Anda di halaman 1dari 65

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

TRAUMA TULANG BELAKANG

OLEH :
KELOMPOK 13
KELAS 6B

Dosen Pembimbing Matakuliah Keperawatan Kritis Ners Made Martini, S.Kep.


M.Kep.

Kdek Siki Mariani (16089014091)


I Kadek Supartana Bimanyu (16089014107)
Luh Putu Widiyanti (16089014118)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang membahas tentang
“Keperawatan Kritis : Trauma Tulang Belakang” Dalam penyusunan makalah
ini, kami tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, kami mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Ibu Ners Made Martini, S.Kep. M.Kep. selaku dosen pembimbing matakuliah
keperawatan Kritis
2. Orang tua yang selalu memberikan bantuan dan dorongan baik materiil
maupun spiritual.
3. Teman-teman keperawatan kelas 6B yang selalu memberikan kritik
dasarannya.
Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi
sempurnanya makalah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi kami maupun
bagi pembaca.

Singaraja , 8 Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI

1. KATA PENGANTAR .......................................................................................... 1


2. DAFTAR ISI ........................................................................................................ 2
3. DAFTAR GAMBAR..........................................................................................3
4. BAB I :PENDAHULUAN
1). Latar Belakang................................................................................................ 4
2). Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
3). Tujuan ............................................................................................................. 5
5. BAB II : PEMBAHASAN
1). Pengertian ........................................................................................................
2). Epidemiologi ...................................................................................................
3). Etiologi ............................................................................................................
4). Klasifikasi .......................................................................................................
5). Tanda Dan Gejala ............................................................................................
6). Patofisiologi ....................................................................................................
7). Woc .................................................................................................................
8). Pemeriksaan Fisik ...........................................................................................
9). Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................
10) Penatalaksanaan ..............................................................................................
11) Komplikasi ......................................................................................................

6. BAB III : LAPORAN KASUS


1). Pengkajian ......................................................................................................
2). Analisa Data ...................................................................................................
3). Diagnosa Keperawatan ...................................................................................
4). Intervensi ........................................................................................................
5). Implementasi ..................................................................................................
6). Evaluasi ..........................................................................................................
7). Hasil Dan Pembahasan ...................................................................................
7. Sop Balut Bidai ......................................................................................................
8. BAB VI : PENUTUP
1). Kesimpulan .....................................................................................................
2). Saran ...............................................................................................................
9. DAFTAR PUSTAKA
Daftar Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Vertebra...................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam hehidupan sehari-hari kebanyakan manusia memerlukan
mobilisasi cepat dalam kehidupannya.. Salah satu dampak yang ditimbulkannya
berupa trauma, yang dapat terjadi dari semua aktivitas kehidupan sehari – hari
baik dalam bekerja, olahraga, lalu lintas dan lain-lainnya.Trauma yang terjadi
dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam atau trauma lainnya.
Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari
leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah
tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang
sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus
vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang
belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang
tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang
belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al.
2010).
Pada saat ini trauma merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas
yang tinggi dimasyarakat. Dalam jam – jam awal setelah trauma, merupakan
periode emas, dimana pada waktu ini risiko kematian dan kecacatan dapat
dicegah dengan penanganan yang cepat dan tepat.Kematian yang terjadi akibat
trauma kebanyakan terjadi pada jam – jam awal trauma, sedangkan kematian
yang terjadi beberapa minggu akibat trauma biasanya diakibatkan oleh komplikasi
lambat dan mengalami kegagalan organ multiple.
Maka dari itu sangatlah penting untuk mengetahui pemeriksaan awal
dan pengelolaan penderita trauma tulang belakang yang dapat mengancam nyawa
dan ancaman kehilangan anggota gerak.Trauma tulang belakang dapat
menyebabkan disfungsi struktur di sekitarnya dan struktur yang dilindungi atau
disangganya serta kerusakan pada otot, pembuluh darah dan saraf. Secara umum
dikenal dalam bentuk fraktur dan dislokasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Konsep Trauma Tulang Belakang
a. Apa pengertian / definisi dari Trauma Tulang Belakang?
b. Apa Penyebab / Etiologi dari Trauma Tulang Belakang?
c. Sebutkan dan jelaskan Jenis / klasifikasi dari Trauma Tulang
Belakang?
d. Jelaskan bagaimana patofisiologi dari Trauma Tulang Belakang?
e. Sebutkan tanda gejala / Manifestasi klinis dari Trauma Tulang
Belakang?
f. Apa saja pemeriksaan Diagnostik dari Trauma Tulang Belakang?
g. Bagaimana penatalaksanaan dariTrauma Tulang Belakang ?
h. Sebutkan dan jelaskan komplikasi yang ditimbulkan olehTrauma
Tulang Belakang ?
2. Konsep asuhan keperawatan Trauma Tulang Belakang
a. Bagaimana pengkajian dari Trauma Tulang Belakang?
b. Sebutkan apa saja yang menjadi diagnose keperawatan Trauma Tulang
Belakang?
c. Jelaskan intervensi yang dapat dilakukan untuk Trauma Tulang
Belakang?
d. Serta mengevaluasi tindakan intervensi yang dilakukan untuk Trauma
Tulang Belakang
1.3 Tujuan
Memberikan pemahaman serta pengetahuan kepada mahasiswa tentang konsep
dasar fundamental patofisiologi dan asuhan keperawatan pada Trauma Tulang
Belakang

1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui konsep dasar fundamental patofisiologi dari Trauma
Tulang Belakang
2. Dapat melakukan pengkajian pada penderita Trauma Tulang Belakang
3. Dapat merumuskan diagnosa keperawatan pada penderita Trauma Tulang
Belakang
4. Dapat membuat intervensi pada penderita Trauma Tulang Belakang
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KONSEP DASAR PENYAKIT


2.1.1 DEFINISI

Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal,


meliputi spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang,
jaringan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olah raga, dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan ketidakstabilan
kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra)
atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (Price, 2010).
Trauma pada medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2009, hal.
98)
Trauma spinal yaitu gangguan pada serabut spinal (spinal cord) yang
menyebabkan perubahan secara permanen atau sementara, akan tetapi fungsi
motorik, sensorik atau anatomi masih normal.
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada medulla spinalis (Brunner & Suddarth,2011)
Cedera medulla spinalis adalah kerusakan tulang sumsum yang
mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang
diklasifikasikan sebagai : komplit (kehilangan sensasi dan fungsi motorik),
tidak komplit (campuran kehilangan sensori dan fungsi motorik).
Anatomi dan Fisiologi Vertebra
Gambar 2.1. Anatomi Vertebra.

Vertebra adalah tulang yang membentuk punggung yang mudah


digerakkan. Terdapat 33 vertebra pada manusia, 7 ruas vertebra cervicalis, 12
ruas vertebra thoracalis, 5 ruas vertebra lumbalis, 5 ruas vertebra sacralis yang
membentuk os sacrum, dan 4 ruas vertebra coccygealis yang membentuk os
coccygeus.2
Sebuah vertebra terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang
terdiri dari corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus
vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh dua “kaki” atau pediculus dan dua
lamina, serta didukung oleh penonjolan atau procesus yakni procesus
articularis, procesus transversus, dan procesus spinosus. Procesus tersebut
membentuk lubang yang disebut foramen vertebrale. Ketika tulang punggung
disusun, foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat medulla
spinalis. Di antara dua vertebra dapat ditemui celah yang disebut foramen
intervertebrale. Dan di antara satu corpus vertebra dengan corpus vertebra
lainnya terdapat discus intervertebralis.
2.1.2. Vertebra Cervicalis
Mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
2.1.2.1.Corpus vertebra kecil, pendek, dan berbentuk segiempat.
2.1.2.2.Foramen vertebra berbentuk segitiga dan besar.
2.1.2.3.Processus transversus terletak di sebelah vertebra processus articularis.
2.1.2.4.Pada processus transversus terdapat foramen costotransversarium, dilalui
oleh arteri dan vena vertebralis.
2.1.2.5.Processus transversus mempunyai dua tonjolan, yaitu tuberculum anterius
dan tuberculum posterius yang dipisahkan oleh sulcus spinalis, dilalui
oleh nervus spinalis.
2.1.2.6.Processus spinosus pendek dan bercabang dua.

