Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN SISTEM MUSCULOSKELETAL


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II
DENGAN DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR FEMUR DEXTRA
Dosen Pembimbing : Supadi, S.Kep., Ns., M.Kep., S PMB

Disusun oleh :

Wanti Adilia
P1337420219017
2A

KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PURWOKERTO PROGRAM
DIPLOMA III
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
DENGAN DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR FEMUR DEXTRA

1. KONSEP DASAR
A. Definisi
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh tekanan atau trauma. Selain itu, fraktur
merupakan rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan oleh tekanan
eksternal yang datang lebih besar dibandingkan dengan yang dapat
diserap oleh tulang (Asikin.M., Nasir. M, 2016).
Sedangkan menurut Linda Juall C. Dalam buku Nursing Care
Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa fraktur adalah
rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Fraktur ekstremitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang
membentuk lokasi ekstremitas atas (tangan, pergelangan tangan,
lengan, siku, lengan atas, dan bahu) dan ekstremitas bawah (pinggul,
paha, lutut, kaki bagian bawah, pergelangan kaki, dan kaki) (UT
Southwstern Medical Center, 2016).
Fraktur Femur yang digambarkan sesuai lokasi, dapat dikelompokan
menjadi 3 meliputi proksimal atau ujung atas dekat panggul, shaft/poros
tulang, dan distal atau ujung bawah dekat lutut (Avruskin, 2013; Romeo,
2018).

B. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur ( Melti suriati dkk, 2019)
1. Berdasarkan tempat
Fraktur femur, humerus, tibia, clavicula, ulna, radius, cruris, dan
yang lainnya.
2. Berdasarkan komplit atau tidak komplit fraktur
a. Fraktur komplit
Garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang
b. Fraktur tidak komplit
Bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah
a. Fraktur komunitif : fraktur dimana garis patah leboh dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
c. Fraktur multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak pada tulang yang sama.
4. Berdasarkan posisi fragmen
a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen.
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)
a. Fraktur tertutup (closed)
Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh)
tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
Tingkat 0 : fraktur biasanya dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan.
Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3 : cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata dan ancaman sindrom kompartement.
b. Fraktur terbuka (open/ compound)
Klasifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut
Gustillo dan Anderson, yang menilai fraktur terbuka
berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan lunak,
konfigurasi fraktur dan derajat kontaminasi. Klasifikasi Gustillo
ini membagi fraktur terbuka menjadi tipe I, II, III
a) Tipe I berupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan
fragmen fraktur dan bersih. Kerusakan jaringan lunak
sedikit dan fraktur tidak kominutif. Biasanya luka tersebut
akibat tusukan fragmen fraktur atau in-out.
b) Tipe II terjadi jika luka lebih dari 1 cm tapi tidak banyak
kerusakan jaringan lunak dan fraktur tidak kominutif.
c) Tipe III dijumpai kerusakan hebat maupun kehilangan
cukup luas pada kulit, jaringan lunak dan putus atau
hancurnya struktur neurovaskuler dengan kontaminasi,
juga termasuk fraktur segmental terbuka atau amputasi
traumatik.Tipe III ini dibagi lagi kedalam :
(1) III A : tidak membutuhkan kulit untuk penutup lukanya.
(2) III B : hilangnya jaringan lunak, sehigga tampak
jaringan tulang, dan membutuhkan kulit untuk penutup (skin
graft).
(3) IIIC : dengan kerusakan arteri yang harus diperbaiki,
beresiko untuk dilakukannya amputasi.
6. Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme
trauma
a. Fraktur transversal
Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur oblik
Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merusak akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur spiral
Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur avulsi
Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya
a. Tidak adanya dislokasi
b. Adanya dislokasi
a) At axim : membentuk sudut
b) At lotus : fragmen tulang berjauhan
c) At longitudinal : berjauhan memanjang
d) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendekh.
8. Berdasarkan posisi fraktur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian:
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal

C. Etiologi
Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan
dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat:
1. Peristiwa trauma tunggal
2. Tekanan yang berulang-ulang
3. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur disebabkan oleh sejumlah hal, yaitu trauma (kekerasan
langsung dan kekerasan tidak langsung), stres berulang, serta tulang
yang lemah secara abnormal.
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabakan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur
terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kerusakan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya dan penarikan (Asikin.M., Nasir. M, 2016).

D. Patofisiologi
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma.
Pada fraktur tertutup penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan jaringan yang
mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot yang akan
menyebabkan kontraktur serta mengakibatkan terjadinya intoleransi dan
jaringan nekrosis yang akan mengakibatkan resiko infeksi (Ningrum, E. A,
2018).
Pada tindakan operasi fraktur tulang dipertahankan dengan pen,
sekrup, pelat, paku. Namun dengan adanya luka mengakibatkan
gangguan rasa nyeri dan adanya luka memungkinkan (Manurung, 2018).

E. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur yaitu (Nur Arif dan Kusuma, 2016) :
1. Tidak dapat menggunakan anggota gerak.
2. Nyeri pembengkakan
3. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, atau
jatuh di kamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda
berat, kecelakaan kerja, trauma olahraga)
4. Gangguan fungsi anggota gerak.
5. Deformitas
6. Kelainan gerak
7. Krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain

F. Pathway
G. Pemeriksaan Penunjang
Belleza (2016) menjelaskan bahwa pemeriksaan yang dapat
dilakukan
pada pasien dengan diagnosa fraktur femur adalah :
a. Pemeriksaan X ray, berfungsi untuk menentukan lokasi dan luas
fraktur
b. Bone scans, tomograms, tomograms, computed computed tomography
tomography (CT) atau Magnetig
c. Resonance Resonance Imaging Imaging (MRI), bertujuan untuk
memfisualisasi fraktur, perdarahan, perdarahan, kerusakan kerusakan
jaringan, jaringan, dan membedakan membedakan antara ftaktur
ftaktur akibat trauma dengan neoplasma tulang
d. Arteriogram, yaitu pemeriksaan yang dapat dilakukan aabila dicurigai
terjadi kerusakan pembuluh darah okuli
e. Complete Blood Cound (CBC). Jika hasil pemeriksaan hitung darah
lengkap menunjukkan bahwa hematokrit mengalami peningkatan atau
penurunan penurunan (hemokonsentrasi) (hemokonsentrasi)
menunjukkan menunjukkan adanya perdarahan perdarahan pada
lokasi fraktur lokasi fraktur atau organ atau organ di sekitar di sekitar
lokasi trauma. lokasi trauma. Hasil pemeriksaan Hasil pemeriksaan
hitung darah lengkap yang menunjukkan peningkatan sel darah putih
(WBC) merupakan tanda respon stres normal setelah trauma atau
terjadinya fraktur
f. Urine creatinine (Cr) clearance, untuk mengetahui trauma atau Fraktur
yang terjadi menyebabkan meningkatnya Cr pada ginjal
g. Coagulation profile, bertujuan untuk mengetahui perubahan akibat
kehilangan darah.

