DOSEN PEMBIMBING:
KELAS : 6 B KEPERAWATAN
Nama Kelompok 3 :
1. Auliya Putri Febriana (15.02.01.1940)
2. Charisma Tiara Sendy (15.02.01.1941)
3. Diyah Rahayu (15.02.01.1946)
4. Lana Intan Tsuroyya (15.02.01.1960)
5. Lolita Indris Y (15.02.01.1961)
6. M. Fendy Dwi S (15.02.01.1964)
7. Mufida Fauziah (15.02.01.1963)
8. Nazilatul lailiyah (15.02.01.1966)
2018
KATA PENGANTAR
i
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur Panggul (HIP
Fracture)” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih kepada Ns. Farida Juanita, S.Kep., M.Kep selaku Dosen pada mata
kuliah Sistem Muskuloskeletal I yang telah memberikan tugas ini kepada kami
sehingga kami banyak belajar dari sini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Fraktur Panggul (HIP Fracture). Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat
di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa kritik dan
saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 2
1.3 Tujuan .............................................................................................................. 2
1.4 Manfaat............................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi tulang HIP......................................................................................... 3
2.2 Faktor Risiko ................................................................................................... 5
2.3 Manifestasi Klinis............................................................................................. 6
2.4 Klasifikasi ..................................................................................................... 7
2.5 Patofisiologi ..................................................................................................... 9
2.6 Terapi operatif................................................................................................ 10
2.7 Pathway ................................................................................................... 13
2.8 Pemeriksaan Diagnostik................................................................................. 14
2.9 Proses Penyembuhan Fraktur......................................................................... 15
2.10 Pemeliharaan Rehabilitasi Pasca Operasi....................................................... 15
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian...................................................................................................... 17
3.2 Diagnosa Keperawatan .................................................................................. 21
3.3 Intervensi ...................................................................................................... 22
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.................................................................................................. 25
4.2 Saran............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA. .............................................................................................. 26
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali),
reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi. Agar
penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada jaringan
lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga harus diketahui, apakah akibat
trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak langsung.
Berdasarkan uraian diatas penting sebagai tenaga kesehatan termasuk perawat
untuk mengetahui bagaimana penanggulangan fraktur panggul (hip) sehingga akibat
dari fraktur akibat fraktur dapat diminimalkan.
1.3 TUJUAN
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah sistem musculoskeletal.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui konsep teori dari fraktur panggul (hip)
2. Untuk mengetahui askes untuk fraktur panggul (hip)
1.4 MANFAAT
1.4.1 Bagi mahasiswa
Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai fraktur
panggul (hip) sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan yang sesuai
dengan kebutuhan pasien dan hasil yang diharapkan
1.4.2 Bagi pendidikan
Diharapkan dapat mengetahui kemampuan mahasiswa dalam membuatan
makalah khususnya mengenai fraktur panggul (hip)
1.4.3 Bagi kesehatan
Diharapkan dapat menjadi sebuah refensi dalam pengobatan fraktur panggul
(hip)
2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
Gambar 2.1. Anatomi Tulang Hip (Femur Proksimal): perlekatan tulang hip pada
ilium, ischium dan pubis (a), ball dan socket hip (b), hip joint (c).
3
Seluruh caput femur ditutupi oleh kartilago artikularis kecuali pada tempat dimana
ada perlekatan ligamentum capitis femoris (fovea capitis femoris). Kartilago artikularis
ini paling tebal pada daerah dimana mendapat tekanan berat badan paling besar. Pada
acetabulum, kartilago paling tebal ada pada anterosuperior, sedangkan pada caput femur
kartilago yang paling tebal ada pada anterolateral. Caput femur menghadap
anterosuperomedial, pada permukaan posteroinferiornya terdapat fovea. Permukaan
anterior caput femur dibatasi anteromedial terhadap arteri femoralis oleh tendo dari otot
Psoas mayor, Bursa psoas dan Kapsula artikularis. Caput femur memiliki diameter yang
berkisar antara 40 sampai 60 mm dan ditutupi oleh kartilago artikularis dengan
ketebalan 4 mm pada bagian superior serta 3 mm di bagian perifer (Paulsen F, 2013).
Collum femur merupakan regio antara dasar caput femur dan linea intertrokhanter
pada bagian anterior serta kepala (crista) intertrokhanter pada bagian posterior. Collum
femur menghubungkan caput terhadap corpus femur dengan sudut inklinisi (Neck Shaft
Angle) kurang lebih 125°, hal ini memfasilitasi pergerakan pada sendi coxae dimana
tungkai dapat mengayun secara bebas terhadap pelvis (Paulsen F, 2013).
