FRAKTUR
DI SUSUN OLEH
NIM : 20201440120037
SEMESTER : VB
A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditetukan sesuai jenis
dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gerakan puntir
mendadak,gaya remuk dan bahkan kontraksi otot eksterm (Brunner & Suddarth,
2002 dalam Wijaya & Putri, 2013).
Fraktur adalah terputusnya tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya (Brunner & Suddarth, 2002 dalam Wijaya & Putri, 2013).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang
disebabkan oleh rudapaksa (trauma atau tenaga fisik). Fraktur adalah patah atau
retak pada tulang yang utuh. Biasanya fraktur disebabkan oleh trauma di mana
terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang,baik berupa langsung dan trauma
tidak langsung (Sjamsuhidajat, 2012).
Menurut (Sjamsuhidajat, 2012) fraktur dibagi menjadi 2 berdasarkan ada
tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar yaitu:
1) Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar,disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh)
tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang
berdasarkankeadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagiandalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
danancaman sindroma kompartement.
1. Fraktur terbuka (open/compound fraktur). Dikatakan terbuka bila tulang yang
patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi
infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang
yang patah.
Derjat fraktur terbuka:
a. Derjat 1 :
Fraktur terbuka dengan luk kulit kurang dari 1 cm dan bersih, kerusakan
jaringan minimal, biasanya dikarenakan tulang menembus kulit dari
dalam.Konfigurasi fraktur simple, transvers atau simple oblik.
b. Derjat 2 :
Fraktur terbuka dengan luka lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan
jaringan lunakkontusio ataupun avulsi yang luas.
c. Derjat 3 :
Fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang luas,
kontaminasi beratbiasanya disebabkan oleh trauma yang hebat, dengan
konfigurasi fraktur kominutif.Fraktur tipe 3 dibagi menjadi tiga yaitu :
1) Tipe I : Fraktur segmental atau sangat kominutif penutupan tulang
dengan jaringan lunak cukup adekuat.
2) Tipe II : Trauma sangat berat atau kehilangan jaringan lunak yang
cukup luas, terkelupasnya daerah periosteum dan tulang tampak
terbuka, sertaadanya kontaminasi yang cukup berat.
3) Tipe III : Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan pembuluh
darah tanpa memperhatikan derajat kerusakan jaringan lunak.
B. ETIOLOGI
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan
suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan.
Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan
hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa
memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang
dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang terjadi
pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap (Digiulio,
Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat
dibedakan menjadi:
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan.
b. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga
menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak.
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan:
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidakterkendali.
b. Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksiakut atau
dapat timbul salah satu proses yang progresif.
c. Rakhitis.
d. Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus.
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi fraktur menurut Black dan Hawks (2014), keparahan dari
fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktur
suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja
bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang
dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung
tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen
fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang
kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun
bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal
dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot
sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut
(membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat
berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi
cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau
cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma
terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan
tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan
yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi,
eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap
penyembuhan tulang.
D. MANIFESTASI KLINIS
Manisfestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan
warna (Brunner & Suddarth, 2002 dalam Wijaya & Putri, 2013). Nyeri terus-
menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi,
spasme otot yang menyertai fraktur merupkan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
1. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
2. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur.
3. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
denganyang lainnya (uji krepitus dapat merusakkan jaringan lunak yang
lainnnya lebih berat).
4. Pembengkakan akan mengalami perubahan warna lokal pada kulit terjadi
sebagai trauma dan pendarahan akibat fraktur.
E. TES DIAGNOSTIK
Menurut (Muttaqin, 2011), pemeriksaan pemeriksaan penunjang pada
frakturyaitu:
1. Anamnesa/ pemeriksaan umum.
2. Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan yang penting adalah pemeriksaan
menggunakan sinar Rontgen (sinar-x) untuk melihat gambaran tiga dimensi
dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit.
3. CT scan : pemeriksaan bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon.
4. X - Ray : menentukan lokasi, luas, batas dan tingkat fraktur.
5. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan
untuk mengetahui lebih jauh kelainan yang terjadi meliputi :
a. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b. Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang.
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehydrogenase (LDH-5),
aspratat aminotransferase (AST) dan aldolase meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
6. Pemeriksaan lain-lain :
a. Biopsi tulang dan otot : pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di
atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
b. Elekromiografi : terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.
c. Artroskopi : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
d. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
Indigium Imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
F. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan sistem atau metode
proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi lima tahap yaitu
pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian :
a. Anamnesis
1) Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, nomer register, tanggal masuk rumah sakit,
diagnosis medis (Padila, 2012).
2) Keluhan utama
Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain itu
klien juga akan kesulitan beraktivitas. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan
menurut Padila (2012) :
a) Provoking incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region : Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa
sakit terjadi.
d) Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit memepengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari
3) Riwayat penyakit sekarang
4) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka sangat
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Padila, 2012).
6) Riwayat psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari (Padila, 2012).
7) Pola-pola
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadi
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain
itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat menggangu
metabolisme kalsium, pengonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien
melaksanakan olahraga atau tidak (Padila, 2012).
c) Pola eliminasi
Pantau pengeluaran urine frekuensi, kepekatannya, warna,
bau, dan jumlah apakah terjadi retensi urine. Retensi urine
dapat disebabkan oleh posisi berkemih yang tidak alamiah,
pembesaran prostat dan adanya tanda infeksi saluran kemih
Kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.
e) Pola aktivitas
Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas (Padila, 2012).
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normo cephalik simetris, tidak
adapenonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tak edema
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris
j) Paru
Inspeksi :Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru
k) Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung
l) Abdomen
m) Inguinal-genetalis-anus
n) Sistem muskuloskeletal
Andra, Ns. Saferi Wijaya, S.Kep dan Ns. Yessie Mariza Putri, S.Kep (2013). KMB 2
Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa). Yogyakarta : Nuha
Medika
Black, J M & Hawks, J H (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Buku 3. Jakarta :
Salemba Medika
Digiulio, Mary, Donna Jackson, Jim Keogh (2014). Keperawatan Medikal Bedah Buku
Wajib Bagi Praktisi & Mahasiswa Keperawatan. Yogyakarta : Rapha
Publishing
Muttaqin, Arif (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan System
Muskuloskletal. Jakarta : EGC
Sjamsuhidajat & De Jong (2012). Buku Ajar Ilmu Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Suratun, SKM, Heryati dkk (2018). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi
dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI