EPILEPSI
Topik : Epilepsi
Sub Topik : a. Definisi
b. Faktor penyebab terjadinya epilepsi
c. Tanda dan gejala epilepsi
d. Pengobatan epilepsi
Sasaran : Keluarga Pasien/ klien
Hari/ Tanggal : Senin, 13 Oktober 2018
Waktu/ Jam : 09.00-09.20 (20 Menit)
Tempat : Ruang I RSUD Datu Sanggul Rantau
Penyuluh : Muhammad Noor Adzhar Saputra
I. ANALISIS SITUASI
Peserta hadir pukul 09.00. Peserta adalah Keluarga Pasien/ klien 15 orang
V. METODE
Ceramah, tanya jawab
VI. MEDIA
Powerpoint
VIII. PENGORGANISASIAN
Moderator :
Penyaji : 1. ……………………
2. ….…………………..
Fasilitator :
Notulis :
Mengetahui,
MATERI PENYULUHAN
EPILEPSI
A. Definisi
Penyakit epilepsi atau ayan adalah gangguan sistem saraf pusat akibat pola
aktivitas listrik otak yang tidak normal. Hal itu menimbulkan keluhan kejang, sensasi
dan perilaku yang tidak biasa, hingga hilang kesadaran.
Gangguan pada pola aktivitas listrik otak saraf dapat terjadi karena beberapa
hal. Baik karena kelainan pada jaringan otak, ketidakseimbangan zat kimia di dalam
otak, ataupun kombinasi dari beberapa faktor penyebab tersebut.
Pada sebagian besar kasus epilepsi, penyebab pastinya tidak dapat ditemukan.
Epilepsi jenis ini dikenal sebagai epilepsi idiopatik. Tidak dapat dipastikan bagaimana
epilepsi bermula atau berlanjut pada kasus ini, karena tidak ditemukan kelainan yang
dapat menyebabkan epilepsi.
Cedera kepala
Stroke
Tumor otak
Infeksi, contohnya meningitis atau ensefalitis
Cedera atau kerusakan otak saat masih di dalam kandungan, akibat infeksi
atau nutrisi yang buruk pada saat kehamilan
Gangguan perkembangan, contohnya penyakit autisme dan neurofibromatosis
Kelainan genetik.
Berdasarkan kondisi aktivitas otak yang abnormal, kejang pada epilepsi dibagi
menjadi dua, yaitu kejang umum dan parsial.
Kejang umum terjadi pada seluruh bagian otak dan menimbulkan gejala di
sekujur tubuh. Terdapat beberapa jenis kejang umum, yaitu:
Kejang tonik-klonik. Jenis ini yang paling banyak terjadi pada kejang umum.
Gejalanya dapat terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap tonik yang ditandai
dengan hilang kesadaran, tubuh menjadi kaku, serta tubuh dapat jatuh ke
lantai. Tahap berikutnya adalah tahap klonik yang ditandai dengan anggota
tubuh bergerak-gerak (kelojotan), kehilangan kendali atas buang air besar dan
buang air kecil, lidah tergigit, serta sulit bernapas. Kejang ini biasanya
berhenti setelah beberapa menit. Sesudah itu, penderita dapat merasa pusing,
bingung, lelah, atau sulit mengingat apa yang sudah terjadi.
Kejang petit-mal. Kejang seperti ini sering terjadi pada anak-anak yang
ditandai dengan memandang dengan tatapan kosong atau melakukan gerakan
tubuh yang halus, seperti mata berkedip atau mengecap bibir. Kejang ini
menimbulkan kehilangan kesadaran yang singkat.
Kejang tonik. Kejang ini membuat semua otot kaku seperti kejang tonik-
klonik tahap pertama, sehingga keseimbangan tubuh bisa hilang dan tubuh
bisa jatuh. Kejang jenis ini akan mempengaruhi otot punggung, lengan, dan
tungkai.
Kejang atonik. Kejang ini membuat seluruh otot tubuh mengendur atau
kehilangan kendali, sehingga tubuh bisa jatuh. Kejang yang disertai dengan
kehilangan kesadaran ini berlangsung sangat singkat dan penderita dapat
segera bangun kembali.
Kejang mioklonik, yakni kontraksi tiba-tiba dari otot lengan, tungkai atau
seluruh tubuh. Kejang ini biasanya terjadi setelah bangun tidur dan
berlangsung selama kurang dari satu detik, meski beberapa penderita dapat
merasakannya selama beberapa saat.
Kejang klonik. Kejang seperti ini muncul sebagai gerakan otot berkedut yang
berulang atau berirama (kelojotan) seperti halnya fase kedua kejang tonik-
klonik. Kendati demikian, otot tidak menjadi kaku pada awalnya. Kejang jenis
ini terjadi pada otot leher, wajah, dan lengan.