Sudut inklinisi berperan dalam menentukan efektivitas abduksi sendi coxae,
panjang tungkai dan gaya yang mengenai sendi coxae. Sudut inklinisi >125° disebut
sebagai coxa valga. Peningkatan ini menyebabkan tungkai lebih panjang, menurunkan
efektivitas otot abduktor, meningkatkan beban pada caput femur dan menurunkan beban
collum femur. Sedangkan sudut inklinisi <120° disebut coxa vara, dimana hal ini
menyebabkan tungkai memendek, meningkatkan efektivitas abduktor, menurunkan
beban pada caput femur namun meningkatkan beban pada collum femur (Paulsen F,
2013)
Collum femur berada pada posisi rotasi lateral terhadap corpus femur. Perlekatan
collum terhadap corpus femur pada aspek anterior ditandai oleh linea intertrochanterica
sedangkan pada aspek posterior oleh crista intertrochanterica. Terdapat banyak foramina
vascular pada collum femur terutama pada aspek anterior dan posterosuperior (Appley
& Solomon, 2010).
Regio intertrokhanter pada hip terdiri atas greater trokhanter dan lesser trokhanter.
Regio ini merupakan zona transisi dari collum femur menuju ke corpus femur. Greater
dan lesser trokhanter merupakan tempat melekatnya otot mayor dari regio gluteal yaitu
4
diantaranya gluteus medius, gluteus minimus dan iliopsoas. Pada bagian inferior lesser
trokhanter yaitu sepanjang 5 cm ke arah distal terdapat regio subtrokhanter yang
merupakan area dengan konsentrasi tekanan yang tinggi (Paulsen F, 2013)
Sistem vaskularisasi regio femur proksimal berasal dari pembuluh darah cabang
dari vasa femoralis profunda dan vasa femoralis yang berasal dari vasa iliaka eksterna.
Sistem syaraf bagian femur proksimal berasal dari percabangan pleksus lumbalis dan
sakralis (Paulsen F, 2013)
5
risiko jatuh. Kelemahan otot dapat meningkatkan risiko menderita fraktur
hip, dikarenakan dampak negatif jangka panjang pada densitas tulangnya dan
kapasitas muscle shock absorbing.
4. Antropometri tubuh
Wanita yang berusia tua dengan tubuh yang lebih kecil lebih berisiko
mengalami fraktur hip, dikarenakan densitas mineral tulangnya yang lebih
rendah.
5. Struktur tulang
Densitas mineral tulang secara signifikan berhubungan dengan mobilitas
fungsional dan massa tubuh yang rendah. Densitas mineral tulang dan massa
tulang yang rendah berkontribusi dalam risiko terjadinya fraktur hip.
2.2.2 Klinis
1. Kondisi penyakit kronis
Banyak penyakit kronis yang berkaitan dengan usia seperti arthritis, penyakit
Parkinson, penyakit Alzheimer serta penyakit neurologis (misalnya stroke
dan neuropati diabetik) dapat meningkatkan risiko jatuh dan oleh karenanya
memungkinkan terjadinya fraktur hip.
2. Gangguan kognitif
Adanya gangguan kognitif dapat berpengaruh pada keefektifan strategi
rehabilitasi pasca operasi fraktur hip.
3. Gangguan penglihatan
Gangguan penglihatan merupakan faktor risiko independen pada fraktur hip.
Adanya gangguan penglihatan akan meningkatkan risiko terjadinya jatuh.
6
dapat berjalan disertai rasa sakit yang tak begitu hebat. Posisi tungkai masih tetap dalam
posisi netral
2.3.2 Fraktur Intertrokhanter Femur
Pada umumnya penderita fraktur intertrokhanter mempunyai gejala klinis yang
bervariasi sesuai dengan tipe, derajat keparahan dan etiologinya. Pada fraktur
intertrokhanter dengan deformitas mempunyai gejala klinis yang jelas, yaitu nyeri di
regio sendi paha, pemendekan dan rotasi eksternal ekstremitas bawah yang terlibat tidak
mampu berdiri dan berjalan, sedangkan pada fraktur yang tanpa deformitas penderita
kemungkinan masih dapat berjalan meskipun nyeri di regio sendi panggul
2.4 KLASIFIKASI
Menurut Reksoprodjo (2009), fraktur hip diklasifikasikan menjadi dua kelompok
utama yaitu fraktur collum femur (intrakapsular) dan fraktur intertrokhanter
(ekstrakapsular) berdasarkan lokasi garis fraktur pada proksimal femur.