2.1.3. Vertebra Thoracalis


Mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
2.1.3.1 Corpus vertebra berukuran sedang, berbentuk seperti jantung, bagian
anterior lebih rendah daripada bagian posterior.
2.1.3.2 Foramen vertebra bulat.
2.1.3.3 Processus spinosus panjang dan runcing.
2.1.3.4 Pada processus transversus dan pada corpus vertebra terdapat fovea
costalis, tempat perhubungan dengan costa.

2.1.4. Vertebra Lumbalis


Vertebra lumbalis bentuknya adalah yang terbesar, corpusnya sangat besar
dibandingkan dengan corpus vertebra yang lainnya dan berbentuk seperti ginjal
melintang, processus spinosusnya lebar dan berbentuk seperti kapak kecil,
processus tranversusnya panjang dan langsing, ruas ke lima membentuk sendi
dengan sakrum pada sendi lumbo sakral.
2.1.5. Vertebra Sacralis
Terdiri atas 5 ruas tulang yang saling melekat menjadi satu membentuk os sacrum.
Os sacrum berbentuk segitiga, dasarnya berada di sebelah cranial, disebut basis
ossis sacri, dan puncaknya berada di bagian caudal, disebut apex ossis sacri.

2.1.6. Vertebra Coccygeus


Terdiri atas 4 ruas yang melekat menjadi satu tulang. Vertebra coccygeus I masih
mempunyai sisa-sisa processus transversus, membentuk cornu coccygeus.
2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera
baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda
sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera (Suzanne C. Smeltzer,2001;2220). Data
dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam
5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka
kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk
angka kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada
wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan
ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di
asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause) (di kutip dari Medical
Surgical Nursing, Charlene J. Reeves,2000).
Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada
L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan
ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga
beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena
profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu
sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan cidera medulla spinalis dengan cara promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien
dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.

2.1.3 ETIOLOGI
Menurut Harsono (2010) trauma tulang belakang dapat disebabkan oleh :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olahraga (penunggang kuda, pemain sepak bola,
penyelam, dll
4. Luka jejas, tajam, tembak, pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis
yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang

Menurut Ducker dan Perrot dalam dr. Iskandar Japardi (2002), melaporkan :

1. 40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas


2. 20% jatuh
3. 40% luka tembak, olahraga, kecelakaan kerja

2.1.4 KLASIFIKASI

Menurut Yefta D. Bastian, dapat dibedakan menjadi :


1. Whiplash Injury : akibat strain atau sprain pada segmen servikal.
Disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
2. Fraktur Kompresi (Wedge) : karena gaya vertical di depan garis tengah
vertebra yang menekan tepi anterior vertebra. Sering terjadi pada
torakolumbal. Pada lansia dikarenakan akibat jatuh terduduk sedangkan
pada usia mudah akibat jatuh mendarat pada kaki
3. Burst Fracture : karena kompresi aksial dari bagian anterior vertebra.
Bagian-bagian tepi vertebra terdoromg keluar, materi diskus dapar
terdorong ke korpus vertebra atau ke kanal spinal sehingga sering disertai
kerusakan neurologis karena pergeseran korpus vertebra atau fragmennya
ke belakang.
4. Fraktur Distraksi : deselerasi cepat pada kecelakaan lalu lintas akan
melembar korban ke depan sehingga tubuh akan tertekan pada sabuk
pengamanan yang mengakibatkan fraktur korpus vertebra dan dapat
terjadi displacement berat.
5. Fraktur Dislokasi : kombinasi gaya fleksi, kompresi dan rotasi yang
mengakibatkan fraktur korpus vertebra, fraktur pledikel dan dislokasi
sendi faset yang menyebabkan paraplegia atau tetraplegia.

2.1.5 TANDA DAN GEJALA


Adapun tanda dan gejala adalah sebagai berikut :
2.1.5.1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
Tanda dan gejala trauma medula spinalis tergantung dari tingkat
kerusakan dan lokasi kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi
misalnya hilangnya gerakan volunter, hilangnnya sensasi nyeri,
temperature, tekanan dan propriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan
bladder dan hilangnya fungsi spinal dan refleks autonom.
2.1.5.2. Perubahan reflex
Setelah trauma medula spinalis terjadi edema medula spinalis, sehingga
stimulus reflex juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas
visceral, reflex ejakulasi.
2.1.5.3. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit trans
versal, di mana pasien terjadi ketidak mampuan melakukan pergerakan.
2.1.5.3. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid para lisis di bawah garis
kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya releks reflex spinal, hilangnya
tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah,
tidak adanya keringat di bawah garis kerusakan dan inkontinensia urine
dan retensi fases.
2.1.5.4. . Autonomic dysreflesia
Autonomic dysreflesia terjadi pada cedera thorakal enam ke atas, di
mana pasien mengalami gangguan reflex autonom seperti terjadinya
bradikardia, hipertensi paroksimal, distensi bladder.
2.1.5.5. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi,
menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat dapat ereksi
tetapi tidak dapat ejakulasi.

2.1.6 PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil,
jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dan penyebab lainya ) atau penyakit
(Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia,) dapat
menyebabkan kerusakan pada medula spinalis, tetapi lesi traumatic pada medula
spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak
langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medula spinalis disebut
“whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsafleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash
terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah
misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian
berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang
dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertikal (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi. Kerusakan
yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau menetap. akibat trauma
terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara
(komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari.
Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan peri vaskuler dan infark
disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medula spinalis yang menetap, secara
makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan
pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medula spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang
secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan/menggeserkan
ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). lesi transversa medulla spinalis
tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversal, hemitransversal,
kuadran transversal). hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang
berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “
yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar
eksplosi atau fraktur dislokasi. kompresi medula spinalis terjadi karena dislokasi,
medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medula spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler
traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip
diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan
sindroma kompresi medula spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis
vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasi, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis
dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7
dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler
spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau
neuralgia radikularis traumatik yang reversible. jika radiks terputus akibat trauma
tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah
radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan
menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistem anastomosis anterial anterior spinal.

2.1.7 WOC

Cacat bawaan
Kecelakaan olahraga tumor
gangguan spinal
lalu lintas
2.1.8 PEMERIKSAAN FISIK
Untuk semua pasien trauma, pemeriksaan awal dimulai dengan penilaian
kondisi jalan napas (airway), pernapasan (breathing) dan peredaran darah
(circulation). Selain itu, adanya riwayat penyakit kardiopulmonal harus diketahui
melalui anamnesis, karena memengaruhi fungsi paru.
Pemeriksaan fisik seperti pasien trauma, evaluasi klinis awal dimulai
dengan survey - ABCDE. SCI (Spinal Cord Injury) harus dilakukan secara
bersamaan. Masing-masing pemeriksaannya adalah:
 Fungsi paru - Respiration rate, sianosis, distress
pernapasan, kesimetrisan dada, suara tambahan, ekspansi
dada, gerakan dinding perut, batuk, dan cedera paru.
Analisis gas darah arteri dan oksimetri.
 Disfungsi respirasi pada akhirnya akan tergantung pada
keadaan paru yang sudah ada, tingkat SCI, cedera paru-
paru.
2.1.8.1.Hal-hal yang mungkin terganggu dalam pengaturan SCI:
2.1.8.1.1. Hilangnya fungsi otot ventilasi akibat adanya
cedera dada
2.1.8.1.2. Cedera paru, seperti pneumothoraks, hemotoraks,
atau contusio paru.
2.1.8.1.3. Penurunan pengaturan ventilasi berhubungan
dengan cedera kepala atau efek eksogen alkohol
dan obat-obatan.
2.1.8.1.4. CVS – nadi dan volume, tekanan darah
(hemoragik atau shock neurogenik).
2.1.8.1.5. Suhu – hipotermia – shock spinal.
2.1.8.1.6. Pemeriksaan neurologis.
2.1.9. Menentukan tingkat cedera yang dialami, complete atau
incomplete.
2.1.9.1.Tes motorik – dilakukan bersamaan, tes tonus otot,
kekuatan otor, refleks otot, koordinasi, pemeriksaan refleks
tendon dalam dan evaluasi perineal sangat penting. Ada
atau tidaknya prognosis sparingis sakral, indikator evaluasi
sakral. Hal-hal yang dievaluasi dapat didokumentasikan
sebagai berikut:
2.1.9.1.1. .Sensai perineum terhadap sentuhan ringan dan
cocokan peniti
2.1.9.1.2. Refleks bulbocavernous (S3 atau S4)
2.1.9.1.3. Kedipan mata (S5)
2.1.9.1.4. Retensi urine atau inkontinensia
2.1.9.1.5. Priapisme

2.1.9.2.Seks – Rasio laki-laki : perempuan adalah sekitar 2,5-3,0 :


1.
2.1.9.3.Umur – Sekitar 80% dari laki-laki dengan SCIS berusia 18-
25 tahun. SCIWORA terjadi terutama pada anak-anak.

2.1.10. Pemeriksaan Motorik Tulang Belakang


 C5 – Fleksor siku (bisep, brakialis) dan bahu
 C6 – Ekstensor pergelangan tangan (ekstensor karpi radialis
longus dan brevis)
 C7 – Ekstensor siku (trisep)
 C8 – Fleksor jari (fleksor digitorum profunda) untuk jari tengah
 T1 – Jari kelingking (digiti mini)
 L2 – Hip fleksor (iliopsoas)
 L3 – Ekstensor lutut (quadrisep)
 L4 – Ankle dorsifleksor (tibialis anterior)
 L5 – Ekstensor kaki (ekstensor halusis longus)
 S1 – Fleksor ankle plantar (gastrocnemius, soleus)

2.1.11. Pemeriksaan Sensori Tulang Belakang


 C2 – Tonjolan oksipital
 C3 – Fossa supraklavikula
 C4 – Atas sendi akromioklavikularis
 C5 – Sisi lateral lengan
 C7 – Jari tengah
 C8 – Jari kelingking
 T1 – Sisi medial lengan
 T2 – apex dari aksila atau ICS 2
 T3 – ICS 3
 T4 – ICS 4 lurus puting susu
 T5 – ICS 5 (tengah antara T4 dan T6)
 T6 – ICS 6 setinggi xiphisternum
 T7 – ICS 7 (tengah antara T6 dan T8)
 T8 – ICS 8 (tengah antara T6 dan T10)
 T9 – ICS 9 (tengah antara T8 dan T10)
 T10 – ICS 10 atau umbilikus
 T11 – ICS 11 (tengah antara T10 dan T12)
 T12 – Midpoint ligamentum inguinalis
 L1 – Setengah jarak antara T12 dan L2
 L2 – Paha mid-anterior
 L3 –Kondilus femoralis medial atau kondilus femoralis lateralis
 L4 – Maleolus medial
 L5 – lateral kaki atau maleolus lateral atau dorsum kaki pada
sendi metatarsophalangeal ketiga
 S1 – Tumit lateral
 S2 – Fossa popliteal di garis tengah
 S3 – tuberositas iskia
 S4-S5 – Perianal
 C6 – ibu jari dan lengan lateral

2.1.12. Imaging
2.1.12.1. Sinar x spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislok)
2.1.12.2. CT-scan
CT-scan untuk untuk menentukan tempat luka/jejas
2.1.12.3. X-Ray
standar untuk mendapatkan gambaran X-ray:
2.1.12.3.1. Antero-posterior
2.1.12.3.2. Gambaran lateral
2.1.12.3.3. Gambaran odontoid-membuka mulut
2.1.12.4. Gambaran oblique termasuk gambaran penekanan bahu
 Direkomendasikan gambaran antero-posterior dan
lateral dada serta lumbal
 Radiografi leher harus menyertakan C7-T1
2.1.12.5. MRI
MRI baik untuk kecurigaan adanya lesi sumsum tulang
belakang, ligamentum atau kondisi lainnya. MRI dapat
digunakan untuk mengevaluasi hematoma tulang belakang
seperti ekstra dural, abses atau tumor, dan hemoragi tulang
belakang, memar, dan/atau edema.
2.1.12.6. Foto rongent thorak
Untuk mengetahui keadaan paru
2.1.12.7. AGD
Untuk menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya
ventilasi

2.1.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.1.9.1.Foto Polos Vertebra.
Merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang
melibatkan medula spinalis, kolumna vertebralis dan jaringan di sekitarnya.
Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada cedera
torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral.
2.1.9.2.CT-scan Vertebra.
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan
kanalis spinalis dalam potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama
untuk mendeteksi cedera fraktur pada tulang belakang.
2.1.9.3.MRI Vertebra. MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal medula
spinalis dalam sekali pemeriksaan.

2.1.10 PENATALAKSANAAN
2.1.10.1. Lakukan tindakan segera pada cedera medula spinalis.
Tujuannya adalah mencegah kerusakan lebih lanjut pada medula
spinalis. sebagian cedera medula spinalis diperburuk oleh penanganan
yang kurang tepat,efek hipotensi atau hipoksia pada jaringan saraf yang
sudah terganggu.
a. Letakkan pasien pada alas yang keras dan datar untuk pemindahan.
b. Beri bantal,guling atau bantal pasir pada sisi pasien u/ mencegah
pergeseran.
c. tutup dengan selimut untuk menghindari hawa panas badan.
d. pindahkan pasien ke RS yang memiliki fasilitas penanganan kasus
cedera medula spinalis.
2.1.10.2. Perawatan khusus
Kontusio / transeksi / kompresi medula spinalis.
a metil prednisolon 30 mg / kg BB bolus intra vena selama 15 menit
dilanjutkan dg 5,4mg/kg BB/ jam, 45 menit.setelah bolus ,selama 23
jam hasil optimal bila pemberian dilakukan < 8 jam onset.
b Tambahkan profilaksis stres ulkus : antasid / antagonis H2
2.1.10.3.Tindakan operasi diindikasikan pada :
a Fraktur servikal dg lesi parsial medula spinalis
b Cedera terbuka dg benda asing / tulang dlm kanalis spinalis.
c Lesi parsial medula spinalis dg hematomielia yang progresif.

