mulai dari bertanya apa
yang dipikirkan orang tua dengan membandingkannya
dengan teman sebaya orang dewasa lain, sangat ingin tahu
informasi factual mengenai dunia, dalam permainan
mencoba mengikuti aturan tetapi berlaku curang untuk
menghindari kekalahan.

d) Usia 6 tahun
Anak dapat berbagi dan berkerja sama dengan baik, akan
curang untuk menang, sering masuk dalam permainan
kasar, sering cemburu terhadap adik, melakukan apa yang
orang dewasa lakukan , kadang mengalami temper
tantrum, lebih mandiri, mungkin karena pengaruh sekolah,
mempunyai cara sendiri untuk melakukan sesuatu,
meningkatkan sosialisasi, dapat mematuhi tiga macam
perintah sekaligus.

Perkembangan social anak dipengaruhi oleh kemampuan bahasa


anak, kemapuan bahasa terus berkembang dengan pesat pada
kelompok anak usia prasekolah. Anak usia prasekolah ketika
menjalani rawat inap dirumah sakit sering kali menunjukan
respon yang berbeda. Respon fisologis yang sering nampak
seperti gelisah, reaksi kaget, menangis, berontak, menghindar
hingga menarik diri . Anak usia prasekolah yang berusia 3
sampai 6 tahun mengalami stress terhadap penyakitnya sehingga
anak merasa tidak nyaman. Lingkungan rumah sakit serta staf
yang bertugas tidak dikenal anak membuat anak takut untuk
ditinggalkan orang tuanya sehingga mereka menunjukan prilaku
37

yang berbeda unyuk mengatasi kritis yang dialaminya Menurut


(Wong,2009).

g. Media Audio Visual


a. Definisi
Media visual, merupakan media yang hanya dapat dilihat dengan
menggunakan indra penglihatan yang terdiri atas media yang dapat
diproyeksikan dan media yang tidak dapat diproyeksikan yang
biasanya berupa gambar diam atau gambar bergerak. Media audio,
merupakan media yang mengandung pesan dalam bentuk auditif
yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan
para peserta didik untuk mempelajari bahan ajar. Contoh dari media
audio ini adalah program kaset suara dan program radio. Media
audio-visual, yaitu media yang merupakan kombinasi audio dan
visual atau biasa disebut media pandang-dengar (Rusman,dkk,
2012). Media audio visual adalah Sebuah alat bantu yang
dipergunakan dalam pembelajaran untuk membantu tulisan dan kata
yang diucapkan dalam menyampaikan pengetahuan, sikap, dan ide
dalam pembelajaran (Wati,2016).

Animasi adalah suatu kegiatan menghidupkan, menggerakkan benda


diam. Suatu benda diam diberikan dorongan kekuatan, semangat dan
emosi untuk menjadi hidup dan bergerak atau hanya berkesan hidup
(Syahfitri,2011). Jadi animasi merupakan objek diam yang
diproyeksikan menjadi gambar bergerak yang seolah-olah hidup
sesuai dengan karakter yang dibuat dari beberapa kumpulan gambar
yang berubah beraturan dan bergantian sesuai dengan rancangan,
sehingga video yang ditampilkan lebih variatif dengan gambar-
gambar menarik dan berwarna yang mampu meningkatkan daya tarik
anak-anak. Sehingga anak-anak dapat berimajinasi dengan
menggunakan media audio visual.
38

b. Macam-macam media Audio Visual


Menurut Syiful Bahri Djamarah ,2012 dalam proses belajar mengajar
kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting. Karena dalam
kegiatan tersebut ketidakjelasan bahan yang akan disampaikan dapat
dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Salah satu
teknologi dalam proses pengajaran itu adalah memilih media
pembelajaran. Media pembelajaran menurut Rossi dan Breidle
adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk tujuan
pendidikan, seperti radio, televisi, buku, koran, majalah, dan
sebagainya (Wina Sanjaya,2011). Media pembelajaran inilah yang
akan membantu memudahkan siswa dalam mencerna informasi
pengetahuan yang disampaikan. Media pembelajaran menurut
karakteristik pembangkit rangsangan indera dapat berbentuk Audio
(suara), Visual (gambar), maupun Audio visual.

Jenis audio visual media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik
karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua. Media
ini dibagi menjadi dua :
1) Audio visual diam : yaitu media yang menampilkan suara dan
gambar diam seperti film bingkai suara (sound slides), film
rangkai suara, cetak suara.
2) Audio visual gerak : yaitu media yang dapat menampilkan unsur
suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video-
cassette.

c. Kelebihan dan Kekurangan Audio Visual


1) Kelebihan audio visual
a) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga
dapat lebih dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan
siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik.
b) Mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata
komunikasi verbal melalui penuturan katakata oleh guru.
39

Sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan


tenaga apalagi bila guru mengajar untuk setiap jam
pelajaran.
c) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak
hanya mendengarkan uraian guru, tapi juga aktifitas
mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-lain.
d) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga
dapat menumbuhkan motivasi belajar

2) Kekurangan audio visual


a) Media audio yang lebih banyak menggunakan suara dan
bahasa verbal, hanya mungkin dapat dipahami oleh
pendengar yang mempunyai tingkat penguasaan kata dan
bahasa yang baik.
b) Penyajian materi melalui media audio dapat menimbulkan
verbalisme bagi pendengar.
c) Kurang mampu menampilkan detail dari objek yang
disajikan secara sempurna

h. Terapi Intravena
a. Definisi
Terapi intravena merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan
dengan cara memasukan cairan melalui intravena dengan bantuan
infuse set yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan
elektrolit tubuh (Tamsuri,2008).

Pemasangan infus adalah tindakan pemasangan kateter intravena


pada vena tertentu untuk memberikan terapi intravena. Terapi
intravena digunakan untuk memperbaiki atau mencegah
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada penyakitakut dan
kronis dan juga digunakan untuk pemberian (Potter dan Perry,2012).
40

b. Indikasi Terapi Intravena


Menurut Darmawan, 2008 Indikasi pemberian terapi intravena
menurut diberikan pada kondisi-kondisi sebagai berikut:
1) Kondisi atau keadaan emergency; keadaan ingin mendapatkan
respon yang cepat terhadap pemberian obat
2) Klien yang mendapatkan terapi obat dalam dosis besar secara
terus menerus melalui intravena
3) Klien yang mendapat terapi obat yang tidak bisa diberikan
melalui oral atau intra vaskuler
4) Klien yang membutuhkan koreksi atau pencegahan gangguan
cairan dan elektrolit
5) Klien yang membutuhkan terapi cairan
6) Klien yang mendapatkan transfusi darah
7) Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur
(misalnya pada operasi besar dengan resiko perdarahan,
dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok,
juga untuk memudahkan pemberian obat), upaya profilaksis dan
syok (mengancam nyawa), dan sebelum pembuluh darah kolaps
(tidak teraba) sehingga tidak bisa dipasang jalur infus.

c. Keuntungan dan Kerugian Terapi Intravena


1) Keuntungan
Menurut Sugiarto,2006 terapi intravena memiliki keuntungan
seperti:
a) Efek terapeutik dapat segera tercapai karena penghantar
obat ke tempat target berlangsung cepat
b) Absorsi total memungkinkan dosis obat lebi tepat dan terapi
obat lebih dapat di andalkan
c) Kecepatan obat dapat dikontrol
d) Rasa sakit dan iritasi obat-obatan tertentu jika diberikan
intramuskular atau subkutan dapat dihindari
41

e) Sesuai dengan obat yang tidak dapat diabsorsi dengan rute


lain karena molekul yang besar.
2) Kerugian
Sugiarto,2006 terapi intravena memiliki kerugian sebagai
berikut:
a) Tidak bisa dilakukan “drug recall” dan mengubah aksi obat
tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi
b) Kontrol pemberin yang tidak bisa menyebabkan “spead
shock”
c) Komplikasi tambahan dapat timbul,yaitu kontaminasi
mikroba melalui titik akses ke sirkulsi melalui periode
tertentu.

i. Penelitian terkait
1. Penelitian dilakukan oleh Lilis Fatmawati, Yuanita Syaiful, Diyah
Ratnawati (2019) yang mengambil judul penelitian “Pengaruh
Audiovisual Menonton Film Kartun Terhadap Tingkat Kecemasan Saat
Prosedur Injeksi Pada Anak Prasekolah, tujuan penelitian untuk
menganalisis pengaruh audiovisual menonton film kartun terhadap
tingkat kecemasan saat prosedur injeksi pada anak prasekolah. Penelitian
ini Pre-experimental dengan jenis pretest and posttest one group design.
Pengambilan data dengan mengunakan teknik purposive sampling pada
28 responden. Variabel independen audiovisual menonton film kartun,
sedangkan variabel dependen tingkat kecemasan. Instrumen yang
digunakan SOP dan skala kecemasan HAR-S. Uji statistik menggunakan
uji Paired Sample T-Test, dengan signifikasi p< 0,05. Hasil analisis
statistik didapatkan nilai sig (p = 0.001, t = 11,71) yang berarti ada
pengaruh audiovisual menonton film kartun terhadap tingkat kecemasan
saat prosedur injeksi pada anak prasekolah. Diharapkan intervensi
audiovisual menonton film kartun dapat diterapkan sebagai salah satu
interveensi keperawatan untuk menurunkan kecemasan saat prosedur
injeksi pada anak prasekolah.
42

2. Penelitian dilakukan oleh Dessy Ekawati (2017) yang mengambil judul


“Pengaruh Distraksi Menonton Kartun Terhadap Tingkat Stress
Hospitalisasi Pada Anak Saat dilakukan Injeksi Bolus” tujuan penelitian
untuk menganalisa pengaruh distraksi menonton animasi kartun terhadap
tingkat stress hospitalisasi pada anak saat dilakukan injeksi bolus di
Paviliun Seruni RSUD Jombang. Design yang digunakan peneliti adalah
one group pre test post test design, populasi dalam penelitian ini adalah
rata-rata pasien anak perbulan usia 3-5 tahun selama tahun 2016 di
Pavilliun Seruni RSUD Jombang sejumlan 57 anak, sampelnya
berjumlah 50 anak dengan teknik consecutive sampling, variabel
independent yakni distraksi menonton animasi kartun, serta variabel
dependent yaitu tingkat stress hospitalisasi. Pengumpulan data
menggunakan lembar observasi menggunakan modifikasi DASS
21,teknik analisa data menggunakan wilcoxon test. Hasil penelitian
didapatkan dari 50 responden, sebelum pemberian distraksi sebagian
besar mengalami stress hospitalisasi berat sejumlah 28 anak (56%) dan
stress sedang sejumlah 22 anak (44%), sesudah pemberian distraksi
hamper seluruh responden mengalami tingkat stress hospitalisasi ringan
sejumlah 40 anak (80%) dan stress sedang sejumlah 10 anak (20%). Uji
wilcoxon test menunjukan bahwa nilai p=0,000 <  (0,05) sehingga H0
ditolak dan Ha diterima.

3. Penelitian dilakukan oleh Hirma Agustina, Nikmatur Rohmah,


Mohammad Ali Hamid (2015) yang mengambil judul “Pengaruh
Distraksi Audiovisual Terhadap Respons Penerimaan Injeksi Intravena
Pada Anak Pra Sekolah di RSD Kalisat Jember”. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh distraksi audiovisual terhadap respons
penerimaan injeksi intravena melalui saluran infus pada anak pra
sekolah. Desain yang digunakan Quasy Experimental Design dengan
rancangan post test only design with control. Populasi penelitian adalah
seluruh pasien anak pra sekolah yang mendapat injeksi intravena melalui
43

saluran infus di RSD Kalisat Jember dengan jumlah sampel 30 anak


yang diambil menggunakan teknik quota sampling. Uji statistik yang
digunakan yaitu chi square (= 0.05) kekuatan pengaruh dihitung
dengan odd ratio. Kelompok perlakuan memberikan respons penerimaan
yang baik sebesar 86.7 % sedangkan kelompok kontrol sebesar 26.7 %.
Analisis pengaruh di dapatkan P value = 0.001 yang berarti ada
pengaruh distraksi audiovisual dengan respons penerimaan anak dengan
odd ratio 17.875 yang berarti setiap pasien anak yang diberikan distraksi
audiovisual memiliki kecenderungan memberikan respons baik sebesar
17.875 lebih besar dibandingkan anak yang tidak diberikan distraksi
audiovisual.

4. Penelitian dilakukan oleh Ganda Nur Patma, Muhamat Nofiyanto (2017)


yang mengambil judul “Pengaruh Audio Visual Terhadap Penurunan
Tingkat Kecemasan Pada Anak Preschool Yang Dilakukan Prosedur
Pemasangan Infus di UGD RSUD Wates”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh audio visual terhadap penurunan tingkat
kecemasan pada anak usia preschool yang dilakukan prosedur
pemasangan infus di UGD RSUD Wates. Penelitian ini merupakan
penelitian Pre experimental dengan jenis pretest and posttest one group
design. Uji statistik menggunakan uji Marginal Homogeneity hipotesis
komparatif kategorik berpasangan prinsip 2x(>2) dengan tingkat
kemaknaan α=0,05. Sampel diambil dengan mengunakan teknik
purposive sampling dengan responden sebanyak 9 orang. Setiap
responden dinilai tingkat kecemasan sebelum pemberian terapi dan saat
dilakukan terapi audio visual. Hasil analisis statistik menggunakan uji
Marginal Homogeneity menunjukan p value sebesar 0,005. Artinya ada
pengaruh terapi audio visual terhadap penurunan tingkat kecemasan pada
anak usia preschool yang dilakukan pemasangan infus di UGD RSUD
Wates.
44

5. Penelitian dilakukan oleh Ganjar Safari , Hanipah Azhar (2019) yang


mengambil judul “Pengaruh Teknik Distraksi Film Kartun Terhadap
Tingkat Kecemasan Anak Usia 4-6 Tahun Pre Sirkumsisi Di Klinik”
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh teknik distraksi visual
film kartun terhadap tingkat kecemasan anak usia 4-6 tahun pre
sirkumsisi. Penelitian ini menggunakan metode Pre Eksperiment Design
(nondesign) dengan one group pra-post test design dengan teknik
accidental sampling. Sampel dalam Penelitian ini 20 anak. Uji yang
digunakan yaitu uji Wilcoxon Signed Ranks Test. Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan hasil terdapat pengaruh teknik distraksi visual film
kartun terhadap tingkat kecemasan anak usia 4-6 tahun pre sirkumsisi di
klinik. Sehingga hasil ini diharapkan klinik memakai prosedur
pemberian teknik distraksi visual film kartun sebagai salah satu cara
alternative non farmakologi untuk menurunkan tingkat kecemasan pre
sirkumsisi.
45

j. Kerangka Teori

Anak Usia Pra Sekolah 3-6 tahun


(Potts & Mandeleco, 2012).

Keadaan sakit

(Hospitalisasi) Stresor utama hospitalisasi perpisahan,


kehilangan kendali, cedera tubuh, dan nyeri ( Wong,2009) .

Tindakan invasif: pasang infus, pemberian injeksi


intravena,pengambilan darah

Cemas
(Taddio et al. 2012).

Penatalaksanaan kecemasan (Wong,2009)


1. Melibatkan orangtua
2. Memodifikasi lingkungan
3. Peran dari petugas kesehatan

Distraksi (distraksi visual, distraksi


pendengaran, distraksi pernafasan,
distraksi intelektual dan imajinasi
terbimbing (Soeparmin,2010).

Distraksi audio visual mengalihkan


perhatian atau menjauhkan perhatian anak Kecemasan
terhadap sesuatu yang dihadapi, misalnya berkurang
rasa nyeri yang dapat menimbulkan
kecemasan (Asmadi,2012)
46

BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan kerangka yang menghubungkan secara teoritis
antara variabel-variabel penelitianya itu antara variable independent dengan
variable dependen (Sugiyono,2014).

Dalam menyusun kerangka konsep hendaknya memahami variabel yang akan


diukur, karena kerangka konsep memberikan dasar konseptual bagi
penelitian. Kerangka konsep juga mengidentifikasi antara variabel yang
dianggap penting bagi studi terhadap situasi masalah apapun, sehingga sangat
penting memahami apa arti variabel dan apa saja jenis variabel yang ada.
Kerangka konsep pada penelitian ini mengacu pada teori yang menyatakan
bahwa kecemasan dapat diatasi dengan terapi nonfarmakologi yaitu dengan
terapi distraksi.

Variabel adalah karakteristik yang diamati yang mempunyai variasi nilai dan
merupakan operasional dari suatu konsep agar dapat diteliti secara empiris.
Dilihat dari hubungan variabel satu dengan variabel yang lain, maka
macammacam variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi variabel
independen dan variabel dependen (Sugiyono, 2014).

Variabel juga merupakan konsep dari berbagai level abstrak yang


didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk pengukuran dan atau manipulasi
suatu penelitian (Nursalam, 2015). Variabel yang digunakan dalam penelitian
ini terdiri dari :
1. Variabel independent (variabel bebas) adalah variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya
varibel terikat. Dalam penelitian ini variabel independen adalah
pemberian teknik distraksi audio visual.

46
47

2. Variabel dependent adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi


akibat karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel
dependen adalah tingkat kecemasan.

Variable Independent Variable Dependent

Teknik Distraksi Audio


Visual (menonton kartun
animasi) Tingkat Kecemasan

Karakteristik Responden
Jenis Kelamin

Skema 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti

B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu asumsi pernyataan pengaruh antar dua variabel atau
lebih yang disusun berdasarkan kerangka konsep penelitian. Hipotesis
diperlakukan untuk penelitian eksperimen dan analitik (Supardi, 2013).

Menurut Sugiyono (2014) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap


rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena
jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum
didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan
data. Hipotesis mengemukakan pernyataan tentang harapan peneliti mengenai
48

hubungan antara variabel-variabel dalam suatu persoalan. Hipotesis tersebut


kemudian diuji dalam penelitian. Oleh karena itu, hipotesis diajukan sebagai
saran pemecahan/penyelesaian bagi masalah itu, dengan pengertian bahwa
penyelidikan selanjutnya yang akan membenarkan atau menolaknya.

Hipotesis Alternativ (Ha) adalah pernyataan tentang prediksi hasil penelitian


berupa hubungan antar variabel yang diteliti. Pernyataan dalam hipotesis
alternativ menyatakan secara langsung tentang prediksi hasil penelitian.
(Dharma, 2011).

Penelitian yang di ambil “Pengaruh Teknik Distraksi Audio Visual Terhadap


Tingkat Kecemasan Pada Anak Usia Prasekolah (usia 3-6 tahun) Yang
Mendapat Terapi Injeksi Intravena di Ruang Aster Rumah Sakit Pertamina
Balikpapan”, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu:
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ha adalah hipotesis yang menyatakan ada hubungan atau pengaruh
antara variabel independent dan variabel dependen.
Ada pengaruh pemberian teknik distraksi audio visual terhadap tingkat
kecemasan pada anak usia pra sekolah (usia 3-6 tahun) yang mendapat
terapi injeksi intravena di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan.
2. Hipotesis Nol (Ho)
Ho adalah hipotesis yang menyatakan tidak ada hubungan atau
pengaruh antara variabel independent dan variabel dependen.
Tidak ada pengaruh pemberian teknik distraksi audio visual terhadap
tingkat kecemasan pada anak usia pra sekolah (usia 3-6 tahun) yang
mendapat terapi injeksi intravena di Rumah Sakit Pertamina
Balikpapan.

C. Definisi Operasional
Setelah teori atau konsep di jabarkan dalam bentuk variabel penelitian agar
variabel tersebut mudah dipahami, diukur atau diamati, maka langkah
berikutnya adalah membuat definisi operasional variabel. Definisi
49

operasional variabel adalah definisi variabel berdasarkan sesuatu yang


dilaksanakan dalam penelitian. Sehingga, variabel tersebut dapatdiukur,
diamati atau dihitung, kemudian timbul variasi (Sitiatva, 2012).

Tabel 3.2
Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Alat Hasil Skala


operasional ukur ukur ukur ukur
Variable Independent

1. Distraksia Suatu O 1. Lembar 1.Dilakukan -


udio tindakan bs observasi teknik
visual pengalihan er 2.Media distraksi
(menonton perhatian va audio audio visual
video yang si visual
animasi) dilakukan M (HP/table
oleh perawat en t)
yang on 3.Jam/
dilakukan to stopwach
kepada klien n
anak usia 3-6 vi
tahunn de
o
an
i
m
as
i
je
ni
s:
ka
50

rt
un
an
ak
D
ur
as
i:
20
-
30
m
en
it
Se
su
ai
S
O
P
Variable Dependent

2. Tingkat Tingkat Rasa M Lembar Kategori : Ordin


Kecema- cemas yang en observasi 0:Tidak ada al
san dialami ila FAS kecemasan
pasien anak i 1:Cemas
yang berusia ti ringan
3-6 tahun ng 2:Cemas
ka ringan-
t sedang
ce 3:Cemas
m sedang
as 4:Cemas
51

se tinggi
be 5:Cemas
lu ekstrim
m
da
n
se
tel
ah
ti
nd
ak
an
pe
m
be
ri-
an
te
ra
pi
in
tr
av
en
a.
Karakteristik Responden

1 Jenis Merupakan Observa Lembar 1:Laki-laki Nomi


kelamin perbedaan si observasi 2:Perempu- nal
bentuk, sifat an
dan fungsi
biologi pada
52

laki-laki dan
perempuan
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian adalah model atau metode yang digunakan peneliti untuk
melakukan suatu penelitian yang memberikan arah terhadap suatu
penelitian.Desain penelitian ditetapkan berdasarkan tujuan dan hipotesis
penelitian.Pada penelitian ini desain yang digunakan adalah quasi
eksperimen. Quasi eksperimen adalah penelitian yang mengujicoba suatu
intervensi pada sekelompok subyek dengan atau tanpa kelompok pembanding
namun tidak dilakukan randomisasi untuk memasukkan subyek kedalam
kelompok perlakuan atau control. Tujuan dari studi quasi experimental
biasanya untuk mengevaluasi intervensi tanpa menggunakan pengacakan
(Dharma, 2011).

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah quasi experimental


dengan rancangan pre and post test without control group design. Pada desain
ini peneliti hanya melakukan intervensi pada satu kelompok tanpa
pembanding, efektifitas perlakuan dinilai dengan cara membandingkan nilai
post test dengan pre test (Darma,2011). Dalam penelitian ini pre test
dilaksanakan untuk mengetahui kecemasan anak sebelum dilakukan
intervensi teknik distraksi audio visual, sedangkan post test dilaksanakan
sebagai tolak ukur dari intervensi yang diberikan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh teknik distraksi


audio visual terhadap tingkat kecemasan pada anak usia pra sekolah (usia 3-6
tahun) yang mendapat terapi injeksi intravena di Ruang Aster Rumah Sakit
Pertamina Balikpapan. Berikut skema pre and post test without control group
desain :

53
54

R O1 X O2

Desain Penelitian pre-post test without control group design


Keterangan:
R : Responden penelitian semua mendapat perlakuan/intervensi
O1 : Pre test pada kelompok perlakuan
O2 : Post test setelah perlakuan
X : Uji coba/intervensi pada kelompok perlakuan sesuai protokol
(Dharma, 2011)

B. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sample Penelitian


1. Populasi
Populasi adalah penelitian keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti (Notoatmodjo, 2012). Populasi adalah keseluruhan jumlah yang
terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai karakteristik dan
kualitas tertentu yang ditetapkan oleh peneliti utuk diteliti dan
kemudian ditarik kesimpulan (Sujarweni,2014).

Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien anak yang berusia 3-6
tahun yang dilakukan pemasangan infus yang dirawat di Ruang Aster
Rumah Sakit Pertamina Balikpapan dalam 3 bulan terakhir dari bulan
Agustus-Oktober 2021, dimana didapatkan data sebanyak 211 anak, dan
rata-rata per bulannya berjumlah 70 anak.

2. Sampel
Sampel penelitian sebagai unit yang lebih kecil lagi adalah sekelompok
individu yang merupakan bagian dari populasi dimana peneliti langsung
mengumpulkan data atau melakukan pengamatan atau pengukuran pada
unit ini.(Dharma, 2011). Sampel ini terdiri dari kelompok eksperimen,
sehingga peneliti perlu membuat kriteria inklusi dan eksklusi.Kriteria
inklusi adalah kriteria yang harus dimiliki oleh individu dalam populasi
55

untuk dapat dijadikan sampel dalam penelitian. Sedangkan kriteria


eklusi adalah kriteria yang tidak boleh ada atau tidak boleh dimiliki
oleh sampel yang akan digunakan untuk penelitian. (Sitiatava,2012).

Kriteria sampel dari penelitian ini adalah:


a. Kriteria inklusi
1) Anak usia 3-6 tahun yang dirawat di ruang Aster Rumah
Sakit Pertamina Balikpapan.
2) Anak usia 3-6 tahun yang mendapatkan terapi injeksi
intravena selama perawatan di Rumah Sakit Pertamina
3) Anak yang memiliki fungsi pendengaran, penglihatan serta
berbicara dengan baik.
4) Anak dapat dilakukan komunikasi secara verbal.
5) Anak yang tidak mengalami penurunan kesadaran
6) Orang tua dan anak yang bersedia menjadi responden
b. Kriteria eksklusi
1) Anak yang mengalami gangguan komunikasi secara verbal.
2) Anak yang mengalami penurunan kesadaran
3) Anak-anak yang sangat rewel sehingga tidak kooperatif

3. Teknik Pengambilan Sampel


Selain kriteria sampel, dalam sampling juga dikenal metode sampling
adalah suatu cara yang ditetapkan peneliti untuk menentukan atau
memilih sejumlah sampel dari populasinya. Metode sampling
digunakan agar hasil penelitian yang dilakukan pada sampel dapat
mewakili populasinya. Metode ini sangat ditentukan oleh jenis
penelitian, desain penelitian dan kondisi populasi dimana sampel
berada.( Dharma,2011). Teknik sampling yang di gunakan dalam
penelitian ini adalah non probability sampling yaitu consecutive
sampling merupakan suatu metode pemilihan sampel yang dilakukan
dengan memilih semua individu yang ditemui dan memenuhi kriteria
56

pemilihan, sampai jumlah sampel yang di inginkan terpenuhi


(Darma,2011).
Besarnya sampel Menurut Supranto J (2010), untuk penelitian
eksperimen secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut :

(t-1) (r-1) ≥ 15

Keterangan:
t = jumlah intervensi
r = sampel / kelompok

jika jumlah intervensi ada 1 buah, maka jumlah ulangan untuk tiap
intervensi dapat dihitung :
(t-1)(r-1) ≥ 15
(1-1)(r-1)≥ 15
(r-1)≥ 15
(r) ≥ 15 + 1
(r) ≥ 16

Karena hasil yang didapat adalah 16, maka jumlah sampel minimal
yang harus didapatkan oleh peneliti adalah 16 sampel. Untuk mengatasi
responden yang mengalami drop out jumlah sampel ditambah 10%.
Total sampel
=n+n (10%)
=16+16 (10%)
= 17,6
= 18
Jumlah sampel ditetapkan dengan menggunalan total sampling yaitu 18
anak. Hal ini dilakukan untuk memperoleh sampel yang representatif.
57

C. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan di
Ruang Aster Bulan Desember Tahun 2021. Alasan pemilihan tempat
ini adalah karena di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan dari bulan
Agustus - Oktober Tahun 2021 didapatkan data yaitu sebanyak 211
pasien anak usia 3-6 tahun yang dirawat dan mendapatkan terapi
pemberian injeksi intravena. Dan saat pengamatan di lapangan,
peneliti belum melihat penerapan teknik distraksi audio visual saat
pemberian injeksi intravena.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember
2021 yang terdiri dari survey pendahuluan, pengambilan data awal,
penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan intervensi dan
penyusunan laporan penelitian..

D. Etika Penelitian

Menurut Dharma (2011), ada empat prinsip utama dalam etika penelitian
keperawatan, sebagai berikut :
1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Pada penelitian ini, peneliti memberi kebebasan responden dan keluarga
untuk menentukan pilihan ikut atau menolak penelitian (autonomy).Tidak
ada paksaan penekanan pada responden untuk bersedia ikut dalam
penelitian.Saat penelitian, respon orangtua pasien sangat mendukung,
tetapi ada beberapa responden yang menolak untuk dijadikan sampel oleh
karena sedang rewel akibat penyakitnya.Jika ada responden yang
menolak, peneliti tidak mengikutsertakan sebagai sampel penelitian.
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek (respect for privacy
confidentiality).
58

Pada penelitian ini, peneliti meniadakan identitas seperti nama subjek


kemudian diganti dengan inisial, sehingga informasi yang menyangkut
identitas subjek tidak terekspos secara luas.
3. Menghormati keadilan dan inkluisivitas (respect for justice
inclusiveness)
Pada penelitian ini, peneliti menjelaskan keuntungan dan prosedur
tindakan yang akan dilakukan kepada orangtua responden sehingga bisa
menentukan keikutsertaan saat berjalannya penelitian.
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing
harm and benefits).
Peneliti sebelum melakukan penelitian sudah melakukan konsultasi dengan
dosen pembimbing terkait manfaat dan kerugian yang mungkin ditimbilkan,
sehingga pelaksanaan penelitian tidak ada kendala atau penolakan responden.

E. Alat Pengumpulan Data / Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti utnuk
mengobservasi, mengukur atau menilai suatu fenomena. Data yang
diperoleh dari suatu pengukuran kemudian dianalisis dan dijadikan sebagai
bukti (Evidance) dari suatu penelitian. Sehingga instrumen atau alat ukur
merupakan bagian yang penting dalam suatu penelitian. Kesalahan dalam
pemilihan dan pembuatan instrumen menghasilkan data yang tidak
menggambarkan kondisi sebenarnya dari apa yang ingin diteliti. Peneliti
dapat memilih untuk menggunakan instrument yang telah digunakan oleh
peneliti terdahulu( instrumen baku) atau mengembangkan sendiri instrumen
berdasarkan konsep yang mendasari fenomena ( Dharma , 2011).
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah sebagai
berikut:
1. Lembar Observasi
Merupakan format yang berisi karakteristik responden dan SOP
distraksi.
2. Faces Anxiety Scale (FAS)
59

Skala tingkat kecemasan ini mengukur kecemasan pada pasien anak


yang sedang menjalani tindakan medis. Anak-anak sering untuk
melaporkan kecemasan atau ketakutan sebelum dan selama prosedur
tindakan medis yang menyakitkan dengan menunjukan gambar dari
skala kecemasan wajah. Dimana skala penelitian ini dinilai dengan
skala penilaian terendah dari nilai 0 dan nilai tertinggi 4. Skor 0 dapat
memberikan gambaran tidak ada kecemasan sama sekali, skor 1
menggambarkan kecemasan ringan, skor 2 menggambarkan
kecemasan ringan-sedang, skor 3 menggambarkan adanya kecemasan
sedang, skor 4 menggambarkan kecemasan yang ekstrim pada anak.
Pada penelitian ini, tidak melakukan uji coba instrument karena alat
yang digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan adalah
menggunakan skala Faces Anxiety Scale (FAS) dan merupakan
instrumen yang sudah baku.

Gambar 4.2 Faces Anxiety Scale (FAS)

3. Teknik Distraksi AudioVisual ( Menonton kartun animasi) sesuai SOP


Dalam hal ini media audio visual yang peneliti gunakan adalah
tablet/HP. Dengan menggunakan tablet peneliti akan memberikan film
kartun animasi. Video animasi dimulai saat anak sedang dalam
pemberian terapi injeksi intravena dengan durasi durasi ± 20 menit.
a. Pengertian
Suatu metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara
mengalihkan perhatian klien pada hal-hal yang lain sehingga klien
akan lupa terhadap nyeri yang di alami.
b. Tujuan
60

1) Mengurangi nyeri
2) Mengurangi rasa cemas
3) Menjadikan hati tentram
c. Indikasi
1) Ketika mengalami nyeri
2) Ketika merasa cemas dan gelisah
d. Prosedur Pelaksanaan
1) Tahap Pra Interaksi
a) Cek catatan keperawatan atau catatan medis klien
b) Siapkan alat-alat, pastikan yang akan di gunakan
lengkap
c) Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
d) Cuci tangan
2) Tahap Orientasi
a) Berikan salam dan perkenalkan diri
b) Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya tindakan kepada
klien dan keluarga
3) Tahap Kerja
a) Berikan kesempatan kepada klien untuk bertanya
sebelum kegiatan di lakukan
b) Menanyakan keluhan utama pasien
c) Jaga privasi klien, memulai kegiatan dengan cara yang
baik
d) Bantu klien untuk memilih posisi yang nyaman
e) Menyalakan tablet/HP
f) Pilih file distraksi audio visual yang disukai anak yang
akan di berikan kepada anak
g) Putar file terapi audio visual
h) Pastikan volume sesuai dan tidak terlalu keras
4) Tahap Evaluasi
Evaluasi hasil kegiatan ( kenyamanan klien )
4. Jam/Stopwatch
61

F. Prosedur Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan di tempat penelitian dengan prosedur sebagai
berikut :
1. Prosedur Administratif
a. Pengumpulan data pendahuluan dilakukan setelah proposal
disetujui oleh pembimbing, kemudian peneliti mengajukan surat
ijin ke pihak STIKes PERTAMEDIKA untuk melakukan
penelitian dan pengambilan data.
b. Surat permohonan penelitian dikeluarkan oleh Ketua STIKes
PERTAMEDIKA setelah peneliti mengajukan surat tersebut ke
Direktur Rumah Sakit Pertamina Balikpapan.
c. Ijin penelitian telah dikeluarkan dari Direktur Rumah Sakit
Pertamina Balikpapan, setelah itu peneliti melakukan
pengambilan data untuk penelitian.

4. Prosedur Tehnis
a. Pada saat penelitian, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan
penelitian, manfaat penelitian serta menjamin kerahasiaan
identitas responden dan hasil observasi.
b. Bagi calon responden dan keluarga yang bersedia, diberikan
lembar persetujuan untuk dibaca dan ditandatangi.
c. Setelah disetujui dilakukan observasi tingkat kecemasan anak saat
injeksi intravena sebelum diberikan intervensi distraksi menonton
animasi kartun.
d. Menanyakan pada orangtua responden tentang jenis kartun yang
disukai oleh anak (responden)
e. Peneliti melakukan eksperimen teknik distraksi audio visual
dengan memberikan tontonan video animasi berdurasi 20 menit,
dimana 5 menit sebelum pemberian injeksi intravena anak,
62

peneliti sudah mengajak responden untuk menonton video


animasi, dan perawat ruangan yang sedang bertugas yang
menyiapkan alat dan bahan untuk pemberian injeksi intravena.
f. Saat pemberian injeksi ada satu perawat yang memberikan terapi
injeksi intravena dan peneliti berada di sisi sebelah lain untuk
memfokuskan anak terhadap video animasi dibantu dengan
orangtua responden.
g. Saat intervensi berlangsung peneliti mengamati respon anak
terhadap cemas anak dengan melihat respon wajah si anak untuk
dapat menilai tingkat kecemasan anak.
h. Setelah tindakan eksperimen selesai peneliti mengucapkan terima
kasih.
i. Data yang terkumpul dari responden kemudian dilakukan
pengolahan data menggunakan SPSS.

G. Prosedur Pengolahan Data


Data yang terkumpul dalam tahap pengelompokan data perlu diolah terlebih
dahulu.Tujuannya adalah untuk menyerderhanakan seluruh data yang
terkumpul, menyajikan dalam susunan yang baik dan rapi. Menurut
Notoadmojo (2012), pengolahan data dalam penelitian dilakukan melalui
tahap-tahap sebagai berikut:
1. Editing
Peneliti melakukanpenyuntingan dan pengecekan dari perbaikan hasil
pengukuran lengkap .
2. Coding
Tahapan pertama dengan memberi kode identitas responden untuk
menjaga kerahasiaan identitasnya dan mempermudah proses
penelusuran biodata responden bila diperlukan. Selain itu juga
mempermudah penyimpanan dalam data arsip. Tahapan kedua
menetapkan kode untuk scoring hasil observasi yang telah dilakukan.
Pada penelitian ini data yang sudah ada pada lembar observasi
diberikan kode berdasarkan urutan waktunya saat pengambilan data,
63

misalnya responden pertama yang telah dilakukan pemberian injeksi


intravena pada kelompok yang diberikan teknik distraksi audio visual
diberi kode (R1-R18).
3. Entry data
Peneliti memasukkan data dari semua responden yang sudah dalam
bentuk kode (angka atau huruf) ke software komputer.Ketika terdapat
kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, peneliti melakukan
pembetulan atau koreksi.
4. Cleaning
Peneliti memeriksa kembali data yang sudah di entry untuk melihat
kemungkinan kemungkinan adanya kesalahan, ketidaklengkapan dan
lain-lain, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

H. Teknik Analisa data


Setelah data dikumpulkan, data itu perlu diolah atau dianalisis. Dalam
penelitian ini dilakukan beberapa analisa, yaitu :
1. Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan suatu distributif yang menunjukan sebaran
data yang seimbang, sebagian besat data berada pada nilai ditengah,
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi, variabel
pengagnggu atau residual memiliki distribusi normal
(Jiwantoro,2017).

Metode pertama uji normalitas data adalah menghitung rasio skewness,


yaitu membagi nilai skewness dengan nilai standard error. Metode
kedua dengan menghitung rasio kurtosis, yaitu membagi nilai kurtosis
dengan nilai standart error kurtosis. Nilai berdistribusi normal berada
diantara nilai -2 sampai dengan +2 (valentini, V & M. Nisfiannoor,
2006). Pada penelitian ini dugunakan uji skewness karena sampel
kurang dari 50.
Rumus skewness
64

Nilai skewness
z=
Nilai std . error skewness

Interpretasi pada tingkat signifikansi (alpha) 5% :


a. Jika data memiliki nilai Z – Skewness < -1,96 berarti data memiliki
kecondongan ke kanan.
b. Jika data memiliki nilai Z – Skewness < +1,96 berarti data
memiliki kecondongan ke kiri.
c. Jika data memiliki nilai Z – Skewness antara -1,96 dan +1,96
berarti data mendekati simetris.