2.4.1 Fraktur Collum Femur
Fraktur collum femur didefinisikan sebagai fraktur proksimal dimana garis fraktur
berada lebih proksimal dari basis collum femur dan distal dari caput femur. Mayoritas
fraktur ini terjadi pada usia tua. Penyebabnya yang paling sering adalah karena jatuh
akibat gaya yang ditransmisikan ke collum melaui trokhanter femur. Lokasi yang paling
sering mangalami fraktur adalah bagian yang paling lemah yaitu tepat dibawah
permukaan sendi (articular surface). Fraktur ini dapat disebabkan oleh :
1) Trauma langsung (direct)
Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokanter mayor
langsung terbentur dengan benda keras.
2) Trauma tak langsung (indirect)
Disebabkan gerakan eksorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Karena kepala
femur terikat kuat dengan ligamen di dalam asetabulum oleh ligamen iliofemoral
dan kapsul sendi, mengakibatkan fraktur di daerah collum femur.
Pada umumnya pembagian klasifikasi fraktur collum femur berdasarkan dislokasi
atau tidaknya fragmen dibagi menurut Garden: (1) Garden I: incomplete (impacted), (2)
Garden II: fraktur collum femur tanpa dislokasi, (3) Garden III: fraktur collum femur
7
dengan sebagian dislokasi, (4) Garden IV: fraktur collum femur dan dislokasi total
(Reksoprodjo, 2009).
8
Gambar 2.3. Fraktur Intertrokhanter menurut klasifikasi OTA
2.5 PATOFISIOLOGI
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis baik yang bersifat total maupun parsial. Patah tulang pinggul adalah patahnya
tulang pada kuartal atas dari femur (tulang paha). Hip adalah gabungan bola dan sendi.
Hal inilah yang memungkinkan kaki bagian atas bisa menekuk dan memutar di pinggul
(Rasjad, 2012).
Cedera adalah penyebab yang jelas pada patah tulang pinggul. Dalam populasi
lanjut usia, cedera merupakan hasil dari hilangnya keseimbangan dan insiden jatuh.
Osteoporosis adalah suatu penyakit dimana tulang menjadi rapuh dan memiliki
kemungkinan untuk terjadinya patah tulang, ini bisa melemahkan leher femur ke titik
bahwa setiap peningkatan tekanan dapat menyebabkan leher femur untuk mengalami
patah tulang secara tiba-tiba, yang juga dapat disebabkan oleh lutut dan sendi pinggul
yang menempatkan terlalu banyak tekanan di leher femur. Beberapa penyebab
osteoporosis mungkin berhubungan dengan penuaan, nutrisi / lifestyle, obat atau
penyakit lainnya (Rasjad, 2012).
Penurunan kekuatan/densitas tulang dan koordinasi neuromuskular
meningkatkan risiko fraktur osteoporosis, dan fraktur femur proksimal merupakan
9
fraktur yang paling serius yang ditimbulkan akibat osteoporosis. Fraktur hip
osteoporosis berhubungan dengan penurunan kekuatan tulang dan insiden jatuh. Jatuh
(simple fall) merupakan kejadian dan faktor risiko yang sangat berperan terhadap
terjadinya fraktur femur proksimal (fraktur hip) pada usia tua. Fraktur collum femur
terjadi paling sering pada wanita usia lanjut. Arah terjadinya jatuh merupakan
determinan yang penting pada kejadian fraktur hip. Saat mengalami jatuh, risiko fraktur
akan meningkat 6 kali saat jatuh ke arah samping (sideway fall) dibanding jatuh ke
depan (forward fall) atau ke belakang (backward fall). Studi lainnya menyebutkan
bahwa impaksi pada sisi lateral pelvis meningkatkan risiko fraktur sebesar 20-30 kali
lipat dibandingkan saat jatuh ke sisi lainnya, selain itu jatuh berputar/berbelok berisiko
menyebabkan fraktur lebih tinggi dibanding saat berjalan lurus. Faktor lain yang
berhubungan dengan risiko fraktur potensial energi meliputi jatuh dari ketinggian, berat
badan, ketebalan jaringan lunak pada regio trokhanter, kekuatan otot, kontrol
neuromuskular dan kemampuan respon protektif seseorang (Helmi, 2012).