H. Penatalaksanaan
Menurut Arif Muttaqin, (2017) pengkajian ini diperlukan oleh
perawat sebagai peran kolaboratif dalam melakukan asuhan
keperawatan. Dengan mengenal tindakan medis, perawat dapat
mengenal implikasi pada setiap tindakan medis yang dilakukan.
a. Fraktur trokanter dan sub trokanter femur meliputi:
1) Pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu yang dilanjutkan
dengan gips piggul selama 7 minggu merupakan alternatif
pelaksaanaan pada pasien usia muda.
2) Reduksi terbuka dan fiksasi internal merupakan pengobatan
pilihan dengan menggunakan plate dan screw.
b. Fraktur diafisis femur, meliputi :
1) Terapi konseratif
a) Traksi kulit
b) Traksi tulang berimbang dengan bagian pearson pada sendi
lutut. Menggunakan cara bracing yang dipasang setelah
union fraktur secara klinis.
c) Fraktur suprakondilar femur, meliputi:
(1) Terapi operatif dilakukan pada fraktur yang tidak dapat
direduksi secara konservatif. Terapi dilakukan dengan
mempergunakan nail-phorcdare screw dengan berbagai tipe
yang tersedia.
(2) Traksi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan
penahan lutut Pearson, cast bracing, dan spika panggul
2) Terapi Operasi
Sjamsuhidayat dan Jong (2005) mendefinisikan pembedahan
sebagai suatu tindakan pengobatan secara invasif
dengan membuka atau menampilkan bagian tubuhyang akan
ditangani. Pembedahan yang dapat dilakukan untuk fraktur
ekstremitas yaitu:
a) Ruduksi terbuka dengan fiksasi internal (Open Reduction
and Internal Fixation/ ORIF), dilakukan untuk
mengimmobilisasi fraktur dengan memasukkan paku,
kawat, plat, sekrup, batangan logam, atau pin ke dalam
tempat fraktur dengan tujuan mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang baik
(Smeltzer & Bare, 2013)
b) Reduksi tertutup dengan fiksasi ekternal (Open Reduction and
Enternal Fixation/OREF), digunakan untuk mengobati
patah tulang terbuka yang melibatkan kerusakan jaringan
lunak. Metode fiksasi ekternal meliputi pembalutan,
gips, traksi kontinu, bidai, atau pin. Ektremitas
dipertahankan sementara dengan gips, bidai, atau alat lain oleh
doter. Alat imobilisasi ini akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ektremitas untuk penyembuhan tulang. Alat
ini akan memberikan dukungan yang stabil bagi fraktur
comminuted (hancur dan remuk) sementara jaringan lunak
yang hancur dapaat ditangani dengan aktif (Smeltzer & Bare,
2013)
c) Graft tulang, yaitu penggantian jaringan tulang
untuk menstabilkan sendi, mengisi defak atau perangsangan
dalam proses penyembuhan. Tipe graft yang digunakan
tergantung pada lokasi yang terkena, kondisi tulang, dan
jumlah tulang yang hilang akibbat cidera. Graft tulang
dapat berasal dari tulang pasien sendiri (autograft) atau
tulang dari tissue bank (allograft) (Smeltzer & Bare, 2013)

I. Komplikasi
Balleza, (2016) menjelaskan bahwa komplikasi yang dapat
terjadi pada pasien dengan fraktur adalah:
a. Syok hipovolemik. Kondisi ini terjadi akibat adanya perdarahan
berlebihyang sering ditemukan pada pasien trauma akibat fraktur pada
tulang pelvis, femur, atau fraktur lain dengan jenis fraktur terbuka.
b. Fat embolism syndrome. Kondisi ini terjadi akibat fraktur pada
tulang panjang, atau fraktur lain yang menyebabkan jaringan sekitar ha
ncur,sehingga emboli lemak dapat terjadi.
c. Compartement syndrome. Kondisi ini merupakan keadaan yang
mengancam ekstremitas yang terjadi ketika tekanan perfusi turun atau
lebih rendah daripada tekanan jaringan. Hal ini disebabkan karena
penurunan ukuran compartment otot karena fasia yang membungkus
otot terlalu ketat, penggunaan gips atau balutan yang menjerat ataupun
peningkatan isi kompatement otot karena edema atau perdarahan
sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi, dan cidera
remuk)
d. Osteomyelitis. Kondisi tulang yang mengalami fraktur merupakan
salahsatu faktor resiko terjadinya osteomyelitis. Penyakit ini
merupakan
infeksi pada tulang yang penatalaksanaannya melalui terapi medikasi d
enganantibiotik, serta pembedahan ketika infeksi bersifat persisten.

2. PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Menurut Nanda pengkajian terdiri dari pengumpulan informasi
subjektif dan objektif dan peninjauan informasi riwayat pasien pada rekam
medik.
a. Anamnesa
1) Identitas Pasien
Nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, nomor
rekam medis, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama
Pada umumnya, keluhan utama pada kasuspostoperasifraktur
yaitu rasa nyeriakut akibat luka insisi atau pembedahan
(SDKI,2017). Nyeri tersebut dapat menjadi akut dan kronis
tergantun lama serangan. Menurut Burnner & Suddarth (2002),
pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat
mengakibatkan nyeri hebat. Sensasi nyeri akan terasa sebelum
klien mengalami kesadaran penuh dan meningkat seiring dengan
berkurangnya anastesi dalam tubuh. Pada hari 1-4 postoperasi
bentuk nyeri sedang-berat (Sommer, et all, 2008). Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien
maka digunakan pertanyaan berikut ini.
a) Provoking incident : apakah kira-kira pemicu atau penyebab
peningkatan nyeri, pada pasien postoperasi fraktur femur
penyebab timbulnya rasa nyeri karena luka insisi pada
tempat dilakukan ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
b) Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, dan
menusuk.
c) Region, radiation, relief : dimana rasa nyeri terjadi, apakah rasa
nyeri menjalar atau menyebar, dan apakah rasa nyeri dapat
reda.
d) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan pasien, dapat berdasarkan skala nyeri atau pasien
menerangkan seberapa jauh rasa nyeri mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time : berapa lama nyeri berlangsung dan kapan terjadinya,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
penyebab fraktur yang nantinya dapat berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut.
4) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberikan petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit tertentu, misalnya kanker tulang.
5) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktorr predisposisi terjadinya fraktur.

b. Pola fungsional Gordon yang terkait


1) Pola nutrisi dan metabolisme
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada
beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti
seperti nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi terutama bagi pasien
yang merupakan pengalaman pertama masuk rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB seperti
konstipasi dan gangguan eliminasi urine akibat adanya program
eliminasi dilakukan ditempat tidur
3) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus
ada bantuan bantuan dari orang lain, aktivitas aktivitas ini sering
dilakukan dilakukan pasien ditempat ditempat tidur.
4) Pola Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu
dapat juga terjadi ganggguan konsep diri body image, jika terjadi
atropi otot kulit pucat, kering dan besisik. Dampak psikologis ini dapat
muncul pada pasien yang masih dalam perawatan dirumah dirumah
sakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya program immobilisasi serta
proses penyembuhan yang cukup lama.
5) Pola aktivitas dan latihan
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas)
sebagaimana biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan
ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada perubahan fungsi anggota
gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan aktivitasnya
pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang
sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri.
6) Istirahat dan tidur
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami
perubahan yang berarti, namun ada beberapa kondisi dapat
menyebabkan pola istirahat istirahat terganggu terganggu atau berubah
seperti timbulnya timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak
hospitalisasi.
7) Pemeriksaan Fisik
a) B1 ( Breathing )
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak mengalami
gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batu tidak efektif sehingga
terjadi penurunan akumulasi sekret. Bisa terjadi terjadi apneu, lidah
ke belakang belakang akibat general anastesi, RR meningkat
karena nyeri.
2) B2 ( Blood )
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan
nadi dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena
terjadi infeksi terutama pada fraktur terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan
nadi dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena
terjadi infeksi terutama pada proses pembedahan.
3) B3 ( Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan
anastesi, nyeri akibat pembedahan.
4) B4 ( Bladder )
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan pada
sistem ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 ( Bowel )
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal,
pola defekasi tidak ada kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 ( Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah trauma.
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.

