Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TN. T.

H DENGAN
FRAKTUR FEMUR DI IRINA A ATAS
RSUP PROF.DR.R.D KANDOU
MANADO

Oleh

Kelompok 6

Sjatrida Mananggel Arya Bawole


Laetitia Montolalu Alicia Baris
Natalia Karundeng Yulfia Malughu
Sandra Denti Novia Sailan
Jessy Wentian Elimin Kogoya
Nadya Pontoh

CI : Ns.Vera Wonte,S.Kep,M.Kes

CT : Syensie Wetik, S.Kep., Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.J

PRODI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE

MANADO 2024
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR FEMUR

A. Definisi

Fraktur femur adalah hilangnya kontiunitas tulang paha, kondisi fraktur


femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka disertai adanya kerusakan
jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur
tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma pada paha (Noor, 2016).

Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang
pangkal paha yang disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi
tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis (Suriya dan Zuriati, 2019).

Fraktur femur adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh
benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung (Smeltzer & Bare, 2013).

B. Anatomi dan Fisiologi


Tulang adalah jaringan hidup dengan matriks protein kalogen yang
telah diresapi oleh garam-garam mineral khususnya fospat dan kalsium.
Tulang menyokong tubuh dan memegang peranan penting pada
homeostasis mineral. Protein dalam serabut-serabut kalogen yang
membentuk matriks tulang adalah kompleks. Jumlah yang dekat dari
protein dan mineral keduanya harus tersedia untuk mempertahankan
struktur tulang yang normal (Ganong, 1983).
Tulang dewasa terdiri dari 30% bahan organic (hidup) dan 70%
endapan garam. Bahan organic disebut matriks, dan terdiri lebih dari 90%
serat kalogen dan kurang dari 10% protroglikan (protein plus poloskarida).
Deposit garam terutama adalah kalsium dan fospat, dengan sedikit natrium,
kalium karbonat dan ion magnesium. Garamgaram menutupi matriks dan
berkaitan dengan serat kalogen melalui proteoglikan. Adanya bahan organic
menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensil (resistensi terhadap tarikan
yang meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang
memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan) (Crowing,
2000).
Sel-sel disebut secara masal di sumsum tulang merah. Pada waktu
kelahiran, tulang spongiosa yang pada usia ini terbatas jumlahnya dan
rongga-rongga sumsum tulang-tulang panjang berisi sumsum tulang merah
(pembentuk darah). Pada usia 7 tahun jumlah tulang spongiosa bertambah
secara serentak dan sumsusm tulang merah meluas ke dalamnya, tetapi
menyurut dari rongga-rongga sumsum untuk digantikan oleh sumsum
tulang kuning di dalam tulang-tulang anggota badan, setelah itu sumsum
merah hanya terbatas pada rangka aksial tulang tengkorak, ruas tulang
belakang, iga, sternum, tulang panggul, dan ujung atas femur dan humerus
(Basmaijan, 1995).
Pembuluh-pembuluh nadi mendarahi tulang tulang panjang, maka
cabang-cabang periosteal memasuki batang tulang melalui banyak lubang,
melintasi saluran-saluran kecil yang memanjang (saluransaluran havers)
dan mendarahi bagian luar lapisan kompak batang tulang. Cabang nadi
sendi yang mengadakan anastomosis di sekitar sendi, biasanya di antara
tulang dan lipatan selaput sinovicial, mendarahi epifisis-epifisis daerah
metafisis sampai sendi. Pembuluh nadi pembekal (arteri medular), sewaktu
memasuki rongga sumsum tulang, bercabang dalam cabang proksimal dan
distal, tiap cabang mendarahi bagian dalam lapisan tulang kompak, sumsum
tulang dan daerah metafisis.

C. Etiologi

Menurut Apley and Solomon (2018), Fraktur dapat disebabkan oleh :

1) Cedera

1. Cedera langsung, yaitu tulang patah pada titik benturan; jaringan lunak juga
rusak. Pukulan langsung biasanya membagi tulang secara melintang atau
membengkokkannya di atas titik tumpu sehingga menciptakan patahan
dengan 11 fragmen ‗kupu-kupu‘. Kerusakan pada kulit diatasnya adalah
umum; Jika penghancuran terjadi atau dalam cedera energi tinggi, pola
fraktur akan diperhitungkan dengan kerusakan jaringan lunak yang luas.
2. Cedera tidak langsung, yaitu tulang patah pada jarak dari tempat gaya
diterapkan; kerusakan jaringan lunak di situs fraktur tidak bisa dihindari.

2) Stress berulang, atau fraktur kelelahan

Fraktur ini terjadi pada tulang normal yang mengalami pemuatan berat
berulang, biasanya pada atlet, penari atau personil militer yang memiliki
program latihan yang melelahkan atau ketika intensitas latihan meningkat
secara signifikan dari baseline. Pembebanan berat menciptakan deformasi
menit yang memulai proses normal remodelling - kombinasi dari resorpsi
tulang dan pembentukan tulang baru sesuai dengan hukum Wolff. Ketika
paparan stres dan deformasi berulang dan berkepanjangan, resorpsi tulang
terjadi lebih cepat daripada penggantian (pembentukan tulang baru) dan
meninggalkan daerah yang bisa patah. Masalah serupa terjadi pada pasien
dengan penyakit inflamasi kronis yang sedang dalam pengobatan dengan
steroid atau methotrexate, yang mengubah keseimbangan normal dari resorpsi
tulang dan penggantian.

3) Kelainan tulang yang abnormal (fraktur 'patologis)

Fraktur yang dapat terjadi bahkan dengan tekanan normal jika tulang telah
dilemahkan oleh perubahan dalam strukturnya atau karena proses
penyakit(misalnya pada pasien dengan osteoporosis, osteogenesis imperfecta
atau penyakit Paget, terapi bifosfonat) atau melalui lesi lisis (misalnya kista
tulang atau metastasis).

D. Klasifikasi

1. Fraktur collum femur Leher femur merupakan tempat paling sering terkena
fraktur pada dewasa tua (Blauth, et al., 2018). Fraktur collum atau leher
femur adalah suatu keadaan terputusnya atau hancurnya leher femur yang
disebabkan oleh trauma (Noor, 2016). Fraktur collum femur terjadi akibat
jatuh pada daerah trokanter, baik karena kecelakaan lalu lintas maupun
jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi (Rockdown & Green, 2015).

2. Fraktur intertrochanter femur Fraktur intertrochanter femur adalah patah


tulang yang bersifat ekstrakapsular. Fraktur interkonter disebabkan oleh
jatuh langsung pada trokanter mayor atau oleh cedera pemuntiran tidak
langsung (Apley & Solomon, 2018).

3. Fraktur subtrachanter femur Fraktur subtrachanter femur adalah fraktur


dimana garis patahannya berada 5 cm distal dari trochanter minor (Egol, et
al., 2015). Fraktur subtrokanter biasanya terjadi pada usia muda yang
disebabkan oleh trauma berkekuatan tinggi atau pada lanjutusia dengan
osteoporosis atau penyakit-penyakit lain yang mengakibatkan kelemahan
pada tulang (Dandy & Edwards, 2009).

4. Fraktur batang femur Fraktur batang femur merupakan fraktur yang sering
terjadi pada dewasa muda, biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas atau jauh dari ketinggian. Patah tulang pada daerah
ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan
penderita syok (Buckley, et al., 2017).

5. Fraktur supracondylar femur Daerah suprakondi6ler adalah daerah antara


batas proksimal kondilus femur dan batas metafisis dengan diafisis femur
(Wineski, 2019). Fraktur pada suprakondiler femur biasanya terjadi pada
dewasa muda yang disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan
tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus, dan disertai
gaya rotasi (Rodriguez-Merchan & Rubio-Suarez, 2014).

6. Fraktur intercondylar femur Cedera langsung atau jatuh dari ketinggian


dapat mendorong tibia naik ke fosa interkondilus. Satu kondilus femur akan
mengalami fraktur dan terdorong ke atas atau kedua kondilus pecah
terbelah (Dandy & Edwards, 2009).

E. Tanda dan Gejala

Manifestasi klinis fraktur menurut Brunner and Suddarth (2013) adalah


nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,edema lokal,
serta perubahan warna. Namun, tidak semua gejala ini ada pada setiap fraktur dan
kebanyakan justru tidak terdapat pada fraktur linear (fisur) atau fraktur impaksi
(permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Berikut adalah gejala fraktur
yaitu :
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang mnyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
alamiah (gerakan luar biasa) setelah terjadinya fraktur. Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada
integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas daan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lainnya sampai 2,5 – 5cm (1- 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba karena adanya gesekan antar fragmen satu
dengan yang lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan
jaringan lunak yang lebih berat.
5. Edema dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang menyertai fraktur. Edema dan perubahan warna biasanya
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera terjadi.

F. Patofisiologi

Menurut Black and Hawks (2014) keparahan dari fraktur bergantung pada
gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktursuatu tulang hanya sedikit
terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat
ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat
terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat
mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang
besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu menggeser tulang
besar, seperti femur. Walaupun bagaian proksimal dari tulang patah tetap pada
tempatnya, namun bagian distal dapat bergerser karena faktor penyebab patah
maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping,
pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen
juga dapat beotasi atau berpindah.

Selain itu, periosteum dan pembuluh dara di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi
cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera
pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medulla), hematoma terjadi diantara
fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi
fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan
terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit.
Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang.

Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:

1. Stadium I-Pembentukan Hematoma Pembuluh darah robek dan terbentuk


hematoma disekitar daerah fraktur. Selsel darah membentuk fibrin guna
melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru
dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24-48 jam dan perdarahan berhenti
sama sekali. Setelah 24 jam supalai darah disekitar fraktur meningkat

2. Stadium II-Proliferasi Seluler Pada stadium ini terjadi proliferasi dan


differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari
periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma.
Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang
lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses
osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung
selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung jenis frakturnya.

3. Stadium III-Pembentukan Kallus Sel–sel yang berkembang memiliki


potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang
tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel
ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi
dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

4. Stadium IV-Konsolidasi Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut,


anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku
dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa
diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat
dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa
beban yang normal.

5. Stadium Lima-Remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset


tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini
dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-
menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga
sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan
normalnya.

Pada orang usia lanjut khususnya pada wanita, terjadi perubahan struktur
pada bagian ujung atas femur yang menjadi presdiposisi untuk terjadinya fraktur
collum femur. Fraktur collum femur terjadi akibat jatuh pada daerah trochanter baik
karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi, seperti
terpeleset di kamar mandi dimana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Pada
kondisi osteoporosis insiden fraktur pada posisi ini tinggi (Noor, 2016).

G. Pathway
H. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan fraktur antara


lain (Smeltzer & Bare, 2013) :

1. Pemeriksaan Radiologi Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting


adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran tiga dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang
sulit, maka diperlukan dua proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam
keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Hal yang
harus dibaca pada x-ray: bayangan jaringan lunak, tipis tebalnya korteks
sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi,
trobukulasi ada tidaknya rare fraction, sela sendi serta bentuknya arsitektur
sendi.

2. Pemeriksaan Laboratorium Kalsium serum dan fosfor serum meningkat


pada tahap penyembuhan tulang. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan
tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test
sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. Biopsi tulang
dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi
lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. Elektromyografi: terdapat kerusakan
konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. Arthroscopy: didapatkan jaringan
ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. Indium Imaging:
pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. MRI:
menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

I. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan fraktur dapat dapat dilakukan dengan empat cara yaitu:


reduksi, traksi, imobilisasi dan pembedahan (Smeltzer & Bare, 2013)

1. Reduksi Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen


tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya
akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi
fraktur menjadi semakin sulit dilakukan bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus
dipersiapkan untuk menjalani prosedur, dan analgetika diberikan sesuai
ketentuan, mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan
dilakukan manipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan
dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang.
Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan tulang. Reduksi terbuka digunakan pada fraktur tertentu dengan
memakai alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau
batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Traksi dapat
digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

2. Traksi Traksi adalah cara penyembuhan fraktur yang bertujuan untuk


mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat
mungkin. Metode pemasangan traksi terdiri dari traksi manual dan traksi
mekanik. Traksi mekanik ada dua macam yaitu traksi kulit dan traksi skeletal.
Traksi kulit dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain,
misalnya: otot. Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban kurang daru 5
kg. Traksi skeletal merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang
merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi
dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.

3. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus


diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar
sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna
atau eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu. Metode fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku,
atau batangan logam

4. Pembedahan Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak


keunggulannya mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut
fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada
tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik
menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-
fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi
dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah
direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alatalat ortopedik
berupa pen, sekrup, pelat, dan paku.
Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan empat R yaitu :
a) Rekognisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian
dan kemudian di rumah sakit.
b) Reduksi, yaitu usaha serta tindakan memanipulasi fragmen tulang
yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya.
c) Retensi, yaitu aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang
untuk mempertahankan reduksi harus melewati sendi diatas dan
sendi dibawah fraktur.
d) Rehabilitasi, yaitu pengobatan dan penyembuhan fraktur (Price &
Wilson, 2012).

J. Komplikasi

Komplikasi fraktur dapat dibedakan menjadi komplikasi awal dan


komplikasi lambat (Smeltzer & Bare, 2013)

a. Komplikasi awal yang mungkin terjadi yaitu:

1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic akibat perdarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak.

2. Sindrom emboli lemak


Setelah terjadi fraktur femur dapat terjadi emboli lemak khususnya
pada dewasa muda (20-30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula
lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang
lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang
dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan
memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula
lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli yang
kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru,
ginjal dan organ lain. Awitan gejalanya sangat cepat, dapat terjadi dari
beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun paling sering
terjadi dalam 24 sampai 72 jam. Gambaran khasnya berupa hipoksia,
takipnea, takikardia dan pireksia. Gangguan cerebral diperlihatkan
dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari agitasi
ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai
respon terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak.

3. Sindrom kompertemen
Sindrom kompartemen disebabkan karena penurunan ukuran
kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat
atau gips atau balutan yang menjerat, atau peningkatan isi
kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan
berbagai masalah. Pasien mengeluh adanya nyeri dalam, berdenyut tak
tertahankan. Palpasi pada otot akan terasa pembengkakan dan keras.

b. Komplikasi lambat yang mungkin terjadi:

1. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan


Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan
kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan
terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik atau distraksi
fragmen tulang. Malunion adalah tulang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak seharusnya. Delayed union : proses penyembuhan
yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari
keadaan normal. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali

2. Nekrosis avaskuler tulang


Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan
mati, dapat terjadi setelah fraktur khususnya pada kolum femoris.
Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorbsi dan diganti dengan
tulang baru. Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak.

3. Reaksi terhadap alat fiksasi interna


Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah
terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat
sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan
indikator utama telah terjadi masalah. Masalah tersebut meliputi
pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai, alat yang cacat atau
rusak, berkaratnya alat menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi
terhadap campuran logam yang digunakan dan remodeling osteoporotik
di sekitar alat fiksasi.
K. Daftar Pustaka

ainun, I, N., Background, A., & Kunci, K. (2015). Dasar-Dasar Penentuan


Diagnosa Dalam Asuhan Keperawatan.

Andri, J., Febriawati, H., Padila, P, J, H., & Susmita, R. (2020). Nyeri Pada Pasien
Post Op Fraktur Ekstremitas Bawah dengan Pelaksanaan Mobilisasi dan
Ambulasi Dini. Journal of Telenursing (JOTING), 2(1), 61-70.
https://doi.org/10.31539/joting.v2il.1129

Dinarti, & Mulyati, Y. (2017). Dokumentasi Keperawatan. In Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

Djamal, R., Rompas, S., & Bawotong, J. (2015). Pengaruh Terapi Musik Terhadap
Skala Nyeri pada Pasien Fraktur di Irina A Rsup Prof. Dr. R.D. kandou
Manado. Jurnal Keperawatan UNSRAT, 3(2), 113549.

Noorisa, R., Dwi Apriliwati, A. A., & Bayusentono, S. (2017). THE


CHARACTERISTIC OF PATIENTS WITH FEMORAL FRACTURE IN
DEPARTMENT OF ORTHOPAEDIC AND TRAUMATOLOGY RSUD DR.
SOETOMO SURABAYA 2013-2016 Riswanda, 6(1).

Nurhidayati, I., Wulan, A. N., & Halimah, H. (2018). Pengaruh Relaksasi


Autogenic Terhadap Insomnia Pada Penderita Hipertensi di Rsd Bagas waras
Klaten. Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 5(September), 444-450.

Olivia, J. (2020). Pentingnya Perencanaan Keperawatan (intervensi Keperawatan)


Dalam Asuhan Keperawatan.

Panjaitan, G.Y. (2019). Evaluasi Dalam Keperawatan Sebagai Alat Ukur


Keberhasilan Asuhan Keperawtan Yang Diberikan. 6(11).

Purwanto Hadi. (2016). KEPERAWATAN MEDIKA BEDAH II. Pusdik SDM


Kesehatan.

Riskesdas. (2018). Laporan Provinsi Jawa Tengah Riskesdas 2018. In Kementrian


Kesehatan RI.

Suwahyu, R, Sahputra, R. E., & Fatmadona, R. (2021). SYSTEMATIC REVIEW:


PENURUNAN NYERI PADA PASIEN PASCA OPERASI SYSTEMATIC
REVIEW : USE OF DEEP BREATHING TECHNIQUE TO REDUCE
PAIN POSTOPERATIVE FRACTURE PATIENTS PENDAHULUAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang baik total, partial yang
d. jurnal Ilmiah STIKES Kendal, 11(1), 193-206.

Wahid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Trans Info Media
Konsep Teori Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
A. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Lyer et al., 1996 dalam
Setiadi, 2012). Pengkajian pasien dengan fraktur menurut Doenges (2012) adalah :
1. Identitas Meliputi ; nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi golongan
darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), dan
diagnosis medis.
2. Keluhan utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur femur
adalah rasa nyeri.Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai
rasa nyeri pasien, perawat dapat menggunakan PQRST. Provokating
incident : hal yang menjadi faktor presipitasi nyeriadalah trauma pada
bagian paha.
a. Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien, apakah seperti
terbakar, berdenyut/menusuk.
b. Region, Radiation, Relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasasakit
menjalar/menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
c. Severity (scale) of pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien, bisa
berdasarkan skala nyeri/pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
d. Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
3. Riwayat kesehatan saat ini Pada pasien fraktur/patah tulang dapat
disebabkan oleh trauma/kecelakaan degenerative dan patologis yang
didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang
mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat/perubhan warna kulit dan
kesemutan.
4. Riwayat kesehatan dahulu Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini
(fraktur femur) atau pernah punya penyakit yang menular/menurun
sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga Pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita
osteoporosis, arthritis, dan tuberkolosis/penyakit lain yang sifatnya
menurun dan menular.
6. Riwayat alergi Mengkaji apakah pasien mempunyai riwayat alergi obat,
makanan, minuman, dll.
B. Pengkajian Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual
1. Pola Pernafasan
Pada kasus fraktur yang keluhan gangguan pernafasan efek dari nyeri.
2. Pola Nutrisi
Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu makan, meskipun menu
berubah misalnya makan dirumah gizi tetap sama sedangkan ketika di RS
disesuaikan dengan penyakit dan diet pasien.
3. Pola Eliminasi
Kebiasaan miksi/defkasi sehari-hari, kesulitan waktu defekasi dikarenakan
imobilisasi.
4. Aktivitas dan istirahat
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur. Karena timbulnya nyeri,
keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan pasien menjadi berkurang dan
kebutuhan pasien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas pasien terutama pekerjaan pasien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain.
5. Psiko-sosial-spiritual
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
pasien harus menjalani rawat inap Dampak yang timbul pada pasien fraktur
yaitu timbul ketakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
6. Pola Seksual dan Reproduksi
Dampak pada pasien fraktur yaitu, pasien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami pasien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
7. Sistem nilai dan kepercayaan
Pada pasien fraktur yang menjalani rawat inap perlu dikaji siapa atau apa yang
menjadi sumber kekuatannya .apakah Tuhan, agama, kepercayaan penting
untuk dirinya,kegiatan agama apa yang biasa dilakukan dan yang ingin
dilakukan selama di rumah sakit.
C. Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih
sempit tetapi lebih mendalam.
1. Keadaan umum : kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. Tanda-tanda vital tidak normal
karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2. Kesadaran: apatis, stupor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.
3. Otot: flaksia/lemah, tonus berkurang, tidak mampu bekerja. 4) Sistem saraf:
bingung, rasa terbakar, paresthesia, reflex menurun.
2. Diagnosis keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons pasien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons pasien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi
yang berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018).
3. Rencana asuhan keperawatan Rencana keperawatan adalah menyusun rencana
tindakan keperawatan yang akan dilakukan perawat guna menanggulangi masalah
pasien sesuai dengan diagnosis keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan
terpenuhinya kesehatan pasien. Rencana keperawatan terdiri dari atas luaran
(outcome) dan intervensi (Basri, 2020).
4. Implementasi keperawatan Implementasi merupakan tahap keempat dari proses
perawatan. Implementasi merupakan tahap pengerjaan atau tindakan dari intervensi
yang telah disusun dengan maksud agar kebutuhan pasien dapat terpenuhi secara
optimal. Implementasi keperawatan terhadap pasien diberikan secara urut sesuai
dengan prioritas masalah yang sudah dibuat dalam rencana tindakan asuhan
keperawatan, termasuk didalamnya nomor urut dan waktu ditegakkannya suatu
pelaksanaan keperawatan (Basri, 2020).
5. Evaluasi keperawatan Evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan serta
pengkajian ulang rencana keperawatan. Evaluasi menilai respons pasien meliputi
subjektif, objektif, assesment dan planning (Basri, 2020).
PENGKAJIAN

