Anda di halaman 1dari 29

“KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN FRAKTUR PANGGUL (HIP FRACTURE)”

DOSEN PEMBIMBING:

Ns. Farida Juanita, S.Kep., M.Kep

KELAS : 6 B KEPERAWATAN
Nama Kelompok 3 :
1. Auliya Putri Febriana (15.02.01.1940)
2. Charisma Tiara Sendy (15.02.01.1941)
3. Diyah Rahayu (15.02.01.1946)
4. Lana Intan Tsuroyya (15.02.01.1960)
5. Lolita Indris Y (15.02.01.1961)
6. M. Fendy Dwi S (15.02.01.1964)
7. Mufida Fauziah (15.02.01.1963)
8. Nazilatul lailiyah (15.02.01.1966)

PRODI S1- ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH LAMONGAN

2018

KATA PENGANTAR
i
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur Panggul (HIP
Fracture)” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih kepada Ns. Farida Juanita, S.Kep., M.Kep selaku Dosen pada mata
kuliah Sistem Muskuloskeletal I yang telah memberikan tugas ini kepada kami
sehingga kami banyak belajar dari sini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Fraktur Panggul (HIP Fracture). Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat
di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa kritik dan
saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

Lamongan, 01 April 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 2
1.3 Tujuan .............................................................................................................. 2
1.4 Manfaat............................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi tulang HIP......................................................................................... 3
2.2 Faktor Risiko ................................................................................................... 5
2.3 Manifestasi Klinis............................................................................................. 6
2.4 Klasifikasi ..................................................................................................... 7
2.5 Patofisiologi ..................................................................................................... 9
2.6 Terapi operatif................................................................................................ 10
2.7 Pathway ................................................................................................... 13
2.8 Pemeriksaan Diagnostik................................................................................. 14
2.9 Proses Penyembuhan Fraktur......................................................................... 15
2.10 Pemeliharaan Rehabilitasi Pasca Operasi....................................................... 15
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian...................................................................................................... 17
3.2 Diagnosa Keperawatan .................................................................................. 21
3.3 Intervensi ...................................................................................................... 22
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.................................................................................................. 25
4.2 Saran............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA. .............................................................................................. 26

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh
kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004).
Menurut data RISKESDAS 2013, Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh (40,9%) dan
kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda
tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Sedangkan
untuk penyebab yang belum disebutkan proporsinya sangat kecil. Proporsi jenis cedera
berupa patah tulang di Indonesia sebesar 5,8%.
Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai suatu tekanan
yang lebih besar daripada yang diabsorpsinya. Fraktur pada tulang menyebabkan edema
jaringan lemak, persarafan ke otot dan sendi terganggu, dislokasi sendi, ruptur tendo,
kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Selain itu, fraktur juga dapat
menimbulkan berbagai komplikasi, yaitu diantaranya kerusakan jaringan, komplikasi
yang ditimbulkan akibat tirah baring lama, anestesi dan operasi serta komplikasi khas
pada fraktur seperti kekakuan sendi dan avascular necrosis (Smeltzer, 2002).
Fraktur hip adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan
fraktur tulang paha pada daerah proksimal femur yang meliputi kepala sendi, leher, dan
daerah trokhanter.Penyebab utama dari fraktur tulang pinggul ini adalah osteoporosis.
Fraktur tulang pinggul adalah fraktur yang memberikan masalah di bidang mobilitas,
mortalitas, beban ekonomi dan kualitas hidup. Fraktur hip pada orang tua dengan usia
diatas 60 tahun adalah hasil dari trauma energi yang rendah dan sering dikaitkan dengan
osteoporosis atau rendahnya massa tulang (densitas tulang) dan kondisi medis yang
terkait lainnya dapat meningkatkan prevalensi jatuh. Beberapa faktor yang diprediksi
menyebabkan tingginya insiden fraktur around hip (femur proksimal) adalah
osteoporosis, malnutrisi, penurunan aktivitas fisik dan keseimbangan serta reflek,
gangguan atau penurunan visus, gangguan neurologis, pecandu alkohol atau kopi,
konsumsi obat psikotropika, merokok dan kelemahan otot (Reksoprodjo, 2009).

1
Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali),
reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi. Agar
penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada jaringan
lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga harus diketahui, apakah akibat
trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak langsung.
Berdasarkan uraian diatas penting sebagai tenaga kesehatan termasuk perawat
untuk mengetahui bagaimana penanggulangan fraktur panggul (hip) sehingga akibat
dari fraktur akibat fraktur dapat diminimalkan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.2.1 Bagaimana konsep teori dari fraktur panggul (hip)?
1.2.2 Bagaimana askes untuk fraktur panggul (hip)?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah sistem musculoskeletal.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui konsep teori dari fraktur panggul (hip)
2. Untuk mengetahui askes untuk fraktur panggul (hip)

1.4 MANFAAT
1.4.1 Bagi mahasiswa
Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai fraktur
panggul (hip) sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan yang sesuai
dengan kebutuhan pasien dan hasil yang diharapkan
1.4.2 Bagi pendidikan
Diharapkan dapat mengetahui kemampuan mahasiswa dalam membuatan
makalah khususnya mengenai fraktur panggul (hip)
1.4.3 Bagi kesehatan
Diharapkan dapat menjadi sebuah refensi dalam pengobatan fraktur panggul
(hip)

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 ANATOMI TULANG HIP (FEMUR PROKSIMAL)


