Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

“Fraktur Pada Ekstremitas”

OLEH:
Mochamad Fauzi Aulia Akbar
H1A016054

PEMBIMBING:
dr. Hasan Amin, Sp.Rad.

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF RADIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini saya
susun dalam rangka memenuhi tugas dalam proses mengikuti kepaniteraan klinik di
bagian SMF Radiologi Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat, Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram. Ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya saya
berikan kepada dr. Hasan Amin, Sp.Rad., sebagai pembimbing dalam menyelesaikan
penugasan referat ini. Saya berharap penyusunan referat ini dapat berguna dalam
meningkatkan pemahaman kita semua mengenai“Fraktur Pada Ekstremitas”.

Saya menyadari bahwa laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
laporan ini. Semoga Tuhan selalu memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua di
dalam melaksanakan tugas dan menerima segala amal ibadah kita.

Mataram, 19 Mei 2020

Penyusun

1
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur adalah putusnya kontinuitas struktural tulang. Ini mungkin tidak lebih
dari retakan, kerutan atau pecahnya korteks; lebih sering istirahat selesai. Fragmen
tulang yang dihasilkan mungkin bergeser atau tidak bergeser1.Terjadinya suatu
fraktur lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga,
keadaan tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang. Fraktur ekstrimitas adalah
fraktur yang terjadi pada komponen ekstrimitas atas (radius, ulna, dll) dan ekstrimitas
bawah (femur, tibia, fibula, dll) 2,3
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa dari jumlah
kecelakaan yang terjadi dengan presentasi 5,8% korban cedera atau sekitar 8 juta
orang menderita fraktur dengan jenis fraktur yang paling banyak terjadi yaitu fraktur
pada bagian ekstremitas atas sebesar 36,9% dan ekstremitas bawah sebesar 65,2% 4.
Fraktur dapat disebabkan oleh peristiwa trauma (traumatic fracture) seperti
kecelakaan lalu lintas maupun non-lalu lintas. Fraktur juga dapat disebabkan oleh
keadaan patologis selain dari faktor traumatik5.
Usia produktif merupakan usia yang rentang mengalami cedera akibat
kecelakaan, begitu juga lanjut usia dapat terjadi fraktur akibat penurunan masa tulang
sehingga rentan terjadi fraktur. Pada laki-laki lebih besar mengalami kejadian fraktur
akibat berkendara6
Untuk mendiagnosis fraktur, pertama tama dapat dilakukan anamnesis baik
dari pasien maupun pengantar pasien. Pada pemeriksaan fisik yang harus dilakuan
dikelompokkan menjadi tiga yaitu look, feel, move. Tegantung dari kondisi pasien, dapat
dilakuan pemeriksaan foto polos. Dalam pemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur
diberlakukan rule of two yaitu : Dua sudut pandang , Dua Sendi , Dua ekstrimitas , Dua
waktu serta dapat juga dilakukan CT scan dan MRI untuk mengevaluasi fraktur lebih lanjut 2,3.

2
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi
Fraktur adalah putusnya kontinuitas struktural tulang. Ini mungkin tidak lebih
dari retakan, kerutan atau pecahnya korteks; lebih sering istirahat selesai. Fragmen
tulang yang dihasilkan mungkin bergeser atau tidak bergeser1.Terjadinya suatu
fraktur lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga,
keadaan tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang. Fraktur ekstrimitas adalah
fraktur yang terjadi pada komponen ekstrimitas atas (radius, ulna, dll) dan ekstrimitas
bawah (femur, tibia, fibula, dll) 2,3.
2.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 5,6 juta kejadian patah tulang terjadi setiap tahunnya dan
merupakan 2% dari kejadian trauma.Patah tulang pada tibia merupakan kejadian
tersering dari seluruh patah tulang panjang. Insiden per tahun dari patah tulang
terbuka tulang panjang diperkirakan 11,5 per 100.000 penduduk dengan 40% terjadi
di ekstrimitas bagian bawah3.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa dari jumlah
kecelakaan yang terjadi dengan presentasi 5,8% korban cedera atau sekitar 8 juta
orang menderita fraktur dengan jenis fraktur yang paling banyak terjadi yaitu fraktur
pada bagian ekstremitas atas sebesar 36,9% dan ekstremitas bawah sebesar 65,2%4.
Menurut WHO (World health Organization) angka kecelakaan fraktur di dunia
akan semakin meningkat seiring bertambahnya kendaraan. Usia produktif merupakan
usia yang rentang mengalami cedera akibat kecelakaan, begitu juga lanjut usia dapat
terjadi fraktur akibat penurunan masa tulang sehingga rentan terjadi fraktur. Pada
laki-laki lebih besar mengalami kejadian fraktur akibat berkendara6.
2.3. Etiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh peristiwa trauma (traumatic fracture) seperti
kecelakaan lalu lintas maupun non-lalu lintas. Fraktur juga dapat disebabkan oleh