10
Gambar 2.4 Fiksasi crew cannulated pada collum femur non-displaced
b. Fraktur Collum Femur Displaced pada Usia Tua dengan Limitasi Mobilitas
11
Mayoritas pasien adalah wanita, dengan prevalensi faktor komorbid mencapai
70% dan sekitar 25-30% pasien memiliki gangguan kognitif. Manajemen
pilihan pada pasien ini adalah Bipolar Hemiarthroplasty. Implant Bipolar
modern dengan sistem modular memberi keuntungan berupa koreksi panjang
kaki dan kerusakan jaringan lunak yang lebih minimal saat operasi (Bucholz et
al., 2010).
12
Gambar 2.7 Dynamic hip screw (DHS) pada fraktur intertrokhanter
13
2.7 PATHWAY
Tindakan bedah
Pre Op Post Op
Ansietas nosireceptor
Gg. Mobilitas Resiko infeksi
Medula spinalis fisik
Korteks serebri
Persepsi nyeri
Nyeri Akut
14
2.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes pencitraan
a. Sinar X-ray
Sinar X sangat efektif dalam mendeteksi masalah pada tulang tulang dan
merupakan prosedur paling umum yang digunakan untuk medeteksi
adanya fraktur tulang.
b. MRI (magnetic resonance imaging)
MRI dapat digunakan jika diagnosis tidak pasti. Pemindaian MRI
menghasilkan gambar yang lebih detail bagia dalam tubuh dan sangat
efektif dalam mengkonfirmasi fraktur panggul yang halus sekalipun.
2. Pemeriksaan darah lengkap
Dilakukan untuk persiapan pre operasi. Dapat menunjukkan tingkat
kehilangan darah hingga cedera (pemeriksaan Hb dan Hct), nilai leukosit
meningkat sesuai respon tubuh terhadap cedera
3. Golongan darah dan cross match
Dilakukan sebagai persiapan transfusi darah jika kehilangan darah yang
bermakna akibat cedra atau tindakan pembedahan
4. Pemeriksaan kimia darah
Sebagai persipan pre operatif untuk mengkaji ketidakseimbnagn akibat cedera
yang dapat menimbulkan masalah pada inta operasi misalnya,
ketidakseimbnagan potassium dapat meningkatkan iritasi cardiac selama
anastesi, BUN creatinin untuk evaluasi fungsi ginjal
5. Masa pembekuan dan perdarahan
Clotting time dan bleeding time sebagai persiapan pre operasi, biasanya
normal jika tidak ada perdarahan. Pada pasien lanjut usia dapat diberikan
terapi antikoagulan segera setelah post operasi untuk memperkecil terjadinya
tromboemboli.
6. EKG
Sebagai persiapan pre operasi maupun untuk mengevaluasi apakah terdapat
juga cedera pada jantung (misalnya kontusio cardiac) disamping
trauma/cedara pada hip.
15
2.9 PROSES PENYEMBUHAN FRAKTUR
Kriteria penyembuhan fraktur dibagi menjadi 2 yaitu : (1) Klinis, meliputi tidak
ada pergerakan antar fragmen, tidak ada rasa sakit, ada konduksi yaitu ada kontinuitas
tulang; (2) Radiologi meliputi terbentuknya kalus, trabekula tampak sudah
menyeberangi garis patahan (Helmi, 2012)
Menurut Rasjad (2012), proses penyembuhan fraktur merupakan proses
biologis. Tidak seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami fraktur dapat sembuh
tanpa jaringan parut. Proses penyembuhan pada fraktur mulai terjadi segera setelah
tulang mengalami kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai
terjadi konsolidasi. Faktor mekanis yang penting seperti imobilisasi fragmen tulang
secara fisik sangat penting dalam penyembuhan fraktur.
Menurut Rasjad (2012) waktu penyembuhan fraktur bervariasi secara individual
dan berhubungan dengan beberapa faktor penting pada penderita, antara lain:
a. Umur penderita
b. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur
c. Pergeseran awal fraktur
d. Vaskularisasi pada kedua fragmen
e. Reduksi serta imobilisasi
f. Ruangan di antara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak
g. Adanya infeksi
h. Cairan sinovial
i. Gerakan aktif dan pasif anggota gerak
16
Penggunaan bantalan berat dengan media semen memungkinkan untuk
dilakukan. Tetapi berisiko terjadinta intraoperatif lemak emboli dan hipotensi karena
disuntikkan dibagian bawah dan dapat menekan area tersebut.
17
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
19
⁻ Tekanan Darah : menurun (normal : 110-130/70-80 mmhg)
⁻ Nadi : meningkat (normal : 60-100x/m)
⁻ Pernapasan : meningkat (normal 16-24 x/m)
⁻ Suhu : meningkat (normal : 36-37 ºC)
4. Pemeriksaan kepala
Kepala
simetris, kulit kepala bersih, tidak terdapat benjolan abnormal, rambut
hitam lurus.
Mata
Dapat ditemukan ganggu penglihatan khususnya pada lansia yang
mengalami jatuh dan menjadi penyebab fraktur. Konjuntiva tampak
anemis bila terjadi banyak perdarahan.
Hidung
Hidung bersih, tidak ada septum deviasi, tidak ada sekret ataupun polip,
tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
Mulut
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat..
Telinga
Kemampuan pendengaran normal, tidak ada nyeri dan secret.
Leher dan tenggorok
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
5. Dada dan thorak
a. Jantung
⁻ Inspeksi : tidak tampak iktus kordis
⁻ Palpasi : nadi meningkat, iktus kordis teraba
⁻ Perkusi : tentukan batas jantung. Suara jantung pekak
⁻ Auskultasi : suara s1 dan s2 tunggal, tidak ada mur- mur
b. Paru – paru
⁻ Inspeksi : bergerakan dada simetris, tidak ada tarikan intercosta
⁻ Palpasi : vokal femoris teraba, simetris kiri dan kanan.tidak ada
krepitasi
⁻ Perkusi : tidak ada nyeri tekan. Suara ketok sonor
⁻ Auskultasi : nafas vesikuler, tidak ada suara tambahan yang
abdnormal
6. Abdomen
20
⁻ Inspeksi : bentuk datar, simetris.
⁻ Auskultasi : bising usus normal
⁻ Palpasi : nyeri tekan pada kuadran bawah efek nyeri pada panggul
⁻ Perkusi : suara timpani
7. Genital
Kebersihan daerah genital, bila terpasang kateter kaji kebersihan kateter dan
adanya tanda infeksi pada area pemasangan kateter.
8. Ekstremitas
Kaji keadaan lokal pada panggil (hip), keadaan proksimal serta bagian
distal
a. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
- Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
- Fistulae.
- Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
- Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
- Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
b. Feel (palpasi)
- Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time
- Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
- Nyeri tekan (tenderness), krepitasi
9. Kulit
Pada daerah fraktur terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
Post operasi
1. Nyeri akut b.d kerusakan neuromuskular, cedera jaringan lunak
2. Gangguan imobilisasi fisik b.d prosedur bedah, terapi imobilisasi
21
3. Resiko tinggi infeksi b,d port d entree luka
2.3 INTERVENSI
Pre Operasi
NO.
NOC NIC
Dx
Setelah dilakukan tindakan Paint management
1
keperawatan selama 1x24 jam, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
nyeri berkurang dengan kriteria komprehensif
hasil 2. Monitot TTV
Pain level 3. Monitor gerakan / tanda – tanda non
- Melaporkan nyeri berkurang verbal dari nyeri
- Menunjukkan ekspresi wajah/ 4. Gali bersama pasien faktor-faktor yang
postur tubuh rileks dapat menurunkan atau memperberat
- Menunjukkan teknik relaksasi nyeri
yang efektif 5. Ajarkan mengunakan tehnik
- Tanda – tanda vital dalam nonfarmakologi misalnya : diktraksi
rentang normal dan relaksasi.
6. kolaborasi pemberian analgesik
2 Setelah dilakukan tindakan Fluid management
keperawatan selama 1x24 jam, 1. Monitor status hidrasi (misalnya turgor
menunjukkan perbaikan kulit buruk, nadi lemah, sangat haus,
keseimbangan cairan dengan membran mukosa kering, dan
kriteria hasil: penurunan urine output)
Fluid balance 2. Monitor hasil lab (mis. Hematokrit)
- tekanan darah, nadi, suhu 3. Monitor tanda – tanda vital
tubuh dalam batas normal 4. Jaga intake/ asupan yang akurat dan
- Turgor kulit membaik catat output
- Membran mukosa lembab 5. Kolaborasi resusitasi/ pemberian cairan
- Pengisian kapiler nadi perifer IV dengan tepat
kuat
- Hb normal, tidak ada anemis
22
2. Setelah dilakukan tindakan Anxienty reduction
keperawatan selama 1x24 jam, 1. Gunakan pendekatan yang
ansietas dapat teratasi dengan menenangkan
kriteria hasil: 2. Nyatakan dengan jelas harapan
Anxiety self- control terhadap perilaku pasien
- Klien mampu 3. Jelaskan semua prosedur atau tindakan
mengungkapkan yang kan dilakukan
kecemasannya 4. Dorong pasien untuk mengungkapkn
- Menunjukkan teknik untuk perasaannya, ketakutan dan persepsi
mengontrol cemas 5. Instruksikan pasien menggunakan
- Tanda vital dalam batas teknik relaksasi
normal 6. Observasi tanda – tanda vital
Post Operasi
NO.
NOC NIC
Dx
Setelah dilakukan tindakan Paint management
1
keperawatan selama 3x24 jam, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
nyeri berkurang dengan kriteria komprehensif
hasil 2. Monitot TTV
Pain level 3. Monitor gerakan / tanda – tanda non
- Melaporkan nyeri berkurang verbal dari nyeri
- Menunjukkan ekspresi wajah/ 4. Gali bersama pasien faktor-faktor yang
postur tubuh rileks dapat menurunkan atau memperberat
- Menunjukkan teknik relaksasi nyeri
yang efektif 5. Ajarkan mengunakan tehnik
- Tanda – tanda vital dalam nonfarmakologi misalnya : diktraksi
rentang normal dan relaksasi.
6. kolaborasi pemberian analgesik
2. Setelah dilakukan tindakan Exercise therapy
keperawatan selama 3x24 jam, 1. bantu latihan rentang gerak aktif pada
klien meningkatkan mobilitas ekstremitas yang sakit maupun yang
23
pada tinggat yang paling tinggi sehat sesuai keadaan klien
dengan kriteria hasil 2. bantu dan drorong perawatan diri
Joint movement: active sesuai keadaan klien
- mempertahankan posisi 3. dorong/ pertahankan asupan cairan
fungsional sesuai kebutuhan klien
- meningkatknya/ fungsi yang 4. berikan diet tinggi kalori tinggi protein
sakit 5. kolaborasi pelaksanaan fisioterapi
- menunjukkan teknis yang sesuai indikasi
memampukan melakukan
aktivitas
Setelah dilakukan asuhan selama Infection control
3
3x24 jam diharapkan tidak terjadi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
infeksi dengan kriteria hasil 2. Monitor suhu tubuh
Infection severity 3. Berikan perawatan luka dengan teknik
- luka kering dan bersih aseptik
- tidak ada pus 4. Ajarkan pasien dan keluarga cara
- tidak ada eritema mencegah timbulnya infeksi
- suhu tubuh normal 5. Anjurkan pasien untuk memenuhi
- mampu mencegah timbulnya asupan nutrisi dan cairan adekuat
infeksi 6. Ajarkan pada pasien dan keluarga
tanda – tanda infeksi
24
BAB 4
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Fraktur hip adalah terminolohi yang digunakan untuk mengambarkan fraktur
tulang femur pada daerah ujung/pangkal proksimal yang meliputi kepala sendi, leher,
dan trochanter. Fraktur ini lebih sering pada wanita dari pada laki – laki. Hal ini
mungkin dikerenakan wanita memiliki tulang panggul yang lebih lebar yang cenderung
mengalami coxa vara (deformitas dari hip dimana sudut anatar leher dan batang tulang
mengecil) selain itu wanita juga mengalami perubahan hormon post menoupouse dan
berhubungan dengan meningkatnay insiden osteoporosis.
Rehabilitasi fraktur hip ini sangat dibutuhkan untuk mempertahankan fragmen
yang telah dihubungan pada tempatnya sampai sembuh sehingga pemulihan fungsi dari
anggota dan fungsi tubuh keseluhan pasien baik secara fisik maupun psikis dapat
berjalan sebagai mana mestinya.
4.2 SARAN
4.2.1 Bagi perawat
Sebagai perawat sebaiknya mengetahui proses penyembuhan fraktur hip sehingga
dapat memberikan asuhan keperawatan secara optimal dan dapat mencegah kecacatan
25
DAFTAR PUSTAKA
Appley, A., & Solomon. (2010). Orthopedi Dan Fraktur Sistem Appley. Jakarta: Widya
Medika.
Bucholz, R.W., Heckman, J.D., Court-Brown, C.M., Tornetta, P. (2010). Rockwood And
Green’s Fracture In Adults: Fracture Of Neck And Intertrochanteric Femur (7th Ed).
Philadelphia: Lippincott Williams And Wilkins
Smeltzer, S. C. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Dan Suddarth.
Jakarta: EGC.
26