Anatomi osteologi tulang femur proksimal terdiri dari caput femur, collum femur,
regio trokhanter dan subtrokhanter. Pada regio trokhanter, terdapat tiga bagian: Greater
trokhanter, Linea intertrokhanter dan Lesser trokhanter. Tulang hip (pinggul) tergolong
tulang yang besar, pipih dan berbentuk irreguler. Pinggul adalah gabungan bola dan
socket sendi yang memenuhi empat karakteristik: memiliki rongga sendi; permukaan
sendi ditutupi dengan kartilago artikular; memiliki membran sinovial yang
memproduksi cairan sinovial, dan; dikelilingi oleh kapsul ligamen. Hip adalah tulang
sendi yang berongga dan berbentuk bola yang memungkinkan kaki bagian atas dapat
bergerak dari depan ke belakang dan ke samping. Hip merupakan tulang sendi yang
memikul beban paling besar di tubuh. Oleh karena itu dikelilingi oleh ligamen dan otot
yang kuat. Pada sendi coxae (hip joint) terjadi artikulasi antara caput femur dengan
acetabulum dari tulang coxae. Cup-shaped acetabulum dibentuk oleh tulang hip
(innominate) dengan kontribusi dari ilium (40%), ischium (40%) dan pubis (20%). Pada
tulang yang imatur (usia muda), Ketiga tulang ini dipisahkan oleh kartilago triradiate
(kurang lebih pada usia 14-16 tahun), namun pada usia dewasa ketiga tulang ini akan
menyatu (Appley & Solomon, 2010).

Gambar 2.1. Anatomi Tulang Hip (Femur Proksimal): perlekatan tulang hip pada
ilium, ischium dan pubis (a), ball dan socket hip (b), hip joint (c).

3
Seluruh caput femur ditutupi oleh kartilago artikularis kecuali pada tempat dimana
ada perlekatan ligamentum capitis femoris (fovea capitis femoris). Kartilago artikularis
ini paling tebal pada daerah dimana mendapat tekanan berat badan paling besar. Pada
acetabulum, kartilago paling tebal ada pada anterosuperior, sedangkan pada caput femur
kartilago yang paling tebal ada pada anterolateral. Caput femur menghadap
anterosuperomedial, pada permukaan posteroinferiornya terdapat fovea. Permukaan
anterior caput femur dibatasi anteromedial terhadap arteri femoralis oleh tendo dari otot
Psoas mayor, Bursa psoas dan Kapsula artikularis. Caput femur memiliki diameter yang
berkisar antara 40 sampai 60 mm dan ditutupi oleh kartilago artikularis dengan
ketebalan 4 mm pada bagian superior serta 3 mm di bagian perifer (Paulsen F, 2013).
Collum femur merupakan regio antara dasar caput femur dan linea intertrokhanter
pada bagian anterior serta kepala (crista) intertrokhanter pada bagian posterior. Collum
femur menghubungkan caput terhadap corpus femur dengan sudut inklinisi (Neck Shaft
Angle) kurang lebih 125°, hal ini memfasilitasi pergerakan pada sendi coxae dimana
tungkai dapat mengayun secara bebas terhadap pelvis (Paulsen F, 2013).
Sudut inklinisi berperan dalam menentukan efektivitas abduksi sendi coxae,
panjang tungkai dan gaya yang mengenai sendi coxae. Sudut inklinisi >125° disebut
sebagai coxa valga. Peningkatan ini menyebabkan tungkai lebih panjang, menurunkan
efektivitas otot abduktor, meningkatkan beban pada caput femur dan menurunkan beban
collum femur. Sedangkan sudut inklinisi <120° disebut coxa vara, dimana hal ini
menyebabkan tungkai memendek, meningkatkan efektivitas abduktor, menurunkan
beban pada caput femur namun meningkatkan beban pada collum femur (Paulsen F,
2013)
Collum femur berada pada posisi rotasi lateral terhadap corpus femur. Perlekatan
collum terhadap corpus femur pada aspek anterior ditandai oleh linea intertrochanterica
sedangkan pada aspek posterior oleh crista intertrochanterica. Terdapat banyak foramina
vascular pada collum femur terutama pada aspek anterior dan posterosuperior (Appley
& Solomon, 2010).
Regio intertrokhanter pada hip terdiri atas greater trokhanter dan lesser trokhanter.
Regio ini merupakan zona transisi dari collum femur menuju ke corpus femur. Greater
dan lesser trokhanter merupakan tempat melekatnya otot mayor dari regio gluteal yaitu

4
diantaranya gluteus medius, gluteus minimus dan iliopsoas. Pada bagian inferior lesser
trokhanter yaitu sepanjang 5 cm ke arah distal terdapat regio subtrokhanter yang
merupakan area dengan konsentrasi tekanan yang tinggi (Paulsen F, 2013)
Sistem vaskularisasi regio femur proksimal berasal dari pembuluh darah cabang
dari vasa femoralis profunda dan vasa femoralis yang berasal dari vasa iliaka eksterna.
Sistem syaraf bagian femur proksimal berasal dari percabangan pleksus lumbalis dan
sakralis (Paulsen F, 2013)

2.2 FAKTOR RISIKO


Risiko terjadinya fraktur tulang pinggul yaitu diantaranya usia, osteoporosis,
wanita berkulit putih, riwayat kehamilan yang menyebabkan fraktur tulang pinggul,
konsumsi alkohol dan kafein yang berlebihan, kurangnya aktivitas fisik, berat badan
rendah, tinggi badan yang melebihi rata-rata normal, fraktur tulang pinggul sebelumnya,
penggunaan obat-obatan psikotropika, lingkungan tempat tinggal, melemahnya
penglihatan dan demensia (Smeltzer, 2002).
Thomas (2010) mengelompokkan faktor risiko fraktur hip menjadi dua faktor,
antara lain:
2.2.1 Faktor Biomekanik
1. Jatuh
Terdapat hubungan yang kuat antara mediator yang berkaitan dengan insiden
jatuh dan luka fraktur hip yaitu diantaranya gangguan keseimbangan,
gangguan neuromuskular dan muskuloskletal, tipe jatuh, kecepatan dan berat
ringannya insiden jatuh, penurunan kekuatan yang berkaitan dengan usia,
gangguan kognitif serta penyakit serius pada lansia.
2. Kurangnya aktivitas fisik
Orang lanjut usia dengan aktivitas fisik yang kurang memiliki risiko fraktur
hip dua kali lebih besar. Karena aktivitas yang kurang dapat berdampak
negatif pada kesehatan tulang, fisiologi tulang, massa otot, status kesehatan
secara keseluruhan dan paparan vitamin D.
3. Kelemahan otot
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa kelemahan otot berhubungan dengan
respon refleks yang lebih lambat dan dapat secara signifikan meningkatkan

5
risiko jatuh. Kelemahan otot dapat meningkatkan risiko menderita fraktur
hip, dikarenakan dampak negatif jangka panjang pada densitas tulangnya dan
kapasitas muscle shock absorbing.
4. Antropometri tubuh
Wanita yang berusia tua dengan tubuh yang lebih kecil lebih berisiko
mengalami fraktur hip, dikarenakan densitas mineral tulangnya yang lebih
rendah.
5. Struktur tulang
Densitas mineral tulang secara signifikan berhubungan dengan mobilitas
fungsional dan massa tubuh yang rendah. Densitas mineral tulang dan massa
tulang yang rendah berkontribusi dalam risiko terjadinya fraktur hip.
2.2.2 Klinis
1. Kondisi penyakit kronis
Banyak penyakit kronis yang berkaitan dengan usia seperti arthritis, penyakit
Parkinson, penyakit Alzheimer serta penyakit neurologis (misalnya stroke
dan neuropati diabetik) dapat meningkatkan risiko jatuh dan oleh karenanya
memungkinkan terjadinya fraktur hip.
2. Gangguan kognitif
Adanya gangguan kognitif dapat berpengaruh pada keefektifan strategi
rehabilitasi pasca operasi fraktur hip.
3. Gangguan penglihatan
Gangguan penglihatan merupakan faktor risiko independen pada fraktur hip.
Adanya gangguan penglihatan akan meningkatkan risiko terjadinya jatuh.

2.3 MANIFESTASI KLINIS


Menurut Helmi (2012) Secara spesifik, gejala klinis yang dapat ditimbulkan pada
fraktur hip yaitu:
2.3.1 Fraktur Collum Femur
Penderita tak dapat berdiri karena rasa sakit sekali pada panggul. Posisi panggul
dalam keadaan fleksi dan eksorotasi. Didapatkan juga adanya perpendekan dari tungkai
yang cedera. Paha dalam posisi abduksi dan fleksi serta eksorotasi. Pada palpasi sering
ditemukan adanya haematoma di panggul. Pada tipe impacted, biasanya penderita masih

6
dapat berjalan disertai rasa sakit yang tak begitu hebat. Posisi tungkai masih tetap dalam
posisi netral
2.3.2 Fraktur Intertrokhanter Femur
Pada umumnya penderita fraktur intertrokhanter mempunyai gejala klinis yang
bervariasi sesuai dengan tipe, derajat keparahan dan etiologinya. Pada fraktur
intertrokhanter dengan deformitas mempunyai gejala klinis yang jelas, yaitu nyeri di
regio sendi paha, pemendekan dan rotasi eksternal ekstremitas bawah yang terlibat tidak
mampu berdiri dan berjalan, sedangkan pada fraktur yang tanpa deformitas penderita
kemungkinan masih dapat berjalan meskipun nyeri di regio sendi panggul

2.4 KLASIFIKASI
Menurut Reksoprodjo (2009), fraktur hip diklasifikasikan menjadi dua kelompok
utama yaitu fraktur collum femur (intrakapsular) dan fraktur intertrokhanter
(ekstrakapsular) berdasarkan lokasi garis fraktur pada proksimal femur.
2.4.1 Fraktur Collum Femur
Fraktur collum femur didefinisikan sebagai fraktur proksimal dimana garis fraktur
berada lebih proksimal dari basis collum femur dan distal dari caput femur. Mayoritas
fraktur ini terjadi pada usia tua. Penyebabnya yang paling sering adalah karena jatuh
akibat gaya yang ditransmisikan ke collum melaui trokhanter femur. Lokasi yang paling
sering mangalami fraktur adalah bagian yang paling lemah yaitu tepat dibawah
permukaan sendi (articular surface). Fraktur ini dapat disebabkan oleh :
1) Trauma langsung (direct)
Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokanter mayor
langsung terbentur dengan benda keras.
2) Trauma tak langsung (indirect)
Disebabkan gerakan eksorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Karena kepala
femur terikat kuat dengan ligamen di dalam asetabulum oleh ligamen iliofemoral
dan kapsul sendi, mengakibatkan fraktur di daerah collum femur.
Pada umumnya pembagian klasifikasi fraktur collum femur berdasarkan dislokasi
atau tidaknya fragmen dibagi menurut Garden: (1) Garden I: incomplete (impacted), (2)
Garden II: fraktur collum femur tanpa dislokasi, (3) Garden III: fraktur collum femur

7
dengan sebagian dislokasi, (4) Garden IV: fraktur collum femur dan dislokasi total
(Reksoprodjo, 2009).

Gambar 2.2. Klasifikasi Fraktur Collum Femur menurut Garden

2.4.2 Fraktur Intertrokhanter Femur


Fraktur Intertrokhanter Femur merupakan fraktur antara trokhanter mayor dan
trokhanter minor femur. Banyak terjadi pada orang tua terutama pada wanita (di atas
usia 60 tahun). Biasanya traumanya ringan, jatuh kepleset atau daerah pangkal paha
terbentur lantai. Hal ini dapat terjadi karena pada wanita tua, tulang sudah mengalami
osteoporosis post menopause. Pada orang dewasa dapat terjadi fraktur ini disebabkan
oleh trauma dengan kecepatan tinggi (misalnya tabrakan motor) .
Menurut klasifikasi OTA (Orthopaedic Trauma Association), fraktur
intertrokhanter termasuk dalam grup 31A (3: femur, 1: segmen proksimal, tipe: A1, A2,
A3) (Anwar et al., 2007; Mostofi, 2006; Bucholz dan Heckman, 2006; Partanen, 2003) :
1) Grup A1 mempunyai tipe fraktur simpel atau hanya 2 fragmen utama fraktur,
dengan karakteristik garis frakturnya dari trokhanter mayor ke kortek medial dan
kortek lateral trokhanter mayor masih tetap utuh.
2) Grup A2 mempunyai tipe fraktur kominutif di kortek posteromedial, namun kortek
lateral trokhanter mayor intak. Tipe fraktur ini umumnya tidak stabil dan tergantung
pada besar fragmen kortek medial.
3) Grup A3 mempunyai garis fraktur yang meluas dari kortek lateral hingga medial,
termasuk dalam grup ini adalah tipe reverse oblique.

8
Gambar 2.3. Fraktur Intertrokhanter menurut klasifikasi OTA

2.5 PATOFISIOLOGI
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis baik yang bersifat total maupun parsial. Patah tulang pinggul adalah patahnya
tulang pada kuartal atas dari femur (tulang paha). Hip adalah gabungan bola dan sendi.
Hal inilah yang memungkinkan kaki bagian atas bisa menekuk dan memutar di pinggul
(Rasjad, 2012).
Cedera adalah penyebab yang jelas pada patah tulang pinggul. Dalam populasi
lanjut usia, cedera merupakan hasil dari hilangnya keseimbangan dan insiden jatuh.
Osteoporosis adalah suatu penyakit dimana tulang menjadi rapuh dan memiliki
kemungkinan untuk terjadinya patah tulang, ini bisa melemahkan leher femur ke titik
bahwa setiap peningkatan tekanan dapat menyebabkan leher femur untuk mengalami
patah tulang secara tiba-tiba, yang juga dapat disebabkan oleh lutut dan sendi pinggul
yang menempatkan terlalu banyak tekanan di leher femur. Beberapa penyebab
osteoporosis mungkin berhubungan dengan penuaan, nutrisi / lifestyle, obat atau
penyakit lainnya (Rasjad, 2012).
Penurunan kekuatan/densitas tulang dan koordinasi neuromuskular
meningkatkan risiko fraktur osteoporosis, dan fraktur femur proksimal merupakan

9
fraktur yang paling serius yang ditimbulkan akibat osteoporosis. Fraktur hip
osteoporosis berhubungan dengan penurunan kekuatan tulang dan insiden jatuh. Jatuh
(simple fall) merupakan kejadian dan faktor risiko yang sangat berperan terhadap
terjadinya fraktur femur proksimal (fraktur hip) pada usia tua. Fraktur collum femur
terjadi paling sering pada wanita usia lanjut. Arah terjadinya jatuh merupakan
determinan yang penting pada kejadian fraktur hip. Saat mengalami jatuh, risiko fraktur
akan meningkat 6 kali saat jatuh ke arah samping (sideway fall) dibanding jatuh ke
depan (forward fall) atau ke belakang (backward fall). Studi lainnya menyebutkan
bahwa impaksi pada sisi lateral pelvis meningkatkan risiko fraktur sebesar 20-30 kali
lipat dibandingkan saat jatuh ke sisi lainnya, selain itu jatuh berputar/berbelok berisiko
menyebabkan fraktur lebih tinggi dibanding saat berjalan lurus. Faktor lain yang
berhubungan dengan risiko fraktur potensial energi meliputi jatuh dari ketinggian, berat
badan, ketebalan jaringan lunak pada regio trokhanter, kekuatan otot, kontrol
neuromuskular dan kemampuan respon protektif seseorang (Helmi, 2012).

2.6 TERAPI OPERATIF


2.6.1 Fraktur Collum Femur
Pada fraktur intrakapsuler terdapat perbedaan pada daerah collum femur
dibanding fraktur tulang di tempat lain. Pada collum femur, periosteumnya sangat tipis
sehingga daya osteogenesisnya sangat kecil, sehingga seluruh penyambungan fraktur
collum femur boleh dikatakan tergantung pada pembentukan kalus endosteal. Lagi pula
aliran pembuluh darah yang melewati collum femur pada fraktur collum femur terjadi
kerusakan. Lebih lagi terjadinya hemartrosis akan menyebabkan aliran darah di sekitar
fraktur tertekan alirannya. Maka akan berdampak pada terjadinya avaskular nekrosis.
Penatalaksanaan pada fraktur collum femur berdasarkan beberapa pertimbangan,
antara lain bergeser atau tidak, umur pasien, status kognitif, kebutuhan fungsional dan
ada tidaknya komorbid medis lainnya.
1) Fraktur Tidak Bergeser (Non-displaced)
Pada fraktur non-displaced diterapi dengan fiksasi screw cannulated dengan tidak
memperhatikan usia pasien atau pertimbangan lainnya. Digunakan tiga screw untuk
fiksasi collum femur. Terapi non-operatif juga dapat menjadi pilihan, namun
terdapat risiko pergeseran (Bucholz et al., 2010).

10
Gambar 2.4 Fiksasi crew cannulated pada collum femur non-displaced

2) Fraktur Bergeser (Displaced)


a. Fraktur Collum Femur Displaced pada Usia Tua dengan Kondisi Fisik Baik
Pilihan utama manajemen pada pasien tipe ini adalah Total Hip Arthroplasty,
dimana manajemen ini menunjukkan hasil fungsional yang lebih baik. Pasca
operasi, pasien dapat berjalan sesuai dengan toleransi nyeri, follow up
dilakukan pada minggu ke-6, 3 bulan, 6 bulan dan 1 tahun pasca operasi.

Gambar 2.5 Total Hip Arthoplasty pada collum femur displaced

b. Fraktur Collum Femur Displaced pada Usia Tua dengan Limitasi Mobilitas

11
Mayoritas pasien adalah wanita, dengan prevalensi faktor komorbid mencapai
70% dan sekitar 25-30% pasien memiliki gangguan kognitif. Manajemen
pilihan pada pasien ini adalah Bipolar Hemiarthroplasty. Implant Bipolar
modern dengan sistem modular memberi keuntungan berupa koreksi panjang
kaki dan kerusakan jaringan lunak yang lebih minimal saat operasi (Bucholz et
al., 2010).

Gambar 2.6 Bipolar Hemiarthroplasty pada collum femur displaced

2.6.2 Fraktur Intertrokhanter


Femur Ketika telah diambil keputusan operasi, maka operasi harus segera
dilakukan, terutama dalam 24-48 jam awal. Hal ini akan menurunkan lamanya hospital
stay dan angka komplikasi. Pemilihan implan dapat berupa plate dan screw, nail,
eksternal fiksator dan arthroplasty. Klasifikasi AO/OTA merupakan penentu awal, pada
tipe 31A1 dapat dilakukan fiksasi dengan berbagai implan yang ada asalkan pasien
memiliki stok tulang yang cukup. Alat yang paling banyak dipilih adalah Dynamic Hip
Screw (DHS). Pada tipe 31A2 dan tipe 31A3 memerlukan teknik fiksasi yang lebih
stabil. Pada tipe 31A2 dipilih implan tipe Nail (Proximal Femur Nail/PFN). Pada tipe
31A3 dapat dipilih PFN atau locking plate.

12
Gambar 2.7 Dynamic hip screw (DHS) pada fraktur intertrokhanter

13
2.7 PATHWAY

Kondisi patologis, osteoporosis Trauma


Langsng/ tidak angsung
Penurunan absorbsi calcium

Rentan fraktur Perdarahan Kekurangan volume cairan


FRAKTUR HIP

Tindakan bedah

Pre Op Post Op

Cidera sel Luka insisi/ tebuka


Perubahan status kesehatan

Kurangnya pengetahuan Pelepasan mediator Terapi Port de’entri


kimia restrictif kuman

Ansietas nosireceptor
Gg. Mobilitas Resiko infeksi
Medula spinalis fisik

Korteks serebri

Persepsi nyeri

Nyeri Akut
14
2.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes pencitraan
a. Sinar X-ray
Sinar X sangat efektif dalam mendeteksi masalah pada tulang tulang dan
merupakan prosedur paling umum yang digunakan untuk medeteksi
adanya fraktur tulang.
b. MRI (magnetic resonance imaging)
MRI dapat digunakan jika diagnosis tidak pasti. Pemindaian MRI
menghasilkan gambar yang lebih detail bagia dalam tubuh dan sangat
efektif dalam mengkonfirmasi fraktur panggul yang halus sekalipun.
2. Pemeriksaan darah lengkap
Dilakukan untuk persiapan pre operasi. Dapat menunjukkan tingkat
kehilangan darah hingga cedera (pemeriksaan Hb dan Hct), nilai leukosit
meningkat sesuai respon tubuh terhadap cedera
3. Golongan darah dan cross match
Dilakukan sebagai persiapan transfusi darah jika kehilangan darah yang
bermakna akibat cedra atau tindakan pembedahan
4. Pemeriksaan kimia darah
Sebagai persipan pre operatif untuk mengkaji ketidakseimbnagn akibat cedera
yang dapat menimbulkan masalah pada inta operasi misalnya,
ketidakseimbnagan potassium dapat meningkatkan iritasi cardiac selama
anastesi, BUN creatinin untuk evaluasi fungsi ginjal
5. Masa pembekuan dan perdarahan
Clotting time dan bleeding time sebagai persiapan pre operasi, biasanya
normal jika tidak ada perdarahan. Pada pasien lanjut usia dapat diberikan
terapi antikoagulan segera setelah post operasi untuk memperkecil terjadinya
tromboemboli.
6. EKG
Sebagai persiapan pre operasi maupun untuk mengevaluasi apakah terdapat
juga cedera pada jantung (misalnya kontusio cardiac) disamping
trauma/cedara pada hip.

15
2.9 PROSES PENYEMBUHAN FRAKTUR
Kriteria penyembuhan fraktur dibagi menjadi 2 yaitu : (1) Klinis, meliputi tidak
ada pergerakan antar fragmen, tidak ada rasa sakit, ada konduksi yaitu ada kontinuitas
tulang; (2) Radiologi meliputi terbentuknya kalus, trabekula tampak sudah
menyeberangi garis patahan (Helmi, 2012)
Menurut Rasjad (2012), proses penyembuhan fraktur merupakan proses
biologis. Tidak seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami fraktur dapat sembuh
tanpa jaringan parut. Proses penyembuhan pada fraktur mulai terjadi segera setelah
tulang mengalami kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai
terjadi konsolidasi. Faktor mekanis yang penting seperti imobilisasi fragmen tulang
secara fisik sangat penting dalam penyembuhan fraktur.
Menurut Rasjad (2012) waktu penyembuhan fraktur bervariasi secara individual
dan berhubungan dengan beberapa faktor penting pada penderita, antara lain:
a. Umur penderita
b. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur
c. Pergeseran awal fraktur
d. Vaskularisasi pada kedua fragmen
e. Reduksi serta imobilisasi
f. Ruangan di antara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak
g. Adanya infeksi
h. Cairan sinovial
i. Gerakan aktif dan pasif anggota gerak

2.10 PEMELIHARAAN REHABILITASI PASCA OPERASI


Saat melakukan pemeliharaan pasca operasi dalam proses rehabiltasi, ada
beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Pemberian bantalan berat
Pemberian bantalan berat ditentukan oleh dokter bedah. Dalam pemberian
bantalan ini bergantung pada stabilitas fraktur, jenis tulang dan jenis metode fiksasi.

16
Penggunaan bantalan berat dengan media semen memungkinkan untuk
dilakukan. Tetapi berisiko terjadinta intraoperatif lemak emboli dan hipotensi karena
disuntikkan dibagian bawah dan dapat menekan area tersebut.

2. Rehabilitasi fisik (mobilitas dini)


a. Penanganan untuk tulang panggul total
Penangaanan untuk tulang panggul total dilakukan dengan memperhatikan hal –
hal berikut:
- Tidak ada aduksi massa, dapat menggunakan bantal adduksi saat pasien
berbaring
- Tidak ada fleksi hip melebihi 90 derajat
- Tidak ada rotasi internal (jari kaki tegak ditempat tidur)
b. Okupasi rehabilitasi
Mungkin diperlukan terapi okupasi untuk membantu dalam melakukan aktivitas
fisik sehari – hari sat mengikuti tindakan pencegahan pinggul.
3. Progam terapi fisik
Pragam terapi fisik akan dimulai setelah pasien menjalani operasi. Treatment
akan diberikan 2 kali sehari selama 15 – 30 menit. Terapi akan dimulai dari tempat
tidur kemudian akan berlanjut dalam terapi gym pada hari kedua setelah operasi.
Sebaiknya pasien diberikan analgesik untuk meredahkan nyerinya sebelum
dilakukan terapi fisik atau kegiatan yang dapat menyebabkan rasa nyeri, seperti
berjalan atau bangun dari tempat tidur.
Jika terjadi pembengkakan, dapat diatasi dengan alas kaki yang ukurannya
setengah lebih besar dari ukuran kaki pasien . hal ini dilakukan untuk memberi rasa
nyaman dan aman saat berjalan.

17
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 KONSEP PENGKAJIAN


2.1.1 Identitas Pasien
1. Umur : lebig sering pada lanjut usia karena meningkatnya resiko cidera
akibat terjadinya perubahan fisik
2. Jenis kelamin : lebih sering pada wanita dari pada laki – laki karena
perbedaan tulang panggul dan hormon post menopause

2.1.2 Riwayat Kesehatan


1. Keluhan utama :
Keluhan utama berupa rasa nyeri panggul dan tidak bisa berdiri.
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur. Cara
berjalan Dan gejala lain yang menyertai keluhan utama, biasanya nyeri
disertai perubahan bentuk/posisi, adanya luka yang terbuka, perdarahan,
hematoma, edema, dan tidak pasien tidak mampu berdiri dab berjalan.
3. Riwayat kesehatan dahulu :
Kaji kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama
tulang tersebut akan menyambung. Seperti riwayat fraktur sebelumya,
diabetes militus, osteoporosis, penyakit paget’s dan kanker tulang
4. Riwayat kesehatan keluarga :
Kaji apakah keluarga memiliki riwayat yang sama.

2.1.3 Pola Kesehatan Fungsional


1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
2. Pola nutrisi dan metabolic
Kaji pola nutrisi pasien, pasien dengan obesitas dapat menghambat
degenerasi dan mobilitas. Pasien juga dianjurkan mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
3. Pola eliminasi
18
kaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya, warna,
bau, dan jumlah. Pasien dapat mengalami konstipasi akibat tirah baring yang
lama.
4. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas dan latihan akan terganggu bahkan kebutuhan pasienpun perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Pada fraktur femur pangkal proximal kadang
masih dapat berjalan tetapi tidak dapat menahan beban. Pada fraktur batang
femur biasanya tidak kuat berdiri/menahan beban. Selain itu terjadi peruban
gaya berjalan akibat perubahan bentuk atau pemendekan pada tungkai yang
terkena.
5. Pola istirahat dan tidur
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.
6. Pola persepsi sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur
dantimbul rasa nyeri akibat fraktur
7. Pola hubungan dengan orang lain
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap
8. Pola reproduksi dan seksual
Pasien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialaminya
9. Persepsi diri dan konsep diri
Timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah.

10. Pola mekanisme koping


Mekanisme pertahanan diri yang biasa digunakan oleh pasien adalah dengan
meminta pertolongan orang lain.
11. Pola nilai dan kepercayaan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien
2.1.4 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : lemas
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda – Tanda Vital

19
⁻ Tekanan Darah : menurun (normal : 110-130/70-80 mmhg)
⁻ Nadi : meningkat (normal : 60-100x/m)
⁻ Pernapasan : meningkat (normal 16-24 x/m)
⁻ Suhu : meningkat (normal : 36-37 ºC)
4. Pemeriksaan kepala
 Kepala
simetris, kulit kepala bersih, tidak terdapat benjolan abnormal, rambut
hitam lurus.
 Mata
Dapat ditemukan ganggu penglihatan khususnya pada lansia yang
mengalami jatuh dan menjadi penyebab fraktur. Konjuntiva tampak
anemis bila terjadi banyak perdarahan.
 Hidung
Hidung bersih, tidak ada septum deviasi, tidak ada sekret ataupun polip,
tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
 Mulut
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat..
 Telinga
Kemampuan pendengaran normal, tidak ada nyeri dan secret.
 Leher dan tenggorok
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
5. Dada dan thorak
a. Jantung
⁻ Inspeksi : tidak tampak iktus kordis
⁻ Palpasi : nadi meningkat, iktus kordis teraba
⁻ Perkusi : tentukan batas jantung. Suara jantung pekak
⁻ Auskultasi : suara s1 dan s2 tunggal, tidak ada mur- mur
b. Paru – paru
⁻ Inspeksi : bergerakan dada simetris, tidak ada tarikan intercosta
⁻ Palpasi : vokal femoris teraba, simetris kiri dan kanan.tidak ada
krepitasi
⁻ Perkusi : tidak ada nyeri tekan. Suara ketok sonor
⁻ Auskultasi : nafas vesikuler, tidak ada suara tambahan yang
abdnormal
6. Abdomen
20
⁻ Inspeksi : bentuk datar, simetris.
⁻ Auskultasi : bising usus normal
⁻ Palpasi : nyeri tekan pada kuadran bawah efek nyeri pada panggul
⁻ Perkusi : suara timpani
7. Genital
Kebersihan daerah genital, bila terpasang kateter kaji kebersihan kateter dan
adanya tanda infeksi pada area pemasangan kateter.
8. Ekstremitas
Kaji keadaan lokal pada panggil (hip), keadaan proksimal serta bagian
distal
a. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
- Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
- Fistulae.
- Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
- Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
- Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
b. Feel (palpasi)
- Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time
- Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
- Nyeri tekan (tenderness), krepitasi
9. Kulit
Pada daerah fraktur terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


Pre operasi
1. Nyeri akut b.d agen cidera fisik (diskontinuitas tulang)
2. Kekurangan volume cairan b.d output yang berlebih (perdarahan)
3. Ansietas b.d kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan proses
penyembuhan

Post operasi
1. Nyeri akut b.d kerusakan neuromuskular, cedera jaringan lunak
2. Gangguan imobilisasi fisik b.d prosedur bedah, terapi imobilisasi
21
3. Resiko tinggi infeksi b,d port d entree luka

2.3 INTERVENSI
Pre Operasi

NO.
NOC NIC
Dx
Setelah dilakukan tindakan Paint management
1
keperawatan selama 1x24 jam, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
nyeri berkurang dengan kriteria komprehensif
hasil 2. Monitot TTV
Pain level 3. Monitor gerakan / tanda – tanda non
- Melaporkan nyeri berkurang verbal dari nyeri
- Menunjukkan ekspresi wajah/ 4. Gali bersama pasien faktor-faktor yang
postur tubuh rileks dapat menurunkan atau memperberat
- Menunjukkan teknik relaksasi nyeri
yang efektif 5. Ajarkan mengunakan tehnik
- Tanda – tanda vital dalam nonfarmakologi misalnya : diktraksi
rentang normal dan relaksasi.
6. kolaborasi pemberian analgesik
2 Setelah dilakukan tindakan Fluid management
keperawatan selama 1x24 jam, 1. Monitor status hidrasi (misalnya turgor
menunjukkan perbaikan kulit buruk, nadi lemah, sangat haus,
keseimbangan cairan dengan membran mukosa kering, dan
kriteria hasil: penurunan urine output)
Fluid balance 2. Monitor hasil lab (mis. Hematokrit)
- tekanan darah, nadi, suhu 3. Monitor tanda – tanda vital
tubuh dalam batas normal 4. Jaga intake/ asupan yang akurat dan
- Turgor kulit membaik catat output
- Membran mukosa lembab 5. Kolaborasi resusitasi/ pemberian cairan
- Pengisian kapiler nadi perifer IV dengan tepat
kuat
- Hb normal, tidak ada anemis

22
2. Setelah dilakukan tindakan Anxienty reduction
keperawatan selama 1x24 jam, 1. Gunakan pendekatan yang
ansietas dapat teratasi dengan menenangkan
kriteria hasil: 2. Nyatakan dengan jelas harapan
Anxiety self- control terhadap perilaku pasien
- Klien mampu 3. Jelaskan semua prosedur atau tindakan
mengungkapkan yang kan dilakukan
kecemasannya 4. Dorong pasien untuk mengungkapkn
- Menunjukkan teknik untuk perasaannya, ketakutan dan persepsi
mengontrol cemas 5. Instruksikan pasien menggunakan
- Tanda vital dalam batas teknik relaksasi
normal 6. Observasi tanda – tanda vital

Post Operasi

NO.
NOC NIC
Dx
Setelah dilakukan tindakan Paint management
1
keperawatan selama 3x24 jam, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
nyeri berkurang dengan kriteria komprehensif
hasil 2. Monitot TTV
Pain level 3. Monitor gerakan / tanda – tanda non
- Melaporkan nyeri berkurang verbal dari nyeri
- Menunjukkan ekspresi wajah/ 4. Gali bersama pasien faktor-faktor yang
postur tubuh rileks dapat menurunkan atau memperberat
- Menunjukkan teknik relaksasi nyeri
yang efektif 5. Ajarkan mengunakan tehnik
- Tanda – tanda vital dalam nonfarmakologi misalnya : diktraksi
rentang normal dan relaksasi.
6. kolaborasi pemberian analgesik
2. Setelah dilakukan tindakan Exercise therapy
keperawatan selama 3x24 jam, 1. bantu latihan rentang gerak aktif pada
klien meningkatkan mobilitas ekstremitas yang sakit maupun yang

23
pada tinggat yang paling tinggi sehat sesuai keadaan klien
dengan kriteria hasil 2. bantu dan drorong perawatan diri
Joint movement: active sesuai keadaan klien
- mempertahankan posisi 3. dorong/ pertahankan asupan cairan
fungsional sesuai kebutuhan klien
- meningkatknya/ fungsi yang 4. berikan diet tinggi kalori tinggi protein
sakit 5. kolaborasi pelaksanaan fisioterapi
- menunjukkan teknis yang sesuai indikasi
memampukan melakukan
aktivitas
Setelah dilakukan asuhan selama Infection control
3
3x24 jam diharapkan tidak terjadi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
infeksi dengan kriteria hasil 2. Monitor suhu tubuh
Infection severity 3. Berikan perawatan luka dengan teknik
- luka kering dan bersih aseptik
- tidak ada pus 4. Ajarkan pasien dan keluarga cara
- tidak ada eritema mencegah timbulnya infeksi
- suhu tubuh normal 5. Anjurkan pasien untuk memenuhi
- mampu mencegah timbulnya asupan nutrisi dan cairan adekuat
infeksi 6. Ajarkan pada pasien dan keluarga
tanda – tanda infeksi

24
BAB 4
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Fraktur hip adalah terminolohi yang digunakan untuk mengambarkan fraktur
tulang femur pada daerah ujung/pangkal proksimal yang meliputi kepala sendi, leher,
dan trochanter. Fraktur ini lebih sering pada wanita dari pada laki – laki. Hal ini
mungkin dikerenakan wanita memiliki tulang panggul yang lebih lebar yang cenderung
mengalami coxa vara (deformitas dari hip dimana sudut anatar leher dan batang tulang
mengecil) selain itu wanita juga mengalami perubahan hormon post menoupouse dan
berhubungan dengan meningkatnay insiden osteoporosis.
Rehabilitasi fraktur hip ini sangat dibutuhkan untuk mempertahankan fragmen
yang telah dihubungan pada tempatnya sampai sembuh sehingga pemulihan fungsi dari
anggota dan fungsi tubuh keseluhan pasien baik secara fisik maupun psikis dapat
berjalan sebagai mana mestinya.

4.2 SARAN
4.2.1 Bagi perawat
Sebagai perawat sebaiknya mengetahui proses penyembuhan fraktur hip sehingga
dapat memberikan asuhan keperawatan secara optimal dan dapat mencegah kecacatan

4.2.2 Bagi dunia pendidikan


Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagi kelopok
mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing

4.2.3 Bagi masyarakat umum


Masyarakat diharapkan dapat \menghindari resiko – resiko terjadinya fraktur dan
mampu menentukan pemilihan pengobatan yang tepat jika terjadi fraktur.

25
DAFTAR PUSTAKA

Appley, A., & Solomon. (2010). Orthopedi Dan Fraktur Sistem Appley. Jakarta: Widya
Medika.

Bucholz, R.W., Heckman, J.D., Court-Brown, C.M., Tornetta, P. (2010). Rockwood And
Green’s Fracture In Adults: Fracture Of Neck And Intertrochanteric Femur (7th Ed).
Philadelphia: Lippincott Williams And Wilkins

Helmi, N. (2012). Buku Ajar: Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Paulsen F, J. W. (2013). Sobotta Atlas Anatoi Manusia: Anaotomi Umum Dan


Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.

Rasjad, C. (2012). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone.

Reksoprodjo. (2009). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara


Publisher.

Smeltzer, S. C. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Dan Suddarth.
Jakarta: EGC.

Thomas, A. M. (2011). Terapi & Rehabilitasi Fraktur. Jakarta: EGC.

26

Anda mungkin juga menyukai