2.1.11 KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer, Arif, et al. 2010 trauma tulang belakang bisa
mengakibatkan berbagai macam komplikasi, diantaranya

2.1.11.1. Syok hipovolemik


akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat
trauma.
2.1.11.2. Pendarahan Mikroskopik
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi
perdarahan-perdarahan kecil. Yang disertaireaksi
peradangan,sehingga menyebabkan pembengkakan dan edema dan
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan didalam dan
disekitar korda.Peningkatan tekanan menekan saraf dan
menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara
drastis meningkatkan luas cidera korda.Dapat timbul jaringan ikat
sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat.

2.1.11.3. Hilangnya Sesasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks.


Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan refleks
setingg dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks
disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi
korda dapat meluas kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan
demkian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal
dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spinal
biasanya menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan
motorik akan tetap permanen apabila korda terputus akan terjadi
pembengkakan dan hipoksia yang parah.

2.1.11.4. Syok Spinal.


Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks
dari dua segme diatas dan dibawah tempat cidera. Repleks-refleks
yang hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi
kandung kemih dan rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu
tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara akut semua
muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari
otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok
spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih
lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia,
yang ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan
kandung kemih dan rektum.

2.1.11.5. Hiperrefleksia Otonom.


Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis
secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah.
Hiper refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya
syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda
spnalis dan mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan
sistem saraf simpatis.Dengan diaktifkannya sistem simpatis,maka
terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan
tekanan darah system. Pada orang yang korda spinalisnya
utuh,tekanan darahnya akan segera diketahui oleh
baroreseptor.Sebagai respon terhadap pengaktifan
baroreseptor,pusat kardiovaskuler diotak akan meningkatkan
stimulasi parasimpatis kejantung sehingga kecepatan denyut
jantunhg melambat,demikian respon saraf simpatis akan terhenti
dan terjadi dilatasi pembuluh darah.Respon parasimpatis dan
simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah
kenormal.Pada individu yang mengalami lesi korda,pengaktifan
parasimpatis akan memperlambat kecepatan denyut jantung dan
vasodilatasi diatas tempat cedera,namun saraf desendens tidak
dapat melewati lesi korda sehngga vasokontriksi akibat refleks
simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung.Pada
hiperrefleksia otonom,tekanan darah dapat meningkat melebihi
200 mmHg sistolik,sehingga terjadi stroke atau
infark miokardium.Rangsangan biasanya menyebabkan
hiperrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau
rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan untuk nyeri.

2.1.11.6. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik
volunter.Pada transeksi korda spinal,paralisis bersifat
permanen.Paralisis ekstremitas atas dan bawah terjadi pada
transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut
kuadriplegia.Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi
korda dibawah C6 dan disebut paraplegia.Apabila hanya separuh
korda yang mengalami transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis.
Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia
komplit adalah sebagai berikut :
 pneumonia (60,3 %),
 ulkus akibat tekanan (52,8 %),
 trombosis vena dalam (16,4 %),
 emboli pulmo (5,2 %),
 infeksi pasca operasi (2,2 %).

Sedangkan untuk fraktur, komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:


a. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek
menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi
dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang,
akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan
membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
b. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu
20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang
memadai.
c. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus
berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan
fraktur.
d. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata
(KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada
fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula
disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada
fraktur.
e. Emboli lemak
f. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler.
Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan
membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
g. Sindrom Kompartemen. Masalah yang terjadi saat perfusi
jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas
permanen jika tidak ditangani segera.
2.1.12 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

2.2.1. PENGKAJIAN
2.2.1.1.Identitas
Trauma medula spinalis dapat terjadi pada semua usia dan jenis
kelamin.

2.2.1.2.Keluhan utama
Keluhan utama yang menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
adalah nyeri,kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas,inkontinensia
defekasi dan urine,deformitas pada daerah trauma.

2.2.1.3.Riwayat penyakit sekarang


Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat dari
kecelakaan lalu lintas,olah raga,jatuh dari pohon atau bangunan,luka
tusuk,luka tembak dan kejatuhan benda keras.Perlu ditanyakan pada
klien atau keluarga yang mengantar klien atau bila klien tidak sadar
tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang
sering terjadi pada beberapa klien yang suka kebut-kebutan.

2.2.1.4.Riwayat penyakit dahulu


Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degeneratif pada tulang belakang ,seperti osteoporosis, osteoartritis,
spondylitis ,spondilolistesis, spinal stenosis yang memungkinkan
terjadinya kelainan pada tulang belakang.
2.2.1.5.Riwayat penyakit keluarga
Kaji apakah dalam keluarga px ada yang menderita
hipertensi,DM,penyakit jantung untuk menambah
komprehensifnyapengkajian.
1. Riwayat psiko-sosio
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga.Apakah ada dampak yang timbul pada klien,yaitu
timbul seperti ketakutan akan kecacatan,rasa cemas,rasa
ketidak mampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal
dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
2. Pola aktivitas-Aktifitas dan istirahat
a. Kelumpuhan otot ( terjadi kelemahan selama syok
spinal ) pada bawah lesi.
b. Kelemahan umum / kelemahan otot ( Trauma dan
adanya kompresi saraf )
c. Mengalami distensi yang berhubungan dengan
omentum.
d. Peristaltik usus hilang ( ileus paralitik ).
e. Eliminasi
 Inkontinensia defekasi berkemih.
 Retensi urine
f. Hygien : Sangat ketergantungan dalam melakukan
aktifitas sehari-hari.
2.2.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola napas b.d trauma medulla spinalis d/d
inervansi otot intercostal
2. yeri yang berhubungan dengan agen injury biologis

2.2.3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

RENCANA KEPERAWATAN
DIAGNOSA
NO TUJUAN DAN
KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan O: 1. observasi
pola napas b.d asuhan 1.pantau kecepatan, pernapasan
trauma medulla keperawatan irama,kedalaman bertujuan untuk
spinalis d/d inervansi selama ... x ... jam dan upaya menentukan efektif
otot intercostal diharapkan pola pernapasan atau tdaknya pola
napas kembali 2. pantau pola napas
efektif. pernafasan dan
suara napas
DENGAN
KRITERIA HASIL N: 2. posisi semi
: 1. berika klien fowler
1. Klien posisi semifowler membemberikan
menunjukkan pola 2. berikan oksigen perasaan dan dapat
penapasan yang melegakan
efektif. E: pernapasan
2. tidak ada suara 1. anjurkan napas 3.bernapas melalui
napas tambahan. dalam melalui abdomen dapat
3. RR dalam abdomen selama dapat mengurangi
rentanf normal periode gawat sesak.
napas

C: 4. memastikan
1.kolaborasikan klien mendapat
dengan ahli terapi penanganan yang
pernapasan untk tepat dengan
memastikan berkolaborasi
keadekuatan fungsi bersama dokter dan
ventilator mekanis. ahli pernapasan.
2. kolaborasikan
pemberian obat
untk mengurangi
sesak
2 Nyeri yang Setelah dilakukan O: 1.pengkajian nyeri
berhubungan dengan asuhan 1. Kaji nyeri PQRST dapat
agen injury biologis keperawatan menggunakan menentukkan
selama ... x ... jam pengkajian nyeri management nyeri
diharapkan nyeri PQRST yang tepat.
berkurang.
N:
DENGAN 1. Berikan kompres 2.kompres air
KRITERIA HASIL air hangat hangat dapat
1.skala nyeri 2.berikan posisi menguangi nyeri
menurun (<3) nyaman.
2. klien tampak
tenang E:
1. anjurkan 3. keterlibatan
keluarga dalam keluarga dapat
management nyeri. memberikan rasa
nyaman sehingga
nyeri dapat
dikurangi.
C:
1. kolaborasikan 4.berkolaborasi
dalam pemberian dengan dokter
obat analgetik berguna untuk
2. kolaborasikan pemberian
tindakan bedah jika analgetik yang
diperlukan. tepat

2.2.4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN


Implementasi keperawatan adalah melaksanakan intervensi keperawatan.
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan yaitu kategori dari
perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan dari asuhan
keperawatan yang dilakukan dan diseleaikan. Implementasi harus sesuai dengan
apa yang dibuat pada intervensi keperawatan
2.2.5. EVALUASI
Evaluasi dibuat dengan melihat perkembangan pasien selama diberikan
asuhan keperawatan sesuai diagnose pasien dan tujuan evaluasi dibuat
menggunakan SOAP.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

3.1 Pembahasan Kasus


3.1.1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT /IGD/
TRIAGE

Tgl/ Jam : 8 maret 2019. Jam 12. 00 No. RM : 51111


Triage : - Diagnosis Medis: Tauma Medulla Spinalis
Transportasi : Mobil Pribadi

Nama : Tn. B Jenis Kelamin : laki-laki


Umur : 55 tahun Alamat : desa Seririt
IDENTITAS

Agama : hindu Status Perkawinan : kawin


Pendidikan : Sma Sumber Informasi : keluarga
Pekerjaan : buruh Hubungan : istri
Suku/ Bangsa : indonesia
Triage :-
RIWAYAT SAKIT & KESEHATAN

Keluhan Utama : nyeri hebat di bagian tulang


belakang
Mekanisme Cedera (Trauma) : klien mengalami kecelakaan
mobil saat akan berkendara. Klien yang sedang menyetir mobil
menabrak pohon .

Sign/ Tanda Gejala :


1. klien mengeluh nyeri hebat pada tulang belakangnya.
2. trjadi oedem diskitar tulang belakang
Allergi : klien tidak memiliki alergi
Medication/ Pengobatan : klien belum mendapat
pengobatan sebelumnya

Past Medical History : klien memiliki riwayat


hipertensi
Last Oral Intake/Makan terakhir : klien mengkonsumsi bakso
Event leading injury : kecelakaan mobil

Penggunaan Cervikal Collar : ya


Jalan Nafas :  Paten
Obstruksi :  Tidak Ada
Suara Nafas : vasikuler
AIRWAY

Keluhan Lain: ... ...

Masalah Keperawatan:

Nafas :  Spontan  Tidak Spontan


Gerakan dinding dada:  Simetris  Asimetris
Irama Nafas :  Cepat  Dangkal  Normal
BREATHING

Pola Nafas :  Teratur  Tidak Teratur


Jenis :  Dispnoe  Kusmaul  Cyene Stoke
 Lain
Suara Nafas :  Vesikuler  Stidor  Wheezing  Ronchi
Sesak Nafas :  Ada  TidakAda
Cuping hidung  Ada  Tidak Ada
Retraksi otot bantu nafas :  Ada  Tidak Ada
Pernafasan :  Pernafasan Dada
RR : 40x/mnt
Keluhan Lain: sesak
Masalah Keperawatan:
3. Ketidakefektifan pola napas

Nadi :  Teraba
Tekanan Darah : 120/80mmHg
Pucat :  Ya
Sianosis :  Ya
CRT : > 2 detik
CIRCULATION

Akral :  Hangat  S: 37C


Pendarahan :  Tidak ada
Lokasi:
Jumlah :  Tidak ada
Turgor :  Elastis
Diaphoresis: Ya Tidak
Riwayat Kehilangan cairan berlebihan: tidak ada
Keluhan Lain: -
Masalah Keperawatan: -
Kesadaran:  Apatis
GCS :  Eye :3  Verbal : 4  Motorik : 5
Pupil :  Isokor
Refleks Cahaya:  Ada
DISABILITY

Refleks fisiologis:  Patela (+)


Refleks patologis :  Babinzky (+) Kernig (+)
Kekuatan Otot :
Keluhan Lain : tida ada
Masalah Keperawatan:-
EXPOSURE

Deformitas :  Tidak
Contusio :  Tidak
Abrasi :  Tidak
Penetrasi :  Tidak
Laserasi :  Tidak
Edema :  Ya  Lokasi : punggung
Luka Bakar :  Tidak
Grade : -
Jika ada luka/ vulnus, kaji:-
Luas Luka : -
Warna dasar luka: -
Kedalaman : -

Masalah Keperawatan: -

Monitoring Jantung :  Sinus Takikardi


Saturasi O2 :85%
Kateter Urine :  Ada
FIVE INTERVENSI

Pemasangan NGT :  Tidak


Pemeriksaan Laboratorium : (terlampir)

Masalah Keperawatan: retensi urine

Nyeri :  Ada
Problem : trauma medula spinalis
Qualitas/ Quantitas : nyeri seperti tertimpa alat berat
GIVE COMFORT

Regio : nyeri menyebar di punggung


Skala : skala nyeri 9 (0-10)
Timing : nyeri terus terjadi

Masalah Keperawatan: nyeri akut


Pemeriksaan SAMPLE/KOMPAK
(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non
trauma)
Kepala dan wajah :
a. Kepala: normal
b. Wajah : normal
c. Mata : normal
d. Hidung: normal
e. Mulut : normal
HEAD TO TOE

f. Telinga : normal
g. Leher : normal
h. Dada : normal
i. Abdomen dan Pinggang nyeri tekan disimpisis
j. Punggung : oedem
k. Pelvis dan Perineum : normal
l. Ekstremitas : hangat

Masalah Keperawatan: -

Jejas :  Tidak
INSPEKSI BACK/ POSTERIOR

Deformitas :  Tidak
Tenderness :  Tidak
SURFACE

Crepitasi :  Tidak
Laserasi :  Tidak

Masalah Keperawatan:-
Data Tambahan :
1). Pengkajian Bio : klien mengalami trauma medulla
spinalis
2). Psiko : klien merasa sangat tidak nyaman atas nyeri yang
dirasakannya
3). Sosio : klien berinteraksi kurang baik karena nyeri yang
dirasakannya
4). Ekonomi : klien memiliki tingkat ekonomi menengah
5). , Spritual : klien sebelum sakit klen rutin sembahyang
setiap hai

Pemeriksaan Penunjang : rontgen


Tanggal : 9 maret 2019
Hasil pemeriksaan : cedera trauma tulang belakang

Terapi Medis :
1. pemberian analgetik
2. pemberian O2
3. operasi bedah
ANALISA DATA

Nama : Tn. B No. RM : 51111


Umur : 55 tahun Diagnosa medis : Trauma Medula
Spinalis
Ruang rawat : ICU Alamat : desa Seririt

No Data Fokus Analisis MASALAH


Data Subyektif dan Obyektif Problem dan KEPERAWATA
etiologi N
(pathway)
1 DS: Trauma medulla Pola napas tidak
1. klien mengatakan sesak spinalis efektif

