Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN “FRAKTUR”

DI RUANG ANGSOKA 1 RUMAH SAKIT UMUM PUSAT


PROF. dr. I. G. N. G. NGOERAH
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

OLEH :

LISA YULTIANA RIZKY

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PENDIDIKAN


PROFESI NERS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
KONSEP FRAKTUR

A. Definisi Fraktur
Fraktur adalah kondisi terjadinya diskontinuitas tulang dan atau tulang rawan,
yang bersifat total atau sebagian yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kegagalan tulang dalam menahan tekanan, membengkok, memutar dan tarikan
dapat menyebabkan terjadinya fraktur atau patah tulang (Ahmad et al., 2021).
Fraktur adalah terputusnya jaringan tulang karena trauma akibat tahanan yang
lebih besar dari kekuatan yang dimiliki oleh tulang. Fraktur terjadi ketika tekanan
yang diterima tulang melebihi berat yang dapat diabsorpsi oleh tulang tersebut.
Kekuatan serta sudut tenaga fisik, keadaan tulang serta jaringan lunak yang ada
disekitar tulang akan menentukan fraktur yang terjadi lengkap (total) atau tidak
lengkap (sebagian). Fraktur total terjadi jika seluruh tulang patah, sedangkan
fraktur sebagian tidak melibatkan seluruh tulang (Ribka et al., 2023).
B. Epidemiologi Fraktur
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa angka prevalensi
kejadian fraktur meningkat dari tahun 2020 sebanyak kurang lebih 13 juta orang
dengan angka prevalensi sebesar 2,7% (Wu et al., 2021). Di Indonesia insiden
fraktur tahun 2013 sebesar 5,8% dimana penyebab paling tinggi disebabkan oleh
trauma langsung seperti kecelakaan transportasi darat, dan jatuh dengan masing-
masing prevalensinya 40,6% serta 40,9%. Penyebab dengan prevalensinya paling
rendah dialami yaitu terkena benda tajam atau benda tumpul sebesar 7,3%.
Sedangkan pada tahun 2018 prevalensinya menurun hingga mencapai 5,5%
namun, penyebab paling tinggi masih disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
terutama yang mengendarai sepeda motor dengan prevalensi 72,7% dengan
karakteristik usia paling banyak 25 - 34 tahun prevalensi mencapai 82,5%,
penderita fraktur paling banyak laki-laki prevalensinya sebesar 80,9%, dan
prevalensi status pekerjaan pegawai swasta 86,4% (Kementerian Kesehatan,
2018).
C. Etiologi Fraktur
Penyebab fraktur menurut (Jitowiyono & Kristiyanasari, 2010) dapat dibedakan
menjadi:
a) Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan.
2. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan
fraktur klavikula.
3. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
b) Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan:
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali.
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul salah satu proses yang progresif.
3) Rakhitis.
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
D. Patofisologi Fraktur
Keparahan akan bergantung pada gaya yang mengakibatkan fraktur. Apabila
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, kemungkinan tulang hanya
retak saja. Sedangkan apabila gayanya sangat ekstrim misalnya seperti tabrakan
kendaraan, kemungkinan tulang akan patah berkeping-keping. Saat terjadi
fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang mampu terganggu. Otot akan
mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Selain itu
priosteum dan pembuluh darah yang terdapat pada korteks dan sumsum tulang
yang patah akan terganggu sehingga mengakibatkan cedera jaringan lunak dan
terjadi perdarahan. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara
fragmen-fragmen tulang dibawah periosteum. Jaringan sekitar tulang lokasi
fraktur akan mati dan membentuk respon peradangan hebat yang menyebabkan
vasodilatasi, edema, kehilangan fungsi, nyeri, eksudasi plasma dan leukosit
(Indrawan & Hikmawati, 2021). (Pathway Terlampir)
E. Klasifikasi Fraktur
Menurut (Sulistyaningsih, 2016), klasifikasi fraktur berdasarkan ada tidaknya
hubungan antar tulang dibagi menjadi 2 yakni :
a) Fraktur Terbuka
Adalah patah tulang yang menembus kulit serta menjadikan adanya
kemungkinan untuk masuknya kuman atau bakteri ke dalam luka.
Berdasarkan tingkat keparahannya fraktur terbuka dikelompokkan menjadi 3
kelompok besar yaitu:
1. Derajat I
Kulit terbuka <1 cm, biasanya dari dalam ke luar, memar otot yang ringan
disebabkan oleh energi yang rendah atau fraktur dengan luka terbuka
menyerong pendek.
2. Derajat II
Kulit terbuka >1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas, komponen
penghancuran minimal sampai sedang, fraktur dengan luka terbuka
melintang sederhana dengan pemecahan minimal.
3. Derajat III
Kerusakan jaringan lunak yang lebih luas, termasuk otot, kulit, dan
struktur neurovaskuler, cidera yang disebabkan oleh energi tinggi dengan
kehancuran komponen tulang yang parah.
1) Derajat IIIA
Laserasi jaringan lunak yang luas, cakupan tulang yang memadai,
fraktur segmental, pengupasan periosteal minimal.
2) Derajat IIIB
Cidera jaringan lunak yang luas dengan pengelupasan periosteal dan
paparan tulang yang membutuhkan penutupan jaringan lunak;
biasanya berhubungan dengan kontaminasi masif.
3) Derajat IIIC
Cidera vaskular yang membutuhkan perbaikan.

Gambar 1.1 Fraktur Terbuka Derajat I

Gambar 1.2 Fraktur Terbuka Derajat II

Gambar 1.3 Fraktur Terbuka Derajat IIIA


Gambar 1.4 Fraktur Terbuka Derajat IIIB

Gambar 1.5 Fraktur Terbuka Derajat IIIC

b) Fraktur Tertutup
Adalah patah tulang yang tidak mengakibatkan robeknya kuli. Fraktur tertutup
diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan jaringan lunak dan mekanisme
cidera tidak langsung dan cidera langsung antara lain:
1. Derajat 0
Cidera akibat kekuatan yang tidak langsung dengan kerusakan jaringan
lunak yang tidak begitu berarti.
2. Derajat 1
Fraktur tertutup yang disebabkan oleh mekanisme energi rendah sampai
sedang dengan abrasi superfisial atau memar pada jaringan lunak di
permukaan situs fraktur.
3. Derajat 2
Fraktur tertutup dengan memar yang signifikan pada otot, yang mungkin
dalam, kulit lecet terkontaminasi yang berkaitan dengan mekanisme energi
sedang hingga berat dan cidera tulang, sangat beresiko terkena sindrom
kompartemen.
4. Derajat 3
Kerusakan jaringan lunak yang luas atau avulsi subkutan dan gangguan
arteri atau terbentuk sindrom kompartemen.
Menurut (Purwanto, 2016), klasifikasi fraktur berdasarkan garis frakturnya
dibagi menjadi :
a) Fraktur Komplet
Yaitu fraktur yang menyebabkan terjadi patahan diseluruh penampang tulang
biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.
b) Fraktur Inkomplet
Yaitu fraktur yang terjadi hanya pada sebagian dari garis tengah tulang.
c) Fraktur Transversal
Yaitu fraktur yang terjadi sepanjang garis lurus tengah tulang.
d) Fraktur Oblig
Yaitu fraktur yang membentuk garis sudut dengan garis tengah tulang.
e) Fraktur Spiral
Yaitu garis fraktur yang memutar seputar batang tulang sehingga menciptakan
pola spiral.
f) Fraktur Kompresi
Terjadi adanya tekanan tulang pada satu sisi bisa disebabkan tekanan, gaya
aksial langsung diterapkan diatas sisi fraktur.
g) Fraktur Kominutif
Yaitu apabila terdapat beberapa patahan tulang sampai menghancurkan tulang
menjadi tiga atau lebih bagian.
h) Fraktur Impaksi
Yaitu fraktur dengan salah satu irisan ke ujung atau ke fragmen retak.
F. Gejala Klinis Fraktur
Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:
a) Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada
lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai,
deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi
fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
b) Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada
lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c) Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d) Spasme otot
Spasme otot involunter berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi
gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
e) Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien.
Nyeri biasanya terus-menerus, meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini
terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada
struktur sekitarnya.
f) Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g) Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena
hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan
juga dapat terjadi dari cedera saraf.
h) Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan
antar fragmen fraktur.
i) Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur
vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan
atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur
j) Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.
G. Pemeriksaan Diagnostik Fraktur
1. Pemeriksaan fisik fokus
Kaji kronologi dari mekanisme trauma pada paha. Sering didapatkan keluhan
nyeri pada luka terbuka.
a) Look
Pada fraktur terbuka terlihat adanya luka terbuka dengan deformitas yang
jelas. Kaji seberapa luas kerusakan jaringan lunak yang terlibat. Kaji
apakah pada luka terbuka pada ada fragmen tulang yang keluar dan
apakah terdapatnya kerusakan pada jaringan beresiko meningkat pada
respon syok hipovolemik. Pada fase awal trauma kecelakaan lalu lintas
darat yang mengantaran pada resiko tinggi infeksi. Pada fraktur tertutup
sering ditemukan kehilangan fungsi deformitas, pemendekan ekstremitas
atas karena kontraksi otot, krepitasi, pembengkakan, dan perubahan
warna lokal pada kulit terjadi akibat ada trauma dan pendarahan yang
mengikuti fraktur. Tanda ini dapat terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa setelah cidera.
b) Feel
Adanya keluhan nyeri tekan dan krepitasi
c) Move
Daerah tungkai yang patah tidak boleh digerakkan, karena akan memberi
respon trauma pada jaringan lunak di sekitar ujung fragmen tulang yang
patah.
H. Pemeriksaan Penunjang Fraktur
Adapun beberapa periksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosa fraktur adalah sebagai berikut.
a) Pemeriksaan rontgen : untuk menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
b) Scan tulang, scan CT/MRI: untuk memperlihatkan fraktur juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c) Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler di curigai.
d) Hitung darah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada mulltipel.
e) Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f) Profil kagulasi : penurunan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple, atau cidera hati.
I. Penatalaksanaan Fraktur
Menurut (Istianah, 2017) penatalaksanaan medis fraktur antara lain sebagai
berikut:
a) Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan untuk
mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai
untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.
b) Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis
tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka.
Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk menarik
fraktur, kemudian memanipulasi untuk mengembalikan kesejajaran garis
normal. Jika reduksi tertutup gagal atau kurang memuaskan, maka bisa
dilakukan reduksi terbuka. Reduksi terbuka dilakukan dengan menggunakan
alat fiksasi internal untuk mempertahankan posisi sampai penyembuhan
tulang menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat,
skrup, dan plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui
pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka
ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat
tersambung kembali.
c) Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan plat
atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas yang
mengalami fraktur.
d) Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan. Menurut
(Kneale, 2011) latihan rehabilitasi dibagi menjadi tiga kategori yaitu:
1. Gerakan pasif : bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan
rentang gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur
jaringan lunak serta mencegah strain berlebihan pada otot yang diperbaiki
post bedah.
2. Gerakan aktif : terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang sehat,
katrol atau tongkat.
3. Latihan penguatan : adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat otot.
Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah pulih, 4-6
minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien yang mengalami
gangguan ekstremitas atas.
J. Komplikasi Fraktur
Ada beberapa komplikasi dari fraktur. Komplikasinya tergantung pada jenis
cedera, usia klien, adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan
penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin,
kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi awal yang terjadi setelah fraktur antara
lain :
a) Syok : dapat berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema.
b) Emboli lemak : dapat terjadi 24-72 jam.
c) Sindrom kompartemen : perfusi jaringan dalam otot kurang dari kebutuhan.
d) Infeksi dan tromboemboli.
e) Koagulopati intravaskular diseminata.
Komplikasi lanjutan :
a) Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b) Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c) Non union : tulang yang tidak menyambung kembali (Purwanto, 2016).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a) Anamnesis
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
nomer register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain itu klien
juga akan kesulitan beraktivitas. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan diantaranya sebagai berikut :
1) Provoking incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
2) Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3) Region : Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit memepengaruhi kemampuan fungsinya.
5) Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat penyakit sekarang
Data ini meliputi kondisi kesehatan individu. Data tentang adanya efek
langsung atau tidak langsung terhadap muskuloskeletal, misal riwayat
trauma/kerusakan tulang rawan. Riwayat arthritis, osteomielitis. Riwayat
pengobatan berikut efek sampingnya, misal kortikosteroid dapat
menimbulkan kelemahan otot.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan
tulang.
5. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
6. Riwayat psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.
7. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi hidup sehat
Klien fraktur apakah ada mengalami perubahan atau gangguan pada
personal hygiene atau mandi.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien fraktur tidak ada perubahan nafsu makan, walaupun menu
makanan disesuaikan dari rumah sakit.
3) Pola eliminasi
Perubahan BAK/BAB dalam sehari, apakah mengalami waktu BAB
dikarenakan imobilisasi, feses warna kuning, pada pasien fraktur tidak
ada gangguan BAK.
4) Pola istirahat tidur
Kebiasaan pola tidur apakah ada gangguan yang disebabkan karena
nyeri, misalnya nyeri karena fraktur.
5) Pola aktifitas dan latihan
Aktivitas pada klien yang mengalami gangguan karena fraktur
mengakibatkan kebutuhan pasien perlu dibantu oleh perawat atau
keluarga.
6) Pola persepsi dan konsep diri
Klien mengalami gangguan percaya diri sebab tubuhnya perubahan
pasien takut cacat / tidak dapat bekerja lagi.
7) Pola sensori kognitif
Adanya nyeri yang disebabkan kerusakan jaringan, jika pada pola
kognitif atau pola berfikir tidak ada gangguan.
8) Pola hubungan peran
Terjadi hubungan peran interpersonal yaitu klien merasa tidak
berguna sehingga menarik diri.
9) Pola penggulangan stress
Penting ditanyakan apakah membuat pasien menjadi
depresi/kepikiran mengenai kondisinya.
10) Pola reproduksi seksual
Jika pasien sudah berkeluarga maka mengalami perubahan pola
seksual dan reproduksi, jika pasien belum berkeluarga pasien tidak
mengalami gangguan pola reproduksi seksual.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Terjadi kecemasan/stress untuk pertahanan klien meminta
mendekatkan diri pada Tuhan-Nya.
8. Pemeriksaan fisik Head to Toe
1) Kepala
Inspeksi : Simetris, ada pergerakan
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
2) Leher
Inspeksi : simetris, tidak ada penonjolan
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, reflek menelan ada.
3) Wajah
Inspeksi : simetris, terlihat menahan sakit
Palpasi : tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk, tidak ada lesi,
dan tidak ada oedema.
4) Mata
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan).
5) Telinga
Inspeksi : normal, simetris
Palpasi : Tidak ada lesi, dan nyeri tekan.
6) Hidung
Inspeksi : Normal, simetris
Palpasi : tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
7) Mulut
Inspeksi : Normal, simetris
Palpasi : tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
8) Thoraks
Inspeksi : Simetris, tidak ada lesi, tidak bengkak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak
Auskultasi : Tidak ada ronchi, wheezing, dan bunyi jantung regular.
9) Paru
Inspeksi : pernapasan meningkat, regular atau tidak tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru
Palpasi : Pergerakan simetris, fremitus terasa sama.
Perkusi : Sonor, tidak ada suara tambahan.
Auskultasi : suara nafas normal, tidak ada wheezing atau suara
tambahan lainnya.
10) Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung
Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal
11) Abdomen
Inspeksi : simetris, bentuk datar
Palpasi : Turgor baik, tidak ada pembesaran hepar.
Perkusi : Suara timpani, ada pantulan gelombang cairan
Auskultasi : Peristaltic usus normal ± 20 x/menit.
12) Inguinal, genetalia, anus
Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak ada kesulitan
BAB.
9. Pemeriksaan pada system muskulosketal adalah sebagai berikut:
1) Inspeksi (Look): Melihat pada bagian yang akan diperiksa mulai dari
posturnya lalu apakah didapatkan deformitas, hiperemi, jejas, luka,
atrofi, dan scar.
2) Palpasi (Feel): Menyentuh pada bagian yang akan diperiksa lalu
diperiksa apakah didapatkan nyeri, lalu diperiksa bagaimana
konsistensinya, suhu kulitnya, apakah didapatkan krepitasi dan false
movement. Perhatikan bentuk tulang ada/tidak adanya benjolan atau
abnormalitas.
3) Pergerakan (Move): Menggerakkan bagian yang akan diperiksa secara
aktif maupun pasif. Perhatikan gerakan pada sendi baik secara
aktif/pasif, apa pergerakan sendi diikuti adanya krepitasi, lakukan
pemeriksaan stabilitas sendi, apa pergerakan menimbulkan nyeri.
4) Pemeriksaan neurologis: Pemeriksaan persyarafan motorik, sensoris,
refleks fisiologis maupun reflek patologis serta tonus otot.
B. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan atau cidera
jaringan lunak.
b) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan,
prosedur bedah dan imobilisasi.
c) Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan edema.
d) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan pendarahan.
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosis keperawatan Rencana Keperawatan
Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
1. Nyeri akut NOC NIC NIC
1. Pain Level Pain Management Pain Management
2. Pain control 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Untuk mengetahui
3. Comfort level secara komprehensif karakteristik nyeri
termasuk lokasi, 2. Untuk
Kriteria Hasil : karakteristik, durasi mengidentifikasi
1. Mampu mengontrol nyeri frekuensi, kualitas dan reaksi nyeri pasien
(tahu penyebab nyeri, faktor presipitasi 3. Mendukung BHSP
mampu menggunakan 2. Observasi reaksi 4. Untuk memberikan
tehnik non farmakologi nonverbal dan motivasi dan
untuk mengurangi nyeri, ketidaknyamanan memperkuat koping
mencari bantuan) 3. Gunakan teknik pasien dan keluarga
2. Melaporkan bahwa nyeri komunikasi terapeutik 5. Menguraangi rasa
berkurang dengan untuk mengetahui nyeri sekaligus
menggunakan manajemen pengalaman nyeri pasien mengontrol
nyeri 4. Bantu pasien dan keluarga lingkungan
3. Mampu mengenali nyeri untuk mencari dan 6. Mengurangi rasa
(skala, intensitas, frekuensi menemukan dukungan nyeri pasien
dan tanda nyeri) 5. Kontrol lingkungan yang 7. Untuk mengontrol
4. Menyatakan rasa nyaman dapat mempengaruhi nyeri nyeri
setelah nyeri berkurang seperti suhu ruangan, 8. Untuk menetukan
pencahayaan dan intervensi yang tept
kebisingan 9. Mengurangi rasa
6. Kurangi faktor presipitasi tidak nyaman
nyeri karena nyeri
7. Pilih dan lakukan 10. Mengurangi nyeri
penanganan nyeri 11. Untuk
(farmakologi, non mengevaluasi
farmakologi dan inter intervensi yang
personal) telah diberikan
8. Kaji tipe dan sumber nyeri 12. Untuk mengontrol
untuk menentukan rasa nyeri
intervensi 13. Untuk menentukan
9. Ajarkan tentang teknik intervensi
non farmakologi selanjutnya
10. Berikan anaIgetik untuk 14. Untuk mengetahui
mengurangi nyeri pemahaman pasien
11. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
12. Tingkatkan istirahat
13. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak
berhasil
14. Monitor penerimaan
pasien tentang manajemen
nyeri

2. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC NIC


1. Joint Movement : Active Exercise therapy : Exercise therapy :
2. Mobility level ambulation ambulation
3. Self care : ADLs 1. Monitoring vital sign 1. Untuk memantau
4. Transfer performance sebelum/sesudah latihan status hemodinamik
dan lihat respon pasien pasien
Kriteria Hasil: saat latihan 2. Untuk menentukan
1. Klien meningkat dalam 2. Konsultasikan dengan terapi yang tepat
aktivitas fisik terapi fisik tentang dan sesuai
2. Mengerti tujuan dan rencana ambulasi sesuai 3. Membantu pasien
peningkatan mobilitas dengan kebutuhan untuk berjalan
3. Memverbalisasikan 3. Bantu klien untuk 4. Untuk membantu
perasaan dalam menggunakan tongkat saat pasien belajar
meningkatkan kekuatan berjalan dan cegah mandiri
dan kemampuan berpindah terhadap cedera 5. Untuk menentukan
4. Memperagakan 4. Ajarkan pasien atau terapi selanjutnya
penggunaan alat tenaga kesehatan lain 6. Melatih
5. Bantu untuk mobilisasi tentang teknik ambulasi kemandirian pasien
(walker) 5. Kaji kemampuan pasien 7. Untuk
dalam mobilisasi mempermudah
6. Latih pasien dalam pasien dalam
pemenuhan kebutuhan belajar mobilisasi
ADLs secara mandiri secara mandiri
sesuai kemampuan 8. Jika pasien
7. Dampingi dan bantu menginginkan
pasien saat mobilisasi dan untuk
bantu penuhi kebutuhan menggunakan alat
ADLs pasien. bantu jalan
8. Berikan alat bantu jika 9. Meningkatkan
klien memerlukan. kemampuan
9. Ajarkan pasien bagaimana pasien secara
merubah posisi dan mandiri
berikan bantuan jika
diperlukan.

3. Ketidakefektifan perfusi NOC NIC NIC


jaringan Circulation status Peripheral Sensation Peripheral Sensation
Management Management
Kriteria Hasil : 1. Monitor adanya daerah 1. Untuk memantau
Mendemonstrasikan status tertentu yang hanya peka status sirkulasi
sirkulasi yang ditandai terhadap darah pasien
dengan : panas/dingin/tajam/tumpul 2. Untuk mengetahui
1. Tekanan systole dan 2. Monitor adanya paretese adanya kelainan
diastole dalam rentang atau kesemutan sirkulasi
yang diharapkan 3. lnstruksikan keluarga 3. Untuk membantu
2. Tidak ada ortostatik untuk mengobservasi kulit memantaua status
hipertensi jika ada isi atau laserasi sirkulasi pasien
3. Tidak ada tanda-tanda 4. Gunakan sarung tangan 4. Sebagai APD
peningkatan tekanan untuk proteksi perawat
intrakranial (tidak lebih 5. Batasi gerakan pada 5. Untuk mencegah
dari 15 mmHg) kepala, leher dan terjadinya cedera
punggung 6. Untuk mengurangi
6. Kolaborasi pemberian rasa nyeri pasien
analgetik 7. Untuk menentukan
7. Diskusikan mengenai penyebab atau
penyebab perubahan sumber perubahan
sensasi sensasi

4. Resiko syok hipovolemik NOC NIC NIC


1. Syok prevention Syok prevention Syok prevention
2. Syok management 1. Monitor status sirkulasi 1. Untuk memantau
TD, warna kulit, suhu resiko syok
Kriteria Hasil : kulit, denyut jantung, HR, 2. Memantau sirkulasi
1. Nadi dalam batas yang dan ritme, nadi perifer, oksigen dalam
diharapkan dan kapiler refill. tubuh
2. Irama jantung dalam batas 2. Monitor suhu dan 3. Untuk menentukan
yang diharapkan pernafasan balance cairan
3. Frekuensi nafas dalam 3. Monitor input dan output 4. Untuk mengetahui
batas yang diharapkan cairan kelainan dalam
4. Irama pernapasan dalam 4. Pantau nilai laboraturium : darah dan elektrolit
batas yang diharapkan HB, HT, AGD dan pasien
5. Natrium serum dalam batas elektrolit 5. Untuk memantau
normal 5. Monitor hemodinamik status hemodinamik
6. Kalium serum dalam batas invasi yang sesuai pasien
normal 6. Monitor tanda dan gejala 6. Untuk mencegah
7. Klorida serum dalam batas asites adanya edema
normal 7. Monitor tanda awal syok 7. Mencegah
8. Kalsium serum dalam 8. Tempatkan pasien pada terjadinya syok
batas normal posisi supine, kaki elevasi 8. Mencegah
9. Magnesium serum dalam untuk peningkatan preload terjadinya syok
batas normal dengan tepat 9. Memelihara status
10. PH darah serum dalam 9. Lihat dan pelihara oksigenasi
batas normal kepatenan jalan nafas 10. Untuk mencegah
10. Berikan cairan IV dan terjadinya
atau oral yang tepat kekurangan cairan
11. Ajarkan keluarga dan 11. Untuk
pasien tentang tanda dan meningkatkan
gejala datangnya syok pengetahuan pasien
terkait kondisi
terkini pasien.
Pathway Fraktur