3
keadaan patologis selain dari faktor traumatik. Fraktur pada tulang lemah yang
disebabkan oleh trauma minimal disebut dengan fraktur patologis. Penyebab tersering
fraktur patologis pada femur proksimal adalah osteoporosis5.
2.4. Tipe fraktur
 Fraktur Komplit
Tulangnya terbelah menjadi dua atau lebih fragmen. Pola fraktur pada
sinar-X dapat membantu memprediksi perilaku setelah reduksi berhasil:
pada fraktur transversal, fragmen biasanya tetap pada tempatnya setelah
reduksi; dalam bentuk oblique atau spiral, mereka cenderung memendek
dan berpindah kembali bahkan jika tulang dibidai. Pada patahan yang
terkena benturan, pecahan-pecahan tersebut terjepit dan garis patahan
tidak jelas. Fraktur comminuted adalah fraktur yang memiliki lebih dari
dua fragmen dengan permukaan fraktur yang saling terkait; seringkali
tidak stabil1.
 Fraktur Inkomplit
Tulang tidak sepenuhnya terbagi dan periosteum tetap dalam
kontinuitas. Pada fraktur greenstick, tulang melengkung atau bengkok
(seperti mematahkan ranting hijau); ini terlihat pada anak-anak, yang
tulangnya kurang rapuh dibandingkan orang dewasa. Anak-anak juga
dapat mengalami cedera di mana tulang mengalami deformasi plastis
(cacat) tanpa terlihat retakan pada sinar-X. Sebaliknya, fraktur kompresi
terjadi ketika tulang kanselus kusut, biasanya pada orang dewasa di mana
jenis struktur tulang ini terdapat, seperti pada badan vertebral, kalkaneum,
dan dataran tinggi tibialis1.
2.5. Klasifikasi fraktur
Fraktur pada orang dewasa7:
1. fraktur transverse
2. Fracture obliq

4
3. Fraktur spiral
4. Fraktur comminuted (2 or more fragments)
5. Fraktur kompresi
6. Fraktur depressed (di kepala)

5
Gambar 1. Jenis fraktur pada dewasa7
Fraktur pada anak-anak:
1. Complete
2. greenstick fracture
3. torus (buckle) fracture
4. pipe fracture
5. bowing injury

Gambar 2. Jenis Fraktur pada anak7


2.6. Patofisologi
Kebanyakan patah tulang disebabkan oleh tekanan yang tiba-tiba dan berlebihan
(kelebihan beban), yang bisa langsung atau tidak langsung. Dengan kekuatan
langsung (cedera langsung) tulang patah pada titik benturan; jaringan lunak juga
rusak.tekanan langsung biasanya membelah tulang secara melintang atau mungkin
menekuknya di atas titik tumpu sehingga menciptakan patahan dengan fragmen “
kupu-kupu ”. Kerusakan pada kulit di atasnya sering terjadi; jika penghancuran
terjadi atau pada cedera dengan kekuatan tinggi, pola fraktur akan diperparah dengan
kerusakan jaringan lunak yang luas.Dengan gaya tidak langsung (cedera tidak
langsung) tulang patah pada jarak dari tempat gaya diberikan; Kerusakan jaringan
lunak di lokasi fraktur tidak bisa dihindari. Meskipun sebagian besar fraktur

6
disebabkan oleh berbagai macam tekanan (puntiran, tekukan, kompresi, atau
tegangan), mekanisme yang dominan ditunjukkan oleh sinar-X:
• Twisting menyebabkan fraktur spiral.
• Kompresi menyebabkan fraktur oblik pendek.
• Bending menghasilkan patahan dengan tanda “kupu-kupu” berbentuk segitiga
.• Ketegangan cenderung mematahkan tulang secara transversal;
dalam beberapa kasus, ini mungkin hanya menghilangkan sebagian kecil tulang
di titik-titik penyisipan ligamen atau tendon18.
2.7. Manifestasi Klinis
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di
bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi
muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan
gangguanneurovaskuler 2,9.
2.8. Penegakan Diagnosis
Untuk mendiagnosis fraktur, pertama tama dapat dilakukan anamnesis baik dari
pasien maupun pengantar pasien. Informasi yang digali adalah mekanisme cedera,
apakah pasien mengalami cedera atau fraktur sebelumnya. Pasien dengan fraktur tibia
mungkin akan mengeluh rasa sakit, bengkak dan ketidakmampuan untuk berjalan
atau bergerak, sedangkan pada fraktur fibula pasien kemungkinan mengeluhkan hal
yang sama kecuali pasien mungkin masih mampu bergerak selain itu juga di tanyakan
riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat
alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain2,3.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi / look:
deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak. Palpasi / feel
(nyeri tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu
diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi
persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan
krepitasi. Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi: pulsasi aretri, warna kulit,

7
pengembalian cairan kapler, sensasi. Pemeriksaan gerakan / moving dinilai apakah
adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur.
Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis.
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut
protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation.
Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan
dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Pemeriksaan ekstrimitas juga harus
melingkupi vaskularitas dari ekstrimitas termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan
denyut nadi, capillary return (normalnya < 2 detik) dan pulse oximetry. Pemeriksaan
neurologi yang detail juga harus mendokumentasikan fungsi sensoris dan motoris2,3
2.9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium meliputi darah
rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisa2.
 Pemeriksaan Radiologis
1. Foto rontgen toraks
Pemeriksaan radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two: dua
gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral, memuat dua sendi di proksimal dan
distal fraktur, memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang
cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) dan dua kali, yaitu sebelum
tindakan dan sesudah tindakan2.

8
Gambar 3. Metatarsal shaft fracture10 Gambar 4. Fibular shaft
fracture10

G a m b a r 5 . T

Gambar 7. Fraktur midshaft clavicula7


Gambar 6. Subtrochanteric femur Fracture10

9
Gambar 8. Fraktur scapula (proyeksi lateral)
Gambar 9.
Shaft of humerus Fracture7

2. CT Scan
Computed tomography (CT) tidak diindikasikan untuk evaluasi rutin fraktur
umum. CT Scan biasanya digunakan dalam fraktur periartikular di mana
dicurigai adanya keterlibatan intraartikular, seperti pada fraktur dataran tinggi
tibialis. CT juga dapat menjadi tambahan penting untuk menilai pengurangan
fraktur dan fiksasi

10
Gambar 10. CT scan fraktur talar (proyeksi axial dan sagittal)10
3. MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan untuk menilai cedera tulang
belakang

Gambar 11. MRI Fraktur leher femur (coronal)10

11
2.10. Tatalaksana
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi
semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah
tulang (imobilisasi). Pada anak-anak reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai
keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan remodeling.
Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri, Menghasilkan
dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, Agar terjadi penyatuan tulang
kembali, Untuk mengembalikan fungsi seperti semula. Untuk mengurangi nyeri
tersebut, dapat dilakukan imobilisasi, (tidak menggerakkan daerah fraktur) dan dapat
diberikan obat penghilang nyeri. Teknik imobilisasi dapat dilakukan dengan
pembidaian atau gips. Bidai dan gips tidak dapat pempertahankan posisi dalam waktu
yang lama. Untuk itu diperlukan teknik seperti pemasangan traksi kontinu, fiksasi
eksteral, atau fiksasi internal.
Beberapa penatalaksanaan fraktur secara ortopedi meliputi proteksi tanpa reposisi
dan imobilisasi, Imobilisasi dengan fiksasi, Reposisi dengan cara manipulasi diikuti
dengan imobilisasi, Reposisi dengan traksi, Reposisi diikuti dengan imobilisasi
dengan fiksasi luar, Reposisi secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksasi
dalam pada tulang secara operatif. Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi
patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna, Eksisi fragmen fraktur dan
menggantinya dengan prosthesis. Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi digunakan
pada penanganan fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau
dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan kecacatan dikemudian hari. Contoh
adalah pada fraktur kosta, fraktur klavikula pada anak-anak, fraktur vertebrae dengan
kompresi minimal. Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa
reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen.
Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang
penting.
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang
secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen

12
direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan
pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur. Reposisi secara operatif
dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna dilakukan,
misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang
dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup
di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai
reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi
tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi.
Khusus pada fraktur terbuka, harus diperhatikan bahaya terjadi infeksi, baik infeki
umum maupun infeksi lokal pada tulang yang bersangkutan. Empat hal penting yang
perlu adalah antibiotik profilaksis, debridement urgent pada luka dan fraktur,
stabillisasi fraktur, penutupan luka segera secara definitive.
2.11. Komplikasi
• komplikasi intrinsik meliputi;
- delayed union dan non-union
- malunion dan shortening
- nekrosis avaskular
- infeksi
- penyakit sendi degeneratif
• komplikasi ekstrinsik meliputi;
- cedera pada pembuluh darah, saraf dan tendon yang berdekatan
- cedera visera
- emboli lemak (pelepasan lemak sumsum ke paru-paru)
- distrofi refleks simpatis (atrofi Sudeck)7,9.

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Blom AW, Warwick D, Whitehouse MR. Apley and Solomon’s System of
Orthopaedics and Trauma. 10th ed. boca raton: CRC press taylor and francis
group, 2018.
2. Mahartha GRA, Maliawan S, Kawiyana KS. Manajemen Fraktur Pada Trauma
Muskuloskeletal. e-Jurnal Med Udayana 2017; 2: 548–560.
3. Parahita PS, Kurniyanta P. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Pada Cedera
Fraktur Ekstrimitas. e-Jurnal Med Udayana 2013; 2: 1–18.
4. Risnah R, HR R, Azhar MU, et al. Terapi Non Farmakologi Dalam
Penanganan Diagnosis Nyeri Pada Fraktur :Systematic Review. J Islam Nurs
2019; 4: 77.
5. Ridwan UN, Pattiiha AM, Selomo PAM. Karakteristik Kasus Fraktur
Ekstremitas Bawah. Kieraha Med J 2019; 1: 301–316.
6. Platini H. Karakteristik pasien fraktur ekstremitas bawah. Aisyiyah 2020; 7:
49–53.
7. Broadfoot E. WHO Manual of Diagnostic Imaging. Radiographic Anatomy
and Interpretation of the Musculoskeletal System. 2005. Epub ahead of print
2005. DOI: 10.1111/j.1440-1673.2005.01460.x.
8. Kiel; J, Kaiser. K. Stress Reaction and Fractures. stat pearls 2020; 1–15.
9. Purwanto H. Keperawatan Medikal Bedah II. Kementeri Kesehat Republik
Indones 2016; 1: 1–411.
10. Ha AS, Porrino JA, Chew FS. Radiographic pitfalls in lower extremity trauma.
Am J Roentgenol 2014; 203: 492–500.

14

Anda mungkin juga menyukai