DO:
1. RR : 40x/m Kerusakan T1-12
2. terdebgar suara napas
tambahan wheezing
Kehilangan
inervasi otot
intercostal

Iskemia hipoksia

Sesak

Pola napas tidak


efektif
2 DS: Trauma medulla Retensi urine
1. Klien Mengatakan Tidak spinalis
Bisa BAK

DO: Keusakan S2-S3


1. tidak ada haluaran urine
selama klien dirawat
2. klien merasa nyeri ketika Kerusakan saraf
ditekan pada simpisis bawah motoric

Retensi urine
3 DS: Trauma medula Nyer akut
1. Klien mengatakan nyeri di spinalis
punggung

DO: Spasme otot


1. Problem : trauma paravertebralis
medula spinalis
2.Qualitas/ Quantitas : nyeri
seperti tertimpa alat berat Iritasi serabut
3.Regio : nyeri saraf
menyebar di punggung
4 Skala : skala
nyeri 9 (0-10) Nyeri akut
5. Timing : nyeri
terus terjadi
1. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN PRIORITAS MASALAH
(BERDASARKAN YANG MENGANCAM)

1). Ketidakefektifan pola napas b.d trauma medulla spinalis d/d inervansi otot
intercostal
2. INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama : Tn. B No. RM : 51111
Umur : 55 tahun Diagnosa medis : Trauma Medula
Spinalis
Ruang rawat : ICU Alamat : desa seririt

No Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional Paraf


Dx Hasil (NIC)
(NOC)
No Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional Paraf
Dx Hasil (NIC)
(NOC)

1 Setelah dilakukan O: 1. observasi


asuhan 1.pantau kecepatan, pernapasan bertujuan
keperawatan irama,kedalaman dan untuk menentukan
selama 1 X 6 jam upaya pernapasan efektif atau tdaknya
diharapkan pola 2. pantau pola pola napas
napas kembali pernafasan dan suara
efektif. napas

DENGAN N: 2. posisi semi fowler


KRITERIA HASIL 1. berika klien posisi membemberikan
: semifowler perasaan dan dapat
1. Klien 2. berikan oksigen melegakan
menunjukkan pola pernapasan
penapasan yang E:
efektif. 1. anjurkan napas
2. tidak ada suara dalam melalui 3.bernapas melalui
napas tambahan. abdomen selama abdomen dapat dapat
3. RR dalam periode gawat napas mengurangi sesak.
rentanf normal
C:
1.kolaborasikan
dengan ahli terapi 4. memastikan klien
pernapasan untk mendapat
memastikan penanganan yang
keadekuatan fungsi tepat dengan
No Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional Paraf
Dx Hasil (NIC)
(NOC)

ventilator mekanis. berkolaborasi


2.kolaborasikan bersama dokter dan
pemberian obat untk ahli pernapasan.
mengurangi sesak
3. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Nama : Tn. B No. RM : 51111


Umur : 55 tahun Diagnosa medis : Trauma Medula
Spinalis
Ruang rawat : ICU Alamat : desa seririt

No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
1 8 O: S:
MARE 1. Mamantau kecepatan, 1. klien mengatakan
T 2019 irama,kedalaman dan upaya sesak
JAM pernapasan O:
12.00 2. memantau pola 1. pola napas tidak
pernafasan dan suara napas efektif
2. terdenga suara napas
tambahan wheezing
3. RR : 40X/M

S:
1. klien mengatakan
sesak berkurang
O:
1. klien sudah diposisian
N: semifowler
1. memberika klien posisi 2. oksigen sudah
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
semifowler diberikan dengan kadar
2. berikan oksigen 4l/m menggunakan kanul

S:
1. klien mengatakan akan
bernapas dalam melalui
abdomen
O:
1. klien tapak bernapas
dalam melalui abdomen

S:-
E: O: klien sementara
1.menganjurkan napas dianjurkan menggunakan
dalam melalui abdomen O2 Sambil Menunggu
selama periode gawat napas perkembangan kliemn

C:
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
1.berkolaborasikan dengan
ahli terapi pernapasan untk
memastikan keadekuatan
fungsi ventilator mekanis.
2.berkolaborasikan
pemberian obat untk
mengurangi sesak
4. EVALUASI KEPERAWATAN

Nama : Tn. B No. RM : 51111


Umur : 55 tahun Diagnosa medis : Trauma Medula
Spinalis
Ruang rawat : ICU Alamat : desa seririt

No Tgl / Diagnosa Keperawatan


Catatan Perkembangan Paraf
jam
1 1 maret Ketidakefektifan pola S:
2019 napas b.d trauma 1. Klien mengatakan sesak
18.00 medulla spinalis d/d berkurang
inervansi otot O:
intercostal 1. RR :25X/M
2. Klien mash menggunakan
oksigen
3. pola napas sudah mulai
efektif
A:Intervensi tercapai sebagian
P:Lanjutkan intervensi
1. lanjutkan pemberian
oksigen
2. lapoorkan pada dokter
untuk tindakan selanjutkan
3.2 Hasil Dan Pembahasan
Trauma tulang belakang (medulla spinalis) adalah trauma yang terjad karena
beberapa hal . dalam kasus ini trauma medulla spinalis yang kami angkat adalah yang
diakibatkan kecelakaan mobil dengan diagnose prioritas ketidakefektifan pola napas.
3.2. SOP Pembidaian

STANDART OPERATING PROCEDURE


PEMBALUTAN DAN PEMBIDAIAN

1. Tahap Pre-Interaksi
a. Mengecek dokumentasi/data klien
b. Mencuci tangan
c. menyiapkan alat

2. Tahap Orientasi
a. Memberikan salam kepada paien, siapa nama pasien dan memperkenalkan
diri
b. Memberitahu klien tujuan dan prosedur tindakan
c. Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien

3. Tahap Kerja
a. Memberikan kesempatan kepada klien untuk bertanya
b. Menanyakan keluhan utama klien
c. Memeriksa bagian tubuh yang akan dibalut, cedera dengan inspeksi dan
palpasi gerakan
d. Melakukan tindakan pra-pembalutan (membersihkan luka, mencukur,
memberi desinfektan, kasa steril)
e. Memilih jenis pembalutan yang tepat
f. Cara pembalutan dilakukan dengan benar (posisi dan arah balutan)

4. Tahap terminasi
a. Mengevaluasi tindakan yang baru dilakukan (subyektif dan obyektif), hasil
pembalutan : mudah lepas, menggangu peredaran darah, mengganggu gerakan
lain)
b. Berikan reinforcement positif pada klien
c. Kontrak pertemuan selanjutnya (waktu, kegiatan, tampat)
d. Merapikan dan kembalikan alat
e. Mencuci tangan
f. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan

Sumber:
Materi Keperwatan Akper Purworejo

3.3. PEMBIDAIAN
3.3.1. Definisi pembidaan
Bidai adalah alat dari kayu, anyaman kawat atau bahan lain yang kuat
tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang
yang patah tidak bergerak (immobilisasi), memberikan istirahat dan mengurangi
rasa sakit.
Pembidaian adalah tindakan memfixasi/mengimobilisasi bagian
tubuh yangmengalami cedera, dengan menggunakan benda yang bersifat kaku
maupun fleksibel sebagai fixator/imobilisator.
3.3.2. Tujuan pembidaian
3.3.2.1. Mencegah pergerakan / pergeseran dari ujung tulang yang yang
patah.
3.3.2.2. Mengurangi terjadinya cedera baru disekitar bagian tulang yang
patah.
3.3.2.3. Memberi istirahat pada anggota badan yang patah
3.3.2.4. Mengurangi rasa nyeri.
3.3.2.5. Mempercepat penyembuhan.
3.3.2.6. Mengurangi perdarahan
3.3.3. Jenis Bidai
Beberapa macam jenis bidai berdasar bahan :
3.3.3.1. Bidai keras
Umumnya terbuat dari kayu, alumunium, karton,
plastik atau bahan lain yang kuat dan ringan. Pada
dasarnya merupakan bidai yang paling baik dan
sempurna dalam keadaan darurat. Kesulitannya adalah
mendapatkan bahan yang memenuhi syarat di lapangan.
Contoh: bidai kayu, bidai udara, bidai vakum