Unit : RS. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado


Ruang/kamar : Irina A Atas kamar 7
tgl masuk RS : 04 – 01 – 2024

I. IDENTITAS PASIEN
A. KLIEN
Nama initial : Tn. T. H
Tempat/tanggal lahir (umur) : 05 – 09 – 1961 (62 Thn)
Jenis kelamin : Laki – laki
Status perkawinan : Kawin
Jumlah anak :3
Agama/suku : Kristen / Minahasa
Warga Negara : Indonesia
Bahasa yang di gunakan : Bahasa Indonesia
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Buruh
Alamat rumah : Amurang
B. PENANGGUNG JAWAB
Nama : Ny. L.M
Alamat : Amurang
Hubungan dengan klien : Anak Kandung
II. DATA MEDIK
A. Dikirim oleh : IGD
B. Diagnose medic : Fraktur Proximal Femur Dextra
III. KEADAAN UMUM
A. KEADAAN SAKIT
Keluhan utam : Nyeri pada paha kanan akibat terjatuh
3 hari yang lalu
Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengalami patah tulang paha
sebelah kanan akibat terjatuh dari
pohon/ Klien tampak sakit berat
Alasan : Pasien terbaring Lemah
B. TANDA-TANDA VITAL
1. Kesadaran
Kualitatif : Compos Mentis
Kuantitafis
Glasgow coma scale
Respon motoric :6
Respon bicara :5
Respon membuka mata :4 Jumlah = 15
2. Tekanan darah : 126/77 mmHg
3. Suhu : 36,3oc
4. Nadi : 89 x/m
5. Pernapasan : 22x/m
C. PENGUKURAN
1. Tinggi badan : 170 cm
2. Berat badan : 61 kg
D. GENOGRAM
IV. PENGKAJIAN POLA KESEHATAN
A. KAJIAN RESEPSI KESEHATAN – PEMELIHARAAN KESEHATAN
Riwayat penyakit yang pernah di alami:
Catatan : Hipertensi Dan Asam Urat
1. Data subjektif
a. Keadaan sebelum sakit :
Pasien mengatakan sebelum sakit pasien dapat beraktifitas seperti
biasanya
b. Keadaan sejak sakit :
Pasien mengatakan tidak bisa beraktifitas seperti biasanya, karena terasa
nyeri di paha kanan dan hanya terbaring di tempat tidur.
2. Data subjektif
a. Observasi
Kebersihan rambut : Bersih dan rapih/ terlihat adanya uban
Kulit kepala : Bersih
Kebersihan kulit : Bersih
Hygiene rongga mulut : Bersih
B. KAJIAN NUTRISI METABOLIK
1. Data subjektif
a. Keadaan sebelum sakit :
Pasien mengatakan sebelum sakit makan teratur 3 kali sehari
b. Keadaan sejak sakit :
Pasien mengatakan sejak sakit makan seperti biasanya
2. Data subjektif
a. Observasi :
Pasien tampak terlihat makan dengan baik dan makan makanan yang
tersidia di rumah sakit
b. Pemeriksaan fisik
Keadaan rambut : Bersih dan rapi / terlihat adanya uban
Hidrasi kulit : Baik
Palpebrea Conjungtiva : normal conjungtiva : Tidak anemis
Sclera : Tidak iteric
Hidung : Normal
Rangga mulut Gusi : Bersih Gusi : Baik

c. Pemeriksaan diagnostic
Laboratorium : Hemaglobin :12,6
Hematorik : 36,0
Leukosit : 15,0
Trombosit : 259
d. Terapi : omeprasol 2x1 IV, katerolac 2x1 IV,
ceftriaxone
C. KAJIAN POLA ELIMINASI
1. Data subjektif
a. Keadaan sebelum sakit : Pasien mengatakan BAB 2x sehari dan BAK
lancar
b. Keadaan sejak sakit : Pasien mengatakan jarang BAB dan BAK
seperti biasanya
D. KAJIAN AKTIFITAS DAN LATIHAN
1. Data subjektif
a. Keadaan sebelum sakit :
Pasien mengatakan jarang berolaraga tapi tetap melakukan aktifitas
dengan bekerja sehari - hari
b. Keadaan sejak sakit
Pasien mengatakan tidak pernah berolaraga karena tidak bisa bergerak
dan bila bergerak terasa nyeri bagian paha kanan
2. Data objektif
Aktifitas harian
Makan : Bantuan Keluarga
Mandi : Bantuan Keluarga
Berpakaian : Bantuan Keluarga
Buang air besar : Bantuan Keluarga
Buang air kecil : Bantuan Keluarga
Mobilisasi di tempat tidur : Bantuan Keluarga
Ambulasi : Tempat tidur
Postur tubuh : Baik
E. KAJIAN POLA TIDUR DAN ISTIRAHAT
1. Data subjektif
a. Keadaan sebelum sakit :
 Pasien mengatakan jarang tidur siang karena sibuk bekerja
 Pasien mengatakan pada malam hari tudur teratur 7 – 8 jam
 Tidak ada gangguan pola tidur
b. Keadaan sejak sakit :
 Pasien mengatakan sejak sakit sering beristirahat dan tidur siang
 Pasien mengatakan sejak sakit Jarang tidur di malam hari karena
sering terbangun akibat nyeri pada paha bagian atas

2. Data objektif
a. Observasi
Ekspresi wajah mengantuk
Banyak menguap
Palpebrae inferio berwarna gelap
F. KAJIAN POLA PERSEPSI KOGNITIF
1. Objektif
a. Keadaan sebelum sakit :
 Pasien mengatakan pendengarannya masih dalam ke adaan baik dan
tidak ada gangguan
b. Keadaan sejak sakit :
 Pasien mengatakan pendengarannya masih sama seperti pada waktu
sebelum sakit dan tidak ada gangguan
2. Data objektif
a. Observasi
 Pasien tampak masih biasa mendengar dengan baik
b. Pemeriksaan fisik
Penglihatan
Cornea : tidak ada kelainan
Pengenalan rasa posisi pada gerakan lengan dan tungkai
NI : penciuman pasien dalam keadaan baik
N II : penglihatan pasien agak kabur
N V sensorik : pasien masih bisa dapat merespon saat di
lakukan sentuhan pada wajah
G. KAJIAN POLA PERAN DAN HUBUNGAN DENGAN SESAMA
1. Data subjektif
a. Keadaan sebelum sakit :
 Pasien mengatakan sebelum sakit pasien aktif di masyarakat dan
senang berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
 Pasien mengatakan memiliki hubungan baik dengan tetangga sekitar
b. Keadaan sejak sakit
 Pasien mengatakan selama di rumah sakit pasien sering berinteraksi
dengan sesame pasien
2. Data objektif
Observasi
Kontak mata : baik
Rentang perhatian : baik
Suara dan cara bicara : baik
Postur tubuh : baik
H. KAJIAN MEKANISME KOPING DAN TOLERANSI TERHADAP STRESS
1. Data subjektif
a. Keadaan sebelum sakit :
 Pasien mengatakan ketika bila ada masalah pasien akan
menceritakan masalahnya dengan istri untuk mencari jalan keluar
agar masalah di hadapi bersama

b. Keadaan sejak sakit :


 Pasien mengatakan khawatir dengan keadaanya sekarang
 Pasien mengatakan selalu menceritakan apa yang dirasaakannya saat
ini kepada istrinya
2. Data objektif
a. Observasi : pasien tampak khawatir dengan keadaanya
b. Pemeriksaan
Tekadan darah : 126/77mmHg
I. KAJIAN POLA SISTEM NILAI KEPERCAYAAN
1. Data subjektif
a. Keadaan sebelum sakit
 Pasien mengatakan rajin ke gereja setiap hari minggu untuk beribah
 Pasien mengatakan aktif dalam kegiatan gereja
b. Keadaan sejak sakit
 Pasien mengatakan saat sakit sudah tidak bisa pergi ke gereja dan
tidak dapat aktif lagi dalam kegiatan gereja karena sulit untuk
berjalan
2. Data objektif
a. Observasi : pasien tampak beribadah walaupun dalam
keadaan berbaring.
KLASIFIKASI DATA
No Data Subjektif No Data Objektif
1 Pasien mengatakan nyeri hebat di paha 1 Ekspresi wajah pasien
kanan akibat terjatuh dari pohon meringis
Pengkajian Nyeri 2 Pasien tampak gelisah karena
P : Patah tulang ingin sekali bergerak namun
Q : Seperti ditusuk-tusuk terbatas
R : Paha kanan 3 Pengkajian kekuatan otot
S : Skala 7-8 Ekstremitas atas : 5
T : Terus-Menerus Ekstermitas bawah kiri : 5
2 Pasien mengatakan akibat nyeri yang Ekstremitas bawah kanan : 1
dirasakan seluruh aktivitas-nya terganggu 4 Pengkajian TTV
dan memiliki keterbatasan untuk miring TD : 127/98 mmHg
kanan atau kiri di tempat tidur saja sangat N : 78x/menit
susah. SpO2 : 98%
ANALISA DATA
No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1 DS : Trauma pada tulang
- Pasien mengatakan (kecelakaan)
nyeri hebat di paha
kanan akibat terjatuh Fraktur femur
dari pohon
- Pengkajian Nyeri Jepitan saraf siatika
P : Patah tulang
Q : Seperti ditusuk- Terputusnya kontinuitas jar NYERI
AKUT
tusuk
R : Paha kanan Menekan saraf perasa nyeri
S : Skala 7-8
T : Terus-Menerus Pelepasan mediator
prostaglandin
DO :
- Ekspresi wajah pasien
meringis Respon nyeri hebat & akut
- Pasien tampak gelisah
karena ingin sekali Nyeri Akut
bergerak namun
terbatas
- Pengkajian TTV
TD : 127/98 mmHg
N : 78x/menit
SpO2 : 98%
2 DS : Kerusakan jalur saraf
- Pasien mengatakan
akibat nyeri yang
dirasakan seluruh Kemampuan pergerakan otot
aktivitas-nya terganggu sendi menurun
dan memiliki GANGGUAN
keterbatasan untuk MOBILITAS
miring kanan atau kiri FISIK
di tempat tidur saja
sangat susah.
DO :
- Pengkajian kekuatan
otot
Ekstremitas atas : 5
Ekstermitas bawah
kiri : 5
Ekstremitas bawah
kanan : 1
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Diagnosa Intervensi Rasional


(D.0077) (I.08238)
Nyeri akut berhubungan Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
dengan agen pencedera fisik Observasi Observasi
yang ditandai dengan 1. Identifikasi lokasi 1. Untuk mengetahui
DS : nyeri lokasi nyeri
- Pasien mengatakan 2. Identifikasi skala 2. Agar kita
nyeri mengetahui tingkat
nyeri hebat di paha
3. Identifikasi nyeri cedera yang
kanan akibat terjatuh non verbal dirasakan pasien
4. Identifikasi faktor 3. Agar kita
dari pohon
yang memperberat mengetahui tingkat
- Pengkajian Nyeri dan memperingan nyeri yang
nyeri sebenarnya
P : Patah tulang
Terapeutik 4. Agar dapat diketahui
Q : Seperti ditusuk- 5. Berikan teknik intervensi apa yang
nonfarmakologis akan diberikan
tusuk
untuk mengurangi Terapeutik
R : Paha kanan rasa nyeri 5. Teknik
Edukasi nonframakologis
S : Skala 7-8
6. Jelaskan strategi dapat mengurangi
T : Terus-Menerus meredakan nyeri rasa nyeri
7. Ajarkan teknik Edukasi
DO :
nonfarmakologis 6. Agar pasien dapat
- Ekspresi wajah
untuk mengurangi tahu cara meredakan
pasien meringis rasa nyeri nyerinya
Kolaborasi 7. Agar pasien dapat
- Pasien tampak
8. Kolaborasi mempraktekan
gelisah karena ingin pemberian analgetik, secara mandiri
jika perlu Kolabroasi
sekali bergerak
8. Analgetik dapat
namun terbatas mengurangi rasa
nyeri.
- Pengkajian TTV
TD : 127/98 mmHg
N : 78x/menit
SpO2 : 98%
(D.0054) (I.05173)
Gangguan mobilitas fisik Dukungan mobilisasi Dukungan mobilisasi
berhubungan dengan Observasi Observasi
kerusakan integritas struktur 1. Identifikasi adanya 1. Agar tahu bisa
tulang yang ditandai nyeri atau keluhan dilakukan mobilisasi
dengan: fisik lainnya atau tidak
DS : 2. Identifikasi toleransi 2. Agar tahu batasan
- Pasien mengatakan fisik melakukan pasien dalam
akibat nyeri yang pergerakan melakukan
dirasakan seluruh 3. Monitor frekuensi mobilisasi
aktivitas-nya jantung dan tekanan 3. Frekuensi dan
terganggu dan darah sebelum tekanan darah yang
memiliki memulai mobilisasi abnormal tidak
keterbatasan untuk Terapeutik memungkinkan
miring kanan atau 4. Libatkan keluarga untuk dilakukan
kiri di tempat tidur untuk membantu mobilisasi
saja sangat susah. pasien dalam Terapeutik
DO : meningkatkan 4. Agar dapat
- Pengkajian kekuatan pergerakan membantu pasien
Edukasi dalam meningkatkan
otot
5. Jelaskan tujuan dan pergerakan
Ekstremitas atas : 5 prosedur mobilisasi Edukasi
6. Anjurkan melakukan 5. Agar pasien
Ekstermitas bawah
mobilisasi dini mengerti tentang
kiri : 5 7. Ajarkan mobilisasi tujuan dan prosedur
sederhana yang untuk dilakukan
Ekstremitas bawah
harus dilakukan mobilisasi
kanan : 1 (mis, duduk di 6. Mobilisasi dini dapat
tempat tidur) mempertahankan
fungsi tubuh,
memperlancar
peredaran darah
sehingga
mempercepat
penyembuhan luka.
7. Mobilisasi sederhana
dapat mengindari
terjadinya kekakuan
sendi.
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

Senin, 08 Januari 2024


Diagnos Tujuan dan Jam Implementasi Evaluasi
a kriteria hasil
Nyeri Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (selasa, Jam : 06.00
akut tindakan 15.00 Observasi pagi)
keperawatan 1. Mengidentifikasi
selama 1x24 jam lokasi nyeri S:
diharapkan Hasil :  Pasien
tingkat nyeri Lokasi nyeri di mengatakan
menurun dengan paha kanan nyeri masih
kriteria hasil : 2. Mengidentifikasi ada karena
 Keluhan skala nyeri masih belum
nyeri Hasil : dilakukan
menurun Skala nyeri 10 operasi
 Meringis 3. Mengidentifikasi O:
menurun nyeri non verbal  Ekspresi
 Gelisah Hasil : wajah pasien
menurun Ekspresi wajah meringis
pasien meringis  Pasien
4. Mengidentifikasi tampak
faktor yang gelisah
memperberat dan A:
memperingan nyeri Masalah
Hasil : keperawatan nyeri
Pasien mengatakan akut belum teratasi
nyeri akan terasa
lebih hebat jika P:
bergerak dan nyeri Intervensi
akan menurun dilanjutkan (2,3,5,8)
ketika pasien diam.
15.05 Terapeutik
5. Memberikan
teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Hasil :
Diberikan teknik
nonfarmakologis
TND/teknik napas
15.07 dalam
Edukasi
6. Menjelaskan
strategi meredakan
nyeri
Hasil :
Pasien mengatakan
sudah mengerti
7. Mengajarkan
teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Hasil :
Pasien dapat
17.00 melakukan-nya
secara mandiri.
Kolaborasi
8. Mengkolaborasika
n pemberian
analgetik, jika
perlu
Hasil :
Pasien dilayani
ketorolac 2x1
IVFD.

Ganggua Setelah dilakukan Dukungan mobilisasi (selasa, Jam : 07.00


n tindakan 19.00 Observasi pagi)
mobilitas keperawatan 1. Mengidentifikasi
fisik selama 3x24 jam adanya nyeri atau S:
diharapkan keluhan fisik  Pasien
mobilitas fisik lainnya mengatakan
meningkat Hasil : pergerakan
dengan kriteria Pasien mengatakan eksterimtas
hasil : nyeri hanya bawah kanan
 Pergeraka dirasakan di paha terbatas
n kanan akibat patah akibat patah
ekstremita 2. Mengidentifikasi yang
s toleransi fisik dialami.
meningkat melakukan  Pasien
 Kekuatan pergerakan mengatakan
otot Hasil : nyeri masih
meningkat Pasien mengatakan ada karena
 Nyeri sangat susah untuk belum
menurun bergerak karena dilakukan
 Gerakan gerakan sedikitpun operasi
terbatas dapat O:
menurun menyebabkan  Kekuatan
nyeri otot
3. Memonitor eksterimtas
frekuensi jantung bawah kanan
dan tekanan darah 1
sebelum memulai  Pasien bed
mobilisasi rest
Hasil : A:
HR : 89x/menit Masalah
TD : 129/87 keperawatan
mmHg gangguan mobilitas
19.35 Terapeutik fisik tidak teratasi
4. Melibatkan
keluarga untuk P:
membantu pasien Intervensi
dalam dilanjutkan (3,6)
meningkatkan
pergerakan
Hasil :
Keluarga pasien
selalu membantu
dalam
meningkatkan
pergerakan
19.37 Edukasi
5. Menjelaskan
tujuan dan
prosedur
mobilisasi
Hasil :
Pasien mengatakan
sudah mengerti dan
memahami terkait
tujuan dan
prosedur
mobilisasi
6. Menganjurkan
melakukan
mobilisasi dini
Hasil :
Pasien dan
keluarga
mengatakan sangat
susah untuk
menghadap
kiri/kanan apalagi
duduk karena
nyeri.
7. Mengajarkan
mobilisasi
sederhana yang
harus dilakukan
(mis, duduk di
tempat tidur)
Hasil :
Pasien diajarkan
untuk miring kanan
dan kiri.
Selasa, 09 Januari 2024
Diagnos Tujuan dan Jam Implementasi Evaluasi
a kriteria hasil
Nyeri Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (jam : 20.45)
akut tindakan 10.00 Observasi
keperawatan 1. Mengidentifikasi S:
selama 1x16 jam skala nyeri  Pasien
diharapkan Hasil : mengatakan
tingkat nyeri Skala nyeri 10 nyeri masih
menurun dengan 2. Mengidentifikasi ada
kriteria hasil : nyeri non verbal O:
 Keluhan Hasil :  Ekspresi
nyeri Ekspresi wajah wajah pasien
menurun pasien meringis masih
 Meringis 10.02 Terapeutik meringis
menurun 3. Memberikan A:
Gelisah menurun teknik Masalah
nonfarmakologis keperawatan nyeri
untuk mengurangi akut belum teratasi
rasa nyeri
Hasil : P:
Diberikan teknik Intervensi
nonfarmakologis dilanjutkan (2,3,5,8)
TND/teknik napas
dalam
13.00 Kolaborasi
4. Mengkolaborasika
n pemberian
analgetik, jika
perlu
Hasil :
Pasien dilayani
ketorolac 2x1
IVFD.
Ganggua Setelah dilakukan Dukungan mobilisasi (jam : 20.50)
n tindakan 15.00 Observasi
mobilitas keperawatan 1. Memonitor S:
fisik selama 1x16 jam frekuensi jantung  Pasien
diharapkan dan tekanan darah mengatakan
mobilitas fisik sebelum memulai pergerakan
meningkat mobilisasi eksterimtas
dengan kriteria Hasil : bawah kanan
hasil : HR : 89x/menit terbatas
 Pergeraka TD : 129/87 akibat patah
n mmHg yang
ekstremita 17.30 Edukasi dialami.
s 2. Menganjurkan  Pasien
meningkat melakukan mengatakan
 Kekuatan mobilisasi dini nyeri masih
otot Hasil : ada karena
meningkat Pasien dan belum
 Nyeri keluarga dilakukan
menurun mengatakan sangat operasi
Gerakan terbatas susah untuk O:
menurun menghadap  Kekuatan
kiri/kanan apalagi otot
duduk karena eksterimtas
nyeri. bawah kanan
1
 Pasien bed
rest
A:
Masalah
keperawatan
gangguan mobilitas
fisik tidak teratasi

P:
Intervensi
dilanjutkan (3,6)
Rabu, 10 Januari 2024
Diagnos Tujuan dan Jam Implementasi Evaluasi
a kriteria hasil
Nyeri Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (kamis, 11-01 jam:
akut tindakan 10.00 Observasi 06.58 pagi)
keperawatan 1. Mengidentifikasi
selama 1x24 jam skala nyeri S:
diharapkan Hasil :  Pasien
tingkat nyeri Skala nyeri 10 mengatakan
menurun dengan 2. Mengidentifikasi nyeri sudah
kriteria hasil : nyeri non verbal menurun
 Keluhan Hasil : karena sudah
nyeri Ekspresi wajah di operasi
menurun pasien meringis berbeda
 Meringis 11.00 Terapeutik dengan
menurun 3. Memberikan sebelum
 Gelisah teknik dilakukan
menurun nonfarmakologis operasi
untuk mengurangi O:
rasa nyeri  Ekspresi
Hasil : meringis
Diberikan teknik menurun
nonfarmakologis A:
TND/teknik napas Masalah
dalam keperawatan nyeri
13.00 Kolaborasi teratasi
4. Mengkolaborasika
n pemberian P:
analgetik, jika Intervensi
perlu dihentikan pasien
Hasil : pulang
Pasien dilayani
ketorolac 2x1
IVFD.
Ganggua Setelah dilakukan Dukungan mobilisasi (kamis, 11-01 jam:
n tindakan 13.50 Observasi 07.00 pagi)
mobilitas keperawatan 3. Memonitor
fisik selama 1x24 jam frekuensi jantung S:
diharapkan dan tekanan darah  Pasien
mobilitas fisik sebelum memulai mengatakan
meningkat mobilisasi pergerakan
dengan kriteria Hasil : eksterimtas
hasil : HR : 89x/menit bawah kanan
 Pergeraka TD : 129/87 sudah
n mmHg meningkat
ekstremita 14.35 Edukasi berbeda
s 4. Menganjurkan dengan
meningkat melakukan sebelumnya
 Kekuatan mobilisasi dini  Pasien
otot Hasil : mengatakan
meningkat Pasien dan nyeri masih
 Nyeri keluarga ada namun
menurun mengatakan sangat sudah
Gerakan terbatas susah untuk menurun
menurun menghadap O:
kiri/kanan apalagi  Kekuatan
duduk karena otot
nyeri. eksterimtas
bawah kanan
2
 Pasien sudah
bisa
mobilisasi
sederhana
(duduk)
A:
Masalah
keperawatan
gangguan mobilitas
teratasi

P:
Intervensi
dihentikan pasien
pulang

Anda mungkin juga menyukai