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi Patologis

Resiko tinggi infeksi Fraktur

Kuman mudah masuk Pergeseran fragmen


tulanng

Diskontinuitas Timbul Respon Stimulus Nyeri Tindakan


tulang ORIF

Fraktur Fraktur Pemasangan platina/


terbuka tertutup
Fiksasi eksternal

Perubahan fragmen Pengeluaran


Laserasi Kulit Tulang Histamin Perawatan post
Op
Putus vena/arteri Spasme otot,ruptur Reaksi
Nonsiseptor
vena/arteri Gangguan Fungsi
Respon reflek protektif Tulang
Perdarahan pada tulang

Protein Plasme
Darah Gangguan
Nyeri Akut Rasa Nyaman
Kehilangan Edem
Volume a
cairan Perubahan peran dalam keluarga,
biaya operasi
Resiko Syok
Hipovolemik Penekanan
Luk Gangguan
a
Mobilitas Fisik
Gangguan Integritas Ketidakefektifan Ketidakefektifan
Kulit Perfusi Koping keluarga
jarinjaringan
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, N. S. S., Rahmadian, R., & Yulia, D. (2021). Gambaran Kejadian Fraktur
Femur di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2016-2018. Jurnal Ilmu
Kesehatan Indonesia, 1(3), 358–363. https://doi.org/10.25077/jikesi.v1i3.82
Indrawan, R. D., & Hikmawati, S. N. (2021). Asuhan Keperawatan Pada Ny.S
dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal Post Op Orif Hari Ke-1 Akibat
Fraktur Femur Sinistra 1/3 Proximal Complete.
Istianah. (2017). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Pustaka Baru Press.
Jitowiyono, S., & Kristiyanasari, W. (2010). Asuhan Keperawatan Post Operasi.
Nuha Medika.
Kementerian Kesehatan, R. I. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Badan
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan.
Kneale, J. D. (2011). Keperawatan Orthopedik dan Trauma (2nd ed.). EGC.
Purwanto, H. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan : Keperawatan Medikal
Bedah II. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Ribka, H. A., Victoria, A. Z., & Yono, N. H. (2023). gambaran penerimaan diri pada
pasien DM. Repository Poltekes Denpasar, 2(1), 11–20.
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/7553
Sulistyaningsih. (2016). Gambaran Kualitas Hidup pada Pasien ORIF eksterimtas
bawah di Poli Otropedi RS Ortopedi Prof.DR.R.Soeharto Surakarta. Jurnal
Kesehatan, 1–8.
Wu, A. M., Bisignano, C., James, S. L., Abady, G. G., Abedi, A., Abu-Gharbieh, E.,
Alhassan, R. K., Alipour, V., Arabloo, J., Asaad, M., Asmare, W. N., Awedew,
A. F., Banach, M., Banerjee, S. K., Bijani, A., Birhanu, T. T. M., Bolla, S. R.,
Cámera, L. A., Chang, J. C., … Vos, T. (2021). Global, regional, and national
burden of bone fractures in 204 countries and territories, 1990–2019: a
systematic analysis from the Global Burden of Disease Study 2019. The Lancet
Healthy Longevity, 2(9), e580–e592. https://doi.org/10.1016/S2666-
7568(21)00172-0.

Anda mungkin juga menyukai