Kejang parsial sederhana atau aura ini terkadang hanya sebuah tanda bahwa
kejang tipe lain akan muncul.
Sedangkan kejang parsial kompleks adalah kejang yang melibatkan penurunan
kesadaran. Kejang ini biasanya muncul dari bagian otak yang disebut lobus temporal.
Gejala yang muncul dapat berupa memandang dengan tatapan kosong, tidak
merespons keadaan di sekeliling, serta melakukan gerakan secara berulang, seperti
menggosok-gosok tangan, menelan, atau berputar-putar.
D. Pengobatan epilepsi
Penyakit epilepsi tidak dapat disembuhkan. Kendati demikian, pemberian obat
secara tepat dapat menstabilkan aktivitas listrik dalam otak, serta dapat
mengendalikan kejang pada penderita epilepsi. Dalam meresepkan obat, dokter perlu
mempertimbangkan usia, jenis kejang, kondisi pasien, serta obat-obatan lain yang
dikonsumsi pasien.
Obat yang diresepkan dokter adalah obat antikejang (antikonvulsan), atau
dikenal juga dengan obat Obat jenis ini dapat mengubah cara kerja dan pengiriman
sinyal atau pesan dari sel otak. Contoh obat antiepilepsi adalah asam
valproat, carbamazepine, lamotrigine, clobazam, levetiracetam, dan topiramate.
Pemberian obat antiepilepsi diawali dengan dosis yang rendah, lalu dosis akan
diitingkatkan secara perlahan. Untuk memantau respons tubuh terhadap pemberian
obat, pasien perlu memeriksakan darahnya sebelum dan selama mengonsumsi obat.
Di sisi lain, obat antiepilepsi juga dapat berinteraksi dengan pil KB. Oleh karena itu,
dokter perlu menyesuaikan alat kontrasepsi yang dibutuhkan.
Sama seperti obat lainnya, obat antiepilepsi juga berisiko menimbulkan efek
samping, baik yang tergolong ringan atau juga parah. Beberapa efek samping obat
antiepilepsi yang tergolong ringan, di antaranya:
Kenaikan berat badan
Pusing
Lemas
Penurunan kepadatan tulang
Daya ingat berkurang
Bicara tidak lancar
Hilangnya koordinasi gerakan
Ruam kulit.
Sedangkan efek samping obat antiepilepsi yang tergolong berat, antara lain:
Peradangan organ (misalnya organ hati)
Ruam kulit parah
Depresi
Kecenderungan untuk bunuh diri
Selama pengobatan, pasien diharuskan untuk mengonsumsi obat antiepilepsi
sesuai aturan yang ditetapkan dokter, dan tidak berhenti mengonsumsi obat tanpa
sepengetahuan dokter.
Jika pemberian obat antiepilepsi belum bisa mengendalikan kejang pada
penderita epilepsi, maka dokter dapat melakukan operasi epilepsi untuk
menghilangkan bagian otak yang menyebabkan kejang. Pelaksanaan operasi ini dapat
dilaksanakan jika kejang disebabkan masalah pada bagian otak yang dapat
dihilangkan tanpa menimbulkan efek samping berarti, misalnya kemampuan bicara,
bahasa, fungsi motorik, pendengaran, atau penglihatan.
Di samping pemberian obat dan operasi, sejumlah terapi juga dapat diterapkan
pada penderita epilepsi yang mengalami kejang. Terapi tersebut berupa pemasangan
stimulator saraf di bawah kulit daerah tulang selangka (saraf vagus), untuk
mengurangi frekuensi dan intensitas kejang.
Terapi lainnya adalah pemasangan elektroda pada bagian otak yang
disebut thalamus, yang disambungkan dengan stimulator di tulang dada atau tulang
kepala, untuk mengirim sinyal listrik pada otak dan meredakan kejang. Terapi ini
disebut deep brain stimulation.
Sedangkan terapi yang cukup efektif dalam mengatasi kejang pada penderita
anak-anak adalah dengan diet ketogenik (pola makan dengan kadar lemak tinggi,
kadar protein rendah, dan bebas karbohidrat). Sementara, terapi tambahan
untuk menghindari pemicu kejang dapat dilakukan dengan aromaterapi yang
membuat penderita merasa rileks dan meredakan stres.
Dalam kasus epilepsi idiopatik di mana penyebabnya belum diketahui, maka
langkah yang bisa dilakukan adalah menghindari pemicu yang menimbulkan kejang.
DAFTAR PUSTAKA