2. Uji Univariat
Analisa univariat digunakan untuk menyederhanakan atau meringkas
kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan
data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna.Pada dasarnya
analisis ini merupakan kegiatan meringkas kumpulan data menjadi
ukuran tengah dan ukuran variasi (Hastono, 2018).

Analisa univariat dilakukan untuk melihat gambaran antara variabel


dengan hasil penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung dari jenis
datanya. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan
distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel
(Notoatmodjo,2010).
Rumus :
f
X = x 100 %
n

Keterangan
X = frekuensi relative dari suatu kelompok
f = frekuansi kelompok
n = banyak sampel
65

Pada penelitian ini data yang dianalisis secara univariat adalah


karakteristik responden (jenis kelamin), melihat gambaran distribusi
frekuensi kecemasan pada anak sebelum intervensi (pre) dan sesudah
intervensi (post).
Pada penelitian ini, analisis univariat dilakukan dengan menggunakan
nilai mean.

Mean adalah ukuran rata-rata yang merupakan hasil dari jumlah semua
nilai pengukuran dibagi oleh banyaknya pengukuran.

Perhitungan nilai mean dapat dituliskan dengan rumus:

Keterangan:
x = Nilai mean
∑Xi = Hasil dari jumlah semua nilai data
n = Banyaknya sampel
(Hastono, 2018).
Analisa univariat menggunakan nilai tengah atau lebih dikenal dengan
Median.
Rumus Median

Me = ( n+1 ) : 2

Keterangan :
n = banyaknya data
Median digunakan untuk mencari nilai tengah dari skor total
keseluruhan jawaban yang diberikan oleh responden, yang tersusun
dalam distribusi data.
66

Standar deviasi adalah akar-akar dari varian. Nilai standar deviasi


disebut juga simpangan baku.
Rumus Standar Deviasi sebagai berikut:

Keterangan :
s = Standar deviasi (simpangan baku)
x = Masing-masing data
x = Rata-rata/ nilai mean
n = Jumlah data
(Hastono, 2008)

3. Uji Bivariat
Apabila telah dilakukan uji normalitas dan analisa univariat, akan
diketahui distribusi setiap variabel dan dapat dilanjutkan analisa
bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhubungan atau berkolerasi. (Notoatmodjo, 2018). Analisa
bivariat dilakukan untuk mengetahui perbedaan antara kedua variabel,
yaitu variabel independen terhadap variabel dependent. Uji paired T-
test bertujuan untuk menguji beda mean dari 2 hasil pengukuran pada
kelompok yang sama (misalnya beda mean pre test dan post test).

Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui pengaruh teknik distraksi


audio visual terhadap tingkat kecemasan akibat pemberian terapi
injeksi intravena pada anak dengan analisis bivariat uji paired t-test.
Hal ini dilakukan apabila pada uji normalitas didapatkan hasil bahwa
data berdistribusi normal.

d
Rumus : t=
Sd /√ n
67

Keterangan :
d = rata-rata deviasi/selisih sampel 1 dengan sampel 2
Sd = Standar deviasi selisih sampel 1 dan 2
n = Jumlah sampel

Beberapa ketentuan yang harus dipenuhi pada uji paired t-test adalah:

a. Syarat atau asumsi distribusi data normal


b. Kedua kelompok data dependent
c. Jenis variable numerik katagorik
d. Kelompoknya berpasangan (pre & post test)

Setelah melakukan melakukan penghitungan kemudian melakukan


program pengolahan data statistic. Pengujian ini untuk membuktikan
hipotesis pengaruh terapi bermain terhadap tingkat kecemasan anak usia
pra sekolah akibat hospitalisasi dengan tingkat kepercayaan 95% dan
tingkat kemaknaan α = 0.05. Kemudian nilai t tersebut dapat dicari nilai
p-value dengan melalui table t. Bila hasil perhitungan p-value < dari
nilai alpha (α =0,05 ) maka dapt diputuskan nilai HO ditolak . Tetapi
bila perhitungan p-value > dari pada nilai alpha (α =0,05 ), maka
diputuskan HO diterima. ( Hastono,2008).

Namun bila distribusi data tidak normal dapat digunakan uji wilcoxon
yaitu uji alternatif dari uji paired t-test apabila tidak memenuhi asumsi
normalitas (Hastono, 2008).
68
DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, S (2013).Konsepdan Proses KeperawatanNyeri. Jogjakarta :Ar-


Ruzz Media.
Andriana, D. (2011). TumbuhKembangdanTerapiBermainpadaAnak. Jakarta:
SalembaMedika.
Asmadi, (2012). Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep Anak dan Aplikasi
Kebutuhan Dasar Klien. Salemba Medika : Jakarta.
Brunner, & Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal-Bedah (12th ed.; Eka Anisa
Mardela, Ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Dharma, K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan : Panduan Melaksanakan
dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta: Trans Info Media
Departemen Kesehatan Rakyat Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2014. [di akses dari http://www.depkes.go.id pada tanggal 10
Oktober 2021].
Donsu, Jenita DT. (2017). Psikologi Keperawatan.Yogyakarta : Pustaka Baru
Press.
Hastono, S., & Sabri, L. (2010). Statistik Kasehatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Herdman, T Heather. 2012. Diagnose Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Dialihbahasakan oleh Made Sumarwati dan Nike Budhi
Subekti. Barrarah Bariid, Monica Ester, dan Wuri Praptiani (ed). Jakarta:
EGC
Hockenberry, M. &amp; Wilson (2009). Wongs Essential Pediatric Nursing.
Misouri: Elsevier Mosby.
Notoatmodjo . 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Nursalam., Susilaningrum, Rekawati., & Sri Utami. 2008. Asuhan Keperawatan
Bayi dan Anak. Jakarta, Salemba Medika
Perry&amp;Potter. (2010)). Fundamental Keperawatan Edisi 7. Jakarta: Salemba
Medika.
Potter, A & Perry, A 2012, Buku ajar fundamental keperawatan; konsep, proses,
dan praktik, vol.2, edisi keempat, EGC, Jakarta
Potts, N. L., & Mandleco, B. L. (2012). Pediatric Nursing Caing for Children and
their Families (3rd ed). New York: Delmar Cengage Learning.
Rika Sarfika, dkk (2015). Pengaruh Teknik Distraksi Menonton Kartun Animasi
Terhadap Skala Nyeri Anak Usia Prasekolah Saat Pemasangan Infus Di
Instalasi Rawat Inap Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang. Ners Jurnal
Keperawatan Volume 11, No. 1, Maret 2015 : 32-40.
Rusman,dkk. (2012). Metode Pembelajaran. Depok: Rajagrafindo Persada
Sari, F. S., & Sulisno, M. (2012). Hubungan Kecemasan Ibu Dengan Kecemasan
Anak Saat Hospitalisasi Anak. Jurnal Nursing Studies Vol. 1 Nomor. 1 :
51-59.
Stuart, Gail W. (2012). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Edisi Revisi.
Jakarta: EGC
Stuart, G. W., dan Sundeen. (2016). Principle and Practice of Psychiatric Nursing,
(1st edition). Singapore : Elsevier
Susilaningrum, R. 2013. Asuhan Keperawatan Bayi dan anak untuk Perawat dan
Bidan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sutejo. (2018). Keperawatan Jiwa, Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan
Kesehatan Jiwa: Gangguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta : Pustaka
Baru Press.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Taddio,Anna.,dkk. Survey of the prevalence of immunization non-compliance due
to needle fears in children and adults, volume 30, issue 32, 6 July 2012,
Pages 4807-4812. Diakses 14 November 2021, dari
https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2012.05.011
Wong, D.L. (2009). Buku ajar keperawatan pediatric. Jakarta: EGC.
Zakariah, M. F. (2015). Validation of the Malay Version of the Amsterdam
Preoperative Anxiety and Information Scale / APAIS. Department of
Anaesthesiology and Intensive Care, Faculty of Medicine University of
Malay, Vol. 70.
SOP DISTRAKSI AUDIO VISUAL

Pengertian Suatu metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara


mengalihkan perhatian klien pada hal-hal yang lain
sehingga klien akan lupa terhadap nyeri yang di alami
Tujuan 1. Mengurangi nyeri
2. Mengurangi rasa cemas
3. Menjadikan hati tentram
Indikasi 1. Ketika mengalami nyeri
2. Ketika merasa cemas dan gelisah
Kontra Indikasi -

Distraksi audio visual:


Jenis Distraksi 1. Menonton hp/tablet
2. Menonton video kartun animasi
3. Menonton pertandingan
4. Imajinasi terbimbing
Tahap Pra 1. Cek catatan keperawatan atau catatan medis
Interaksi klien
2. Siapkan alat-alat, pastikan yang akan di
gunakan lengkap
3. Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
4. Cuci tangan
Tahap Orientasi 1. Berikan salam dan perkenalkan diri
2. Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya tindakan
kepada klien dan keluarga
Tahap Kerja 1. Berikan kesempatan kepada klien untuk
bertanya sebelum kegiatan di lakukan
2. Menanyakan keluhan utama pasien
3. Jaga privasi klien, memulai kegiatan dengan
cara yang baik
4. Bantu klien untuk memilih posisi yang nyaman
5. Menyalakan tv
6. Dekatkan dvd / dapat dengan menggunakan
flasdisk
7. Pilih file distraksi audio visual yang akan di
berikan kepada klien
8. Putar file terapi audio visual
Pastikan volume sesuai dan tidak terlalu keras
Tahap Evaluasi Evaluasi hasil kegiatan ( kenyamanan klien )
LEMBAR OBSERVASI
PENGARUH PEMBERIAN TEKNIK DISTRAKSI AUDIO VISUAL

TERHADAP TINGKAT KECEMASAN ANAK PRA SEKOLAH (USI 3-6

TAHUN) YANG MENDAPAT TERAPI INJEKSI INTRAVENA DI

RUANG ASTER RUMAH SAKIT PERTAMINA BALIKPAPAN

No Responden Karakteristik Skala Kecemasan Skala Kecemasan


Responden Pre Tes Post Tes
(Jenis Kelamin)
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R17
R18
Faces Anxiety Scale

Pada penelitian ini peneliti melakukan observasi kecemasan dengan menggunakan


skala kecemasan FAS (Faces Anxiety Scale).

Dimana skala penelitian ini dinilai dengan skala penilaian terendah dari nilai 0
dan nilai tertinggi 4.
Skor 0 : tidak ada kecemasan sama sekali
Skor 1 : kecemasan ringan
Skor 2 : kecemasan ringan-sedang
Skor 3 : adanya kecemasan sedang
Skor 4 : kecemasan yang ekstrim pada anak.
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama :
Umur :
Alamat :
Setelah membaca dan mendapatkan penjelasan serta jawaban terhadap pertanyaan
yang saya ajukan mengenai penelitian ini, saya memahami tujuan penelitian ini
untuk mengetahui pengaruh teknik distraksi audio visual terhadap tingkat
kecemasan pada anak usia pra sekolah (usia 3-6 tahun) yang mendapat terapi
injeksi intravena di ruang Aster Rumah Sakit Pertamina Balikpapan, dan manfaat
penelitian ini sebagai sumber informasi bagi mahasiswa yang mengambil jurusan
kesehatan khususnya keperawatan, serta memperluas dan menambah pengetahuan
tentang teknik distraksi audio visual terhadap tingkat kecemasan pada anak usia
pra sekolah (usia 3-6 tahun). Saya mengerti bahwa peneliti akan menghargai dan
menjunjung tinggi hak – hak saya sebagai orang yang bersedia menjadi responden
dan saya menyadari penelitian ini tidak berdampak negatif bagi saya. Dengan
ditandatangai surat persetujuan ini, maka saya menyatakan untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini.

Jakarta, Desember 2021


Peneliti Yang Menyatakan

( Retain Monalisa Hutabarat ) (……………………...)


LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Responden yang saya hormati,


Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Retain Monalisa Hutabarat
NIM : 11202128 / S1 Keperawatan Reguler X
Adalah Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan STIKes PERTAMEDIKA
Jakarta yang akan melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Teknik Distraksi
Audio Visual Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak Usia Pra Sekolah (Usia 3-
6 Tahun) Yang Mendapat Terapi Injeksi Intravena Di Ruang Aster Rumah Sakit
Pertamina Balikpapan”. Dengan ini saya mohon kepada Bapak/ Ibu untuk
bersedia menandatangani lembar persetujuan untuk menjadikan anak bapak dan
ibu sebagai responden dan bersedia dinilai tingkat kecemasannya. Data responden
akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Atas bantuan dan partisipasinya dari orang saya ucapkan terima kasih.

Jakarta, Desember 2021


Hormat Saya,

( Retain Monalisa Hutabarat )

Anda mungkin juga menyukai