3.3.3.2.2. Bidai traksi


Bidai bentuk jadi dan bervariasi tergantung dari
pembuatannya, hanya dipergunakan oleh tenaga yang
terlatih khusus, umumnya dipakai pada patah tulang
paha. Contoh: bidai traksi tulang paha

3.3.3.3.Bidai improvisasi
Bidai yang dibuat dengan bahan yang cukup kuat dan
ringan untuk penopang. Pembuatannya sangat
tergantung dari bahan yang tersedia dan kemampuan
improvisasi si penolong. Contoh: majalah, koran,
karton dan lain-lain.
3.3.3.4.Gendongan/Belat dan bebat.
3.3.3.5. Pembidaian dengan menggunakan pembalut, umumnya
dipakai mitela(kain segitiga) dan memanfaatkan tubuh
penderita sebagai sarana untuk menghentikan
pergerakan daerah cedera.Contoh: gendongan lengan.
Jenis Pembidaian berdasarkan pemasangan bidai

3.3.3.6.Pembidaian sebagai tindakan pertolongan sementara


Dilakukan di tempat cedera sebelum penderita dibawa
ke rumah sakit.Bahan untuk bidai bersifat sederhana
dan apa adanya.Bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri
dan menghindarkan kerusakan yang lebihberat. Bisa
dilakukan oleh siapapun yang sudah mengetahui prinsip
dan teknik dasar pembidaian.
3.3.3.7.Pembidaian sebagai tindakan pertolongan definitive
Dilakukan di fasilitas layanan kesehatan (klinik atau
rumah sakit).Pembidaian dilakukan untuk proses
penyembuhan fraktur/dislokasi.Menggunakan alat dan
bahan khusus sesuai standar pelayanan (gips, dll).Harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih
3.3.4. Indikasi Pembidaian
3.3.4.1. Adanya fraktur, baik terbuka maupun tertutup
3.3.4.2. Adanya kecurigaan terjadinya fraktur
3.3.4.3. Dislokasi persendia
3.3.4.4. Kecurigaan adanya fraktur bisa dimunculkan jika pada
salah satu bagian tubuh ditemukan :
a. Pasien merasakan tulangnya terasa patah atau
mendengar bunyi krek.
b. Ekstremitas yang cedera lebih pendek dari yang
sehat, atau mengalami angulasi abnormal
c. Pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas
yang cedera
d. Posisi ekstremitas yang abnormal
e. Memar
f. Bengkak
g. Perubahan bentuk
h. Nyeri gerak aktif dan pasif
i. Nyeri sumbu
j. Pasien merasakan sensasi seperti jeruji ketika
menggerakkan ekstremitasyang mengalami cedera
(Krepitasi)
k. Perdarahan bisa ada atau tidak
l. Hilangnya denyut nadi atau rasa raba pada distal
lokasi cedera
m. Kram otot di sekitar lokasi

3.3.5. Hal-hal yang harus diperhatikan saat Pembidaian


3.3.5.1.Bebaskan area pembidaian dari benda-benda (baju,
cincin, jam, gelang)
3.3.5.2.Periksalah denyut nadi distal dan fungsi saraf sebelum
dan sesudah pembidaian dan perhatikan warna kulit
3.3.5.3.Pembidaian minimal meliputi 2 sendi (proksimal dan
distal daerah fraktur). Sendi yang masuk dalam
pembidaian adalah sendi di bawah dan di atas patah
tulang. Sebagai contoh, jika tungkai bawah mengalami
fraktur, maka bidai harus bisa mengimobilisasi
pergelangan kaki maupun lutut.
3.3.5.4.Luruskan posisi korban dan posisi anggota gerak yang
mengalami fraktur maupun dislokasi secara perlahan
dan berhati-hati dan jangan sampai memaksakan
gerakan. Jika terjadi kesulitan dalam meluruskan, maka
pembidaian dilakukan apa adanya. Pada trauma sekitar
sendi, pembidaian harus mencakup tulang di bagian
proksimal dan distal.
3.3.5.5.Fraktur pada tulang panjang pada tungkai dan lengan,
dapat terbantu dengan traksi atau tarikan ringan ketika
pembidaian. Jika saat dilakukan tarikan terdapat
tahanan yang kuat, krepitasi, atau pasien merasakan
peningkatan rasa nyeri, jangan mencoba untuk
melakukan traksi. Jika anda telah berhasil melakukan
traksi, jangan melepaskan tarikan sebelum ekstremitas
yang mengalami fraktur telah terfiksasi dengan baik,
karena kedua ujung tulang yang terpisah dapat
menyebabkan tambahan kerusakan jaringan dan
beresiko untuk mencederai saraf atau pembuluh darah.
3.3.5.6.Beri bantalan empuk dan penopang pada anggota gerak
yang dibidai terutama pada daerah tubuh yang
keras/peka(lutut,siku,ketiak,dll), yang sekaligus untuk
mengisi sela antara ekstremitas dengan bidai
3.3.5.7.Ikatlah bidai di atas dan bawah luka/fraktur. Jangan
mengikat tepat di bagian yang luka/fraktur. Sebaiknya
dilakukan sebanyak 4 ikatan pada bidai, yakni pada
beberapa titik yang berada pada posisi :
a. superior dari sendi proximal dari lokasi
fraktur,diantara lokasi fraktur dan lokasi ikatan
pertama
b. Inferior dari sendi distal dari lokasi fraktur
diantara lokasi fraktur dan lokasi ikatan ketiga
(point c)
3.3.5.8. Pastikan bahwa bidai telah rapat, namun jangan terlalu
ketat sehingga mengganggu sirkulasi pada ekstremitas
yang dibidai. Pastikan bahwa pemasangan bidai telah
mampu mencegah pergerakan atau peregangan pada
bagian yang cedera.
3.3.5.9. Pastikan bahwa ujung bidai tidak menekan ketiak atau
pantat.Jika mungkin naikkan anggota gerak tersebut
setelah dibidai
3.3.5.10. Harus selalu diingat bahwa improvisasi
seringkali diperlukan dalam tindakan pembidaian.
Sebagai contoh, jika tidak ditemukan bahan yang sesuai
untuk membidai, cedera pada tungkai bawah seringkali
dapat dilindungi dengan merekatkan tungkai yang
cedera pada tungkai yang tidak terluka. Demikian pula
bisa diterapkan pada fraktur jari, dengan merekatkan
pada jari disebelahnya sebagai perlindungan sementara

3.3.6. Kontra Indikasi Pembidaia


Pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondisi saluran
napas, pernapasan dan sirkulasi penderita sudah distabilisasi.
Jika terdapat gangguan sirkulasi dan atau gangguan
persyarafan yang berat pada distal daerah fraktur, jika ada
resiko memperlambat sampainya penderita ke rumah sakit,
sebaiknya pembidaian tidak perlu dilakukan. Komplikasi
pembidaian jika dilakukan tidak sesuai dengan standar
tindakan, beberapa hal berikut bisa ditimbulkan oleh tindakan
pembidaian:
3.3.6.1.Cedera pembuluh darah, saraf atau jaringan lain di
sekitar fraktur oleh ujung fragmen fraktur, jika
dilakukan upaya meluruskan atau manipulasi lainnya
pada bagian tubuh yang mengalami fraktur saat
memasang bidai.
3.3.6.2.Gangguan sirkulasi atau saraf akibat pembidaian yang
terlalu ketat.
3.3.6.3.Keterlambatan transport penderita ke rumah sakit, jika
penderita menunggu terlalu lama selama proses
pembidaian.
3.3.7. Prinsip pembidaian
3.3.7.1.Lakukan pembidaian di mana anggota badan
mengalami cedera (korban jangan dipindahkan sebelum
dibidai). Korban dengan dugaan fraktur lebih aman
dipindahkan ketandu medis darurat setelah dilakukan
tindakan perawatan luka, pembalutan dan pembidaian.
3.3.7.2.Lakukan juga pembidaian pada persangkaan patah
tulang, jadi tidak perlu harus dipastikan dulu ada
tidaknya patah tulang. Kemungkinan fraktur harus
selalu dipikirkan setiap terjadi kecelakaan akibat
benturan yang keras. Apabila ada keraguan, perlakukan
sebagai fraktur.
3.3.8. Prosedur Dasar Pembidaian
3.3.8.1.Mempersiapkan pasien
a. Penanganan kegawatan (Basic Life Support)
b. Menenangkan penderita
c. Jelaskanlah bahwa akan memberikan pertolongan
kepada penderita.
d. Pemeriksaan untuk mencari tanda fraktur atau
dislokasi.
e. Menjelaskan secara singkat dan jelas kepada
penderita tentang prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
f. Meminimalkan gerakan daerah luka. Jangan
menggerakkan ataumemindahkan korban sampai
daerah yang patah tulang distabilkan kecuali jika
keadaan mendesak (korban berada pada lokasi yang
berbahaya, bagi korban dan atau penolong
g. Sebaiknya guntinglah bagian pakaian di sekitar area
fraktur. Jika diperlukan, kainnya dapat
dimanfaatkan untuk proses pembidaian.
h. Jika ada luka terbuka maka tangani dulu luka dan
perdarahan.
i. Bersihkanluka dengan cairan antiseptik dan tekan
perdarahan dengan kasa steril.Jika luka tersebut
mendekati lokasi fraktur, maka sebaiknya dianggap
bahwa telah terjadi patah tulang terbuka.
j. Balutlah luka terbuka atau fragmen tulang yang
menyembul dengan bahan yang se-steril mungkin
k. Pasang Collar Brace maupun sejenisnya yang dapat
digunakan untuk menopang leher jika dicurigai
terjadi trauma servikal
l. Tindakan meluruskan ekstremitas yang mengalami
deformitas yang berat sebaiknya hanya dilakukan
jika ditemukan adanya gangguan denyut nadiatau
sensasi raba sebelum dilakukannya pembidaian.
Proses pelurusan ini harus hati-hati agar tidak
makin memperberat cedera.
m. Periksalah sirkulasi distal dari lokasi fraktur:
n. Periksa nadi di daerah distal dari fraktur, normal,
melemah, ataukah bahkan mungkin menghilang?
o. Periksa kecepatan pengisian kapiler. Tekanlah kuku
jari pada ekstremitas yang cedera dan ekstremitas
kontralateral secara bersamaan. Lepaskan tekanan
secara bersamaan. Periksalah apakah pengembalian
warna kemerahan terjadi bersamaan ataukah terjadi
keterlambatan pada ekstremitas yang mengalami
fraktur.
p. Jika ditemukan gangguan sirkulasi, maka penderita
harus langsung dibawa ke rumah sakit secepatnya.
q. Jika pada bagian ekstremitas yang cedera
mengalami edema, maka sebaiknya perhiasan yang
dipakai pada lokasi itu dilepaskan, setelah anda
menjelaskan pada penderita.
r. Pada fraktur terbuka, kecepatan penanganan
merupakan hal yang esensial.Jangan pernah
menyentuh tulang yang tampak keluar, jangan
pernah pula mencoba untuk membersihkannya.
Manipulasi terhadap fraktur terbuka tanpa sterilitas
hanya akan menambah masalah.
3.3.9. Persiapan alat
3.3.9.1.Bidai dapat menggunakan alat bidai standar telah
dipersiapkan, namunjuga bisa dibuat sendiri dari
berbagai bahan sederhana, misalnya ranting pohon,
papan kayu, dll. Panjang bidai harus melebihi panjang
tulang dan sendi yang akan dibidai.
3.3.9.2.Bidai yang terbuat dari benda keras (kayu,dll)
sebaiknya dibungkus/dibalut terlebih dahulu dengan
bahan yang lebih lembut (kain, kassa, dll)
3.3.9.3.Bahan yang digunakan sebagai pembalut pengikat
untuk pembidaianbisa berasal dari pakaian atau bahan
lainnya. Bahan yang digunakan untuk membalut ini
harus bisa membalut dengan sempurna mengelilingi
extremitas yang dibidai untuk mengamankan bidai yang
digunakan, namun tidak boleh terlalu ketat yang bisa
menghambat sirkulasi
3.3.9.4.Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah.
Sebelum dipasang, diukur dahulu pada sendi yang
sehat.
3.3.9.5.Bidai dibalut dengan pembalut sebelum digunakan.
Memakai bantalan di antara bagian yang patah agar
tidak terjadi kerusakan jaringan kulit, pembuluh darah,
atau penekanan syaraf, terutama pada bagian tubuh
yang ada tonjolan tulang.
3.3.9.6.Mengikat bidai dengan pengikat kain (dapat kain, baju,
kopel, dll) dimulai dari sebelahatas dan bawah fraktur.
Tiap ikatan tidak boleh menyilang tepat di atas bagian
fraktur.
3.3.9.7.Simpul ikatan jatuh pada permukaan bidainya, tidak
pada permukaan anggota tubuh yang dibidai.
3.3.9.8.Ikatan jangan terlalu keras atau kendor. Ikatan harus
cukup jumlahnya agar secara keseluruhan bagian tubuh
yang patah tidak bergerak
3.3.9.9.Kalau memungkinkan anggota gerak tersebut
ditinggikan setelah dibidai.
3.3.9.10. Sepatu, gelang, jam tangan dan alat pengikat
perlu dilepas.
BAB VI
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran
satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi.
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.

3.2 Saran
Semoga apa yang kami sajikan dalam makalah ini terkait dengan penyakit
tentang kasus yang kami buat ini dapat menjadi sebuah pelajaran untuk
mahasiswa maupun pembaca.
Daftar Pustaka

Arif Muttaqin. 2016. pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sitem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Brunner & Suddarth, 2012, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume
3, EGC, Jakarta
Haryani dan Siswandi, 2014, Nursing Diagnosis: A Guide To Planning Care,
available on:www.Us.Elsevierhealth.com
Japardi, Iskandar dr.Cervical Injury. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas
Sumatera Utara
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1957/1/bedah-
iskandar%20japardi7.pdf
Jong, W, 2017, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC Jakarta

Anda mungkin juga menyukai