B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Nanda, diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis
tentang respons manusia terhadap gangguan kesehatan/proses kehidupan,
atau kerentanan respons individu, keluarga, kelompok, atau komunitas.
Post operasi :
1) Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan
2) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan tindakan
pembedahan
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
musculoskeletal, nyeri/ ketidaknyamanan, gangguan fungsi
musculoskeletal
4) Resiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi, paralisis,
perubahan tingkat kesadaran
5) Perlambatan pemulihan pasca bedah berhubungan dengan malnutrisi,
obesitas, hambatan mobilitas, gangguan psikologis, diabetes mellitus
6) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan
7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penatalaksanaan medis
(pemasangan fiksasi eksternal)
8) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan
informasi yang ada

C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa NOC NIC


Nyeri akut Tingkat Nyeri (2102) Manajemen nyeri (1400 )
berhubungan Setelah dilakukan Tindakan  Lakukan pengkajian nyeri
dengan agen keperawtaan selama 2 x 24 jam, pasien komperhensif yang
cidera fisik dengan nyeri akut diharapkan dapat meliputi lokasi,
(00132) teratasi dengan kriteria hasil : karakteristik, onset/durasi,
Indikator Awal Akhir frekuensi, kualitas,

Nyeri yang 3 5 intensitas, atau beratnya


dilaporkan nyeri dan factor pencetus

Panjangnya 3 5  Tentukan akibat nyeri dari


episode nyeri pengalaman nyeri terhadap

Ekspresi nyeri 3 5 kualitas hidup pasien


wajah  Tentukan kebutuhan

Tidak bisa 3 5 frekuensi untuk melakukan


beristirahat pengkajian
ketidaknyamanan pasien
Keterangan :
dan mengimplementasikan
(1) sangat terganggu
rencana monitor
(2) banyak terganggu
(3) cukup terganggu  Bantu pasien mengontrol

(4) sedikit terganggu nyeri dengan Teknik non

(5) tidak terganggu farmakologi untuk


meningkatkan rasa nyaman
 Kendalikan factor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi
keidaknyamanan pasien

Hambatan Pergerakan (0208) Terapi Latihan : Ambulasi


mobilitas Setelah dilakukan tindakan ( 0221)
fisik keperawatan selama 2 x 24 jam, pasien  Monitor tanda tanda vital
berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik sebelum dan sesudah
dengan diharapkan dapat teratasi dengan Latihan
gangguan kriteria hasil :  Konsultasikan dengan terapi
fungsi Indikator Awal Akhir fisik tentang rencana
musculoskel Gerakan otot 1 5 ambulasi sesusai dengan
etal Gerakan sendi 1 5 kebutuhan
Berjalan 1 5  Bantu pasien untuk
Keterangan : berpindah sesuai kebutuhan
(1) sangat terganggu  Bantu pasien untuk
(2) banyak terganggu menggunakan tongkat saat
(3) cukup terganggu berjalan dan cegh terhadap
(4) sedikit terganggu cedera
(5) tidak terganggu  Kaji kemampuan pasien
dalam mobilisasi
 Latih pasien dalam
pemenuhan ADL secara
mandiiri sesuai kemampuan
 Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi
Resiko Status Imunitas (0702) Kontrol Infeksi (6540)
infeksi Setelah dilakukan tindakan  Bersihkan lingkungan
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam, pasien dengan baik setelah
dengan dengan resiko infeksi diharapkan
prosedur dapat teratasi dengan kriteria hasil : digunakan pasien lain
invasive Indikator Awal Akhir  Batasi pengunjung bila perlu
(00004) Mencari 3 5  Interuksikan kepada
informasi pengunjung untuk mencuci
tentang control tangan saat berkunjung dan
infeksi setelah berkunjung
Mengidentifika 3 5 meninggalkan pasien
si fktor resiko  Gunakan sabun antimikroba
infeksi untuk mencuci tangan
Mengetahui 3 5  Cuci tangan setiap sebelum
perilaku yang dan setelah melakukan
berhubungan Tindakan
dengan resiko  Gunakan baju, sarung
infeksi tangan sebagai alat
Mempertahanka 3 5 pelindung diri
n lingkungan  Pertahankan lingkungan
yang bersih aseptic selama pemasangan
Keterangan : alat
(1) sangat terganggu  Ajarkan cara menghindari
(2) banyak terganggu infeksi
(3) cukup terganggu
(4) sedikit terganggu
(5) tidak terganggu

D. Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan perencanaan keperawatan
yang telah dibuat. Implementasi adalah aplikasi intervensi yang telah
diterapkan, sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat menurut Orem
implementasi adalah suatu kerjasama perawat-klien yang saling melengkapi.
Perawat bertindak dengan berbagai cara untuk meningkatkan kemampuan
klien. Tindakan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan self care klien,
memenuhi kebutuhan self care klien dan menurunkan self care deficit.

E. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan antara kreteria hasil
yang telah ditetapkan dalam perencanaan dengan data objektif maupun
subjektif yang diperoleh dari respon pasien saat pelaksanaan tindakan.
Evaluasi disusun menggunakan SOAP secara operasional dengan sumatif
(dilakukan selama proses asuhan keperawatan) dan formatif (dengan proses
dan evaluasi akhir). Evaluasi dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Evaluasi berjalan (sumatif)
Evaluasi jenis ini dikerjakan dalam bentuk pengisian format
catatan perkembangan dengan berorientasi kepada masalah yang dialami
oleh keluarga. format yang dipakai adalah format SOAP.

2. Evaluasi akhir (formatif)

Evaluasi jenis ini dikerjakan dengan cara membandingkan antara


tujuan yang akan dicapai. Bila terdapat kesenjangan diantara keduanya,
mungkin semua tahap dalam proses keperawatan perlu ditinjau kembali,
agar didapat data-data, masalah atau rencana yang perlu dimodifikasi.
Referensi

Andri, J., Henni, F., Padila, Harsismanto, J., Rahayu, S., (2020). Nyeri Pada
Pasien Post Op Fraktur Ekstremitas Bawah dengan Pelaksanaan
Mobilisasi dan Ambulasi Dini. Journal of Telenursing, (online),
Vol. 2 No. 4, 61-70, (https://doi.org/10.31539/joting.v2i1.1129,
diakses 20 oktober 2020).

Asikin, M., Nasir, M., & Podding, I. T. (2016). Keperawatan Medikal


Bedah: Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Black, Joyce M., et al. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: edisi 8 buku 3.
Jakarta: Salemba.

Fikri, Hamdani, (2018). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur Femur
di Ruang 12 HCU. [KTI Prodi Pendidikan Profesi Ners Fakultas
Keperawatan Universitas Jember] Diakses 20 November 2021.

Moorhead,S., Johnson, M. (2016). Nursing Outcome Clasification. Yogyakarta:


Nocomedia.

Nanda. 2015. Diagnose Keperawatan. Jakarta : Prima Medika

Suzanne C. Smeltzer ... [et al.]. Desiartama, A., & Aryana, I., (2017).
Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur Femur Akibat Kecelakaan
Lalu Lintas pada Orang Dewasa di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar . E-Jurnal Medika Udayana, (online), Vol. 6 No. 5,
1-4.
Hermanto, R., Laily, I., Saiful, N., (2020). Studi Kasus : Upaya Penurunan Nyeri
pada Pasien Post Operasi Fraktur Femur. Health Sciences Journal,
(online) Vol 4 No. 1, 9 0 -111.

Risnah, Risnawati, H., Maria, U., Irwan, M., (2019). Terapi Non
Farmakologi dalam Penanganan Diagnosis Nyeri Akut. Journal Of
Islamic Nursing, (online) Vol. 4 No. 2, 77-78.
https://www.researchgatenet/publication/338339478

Wijaya dan Putri, (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan


Dewasa). Nuha medika : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai